jeremykazuma
jeremykazuma
JeremyKazuma
17 posts
Hanya makhluk biasa yang selalu mengejar inspirasi untuk menjadi penulis yang apa adanya.
Don't wanna be here? Send us removal request.
jeremykazuma · 8 years ago
Text
Malam yang Berharga - Onaji Sora no Shita De: Kichou na Yoru「同じ空の下で: 貴重な夜」
- Side Story -
Ini adalah kisah yang menceritakan dari sisi teman-teman Kazunari dan Fransisca waktu mereka sedang berpasang-pasangan sebelum mereka melihat pesta kembang api bersama pada malam tahun baru.
Saat itu ada Sam dengan Alice yang sedang membicarakan hal penting berudaan. Mereka memilih tempat agak jauh.
“Kenapa kita semua jadi dua-dua begini, sih?”
“A—Ah... entahlah,” wajah Sam kelihatan gugup.
“Memangnya, ada perlu apa Sam, sampai kamu membawaku agak jauh dari mereka?”
“Se—Sebenarnya... aku juga ingin mengatakan sesuatu kepadamu.”
“Tentang apa?” Mata Alice membesar. Dia benar-benar penasaran.
“E—Ehm... Umm...,” Sam sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Apa Sam??” Nada Alice jadi meninggi.
Sam jadi panik, “Yahhh... aku... a—aku benar-benar....”
“Cepat sedikit...,” wajah Alice menjadi sedikit jenggkel, dan Sam menyadarinya.
“Baiklah... aku... benar-benar... suka... kepadamu, Alice,” sambil memejamkan matanya.
Ekspresi Alice langsung berubah. Dia menjadi terkejut saat mendengar ucapan itu. Alice tidak menyangka, bahwa orang yang disukainya juga menyukainya. Setelah itu, wajah Alice menjadi tenang dan dia tersenyum.
“Kenapa harus menutup mata segala? Kamu tidak perlu melakukannya berlebihan seperti itu, Sam.”
Dan mata Sam dibuka dengan melihat senyuman Alice yang menenangkan hati. Sam, menjadi ikut terenyuh saat memandangnya.
“...Terima kasih ya, Alice.”
“Walah, ya ampun, kamu tidak perlu berterima kasih kepadaku. Itu menggelikan, hahaha,” Alice menjadi tertawa terbahak.
Dan Sam pun menjadi ikut-ikutan tertawa bersama dengan Alice.
***
Di sisi lain, ada Rikku dengan Marie yang sedang mengobrolkan sesuatu sambil duduk di atas rumput.
“...Sesuatu hal yang sangat penting, Rikku.” Marie mengatakannya dengan serius.
“Apa itu?”
“Apa kamu tahu, kalau selama ini, aku dengan Marco saling berhubungan?”
Wajah Rikku jadi bingung. “Hubungan apa memangnya?”
Marie langsung terkejut bingung. “Jadi... kamu memang benar-benar tidak tahu ya....”
“Iya, aku benar-benar tidak tahu hubunganmu dengan Marco itu apa.” Rikku menjawab dengan polosnya.
“Baiklah, aku katakan sekarang saja.” Lalu Marie menarik nafas. “Sebenarnya, aku suka dengan Marco, dan dia juga menyadari hal itu. Kami pernah bertemu kembali di pasar malam Natal waktu lalu, dan aku tahu bahwa kamu juga ada di tempat itu. Tapi kami berdua merahasiakannya darimu. Sekarang, aku minta maaf kepadamu, Rikku. Aku benar-benar menyesal.”
Raut wajah Rikku jadi tambah bingung mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Marie. “Aku jadi bingung, kenapa kamu meminta maaf segala? Ini bukan salahmu, kan?” dan wajah Rikku menjadi polos.
Tapi setelah Rikku melihat wajah Marie yang sedikit menunduk sedih, Rikku merubah raut wajahnya menjadi serius. “Kamu tidak perlu minta maaf segala dan kamu tidak perlu menyesal, yang sudah lalu biarlah berlalu. Apa yang ada di hadapanmu sekarang, itulah yang harus kamu jalani. Begitu pula denganku. Sekarang aku juga sudah menjalani kehidupanku yang baru, yah meskipun aku hampir terpeleset lagi gara-gara aku bertemu dengan gadis lain. Tapi pada akhirnya, aku diselamatkan lagi oleh Kazu, Sam, Marco dan Makoto, mereka benar-benar sahabat sejatiku. Aku sangat bersyukur memiliki mereka yang tak pernah lelah menasehati dan menjagaku. Untuk urusan hubunganmu dengan Marco, aku tidak apa-apa akan hal itu, yang terpenting jikalau kamu benar-benar suka dengannya, jaga dia dengan segenap hatimu dan jaga dia dengan baik-baik, Marie.”
Lalu Rikku memandang wajah Marie dengan senyuman yang lega, dan Marie seketika itu juga mata Marie berlinangkan air mata kebahagiaan, lalu mengarahkan padangannya ke arah Rikku dan mengucapkan, “Terima kasih, Rikku.”
Rikku membalasnya dengan anggukan pelan.
Tak jauh dari situ, di belakang mereka berdua, ada Marco yang sedang bersandar pada sebuah pohon dan Makoto yang juga mengamati mereka berdua. Makoto penasaran dengan apa yang dibicarakan oleh Rikku dan Marie.
“Kira-kira, apa ya yang dibicarakan Marie dan Rikku?” Makoto penasaran sambil melihat ke arah Rikku dan Marie disana.
“Ah, sudahlah, kita tidak perlu tahu. Yang pasti akan baik-baik saja.” Marco menjawab dengan nada yang tenang dengan badannya bersandar pada pohon.
“Ah... kau benar Marco, aku tidak perlu tahu juga.” Lalu dia tertawa nada pelan.
“Ya.”
Marco tetap mengamati Rikku dan Marie dengan wajah tenang dan santai, sambil lambat laun mata Marco terpejam menikmati hembusan angin yang sepoi-sepoi.
***
Pada jarak yang cukup jauh dari Marco dan Makoto, ada kakaknya Kazu, yaitu Kenzo yang sedang berduaan dengan Kirisaki, kakak dari Fransisca. Mereka berdua memilih tempat yang terang di bawah penerngan lampu. Karena di sekitar situ tidak ada kursi, jadi mereka berdiri berhadap-hadapan.
“Ada apa Kirisaki? Kenapa tiba-tiba kamu mengajakku ke sini?”
“Ssst,” jari telunjuknya menutupi biibir. “Ada hal penting yang harus aku tanyakan kepadamu.”
“Hah? Apa itu?” alis Kenzo naik menandakan dia sangat penasaran.
“Apa kamu sudah memikirkan percakapan yang pernah kita bicarakan di taman ... ?” Kirisaki menanyakan hal itu sambil mendekat kepada Kenzo.
“Ooh... yang waktu itu? Umm... aku sudah memikirkannya, tapi... apa perlu di katakan sekarang?” Kenzo terlihat gugup.
Kirisaki langsung menggembungkan pipinya dan menatap Kenzo. “Ya iyalah, harus sekarang dong... untuk apa aku datang jauh-jauh ke sini? Untuk menemuimu, kan?”
“Lagian, bukan cuman kamu yang datang ke sini, ya kan? Ada adikmu juga.” Kenzo bercanda kepadanya.
“Uh... dasar...,” pipinya semakin menggembung. “Adikku urusannya dengan adikmu, dan aku urusannya dengan kamu,” tangan kirinya sambil menepuk pundak kanan Kenzo dengan pelan.
“Iya, iya... aku sudah memutuskannya, kok.”
“Wahhh... syukurlah...,” matanya berubah menjadi “bintang” yang bersinar dan badannya “bercahaya”.
“Tapi, aku juga punya pertanyaan kepadamu.”
“Apa itu??” Kirisaki penasaran.
“Apa kamu suka anjing?”
Ada jeda satu detik dia melamun. “ Waaa... aku sangat suka anjing!” lalu dengan cepat raut wajahnya menjadi sangat gembira. Matanya berbentuk “hati” dan badannya lebih bercahaya dengan adanya “bintang-bintang” di sekitarnya, dan dengan kedua tangannya berada di samping pipi kanan dan kirinya.
Sambil Kirisaki merasakan sensasi kegembiraan, Kenzo tertawa dengan nada pelan sambil berpaling dari wajah imut Kirisaki. “Kalau begitu, aku akan memberikanmu seekor anjing.”
“HA?! BENARKAH???” Kirisaki masih terpukau.
“Iya, benar. Aku tunjukan fotonya.”
Kenzo mengeluakan ponselnya dan menunjukan foto anjing itu.
“WAAA... IMUTNYAAA....” dengan terpukau ia melihat foto-foto anjing itu.
Anjing yang akan di berikan kepada Kirisaki adalah anjing yang pernah di temukan olehnya di dekat rumahnya yang akhirnya di taruh ke rumah penangkaran anjing milik bibinya Marie.
“Jadi, bagaimana? Kamu mau?”
“Aku mau bangettt...,” sambil menatap mata Kenzo dengan penuh harap.
Kenzo tersenyum. “Syukurlah.”
“Hehehe, terima kasih, Kenzo-kun,” dengan wajah yang imut dan senyumannya yang manis.
“Ayo, kita kembali.” Kenzo mengajaknya kembali.
“Ayo, ayo.”
Lalu mereka kembali ke tempat dimana Kazu dan Fransisca duduk berdua.
Setelah semuanya melakukan perbincangan yang penting, selanjutnya adalah menikmati pesta kembang api pada malam tahun baru. Inilah sebuah waktu dimana ada banyak harapan terkumpul pada satu kesempatan yang sama dan sebuah momen yang sangat berharga bagi mereka semua.
0 notes
jeremykazuma · 8 years ago
Text
Dibawah Langit Yang Sama - Onaji Sora no Shita De「同じ空の下で」(Final)
Sampai di penghujung tahun, pesta kembang api pun mulai beterbangan di langit. Kami semua berkumpul bersama di sebuah tempat umum yang lokasinya cocok untuk menikmati kembang api. Di tempat ini juga tersedia stan-stan ala pasar malam, jadi kami memutuskan untuk berpencar menyusurinya. Marco dengan Makoto menyusuri stan permainan, Sam dengan Alice pergi membeli beberapa jajanan, Rikku dengan Marie pergi melihat pernak-pernik, dan aku dengan Kakakku sedang duduk-duduk di atas bukit dekat dengan pasar malam yang menghadap ke tengah kota.
Di lokasi ini suasananya ramai seperti akhir tahun pada biasanya, akan tetapi tiap-tiap stan yang ada disini berhiaskan ornamen Natal dan beberapa pohon-pohon disekitarnya juga dihiasi lampu led dan ornamen Natal, seperti layaknya pohon cemara. Jadi nuansa di tempat ini seperti pesta Natal dan tahun baru. Hal itu yang membuat aku dan Kakakku bisa mengobrol disini dengan lama, sambil menunggu mereka untuk naik ke atas sini.
“...Suasana disini lebih damai ya, Kak?”
“Iya, kamu benar, Kazu. Kalian tidak salah memilih tempat ini.”
“Tempat ini adalah tempat yang sering dikunjungi oleh Rikku dan Marie waktu mereka masih pacaran.”
“Jadi, ini rekomendasi dari Rikku, ya?”
“Iya sih, tapi Marco yang mengatakannya secara tidak langsung dari Rikku.”
“Ooo... begitu rupanya.” Lalu Kakakku menatapku, “Oya, bukannya kamu sudah menghubungi Fransisca untuk ikut datang kesini?”
“Iya, tapi entahlah... dia bisa datang atau tidak. Katanya sih dia mau ada acara keluarga dulu.”
“Ooo... ya kita lihat saja nanti,” sambil menghadap ke depan lagi.
Sembari kami mengobrol, Marco dan yang lainnya datang menghampiri kami berdua.
“...Oi kalian, ke—kenapa tidak ikut melihat-lihat... di bawah?” Marco mengatakan sambil terlihat terengah-engah naik ke bukit.
“Marco, kau memang berlebihan.” Sahut Makoto.
Benar yang dikatakan Makoto, bukit ini tidak terlalu tinggi dan tidak curam. Hanya delapan langkah saja untuk naik ke sini.
“Oh, tidak. Aku dan Kakakku memang sedang tidak ingin membeli apa-apa, kok.”
“Begitu ya.” Lalu Marco membaringkan tubuhnya ke atas tanah yang berumput.
Kami semua duduk bersama saling berjejer satu sama lain (kecuali Marco) memandang ke arah kota sambil menunggu pesta kembang api penutupan tahun. Paling ujung kiri ada Makoto, sebelahnya Marco yang sedang istirahat di atas rerumputan, lalu Rikku dan Marie, sebelahku ada Kakakku, dan sebelah kananku, Sam dan Alice. Kami mengobrol tentang banyak hal, mulai dari hal-hal apa saja yang akan dilakukan di semester depan, tentang impian, tentang kegiatan klub, OSIS, sampai tentang menceritakan keluargaku. Aku tidak keberatan jika menceritakannya, karena untuk teman-temanku, khususnya untuk para sahabatku ini, semuanya saling terbuka, jadi tidak masalah bagiku dan bagi Kakakku.
Tak terasa waktu menunjukan pukul 11 malam, satu jam lagi sebelum kembang api menyambut pergantian tahun baru. Aku ijin kepada mereka semua hendak menuju ke kamar kecil. Untung di sekitar sini ada toilet umum, jadi aku tidak perlu uang air kecil sembarangan di pohon. Perjalanan menuju ke sana juga tidak terlalu jauh, hanya berjarak sekitar 100 meter saja dari tempat kami duduk-duduk.
Ketika aku selesai dari toilet dan berjalan keluar, aku sepertinya mendengar suara perempuan yang tidak asing. Ada dua suara di dalam toilet wanita. Ketika aku hendak mendengarkannya lebih dekat, kedua orang tersebut keluar berjalan di depanku. Lalu aku mengamat-amati dan ternyata mereka adalah dua gadis. Sepertinya cantik-cantik. Aku berjalan mengikuti mereka, semakin dekat, dan semakin dekat. Dan...
“...Loh? Kazu-kun??” Dia menoleh ke arahku.
Ternyata dugaanku benar. Dia adalah Fransisca beserta Kakaknya, Kirisaki.
“Ternyata kamu ada di sini juga?” Fransisca bertanya kepadaku.
“Iya, tadi aku juga dari toilet.”
Tiba-tiba jantungku berdebar-debar, entah kenapa sudah berteman lama tetapi jantung masih tidak “karuan” begini. Hanya dengan Fransisca saja aku seperti ini. Ketika aku di dekati pula dengan Kirisaki-san, jantungku berdegup dengan lebih normal.
“...Kamu mau mengintip, ya???” Kirisaki meledek.
“Ah... tidak! Kenapa aku harus mengintip??”
Aku tahu memang itu candaannya, tapi tetap saja aku panik mendengar ucapannya.
“Hahaha, aku bercanda, kok.”
Iya, iya, aku juga sudah tahu, Kirisaki-san.
“Ngomong-ngomong, dimana tempatnya, Kazu-kun?” Fransisca bertanya dengan tatapan lembut yang mengarah kepadaku.
“Akuti saja aku.”
“Baiklah...,” wajah Fransisca terlihat senang.
Mereka berdua mengikuti aku dari belakang hingga sampai kepada tempat ku dan juga yang lainnya. Mereka semua saling menyapa kepada Fransisca dan Kirisaki. Mereka juga saling memperkenalkan diri terutama Alice dan Marie yang belum pernah bertemu dengan Fransisca dan Kirisaki. Lalu kami saling mengobrol sambil berdiri di dekat sebuah pohon. Aku juga melihat ke arah Kirisaki sedang menghampiri Kakakku yang masih tetap duduk di tempatnya, lalu ia di ajak pergi oleh Kirisaki. Entah kemana aku tidak tahu tapi biarkan saja lah, pasti mereka sedang membicarakan sesuatu yang sangat penting bagi mereka berdua.
Sebelum kami memutuskan untuk duduk kembali, Marie tiba-tiba meminta ijin untuk pergi membicarakan sesuatu kepada Rikku berduaan saja. Dan mereka berdua pergi menjauh beberapa meter, tak jauh dari kami. Kami juga hargai waktu privasi mereka dan kami mengijinkan. Begitu Marie dan Rikku pergi berdua, Alice dan Sam juga hendak pergi berduaan saja. Aku juga menginjinkan mereka dan mereka mengambil tempat yang agak jauh dari kami. Sedangkan Marco berdiri bersandar di pohon dan Makoto berdiri di sebelahnya mengamati Rikku dan Marie sedang mengobrolkan sesuatu.
“Kira-kira, apa ya yang dibicarakan Marie dan Rikku?” Makoto bertanya kepada Marco.
“Ah, sudahlah, kita tidak perlu tahu. Yang pasti akan baik-baik saja.” Marco menjawab dengan nada yang tenang, tidak seperti biasanya yang selalu berteriak dan berbicara dengan nada kasar. Kali ini dia bisa memahami situasinya.
“Oya Marco, Makoto, kami berdua juga mau duduk dulu, ya?”
“Baiklah, sana, sana...,” jari kiri Marco sambil bergerak maju mundur dengan maksud mempersilahkan kami.
Lalu aku dengan Fransisca duduk berdua. Kami semua terpisah berdua-berdua. Aku dengan Fransisca, Kakakku dengan Kirisaki, Sam dengan Alice, Rikku dengan Marie, dan Marco dengan Makoto berada di samping pohon mengamati kami semua.
“Kenapa kita semua jadi dua-dua begini, ya?” Tanya Fransisca dengan bingung.
“Bukankah ini saat yang tepat?” aku menjawab dengan lembut sambil menatap wajahnya.
“Hahaha....” Dia hanya tertawa saja.
Selagi dia menghadap depan, aku langsung membuka tas ku dan mengambil benda berbentuk kotak dengan pita di tengahnya, dan aku berikan langsung kepadanya.
“Ini, ada hadiah untukmu,” aku memberikannya dengan pandanganku ke arah pasar malam, karena aku cukup malu menatapnya.
“Hah? Hadiah untukku?” dia menatapnya dengan heran.
“Iya, benar, buka saja.”
“Ooh....”
Lalu dia mulai membuka pitanya dan membuka tutupnya.
“...”
Seketika dia terdiam. Aku langsung menatap ke arahnya. Dia benar-benar melihat hadiah itu dengan sangat dalam. Tiba-tiba... matanya berlinangkan air mata. Dia menangis terharu saat memandang hadiah itu. Lalu dia menatapku dan berkata...
“...Terima kasih, Kazu-kun,” sambil dia tersenyum kepadaku.
Aku pun membalasnya dengan senyuman meskipun tanpa berkata-kata, karena aku juga merasa terharu dan senang saat melihatnya sebahagia itu.
“Kamu boleh memakainya sekarang.”
“Bolehkah?”
“Iya.”
Lalu dia lebih mendekat kepadaku dan berkata, “Apa kamu ingin memaikanku?”
“Baiklah.”
Aku mengambil kalung itu, berdiri, dan memakaikannya ke lehernya. Lalu aku duduk kembali.
“Sekali lagi, terima kasih ya.” Matanya masih berkaca-kaca.
Dan aku membalasnya dengan mengangguk.
Setelah aku memasangkan kalungnya ke lehernya. Teman-teman yang lain datang bersama-sama dan langsung duduk bergabung dengan kami berdua sambil memandang ke arah langit di depan. Kami seperti kereta panjang yang sedang menanti sebuah harapan baru di tahun depan. Semuanya tampak bahagia saat aku melihat wajah-wajah mereka. Dan dengan hembusan angin yang lembut, lonceng tahun baru dikumandangkan dan terdengar sampai ke tempat kami duduk serta pesta kembang api pun mulai bertaburan menghiasi langit malam.
Kami semua melihat kembang api dengan takjub dan tanpa sadar, tagan kananku dipeluk oleh Fransisca dengan tangan kirinya. Aku sempat terkejut saat melihatnya, tapi aku putuskan untuk membiarkannya saja. Sambil aku tersenyum, aku kembali mengarahkan pandanganku ke langit dan menikmati indahnya warna-warni di malam tahun baru ini.
- F I N -
0 notes
jeremykazuma · 8 years ago
Text
Dibawah Langit Yang Sama - Onaji Sora no Shita De「同じ空の下で」(bagian 8B)
Permainan yang memalukan - Hazukashī gēmu 「 恥ずかしいゲーム 」
“Oke, cepat, Marco-san! Lakukan!”
Ternyata, Alice juga bisa jadi kejam, yah? Aku merasakan aura yang “menyeramkan” saat memerintah Marco.
“Aku mengerti, aku mengerti, akan aku katakan....” Dengan perkataan yang berat ia terpaksa melakukannya.
Ia menghamiri Sam dengan lemas, dan mengeluarkan perkataannya...
“Suka!”
“Eh?! Kenapa ‘suka’ doang? Ulangi dengan kalimat yang lengkap!” Alice berubah menjadi hakim yang “kejam” sambil kedua tangannya menggebrak meja ruang tv ku dan memelototi Marco.
“HAA! HAA! HAA!” Marco sangat panik. “Baiklah, baiklah... a—aku ka—katakan de—dengan le—lengkap...,” badan dan matanya berubah jadi “putih” semua. Karena kepanikannya dia jadi gagap dan berkeringat deras.
“Ayo Marco, cepatlah...,” Marie menyemangati Marco dan juga wajahnya sedikit memerah saat melihat Marco yang kepanikan itu. Sepertinya efek dari ciuman itu semakin “membesar”.
Marco mulai membuka mulutnya sedikit, membuka lagi agak lebar, dan...
“S—S—S—Sam, aku suka padamu!!!” mulutnya terbuka sangat lebar seperti ikan kakap mulut besar.
“GAK PAKE KUAH, MARCO!” Lalu wajah Marco sengaja ditutup dengan tangan kiri Sam sambil didorong menjauh dari mukanya. “Ah dasar, bagaimana kalau aku terkena ‘virus’ menyebalkanmu itu? Kau harus bertanggung jawab atas itu.” Sam meledek Marco.
“Virus rambutmu!” Dengan nada yang serak “bergerumuh” keras.
“Sudah, sudah, mari kita lanjutkan lagi.”
Akirnya Rikku bersuara lagi. Aku pun juga sudah terlepas dari pelukan Makoto.
Ya, Makoto itu bobotnya mencapai 60 kg lebih dan badannya juga paling besar dari antara kami semua. Itulah sebabnya aku sedikit kepanasan dan sesak. 30 detik itu seperti siksaan dari kaki dewa*.
[Maksudnya Makoto di analogikan seperti kaki dewa yang panas]
Kami melanjutkan permainan ini lagi. Yang mendapatkan Masternya adalah...
“...Aku lagi.” Entah bisa dibilang senang atau tidak, sepertinya aku sudah kehabisan ide. “Hmm... aku perintahkan, no 6 memandang no 1 dengan memegang kedua tangannya, selama 15 detik.”
“Akhirnya, no 6 keluar juga.” Rikku sedikit tersenyum.
Ini... kenapa, ya? Aku melihat sikap Alice berubah menjadi pendiam, malah sekarang seperti patung sambil memandang stiknya.
Aku juga melihat, Sam yang memandang stiknya terdiam, padahal sebelumnya wajahnya tersenyum.
“Oh... no 1 kamu ya, Alice?” Marie berkata dengan halus sambil mulutnya membentuk huruf ‘o’.
Yah, malah diperjelas oleh Marie. Seharusnya biarkan mereka sendiri yang saling menerka.
Tiba-tiba mereka berdua menatapku dengan hawa “kematian”. Tapi aku tanggapi saja dengan wajah konyolku.
Aku mengangkat jari telunjukku dan mulutku membentuk huruf ’w’, “Uh, uh, perintah Master adalah mutlak.”
“Sial, kenapa aku dengan Alice? Tapi... mau bagaimana lagi... bukankah ini suatu kesempatan?” Sam berkata dalam hatinya dengan wajahnya yang sangat gugup dan juga berkeringat sedikit.
“Kenapa... kenapa disaat seperti ini? Apa harus sekarang momennya?” Alice juga berkata dalam hati dengan wajahnya memerah dan matanya membesar karena gugup.
Lalu mereka mulai mengangkat kepalanya pelan-pelan dan saling memandang dengan perlahan.
“Ehem... tangannya juga, oi...,” aku memasang wajah keren ku.
“O—Oh, baik.” Alice menanggapiku.
Lalu mereka saling menyen... eh tunggu...
“Apa yang kalian pegang??? Seluruh jari oi, bukan cuman dua jari saja....”
Aku tidak terima kalau hanya dua jari saja, itu bukan berpegangan namanya dan mereka menatapku dengan wajah mereka yang sok polos sambil berkata, “...Oh.”
Wajah apa itu? Menyebalkan sekali.
Tapi tak lama dari itu, tangan mereka mulai memegang satu sama lain. Meskipun tidak begitu erat, namun boleh lah, masih bisa aku toleransi, serta mereka saling tatap menatap dengan wajah gugupnya masing-masing. Muka Alice memerah, begitu juga Sam. Semuanya memerah sampai-sampai tangan mereka berkeringat dan gemetar.
“Baik! 15 detik telah usai!”
Akhirnya mereka bisa bernafas dengan lega. Karena selama mereka berpegangan tangan, kami belum bisa melanjutkan permainan kami.
“Oke, mau lanjut lagi atau tidak?” Tanya Rikku dengan wajahnya yang masih ceria.
“SEKALI LAGI!!!” Aku langsung berteriak kencang.
Yang lainnya pada tidak terima, apalagi Marco, ia malah minta langsung tidur.
“Baik! Sekali lagi, ya?”
Sekali lagi Rikku meletakkan stik-stik itu di tengah dan kami mengambilnya lagi.
Kali ini Masternya adalah Rikku.
“Ya! Akhirnya aku dapat Masternya!”
Dengan raut wajahnya, sepertinya dia sudah merencanakan “sesuatu” dari tadi.
“...Kenapa wajahmu seperti itu, Rikku?” Marco bertanya dengan sedikit curiga.
“Aku perintahkan no 6 untuk melepas pakaiannya!” Rikku mengatakannya dengan energik.
“Ooh... hanya itu?” Aku bertanya kepadanya seperti itu karena aku yang memegang no 6.
“...Dan harus menyatakan cinta kepada Fransisca lewat ponsel!!”
“APA?!! Kenapa jadi bertambah? Bukankah hanya satu perintah???” aku berteriak dengan lantang dan mataku berubah menjadi “putih” karena efek terkejut.
“Tadi kamu memintanya sendiri, kan?” Dari nada bicaranya, ia berubah menjadi licik dan wajahnya menjadi “bengis”.
“TIDAK! Itu bukan permintaan, Rikku, itu aku... Ehh... apa ya....” Aku bingung mau pakai kata-kata apa.
“Sudahlah lakukan saja,” sambil memejamkan matanya, Rikku bergaya sombong dan bersenyum licik.
“Baiklah...” Aku pasrah.
“...Oya, di speaker aktif ya.”
“APA?!” Malah sekarang jadi tiga perintah.
“Perintah Master adalah mutlak lho.” Lanjutnya sambil bibirnya membentuk angka ‘3’.
“Aku mengerti, aku mengerti....”
Kurang ajar si Rikku, mentang-mentang aku belum jadi “korban” sama sekali. Sekali kena, malah jadi “tumbal” buat yang lainnya, dan aku sudah ter-bully tiga kali.
Selanjutnya, aku mengambil ponselku, melepas pakaianku, menelpon Fransisca dan mengaktifkan speaker ku. Sambil gemetar karena kedinginan, aku menungu balasan dari Fransisca.
“Oi, kenapa lama sekali, sih?” Marco komentar.
“Mana ku tahu....”
Satu kali, pangilanku tidak diresponnya.
“Tidak di respon, nih.” Aku berharap permainan sudah selesai.
“Coba lagi.” Rikku langsung memerintah lagi.
“Baiklah....”
Sudah dua kali tidak ada respon.
“Coba lagi!” Rikku berkata hal yang sama.
“Kenapa harus dipaksa, sih? Gimana kalau dia lagi pergi keluar dan ponselnya ketinggalan?” Aku jadi merasa tidak enak dengan Fransisca nih. Bisa-bisa dikira aku mengganggu hari natalnya bersama dengan keluarganya.
“Pokoknya coba sekali lagi!” Rikku tetap bersikukuh kepadaku.
Beberapa menit kemudian, Kakakku datang kemari dengan membawa hidangan makan malam dan membawakan beberapa Macaron yang kami buat kemarin. Dikarenakan masih sisa banyak, Kakak berikan kepada kami semua. “Sambil dinikmati ya semuanya!” dia sambil menurunkan hidangan dan diletakan di atas meja depan kami.
“Oh, terima kasih, Kenzo-san.” Semua pada menjawabnya.
“Sama-sama.” “Loh? Kazu, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu tidak memakai bajumu?” Tanya Kakakku dengan heran.
“Oh, kami sedang melakukan permainan, dan yang kalah harus dihukum, ehehe,” aku tersenyum sambil kedinginan.
“Ooh... begitu ya....” “Kalo begitu, berjuanglah,” wajahnya datar dan polos.
Gitu aja? Dasar... gak bantuin atau gimana gitu? Dan langsung ditinggal pergi dengan ejekan dari senyumannya.
Dan untuk ketiga kalinya tidak ada respon balik dari Fransisca. Aku juga mulai menggigil semakin kuat, aku benar-benar sudah tidak tahan.
“R—Rikku, kali ini benar-benar tidak ada respon nih...,” aku berkata sambil menggigil kedinginan.
“Baiklah, baiklah, sepertinya kamu juga sudah membeku.”
Bukannya sepertinya, tapi SUDAH MEMBEKU!
“Yosh, mari kita nikmati dulu makanan yang dibawakan dari Kenzo-san.” Makoto memulainya.
“Baik!”
Aku sambil cepat-cepat memakai pakaianku dan melapisinya dengan jaketku lagi.
“Eh, tapi ini apa ya? Kok kenyal-kenyal begini,” Rikku mengamatinya sambil menekan-nekan Macaron itu.
“Itu Macaron Marshmellow, yang membuat kenyalnya adalah Marshmellownya. Makanan ini termasuk camilan khas dari Perancis.”
“Aku belum pernah dengar makanan ini.”
“Yah, kamu hidup di mana sih, Rikku?” Marco membalas perkataannya.
“Benar, padahal kamu sering jajan, kan?” Makoto menambahkan.
“Iya, tapi aku belum pernah mencoba makanan yang semacam ini.”
“Memang sih, makanan yang seperti ini adanya hanya di sebagian kafe-kafe dan restoran Eropa. Kalau yang dijual di minimarket, biasanya bukan Macaron, tapi Marshmellow yang dibalut coklat aja. Tetap beda sih.” Aku menjelaskan.
“Ooh... begitu rupanya,” Rikku mengangguk mengerti.
Dengan begitu kami semua makan bersama dan permainan yang “memalukan” ini telah berakhir.
Tapi, acara kami belumlah usai. Beberapa menit kemudian, aku dipanggil oleh Makoto untuk berbicara secara pribadi di teras rumah. Tumben sekali Makoto ingin mengobrol secara empat mata denganku. Kami duduk berdua di tangga teras sambil menikmati kelap-kelip lampu di seberang rumah.
“Kazu, aku ingin bertanya kepadamu.”
“Tentang apa?”
“Kau sadar tidak, jika diamat-amati daritadi Rikku senang dengan permainan tadi, tapi dia belum pernah mengobrol dengan Marie, kan?”
“Iya, kau benar.”
“Apa jangan-jangan dia masih merasa agak canggung, ya?”
“Canggung mungkin iya, tapi pasti baik-baik saja. Yang penting sudah tidak ada lagi perasaan benci di dalam hati Rikku.”
“Kenapa kau bisa berkata seperti itu?”
“Aku bisa lihat dari matanya. Kau sadar tidak, waktu dulu saat dia masih dalam tahap pemulihan? Tatapan matanya penuh dengan kekosongan dan kebencian, baik dia benci terhadap dirinya sendiri maupun terhadap Marie. Matanya, tidak ada kebahagiaan sama sekali. Tapi sekarang, kau bisa lihat, tatapan matanya jauh lebih ringan dan lebih riang dibandingkan waktu lalu.”
“Hmmh... betul juga, ya?” jarinya sambil memegang dagunya dan mengangguk.
“Maka dari itu, biarkan saja mereka berdua. Nanti lama-lama Rikku dan Marie bisa saling ngobrol lagi.”
“Hmmh... baiklah.” Sambil melihat ke langit.
Aku menarik nafas, “...Tidak ada yang perlu dicemaskan.” Dan tersenyum kepada Makoto.
Lalu kami masuk kembali ke dalam dan ikut nimbrung bersama dengan mereka. Mereka sedang bermain kartu Uno sambil ditemani Spageti di atas meja. Aku dan Makoto mengamati mereka sambil memakan Spageti, menunggu giliran putarannya selesai.
Waktu pun berlalu, jam sudah menunjukan pukul 12 malam. Sebagian dari kami sudah ada yang tidur pulas dibawah selimut. Dikarenakan penghangatnya hanya satu, jadi Marie dan Alice tidur berdekatan. Sedangkan Marco, Sam, dan Makoto tidur berjejer bertiga. Hanya tinggal aku dan Rikku yang masih terjaga, karena kami sedang mengobrolkan suatu hal yang penting.
“...Kazu, apa kamu yakin??”
“Kenapa harus aku? Justru kamu lah yang seharusnya yakin.”
“Entah kenapa, dari tadi masih ada jarak diantara kami berdua.”
“Itu namanya canggung. Wajah saja kalo kalian canggung. Sudah lama juga kalian belum pernah bertemu, kan?”
“Iya, kamu benar.”
“Tapi jangan kamu berdiam diri saja. Mumpung masih ada kesempatan untuk berbicara dengannya, kamu harus memulainya terlebih dahulu sebagai laki-laki. Gak harus obrolan yang serius, sekedar basa-basi tidak masalah....”
Rikku menghela nafas.
“Satu hal lagi....”
“Apa itu?”
“Jangan lupa untuk menarik nafas yang panjang, supaya kamu bisa tenang sebelum memulai percakapan. Seperti yang barusan.”
“Oh? Begitu, ya?”
“Ya.”
Setelah kami melakukan percakapan berdua yang cukup panjang, pada waktunya kami tidur berlima dan saling berjejer satu sama lain, supaya hangat.
Keesokan paginya...
“Hei, hei Kazu, bangunlah....”
Aku serasa ditendang-tendang dengan kaki. Kaki siapa ini?
“Aaaahhhh...,” aku mengolet. “Oh... sudah pagi, ya?”
“Ini masih pagi, kali.”
Sepertinya itu suara Kakak, dan sepertinya tadi juga kaki Kakak. Ah dasar...
“Hei, ayo bangun, Kazu. Teman-temanmu hendak pulang.”
“Hah?” Aku masih mengantuk dan mencoba untuk memnuka mataku dengan lebar. “Mau pulang? Sepagi ini?”
“Ini sudah jam 10, artinya hampir siang!”
“Baiklah, baiklah aku bangun sekarang.” Lalu aku membangunkan diriku yang sempoyongan ini.
“Kenzo-san, semuanya sudah kami bereskan ya.” Sam berkata.
“...Sudah kami bersihkan juga.” Marie berkata.
“Terima kasih juga ya, kalian malah mau merepotkan diri kalian.”
“Aah... tidak masalah, kan ini juga tanggung jawab kami.” Makoto berkata.
“Sekali lagi terima kasih Kenzo-san.” Alice berkata.
“I—Iya... hehehe,” dia menggaruk-garuk kepala belakangnya.
“Kalau begitu, kami pamit dulu ya, Kazu-kun, Kenzo-san.” Marie berpamitan kepada kami berdua.
“Baik... hati-hati di jalan.” Kakakku membalasnya.
Sembari mereka berjalan keluar rumah, Rikku berada di posisi paling belakang. Lalu aku menghampirinya dan menepuk pundak kirinya.
*tap*
“Hmph?” sambil dia menoleh ke arahku.
Aku beri dia kode dengan anggukan ku, tapi dia hanya menatapku bingung. Aku pun mengangguk sekali lagi, tapi dia tetap saja belum mengerti. Lalu ada Marie dan Sam yang masih berada di depan Rikku, menoleh ke arah kami dengan tatapan penasaran.
“Tidak ada apa-apa,” dengan serentak, kami sama-sama menjawab. Padahal, mereka berdua hanya melihat kami saja. Lalu mereka lanjut keluar ke teras.
“Sekarang.” Aku berkata dengan nada rendah.
“...Sekarang?” Rikku menjawab juga dengan nada rendah.
“Yakinlah saja.”
Rikku membalasnya dengan mengangguk mengerti.
Sesampai di teras, mereka semua berpamitan dengan kami. Aku masih melihat Rikku dengan tatapan serius, tapi sekarang dia bisa memahami dari tatapanku. Mereka melambaikan tangan dan...
“Sampai ketemu lagi di akhir tahun!” Marco berteriak.
Eh? Akhir tahun? Oh... sepertinya mereka punya rencana di akhir tahun. Aku membalasnya dengan anggukan dan senyuman lebar. Lalu mereka berjalan pulang meninggalkan rumah kami.
Kakakku menepuk pundakku dan mengatakan, “Beruntunglah, kamu punya teman-teman yang dekat denganmu, Kazu.”
“Iya....”
“Kamu tetap harus terus bersama-sama dengan mereka.”
“Baik. Aku mengerti.”
***
0 notes
jeremykazuma · 8 years ago
Text
Dibawah Langit Yang Sama - Onaji Sora no Shita De「同じ空の下で」(bagian 8A)
Permainan yang menakutkan -  Kowai gēmu 「 怖いゲーム 」
Hari Natal tiba. Teman-temanku pada menginap di rumahku hari ini. Kami semua berkumpul bersama di dalam ruang keluarga, karena akan ada beberapa orang lagi yang katanya juga datang kesini, jadi tidak mungkin “dimasukan” ke dalam kamarku semua. Aku coba menebak, kemungkinan Alice dan Marie juga akan datang. Hanya tebakanku saja sih, tapi... siapa tahu.
“Oh? Marie-san, Alice-san?”
“Hai semuanya....”
“Sudah lama tidak berjumpa, ya?”
Aku yang sedang berjalan membawakan minuman menuju ruang tv, dan aku melihat mereka berdua dari belakang.
“Loh? Ternyata kalian datang juga?”
Pertama aku sedikit terkejut, tapi terus menjadi biasa. Lagipula tadi aku sudah menduga sebelumnya.
“Iya, mumpung hari libur, ya kan?” Marie membalas.
“Iya... iya benar....” Alice menyambung.
Lalu mereka berdua duduk.
“Baik, ini minumannya. Silahkan dinikmati.” Aku beri mereka semua ocha panas, karena cuaca saat ini cukup dingin.
“Terima kasih, Kazu.”
Di ruangan ini aku sudah beri penghangat portabel. Meskipun orangnya banyak, semoga setidaknya mereka terasa hangat.
“Brrr... kenapa malam ini dingin sekali ya???”
Baru saja aku berkata “semoga terasa hangat” malah sekarang Marco kedinginan begini. Aduh... padahal badanmu cukup besar loh. Jangan lebay ah.
“Oi, Marco, jangan berlebihan begitu lah.” Sam berkata dengan muka sedikit meledeknya.
“A—Aku tidak berlebihan, Samuru!” Badannya menggigil sedikit. Dan dia langsung mendekat ke mesin penghangat.
“Oi, oi, jangan egois Marco, beri ruang buat Alice dan Marie.” Sam kembali berkata.
“Baiklah, aku mengerti,” wajahnya agak cemberut. Lalu dia bergeser dari penghangat.
“Oh... apa kalian tidak kedinginan?” Aku bertanya kepada Alice dan Marie.
“Tidak, kami sudah memakai baju rangkap kok.” Marie menjawab pertanyaanku dan Alice hanya geleng-geleng kepala.
“Ooh, kalo begitu syukurlah.” Aku sedikit lega karena mereka memakai pakaian rangkap, mungkin tidak bagi Marco. Dia sepertinya hanya memakai kaos dan jaket saja, tidak ada kaos tambahan di dalamnya.
“Apa yang kau lihat, Kazu??”
Dia berkata seperti itu karena aku mengamati bajunya, “Tidak, tidak ada apa-apa, aku hanya penasaran, apa kamu hanya memakai kaos dan jaket saja?”
“Yah... itu benar...,” raut wajahnya langsung melorot, seperti lilin meleleh.
“Nah, jadi malam ini kita mau ngapain, nih?” Kata Makoto.
“Hmmm...,” kami semua berpikir.
“...Bagaimana kalo ini,” Rikku tiba-tiba mengeluarkan segenggam stik kayu beserta wadahnya dari dalam tasnya.
“Oh, oh! Aku tahu permainan itu!” Marco tiba-tiba jadi sangat antusias sambil menunjuk ke arah mainan yang dibawa Rikku dengan jari telunjuknya.
“Kamu tahu, Marco? Yakin??” Aku tidak yakin dengan energi antusiasnya itu.
“Iya jelas lah! Aku pernah memainkannya waktu SMP!”
“Jadi... kamu tidak usah main, ya?” wajahku jadi jahat dan sinis memandang dia.
“Ugh... kesalahan besar. Justru jika aku tidak main, aku akan aman terus,” wajahnya sombong.
“Baiklah, kau ambil duluan, Marco.” Sam langsung menawarkan kepada Marco stik-stik itu.
“Apa?! Ugh... baiklah...,” wajahnya terkejut.
Lalu Marco dengan hati-hati mengambil stik itu, dan... menariknya satu buah.
“Memangnya, kalian sudah pada tahu aturan mainnya?” Tanya Marco dengan wajah serius.
“Belum. Tolong jelaskan, Rikku.” Wajahku langsung berpaling ke arah Rikku dan mengabaikan Marco.
“Hei! Aku yang bertanya, kenapa kau minta penjelasan darinya?”
“Kan, dia yang membawanya,” aku balas dengan wajah sok polosku.
“Kurang ajar....” Dia geram.
“Baik, jadi nama permainannya adalah ‘siapa Masternya’. Setiap stik yang ada disitu sudah diberi nomor yang tertulis dan diantara nomor-nomor itu, ada satu stik yang berlambang mahkota sebagai Masternya. Jadi, siapa saja yang memegang stik berlambang mahkota, ia berhak memerintah siapapun, dan perintah Master adalah mutlak. Contoh, Master memerintah no 1 kepada no 2 untuk saling berpelukan selama 1 menit. Seperti itu.”
“Jadi, Rikku, kita mengambilnya secara bersamaan, ya?” Tanya Alice.
“Iya, itu benar.”
Sepertinya seru juga. Aku seumur hidup belum pernah memainkan permainan seperti ini. Terakhir kali aku bermain tarik kartu Joker, itupun waktu SD. Game itu juga sudah terlalu sering dimainkan, jadi aku agak bosan.
“Yosh! Mari mulai!” Makoto sangat semangat sekali.
Tangan kami masing-masing memegang satu stik, dan dengan cepat kami menariknya.
“Yak, aku Masternya.” Rikku langsung mendapatkannya. “Aku perintahkan, no 3 memeluk no 5 dengan kakinya selama 10 detik!”
“APA?! DENGAN KAKI?!” Marco kebetulan mendapat no 5, dan no 3 adalah Makoto.
“Itu sih mudah.” Makoto tampak senang.
Jadi... sepertinya ini lebih mirip permainan mem-bully, yah? Belum-belum, Rikku sudah mengeluarkan perintah yang “kejam”. Dan mereka pun melakukan seperti yang dikatakan Rikku.
Setelah mereka melakukannya, permainan pun dilanjut.
“Baik, letakkan jari kalian pada stik.” Rikku berkata dengan senang. “TARIK!!!”
Kami pun menarik stik kami. Ternyata... Sam yang mendapatkan mahkotanya.
“Hmmm... aku harus perintah apa ya....”
Sepertinya Sam tampak kebingungan. Tapi dia punya akal. Dia sedikit mengintip nomor yang dipegang oleh Marco, karena posisi duduk Marco berada di sebelah Sam.
“Baik, aku sudah tahu.” “Aku perintahkan no 2, membuka jaketnya selama 1 menit!”
“AAAA APA-APA-AN INI?!! Kenapa aku terus yang kena?”
Sepertinya Marco emang cocok buat dijadikan tumbal. Ya sudah, terima saja Marco. Lalu dia membuka jaketnya dengan pelan-pelan.
“Oi Marco cepatlah!” Sam meneriakinya.
“Sa—Sabar kali!”
“Ah, kau lama,” dengan cepat Sam membantu membuka jaket Marco lalu di buang ke belakangnya.
“Loh? KENAPA KAU MEMBUANGNYA BEGITU SAJA?!!” Lagi-lagi Marco berteriak.
“Berisik!”
Jadi, Marco melepas jaketnya selama 1 menit. Kami semua melihat ekspresi Marco yang kedinginan itu, membuat kami tertawa lepas melihatnya. Benar-benar pembulian jaman sekarang.
“Baik, kita lanjutkan.” Kata Sam.
Tangan kami memegang kembali stik-stik ini, dan kami menariknya.
“Loh, kenapa kamu tidak menariknya.” Makoto bertanya padaku.
“Lihat, siapa Masternya.” Balasku.
“Eh, aku dapat nomor.” Kata Marie.
“Aku juga.” Kata Alice.
“Aku juga.” Kata Sam.
“Berarti Masternya adalah....” Makoto mencoba menebak.
“...Ya, benar! Sekarang aku Masternya.” “Oke, aku perintahakan, no 4 mencium tangan no 5!” Aku berteriak sambil aku berdiri dengan sigap.
“HAH!” Dengan bersamaan, Marie dan Marco terkejut melihat nomor mereka.
“APA INI?! AKU KENA LAGI???” dengan wajah sedihnya, dia melirikku ke atas sambil mendekap badannya.
“Kazu-kun, kenapa aku??” Wajah Marie jadi memerah.
“Tapi... kenapa kamu berdiri?!” Sam tampak curiga.
“Soalnya... aku mau ke toilet, ehehehe...,” aku tersenyum licik. “Jadi, kalian lakukan selama aku ke toilet ya, kan ada banyak saksi disini.” Lalu aku berjalan sambil memegang stik kayu ku.
“Tidak, Kazu! Biarkan mereka melakukannya saat kau kembali kesini.” Sam berkata sambil memandang Marco dan Marie.
“Ooh... begitu? Baiklah.” “Aku ke toilet dulu ya.”
“Tu—Tu—Tunggu, Kazu! Aku juga mau ke toilet!”
“Aaah... alasan!” Sam dengan cepat menarik baju Marco saat dia berdiri. “Kamu latihan dulu sana.”
“Apa?! Latihan?? Latihan segala???” matanya membesar, seperti ikan mati dan wajahnya memucat lalu terbaring lemas tak berdaya.
Beberapa menit kemudian aku kembali dari toilet. Mereka semua bersiap-siap untuk melihat adegan Marco mencium tangan Marie. Sebuah kesempatan langka yang tak boleh aku sia-siakan. Untung tadi Sam berkata seperti itu kepadaku.
“Nah, bagaimana? Sudah bisa dimulai, Marco?” aku berkata sambil memandang matanya dengan tajam.
“K—K—Kenapa, kau begitu kejam, Kazu-kun??” wajahnya tampak sedih memikul beban yang sangat berat.
“Hei, kau tidak usah lebay. Cepat lakukan, Marco! Bukankah kau itu laki-laki?!” Makoto jadi gregetan.
“B—B—B—Baik!” Marco panik dengan sangat saat dimarahi oleh Makoto.
Marco berdiri dari tempatnya, dia memberanikan diri menghampiri Marie yang berada di sebelah Alice. Dengan badan yang gemetaran, wajah memerah, keringat tiba-tiba keluar, kaki Marco sudah berdiri disamping Marie.
Wajah Marie juga tampak gugup dan memerah. Dia juga tidak bisa apa-apa selain pasrah.
“Ayo Marie, ulurkan tanganmu.” Aku menyuruhnya dengan tegas.
“Hei Marco, kenapa kau berdiri?” Makoto lagi-lagi menegaskan.
“B—Baik.” Dan Marco pun duduk berlahan sambil memandang tangan Marie.
Wajah mereka berdua tidak berani saling tatap menatap, mereka benar-benar merasa gelisah, gugup dan canggung. Wajah mereka juga tambah memerah. Sudah kuduga, mereka memang ada rasa suka satu dengan yang lainnya semenjak mereka bertemu di pasar malam Natal minggu yang lalu.
Tapi disitu juga ada Rikku yang sedang memandang mereka berdua. Aku lihat dari wajahnya, sepertinya dia tidak apa-apa. Apakah Marie merasa tersudutkan, atau... Rikku lah yang masih menyimpan rasa suka? Atau malah benci? Kita lihat dulu saja.
“A—A—Apa... ini sudah cukup?” Marie mengulurkan tangan kanannya sepanjang mungkin dan mukanya berpaling ke arah kanan dari Marco serta tidak melihatnya.
“Ya, cukup.” Aku menegaskan.
Tangan Marco juga berlahan naik ke atas hendak memegangi tangan Marie, tapi sepertinya dia tidak sanggup.
“Uh... dasar.”
Tiba-tiba... Alice dengan cepat memegang tangan Marie dan diletakkannya ke bibir Marco.
*cup*
“Loh?” Marco terkejut melihat bibirnya sudah mencium tangan Marie. “HAH?! Kenapa sudah aku cium??” Dia shock sambil menutup bibirnya, lalu ia melihat ada tangan lain yang memegang tangan Marie. Ternyata itu tangan Alice yang sedang “membantu” mempercepat proses perciuman.
“Kenapa kau ikut membantu?” Marco berteriak menghadap ke Alice.
“A—Alice, ke—kenapa ka—kamu lakukan ini??” wajah Marie berubah menjadi ���merah padam” dan matanya menjadi “putih bersih”.
“Lagian... kalian lama sih,” sambil wajahnya yang terlihat menyebalkan dan menyilangkan kedua tangannya di dada.
“Sudah, sudah... kali ini Marco sudah selamat. Ayo kita lanjutkan lagi!” Aku masih semangat.
“AWAS KAU KAZU!!!” Dia berbicara dalam hati sambil melihat ke arahku dengan wajahnya yang geram. Sepertinya ia ingin balas dendam terhadapku.
Setelah Marco kembali di sebelahku, kami mulai menarik stik kami kembali. Kali ini, siapa Masternya, ya?
“Oh... ternyata aku Masternya.”
Marie mendapat giliran menjadi Master, tapi dilihat-lihat, sepertinya dia bingung mau memberi perintah apa.
“Ayo Marie, apa perintahmu?” Alice menanyakannya dengan rasa penasaran.
“Umm...,” sambil dia berpikir. “...No 5 berpelukan dengan no 4.”
“Hah?!”
“Tapi selama 30 detik, ya!” Marie menambahkan.
“Yosh! Siapa no 4 nya?” Makoto semangat.
“30 detik, ya? Baiklah.”
Aku lah no 4 nya.
Makoto langsung menuju ke arahku. Dengan langsung dia memelukku selama 30 detik.
“Oi Makoto, jangan terlalu erat, aku tidak bisa bernafas dengan baik, nih!”
“Oh... maafkan aku.” Lalu ia sedikit mengendurkan pelukannya.
“Baik! Ayo kita lanjutkan lagi.” Sam juga tambah semangat.
Sambil aku dipeluk Makoto, kami berdua juga mengambil stik bersamaan. Siapa berikutnya?
“Ooh... ternyata... AKU MASTERNYA!!!” Tiba-tiba Alice bermuka “jahat!”
“Alice, tolong jangan aku lagi...,” Marco memohon belas kasihan kepada Alice, tapi sepertinya ia mengelaknya.
“Aku perintahkan, no 1 mengucapkan kata ‘suka’ kepada no 3!”
“YAAHHH! Aku lagi, kan...,” Marco “menangis” dengan derasnya.
“Loh? Aku benar-benar tidak tahu kalau itu kamu, Marco. Maaf ya....” Tapi tetap saja wajahnya tampak licik.
“Lalu? Siapa no 3 nya???” Aku bertanya sangat penasaran.
Melihat dari wajahnya saja sudah jelas terlihat, bahwa Sam adalah no 3 nya.
“Ya ampun...,” ekspresi wajahnya murung, “...Ah tapi untung, hanya berkata ‘suka’, kan?” wajahnya kembali normal.
0 notes
jeremykazuma · 8 years ago
Text
Dibawah Langit Yang Sama - Onaji Sora no Shita De「同じ空の下で」(bagian 7)
Kami melanjutkan perjalanan di dalam mall, masuk dari toko satu ke toko lainnya, sekedar melihat barang-barang. Disini ada satu toko unik yang kami datangi pada saat ini. Toko ini menjual barang-barang cosplay dan action figure, mulai dari anime-anime populer sampai yang kurang populer. Disini juga ada dua claw machine[1], satu berisikan boneka dan satunya lagi berisi box tokoh-tokoh action figure edisi spesial, dan ada juga yang edisi terbatas. Tadinya aku berpikir akan mencobanya, tapi aku tahu, permainan ini hanya memiliki peluang 1% dari 99% kegagalan, tragis sangat memang. Aku harap, aku bisa meretas mesin ini!
Ternyata toko ini cukup luas, aku pun masuk semakin ke dalam toko. Disana adalah area khusus menjual berbagai aksesoris khusus wanita. Daripada “kemakan” penasaran, lebih baik aku masuk aja.
Begitu aku masuk disini, aku bertemu dengan teman Sam. Ya... si Alice. Dia sedang memegang salah satu action figure perempuan.
“Hei... kau temannya Sam, kan?” Alice bertanya dengan tersenyum padaku.
“Iya benar, kau benar Alice, kan?” Aku gantian bertanya untuk memastikan juga.
“Iya, iya, benar, tapi... aku tidak tahu namamu siapa...,” wajahnya terlihat bingung.
“Oya, perkenalkan, namaku Kazunari Ono, panggil saja aku Kazu.”
Kemudian, dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
“Oh, baik,” aku mengulurkan tanganku juga.
“Senang berkenalan denganmu, Kazu,” sambil kami bersalaman. “Jadi, dimana yang lain?” Tanya Alice dengan penasaran.
“Masih ada di bagian depan toko, mungkin mereka tidak berani masuk sampai kesini.”
Ketika aku berbicara seperti itu, aku megarahkan kepalaku ke sebelah kanan dan ada Sam yang kebetulan melihat kami berdua. Jadi sekalian saja aku panggil dia.
“Ayo kesini,” aku beri tanda kemari mengunakan kanan tanganku. Lalu ia pun menuju kemari.
“Alice, kenapa kamu sampai kesini? Bukannya kau sedang bekerja di stasiun?”
“Oh, aku diberi waktu libur selama tiga hari oleh bibi, jadi untuk hari ini aku putuskan untuk jalan-jalan kemari.”
“Tapi memangnya, kamu tinggal dimana? Dekat sini?”
“Iya, gak terlalu jauh, sekitar 10 menit, kok.”
“Ooh... begitu rupanya...,” Sam melihat Alice dengan wajah polos.
Lalu aku tinggalkan mereka berdua saja. “Aku kesana dulu, ya?” sambil aku berjalan menjauhi privasi mereka.
“Eh? Kazu, tunggu...,” Sam merasa gugup dan mencoba untuk mengentikanku. Tapi aku tetap berjalan terus saja.
Lumayan kan, bisa kapan lagi mereka bertemu seperti itu. Kau seharusnya berhutang padaku, Sam.
Sepertinya, aku harus membungkus barang ini dengan kertas kado nih, tapi dimana ya?
“Eh Marco, apa kamu tahu tempat untuk membungkus kado?”
“Ehm... kalau tidak salah...,”
Lama banget mikirnya.
“Sepertinya ada di depan supermarket.” Makoto langsung meresponku. Dia seperti sudah pernah beberapa kali kesini.
“Baik, ayo kita kesana.”
“Tu—Tunggu... bagaimana dengan Sam?” Mata Marco langsung tertuju padaku.
“Tidak apa-apa, dia sedang bertemu dengan teman lamanya di dalam.”
“Oh... siapa?”
“Nanti juga tahu sendiri.” Kataku dengan santai.
Kami berempat pergi menuju tempat pembungkusan kado, dan biarkan Makoto yang mengabari Sam melalui emailnya.
Setelah kami sampai di tempat, disitu ternyata tidak ada penjaganya. Kami menunggu sekitar 10 menit tak muncul-muncul juga. Apa tidak apa-apa jika toko ini dibiarkan selama beberapa menit? Yaa, meskipun hanya menjual kertas kado tapi jika ditinggalkan begini akan seperti rumah yang terbengkalai. Kelihatan banget kalau jarang ada pelanggan disini. Dan aku juga berpikir lagi, apa tidak perlu dibungkus saja ya?
“Aneh juga toko ini, masak gada yang jaga?” Kata Makoto.
“Benar juga. Ya sudah, kita kembali aja.” Aku memang tidak kecewa, tapi aku merasa ini toko aneh banget.
“Loh? Tidak jadi dibungkus?” Kata Marco heran.
“Tidak, lebih baik aku berikan langsung saja seperti ini.”
“Gak surprise dong?”
“Tidak apa-apa, kan yang penting tulus.”
“Oh, benar juga kamu,” matanya membulat.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita masuk supermarket dulu?” kata Rikku dengan pikirannya yang pasti sedang membayangkan jajanan enak-enak.
“Kamu pasti mau beli jajan kan?” aku melirik Rikku dengan aku turunkan mataku setengah.
“Hehehe... kau tahu sendiri, kan?” dia sambil menggaruk-garuk rambutnya.
“Oya, bagaimana dengan Sam?” Tanya Marco mendadak.
“Kamu kabari lagi saja dia, Marco.”
“Oh, Baiklah.”
Kami semua telah masuk ke dalam supermarket. Aku dan Makoto berada di bagian elektronik, sedangkan Marco dengan Rikku di bagian makanan. Aku berpesan kepada Marco agar Rikku tidak terlalu berlebihan membeli jajanan disini, meskipun memang lebih murah hitungannya, tetapi justru hal itulah bisa membuat kantong* Rikku cepat kempis.
[Kantong disini artinya dompet. Tapi sepertinya Rikku gak punya dompet deh]
Sam, nantinya akan langsung menyusul ke sini. Aku juga sudah memberitahunya mau dibagian makanan atau elektronik. Terserah dia mau milih yang mana. Dan akhirnya, dia datang.
“Sudah selesai kalian ngobrolnya?” Tanyaku dengan penasaran.
“Kenapa kamu ninggalin aku, sih?” dengan mukanya sedikit kesal.
“Lah, kan gak enak kalau ada aku.” Aku jawab saja dengan santai.
“B—Bukan begitu... aku masih belum tersbiasa bicara lama-lama dengannya,” mukanya malah menjadi malu. Oi, dihadapanmu bukan lagi Alice loh.
“Terus, kalau ada aku disana, aku harus apa?”
“Y—Yah... setidaknya, sekedar menemani lah...,” sambil menggoyang-goyangkan kedua tangannya yang terbuka.
“Dasar, aku tidak mau jadi obat nyamuk*.”
[Obat nyamuk, ketika kamu terjebak dalam situasi dimana temanmu sedang berpacaran dengan pacarnya dan kamu hanya bisa diam saja]
“Ya... gak harus jadi obat nyamuk juga sih....”
Daritadi Makoto memperhatikan kami terus, jika ada pertanyaan mohon diajukan sekarang saja.
“Wah, siapa sih orang yang kalian maksud?”
Dan dia bertanya beneran.
“Itu, si Alice, yang waktu kita di stasiun Kyoto, Sam dihampiri oleh gadis berambut pirang.”
“Ooh... itu... tahu, tahu.” Lalu dia sibuk kembali melihat daftar harga di depannya.
“Lalu, dia sekarang kemana?” Aku tanya kepada Sam lagi.
“Sekarang dia sudah pulang,” sambil dia juga melihat-lihat barang yang ada di depannya.
“Oh, secepat itu?”
“Soalnya dia sudah 3 jam disini.”
“Dia sendirian?”
“Dengan ibunya katanya, tapi ibunya sedang ada di toko lain.”
“Ooh....” Lalu aku menghentikan pembicaraanku, karena aku mau fokus membandingkan harga juga.
“Tapi... apakah benar, aku masih cocok dengannya, Kazu?”
Tiba-tiba dia menanyakan hal itu lagi kepadaku.
“Kan aku sudah bilang kan waktu itu, kamu hanya perlu untuk yakin saja,” dengan tanganku menekan-nekan tombol televisi.
“Tapi....”
“Ah sudahlah, tidak perlu tapi, tapi-an.” Lalu aku memandang Sam dengan tatapan dalam, “sekali lagi, kau hanya perlu untuk yakin.” Dan aku menepuk pundaknya dengan tegas.
Sepertinya dia sudah memahami lagi soal kata-kataku. Aku yakin, dia pasti bisa lebih percaya diri dariku. Sam memiliki perawakan yang ideal dan juga wajah yang ramah, pokoknya keren abis dah, lagipula dia juga orang berambut pirang, sama seperti Alice. Sam hanya perlu untuk yakin dengan dirinya sendiri dan meneguhkan tekadnya untuk memilih Alice.
“Oya... Sam, Makoto, sepertinya kita perlu menyusul Marco sama Rikku, jangan-jangan mereka berdua malah kebanyakan beli jajannya.”
“Ooh, benar juga.” Balas Sam.
“Baik, ayo kesana.” Sambung Makoto.
***
Tiba waktunya kami pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang, saat di mobil Sam, mereka semua ingin berkunjung ke rumahku pada malam ini, tapi aku berkata kepada mereka bahwa malam ini keluargaku sudah mempersiapkan makan malam untuk dimakan bersama, jadi aku terus terang mengatakan kepada mereka jika malam ini dan untuk malam besok mereka tidak bisa berkunjung ke rumahku. Tapi aku berkata bahwa pada hari Natal tiba, aku bisa mengajak mereka semua untuk menginap di rumahku. Aku akan katakan kepada keluargaku nanti. Mereka juga bisa mengerti karena makan malam bersama keluarga juga sangat penting, dan mereka juga memutuskan untuk makan malam bersama keluarga mereka juga. Akhirnya, kami sampai juga di rumah masing-masing.
“Aku pulang.”
Oh tidak! Aku lupa kalau aku sedang membawa hadiah untuk kakak. Aku juga tidak mau sampai ketahuan sama ibu dan ayah. Hmm bagaimana ini, aku harus cepat-cepat menyembunyikan barang ini.
Jadi aku langsung lari ke lantai atas, yaitu gudang. Untungnya gudang di rumah ini cukup luas dan...
“Loh?!”
TERNYATA TERKUNCI!!! Walah gimana ini? Oya aku lupa, gudang ini memang selalu terkunci kalau tidak dipakai. Untungnya, saat ini aku bisa berpikir cepat. Aku langsung saja menuju ke kamarku. Aku taruh diatas kasur dan langsung aku tutupi dengan selimut.
“Loh? Sedang apa, Kazu? Sepertinya tadi kamu buru-buru, ada apa?”
YAH! Kenapa Kakak ada disini?
“E—E—E—Eh tidak apa-apa, aku mau ganti baju dulu karena tadi jalan-jalannya cukup jauh.” Jantungku langsung berdegup kencang.
“Ooh... aku kira kenapa. Ya sudah, Kakak turun dulu ya, nanti langsung di meja makan saja.”
“O—Oke, Kak.”
Fiuwh... kaget juga, aku juga jadi gugup di depan kakak tadi dan aku baru kepikiran, kenapa gak aku taruh di kolong tempat tidur saja ya?
Baiklah, sekarang aku pindahkan di bawah tempat tidurku dan aku tutupi dengan...
“Oya, Kazu?”
APA?! Kenapa Kakak masuk lagi?!!
“A—A—Ada apa??” Gugup lagi nih!
“Sebaiknya kamu mandi dulu, baru ganti baju.”
“O—Ooh ya... benar....”
Astaga, jantungku berdegup kencang lagi.
“Ya sudah, cepat turun ya.”
“Oke, Kak.” Akhirnya.
Pintu sudah tertutup kembali dan aku memastikan apakah dia benar-benar sudah turun atau belum, aku coba dengarkan langkah kakinya.
Fiuwh... aku bisa sedikit lega setelah langkah kakinya terdengar sudah jauh turun ke lantai bawah, dan aku bisa menyimpan barang ini di bawah tempat tidurku. Aku dorong lebih dalam lagi dan aku tutupi dengan kain bekas.
Tunggu... disini tidak ada kain bekas...
Wah, semua kain bekas ada di gudang ternyata. Hmmm... aku tutupi pakai apa nih? Aku coba membuka lemari kakakku, dan aku melihat ada selimut lagi disini, tapi ini selimut baru belum pernah dipakai. Jadi aku putuskan, aku tutupi memakai selimutku saja dan aku memakai selimut baru ini untuk tidur.
Okeh... semuanya beres, tinggal aku berikan padanya besok hari. Sekarang aku tinggal mengatur nafasku saja. Dan semoga dia tidak curiga soal ini.
Aku mulai turun dan mandi. Ibuku juga bertanya tentang aku terburu-buru naik ke atas, karena tadi sebenarnya langkah kakiku benar-benar terdengar kencang sampai di bawah. Aku jawab saja dengan kejadian tadi waktu kakak masuk ke kamar. Lalu kami semua siap untuk menyantap makan malam bersama. Menu pada malam ini semuanya spesial, terutama ada Spageti yang aku tunggu-tunggu ini.
“Eh, Kazu?” Kakakku bertanya.
“Ya?”
“Tadi kamu sedang menyembunyikan apa?”
EH?! Ketahuan ya???
“A—A—Ah... anu... aku sedang memindahkan buku-buku ku yang sudah lama tidak aku pakai lagi, jadi biar aku tidak mengingatnya lagi, aku taruh dibawah kolong tempat tidurku.” Aku berbicara dengan sangat cepat.
“Oh....” Dengan pandangan kosong.
Oh? Hanya “oh” saja? Entah dia curiga atau tidak, tak usah aku pikirkan saat ini dulu ah.
“Oke... saatnya kita makan....”
Ibuku memang yang terbaik, mengalihkan pembicaraanku dengan Kakakku.
“Selamat makan!”
***
Keesokan harinya... pada pagi hari, aku dan kakakku sedang berada di dapur membuat sebuah adonan. Adonan ini nantinya akan dijadikan sebuah kue yang mungil dan lezat. Hari ini kami berdua sedang membuat Macaron Marshmellow. Sebuah kue kecil yang berbentuk bulat agak pipih dengan balutan warna warni yang diisi marshmellow yang dilelehkan. Kue ini berasal dari Perancis dan sudah menjamur di berbagai negara. Karena bentuknya yang mungil, kami membuat dalam jumlah yang banyak dan bisa untuk hari besoknya.
Cukup menyenangkan memang membuat kue bersama dengan kakak, meskipun ada banyak kesalahan-kesalahan tapi kakakku ahli dalam memperbaiki kesalahanku itu. Bahan untuk membuat Spageti pun masih ada dan kami juga memasaknya untuk nanti malam dan besok. Hal ini memang sengaja kami buat karena besok akan ada teman-temanku yang datang untuk menginap, jadi aku katakan saja kepada kakak, tetapi tidak dengan ayah dan ibu kami.
Ketika semuanya telah selesai, kami berdua yang pertama kali mengicipi Macaron buatan kami, dan rasanya... wih... sungguh luar biasa! Tidak terlalu manis dan tidak terlalu tawar. Semuanya pas pada takarannya. Ini adalah sebuah pengalaman baru lagi bagiku dalam hal memasak bahwa memasak makanan sejenis ini tidak terlalu sulit. Justru jika sudah ada panduan resepnya, maka akan menjadi mudah untuk dilakukan. Apalagi untuk jaman sekarang sudah banyak resep panduan berupa video yang bisa diikuti oleh semua orang yang ingin memasak. Sekarang, aku hanya perlu untuk menunggu malam tiba dan aku menuju ke kamar mandi. Ya, tidak apa-apa lah sekali-kali gak mandi dulu, hehehe.
Waktu menunjukan saatnya makan malam tiba. Kami semua sudah berkumpul di meja makan dan duduk di kursi masing-masing. Tidak lupa kami untuk berdoa sebelum makan. Kali ini doa makan dipimpin oleh kakakku.
“...Amin.”
“Selamat makan....”
Kami semua makan makanan utama terlebih dulu. Walaupun hanya sedikit nasi saja, tapi ditambah dengan Spageti yang menggoda, semuanya sudah terasa kenyang. Macaron yang aku buat bersama dengan kakakku hanya termakan masing-masing orang lima buah saja. Jadi kakakku menyimpan Macaronnya untuk keesokan harinya. Memang enak sih, tapi kalo makan nasi sebelumnya rasanya jadi tambah kenyang, apalagi ada Spagetinya.
“...Kenyangnya...,” ayahku sambil mengelus-ngelus perutnya.
“...Wah, ibu sudah tidak kuat,” ibuku menyerah dengan tangan kanannya memegang perutnya juga.
Aku pun juga kekenyangan sampai-sampai bersendawa panjang.
“Oya, aku mau ke kamar dulu ya,” sambil aku berdiri dengan susah payah.
“Kenapa?” Ibuku bertanya.
“Ada barang yang akan aku tunjukan kepada kalian semua,” dan aku berjalan pelan-pelan akibat kekenyangan.
Waktu naik tangga, rasanya perut ini bergoyang-goyang. Sendawaku makin sering saja waktu aku di dalam kamar.
“Uh... susah sekali jongkok seperti ini....” perutku susah untuk dilipat. Apalagi hadiah untuk kakakku berada di dalam kolong.
“Aduh... aku tarik saja dengan kaki ah....”
Aku berusaha untuk menariknya dengan kaki kananku. Dengan bersusah payah kakiku untuk meraihnya. Malahan aku juga mengeluarkan kentutku waktu aku berusaha untuk menarik barang ini.
“Ahhh... gapapa deh... yang penting kentut disini. Terus keluarin terus!” Sambil aku menikmati kentutku ini.
*srettt*
Akhirnya barang ini keluar dari kolong. Entah sudah berapa menit aku disini, tapi aku rasa cukup lama juga. Lalu aku bawa turun kembali ke meja makan.
“Selamat Natal, Kak!” Aku langsung berikan hadiah ini kepadanya.
“Terima ka— eh?? tapi buat apa, ya? Kan Kakak enggak ulang tahun hari ini?”
“Sudahlah, terima saja Kak. Anggap saja sebagai kado Natal dariku,” aku tersenyum hangat.
Lalu hadiah itu dibuka olehnya.
“Wah... tas traveling??”
“Iya benar, Kakak kan orangnya suka bepergian, siapa tahu cocok kalau diisi peralatan memasak.” Aku sedikit bercanda.
Sebenarnya bukan seperti itu alasanku. Yang sebenarnya adalah hadiah ini sebagai rasa ucapan terima kasihku kepadanya, karena pada waktu lalu dia sudah membuatkan makanan kepada kami semua, aku, Fransisca dan juga Yukari-san, kakak Fransisca.
“Apa? Peralatan memasak? Mana mung—“
Tiba-tiba dia terdiam.
“Kenapa Kenzo-chan?” Ibuku bertanya. Dan aku juga diam terheran.
“...Benar juga Kazu, aku bisa pakai tas ini untuk pergi berkemah dengan teman-temanku disana.” Dia menatapku dan berkata, ”Terima kasih... Kazunari-chan,” dengan wajahnya yang tersenyum bahagia.
Aku pun jadi terpaku melihat ekspresi wajahnya yang sangat puas itu. Aku jadi sangat bersyukur dengan hal ini. Meskipun hadiahnya tidak aku bungkus dengan kertas kado, tetapi setidaknya aku berikan dengan ketulusan hatiku. Ini seperti sebuah anugerah ayng aku miliki sampai saat ini, karen Kakak sangatlah perhatian dan sangat baik kepadaku.
Ayah dan Ibu juga tersenyum melihat kami berdua. Dari ekspresi wajah mereka, aku bisa melihat pancaran rasa syukur terhadap kami berdua. Lalu mereka mendoakan kami berdua. Suasana hangat yang menyelimuti kami semua, tidak akan pernah aku lupakan. Rumah adalah keluarga, dan keluarga adalah rumah.
***
[1] Sebuah mesin permainan yang memiliki capitan untuk mengambil boneka atau benda yang ada di dalamnya, seringnya mesin ini berada di wahana permainan anak
0 notes
jeremykazuma · 8 years ago
Text
Dibawah Langit Yang Sama - Onaji Sora no Shita De「同じ空の下で」(bagian 6)
Hari sabtu yang cerah. Awan menunjukkan keramahan, sinar matahari menembus jendela kamar. Meskipun cuaca tetap terasa dingin, namun aku masih bisa untuk menikmatinya. Rasanya tak ingin bangun dari tempat tidur.
*drrrt* *drrrt*
Ponselku tiba-tiba bergetar tanpa henti, sepertinya ada panggilan penting, tapi kenapa sepagi ini. Aku coba untuk berpaling mengangkat ponselku, tapi sepertinya mataku tak mau untuk membukanya. Aku mencoba untuk meraba-raba di meja belajarku. Dan akhirnya ponselku malah terjatuh.
*prok*
Ah sudahlah biarkan saja dulu, nanti kan bakal nelpon lagi jika penting. Aku mencoba untuk bangun dan terus bangun, tapi mata ini serasa masih lima watt.
*drrrt* *drrrt*
Lagi-lagi ponselku bergetar. Berarti hal itu menandakan ada sesuatu yang sangat penting. Aku mencoba untuk bangun sambil mengerang. “Urgh... urgh... urgh....”
Akhirnya aku bisa duduk juga, tapi “nyawa” belum terkumpul semua. Di saat inilah seseorang yang dibangunkan pagi-pagi oleh sesuatu, apapun itu, sebelum berdiri, masih ada beberapa tahapan yang harus dilakukan. Pertama membuka mata, kedua duduk sembari mengumpulkan “nyawa”, ketiga baru siap-siap untuk berdiri dan berjalan.
Setelah “nyawaku” terkumpul, aku mengambil ponselku yang terjatuh ke lantai. Aku meraihnya saat masih bergetar. Tapi ketika aku hendak menggeser tombol untuk menjawab, tiba-tiba getarannya hilang. Ya sudah apa boleh buat, aku harus menelpon balik dengan pulsaku terpotong beberapa Yen. “Uh....”
“Oh, ada apa Marco, pagi-pagi begini kau menelponku?”
“Hei, dari tadi tidak kamu angkat, kau sengaja mengabaikannya, ya?!”
“Iya. Aku masih mengantuk, jadinya aku abaikan,” aku sambil menutup mataku sejenak.
“APA?! Dasar kau. Kemarin kemana saja, Kazu?!”
“Oh itu, maaf, aku lupa mengabari kalian. Seharian kemarin aku dan kakakku pergi bersama, jadi aku tidak bisa pergi dengan kalian sementara.”
“Oh... kakakmu pulang, toh?”
“Iya benar.”
“Wah, kalau begitu, akan kami rencanakan pergi bersama kakakmu saja!”
“Hah? Kapan?” Mataku langsung terbuka lebar.
“Hari ini!”
“Aduh... kenapa mendadak begini??” Dasar kau Marco, membuat mataku jadi melek begini.
“Memangnya kenapa, biasanya juga mendadak, kok.”
“Bukan begitu, hari ini aku berencana akan pergi membelikan sesuatu untuk kakakku dan akan aku berikan saat malam Natal tiba.”
“Oh, ya baguslah... kalo begitu, kami ikut saja denganmu, oke?!”
Disaat seperti ini, aku hampir lupa jika masih ada mereka yang selalu ingin pergi bersama-bersama denganku. Mau tidak mau aku harus menerima mereka, siapa tahu mereka bisa dijadikan refrensi untukku saat memilih hadiah untuk kakakku.
“Hem... baiklah!” “Terima kasih, ya,” aku jawab dengan nada pelan.
“Ah... tidak usah begitu... biasanya juga seperti apa, hahaha.” “Baik, nanti kami jemput dengan mobil Sam jam 4 sore ya?”
“Oke.” Lalu aku menutup pembicaraan di ponselku.
Waktu sudah menunjukan pukul 8 lewat 25 menit, dan aku bergegas untuk mandi lalu sarapan. Seperti hari Sabtu pada biasanya, sarapan sudah tersedia di meja makan dan ibuku selalu menyempatkan diri untuk belanja di supermarket sebelum hari malam Natal besok dan saat hari Natal tiba. Ibu juga selalu memasak untuk kami sekeluarga, terlebih lagi ada kakak yang sedang pulang ke rumah. Ayah, pada hari Sabtu juga pulang lebih awal, biasanya kami sekeluarga menikmati makan malam bersama, terutama dalam tiga hari berturut-turut ini, dari hari sabtu sampai hari Natal tiba, kami semua pasti akan makan bersama-sama.
Tapi... dimana ya kakak? Sebelum aku turun untuk mandi, kakak sudah tidak ada di atas kasurnya, apa dia ikut pergi belanja dengan ibu?? Tumben sekali dia. Tapi... rasanya tidak mungkin deh.
Setelah aku mandi, aku mencarinya di dapur, di ruang tengah, di kamar ayah ibu, di garasi mobil, tidak ada semua. Lalu aku kepikiran, apa mungkin dia pergi lari pagi?
Aku mencoba untuk keluar ke halaman rumah, eh... dan ternyata... kakakku ada di samping teras rumah sedang jongkok mengamati sesuatu yang ada di depannya.
“Eh, Kak, lagi ngapain?” sambil aku berjalan mendekati Kakakku.
“Oh, Kazu, lihatlah....” Kakakku sambil menggeserkan badannya agar aku bisa melihat.
“Loh? Kok ada anak anjing?” aku melihat dengan kaget. Anjing yang ditemu oleh Kakakku berjenis Duchhound jantan, dengan moncongnya yang panjang dan berwarna coklat gelap. Kakinya juga pendek dan telinganya menjuntai panjang.
“Iya, tadi pagi waktu Kakak keluar rumah, tiba-tiba ada anak anjing sedang tidur di seberang jalan, jadi Kakak bawa aja kesini.”
“Pasti dia lagi terserat.”
“Iya, itu pasti.” Lalu dia mulai memikirkan sesuatu, “Kazu, apa kamu ingin merawatnya?”
Dari dulu kami berdua memang suka anjing, tapi aku dengan kakakku berbeda. Waktu kami kecil, kami punya dua anjing dan hanya kakakku lah yang bisa diandalkan untuk merawat mereka, sedangkan aku tidak suka merawat. Tapi semenjak dia pindah ke luar kota, dia jadi sedikit kehilangan minat untuk suka dengan anjing. Jadi saat ini, pekerjaan itu dilimpahkan kepadaku untuk merawat anjing. Sekali lagi, aku tidak suka merawat anjing, aku hanya menyuka anjing, karena hal itu dapat menyita banyak waktuku yang berharga.
“...Ehm, tidak deh, lebih baik biar diadaptasi sama orang lain saja, Kak.” Aku menolaknya langsung.
“Hmmm... benar juga.” “Baiklah, akan Kakak bawa ke penangkaran anjing di dekat sini, tapi sebelumnya... kamu ajak main dia dulu, ya? Kakak mau mandi dulu nih.”
Ah... menyebalkan... Ternyata belum mandi, toh?
“Baiklah...,” aku menjawabnya dengan wajah cemberut. Jujur, aku tidak ahli dalam merawat anjing, apalagi mengajak bermain anjing sependek ini. Yang benar saja?! Aku juga tidak suka anjing pendek tahu! “Huh....”
Setelah menunggu Kakak mandi, kami pun pergi ke tempat penangkaran anjing. Kata Kakakku disekitar komplek kami ada rumah yang dijadikan tempat penangkaran khusus anjing.
Kami berjalan mengelilingi komplek sebelah, dan ternyata benar, ada rumah penangkaran anjing. Kami pun masuk ke dalam sambil aku membawa anjing pendek ini. Hmm... sepertinya tempat ini baru.
“Permisi...,” Kakakku sambil menekan bel di atas meja resepsionis.
Lalu datanglah seseorang dari dalam ruangan menghampiri kami.
“Wah, ada pe—“ tiba-tiba perkataannya terhenti.
Walah, ternyata aku kenal dengan wajah orang ini. Tak salah lagi, dia...
“Marie?! Kenapa kamu bisa ada disini??”
Dia terkejut, aku pun ikut terkejut. Tidak disangka, ternyata dunia begitu sempit.
“Ehm... i—iya... aku membantu disini, soalnya tempat ini milik bibiku,” dengan raut mukanya yang sedikit malu.
“Ooh... jadi kamu sedang membantu pekerjaan bibimu, ya?”
“Iya... benar....”
Aku langsung mengobrol soal kedatangan kami disini dan menyerahkan anjing pendek ini ke dia. Memang benar, tempat ini baru buka tiga hari yang lalu, jadi ini masih sangat baru dan belum banyak orang yang mngetahuinya. Tak lama-lama aku mengobrol dengan Marie, karena kami harus segera kembali ke rumah.
“Kalo begitu, kami pamit dulu ya.”
“...Eh, tunggu dulu!”
“Kenapa??”
“...Aku, boleh minta alamat emailmu?”
Ada apa dengannya? Dia tiba-tiba meminta alamat emailku.
“...Oh, boleh.” Lalu aku memberitahunya.
“Baik, terima kasih ya,” wajahnya tersenyum ringan.
“Iya,” aku pun membalas dengan senyum ringan juga. Dan kami berjalan kembali ke rumah.
Setiba di rumah, Kakakku penasaran dan bertanya kepadaku tentang gadis itu. “Tadi, siapa dia?”
“Dulu teman sekelasku dan juga teman-temanku waktu kelas 1.” “Tapi sekarang dia pindah di sekolah lain,” Sambil aku mengabil remot tv dan menyalakannya.
“Ooh, jadi cuman sampai kelas 1 aja bareng sama dia?”
“Iya, betul.” Aku memperhatikan acara tv yang aku tonton sambil mendengarkan pertanyaan Kakakku.
“Lumayan juga lho....”
Tiba-tiba, dia berkata seperti itu. Apa maksudnya?
“Apanya??” wajahku mengadap ke arahnya.
“Wajahnya manis dan sikapnya tadi juga sopan.”
“Ah, iya juga sih...,” lalu aku mengarahkan pandanganu ke depan layar lagi.
“Kenapa tidak coba kau dekati saja, Kazu?”
“Eh?! Tidak, tidak... aku tidak berniat untuk mendekatinya sama sekali!”
Strike! Pernyataan yang cukup mengagetkan pendengaranku. Pandangan fokusku menjadi buyar karena aku sekali lagi memandang mukanya sambil terkejut. Anime yang aku tonton jadi terlewat beberapa detik nih. Hedeh, kenapa Kakak harus bertanya seperti itu?
“Loh? Kenapa??” Mukanya penasaran.
“Aku tidak mau menodai hubungan persahabatanku, karena dulu ia adalah pacarnya sahabatku,” kembali lagi pandanganku terfokus kepada anime di depan layar tv.
“Oh... begitu....”
“Kakak mengerti, kan?” Aku jawab dengan nada rendah.
“Ya... sepertinya...,” matanya sambil melirik ke atas. “Ya sudah kalo begitu, buat teman saja.” Dia mengatakan seperti itu, seolah-olah dia tahu situasi dan kondisinya tentang mereka berdua. Rikku dengan Marie.
Ngomong-ngomong, ibu sudah kembali dari belanjanya di supermarket. Dia membawa banyak barang belanjaan kebutuhan pokok. Yah seperti biasa juga, ibuku selalu suka repot sendiri dan selalu sungkan jika dimintai bantuan oleh orang lain, termasuk aku dan juga kakakku. Sebentar lagi juga ayah akan pulang dari kantornya.
Hari siang hampir tiba, kami bertiga berada di dapur untuk membantu ibu membuatkan masakan untuk malam nanti. Karena malam ini ada kakak yang akan membuatkan makanan penutup yang spesial untuk kami sekeluarga. Di dapur ini, aku membantu mereka untuk memotong sayuran, mencuci dan sekedar membawakan barang. Tumben... aku rajin kali ini. Daripada kena omelan terus menerus dari ibuku, lebih baik aku juga ikut membantu deh, hitung-hitung menimbun kebaikan (yah, meskipun di dalam hati nangis juga sih ingin nonton anime itu).
Sambil menyiapkan masakan, ayah tiba di rumah juga. Kami sekeluarga akan membuat makanan spesial, yaitu Spageti dalam jumlah yang banyak. Semenjak keahlian kakak dalam memasak bertambah, dia juga ahli dalam membuat masakan khas Eropa dengan sangat cepat. Tanpa berpikr panjang, hanya membayangkan saja, kecepatan otaknya sudah mengimbangi The Flash[1]. Tak hanya otaknya, tangannya juga sangat cekatan dalam mengaduk semua adonan yang ada di depan matanya. Itulah pekerjaan yang dilakukan dengan kecintaan penuh dari dalam hatinya, sama saja seperti memiliki kekuatan supranatural.
Tak terasa hari sudah mulai gelap. Kami sekeluarga menikmati masak bersama dan ngobrol bersama. Suasana di dalam rumah juga tak pernah sehangat ini sejak kakak mulai kuliah di Tokyo. Hal ini sungguh-sungguh terulang kembali seperti pada waktu kami berdua masih SD.
Saat aku hendak ke kamar mandi, aku melihat jam di dapur. Oya, aku sudah janjian dengan teman-temanku untuk pergi bersama dan aku dijemput oleh Sam menggunakan mobil. Jadi, aku cepat-cepat untuk mandi dan berpamitan setelahnya.
Jam 4 sore tepat, mobil Sam pun tiba. Aku berpamitan kepada orang rumah. Aku masuk mobil dan berangkat.
Tiba di tujuan kami, yaitu mall di dekat stasiun Kyoto.
“Kenapa disini sih?” tanyaku dengan heran.
“Kan sekalian jalan-jalan, Kazu. Daripada ke toko pernak-pernik yang kamu sebutkan tadi, disini malah lebih komplit lho.” Sahut Sam.
“Yah, disana macamnya sedikit, mending sekalian aja kesini.” Sambung Makoto.
“Lagipula kita juga bisa cuci mata nih...,” Marco berjalan sambil mengamat-amati gadis-gadis yang berlewatan.
“Bagaimana denganmu, Rikku? Katanya kamu ingin beli es krim yang ada di lantai 3??” Tanya Sam dengan penasaran.
“Itu... nanti saja, aku masih bisa menahannya kok,” matanya sambil melirik ke-kanan, ke-kiri.
“Sudahlah, jangan kamu tahan-tahan, daripada nanti fokusmu sama yang lainnya, lebih baik beli sekarang aja.” Sambung Makoto.
“Ayolah jangan banyak biacara, langsung saja kita ke lantai atas, ntar keburu habis lho.” Candaku kepada Rikku.
Lalu kami semua pergi ke lantai 3 bagian foodcourt. Yang ingin dibeli Rikku adalah es krim dari Korea Selatan bernama Jeju. Cone yang berbentuk huruf J dan diisi es krim di dalamnya dan ujungnya diberi toping. Ada juga yang berbentuk huruf U dan V. Tapi populernya bentuk huruf J, namanya aja “Jeju ice cream”. Itulah yang dibeli Rikku disini.
Karena kami juga penasaran, akhirnya kami juga membeli. Aku membeli yang rasa vanila di dalamnya dengan toping luar chocolate cotton. Rasanya biasa saja sih, cuman menang uniknya. Harganya pun tak terlalu mahal. Yah, kalau diitung-itung hampir sama seperti beli es krim cone pada umumnya.
Sambil duduk, kami menghabiskan es krim dengan mengobrol santai. Sam, tiba-tiba diam sejenak memikirkan sesuatu, lalu terlintas sebuah pertanyaan. Dia mengarahkan pandangannya ke Rikku.
“Oi, Rikku.”
“Ada apa?” sambil menelan es krimnya.
“Aku mau menanyakan sesuatu kepadamu. Bagaimana hubunganmu dengan Kirei akhir-akhir ini?”
Sejenak kami semua terdiam. Wajah kami saling bertatap-tatapan satu sama lain. Tetapi suasana itu hanya berlangsng dua detik saja. Lalu kami melanjutkan memakan es krim kami dengan santai.
“Kenapa kamu tiba-tiba bertanya soal itu?” tanya Rikku dengan raut wajah yang bingung.
“Karena akhir-akhir ini kamu memang tidak berhubungan lagi dengannya, ya kan, Rikku?” Sahut Sam kembali.
“Memang tidak sih.”
“Lalu, soal kamu ingin membantu mencari orangtua nya bagaimana?” Sambung Marco.
“Aku sudah tidak berniat lagi. Lagipula, hal itu terlalu beresiko, kan?” jawab Rikku sambil menelan gigitan cone yang terakhir. “Ketika aku sedang jalan keluar menuju ke rumah, tanpa sengaja aku melihat Kirei berjalan dengan seorang laki-laki di tengah jalan. Padahal pada waktu itu pukul 10.30 malam. Mereka hendak menuju suatu tempat. Tadinya aku tidak memperdulikan hal itu, tapi ketika aku berada di depan pagar rumahku, aku penasaran. Aku coba ikuti mereka dari belakang, dan ternyata... mereka ke tempat karaoke.”
“Karaoke?? Bisa jadi mereka—“
“Sudah dipastikan mereka sedang melakukan ‘sesuatu’ di dalam tempat itu. Saat aku melihat wajah laki-laki tersebut, ternyata wajahnya jauh lebih tua dari dugaanku. Aku bisa yakinkan bahwa itu adalah om-om yang menyewa Kirei. Entah Kirei yang disewa atau justru dialah yang menyewa. Aku sempat mendengar percakapan dari mereka sebelum masuk ke tempat karaoke, aku bersembunyi di balik tiang listrik dan aku mendengar sebuah kalimat ‘berapa hargamu?’, ‘gak terlalu mahal kok’, ‘baiklah kalo begitu kamu akan aku bayar lebih’. Dan setelah mereka masuk, aku langsung pergi secepat mungkin ke rumah. Aku hampir tidak percaya akan percakapan mereka pada waktu itu.”
“Jadi sepertinya satu kebetulan bagimu, Rikku. Atau malah suatu peringatan yang sengaja diperlihatkan untukmu, bahwa jangan pernah mendekati Kirei lagi, iya kan?” Aku berkata dengan nada yakin.
“Sepertinya begitu.”
“Nah, kita sudah tahu semuanya, ya kan? Bahwa Kirei memang memiliki motif yang buruk. Sebetulnya Kirei hanya ingin memanfaatkan kebaikanmu saja, Rikku.” Aku sambung perkataanku tadi dengan lebih tegas.
“Tapi sekarang kamu sudah tidak apa-apa, Rikku. Masih ada kami yang selalu menjagamu dan meperhatikanmu.” Sambung Makoto dengan bijak.
“Terima kasih, semuanya.” “...Aku sangat berhutang pada kalian semua,” sambil memandang kami semua, wajah Rikku berubah menjadi seyuman yang penuh dengan rasa syukur.
“Tak masalah, Rikku. Kapan saja jika kau butuh bantuan, tinggal hubungi kami saja.” Makoto meresponinya dengan senyum ringan.
“Iya, benar.” Aku sambung.
“Tapi jangan hubungi Marco, dia pasti banyak bicara ketika ditelepon.” Canda Sam.
“Ha?! Dasar kau, Sam!” sambil mengenggam tangan kanannya dan mengarahkan wajahnya ke arah Sam. Tapi Sam hanya tertawa.
Beberapa waktu kemudian, kami semua turun ke lantai bawah mencari toko pernak-pernik yang sekiranya cukup murah untuk aku beli. Lalu setelah ketemu, kami pun masuk ke toko tersebut. Sambil aku melihat-lihat pernak-pernik dan barang-barang yang unik, aku memutuskan untuk kubelikan satu barang yang kakakku pernah inginkan waktu dia pulang pertama kali dari Tokyo. Untung harganya juga tak terlalu mahal, jadi pas dengan uang yang aku bawa saat ini.
“Sudah? Hanya ini saja?” Tanya Sam dengan nada sedikit meledek.
“Y—Ya iyalah, memangnya ada lagi?”
“Kamu tidak beli apa-apa?”
“Tidak, kali ini uangku terbatas hanya untuk membelikan ini.”
“Oh....”
Ketika aku berjalan hendak keluar, dengan cepat pundakku di tepuk oleh Sam dan ia memberikan uang kertas kepadaku.
“Ini buatmu, Kazu.”
Loh?! Kok aku diberi uang? Sebesar ini?!
“B—Buat apa, Sam?!”
“Sudah terima saja,” sambil menjulurkan tangannya yang memegang uang kertas sebesar ¥2000.
“G—G—Gak usah kali, Sam.” Ucapanku jadi gagap.
“Sudah... terima saja!”
Yah, kok jadi maksa gini... ya sudahlah, aku terima saja, daripada dilihat sama yang lain.
“B—B—Baiklah... tapi, kenapa?”
“Hah, masih bertanya lagi. Aku lihat dari raut wajahmu, kau ingin membeli sesuatu kan di toko ini?”
Hmmm... Hmmm... Apa jadi Sam mengamati wajahku terus ya selama di toko ini? Ah sudahlah... dalam hal ini aku juga lemah. Aku tidak bisa menolak pemberian dari orang lain, apalagi dari sahabatku sendiri ini. Dalam hati... seneng juga (kenapa gak dari dulu aja ya aku dikasi uang sama Sam? Hahaha).
Sebenarnya ada dompet yang dari tadi aku lirik terus, cuman dompet yang aku pakai ini juga masih bagus. Bingung juga, ini uang mau dipakai sekarang atau aku simpan dulu ya? Kalau aku simpan, nanti Sam tahu, kalo aku belikan buat dompet itu, dikira boros lagi.
Baiklah... aku putuskan untuk aku simpan dulu aja, siapa tahu di toko lain ada barang yang lebih bagus dari sini. Yang terutama aku sudah membelikan barang ini untuk kakak.
[1] Salah satu karakter Justice League dari komik DC Amerika yang memiliki kecepatan kilat
0 notes
jeremykazuma · 8 years ago
Text
Janji yang Berharga - Onaji Sora no Shita De: Kichou na Yakusoku 「同じ空の下で: 貴重な約束」
(Ini adalah Side Story dari “Dibawah Langit yang Sama: Janji yang Berharga” yang menceritakan kisah tentang Kenzo Ono dengan Kirisaki Yukari)
Awalnya, dia memang tidak percaya akan hal-hal berbau percintaan. Pesimis dan tidak peduli. Angkuh, congkak, sombong, suka ngatur yang lainnya. Kadang nipu, kadang berbaik hati. Pikirannya tak pernah bisa ditebak, hatinya apalagi. Akan tetapi semuanya berubah, semenjak dia duduk di bangku SMP.
Sudah 2 tahun lebih, ia memiliki seorang sahabat. Sahabat yang selalu menemaninya. Di kala susah, di kala senang, di kala sedih, di kala bahagia, di kala marah-marah, di kala disayang, di kala dilempar panci, di kala diberi pujian. Semuanya sudah dia alami semasa SMP. Momen seperti itu seharusnya takkan pernah terlupakan. Ya... benar...
Dialah Kenzo Ono, dari keluarga Ono. Anak pertama dari dua bersaudara. Ia ditumbuh besarkan oleh keluarga yang cukup mapan. Memiliki rumah yang cukup besar, mobil cukup mewah, dan... keluarga yang cukup perhatian. Ya... semuanya serba cukup. Tapi, hidupnya tidaklah secukup itu.
Keahliannya dalam memasak sudah diakui oleh masyarakat satu kelas, bahkan hampir seluruh sekolahan mengenalnya. Sejak kelas 1, ia benar-benar sudah jago masak, mulai memasak nasi goreng, mie goreng, ramen hingga sekarang sampai memasak masakan Eropa. Masakan Itali ia pelajari, masakan Perancis ia pelajari, masakan Inggris ia pelajari, masakan Belanda ia pelajari, masakan Yunani ia pelajari, hampir seluruh negara di Eropa ia kuasai. Memangnya, dapat dari mana pelajaran itu semua?? Aku benar-benar penasaran...
“Ei, Kenzo-kun, emangya semua pelajaran masak tentang Eropa kamu dapat dari mana??”
“Dari buku dong, kan sekarang udah banyak buku-buku tentang masakan Eropa. Jaman sekarang tu sudah bukannya pergi ke luar negeri hanya untuk belajar memasak, lewat buku saja aku sudah bisa menguasai semuanya. Lumayan... ngirit uang.”
“Ehmm... bener juga sih... tapi kan, kalo ke negerinya langsung bisa dapet mentor dan koki-koki yang ahli. Mereka bisa mengajarkan secara langsung, iya kan??”
“Yah, kau benar juga, tapi bagiku itu hanya buang-buang waktu. Aku juga belum tentu bisa kembali tiap tahun ke negara ini. Karena disana pasti tempat tinggalnya di sanitarium akademi.”
“Jadi, agak sedikit tidak leluasa,ya?”
“Bukan itu sih masalah pokoknya. Semuanya harus serba ngirit.”
“Hedeh... kenapa ujung-ujungnya selalu uang.”
“Ya jelas lah, semua demi masa depan, jika aku pengeluaranku lebih daripada pemasukanku, maka semuanya akan kacau.”
“Hei, hei, tapi kita kan belum kerja.”
“Setidaknya aku sudah memiliki prinsip ini.”
“Yah... terserah deh...” “Eh, guru sudah masuk nih.”
Mereka siap untuk memulai pelajaran memasaknya.
***
Sedikit cerita tentang keluarga Kirisaki Yukari.
Kirisaki adalah seorang gadis dari empat bersaudara, dia adalah anak ketiga. Kakaknya pertama bernama Alonso Alfredo, dia seorang pria yang sudah memiliki keluarga. Kakak kedua bernama Yokohama Alfredo, dia juga seorang pria dan saat ini sedang menjalani kuliah akhirnya. Kirisaki Yukari anak ketiga, seorang perempuan yang dulunya pada masa kecilnya, dia suka manja dan suka mencari perhatian dari kakak-kakaknya laki-laki. Yang terakhir adiknya bernama Fransisca Yukari, dia juga menimba ilmu dari kakaknya perempuan. Tingkah lakunya hampir sama yang selalu manja dan mencari-cari perhatian. Tapi itu semua pada masa kecilnya. Untuk sekarang, Kirisaki dan adiknya sudah berubah.
Keempat saudara ini semuanya blasteran[1], ayahnya dari Belanda dan ibunya dari Jepang. Ibunya sendiri juga blasteran, keturunan dari Jepang dengan Indonesia. Kenapa bisa begitu? Kalo diceritakan jadi tambah panjang deh. Lebih baik tidak usah.
Kembali lagi ke Kirisaki.
Dia sudah bersahabat dengan Kenzo sejak kelas 1 SMP. Dari dulu, mereka sudah kenal akrab satu dengan yang lainnya. Tak hanya itu, Kenzo juga memiliki banyak teman, semua gara-gara dia ahli memasak. Fans-nya juga banyak, bahkan puluhan. Tak heran jika di dalam kelasnya selalu menjadi pusat perhatian. Kirisaki juga sama. Dia juga memiliki banyak teman, terutama teman perempuan.
Kirisaki juga seorang gadis yang ahli dalam hal olahraga, terutama lari panjang. Sebagai seorang gadis, dia memang memiliki pernafasan yang panjang. Makanya, dia selalu juara baik solo maupun per tim. Untuk renang dia juga ahli. Dalam perlombaan sekolah, dia juga sering mengikuti perlombaan. Berbagai jenis perlombaan renang dia bisa megatasinya, tapi... pada suatu saat, dia mengalami cedera. Saking semangatnya, kepalanya membentur tembok kolam renang. Akhirnya, dia pensiun dari lomba renang dikarenakan dia trauma dengan hal itu. Untuk sekarang, dia hanya mengikuti pelajaran renang saja.
Dan, karena dia punya sahabat yang namanya Kenzo... dia pun ikut-ikutan untuk belajar memasak. Tiap pelajaran memasak, Kirisaki selalu meminta bantuan kepada Kenzo untuk mengajarinya banyak hal soal masak. Tak jarang juga, Kenzo bisa marah dengan Kirisaki, entah menjatuhkan mangkok lah, entah menumpahkan susu, entah masakannya gosong, entah telur pecah, entah adonannya kacau, dan lain sebagainya. Tetapi dari semua kejadian itu, Kirisaki memiliki banyak pengalaman dalam memasak. Dia sangat beruntung punya sahabat yang ‘berusus’ panjang untuk mengajari dirinya yang seringkali salah.
Nah, hari ini adalah hari Valentine! Hari dimana para pria suka bersiap-siap dan bersolek dengan lama agar dapat (banyak) coklat dari pada gadis. Para murid pria di kelas selalu mencitrakan pencitraan yang sangat baik hanya demi mendapatkan coklat dari seorang gadis, apalagi gadis yang mereka sukai. Bagaimana dengan si Kenzo?
“Eh, Kenzo-kun, kau berharap mendapatkan coklat dari seorang gadis, tidak??”
Yang bertanya ini namanya Gilbert de Blanc, dia keturunan orang Perancis, yang suka makan coklat dan suka berisik.
“Memangnya kenapa?”
“Ya ampun... kenapa tanggapanmu begitu??”
“Memangnya penting banget, yah?” Kenzo jawab dengan muka datar.
“Asatagahhh... Kenzo-kun, kau benar tidak punya harapan di hari yang spesial ini. Apa sih yang ada dipikiranmu?”
“Hmmm... apa ya... biarkan aku berpikir sejenak...,” matanya sambil melihat ke atas.
“Ya ampun... kau ini, memangnya sedang berpi—“
“AAA!!! Aku dapat ide bagus!!!” Tiba-tiba Kenzo menjadi semangat.
“APA’AN?!” Gilbert kaget.
“Aku akan membuat Eclair[2] ala Perancis!!!”
“Ya ampun... soal masak lagiii...,” sambil menutup mukanya.
***
Saat istirahat tiba, Kenzo beserta ajudannya (maksudnya Gilbert) menuju ke ruang masak. Kenzo memulai percobaannya untuk membuat coklat ``` ala Paris itu, sedangkan Gilbert sebagai asistennya. Kenzo mulai mengumpulkan semua bahan yang ada di ruang itu, menatanya, meraciknya, dan menakarnya dengan teliti. Resep mana yang Kenzo lihat? Yap, dia cuman menggambar contoh gambar dengan pensil yang dijadikan sebagai refernsi. Jadi... tidak ada buku resep apapun, hanya melalui imajinasinya yang dia dapat dari televisi.
“Kau, menggambar Eclair ini sebagai refrensi??”
“Iya, betul.”
“Kenapa kau tidak pinjam saja buku resep di perpustakaan???”
“Buang-buang waktu.”
“Tapi! Darimana kau mendapatkan bayangan ini???”
“Dari acara televisi.”
“Huh... Ya ampun... kau ini selalu saja begini.”
Kenzo tetap mengaduk-aduk adonannya dengan tenang meski temannya dari tadi berisik.
Dengan ketangkasan tangannya, adonan tercampur dengan baik. Dia juga mempersiapkan bahan-bahan dengan cepat. Sambil menunggu roti itu di oven, Kenzo membayangkan desain hiasan apa yang akan dipakainya.
~tinggg~
Suara bel oven terdengar, menandakan rotinya sudah matang, tinggal dilapisi dengan coklat dan dihias.
“Taraaa! 3 Eclair siap dimakan.”
“Ha? Dimakan langsung?? Apa sebaiknya, kita coba berikan pada orang lain?”
“Kalo tidak dimakan tidak bisa tau rasanya seperti apa.”
“Baiklah, biarkan aku memakan yang kotak itu.”
Di piring itu ada 3 Eclair yang berbeda-beda bentuk. Yang pertama berbentuk lonjong berlapis coklat dengan hiasan dari vanila, yang kedua berbentuk kotak berlapis coklat dengan hiasan dari vanila juga, yang ketiga berbentuk angsa dengan lapisan coklat diatas, dan yang paling spesial adalah yang berbentuk angsa, sayang kalau dimakan.
“Aku coba, ya?” Gilbert memotong Eclair tersebut sambil membuka mulutnya.
~nomnomnom~ Gilbert mengunyah potongan itu, ~gleekkk~ ia menelannya.
“WAAHHH!!! ENAKNYAAA!!! Beruntung sekali aku bisa berada disini dengan Kenzo-kun...,” wajahnya berbunga-bunga, matanya berbinar-binar, air liurnya keluar, sambil tangannya memeluk sendok itu di samping pipi kirinya.
Gilbert berasa mabuk Eclair coklat vanila yang dibuat oleh Kenzo-kun. Dia melirik Eclair yang lainnya dan tangannya hendak menggapai Eclair angsa.
~plakkk!~ tangan Gilbert disampar Kenzo seketika.
“Apa yang kau lakukan, Gilbert?”
“E—E—Eeeeee... m—ma—maaf, a—a—aku ke—ketagihan...,” Gilbert langsung takut dan terdiam diri dengan gemetar.
“Dasar kau, selalu makaaannn melulu.” “Ini akan aku berikan kepada orang lain,” sambil membawa piring Eclair untuk diamankan dari Gilbert.
Kenzo mencoba mencari sebuah wadah untuk Eclair tersebut bisa dibungkus dengan tertutup. Ia mencari-cari dari lemari ke lemari, dari rak satu ke rak lainnya.
���Dimana ya pembungkunya...,” Kenzo mencari-cari dengan gelisah.
“Oi, Kenzo-kun, aku menemukannya,” Gilbert sambil membuka lemari di atas wastafel.
“Oooh, itu dia!” mata Kenzo berkaca-kaca.
Dengan cepat Kenzo menuju lemari itu dan mengambil pembungkus roti.
“Oi oi Kenzo-kun, setidaknya kau berterima kasih denganku, dong,” bibirnya cemberut.
“Terima kasihmu akan aku balas setelah ini,” dengan ekspresi datar sambil mengangkat jempol kepada Gilbert.
“Eh?! Ya ampunnn... ekspresimu...,” wajah Gilbert memucat.
Kenzo pun langsung membungkus roti itu dengan hati-hati dan cepat. Pas sekali, pembungkus yang dipakai adalah pembungkus karton untuk roti dan kue, jadi ukurannya pas, tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar.
“Nah, sudah beres!” Pembungkus-pembungkus itu tampak bercahaya.
Sambil Gilbert turun dari kursi, ia bertanya, “Eclair ini akan kamu berikan kepada siapa?”
“...” Kenzo diam saja.
“Oooh aku tau, jangan-jangan....”
“YOSH! Akan aku taruh di lemari es dulu!”
“HEEEEE?!”
Lalu roti itu di taruh di dalam lemari es supaya dingin.
“HAH! Aku kira kamu akan memberikannya langsung.”
“Sebaiknya Eclair itu dalam keadaan dingin, supaya sus yang di dalamnya tidak terlalu cair.”
“Oooh...,” Gilbert melongo.
***
Pulang sekolah pun tiba. Kenzo beserta ajudannya mulai beres-beres buku mereka. Lalu mereka segera berjalan keluar kelas.
“Kenzo-kun....”
“Kirisaki? Ada apa?”
Tiba-tiba dia memberikan bingkisan kepada Kenzo.
“Ini buat kamu.”
Kenzo melihat dengan sedikit heran.
“O—Oh... terima kasih.”
Kirisaki tersenyum dengan manisnya.
“WAAA... Kirisaki-san kalo tersenyum imut bangeeettt,” Gilbert berkata dalam hati serta dengan ekspresi terenyuh.
“Ei ei Kenzo-kun, aku jadi iri deh...,” sambil tangannya menarik-narik centil lengan seragam Kenzo.
“Jadi kalo begitu, kita pulang bareng yuk!” Kirisaki megajak mereka (eh lebih tepatnya mengajak Kenzo pulang).
“Baik.”
Kirisaki dan Kenzo serta ajudannya berjalan menuju keluar sekolah. Mereka berjalan bersama-sama menuju ke persimpangan jalan.
“Oya, Kenzo-kun.”
“Ada apa?”
“Hari ini aku boleh ya main ke rumahmu lagi?”
“Lagi? Bukannya minggu lalu kamu sudah ke rumahku, ya?”
“Ehmmm, iya sih...,” jari telunjuknya sambil ditaruh di bibirnya dan matanya melirik ke langit. “Habis rumahmu enak buat main sih..,” dia tersenyum.
“Emmm... baiklah....” Kenzo pasrah.
Sesampai di rumah, mereka masuk seperti biasa. Ibu menyambut dengan ramah seperti biasa.
“Ooo... Kirisaki-chan.” “Loh, ada Gilbert juga? Tumben?”
“Iya, dia habis kutemukan di tengah jalan.” Kenzo bercanda.
“EH?! Kenzo-kun... kau...,” wajah Gilbert cemberut gemas.
Dan Ibu tertawa lepas.
“Ayo, silahkan masuk.” Ibu membawa mereka ke ruang tengah.
Di ruang tengah, mereka disajikan teh hangat oleh Ibu.
“Silahkan dinikmati...,” Ibu sambil menaruh teh nya.
“Terima kasih, Tante.” Kirisaki dan Gilbert membalasnya.
Lalu Ibu meninggalkan mereka bertiga saja.
“Eh, Kirisaki, kamu tidak membantu nenekmu hari ini?” Tanya Kenzo.
“Hari ini nenek ku sedang pergi kok, tadi pagi dia bilang mau pergi ke rumah temannya.”
“Ooo... nenek mu suka pergi-pergi juga, ya?”
“Tidak... hanya untuk hari ini saja, dia mau menjenguk teman lamanya.”
“Emangya tidak kamu antar, Kirisaki-san?” Tanya Gilbert.
“Tidak, rumahnya dekat, kok.” “Oya, coklat pemberianku tadi mana, Kenzo-kun?” Kirisaki penasaran.
“Oh, iya, masih ada di tas.” Lalu Kenzo mengambil coklat itu di dalam tasnya. Tetapi dia jadi teringat akan suatu hal.
Ketika melihat bingkisan coklat dari Kirisaki, dia ingat... bahwa ada coklat di dalam lemari es ruang masak sekolah. Tidak! Aku lupa! Eclairnya masih ada di dalam lemari es sekolah!!
Eclair yang sudah dibuat tadi siang, lupa dibawa! Bagaimana ini?!
Kenzo kebingungan.
Sambil mengeluarkan bingkisan coklat pemberian dari Kirisaki, Kenzo mencoba untuk menenangkan diri, dan dia duduk kembali.
“Kenapa kamu?” Tanya Kirisaki sedikit heran.
“Tidak apa-apa.” Kenzo menjawab dengan tenang. “Aku makan ya coklatnya?” sambil mukanya mengarah ke Kirisaki.
“Iya, makanlah,” Kirisaki tersenyum.
Kenzo mulai membuka bingkisan itu dengan perlahan. Di dalamnya adalah bola-bola coklat yang sepertinya enak untuk dimakan. Lalu Kenzo membuka mulutnya lebar, dan mengunyahnya.
“Hmmm... enak juga, ini buatanmu?” sambil mengunyah, dia bertanya kepada Kirisaki.
Kirisaki tertawa pelan, “Hehehe, tidak, itu beli,” mukanya menjadi malu.
“Eum eum, tapi enak, kok.”
Ekpspresi Kirisaki terlihat lega. Tidak sia-sia dia memberikan ke Kenzo.
“Tapi... apa kamu tidak membuat coklat, Kenzo-kun?”
Kenzo berhenti mengunyah seketika, “Uh, anu... aku akan membuatnya juga,” sambil jari telunjuknya terangkat. Lalu menelan coklatnya.
“Oooh... baguslah kalo begitu...,” Kirisaki tersenyum lagi.
“Oi, Kenzo-kun, aku coba satu dong...,” telunjuk kanan Gilbert diangkat.
“Tidak boleh,” Kenzo memegang bola coklat tersebut.
“Uhhh... jahatnya...,” wajah Gilbert kecewa, seperti habis disuntik racun.
“Kenzo-kun, tolong beri dia satu dong, kasihan lho... tuh lihat wajahnya... seperti anak ayam yang tak pernah dikasi makan sama ibunya.” Dengan tepat Kirisaki bercanda.
“Loh?!” Gilbert terpaku.
“Nih nih nih, aku kasih makan,” Kenzo sambil melemparkan bola coklat itu ke mulutnya. Dan untungnya tepat sasaran.
Sambil mengunyah, Gilbert menangis terharu, “Ah... dasar kau Kenzo-kun...,” menangis terharu (lebih tepatnya, memalukan).
~glekkk~
“Uhhh ENAKNYAAA!!!” tiba-tiba Gilbert berteriak.
“Ini hanya coklat biasa, Gilbert-san,” wajah Kirisaki langsung malu saat memandangi Gilbert menjadi lebay seperti itu.
“Kau itu menyedihkan. Tidak pernah makan bola-bola coklat, ya?” dengan nada datar, matanya ditutup sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.
“Kapan-kapan aku juga dikasi dong, Kirisaki-san??” Dia berharap.
“Tidak!” Singkat, jelas, padat.
“OOORRRGH!!!” Dia tertusuk oleh kata Kirisaki.
Kasihan sekali Gilbert. Dia hanya bisa duduk terdiam, sampai dia menangis dengan air mata palsunya. Meskipun di buli hampir tiap hari, namun sebenarnya Gilbert adalah orang yang suka menolong dan setia.
Sudah berjam-jam Kirisaki dan Gilbert main di rumah Kenzo. Saatnya mereka untuk pamit pulang.
“Sampai jumpa di sekolah lagi, ya?” Kirisaki berpamitan dengan gembira kepada Kenzo.
Tapi Gilbert masih terlihat lesu.
“Oi, Gilbert, jika kau tidak sadar, kau takkan bisa pulang.” Kenzo mengatakannya.
“Kenapa kau mengatakan seperti itu, Kenzo-kun?” kepalanya tertunduk lesu, seirama dengan nadanya.
“Hedeh... ya sudah. Eh, Kirisaki-chan, tolong jaga dia saat perjalanan pulang, ya?”
“Siap, Kenzo-kun,” tangannya sambil hormat. “Kalo begitu, kami pulang, ya!”
“Baik, hati-hati.”
“Aku pulang dulu, Kenzo-kun.” Nadanya masih tampak lesu campur lemas.
“Iya.” Kenzo menanggapinya dengan datar.
Setelah semuanya pulang dan menutup pintu, Kenzo jadi teringat sesuatu hal lagi.
“Oya! Eclairnya!!” Dia jadi panik.
“Ahhh tidakkk... kalo kelamaan di lemari es, lama-lama bisa beku nih! Bagaimana ini?!” Dia masih kebingungan.
Tapi, dia menghelas nafas panjang. “Sebelum pelajaran dimulai, aku akan megambilnya duluan!” Kenzo menjadi memiliki secercah keyakinan.
Hari penyelamatan pun dimulai. Kenzo bangun pagi-pagi, mandi dan bergegas untuk segera berangkat ke sekolah. Ibu dan Ayah sampai heran melihat Kenzo terburu-buru berpamitan. Kenzo berlari menuju ke sekolah.
Tiba saatnya di sekolah, ia langsung menuju ruang memasak. Ia masuk, lalu membuka lemari es. “WAH! Ternyata masih ada!!” dia terlihat bahagia.
Raut mukanya berseri-seri setelah melihat Eclairnya masih ada terbungkus rapi, lalu dia membukanya. “Yosh! Masih utuh!”
Setelah mendapatkan Eclairnya dengan selamat, Kenzo menuju ke kelas untuk menunggu semua murid masuk kelas. Tapi dia menantikannya dengan bosan.
“Wuaaahhh,” Kenzo menguap. “Jadi ngantuk lagi deh. Aku tidur bentar, ah.” Kenzo tidur sebentar di atas mejanya.
Waktu demi waktu pun berjalan, Kenzo tak sadar jika jam pelajaran hampir dimulai.
“Hei, Kenzo-kun, bangunlah!” Kirisaki berkata sambil menunjuk-nunjuk pipi Kenzo.
“Hmmm... siapa sih...,” Kenzo mulai membuka matanya pelan-pelan.
“Ayo bangun... jam pertama hampir dimulai loh....”
Di depan Kenzo juga ada Gilbert yang sedang mengamatinya untuk bangun.
“Ayo Kenzo-kun! Cepat bangunlah....” Gilbert juga berkata.
“Baiklah baiklah...,” Kenzo bangun sambil memandang mereka dengan mengantuk.
“Eh, sebaiknya kau cuci mukamu dulu.” Kirisaki menyarankan.
“Emh....” Lalu Kenzo melihat di atas mejanya. Sepertinya ada sesuatu yang hilang. “Loh? Dimana Eclairnya??” Kenzo heran.
“Kau sedang mencari sesuatu, kan?” Tanya Gilbert.
“Gilbert, kau menyembunyikannya, ya kan?” Kenzo menuduh dia.
“Tidak, tanya saja kepada dia,” Gilbert menunjuk Kirisaki.
“...Kau mencari dua bingkisan itu, kan?” Kirisaki memandang Kenzo dengan serius. “Aku sudah memakannya, kok,” dia main mata.
“...” Kenzo terdiam sebentar. “A—Apa?? Kau sudah memakannya???” Kenzo menjadi kaget.
“Iya, benar... Gilbert yang bilang kepadaku, kalo bingkisan itu adalah untukku,” wajahnya tersenyum manis. “Terima kasih, ya... apalagi yang bentuknya angsa, lucunya...,” kedua tangannya dikepalkan di dadanya.
Raut wajah Kenzo memerah seperti memakai blush-on setebal 5 cm. Dia menjadi terlihat gelisah di hadapan Kirisaki.
“O—Oohh... me—memang benar....” Lalu wajah Kenzo berpaling ke Gilbert, “Kenapa kau lakukan itu, Gilbert??”
Gilbert juga jadi gugup, “Ehhh?! Habisnya... kau tidak mau mengakuinya sih, ketika aku bertanya padamu waktu itu. Jadi, aku berikan saja pada Kirisaki-san,” dia tersenyum gugup campur takut.
“Emph... ya sudahlah... tak masalah,” kedua tangan Kenzo dia taruh di belakang kepalanya sambil melirik ke arah lain.
“Lain kali jika kamu ingin memberi sesuatu, jangan terlambat, ya?” badan Kirisaki mencondong ke depan tepat ke arah Kenzo, dan wajah Kenzo terlihat memerah lagi. Kali ini seperti panci panas.
Kirisaki yang selalu tersenyum saat bertatapan dengan Kenzo, hal itulah yang membuatnya selalu merasa tenang dan ceria. Kenzo pun juga suka memperlihatkan kegugupannya dan kecanggungannya di hadapan Kirisaki. Dan mereka berdua memang benar-benar sangat akrab dan tali persahabatan mereka takkan pernah putus.
“Sudah ya, aku masuk dulu. Sampai ketemu lagi, Kenzo-kun.” Selalu dia tanggapi degan senyuman manisnya.
“Yah... dia sudah masuk...,” sedih Gilbert sambil mukanya menunjukan ketidak berdayaan.
Kenzo, juga ikut tersenyum lega.
***
Musim panas pun sudah tiba. Hari libur pun juga tiba. Tibalah saatnya untuk darmawisata. Sebelum kelulusan kelas 3 SMP, semua murid diwajibkan untuk ikut darmawisata selama 3 hari 2 malam di hutan pariwisata. Lokasinya cukup jauh untuk ditempuh, terutama saat menuju jalan ke penginapan. Para murid diharapkan untuk menjaga satu sama lainnya dan berjalan pelan-pelan saja, agar tidak kehabisan tenaga. Namun berkat adanya jalan setapak, mereka semua bisa terbantu untuk naik menuju lokasi penginapan.
Di tengah perjalanan, Kenzo, Kirisaki dan juga Gilbert berjalan bersama-sama sambil menikmati segarnya udara di tengah hutan. Meskipun cuaca sedang panas terik, namun berkat tertutupnya dengan pepohonan, udara disekitar jadi terasa sangat sejuk. Gilbert yang berada di posisi depan, sedangkan Kenzo dengan Kirisaki berada di belakangnya. Perjalanan demi perjalanan, mereka nikmati bersama. Sampai pada satu area lokasi yang sangat indah untuk dipandang, mereka berhenti melihat pemandangan itu.
“Hei, lihatlah, Kenzo-kun... INDAHNYAAA...,” mata Kirisaki bersinar-sinar kagum melihat pemandangan yang menabjubkan itu.
Disana tampak sebuah panorama perkotaan yang terlihat jauh, dengan pemandangan hijau terbentang di bawah garis cakrawala, dan sebuah gunung besar di belakangnya. Langitnya biru bersih dengan awan yang sedikit, cahaya sinar matahari menerangi kota dan rerumputan hijau yang ada dibawahnya. Sungguh pemandangan yang menabjubkan.
“Jarang sekali kita melihat pemandangan seperti ini.” Kenzo menuturkan dengan wajah damai.
“Iya... terakhir aku lihat pemandangan seperti ini sewaktu aku masih kelas 1 SD. Jadi teringat masa lalu.”
“Aku juga... terakhir aku bersama dengan keluargaku melihat seperti ini waktu adikku masih kecil, aku jadi tak ingat kelas berapa.”
“Tapi sekarang, kita bisa melihat seperti ini lagi ya kan, Kenzo-kun,” Kirisaki sambil melihat ke arahnya.
“Kau benar,” Kenzo juga melihat ke Kirisaki.
“Anu... maaf Kenzo-kun, Kirisaki-san... tunggu aku ya... aku mau pipis dulu nih....” Setelah menaruh tas nya, Gilbert berlari untuk mencari tempat tertutup untuk pipis.
Sepertinya Kenzo dan Kirisaki tak mendengarnya, karena angin disitu benar-benar kencang, sampai-sampai suara Gilbert tak terdengar dengan jelas.
“E—Ehmm... Anu... Kenzo-kun...,” wajah Kirisaki tampak malu, tiba-tiba dia menjadi gugup sambil menggenggam tangannya di belakangnya.
“Hmm? Ada apa?” Kenzo penasaran.
“A—Anu... Kenzo-kun....”
Kenzo sambil melihat gerak tubuh Kirisaki yang aneh dengan penasaran.
Kirisaki sepertinya juga sedang memikirkan sesuatu yang teramat penting untuk dibicarakan kepada Kenzo. Dengan mengumpulkan keberaniannya, Kirisaki mendekatkan dirinya kepada Kenzo dan menatap wajahnya.
“Bisakah kamu berjanji?” “...Untuk kita akan datang kesini lagi?” sambil menatap Kenzo yang sedikit kaget.
Kenzo menjadi gugup dan bingung harus menjawab apa, “E—Eh—Ehm... b—baiklah...,” wajahnya tampak memerah seperti biasanya.
“Janji ya...,” Kirisaki sambil menunjukkan jari kelingkingnya.
“Y—Ya...,” Kenzo pun mengikat jari kelingkingnya bersama dengan Kirisaki. Sekali lagi, wajah Kirisaki tersenyum manis bahagia.
Dengan angin berhembus kencang, berdiri dihadapan panorama yang indah, mereka berdua, mengikat sebuah perjanjian.
Tanpa Gilbert menjadi saksi mata, mereka berdua sudah membuat sebuah janji yang sangat berharga bagi Kenzo dan juga terutama, bagi Kirisaki. Lalu mereka, beserta Gilbert, melanjutkan perjalanan mereka sampai ke lokasi.
***
“Yaaa... itulah ceritanya.” Kenzo berkata.
“Jadi, foto itu dari guru Kakak, ya?”
“Yah, iya... guru wali kelas ku memang suka iseng kalo lagi ada orang berduaan.”
“Oooh....” “Tapi... aku masih belum paham.”
“Heh... apanya??”
“Soal Kakak berkata, jika Kakak mencari seorang pacar, maka hal itu dapat melemahkan kemampuan Kakak.”
“...Oh, untuk itu....” “Sebenarnya, Kakak juga masih belum tau jawabannya. Kakak hanya tidak ingin jika fokus Kakak pecah gara-gara memikirkan seorang gadis, apalagi pacar. Yang bisa Kakak lakukan saat ini adalah fokus mengembangkan usaha Kakak, dan jikalau sudah sukses besar, maka baru Kakak memikirkan seorang gadis.”
“Tapi... bukannya itu terlalu egois, Kak?”
Kenzo agak tercengang mendengar balasan dari adiknya. “Maksudmu??”
“Bagaimana jika waktu yang seharusnya datang, tidak pernah datang?”
Kenzo masih belum mengerti dengan ucaopannya.
“Bagaimana jika janji itu Kakak langgar?”
“Untuk hal itu, tidak mungkin Kakak langgar.” “...Karena Kakak sudah berjanji dengannya, bukan?”
“Aku harap, aku bisa memegang perkataan Kakak barusan. Tentang Kirisaki-san, dia sebenarnya suka kepadamu, Kak.”
Kenzo melihat ke arah jendela, memandang langit malam yang penuh dengan bintang-bintang.
“Aku sudah tau itu... dan itulah yang Kakak pikirkan sampai hari ini. Jika dia mengungkapkan perasaanya ketika kami bertemu lagi... aku tidak tau, aku harus membalas apa. Tapi... jika aku menolaknya, maka....”
“Hadapi saja, Kak! Untuk urusan dia mengungkapkan perasaannya atau tidak, yang terpenting, Kakak harus datang menemui dia dulu. Jika tidak... perasaannya akan jatuh ke tempat yang tidak bisa ia raih kembali, kepercayaannya akan terluka menunggu sebuah janji yang tak pernah ditepati.” Aku menghela nafas sebentar. “...Karena dia juga seorang gadis, sama seperti Fransisca. Siapapun yang sudah membuat janji, ia harus menepatinya, apalagi dengan sahabatnya.”
Kenzo kaget mendengar adiknya yang baru pertama kali berkata-kata seperti itu.
“Baiklah... aku mengerti sekarang.” “...Aku akan datang ke tempat itu lagi.”
* * f i n * *
[1] Keturunan campuran dari bangsa/negara lain
[2] Adalah kue/roti lonjong yang diisi oleh pastry cream/vla/whipped cream. Bahannya dari mentega, telur, tepung terigu, sedikit garam dan air, lalu diatasnya diberi lapisan coklat yang manis.
0 notes
jeremykazuma · 8 years ago
Text
Persahabatan yang Mulia - Onaji Sora no Shita De: Kichou na Yujou 「同じ空の下で: 貴重な友情」
(Ini adalah Side Story dari “Dibawah Langit yang Sama: Persahabatan yang Mulia” yang menceritakan kisah tentang Kazunari Ono dengan Fransisca Yukari) Bagian 2
Hari esoknya...
“Kazu-san! Ayo cepat keluar!” Teriak Marco.
“Kenapa?”
“Ehhh... ini kan jam istirahat!”
“Aku sedang tidak ingin keluar.” Aku melanjutkan untuk tidur di kelas.
“Ayo... kita makan bareng di kantin...,” Marco sambil menggoyang-goyangkan badanku.
“Sudahlah Marco, cukup! Aku mau tidur siang!”
“Walah, kenapa kamu jadi murung begini???”
Aku memang benar-benar tidak ingin diganggu hari ini. Pikiranku lagi kacau, mataku sangat berat, aku harus tidur siang!
“Kazu....” Samuru bicara dengan nada yang berat. “Apa kau sedang bertengkar dengan Fransisca?”
“Kenapa kau tanyakan hal itu?”
“Tadi pagi kami bertemu dengannya. Aku coba tanyakan tentangmu kepadanya, tapi jawabannya agak aneh dan sedikit tidak enak didengar. Jadi benar kan kalian sedang bertengkar?” Samuru bertanya dengan serius.
“Ini bukanlah hal yang besar.”
“Kalau kau menganggap remeh hal ini, maka... sesuatu yang lebih besar akan terjadi, dan bahkan lebih buruk, Kazu.”
Aku bangun dan menegakkan kepalaku. “Sesuatu yang besar seperti apa? Memangnya kau tau apa??” Aku sedikit emosi.
Marco tiba-tiba mundur ke samping Samuru.
“Bukankah kalian sudah bersahabat sejak SD, kan? Jadi... aku tidak tega jika kami melihat kalian seperti ini. Sebaiknya, selesaikan masalah ini dengan segera.”
“Untuk sekarang, aku belum tau apa yang harus kuperbuat.” “Kalian sebaiknya tidak ikut campur.”
“HAH?! AP—AP—“
Tangan Samuru diletakkan ke dada Marco dengan cepat, karena emosi Marco meningkat.
“Biarkan kami bantu, Kazu-kun!” Samuru menegaskan.
“Hmmph, bantu bagaimana? Kalo tetap dibantu pun, belum tentu hasilnya menjadi tambah baik, bukan?”
“Iya itu benar, tapi setidaknya kami semua akan membantumu. Membantu teman kami yang sedang kesusahan.”
“...” Aku terdiam. “Lalu... apa yang harus aku lakukan sekarang?”
“Pertama, kau harus meminta maaf kepada Katsuragi-san.”
Aku kaget, “APA?? Kenapa kau berkata seperti itu?? Sejak kapan kau tau aku sedang dekat dengannya???”
“Sahabat apa yang tidak mengetahui apa yang disukai sahabatnya sendiri?? Tingkah lakumu dengan Katsuragi-san sudah jelas kelihatan. Aku dan Marco sudah mengetahui hal ini dari awal, bahwa kau menyukainya.”
“TAPI??? Aku harus meminta maaf bagaimana??? Bukankah akan tampak kelihatan bodoh jika aku meminta maaf kepadanya?? Terus... apa salahku??” Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku maafkan dari dirinya.
“Meminta maaf bukan berarti tidak harus salah, dan meminta maaf bukan berarti terlihat bodoh. Justru meminta maaf adalah bukti dari keberanianmu untuk mengakui kelemahanmu!” Samuru berkata sangat tegas kepadaku.
Aku tercengang mendengar perkataannya. Untuk kedua kalinya Samuru berkata sangat tegas kepadaku. Sejak terkahir kami berada di SMP, aku pernah dibentak oleh dirinya soal aku tidak berani untuk melompat tinggi waktu olahraga. Keberhasilanku waktu itu justru bersumber dari kata-katanya yang dapat membuatku lebih berani untuk mengambil langkah yang besar. Dari situlah aku semakin percaya kepadanya.
Dan sekarang, saat ini, dia berkata lagi seperti pada waktu itu. Aku harus benar-benar percaya kepadanya.
“Baiklah. Aku akan menemui dia segera.”
Lalu aku bangkit dan langsung keluar dari kelas. Aku mencari Irene untuk meminta maaf. Apapun kesalahanku, apapun kelemahanku, aku harus katakan kepadanya. Ini seperti ujian mental bagiku, dan aku harus menang.
Aku mencari di kantin, tidak ada, aku cari di taman sekolah, tidak ada, aku mencari di koridor sekolah, juga tidak ada. Sambil berjalan-jalan aku memikirkan, tempat mana lagi yang harus aku kunjungi. Tapi... aku mulai kepikiran satu tempat lagi yang harus aku kunjungi, yaitu klub musik.
Irene baru-baru ini dia coba masuk ke klub musik. Dia pernah bilang kepadaku kalau dia sedikit bisa bermain keyboard, dan dia ingin mencobanya di klub musik. Jadi... aku masuk ke klub musik hendak menemui dia.
Tetapi...
“Permisi....” Aku mulai masuk ke dalam.
Aku melihat... benar... ada dia disana.
“Ya, siapa anda?” Salah satu anggota klub bertanya.
“Aku mau bertemu dengan Irene Katsuragi. Ada hal penting yang harus dibahas.”
“Irene-chan....”
Dia berdiri, berjalan meninggalkan keyboardnya, dan datang ke arahku, “Memangnya, ada apa, Ono-san?”
Tiba-tiba dia memanggil nama belakangku. Apa dia memang benar-benar masih memendam kejadian kemarin? Tapi... bukannya kemarin dia sudah tersenyum??
“...Bisa kau tutup pintunya sebentar?” Aku mengatakannya dengan nada sopan.
Lalu dia menutup pintu ruang klub. “Ada apa?”
Aku sedikit menarik nafasku. Jujur, aku masih grogi di hadapannya.
“...Anu... Umm... Apa kau masih marah tentang kemarin?”
EH ADUH!! Kenapa aku mengeluarkan pertanyaan ini?! Aku jadi tambah gemetar.
“Kemarin? Ya enggak lah, buat apa memikirkan masa lalu? Sudah lewat, tidak penting lagi.”
Dia hendak masuk ke ruang klub.
“Tunggu!” “Aku minta maaf kepadamu!” sambil aku membungkukkan badanku dari belakangnya.
Lalu dia menoleh dan melihat ke arahku. Dia kaget dan matanya melebar.
“Apa yang kamu lakukan???” “Kau seharusnya tidak melakukan hal ini!”
“Tidak! Ini semua salahku! Dari awal aku tdiak memberitahumu soal Franssica yang adalah sahabatku. Semuanya menjadi canggung saat kita bersama-sama.”
Aku mengatakan perkataanku dari apa yang ada dipikiranku sambil masih melakukan Ojigi[1] di depannya.
“Sudahlah, sudah. Berdirilah sekarang!”
Dan aku pun berdiri kembali.
“...Aku tidak mau melihatmu memalukan begini. Tapi....” “...Aku terima permintaan maafmu.” Lalu dia berbalik dan berjalan masuk ke ruang klub kembali.
Setidaknya, aku sudah mengataknnya dengan jujur kepadanya dan dia juga sudah mau menerima permintaan maafku ini. Aku jadi sedikit lega.
Tinggal satu orang lagi.
Aku langsung meninggalkan koridor klub, berlari mencari Fransisca, tapi dimanapun aku mencarinya, aku tak dapat menemuinya. Aku sudah kelelahan gara-gara berlari, jadi aku memutuskan untuk melanjutkannya nanti setelah usai pelajaran.
“Bagaimana, Kazu?” Samuru bertanya kepadaku.
“Aku sudah meminta maaf kepada Irene-san, tinggal Fransisca saja.”
“Baguslah, yang penting kamu sudah berusaha.” Samuru berkata-kata dengan hangat.
Bel usai sekolah berbunyi, kami bertiga berjalan menuju keluar ruangan. Kami mengarah ke arah tangga untuk turun. Dan aku melihat, Fransisca ada disitu, hanya berjarak beberapa anak tangga saja.
“Fransisca-chan!” Aku memanggilnya dengan cukup keras.
Dan ia berhenti. Ia menoleh ke atas sembari aku turun mendekatinya. Ia juga sendirian dan inilah kesempatanku untuk meminta maaf kepadanya.
“Fransisca? Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu.”
“...” Dia terdiam saja, memandangku dengan pandangan kosong.
Tapi aku tidak peduli, aku harus tetap mengatakan ini.
“Anu... Aku... Ehmm....”
Pandangannya benar-benar dingin, aku jadi semakin gugup, tapi... tapi, aku harus mengatakan ini! Aku pasti bisa. Dengan sekuat tenaga, aku mengumpulkan keberanianku!
“MAAFKAN AKU!” Aku sambil membungkuk di hadapannya.
“Huh?” suaranya terdengar ‘dingin’.
Aku mulai mengangkat tubuhku dan berdiri tegak, tapi tetap saja, aku masih belum percaya dengan tanggapannya tadi.
“Maaf kan aku, Fransisca-chan. Aku memang salah. Aku seharusnya mengatakan segalanya tentang gadis-gadis yang aku dekati selama ini, termasuk Irene-san. Seharusnya aku mengatakannya kepadamu sejak awal. Jadi... aku minta maaf...,”dengan wajahku yang agak bersedih.
“Kenapa harus meminta maaf sekarang?”
Tiba-tiba pertanyaannya yang tak bisa kujawab muncul. Sungguh pertanyaan yang membekukan pikiranku. Aku harus jawab apa ini?! Duh... tidak... aku harus tetap menjawabnya... ayo pikirkan pikirkan pikirkan!!!
“Ehmm... ya... aku... memang harus mengatakannya sekarang.” Ku coba mengumpulkan keberanianku lagi.
“...”
“Lagipula, kita masih sahabat, kan?” Aku berharap dia membalasnya dengan baik.
“Hal itu tidak perlu aku jawab.”
A—Apa?! Sikapnya malah menjadi semakin dingin. Aku harus berkata apa lagi ini???
“Jika kita seorang sahabat, kenapa kau tidak bisa percaya kepadaku?”
“Jus—Justru... justru karena inilah, aku meminta maaf kepadamu.” Aku jawab se-bisa ku.
“Selama waktu SMP, kamu kemana? Kamu sibuk apa?? Kau selalu membalas pesan emailku dengan lama. Ada apa denganmu? Apa kamu selalu sibuk mengejar-ngejar gadis-gadis SMP mu??”
Oh tidak. Ini bahkan lebih buruk dari Irene. Kenapa... kenapa dia sepertinya tahu semuanya tentang aktivitasku sewaktu SMP??
Tapi ada benarnya dia. Aku selalu mencuekkan pesan email yang ia kirim, aku hanya berpikir bahwa akan aku balas waktu malam saja, tapi aku selalu lupa membalasnya, karena kadang aku sudah mengantuk duluan atau aku sibuk mengirim pesan email dengan orang lain. Apa mungkin dia juga marah gara-gara itu? Atau... yang lainnya??
Duh... aku jadi pusing... aku hampir tak bisa mengingat hal itu lagi. Sekarang, saat ini, aku sedang berhadapan dengannya disini. Aku harus meminta maaf lagi dengan segenap hatiku. Ya! Dengan segenap hatiku!!
“Aku tidak bermaksud seperti itu.” “Aku mohon... jangan kamu berubah menjadi seperti ini, Fransisca. A—Aku...,” mataku sedikit berair.
“Kau memang tidak pernah peka, Kazu. Kau tidak pernah belajar! Kau terlalu memikirkan dirimu sendiri! Apa selama ini, aku kurang berharga bagimu? Apa selama ini, aku hanya sebagai sahabatmu dikala susah saja?? Apa aku—“
“Fransisca, tolong hentikan,” aku mulai meneteskan air mata. “Karena aku... Aku masih menyukaimu, sama seperti dulu...”
Fransisca terkejut, seakan dia tidak percaya dengan perkataanku. Matanya melotot dan menatapku dengan tajam.
“...Kenapa? Kenapa kau berkata seperti ini??” “Aku... benar-benar, tidak mengerti ucapanmu,” dia berkata sambil memalingkan mukanya dariku, dan menuruni tangga.
“F—Fra—Fransisca?! Tolong ja—jangan...,” tangan kananku mengarah kepadanya, tapi dia sudah turun dan pergi.
Apa yang sudah aku katakan tadi?!! Aku MENYUKAINYA?!! Ah...
Samuru dan Marco menuruni tangga dan menyebelahiku.
“Kazu, ayo kita tenangkan dirimu dulu.” Samuru mengajakku untuk pergi.
“Ayo, Kazu-san.” Marco juga mengajakku.
Kami bertiga pergi dari situ dan aku membeli minuman kaleng untuk menangkan pikiranku. Kami duduk di koridor sekolah lantai bawah dekat taman. Samuru, sepertinya dia juga mau mengatakan sesuatu.
“Kazu, sebenarnya Fransisca yang memintaku untuk mengatakan semuanya.”
“Maksudmu?”
“Sebelum kami berdua masuk ke dalam kelas untuk menemuimu, kami bertemu dengan Fransisca. Dia meminta sesuatu kepadaku. Sebagai teman sekelas semasa SMP, aku diminta untuk menjelaskan aktivitas apa saja yang kamu lakukan. Wajahnya sangat memelas pada saat itu, dan aku tak sanggup untuk mengelaknya. Akhirnya aku ungkapkan semua kegiatanmu sewaktu kita SMP, dan dia cukup tercengang mendengarnya. Aku tidak bisa berbohong kepada seorang sahabat yang sangat perhatian denganmu. Lalu dia memintaku juga untuk mengatakan kepadamu, bahwa dia akan masuk kelas akselerasi. Jadi, kamu tidak akan bertemu dia lagi.”
APA?!
“APA KAU BILANG?! AKU TIDAK BISA BERTEMU DENGANNYA LAGI?!!” Aku memandang Samuru dengan geram! “KENAPA KAU BARU MENGATAKANNYA SEKARANG!!!” Aku mencengkram baju Samuru dengan kuat hingga membuatnya berdiri di depan muka ku!
“KENAPA BARU SEKARANG KAU KATAKANNN!!!” Amarahku benar-benar meledak!
“KAZU, HENTIKAN!!!” Marco hendak melepaskan cengkramanku, tetapi Samuru melerainya duluan dengan tangan kirinya, seperti berkata untuk tenang.
“Karena, pada waktu itu kau sedang murung, Kazu! Aku tidak bisa mengatakan hal ini dengan kondisimu seperti itu!”
Grrhhh... sial... aku mulai melepasnya pelan-pelan.
“Aku ingin mengatakannya kepadamu, tapi kau malah punya masalah lain, jadi kami memutuskan untuk membantumu menyelesaikan masalahmu yang ada di hadapanmu terlebih dulu. Aku juga tidak mau mencampur adukkan masalah Irene dengan Fransisca, sahabatmu.”
Setelah mendengar ucapannya, aku duduk terdiam di lantai. Aku merenungkan semua kata-katanya. Dan dia juga ikut duduk perlahan di depanku.
“Ya. Aku mengerti sekarang.”
“Kami membantumu menyelesaikan masalah dengan Irene, dan kau sudah menyelesaikannya. Kau juga sudah mengatakan permohonan maafmu kepada Fransisca, dan kami juga mendengarnya. Tapi ini belum selesai, kami akan tetap terus membantumu sampai kau benar-benar bisa kembali dekat dengannya. Kami takkan membiarkanmu terpuruk seperti ini.”
“Tapi... bagaimana caranya aku bertemu denagn Fransisca? Bisa kan aku bertemu dengannya sewaktu pulang sekolah??”
“Sepertinya tidak untuk saat ini. Gedung akselerasi berbeda dengan gedung SMA kita. Gedung tersebut berada di sebelah sekolah ini. Meskipun kamu menunggu di depan gerbang, tapi kamu tidak bisa masuk ke dalam, karena penjagaan disana lebih ketat dari sini. Kamu akan ditanyai macam-macam oleh satpam. Lagipula, jadwal pelajaran kelas akselerasi lebih cepat dari pada SMA biasa. Jadi... dia lebih cepat pulang.”
“Kenapa kau bisa tau banyak tentang kelas akselerasi??” Aku bertanya heran.
“Dulunya aku juga ingin masuk kelas itu, tapi... aku tidak mau meninggalkan kau sendirian disini, Kazu.”
UH! Serasa jantungku tertusuk oleh panah tajam.
“Tolong... tolong tunjukan caranya... tolong tunjukan caranya, Sam! Aku ingin segera bertemu dengannya lagi!!!” Aku berteriak kencang di hadapannya, aku tidak peduli aku sedang menangis atau marah, yang penting, aku harus bertemu dengannya segera!
“Kau! Kau benar-benar keras kepala!! Kita harus lulus dulu, baru kau bisa bertemu dengannya!!”
Aku TERCENGANG!
“Apa?! APA KAU BILANG?!!” Aku menggenggam tangan kananku dengan kuat, “DASAR KAU!!!” kulancangkan pukulanku ke arah wajahnya.
Tapi!!!
Pukulanku ditahan oleh MARCO?!!
“APA YANG KAU LAKUKAN, KAZU?! Kau seharusnya mengerti akan hal ini! Bukankah kita ini juga seorang SAHABAT?!!” Dia berkata dengan keras.
“Dia... jika dia memang benar sahabatmu sejak kecil, pasti... DIA TAKKAN PERNAH MELUPAKANMU BEGITU SAJA!! DAN BAHKAN DENGAN PERKATAAN BODOHMU ITU! Dia akan tetap terus mengingatmu!” Marco menambahkan dengan sangat tegas.
AKU!! APA YANG SUDAH AKU LAKUKAN!!! Aku... seharusnya aku... mensyukuri akan hal ini. Selama ini aku juga memiliki seorang sahabat yang juga mempercayaiku, seorang sahabat yang selalu membantuku dikala aku susah, dan menjadi sahabat dikala aku senang. Sekarang aku mengerti, kenapa semua ini terjadi padaku...
“Aku...,” ku lepaskan genggamanku pelan-pelan. “Aku... minta maaf,” ku katakan sambil wajahku tertunduk dengan tangisan kesedihan bercampur rasa syukur yang dalam.
Sam dan Marco, ikut mencucurkan air mata. Mereka juga merasa sedih dengan perbuatanku ini. Aku benar-benar keras kepala hari ini. Jadi tepat yang dikatakan Fransisca, aku pun masih memikirkan diri ku sendiri...
“Sudah, kita harus pulang.” Kata Sam.
“Ayo Kazu, kita harus pulang.” Kata Marco.
Tiba-tiba, tangan mereka memegang pundakku. Aku mendapatkan kekuatanku lagi. Tangan mereka ajaib, seperti sentuhan yang kuat untuk hidupku. Wajah mereka juga berubah menjadi riang. Jujur, selama aku hidup, aku belum pernah merasakan kekuatan seperti ini. Inikah yang dinamakan kekuatan dari seorang sahabat??
Detik ini juga aku bisa merasakan rasa syukur yang dalam dan teramat besar sepanjang hidupku, yang telah mengubahku menjadi semakin kuat dan terus kuat. Bersama dengan mereka, aku dapat terus maju menghadapi segala rintangan di depanku.
Lalu tanganku dipegang oleh mereka berdua untuk mendirikan badanku, dan kami pun berjalan pulang bersama-sama.
Sekarang, aku masih berharap kepada langit, agar aku bisa bertemu dengan Fransisca.
Aku yakin suatu saat, AKU PASTI BERTEMU DENGAN DIRINYA LAGI.
** f i n **
[1] Ojigi adalah cara hormat dari Jepang yaitu dengan membungkukkan badan dengan mata memandang ke bawah.
0 notes
jeremykazuma · 8 years ago
Text
Persahabatan yang Mulia - Onaji Sora no Shita De: Kichou na Yujou 「同じ空の下で: 貴重な友情」
(Ini adalah Side Story dari “Dibawah Langit yang Sama: Persahabatan yang Mulia” yang menceritakan kisah tentang Kazunari Ono dengan Fransisca Yukari)
Bagian 1
Sejak kelas 1 SMP, aku sudah mulai mendekati para gadis yang aku sukai. Aku benar-benar tertarik dengan mereka yang memiiki persona berbeda. Entah dari cara bicaranya, cara berjalannya, cara marahnya, cara menangisnya, caranya bersedih, sampai cara dia memukul wajahku. Ya... pada waktu aku kelas 1 SMP aku pernah dipukul oleh gadis yang aku sukai, karena pada waktu itu aku bilang ke dia kalau aku menyukainya, tapi alhasil aku malah dipukul dan dimaki-maki olehnya. Gapapa lah, yang penting aku punya pengalaman. Seiring berjalannya waktu, aku sudah mendekati 6 orang gadis sampai aku kelas 1 SMA. Tapi... tak ada satupun yang jadi pacarku. Aku masih belum menyerah akan hal itu, sampai tiba suatu saat...
“Oi, aku boleh berkenalan lagi denganmu?”
“...Boleh. Tapi, bukannya kemarin kita baru perkenalan?”
“Aku... aku kadang lupa nama lengkap orang, hehehe.”
“Ooo... begitu... aku perkenalkan sekali lagi, namaku Irene Katsuragi.”
“Kalo aku, Kazunari Ono. Senang berkenalan denganmu.”
“Iya, sama-sama.”
“Oya, panggil saja aku Kazu.”
“Oh... baiklah...”
Dan pelajaran pertama pun dimulai.
Dia adalah gadis yang sederhana. Rambutnya panjang, menjuntai sampai ke punggung bawah, dengan ikat ekor kuda. Ia tidak memakai anting, tidak memakai kalung, tidak memakai aksesoris lainnya, tapi itulah pesona yang apa adanya. Saat itu, aku mulai penasaran dengan dirinya.
Hari demi hari aku mengamatinya terus-menerus. Beruntungnya aku satu kelas dengannya. Aku juga sering terkena bentakan guru ketika aku melamunkannya. Habis daripada tidur kebosanan, lebih baik aku membayangkan wajahnya saja.
Jarak kursi ku dengannya juga tak terlalu jauh, hanya terbatas satu baris saja. Jadi aku bisa mengamatinya dengan sangat lama dan lamaaa...
Setiap waktu istirahat, aku sering mengajaknya ngobrol. Entah soal ulangan, entah soal ujian, entah soal bento, bahkan sampai basa-basi saja tetap aku obrolkan. Kemana pun dia pergi, aku selalu tahu, meski ya... pernah sih dia marah kepadaku karena di ikuti terus. Tapi aku meminta maaf kepadanya setelah itu dan aku tidak mengulanginya lagi. Jadi aku hanya mengajak ngobrol lama ketika waktu istirahat dan saat pulang sekolah.
“H—Hei, I—Irene-san....” Aku memanggilnya dengan sedikit gugup.
“Oh, O— eh, Kazu-san, ada apa?” Ia hampir memanggilku Ono.
“Emmm... a—aku boleh pulang bareng kamu?”
“Oh... boleh sih, tapi sekarang aku naik sepeda lho?”
“Oh... e—emm... ya... kalo begitu, gimana kalo aku temani sambil jalan?”
“Hah? Apa gak capek kamu?” Ia heran.
“E—Eng—Enggak sih... kalo sambil jalan kan engga terasa...”
“Oke, baik kalo itu maumu.”
Lalu kami pun jalan pulang bersama.
Sepanjang perjalanan pulang, kami mengobrol soal makanan favorit. Aku menceritakan tentang kegemaranku memakan nasi kari dan mie soba, sedangkan ia menyukai makanan yang manis-manis. Aku juga menceritakan kakakku yang jago memasak. Ia juga menceritakan kalau kakaknya juga pintar memasak, tapi hanya sebatas masakan rumah saja.
Sesampai di persimpangan, aku melihat sebuah toko kue yang cukup membuatku penasaran. Lalu aku memberanikan diri untuk mengajaknya ke toko itu.
“Eh, Irene-san....”
“Ada apa??”
“Gimana kalo kita mampir dulu ke toko itu?”
“...Kenapa harus sekarang??” Raut wajahnya mengatakan, sepertinya ia tidak percaya dengan perkataanku.
Aduhhh... aku jadi tambah grogi, aku hampir tidak memiliki alasan untuk mengajaknya masuk ke toko itu.
“Gini... sekali-kali, aku mentraktirmu deh...,” wajahku memerah dan jantungku berdebar-debar tak beraturan.
“Serius??”
“Iya serius....”
“Yakin??”
“Iya, aku yakin....”
Tiba-tiba ia tersenyum kepadaku. “Baru pertama kali ini aku ditraktir seorang laki-laki. Terima kasih, ya.”
“I—I—Iya... sama-sama.”
Kami berdua masuk ke toko dan memilih kue yang ingin kami makan. Aku duduk berhadap-hadapan dengannya. Aku tak pernah duduk sedamai ini selama aku mendekati para gadis di SMP. Beruntungnya aku bisa berada disini bersamanya.
“Ada apa, Kazu-san? Kenapa kau memandangi aku begitu?”
“Ah... gapapa kok.” “Oya, aku boleh bertanya sesuatu sama kamu?”
“Ya?”
“Kenapa kamu ga coba pake anting-anting?”
“Hah? Memangnya cocok denganku?”
“Oh... kamu pernah mencobanya?”
“Pernah sih, tapi aku ga suka, apalagi jika antingnya berwarna kuning.”
“Kuning itu emas, kan?”
“Bukan kok, kata ibu ku yang memberikan anting-anting kepadaku, bukan terbuat dari emas.”
“Eh, tapi itu kan pemberian dari ibu mu? Kenapa kamu tidak pakai saja? Atau... setidaknya disimpan, sih.”
“Aku selama ini memang menyimpannya kok, tapi ibu ku tidak tahu kalau aku masih menyimpannya. Aku memang merahasiakan hal ini.”
“Ooo... jadi begitu. Tapi... sepertinya kamu cocok kok pake anting-anting, kalau dari perak.”
“...Benarkah??”
“Iya, aku bisa membayangkan hal itu.”
“Halah, jangan-jangan kamu membayangkan yang engga-engga.”
“Eh?! Engga ya! Aku ngebayangin kamu lagi pake anting-anting perak kok.”
“Yang bener???”
“EHHH?! Kenapa kamu ga percaya sih??”
Tangan kanannya memangku dagunya dan melihatku dengan tatapan yang hangat. “Aku percaya, kok, selama kamu tidak macam-macam denganku,” dan dia tersenyum.
Gilak! Jantungku berdegup kencang. Apakah ini yang namanya sindrom senyuman imut??? Meskipun tampangnya biasa saja dan penampilannya sederhana, tetapi begitu dia tersenyum, serasa dunia ini menjadi berbeda, dunia menjadi selalu berbunga-bunga. Semerbak keharuman rambutnya juga tercium sampai mengacaukan pikiranku, aku jadi tak bisa bergerak, dan aku menatapnya terus-menerus. Sampai makanan kami tiba, aku baru bisa lepas dari “sindrom”nya.
“Ini kue pesanan anda, maaf membuat kalian menunggu. Selamat menikmati.”
“O—Oh baik, terima kasih,” aku menjawab sambil lepas dari lamunanku.
“Tidak apa-apa kok, terima kasih, ya.” Dia menjawab dengan hangat. “Mari makan!”
“B—Baik, mari makan.”
Kami pun makan bersama. Rasanya seperti seorang sepasang kekasih yang baru saja. Aku senang bisa makan bersamanya, belum pernah aku merasakan suasana sedekat ini. Lagi-lagi, gadis ini adalah gadis yang membuatku jatuh cinta sejak pertama kali aku melihatnya di dalam kelas.
Setelah kami makan bersama, tak terasa mendung pun tiba. Kami berdua tidak membawa payung sama sekali, jadi kami berpisah dengan cepat.
“Kazu-san, terima kasih ya atas traktirannya.”
“Iya, sama-sama, Irene-san.”
“Sampai jumpa besok, ya!”
“Sampai jumpa besok juga!”
Dan dia mengayuh sepedanya dengan cepat. Untuk ukuran gadis seperti dia cukup cepat juga mengayuhnya, aku sampai tak bisa membayangkan sebelumnya.
***
Keesokan harinya, aku merasa perutku sedikit kembung, apa mungkin gara-gara makan kue kemarin, ya? Tapi kalo dipikir-pikir, tadi pagi gak pa-pa kok.
“Oi Kazu, kau tidak apa-apa?” Tanya Samuru yang datang dari luar kelas.
“Aku tidak apa-apa kok, hanya sedikit kembung,” sambil aku memegang perutku ini.
“Perutmu agak sedikit membesar nih,” tiba-tiba Marco datang dan menepuk-nepuk perutku.
“OIII MARCO!!! DASAR KAU!!!”
Dengan sengaja perutku ditepuk oleh Marco... MALAH TAMBAH SAKIT TAU!!!
“Sebaiknya aku kentutin kau, Marco!” ku arahkan bokongku ke depannya.
“BAH! GILA KAU KAZU-SAN!! Aku bisa mati gara-gara gas beracunmu itu!”
“Makanya, jangan suka usil dong.” Sambung Samuru dengan sedikit ketawa.
“Lagipula aku tidak mungkin kan kentut di sini, bisa-bisa aku di terbangkan lewat jendela ini.” Aku memegang perutku lagi.
“Terus, kami harus berbuat apa dong??”
“Coba deh carikan aku minuman hangat, gitu.”
“Hah? Mana bisa minuman kantin dibawa kesini?? Aku coba carikan balsem ya di UKS.”
“Baiklah, cepatlah.” “Hei, kau juga Marco, cepat ikut dengan Samuru!”
“Ya, ya, aku mengerti....”
Lalu mereka pergi mencarikan balsem di UKS.
Sambil aku duduk-duduk santai, mengamati ke arah luar yang pada saat ini cuaca sedang mendung, tiba-tiba ada seseorang yang datang di sebelahku.
“...EH?! Kau?? Kenapa kamu kesini???”
“Memangnya... aku tidak boleh kesini, ya?”
“Emmm... bukan begitu sih.”
Lalu orang itu duduk di sebelahku. “Aku tau dari Samuru dan Marco kok tadi, mereka sedang mencarikan balsem untukmu, kan?”
“Iya.”
Dia melihat ke arah perutku yang kupegangi ini. “Emangnya, perutmu kenapa? Kembung?”
“Iya, kok tau sih?”
“...Hah dasar kamu ini, masak kita sudah bersama sejak SD aku tidak tau kelemahanmu??”
“...Hmmm... benar juga sih.”
“Kamu itu selalu kembung keesokan harinya setelah kamu memakan kue yang manis, iya kan??”
“Iya, kau benar.”
“Nah... makanya, kalau makan kue manis setengah aja, ya?”
“Oke, oke baiklah, aku mengerti....”
Saat kami sedang mengobrol, mereka berdua akhirnya datang juga membawa balsem.
“Oh, ternyata kau kesini, Yukari-san?”
“Yaaa jelas lah, aku kan gak tega melihat Kazu-kun begini, bisa-bisa dia kentut sembarangan nanti.”
“Heiii... Fransisca-chan, gaya bercandamu memalukan,” wajahku malu gara-gara aku dipermalukan di hadapan Samuru dan Marco.
Dan mereka malah ketawa cekikik’an. Dasar... mereka selalu mendukung candaan Fransisca.
“Sudahlah Kazu-kun, ini balsemnya,” sambil memberikan balsem ke tanganku.
“Tadi aku juga berpikir kalo aku mau ngasih kamu selimut.”
“Lah? Buat apa, Marco?? Gak penting banget deh....”
Masak aku mau dikasi selimut? Padahal aku gak kedinginan.
“Sini, sini, aku olesin balsemnya ke perutmu.”
“EHHH?!! Ngapain kamu??? Gak... Gak usah, biar aku aja!”
“Oi, Oi, kenapa kamu malu-malu sih??” mukanya menampakkan kelicikan.
“Ya ga usah dong! Masak aku buka-buka baju di depanmu?!”
“Kazu-kun... mumpung dia mau bantuin kamu, lho...,” muka Marco juga terlihat licik dengan bibirnya berbentuk seperti huruf W.
“Ah, enggak, enggak, pokoknya biar aku sendiri!!”
Balsemku sampai direbut oleh Fransisca dengan paksa. Kenapa dia tiba-tiba jadi BERNAFSU BEGINI?!! Si Marco juga, ikut-ikutan memprovokasi!! Uh, payah dah mereka berdua!
“SAM! SAM!! TOLONG BANTU AKU!!!”
Samuru cuman terdiam mengamati kami berdua dengan cekikik’an sendiri. Ah, tidak ada yang bisa diandalkan disini. Saat ini si Rikku juga lagi enak-enakkan jalan berdua dengan pacarnya. Aku jadi bergulat dengan Fransisca nih! Dan si Marco malah enak-enak’an tepuk tangan begitu. Udah gila dia, udah gila!
***
“Fiuhhh... akhirnya aku bisa melarikan diri ke sini. Dengan tenang aku mengoleskan balsem ini ke perutku. Enaknyaaa....”
Aku berhasil melarikan diri ke toilet dan aku bisa kentut juga sekeras-kerasnya, mumpung sepi.
“Ahhh sudah... sudah cukup balsemnya, untuk sementara aku simpan dulu ah...,” sambil ku kantongi.
Lalu aku berjalan keluar dan disitu sudah ada Fransisca yang menungguku di depan toilet.
“Eh? Kau kenapa masih disini?”
“Aku menunggumu, Kazu-kun.”
“Gak usah sampai menungguku kali, gak terjadi apa-apa, kok.”
“Ah, bukan itu maksudku...”
“Terus??”
“Aku mau mentraktirmu makan mie soba setelah pulang sekolah.”
“HEH?! KENAPA?!”
“...Gak pa-pa kok, cuman pengen aja mentraktirmu kali ini.”
“Haaa... baiklah... lagian ini juga pertama kalinya kau mentraktirku makan. Yang penting kau tidak akan meracuniku, kan?”
“Yah, jelas tidak lah! Paling cuman bkin kamu pingsan!!”
“Ihh dasar! Ya sudah, aku pergi saja.”
“KYAAA... jangan gitu dong...,” wajahnya terlihat lesu langsung.
“Ya ya ya, baiklah, traktir aku apa aja...,” aku melihatnya dengan wajah kasihan.
Dia kembali tersenyum. “Baik!!”
Tiba waktunya pulang sekolah, kami pun janjian untuk menunggu halaman pintu masuk. Aku sudah berada disini, tapi aku belum melihat Fransisca datang. Untung hujan sudah reda, jika tidak, kami bakal kebasahan karena tadi hujan sangat deras.
Aku menunggu sambil melihat jam di ponselku. Sudah 10 menit aku menunggu, tetapi dia belum juga kelihatan. Lalu aku duduk sambil memejamkan mataku sebentar. Dan ada orang lain yang datang ke arahku sambil menggoyangkan bahu kiri ku.
“Hei, Kazu-san?”
Aku mencoba untuk membuka mataku.
“Oh... Irene-san, kau rupanya, ada apa?”
Tapi, aku melihat, ada yang berbeda darinya...
Ternyata dia memakai anting-anting perak!
Gak nyangka juga dia memakai itu hari ini. Padahal baru kemarin aku menyarankannya, tapi hari ini dia sudah memakainya.
“Kau... kau memakai anting-anting ya?”
“...Wah ternyata kau cepat menyadarinya, ya?”
“...Eh, bukannya sekolah ga boleh pake anting-anting ya???”
“Iya, emang benar... aku memakainya kalo pulang sekolah kok.”
Hah?! Apa?! Apa dia memakai anting-anting itu hanya untuk bertemu denganku??
“Lebih baik kamu pakai sewaktu kamu pergi keluar aja, kan kalo dipake disini beresiko.”
“Kan sehabis pulang sekolah, kita pergi keluar, ya kan?”
Ahhh... benar juga ya...
“Iya juga sih...,” aku menghela nafas.
“Terus, kamu disini ngapain? Kok engga pulang? Mumpung udah reda lho....”
“Aku lagi nunggu temenku, padahal udah 15 menit dia gak muncul-muncul.”
“Temanmu yang mana?”
Lalu datanglah Fransisca sambil membawa payung di tangan kanannya dan berlari ke arah kami.
“Loh? Kazu-kun, siapa dia?”
Muka Irene langsung berubah kaget saat melihat Fransisca tersengal-sengal begitu.
“Ini, Irene-san, temenku sekelas.”
“Ooo...,” bibirnya membentuk huruf O dengan lebar. Sepertinya dia mau meledekku.
Aku lihat di wajah Irene, sepertinya dia merasakan gangguan.
“Ya sudah kalo begitu. Irene-san, kau boleh ikut dengan kami, kok.”
“Eh?? Kemana?”
“Udahlah ikut kami aja dulu...,” tangannya sambil memegang tangan kanan Irene.
“Hei! Ayo Kazu-kun!”
“Iya, iya.”
Aku sedikit melamun, memikirkan ekspresi Irene tadi. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa. Lalu kami pun pergi bertiga.
Sepanjang berjalanan aku melihat Irene diajak biacara terus oleh Fransisca. Irene juga ditanyai tentang berbagai hal. Aku tidak pedulikan soal pertanyaan-pertanyaan Fransisca, biarkan para gadis berbicara satu sama lain. Tapi, aku melihat muka Irene tak sesenang seperti pada waktu aku berjalan dengannya. Apa mungkin dia benar-benar ingin mengajakku pulang?
“Ini, sudah sampai...,” Fransisca memperlihatkan wajahnya yang riang dengan tangan kanannya menunjuk ke kedai mie soba. Lalu kami masuk ke dalam.
Ini juga salah satu tempat favoritku sewaktu aku makan mie, dekat dengan sekolah dan juga harganya tak terlalu mahal. Jadi aku selalu nambah kalau ada uang lebih.
“Ei, Kazu-kun, kau mau yang mana?”
“Terserah kamu aja lah.”
“Loh, jagan brgitu dong.” “...Aku juga bingung nih.”
Ah dasar, Fransisca selalu kebingungan kalo milih-milih mie.
“Baiklah, baiklah, aku yang milih sendiri.”
“Tapi jangan mahal-mahal, ya...”
Loh?? Niat traktir nda sih? Kalo niat traktir kan terserah dong. Lagian... disini gada yang mahal sih, jadi masih tergolong aman.
“Eh, Irene-san, kau pilih yang mana??”
“...Aku tidak lapar kok,” sambil meletakkan menu yang ia pegang.
Ekspresi mukanya benar-benar berbeda. Aku merasakan ada yang tidak beres nih.
“Loh, kenapa kamu?” Aku menanyakan dengan sopan.
“Tidak apa-apa.” Lalu dia berdiri dari tempat duduknya. “Aku mau pulang saja.”
Aku dan Fransisca terkejut melihat perkataan Irene. Dia mau pulang?! Aduh... bener-bener momen yang tidak pas. Dan dia berjalan melewatiku saja ke arah keluar.
Aku tidak bisa biarkan dia begini, pasti terjadi sesuatu. Aku harus menghadangnya di luar.
“Irene! Kau kenapa??”
Dia pun terhenti sejenak tapi tidak memalingkan wajahnya ke arahku.
“Tidak ada apa-apa, aku mau pulang saja.” Dan dia melanjutkan langkah kakinya.
“Tunggu!” aku berjalan mendekatinya. “Kau kenapa? Ada ya salah?”
“Sudah ku bilang tidak ada apa-apa!” “Sudah, kalian berdua saja yang makan.”
Ah kacau... hal buruk pun terjadi. Apa dia cemburu???
“Irene, tunggu... apa tadi Fransisca tidak bilang kepadamu tentang kami?”
“Kalian berdua sahabat’an kan? Tadi dia bilang.”
“I—Iya... kami kan hanya sahabat....”
“Aku bilang, kau tidak usah mengikutiku!”
Payah! Kenapa jadi salah paham begini... Irene, sebenarnya apa yang kau pikirkan???
“Irene-san, tolong tunggu sebentar!” aku sambil memegang tangan kanannya, ku coba hentikan langkahnya. “Dengarkan penjelasanku dulu.”
Dia menghentikan langkahnya, tapi dia masih memalingkan wajahnya dari wajahku.
“Irene-san, maaf, kalo aku sebelumnya tidak memberitahukan hal ini kepadamu. Fransisca adalah sahabatku sejak kami SD, tapi kami terpisah waktu SMP, dan saat ini di SMA kami bertemu kembali, jadinya wajar kalo dia mau mentraktirku.”
Lalu kepalaya memutar ke kanan, dan melihat ke arahku. Tangannya aku lepaskan pelan, supaya dia tidak semakin marah.
“Ayo Irene-san, setidaknya kita bisa makan bersama.” “Lagipula, sebentar akan hujan lagi. Meskipun kamu naik sepeda, tapi aku tidak mau kalo kamu kehujanan.”
“Baiklah,” dia mengucapkannya dengan pelan dengan wajahnya tertunduk.
Lalu aku mengajaknya kembali ke kedai itu dan duduk bersama dengan Fransisca.
“Oh... kau kembali rupanya?”
Aku tempatkan Irene sesuai dengan semula. Biarkan dia duduk bersama dengan Fransisca.
“Dari mana saja kalian?”
“Aku sedang berusaha mengajak Irene-san untuk ikut makan, lagipula diluar akan segera turun hujan, jadi aku membawanya kesini lagi.”
“Ooh... begitu....” “Baiklah, aku juga sudah memesankan untuk kalian berdua, kok.”
“Ooo... terima kasih, Fransisca.”
“Tak, masalah.”
“...Terima kasih juga, Fransisca-san.” Dia mengatakan dengan suara yang lembut.
Akhirnya Irene berbicara dan mengucapkan terima kasih kepada Fransisca. Aku harap bisa baik-baik saja.
Sesudah kami makan bersama, hujan pun turut berhenti, kami bisa pulang dengan segera tanpa harus kehujanan.
“Kami boleh mengantarmu pulang?” Aku bertanya keapda Irene.
“Tidak usah, rumah kalian kan lebih jauh, daripada hujan lagi.”
“Oh... ya sudah.”
“Hati-hati ya, Irene-san!” Fransisca berteriak.
“Ya, hati-hati juga kalian.”
“Okeee....”
Irene kembali ke parkiran sepeda untuk mengambil sepedanya. Dan kami pun juga hendak untuk pulang.
“Hei, Kazu-kun... kenapa kau tidak bilang saja kepadaku kalo kamu punya kenalan seorang gadis?”
“Um... aku tidak kepikiran jika hasilnya seperti tadi.”
“Bukankah kau harus lebih terbuka kepadaku, ya kan?”
“E—Emm... gimana ya....”
“...Dari awal, kamu bisa menolakku untuk aku traktir, kan?”
“EH?! Kenapa kamu bilang seperti itu?? Jelas aku tidak ingin menolakmu untuk mentraktirku, lah.”
“Kau ini, belum juga berubah....”
“Apanya yang harus ku ubah dariku??”
“...” Fransisca terdiam sejenak. “Setidaknya, jika kamu memang menyukai seorang gadis, kau harus jujur kepadaku.”
“Memangnya... kau bisa membantuku??”
“...Sudahlah, ini sudah hampir gelap. Kita harus segera pulang,” dia berjalan cepat meninggalkanku di belakang.
“E—E—Eh, tunggu aku dong!” aku berjalan cepat mengejarnya.
***
0 notes
jeremykazuma · 8 years ago
Text
Dibawah Langit Yang Sama - Onaji Sora no Shita De 「同じ空の下で」 (bagian 5)
Hari ini, aku dan Kakakku sedang jalan-jalan di pusat perbelanjaan. Tiba-tiba aku melihat seorang gadis yang memanggil nama depanku. Aku kaget, dia bisa tau nama depanku. Saat ini aku masih belum tahu siapa dia sebenarnya. Lalu dia berjalan mendekatiku dengan cepat.
“Tidak salah lagi, kamu pasti Kazu-kun. Sudah lama kita tidak bertemu, ya?”
“Jangan-jangan, kamu Fransisca?” wajahku masih menunjukan keraguan.
“Iya jelas lah, masak kamu lupa sama aku??”
“Emmm... Fransisca yang aku kenal, rambutnya tak sehitam ini. Apa benar ini kamu??”
Dia malah tertawa lalu tersenyum.
“...Memang, kita perlu banyak ngobrol hari ini.”
Dan kami bertiga bersama-sama berjalan untuk masuk ke toko pakaian.
“Onee-chan! Aku sudah kembali.”
HAH?! Kami berdua terkejut melihat, ada Kirisaki Yukari disitu. Tak kami sangka, kami bisa bertemu dengan mereka di tempat ini.
“Ohh... kau sudah selesai, ya?” “Wah... ternyata ada Kenzo-kun dan Kazu-san juga, selamat pagi...,” sambil tersenyum manis.
Weehhh senyumannya itu loh yang membuat hati terasa damai...
Tapi...
Jujur saja, Fransisca Yukari juga tak kalah manis dengan Kakakknya.
Kami disini berbincang-bincang soal kehidupan mereka. Kirisaki yang kuliah di Tokyo, Fransisca yang juga berkuliah disana. Tapi jurusan mereka berbeda. Kami juga membahas tentang perubahan penampilan mereka, terutama Fransisca. Dulunya dia berambut kemerahan dan lurus, tapi sekarang, rambutnya diubah menjadi hitam pekat dan sedikit bergelombang. Katanya penampilannya berubah sejak kelas 3 di gedung akselerasi. Jadi pantas saja aku tidak bisa melihatnya secara langsung. Semua perubahan mereka berkat bantuan konsultan fashion oleh tantenya yang kebetulan juga adalah adik dari ibu mereka. Tak hanya secara penampilan, secara badan pun mereka berubah. Aku tahu, dulunya Fransisca itu lebih kurus, tapi sekarang, dia jadi agak gemukan, memiliki tubuh yang ideal. Sedangkan Kakakknya, Kirisaki, dulunya dia gemuk, tapi sekarang dia jadi lebih kurus. Kesimpulannya, mereka berdua memiliki tubuh yang sangat ideal, itu semua juga berkat mengawasan dari tantenya yang menjaga pola makan dan tidur mereka berdua.
“Oya, habis ini kita mau kemana, Kak?” Tanya Fransisca.
Lalu mereka berdua datang mendekati kami, dan Kirisaki menghadapkan wajahnya ke Kakakku.
“Tanya saja sama mereka berdua,” sambil tersenyum manis ia berkata.
Lagi, lagi, dan lagi. Mungkin... aku sudah jatuh cinta dengan senyumannya. Aku sampai tak tahu harus kemana setelah ini, bahkan... kakiku tak bisa aku gerakkan.
“Emmm... kita coba ke tempat makan di depan aja, gimana?”
Kakakku menjawab dengan tenang.
“Boleh....” Kirisaki membalasnya.
Kami berempat menuju ke kedai makanan Jepang. Lokasinya berada tepat di seberang pusat perbelanjaan ini. Ruangannya cukup luas dengan nuansa ala Eropa. Lantainya yang terbuat dari kayu ebony dan langit-langit dengan material yang sama, menjadikan suasananya hangat dan ramah.
Kami pun duduk di sofa yang cukup dengan empat orang. Aku di posisi kiri dan Kakakku di kanan. Aku berhadapan dengan Fransisca langsung dan Kirisaki di depan Kakakku.
Sambil menunggu pesanan kami, kami mengobrol tentang Fransisca dan Kirisaki yang bisa-bisanya mereka di daerah sini. Kakakku memulai pertanyaannya.
“Kenapa, kalian bisa berada disini??”
“Jadi kamu belum tau, ya?”
“Ehmm... apanya?”
“Dulu, rumah kami berada di sekitar sini. Hari ini kami sekeluarga sedang mengunjungi rumah kami yang lama. Papah mamahku saat ini sedang bertemu dengan calon pembeli, dan kami berdua memutuskan pergi sejenak untuk belanja. Sekarang malah ketemu deh sama kalian.”
“Ooo... ternyata kalian pernah tinggal di daerah sini, ya? Baru tau aku.”
Kakakku agak bingung sepertinya.
“Lalu... apa rumah kalian juga dekat sini??” Tanya Kirisaki dengan penasaran.
“Iya, benar, rumah kami berjarak sekitar 8 menit kalo dari sini.” Kakakku menjawab.
“Ohhh... itu dekat banget.”
“Iya, dekat de—“
Pembicaraan Kakakku dipotong oleh Kirisaki.
“Itu berarti, kami bisa mampir sebentar dong di rumahmu?” Kirisaki langsung menimpanya.
“Eh?! Yang benar??”
“Iya, aku serius.”
Kakakku menghela nafas.
“Sebaiknya, kabari dulu orangtua mu.”
Kirisaki langsung mengetik dengan cepat di ponselnya.
“Sudah!”
Hah?! Cepet banget?!
“Hah?! Cepet banget?!” Kakakku juga kaget.
“Kakakku kalo ngetik emang cepet, kok.” Fransisca menjawab.
“Memang betul sih, ya, perempuan-perempuan kalo ngetik itu cepet banget.” Aku menimpalnya.
“Gak semuanya kali....” Fransisca membalasku.
Ketika itu pesanan sudah kami datang. Kami pun berhenti ngobrol sebentar dan menikmati makanan kami.
Sampai di penghujung penghabisan, kami meminum minuman pesanan kami.
“Hmmm... enaknyaaa...,” Fransisca berkata sambil menikmati minuman yang ia teguk. “Makanan disini juga enak-enak, apa ini tempat favorit kalian??”
“Tidak sih, justru ini baru pertama kalinya kami kesini.” Aku menjawabnya.
“Dan kebetulan masakannya juga enak-enak.” Kirisaki juga berkomentar soal masakan. “Oya, Kenzo-kun, kamu jago masak, kan? Bisa tidak kalo nanti kami sedikit mencicipi masakan buatanmu?” Kirisaki langsung bertanya secara langsung.
“E—E—Eh... Emm... Anu... b—boleh sih... aku bisa mempersiapkan bahan-bahannya.” Kakakku menjawab dengan sedikit grogi.
“Wah... baguslah! Iya kan, Fransisca?” Kirisaki gembira.
“Iya, bagus!” Dia juga senang.
Aku pun juga ikut senang saat melihat ekspresi yang ditampilkan lewat wajah mereka.
Akhirnya kami selesai minum dan melanjutkan perjalanan pulang kami.
“Eh? Apa itu? Sepertinya tempat jual kue.” Kirisaki bertanya heran.
“Ya, itu toko kue di daerah sini.”
“WAH... kita mampir sebentar, ya??”
Ya ampun, kenapa tingkah laku Kirisaki-san jadi terlalu gembira begini?
Setelah kami semua masuk, Kirisaki langsung menuju etalase display untuk melihat kue-kue yang cantik dan manis.
“WAAA... IMUTNYAAA!” mata Kirisaki langsung berbentuk lope-lope*, kegirangan tak terbendung.
[Maksudnya hati]
“WAAAAA... YANG INI JUGAAA!!!”
Apa ini tidak terlalu berlebihan??
“WAAAAA... INI MANISNYAAA!”
Tiba-tiba Fransisca juga ikut-ikutan lebay.[1]
Mereka berdua mengelilingi toko kue sambil meneriakkan kata-kata itu di depan kuenya, kami berdua hanya bisa berdiri terdiam melihat tingkah laku mereka. Sebenarnya mereka mau beli atau tidak, sih?
“Kenzo-kun, aku jadinya beli yang ini.” Kirisaki membeli sebuah kue manis dengan lapisan coklat dan dia tunjukan kepada Kakakku.
“Kazunari, kalo aku yang ini.” Fransisca membeli sebuah kue stroberi dengan taburan keju diatasnya dan ditunjukan kepadaku.
“Ohhh... cepat juga belinya??” Kami berdua heran.
“Ya sudah, ayo kita segera kembali.” Kirisaki mengajak kami untuk kembali ke rumah kami.
Setiba di rumah, aku dan Kakakku segera memperkenalkan mereka berdua kepada Ibu kami. Ibu kami menerima dengan senang hati dan mereka diijinkan untuk ikut kami berdua ke dapur.
“Eh Kenzo-kun, bolehkan kue kami, kami titipkan dulu di lemari es mu?” Kirisaki meminta ijin kepada Kakakku.
“Oh, bukannya mau kamu makan sekarang?”
“Tidak kok, kue ini nantinya untuk kami makan bersama papah dan mamah.”
“Ooo... begitu... baiklah, sini.”
Kue-kue mereka dimasukkan ke dalam lemari es, sementara aku sedang mempersiapkan minum untuk mereka.
“Mau kopi atau teh?”
“Aku teh, boleh.” Jawab Fransisca.
“Kalo aku kopi, boleh.” Jawab Kirisaki.
“Pakai susu?”
“Boleh....”
“Jadi, masakan apa yang kalian mau?” Tanya Kakakku.
“Yang terakhir kamu buat, dong.” Jawab Kirisaki dengan polos.
“Oh, buat saja itu, Kak.”
“Hmmm... oke.”
Lalu Kakakku mempersiapkan bahan-bahannya, dia mengambilnya dari lemari es, aku pun juga membantunya supaya lebih cepat. Yaaa... meskipun aku tidak bisa memasak sih.
“Gimana kalo kamu bagian merias saja?”
Ah, aku sudah duga perkataan itu.
“Oke, bisa diatur.”
Mudah-mudahan tidak berantakan hasilnya.
Makanan yang kami buat adalah Mochi Es Krim lagi, tapi kali ini ukurannya lebih besar dari kemarin, karena bahan yang ada di lemari es sudah tinggal sedikit, jadi sekalian aja dihabiskan.
“Tunggu sebentar ya, ini harus didinginkan selama 3 menit dulu.” Sahut Kakakku.
Sambil menunggu, aku mencoba untuk membayangkan riasan apa yang akan aku buat sebelum dihidangkan kepada mereka. Kakakku memberikan beberapa saran untukku. Lagi-lagi aku jadi terbantu deh. Tapi tidak apa-apa, aku tetap harus meriasnya se-bagus mungkin.
Setelah Mochi itu dingin, aku mulai untuk menata dan meriasnya. Aku mencoba dengan sedetail mungkin. Dan hasilnya...
“Wahhh... bagus jugaaa...,” mata Kirisaki berbinar.
“Cantiknyaaa...,” Fransisca memandanginya dengan riang.
Mereka merasa puas dan senang. Dan mereka juga tidak merasa kedinginan sama sekali. Apa jangan-jangan, gigi mereka terbuat dari logan? Apa mereka sudah terbiasa makan es di musim dingin?? Atau jangan-jangan, tiap hari mereka makan es di musim panas??? Hahaha... aku jadi tertawa sendiri dalam hati, mungkin mereka menahan kedinginan aja kali.
Mochi Es Krim yang dibuat Kakakku berbeda dari biasanya. Untuk kali ini Kakakku menambahkan tambahan es krim diluarnya, menambahkan beberapa taburan keju dan buah-buahan kecil di sekitarnya serta aku hias dengan coklat hitam di atasnya dengan tipis. Jadi tidak murni Mochi saja. Sedangkan untuk kami berdua, hanya ditambahi es krim di pinggirnya.
“Silahkan dimakan.” Kata Kakak.
“Baik, mari makan....” Kata Kirisaki.
“Mari makan....” Fransisca juga menyahut.
“Mari makan.” Aku ikut.
Kami semua menikmati hidangan pencuci mulut dari Kakak, mereka juga tidak menyangka bahwa Kakakku bisa membuat makanan manisan Jepang seperti ini. Terutama Kirisaki yang tadinya ia pikir jika mereka akan dibuatkan masakan biasa, tapi ternyata tidak. Fransisca juga mengatakan bahwa betapa baruntungnya aku memiliki Kakak yang bisa membuat masakan apapun.
Malam pun tiba, tak terasa sudah jam 7 malam, waktunya mereka kembali ke rumah mereka. Kami berempat turun dari lantai atas dan hendak berpemitan dengan Ibu kami, dan juga Ayah kami yang sudah pulang kerja.
“Kami pulang dulu ya, Om dan Tante. Terima kasih atas ijinnya.” Kirisaki berpamitan dengan Ibu.
“Oh, terima kasih juga sudah berkunjung, kapan-kapan berkunjung lagi aja, ya?”
“Yahhh, Ibu...,” Kakak menjadi malu dengan ucapan Ibu.
“Hati-hati ya di jalan.” Ayahku menyahut.
“Terima kasih juga atas makanannya ya, Kenzo-kun.”
“A—Ah... i—iya... sama-sama,” lagi-lagi menggaruk rambut belakangnya karena malu.
“Terima kasih juga, Kazu.” Fransisca mengucapkan kepadaku dengan lembut.
Ayah dan Ibu menunggu di belakang pintu, sedangkan kami berempat berjalan menuju ke depan. Mereka berdua dijemput dengan mobil langsung dengan orangtua mereka.
“Dah, sampai jumpa kedepan.” Kirisaki berpamitan dengan kami, lalu ia membuka pintu mobil belakang.
“Oh... Kazu....”
“Apa?”
“Bolehkah aku tau alamat emailmu?”
Tiba-tiba dia meminta alamat emailku.
“O—Oh... bolehlah....”
Aku memberitahukan alamat emailku kepada Fransisca, dan dia mengetik sambil mendengarkan apa yang aku ucapkan.
“Sudah, terima kasih ya, Kazu-kun.” Dia mulai masuk ke dalam mobil. “Sampai jumpa di lain waktu,” dan dia mengatakan dengan wajahnya yang tersenyum manis di bawah cahaya senja sore yang menembus kaca mobil belakang.
Matanya tampak anggun, rambutnya tergerai terkena angin, bibirnya licin bagaikan marmer yang sedang dipoles. Sungguh... dia benar-benar membuatku tertawan.
Lalu pintu mobil ditutup. Mereka melambaikan tangan kepada kami berdua dan mobil pun berangkat pergi.
Cahaya senja itulah yang membuatku mengingat terus akan senyumannya. Saat sini aku membayangkan, betapa beruntungnya aku bisa kenal dengannya. Meskipun kami pernah terpisah sewaktu SMP dan SMA, tapi hari ini, aku masih bertemu dengannya disini. Aku bersyukur atas hal ini, dan aku yakin... pasti kami dapat bertemu kembali...
Karena kami masih berada, di bawah langit yang sama...
“Kak, bagaimana hubungan Kakak dengan Yukari-san dulu?”
Dia tersenyum lalu berkata, “Akan Kakak ceritakan sehabis makan malam, ya?”
“Baiklah.”
[1] Sesuatu yang dilebih-lebihkan.
0 notes
jeremykazuma · 8 years ago
Text
Dibawah Langit Yang Sama - Onaji Sora no Shita De 「同じ空の下で」 (bagian 4)
Ku lihat foto itu dengan seksama, dengan penerangan lampu belajar. Katalog yang aku ambil adalah milik kakakku, namun aku yang menyimpannya.
Memang...
Memang benar...
Ini adalah seorang gadis kakak beradik yang dikenal oleh Kakakku, aku pernah bertemu dengannya sekali, tapi aku tidak mengamati wajahnya dengan lebih detail. Aku hanya kenal dengan adiknya saja.
Pada waktu itu, Kirisaki Yukari berada di kelas 3 SMP Todo Oji, sama dengan kakakku. Sedangkan adiknya bernama Fransisca Yukari, setara denganku yang pada waktu itu kami masih kelas 3 SD.
Aku dengan Fransisca Yukari memang satu SD, tetapi waktu SMP kami berpisah. Herannya kami bertemu lagi di kelas 1 SMA. Akan tetapi kami berpisah kembali sejak dia mengambil kelas akselerasi, dan gedung yang dia tempati berbeda gedung dariku.
Sedangkan kakaknya juga lulusan dari SMA yang saat ini aku bersekolah beberapa tahun yang lalu.
Lalu dimana Fransisca Yukari sekarang?
Sekarang, dia sudah lulus duluan. Katanya dia ingin berkuliah di Tokyo. Jadi total selama dia berada di SMA, dia hanya menempuh hanya dalam waktu 2 tahun saja. Hebat sih... dia juara 1 terus soalnya.
Tapi, aku tidak tahu dengan kakaknya, si Kirisaki Yukari. Apakah dia ikut kelas akselerasi juga seperti adiknya??
Malam pun semakin larut, aku mencoba untuk tidur setelah aku membereskan buku-buku itu. Tapi sepertinya mata tak mau tertutup. Dengan terpaksa aku bangun lagi dan iseng-iseng mencari sesuatu.
Aku turun ke lantai bawah, ke ruang tengah untuk menyalakan televisi, sambil aku membuka laptopku. Entah kenapa aku menyalakan televisi tetapi pandanganku ke arah laptop. Itu bertujuan supaya suasananya tidak terlalu sepi (lebih tepatnya tidak terlalu gelap).
Hal yang aku lakukan di laptop benar-benar murni iseng. Ku buka foto-foto album lama saat aku masih SD. Dan kutemukan...
Sebuah foto gadis...
Dia adalah...
Teman dekatku waktu SD... FRANSISCA YUKARI!
“EH?!”
Kenapa? Kenapa ada dia??? Kok... bisa sih???
Siapa coba yang menaruh foto ini disini?! Perasaan aku ga pernah memfoto dia...
Aduhhh... pikiranku sekarang tambah kacau. Dari yang tidak bisa tidur, tiba-tiba jadi pusing begini. Siapa coba yang naruh foto ini ke dalam album foto laptopku?!
Hmmm... apa jangan-jangan...
Ini ulah kakak???
Dalam foto itu, dia sedang berpose ceria, dengan kedua jari kirinya membentuk huruf ‘V’ sambil lompat sedikit. Dia memakai gaun biru cerah, memakai sepatu warna coklat dan topi warna kuning. Latar belakangnya sepertinya sedang berada di hutan, mungkin pada waktu darmawisata.
Oh?! Darmawisata?!
Sepertinya aku baru ingat, bahwa pada waktu itu kami pernah ikut darmawisata, tapi aku lupa kelas berapa.
Aku coba mencari bukti-bukti yang lainnya. Aku buka semua folder yang ada foto waktu aku SD.
Tak perlu lama-lama aku mencarinya, hanya dengan 3x klik, aku sudah menemukan semuanya. Ternyata memang benar, ada banyak foto dari dia.
Aku hilang ingatan sepertinya. Kenapa aku bisa tidak ingat? Apa karena....
Hmmm... kami memang terlalu lama berpisah sampai-sampai aku tak ingin mengingat masa lalu ku ini. Padahal... tidak ada yang suram-suram amat. Aku hanya ingin melupakan perkataan bodohku pada waktu kelas 1 SMA awal, sebelum aku akan berpisah dari dirinya.
Setelah aku melihat-lihat fotonya, aku menemukan satu foto yang berbeda sendiri. Aku melihat foto itu dengan terpana. Ternyata dia pernah berpose seperti ini.
MANIS JUGAAA...
Mataku berbinar-binar, hatiku merasa senang, jantungku berdegup kencang.
“EH?! Kenapa aku sesenang ini???”
Meskipun aku mulai mengantuk, aku terus memandang foto itu dengan dalam. Sepertinya aku mulai merasakan sesuatu yang tumbuh di dalam hati.
“WAH!!! TIDAK TIDAK TIDAK TIDAK!!!”
Saat ini aku tidak mau jatuh cinta lagi, aku mau fokus dengan masa-masa SMA ku. Seperti pada anak remaja yang normal dan memiliki banyak teman yang normal. Yah, setidaknya seperti itu.
Mumpung masih ada waktu, aku pergi ke dapur, membuka kulkas untuk meminum jus. Aku mencoba menenangkan otakku. Pada akhirnya, otakku bisa tenang dan aku bisa melanjutkan tidur malam ku ini.
Hari esok pun bersinar terang, hari yang pas untuk jalan-jalan. Aku merencanakan untuk pergi bersama dengan yang lainnya. Kami memang tidak sempat membahas acara lagi, tapi jika kami mau pergi mendadak, bisa lah. Kan ini masih libur...
Aku bangun jam 9 pagi dan tepat jam 10 aku selesai mandi, makan dan cuci piring. Saatnya aku untuk mengabari teman-temanku lewat pesan email.
“Kazu-chan, hari ini kamu nganggur, kan?”
Dengan mendadak pula, Kakakku masuk ke kamar dan bertanya seperti itu.
“Memangnya ada apa, Kak?”
“Sebaiknya, kamu ikut aku segera.”
“EH?! Kemana?”
“Udah, pokoknya cepat ganti pakaian!”
Weleh, kenapa tiba-tiba ia begitu? Memangnya ada yang mendesak banget, ya??? Kok sampai seperti ini... tapi ya sudah lah, aku ikuti saja katanya.
“Kau sudah siap?”
“Sudah.”
“Baik, ayo kita berangkat.”
Kami berlari dari rumah kami sampai ke halte. Dengan satu kali perpindahan rute, kami pun sudah sampai pada tujuan.
“Kenapa kita kesini, Kak?”
“Aku sedang janjian bertemu dengannya disini?”
“Oh... perempuan yang Kakak sebutin kemarin?”
“Iya.”
Jadi kami berdua sedang berada di Taman Daikichiyamafuchi yang lokasinya tak terlalu jauh dari rumah. Kami disini sedang menunggu Kirisaki Yukari yang kata Kakakku dia datang sendirian (wahhh...). Di tengah waktu menunggu, hp ku berdering, disitu bertuliskan Sam ingin mengajakku pergi ke pusat perbelanjaan. Tumben sekali dia ingin mengajakku ke tempat itu, biasanya dia akan mengajak adiknya perempuan. Tapi aku membalas, tidak bisa. Lalu dia meminta maaf kalau dia mengganggu waktuku, padahal kami disini gak lagi ngapa-ngapain, cuman menunggu seseorang yang membuatku penasaran.
“Sudah lama menunggunya, Kenzo-kun?” Akhirnya, dia datang juga.
Jadi... ini dia?? Benar-benar perempuan ini tampak masih seperti gadis sekolahan. Penampilannya benar-benar berubah sejak aku melihat lewat katalog.
Dia berambut panjang, matanya agak bulat melebar, bibirnya memakai lip-gloss warna merah muda, memakai baju terusan yang panjang berwarna kuning pastel dan juga memakai tas samping kecil berwarna kuning lemon. Wow... dia terlihat mempesona!
“Ya... lumayan juga...,” Kakakku tersenyum sambil menggaruk rambutnya.
“Maaf, jika aku terlambat.”
“Oh... tidak, tidak apa-apa, kok,” tersenyum lagi.
“...Syukurlah.” “...Loh? Itu siapa?”
“Nah perkenalkan, ini adikku, Kazunari Ono,” tangannya sambil memeluk pundakku.
“Salam kenal.” Aku mengatakan.
“Ohh... jadi kamu adiknya, ya? Perkenalkan, namaku Kirisaki Yukari, senang berkenalan denganmu,” sambil wajahnya tersenyum lembut.
“Iya...,” aku pun agak terpana.
Setelah kami berkenalan, dia pun dipersilahkan oleh Kakakku untuk duduk bersama kami.
“Kak, apa aku harus pergi dulu?” aku berbisik ke telinganya.
“Oh, tidak usah, kamu tetap disini aja.”
“Baik.”
“...Jadi, ada hal apa sampai kau memberitahuku mendadak begini?” Kakakku memulai pembicaraannya dengan Yukari.
“Ahh... sebenarnya tidak ada apa-apa sih. Aku hanya ingin bertemu denganmu saja, apalagi di tempat seperti ini.”
“Bilang saja kalau kau rindu tempat ini.”
“Heem, kau benar.”
“Tapi... apa tidak apa-apa, kau meninggalkan tempatmu?”
“Sekarang sudah tidak apa-apa, kok. Lagipula aku kan sudah bekerja.”
“Iya sih, benar juga.”
“Masa sekolah dimana dulu kita sering ke tempat ini, aku jadi ingin kembali ke masa itu.”
“Benar sih, tapi kita kan sudah dewasa, Kirisaki-chan.” “...Lagipula, kita juga sudah bekerja. Kita hanya punya sedikit waktu untuk liburan.” Kakakku melanjutkan.
“...Maka dari itu, aku mau memanfaatkan waktu ini untuk pergi.”
“Pergi kemana?”
“Aku belum bisa mengatakannya sekarang, tapi...” dia mengambil sebuah foto dari tasnya. Memandangnya dengan serius. Lalu diberikan kepada Kakakku.
“...aku harap, kau juga punya pemikiran yang sama.” Dia melanjutkan perkataanya.
Kakakku memandang foto itu. Aku pura-pura tidak melihatnya. Tapi terlintas, itu adalah sebuah tempat wisata yang jauh dari sini. Dengan latar belakang gunung yang besar dan pemandangan hijau di bagian depannya.
“Sudah ya, aku pergi dulu. Selamat bertemu lagi, Kenzo-kun.”
Dia mengucapkan kata perpisahan dengan wajahnya tersenyum indah yang disinari oleh cahaya matahari musim dingin. Seketika itu aku menjadi terpesona melihatnya. Lumayan juga.
“Oh, baik. Hati-hati.”
Kakakku berpamitan dengan tangannya masih memegang foto itu. Jika dilihat dari ekspresi wajahnya, Kakakku pasti akan datang ke tempat itu.
Ketika Yukari berjalan menjauh, aku dan Kakakku segera untuk kembali dari tempat itu. Di tengah perjalanan kami, aku bertanya satu hal soal perkataan tadi.
“Kak, jadi kalian berdua ingin pergi ke tempat yang ada di foto itu?”
“Hmmm... kau sudah tau, ya?”
Eh? Justru aku belum tahu makannya aku tanya.
“Ya belum lah.”
“Eh?! Maksudmu apa?”
“Hah? Apa sih? Aku juga jadi bingung.”
Aduh... apa yang sedang dipikirkan Kakakku??? Apa dia melamun??? Sampai-sampai dia tidak mengerti apa yang aku tanyakan.
“Ya sudahlah, lupakan saja, sebaiknya kita langsung menuju ke rumah saja.”
“O—Oh... baiklah.”
Dan aku pun melupakan pertanyaanku tadi, daripada bikin salah paham, lebih baik aku tunda rasa penasaranku ini.
***
Malam pun tiba. Kami sekeluarga sedang makan malam bersama. Kakakku yang memasak untuk kami semua. Ayahku dan Ibuku seperti biasa, makan sambil menonton acara televisi. Sedangkan aku duduk di meja dapur untuk menunggu hidangan penutup buatan Kakak.
“Dengaren sekali Kakak tidak membuat Yokan?[1]”
“Sekali-kali biarkan Kakak membuat hidangan pencuci mulut ini,” ujarnya sambil kedua tangannya memegang mangkuk yang berisikan Anmitsu.[2]
“Oh, jadi ini yang namanya Anmitsu?”
“Iya, coba saja, Kazu-chan.”
Aku memegang sendok, memakan buah dengan es krimnya, ku coba untuk merasakan.
“WAHHH!! ENAK BENERRR!! Sejak kapan Kakak bisa membuat ini??”
“Sudah lama sih, sewaktu Kakak sekolah dulu, jadi sudah agak terbiasa.” Lalu ia mengambil bahan lain di lemari es. “Nah sekarang Kakak akan membuatkan manisan Jepang yang terkenal.”
“Apa itu??”
“Sudah, habiskan dulu Anmitsunya.”
“Oke, baiklah!”
Ternyata Kakakku belum selesai membuat hidangan pencuci mulut, ia akan membuat hidangan selanjutnya. Tak hanya ahli membuat masakan utama, ia benar-benar ahli dalam memasak segala macam. Maka dari itu kedai yang ia buka di Tokyo bisa cepat suksesnya.
“Oke... ini dia!”
“Wah... cepat sekali...,” aku pun terpukau heran, membuat makanan ini dengan cepat.
Namanya adalah Mochi Es Krim. Makanan ini terbuat dari adonan beras ketan manis yang disebut mochigome dan diisi dengan es krim lembut. Dan Kakakku benar-benar membuatkan untuk kami semua.
“Kok cepet banget sih, Kak?”
“Yah... soalnya sudah terbiasa sih. Di kedai Kakak di Tokyo, makanan seperti ini sudah menjadi hal favorit bagi para pelanggan, jadinya di dalam lemari es sudah tersedia, tinggal diambil saja kalo ada yang memesannya.”
“Ooo... begitu rupanya.”
“Yap. Ini, cobalah,” tangannya menyodorkan piring yang berisi Mochi Es Krim.
Aku pun mencicipinya. Dan ternyata rasanya lebih dari apa yang aku bayangkan. Tak terlalu manis meskipun ini tergolong manisan Jepang, tapi semuanya sempurna! Tak bisa aku membayangkan betapa bahagianya mereka yang memakan makanan ini di kedai Kakakku disana, mereka pasti ingin nambah dan nambah lagi.
“Waaa... enaknya....”
Baru satu gigitan saja aku sudah mabuk kepayang. BENER-BENER WENAKKK!!!
“Nah, tiap-tiap kita aku kasih jatah 2 Mochi, jadi jangan habiskan terlalu cepat, ya?”
“OKEEE...,” aku menjawab sambil nyengir kedinginan.
Memang dari kecil kami berdua sudah saling dekat. Kami selalu bermain bersama, bercanda bersama, dan berpetualangan bersama. Tapi untuk malam ini adalah malam yang spesial. Meski semua makanan yang aku makan dingin, hati ini merasakan sebuah kehangatan dari Kakakku. Sebelum hari Natal tiba, aku berencana untuk membalas kebaikannya dengan memberikan sesuatu yang sangat berharga.
Setelah aku merenungkan apa yang sudah terjadi di meja makan, saatnya aku hendak tidur dan bangun besok hari.
“Kazunari-kun! Ayo kesini!”
“Hah? Kemana?”
“Ayo kesini!”
“Kemana?”
“Ayo kesini aja!” sambil menggandeng tangan.
“Ehh... ehhh... kita mau kemana memang?”
“Sudah, ikut saja dulu...,” wajahnya sambil tersenyum.
Lalu aku pun bangun.
Lah, ternyata cuman mimpi, tapi... mimpi apa itu? Dan... siapa dia?
Dia seorang perempuan berambut panjang, berwarna hitam pekat, matanya yang bulat lebar, wajahnya bercahaya, senyumannya mempesona. Ah... aku tidak tau siapa dia. Kenapa tiba-tiba masuk dalam mimpiku semalam? Yah... sudahalah... namanya aja juga mimpi, pasti terjadi secara acak.
Jam 7 pagi aku bangun, karena mimpi itulah aku jadi bangun se-pagi ini. Dan inilah waktu tergasik selama liburan di bulan Desember. Aku juga tidak menyangka karena sebuah mimpi bisa membuatku ‘melek’ begini.
Hari ini adalah hari Jumat. Aku berencana untuk pergi dengan teman-temanku. Tapi sepertinya, aku juga ingin pergi dengan Kakakku. Sudah lama aku dengannya tidak pergi bersama sejak ia bekerja di Tokyo. Aku memikirkannya sambil duduk dengan tenang, pergi dengan teman-teman atau dengan Kakakku...
Aku mengurungkan niatku untuk pergi dengan teman-teman, lalu aku memutuskan untuk pergi dengan Kakakku saja hari ini.
“Hei, Kak, apa hari ini Kakak tidak pergi kemana-mana?”
“Tidak, memangnya kenapa?” ia sedang menggosok-gosok rambutnya dengan handuk.
“Ehmm... anu....” “Bagaimana kalo kita pergi keluar?”
Ia agak terkejut. “Oh... kau ingin pergi dengan Kakak?” sambil merapikan rambutnya, “Baiklah kalo bagitu.” “Ayo kita pergi.”
Kami berdua pergi ke tempat yang dulu sering kami kunjungi waktu aku masih SD, yaitu sebuah pusat perbelanjaan dekat dengan rumah kami. Dari dulu kami memang suka pergi sendiri berdua ke tempat ini. Aku menjadi berani bepergian juga karena Kakakku yang selalu berani pergi sendiri. Apalagi ke tempat ramai seperti ini. Ia juga pernah tersesat disini, tapi karena keberaniannya, ia pun bertanya kepada satpam dan bisa kembali pulang dengan selamat. Kakakku memang orangnya suka nekad. Masih kecil saja sudah pergi kemanapun yang ia mau dan suka.
“Kita mau beli apa ya disini?” tanya Kakakku dengan melihat-lihat sekeliling.
“Entahlah, coba lihat-lihat dulu aja, siapa tau ada yang cocok.”
Kami masuk pada bagian perbelanjaan, lalu berjalan mengelilingi bagian makanan. Melihat kesana kemari, dari ujung sampai ujung. Yah... kami memang sedang tidak ingin beli apa-apa. Tapi ketika kami mulai berjalan keluar, aku melihat seseorang yang tidak asing bagiku. Dia berada di kasir, sendirian dan rambutnya hitam pekat. HAH, HITAM PEKAT?!
Di otakku, aku mikir macem-macem. Dia seperti gadis yang ada di dalam mimpiku semalam. Tapi... TIDAK TIDAK TIDAK!!! Pasti bukan dia. Postur tubuhnya sepertinya beda. Wajahnya juga... sepertinya gak sesuai yang di mimpiku.
Akhirnya kami menuju ke arah keluar, dan dia pun juga berjalan di depan kami. Dia menatap kami berdua, dengan tatapan agak heran dan terus mengamati makin lama.
Kok jadi gugup begini ya?? Padahal belum pernah bertemu sebelumnya,  apalagi secara nyata gini.
Kami heran dan terus heran. Kenapa tiba-tiba kami saling BERTATAP-TATAPAN?!!
“Loh? Anda bukannya Kenzo-san, ya?”
LOH?? Siapa dia? Kok bisa kenal Kakakku??
“...Dan yang disebelahnya... emmm... eeeee....”
Dia mengamatiku dalam-dalam sambil berpikir keras.
“...OHHH!!! KAMU KAZUNARI, YA KAN???”
EH?! APA?!!
[1] Makanan pencuci mulut yang mirip seperti gelatin tebal dan dibuat dari kacang pasta kacang, agar-agar, dan gula.
[2] Sajian hidangan pencuci mulut bergaya parfait yang terdiri dari pasta kacang merah manis, agar-agar jeli berbentuk kubus kecil, buah segar, dan satu sekup es krim yang dituangi sirup manis berwarna gelap disebut kuromitsu.
0 notes
jeremykazuma · 8 years ago
Text
Dibawah Langit Yang Sama - Onaji Sora no Shita De 「同じ空の下で」 (bagian 3)
“Ono-san!”
Tanganku dipegang oleh seseorang, dan aku sangat yakin... ini tangan seorang gadis... tapi... siapa dia???
Lalu aku menoleh kebelakang. Dan ternyata... Otsuka-san!
“...O—Ono-san... biarkan, a—aku ikut dengan kalian...,” wajahnya tertunduk dan terlhat gugup, sambil tangannya memegang tangan kiriku.
“HE?!” “Apa kau, ti—tidak keberatan??” Aku juga terlihat kaget saat dia mengucapkan kata-kata itu.
“A—A—Aku mohon...,” wajahnya yang gugup bercampur malu, memperlihatkan kepolosannya dengan jujur. Jadi... mau tidak mau, aku mengajaknya.
Tiba saatnya kami semua memesan makanan. Di tempat ini menyediakan berbagai macam menu masakan, mulai dari tradisional sampai yang cepat saji. Harganya pun tergolong terjangkau dan tempatnya juga cukup nyaman. Kami duduk tanpa menggunakan kursi (alias lesehan). Dengan suasana ala-ala kedai mahal, tidak salah kami memilih tempat ini.
Sambil menunggu pesanan, Rikku mulai mengawali pembicaraan. Ia hendak mengenalkan Kirei untuk pertama kalinya di depan wajah kami semua.
“Jadi, perkenalkan dirimu,” Rikku sambil melihat ke arah Kirei.
“O—Oh... perkenalkan, namaku Kirei Otsuka dan aku temannya Rikku Hidayashi.”
Wajahnya tersenyum manis, dan aku berada tepat di depannya. Memang, sepertinya dia punya bakat memikat hati pria.
“Kami semua sudah tahu kalau kamu temannya Rikku, dia udah pernah cerita tentangmu sebelumnya, kok.”
“Hei, sudahlah Marco, ayo cepat perkenalkan namamu.” Aku menyela dia.
“Baik, namaku Marco Nishimura.”
“Namaku Samuru Fujimoto dan panggil saja aku Sam.”
“Namaku Makoto Torisakuchi, salam kenal,” Makoto memberi hormat.
“O—Oh... baik... salam kenal juga,” Kirei kembali hormat.
“...”
“HE?! Kenapa kau tidak memperkenalkan dirimu, Kazu?” Tanya Marco dengan heran.
“Aku sudah memperkenalkan diriku waktu itu.”
“HAH?! KAPAN??” Lagi-lagi Marco terkejut berlebihan.
“Iya, pada waktu itu, Rikku dan Ono-san sedang berada di restoran Eropa. Kebetulan aku juga bekerja disana, jadi aku sekalian kenalan.”
“Ooh... jadi kalian berdua pergi sendirian? Tanpa mengajak kami?” Pandangan Marco yang agak sinis.
“Ehhh... tenang dulu... pada waktu itu kalian lagi ada urusan masing-masing, jadi aku tak bisa mengajak kalian.”
“Ooh... begitu, ya?” Marco, dengan wajahnya yang sedikit curiga dan bibir yang monyong seperti simpanse. Entah itu mengejek atau curiga, tak pernah bisa aku membedakannya.
Lalu setelah kami saling berkenalan satu sama lain, makanan yang kami pesan pun tiba. Kami sejenak menghentikan obrolan dan memulai untuk menyantap hidangan kami.
Selagi aku memakan makananku, aku melihat raut wajah Rikku sedikit gugup. Aku belum pernah melihat wajah Rikku seperti itu. Apalagi pada waktu makan seperti ini dan ditemani oleh seorang gadis. Tapi, wajah Kirei terlihat biasa saja. Tidak ada aura kegugupan saat makan, tidak seperti tadi waku memperkenalkan dirinya. Hanya saja dia diam tak berbicara dengan Rikku sambil menikmati makanannya dengan nikmat.
“Hei, Rikku?”
“Ada apa?”
“Kenapa kau diam saja?”
Aku sengaja memancingnya agar Kirei juga ikut merespon.
“Memangnya... aku harus ngapain? Kan, aku lagi makan?”
“Setidaknya jangan diam begini dong, suasananya kayak sedang ujian, tau.”
Dengan sengaja Sam menjatuhkan sumpitnya ke lantai sambil berteriak, “ADUHHH!!!”
Dan dilanjut Marco yang juga sengaja menjatuhkan merica ke lantai, “WAAAA!!!”
“HE?! Gimana sih kalian?! Kenapa bisa jatuhnya barengan?” aku mengatakan sambil kepalaku melihat ke arah mereka berdua.
“Sengaja, ya???” Aku menambahkan.
“HEEE?? Aku tidak sengaja tau!!!” Marco mengelak.
“Benar-benar! Aku juga gak sengaja!” Sam ikut-ikutan mengelak.
“Dasar, kalian itu....” “Sudah, biar aku saja yang mengawali pembicaraan,” sambil kuletakkan mangkok Kari ku di meja.
Berhubung makanan kami juga sudah selesai, kami pun melanjutkan obrolan menuju topik yang ‘hangat’.
“Tuwongguu-tuwongguu!! Ouku belom solosai!” Makoto sambil mengunyah Ramen dimulutnya.
“Sudah... dengarkan saja dulu.” Kataku dengan santai.
“Jadi... Rikku, apa kau tidak ingin mengajak jalan Otsuka-san?”
Aku langsung menembak pertanyaan yang tajam kepada Rikku. Dia langsung terlihat panik, aku bisa lihat dari reaksinya.
“HAH?! E-E-Eto... A-Anu....” “...Hehehe.”
Malah dia ketawa.... Dengan wajah gugup dan malunya itu, sepertinya dia ingin menjawab pertanyaanku dengan jujur, tetapi...
“Memangnya... kita belum pernah jalan bareng ya, Rikku?” wajah Kirei sambil menghadap ke Rikku.
Semua kaget! Aku juga kaget! Kirei dengan santai membalas pertanyaanku.
“JADI??? KALIAN PERNAH KEN— EH... maksudku jalan bareng???” Marco berkata sambil matanya melotot ke muka Rikku. Dia hampir keceplosan ngucapin kata ‘KENCAN’.
“Jadi... memang kalian sudah pernah jalan berdua, ya?” Sam menambahkan.
“...Iya,” Kirei membalasnya sambil tersenyum. Dengan tangan kanannya menyangga dagunya dan mengarahkan kepalanya ke dekat Rikku. “Benar kan, Rikku?” Dia menambahkan.
Wajah Rikku terlihat sangat gugup, dia bahkan memejamkan matanya sambil menjawab, “I—I—Iya... benar....”
Sepertinya pernyataan Kirei lah yang justru menjadi senjata bagi Rikku. Dia tak sadar bahwa perkataan Kirei bisa menjadi bumerang baginya. Rikku pasti ingat dan sangat ingat bahwa dia sendirilah yang mengatakan tidak berani pergi dengan Kirei berdua. Tapi, kita lihat reaksinya selanjutnya.
“Kau sudah mulai berani ya, Rikku?”
Hmmm... nadaku tiba-tiba berubah menjadi sedikit mendesak dia. Aku juga tidak tahu apa yang akan terjadi. Paling-paling jika dia tertekan, pasti akan berubah menjadi marah.
“Maaf, biar aku jelaskan nanti.”
Maaf? Hmmm... aku masih belum paham tentang situasi ini. Aku juga merasa bersalah dengan nadaku sebelumnya yang keluar begitu saja. Tapi untuk saat ini, biarkan situasi seperti ini harus dibuang dulu. Bukankah tadi kami sedang bercanda, yakan?
“Kenapa wajah kalian seperti habis melihat meteor yang jatuh?” ucap Kirei dengan wajahnya yang penasaran, memandangi kami satu per satu.
“Okee... baiklah....” Aku langsung menyingkirkan situasi seperti ini. “Mari kita pesan hidangan penutupnya!”
“Makoto, biasanya kau yang paling tau soal hidangan penutup, kan?” mukaku langsung mengarah kepadanya.
“Iya, biarkan aku yang memilihnya untuk kalian semua!”
Makoto memang bisa diandalkan. Dia bisa membaca situasi seperti ini dan mencoba untuk mengubah menjadi suasana yang hangat kembali.
***
Seusai kami makan hidangan penutup, kami semua langsung membayarnya dan keluar kembali ke mobil Sam. Tak kami pikir sebelumnya, ternyata sudah jam 9 malam. Kami harus segera bergegas untuk pulang.
Kami juga berpamitan dengan Kirei karena dia pulang menggunakan bis umum. Wajahnya yang selalu tersenyum itu seakan tidak ada hal yang aneh dari pembahasan kami sewaktu makan. Rikku sepertinya masih berharap untuk bertemu dengannya. Lalu kami pun berpisah dengan Kirei.
Kami harus segera berlari ke parkiran mobil, karena yang kami kautirkan jika semakin malam, jalanan akan semakin ramai. Akhirnya kami sampai dan langsung keluar dari parkiran. Dalam perjalanan, aku langsung membuka pembahasan yang sangat penting untuk dibicarakan.
“Rikku, bisa kau jelaskan soal tadi?”
“...”
Dia hanya terdiam saja, sepertinya masih memikirkan perkataanku tadi.
“Sudah berapa kali kau pergi dengan Kirei?”
“...”
Dia terdiam lagi. Jika begini terus, lama-lama kami semua bisa bersikap dengan tegas.
“Rikku, lebih baik kau jujur saja.” Aku menambahkan lagi ucapanku.
“Maaf... maaf, kalau aku pergi sendirian tanpa memberitahu kalian. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus aku lakukan jika aku terdiam terus.”
“Maksudmu??” Aku masih belum mengerti dengan ucapannya.
“Dia itu... memang butuh bantuanku.”
“Bantuan apa lagi, Rikku?” Sam berbicara dari kursi kemudi.
“Bukankah kau sudah membantunya? Kenapa kau perlu membantunya lagi?”
Aku sengaja mengucapkan kata-kataku seperti ini, agar dia mau mengatakan yang sejujur-jujurnya kepada kami. Segala sesuatu yang ditutup-tutupi, pasti lama-lama akan terbuka juga.
“Aku tidak bisa mengatakannya sekarang,” Rikku berkata sambil menundukan kepalanya.
“Bukankah saat di kedai, kau mengatakan akan menjelaskannya kepada kami?” Marco berkata serius kali ini.
Suasana di mobil ini sudah tidak kondusif untuk santai. Mau tidak mau, aku harus membukanya disini, sebelum sampai di rumah masing-masing.
“Rikku, katakan dengan sejujurnya, segala yang kau ketahui tentang Kirei. Lebih baik kau jujur di hadapan kami, daripada kau jujur di depan orangtua mu.”
Aku mengatakan hendak meyakinkan hatinya untuk berbicara, untuk mengeluarkan semua kejujuran di dalam dirinya tentang Kirei.
Dia menarik nafas panjang, “Baiklah... mau gimana lagi,” dan menaikkan kepalanya sedikit.
“Kirei....” “Kirei, adalah seorang pelacur.”
“...”
Semuanya terdiam, semuanya hening. Tinggal aku saja yang tidak merasa panik.
“APA?! KIREI SEORANG SUNDAL?!” wajahnya panik setengah mati hingga matanya melotot ke arah Rikku.
“Kenapa? Kau tidak cerita dengan KAMI?!” Sam yang juga panik dengan melihat ke arah Rikku, tapi terhalang oleh kursi dan jendela mobil sebelah kanannya.
“Semuanya, diam dulu! Biarkan Rikku menyelesaikan pembicaraannya.” Aku mencoba untuk menenangkan mereka dan mengijinkan Rikku untuk bercerita.
“Jadi, aku pernah menolongnya sekali. Saat itu aku hendak pergi ke minimarket, dan tiba-tiba ada suara teriakan dari lorong gang dekat situ. Aku menghampiri suara itu dan datanglah Kirei sambil dikejar-kejar oleh seorang berandal. Aku menyelamatkan dia dari orang itu, lalu aku mengajaknya untuk minum. Dia menceritakan semua tentang pekerjaannya itu dan aku percaya saja. Dari situlah aku diberi dua pilihan soal Kirei, dan aku memutuskan untuk menolongnya, agar lepas dari kerjaannya sebagai pelacur.
Aku dan dia pergi ke rumah bordil yang memperkejakannya. Dengan segala macam upaya supaya Kirei bisa bebas dari pekerjaannya. Akhirnya, aku sanggup untuk melepaskan dia dan menolongnya untuk mencarikan pekerjaan baru. Sekarang, Kirei sudah bekerja pada sebuah restoran masakan Eropa. Dia bekerja dari pagi hingga sore hari.
Itulah usahaku saat aku menolong Kirei dari kehidupannya, tapi saat ini dia juga membutuhkan bantuanku untuk mencari kedua orangtua nya. Dia sangat rindu untuk bertemu dengan mereka.”
Setelah Rikku menceritakan semuanya dengan singkat, akhirnya suasana pun kembali menjadi tenang. Sam bisa fokus menyetir kembali, Marco juga sudah lega dan Makoto...
Makoto memang orang yang tenang. Jadi disaat ia panik, kepanikannya tidak akan terlihat di depan umum. Dia sudah bisa mengontrolnya sejak dulu.
Aku sendiri pun sudah bisa lega setelah Rikku menceritakan semuanya kepada kami. Meskipun tidak sedetail waktu aku diceritakan olehnya, tetapi setidaknya intinya sudah terlihat. Apalagi dia mengatakan bahwa Kirei meminta bantuannya lagi untuk mencarikan kedua orangtua nya.
Dan inilah masalah yang bisa timbul. Yang pertama, jika Rikku benar-benar membantu Kirei mencari kedua orangtua nya, maka kami juga harus bertindak untuk ikut bersama-sama. Yang kedua, jika Rikku tidak membantu Kirei, maka Kirei akan menjadi frustasi dan bisa menyimpang kembali ke jalannya yang dulu.
Ini adalah sebuah dilema yang harus kami hadapi. Tapi memang... Kami harus memilih!
“Ya, baiklah! Jika kau ingin menolong Kirei, silahkan. Tapi kami harus tetap ikut denganmu. Kami tidak ingin kau jatuh kedalam lubang yang sama dan bahkan bisa menjadi lubang yang lebih dalam dari sebelumnya.” Aku memejamkan mataku sebentar dan berkata, “...Mohon dimengerti, Rikku.”
“...Baik.” Rikku menjawab dengan matanya memandang ke arah kursi depan.
“Tapi....” Dia melanjutkan perkataannya. “Kalian tak bisa mengawasiku terus-terusan seperti ini. Aku bukanlah anak kecil lagi.”
“Kami tidak pernah menganggapmu seperti anak kecil, Rikku. Kami hanya gelisah jika kau pergi sendirian, apalagi menemui Kirei. Kami tidak ingin kau terjatuh lagi.”
“Tapi aku masih bisa jaga diriku sendiri. Bukankah, kalian percaya padaku?” dia melihat ke arahku dengan wajah penuh harap.
“Kami memang percaya padamu, tapi kami belum sepenuhnya percaya dengan Kirei, terutama aku. Meskipun dia orangnya terlihat ramah dan manis, justru itulah kekhawatiranku terhadapmu. Jujur, aku pun menjadi lemah saat dia memperlihatkan senyumannya kepadaku. Sepertinya dia memiliki motif yang lain.”
“...” Rikku terdiam.
“Rikku, apakah kami bisa mempercayakan hal itu kepadamu?” Ku yakinkan dia.
Rikku masih terdiam dan terlihat sedang berpikir masak-masak. Aku tahu ini memang berat baginya, tapi inilah jalan yang terbaik untuk kami semua.
“Baiklah, aku mengerti sekarang. Aku akan menuruti perkataan kalian.”
Dengan tatapan yang berbeda, kali ini matanya mengatakan dengan yakin. Sepertinya, dia sudah mulai mengerti.
Itulah yang kami harapkan. Kami semua tak bisa meninggalkan dia sendirian tanpa sepengawasan kami. Kami... selalu berharap bahwa Rikku jangan sampai terjatuh lagi. Hanya itu saja.
Akhirnya kami telah sampai di rumah masing-masing. Aku segera menuju ke kamarku hendak mengambil handuk untuk mencuci muka. Saat aku keluar dari kamar, aku terkejut dengan apa yang ada di depan mataku.
“KAKAK?!”
Dengan tiba-tiba, kakak pulang ke rumah dan mucul di hadapanku!
“Oiii, Kazu-chan[1], lama tak berjumpa!”
“Kenapa Kakak pulang sekarang??? Bukannya Kakak sedang bekerja di Tokyo?”
“Memangnya kenapa? Kamu ngusir Kakak?”
“E—E—Enggak, m—maksudku bukan seperti itu....”
“Hah... sudahlah, nanti kita bicarakan lagi, ya?”
“O—Oh... baiklah....”
Kakakku langsung masuk ke kamar, dan aku keluar untuk membasuh wajahku.
Tapi sebelum aku masuk ke kamarku lagi, aku bertanya kepada Ibu.
“Ibu, kenapa Ibu tidak memberitahu hal ini kepadaku?”
“Itu karena Kakakmu juga memberitahu Ibu mendadak, baru tadi sore dia memberitahuku, jadi Ibu tidak sempat.”
Jadi, Kakak memang suka datang mendadak. Dari dulu sampai sekarang gak pernah berubah. Lalu aku masuk ke kamarku dan bertanya kepadanya.
“Kenapa Kakak selalu datang mendadak begini? Setidaknya beritahu aku dulu dong.”
Dia tersenyum, “Ya... mau bagaimana lagi, ya... soalnya butuh waktu cepat, sih, jadi gak sempat memberitahu kalian.”
“Selalu begitu, dari dulu gak pernah berubah.”
Aku duduk di kamar sambil menunggu Kakakku selesai mandi. Aku ingin menanyakan banyak hal soal kedatangannya, termasuk pekerjaannya disana.
Setelah selesai mandi, Kakakku masuk ke kamar lalu duduk bersama denganku untuk berdiskusi pekerjaan dan kedatangannya yang mendadak ini.
“Kamu pasti bingung, kenapa aku bisa pulang?”
“Sudah pasti, apalagi ini bulan Natal. Memangnya ada apa, sih?”
“Kakak sudah tidak lagi bekerja sebagai marketing.”
“APA?! Lalu Kakak ngapain disana?”
“Kakak mencoba buka usaha kedai makanan disana, dan Ini sudah tahun kedua.”
“JADI?! Tanpa sepengetahuan kami, Kakak buka usaha sendiri??”
“Iya, memang itu rencana Kakak dari awal. Kakak memang sengaja tidak memberitahu hal ini kepada kalian, karena pada waktu itu Kakak masih belum yakin dengan hal ini. Tapi sekarang, sudah berjalan dengan baik, bahkan diluar dugaan Kakak.”
Ohh ternyata, seiring berjalannya waktu, kakakku bekerja sebagai marketing hanya untuk alih-alih membuka usaha kedai. Dengan modal yang terkumpul akhirnya ia berhasil juga membuka kedai yang sukses. Memang tidak heran, sejak SMP, keahliannya sebagai juru masak juga tak diragukan lagi. Selama SMP hingga SMA, Kakakku selalu mendapatkan juara dan gelar master juru masak. Ia benar-benar bisa diandalkan soal masak-memasak, sampai-sampai banyak yang jatuh cinta kepadanya (tidak seperti aku yang selalu ditolak gadis).
Aku benar-benar tidak menyangka jika Kakakku mempunyai tekad yang sangat keras dalam dirinya. Aku pun sendiri masih perlu banyak belajar darinya. Meskipun aku seringkali ditolak oleh banyak gadis, tetapi aku yakin, saat aku belajar dari Kakakku, aku pasti bisa mendapatkan satu (ya,setidaknya satu gadis saja sudah CUKUP!). Tapinya lagi aku juga masih heran, sampai saat ini Kakakku belum mendapatkan gadis impiannya.
“Kak, kenapa sih sampai sekarang Kakak belum punya pacar?”
“Kamu pasti sudah tau jawabannya, Kazu-chan.”
“Fokus dulu, yakan?”
“Iyap, itu sangat benar. Aku tidak mau bisnisku ini kecampur-campur dengan urusan pribadi yang seperti itu, hal itu dapat melemahkan otakku.”
Hmmm... jadi memang, Kakakku punya pendirian yang kuat, bahkan sangat kuat. Tapi tak apa, selama aku masih fokus dari apa yang aku ingin lakukan, pasti hasilnya akan lebih baik. Selebihnya, aku akan mendapatkan apa yang tidak aku duga sebelumnya.
“Aku beritahu satu hal, Kazu.” Tiba-tiba pembicaraannya serius.
“Apa?”
“Alasan Kakak datang kesini juga ingin bertemu dengan seseorang.”
“Hah? Siapa?” Aku menatap Kakakku dalam-dalam.
“Namanya... Kirisaki Yukari.”
***
Siapa dia? Siapa Kirisaki Yukari?
Sepertinya aku pernah mendengar nama Yukari, tapi... dimana dan kapan?
Hmmm... ah sudahlah... mungkin di masa laluku. Aku sedang tak ingin mengingat-ngingatnya lagi, apalagi soal gadis.
Saatnya untuk tidur malam, kami pun tidur pada kasur masing-masing. Aku tidur pada kasurku yang empuk dengan selibut tebal menutupi sampai dadaku. Tanganku aku letakkan di samping kepalaku. Tapi aku tetap saja tidak bisa tidur. Meski posisinya sudah nyaman, namun malam ini aku benar-benar tetap terjaga. Kenapa aku terus memikirkan soal nama itu? Apa aku tahu tentang nama itu?
Ahh... aku benar-benar bingung... sebenarnya, siapa Kirisaki Yukari?
Lalu aku mencoba untuk bangun dan turun dari kasurku. Aku membuka lemari buku ku, mencari sesuatu yang bisa menenangkan pikiranku.
Ku coba bongkar semua buku tentang masa lalu, aku mencari katalog sekolah waktu SMP. Mulai mencari dari atas sampai bawah, namun tak kutemukan. Aku coba membuka lemari yang lain, yang berisikan semua DVD dan manga. Tetap tak kutemukan.
Akhirnya, aku mencari di tempat yang kusimpan game-game eroge ku. Ku bongkar sampai ke bawah. Dan ternyata... ada disitu! Katalog waktu SMP dan SD!
Gak nyangka kalo buku ini aku simpan di tempat ini. Pantas saja, rak nya berasa penuh.
Setelah aku menemukan, aku langsung membukanya dengan cepat. Mulai dari kelas 1 sampai kelas 3 SMP. Dan ternyata lagi... aku menemukan bukti. Bukti nyata, tentang nama itu!
“Loh? Ini kan???”
[1] -chan disini kata ganti panggil untuk saudara kandung, bisa untuk laki-laki maupun perempuan.
0 notes
jeremykazuma · 8 years ago
Text
Dibawah Langit Yang Sama - Onaji Sora no Shita De 「同じ空の下で」 (bagian 2)
Setelah hari kemarin kami puas berada di bazar natal, hari ini kami lanjut ke Kyoto Station. Seperti hari kemarin, kami diantar oleh Samuru dengan memakai mobil ayahnya. Begitu kami sampai pada tempat tujuan, kami langsung menuju area depan stasiun. Disitu sudah ditempati banyak hiasan Natal dan outlet-outlet serta hiruk pikuk orang-orang yang berkunjung. Memang, tahun ini adalah tahun yang spesial pada kota ini. Tak heran jumlah pengunjung lebih banyak daripada tahun-tahun acara Natal sebelumnya.
Samuru rencananya ingin membeli aksesoris di outlet pernak-pernik. Sambil berjalan-jalan dan ngobrol, Samuru mencari outlet yang menjual aksesoris yang ia cari.
“Memangnya, kamu mau beli apa, Samuru?” Tanyaku.
“Itu... apa... apa ya namanya...?”
“Gantungan?”
“Nah itu! Gantungan hp. Tapi yang bahannya karet. Sudah lama aku ingin beli itu, tapi tidak ada yang cocok buat hp ku.”
“Buat hp mu yang ini?”
“Bukan... hp ku yang satunya. Aku punya dua hp kok, yang satunya lipat, tapi jarang aku pake sih.”
“Ooo....”
Dan sambil kami berjalan mengelilingi stasiun, Samuru dengan teliti mengamati outlet demi outlet satu per satu yang berjualan pernak-pernik dan aksesoris. Kami harus berjalan pelan-pelan agar Samuru tidak tertinggal jauh. Tetapi... tiba-tiba langkahnya terhenti di belakang kami. Lalu aku menyuruh teman-teman yang di depan untuk berhenti dan aku menyusul Samuru di belakang.
“Ada apa, Samuru?”
Dia melihat dengan lama mengarah ke salah satu outlet yang menjual pernak-pernik. Sepertinya dia sedang mengamati seseorang disana.
“Tidak apa-apa, ayo lanjut lagi.”
Sempat dia tertunduk sebentar seperti membayangkan sesuatu, lalu lanjut berjalan ke arah depan.
Aku juga mengamati outlet tersebut. Ada dua orang disana, satu gadis muda rambut pirang sama seperti Samuru dan satunya lagi seorang bibi, sekitar usia 50 tahun.
Tiba-tiba, dari belakang terdengar langkah kaki yang cepat menuju arah kami dan berteriak...
“...Sam!!”
Siapa itu??? Aku dan yang lainnya melihat ke belakang. Ternyata dia adalah gadis yang ada di outlet yang Samuru dan aku lihat.
Samuru berhenti dan menoleh ke belakang. Dia memandangnya dengan wajah heran.
“...Sudah lama, kita tidak berjumpa, Sam.”
Kata gadis itu sambil tersenyum lembut.
Aku lihat, gadis itu sepertinya keturunan bule. Itu pasti... karena waktu dia berbicara kepada Samuru, dia menggunakan Bahasa Inggris. Rambutnya pirang, matanya berwarna biru. Kulitnya putih, putih yang bukan seperti orang Jepang. Aku menduga bahwa gadis itu sedang liburan disini dan mungkin sengaja mencari pengalaman dengan menjaga outlet disini. Aku menduga itu sih...
“Alice? Sejak kapan kau disini?”
“Sekarang aku menetap disini, kok. Aku sudah menjadi warga Jepang.”
Wow, dugaan ku salah, ternyata dia sudah menjadi warga Jepang! Tapi entah kapan itu? Lalu mereka berdua mengobrol bersama di seberang outlet yang dijaga oleh gadis itu, sedangkan kami berempat duduk agak berjauhan, sambil mengamati mereka. Kami juga penasaran, siapa dia? Apakah teman masa kecil Samuru?
“Aku dengar, kamu bersekolah di SMA Koyokoto, ya?”
“Benar, tau dari mana kamu?”
“Bibiku, yang menjaga outlet kami.”
“Ooo.... Lalu, sejak kapan kau pindah kesini?”
“Aku lupa, yang pasti sudah lama. Berapa tahun ya... wah entahlah, aku benar-benar lupa.” Alice berpikir, tapi tetap saja dia tak mengingatnya, kemudian dia tersenyum.
“Ehmm... kamu disini dengan orangtua mu?”
“Iya. Aku, adikku dan ibuku.”
“Oh... lalu adikmu dimana?”
“Ehmm... untuk hal itu, aku tidak bisa mengatakannya.” “Oya, bagaimana kalau kamu melihat-lihat outletku dulu?”
“Boleh.”
Lalu wajah Alice tampak senang.
Aku melihat, Samuru diajak masuk ke outlet oleh gadis itu. Kami seperti biasa, suka berdiskusi suatu hal yang bikin penasaran.
“Apa disini ada yang tau, siapa gads itu sebenarnya?” Aku memulai diskusi ini.
“Aku tidak tau.” Rikku menjawab.
“Aku pun juga tak tau.” Makoto juga membalas.
“...Sebenarnya, aku tau siapa gadis itu.” Marco menjawabnya.
“Hah? Yang bener?” Aku sangat penasaran.
“Tapi hanya sedikit saja, sih.”
“Ayo, ceritakan apa yang kamu tahu, Marco.” Makoto ikut menimpal.
Marco menaruh kedua tangannya di atas meja dengan menyilang dan siap untuk menceritakan sesuatu tentang Samuru dengan gadis itu.
“Jadi, gadis yang bersama dengan Samuru adalah Alice. Dia adalah warga Australia sama seperti Samuru. Alice juga teman masa kecil Sam pada saat mereka di negaranya, namun karena ada suatu hal, mereka berpisah sejak SD. Untuk soal dia pindah disini, aku tidak tahu. Yah... hanya itulah yang aku tahu dari dia.”
“Weh... hanya itu??” Aku menjawab dengan berharap mendapatkan lebih informasi.
“Iya... mau gimana lagi... aku gak mau mencampuri urusan orang lain, meskipun dia adalah sahabat kita.”
“Hmm... ya... kau benar, Marco.” Makoto menimpali lagi.
“...Ya sudah, sebaiknya kita tunggu saja Samuru kembali.” Rikku juga menimpali.
“Ah... iya....” Aku membalas.
Ternyata diskusi yang tidak panjang. Aku harap dapat menjadi gosip panas disini, tapi aku sadar kalau gosip itu buruk untuk para lelaki. Jadi, ya... aku maklumi saja. Lagipula tidak baik jika suatu kejadian dari teman dibahas bersama-sama. Meskipun kami semua sahabat, tetapi tetap saja, kami juga punya ruang pribadi.
Akhirnya Samuru kembali dari outlet dan membawa sebuah benda di tangannya. Aku mengamati benda itu. Ternyata gantungan hp dari karet yang dibicarakan Samuru waktu tadi. Dia sudah mendapatkan apa yang dia mau.
“Jadi, ini gantungannya?” Aku bertanya kepada Sam.
“Iya, kau benar, Kazu. Gantungan inilah yang aku ingin beli,” sambil dia menunjukan gantungan itu.
“Ternyata disitu juga ada, ya?” Aku menambahkan.
“Ya, dan tak kusangka, bertemu dengannya juga.”
Lalu dia duduk dan kami pun melanjutkan obrolan soal dia dan dengan gadis itu. Pada saat kami bertanya tentang Alice kepada Sam, dia justru terbuka dan mau menceritakan semuanya kepada kami waktu mereka masih di Austaralia.
Alice yang mempunyai nama panjang Alice Rosaline Jonathan, berganti nama menjadi Alice Jonatohan saat ia menjadi warga negara di Jepang.
Jadi dia adalah teman masa kecil Sam saat mereka masih usia 5 tahun. Orangtua Alice dan Sam juga sudah kenal sejak mereka bersekolah. Terutama ayah Sam dengan ayah Alice. Mereka adalah rekan bisnis yang kental, sampai-sampai Sam dan Alice selalu bertemu setiap ayah mereka sedang membahas bisnis. Dimanapun tempat ayah mereka bertemu, disitulah Sam dan Alice juga bertemu bersama, bermain bersama dan bercerita bersama. Hubungan mereka berdua menjadi semakin dekat dan erat.
Namun pada suatu kali, keluarga Alice mengalami masalah. Hingga ayah dan ibunya pisah. Ibunya membawa Alice pindah ke Jepang, sedangkan ayahnya bersama dengan adik Alice tetap disana. Sampai suatu waktu, ibunya menikah kembali dengan pria Jepang dan melahirkan anak perempuan lagi. Saat ini adik Alice yang baru juga tidak diceritakan oleh Sam, karena dia tidak diberitahu oleh Alice soal keberadaan adiknya yang baru. Hingga satu saat, mereka berdua, Alice dan ibunya bertemu dengan Bibi Ema, yang menjaga outlet pernak-pernik tadi. Bibi Ema lah yang selalu menasehati, membantu dan memberikan dukungan kepada Alice dan ibunya. Bibi Ema adalah orang yang sangat baik dan bijaksana. Pertama kali bertemu pada waktu ibu Alice sedang melamar pekerjaan paruh waktu di sebuah restoran keluarga, yang pada saat itulah pertemuan pertama kali dengan Bibi Ema. Bliau adalah pemilik restoran keluarga yang juga lokasinya tak terlalu jauh dari stasiun. Sedikit demi sedikit, ibu Alice mulai kembali semangat menjalani hidup dan lebih bersyukur. Alice pun juga merasa lebih baik dari dirinya sebelumnya. Dia menjadi lebih periang dan suka membantu orang lain.
Sam juga bercerita bahwa sebelumnya, ia pernah melihat Alice pada waktu SMP. Sam melihat dia di sebuah minimarket yang dekat dengan apartemen. Sam ingin menyapanya, tapi entah hati merasa tidak enak, akhirnya Sam tak jadi menyapanya dan dia hanya mengamati kemana Alice pergi. Ternyata Alice tinggal di apartemen tersebut.
Alice yang dulunya adalah seorang dari keluarga kaya, begitu ia pindah ke Jepang, ia menjadi hidup sederhana. Sam berpikir, entah dari faktor keluarga atau bisnis ayahnya. Tapi Sam tidak mempersoalkan hal itu. Dan itulah pertama kalinya Sam bertemu dengan Alice di Jepang. Sampai hari ini, Sam bertemu lagi untuk kedua kalinya. Penampilannya berubah, pakaiannya berubah, gaya rambutnya juga berubah. Ia tidak memakai anting-anting, tidak memakai pita rambut, tidak memakai lip-gloss, tidak memakai sepatu yang anggun. Bajunya pun tak se-anggun waktu dulu.
Sam, yang sempat tidak percaya bahwa gadis yang dia temui di minimarket adalah Alice, sekarang dia melihat bahwa itu adalah Alice. Makanya saat Sam melihat Alice di outlet, ia terhenti dan mengamatinya dengan lama. Memastikan bahwa gadis yang dia lihat bukanlah Alice, tetapi memang kenyataan bahwa itu adalah Alice yang sama, teman masa kecilnya.
Setelah kami mendengar cerita tentang Alice, kami pun melanjutkan perjalanan kami. Waktu sudah menunjukan pukul 8 malam dan kami harus pergi mencari makanan.
Di stasiun ini juga banyak outlet makanan. Kami semua mencoba memilih makanan mana yang kami suka. Alhasil, kami bingung, karena terlalu banyaknya outlet yang menjaul makanan disini. Akhirnya kami mengambil keputusan untuk makan di luar stasiun dan memilih restoran cepat saji.
Restoran yang kami masuki juga tidak terlalu jauh. Kami hanya perlu untuk menyeberang dan berjalan sedikit. Dengan perut yang sangat lapar, segera kami memesan makanan dan duduk menghabiskan makanan kami. Tanpa banyak bicara, kami telah selesai dalam waktu 15 menit saja. Luar biasa! Sungguh prestasi yang membanggakan bagi kami. Apalagi si Marco yang selalu ketinggalan. Dia memang bukan orang yang cepat makan, tapi dia penikmat makanan, terutama saat makan es krim. Sampai-sampai pada saat kami sedang kumpul, kami tertidur gara-gara menunggu Marco menghabiskan es krim-nya.
Perut sudah kenyang, hati pun senang. Lalu kami memutuskan untuk pulang segera. Dikarenakan, kami pasti akan mengantuk setelah makan makanan cepat saji. Ya... itulah kekompakan kami yang ke sekian.
Tapi sebelum pulang, Sam mengajakku ke toilet. Entah kenapa dia ingin mengajakku ikut, padahal aku gak kebelet pipis. Ya sudahlah, kan sesama pria, sepertinya dia juga ingin berbicara suatu hal yang sangat penting padaku. Aku bisa melihat dari raut wajahnya.
“Kazu.”
“Ada apa, Sam?”
“Jika aku mendekati Alice lagi, apakah pantas?”
“...”
“Hei! Kenapa kau diam? Ayo jawab dengan cepat!”
“Aku tidak tahu, Sam, tapi yang jelas jika kamu menyukai Alice, silahkan saja. Pasti kami akan mendukungmu.”
“Bukan begitu maksudku....”
“Lalu?”
“Maksudku, apakah aku pantas jika aku mendekati dia dengan keadaaan keluarganya yang seperti sekarang?”
“Ooo... bilang dong dari tadi. Bagiku, itu tak masalah. Selama kau yakin akan keputusanmu, kau akan selamat. Alice pun sekarang sudah menjadi lebih baik, kan? Jadi, kau tak perlu khawatir untuk mendekatinya.”
“Oh... begitu ya... Baiklah.”
Lalu kami hendak kembali dari toilet menemui teman-teman kami.
“Kazunari.”
“Apa?”
“Terima-kasih.”
“Ya.”
***
Sudah 3 hari berturut-turut kami menikmati liburan kami dan inilah hari ke 3. Hari dimana kami semua akan menonton aksi lawakan alias stand-up comedy yang dibintangi oleh komedian asal Indonesia. Aku tahu sih orang tersebut, tapi mungkin yang lainnya gak tahu. Maka dari itu aku mengajak mereka supaya lebih tahu (kurang lebih seperti itu).
Kami telah tiba di lokasi dan langung mengantri untuk memberikan tiket. Sangat luar biasa, antriannya tak sepanjang aku duga. Dikarenakan pintu masuk (bukan pintu sih sebenarnya, tapi semacam jalan masuk) ada empat, jadi kami lebih cepat untuk masuk.
Entah mengapa kami bisa kompak merasa haus bersama. Mau tidak mau, harus beli minuman biar tidak mati kehausan. Juga cuacanya yang dingin, membuatku merasa agak ngantuk. Untungnya ada yang menjual minuman panas di sekitar sini.
Seperti yang aku pikirkan, hanya akulah yang membeli minuman panas. Mereka semua pada beli yang dingin. Entah badan mereka terbuat dari apa, bisa-bisanya cuaca dingin seperti ini mereka minum-minuman yang dingin. Aku tidak kuat dalam hal ini, aku akui mereka kuat.
Sambil menunggu acara dimulai, kami semua duduk ngobrol santai bersama di bawah pohon besar yang berada di tengah taman. Kami mengobrol soal gadis yang pada waktu itu pernah ditemui oleh Rikku.
“Hei, Rikku? Kamu tidak bertemu dengan Kirei lagi, ya?” Tanya Marco dengan penasaran.
“Tidak, memangnya kenapa?”
“Sebenarnya, kami semua belum tau lo Kirei itu seperti apa?”
“Ya, ya, betul!”
Aku dan Sam menjawab serentak, diikuti oleh Makoto.
“Bukankah aku sudah menceritakan ke kalian?”
“Tapi kan, kita belum pernah ketemuan, Rikku.” Balas Sam dengan wajah polos.
“Boleh, kapan-kapan jika ketemu lagi, akan aku perkenalkan pada kalian.”
Rikku menjawab dengan semangat. Sepertinya dia memang berharap bertemu dengan Kirei segera.
“Nah, begitu dong...,” balasku sambil aku menyedot minumanku.
“Tapi... kira-kira, kapan lagi, ya?” Makoto juga berharap.
“Mana ku tau, biarkan semuanya berjalan sesuai dengan keadaan.”
Rikku menyimpulkan, biarkan semuanya sesuai dengan keadaan yang sudah ada. Waktu berjalan terus, tidak ada yang tahu, kapan itu terjadi. Yang pasti jika seseorang berharap ke langit, pasti hal yang baik akan datang.
Setelah kami menunggu di bawa pohon besar, kami langsung menuju depan panggung. Suasana disana tak terlalu ramai, jadi kami bisa lebih leluasa untuk bergerak. Memang ada beberapa kursi di depan panggung, tapi itu hanya untuk tiket VIP saja.
Acara tersebut berlangsung selama 2 jam lebih sedikit. Aku tidak menyangka bahwa komedian tersebut memakai bahasa Inggris, padahal sebelumnya aku berharap dia bisa berbahasa Jepang sedikit-sedikit lah. Penampilannya yang bisa dibilang sederhana, hanya memakai kemeja berwarna coklat gelap dengan motif... motif apa itu, ya? Aku enggak tahu. Celana panjang berwarna biru gelap, rambut pendek dengan postur tubuh sedikit berisi. Perawakannya juga cukup tinggi, jadi aku bisa melihatnya dengan jelas (soalnya tubuhku agak pendek).
Secara pribadi, aku bisa berbahasa Inggris, jadi aku mengerti apa yang ia maksud. Begitu juga dengan Sam. Tapi aku tidak yakin dengan mereka bertiga, Rikku, Marco dan Makoto. Apakah mereka baik-baik saja?
Pada tengah-tengah acara, mereka bertiga sempat bertanya kepadaku dan Sam. Mereka menanyakan apa maksud dari candaan orang itu. Tapi aku dan Sam menjawab “ikuti saja alurnya, nanti kamu juga bakal paham”. Aku dan Sam juga tertawa soal mereka yang tidak paham bahasa Inggris, jadi kami berdua serasa diatas angin. Ketika mereka menyadari hal tersebut, muka mereka berubah menjadi kecut. Ya... jadinya pada saat aku dan Sam tertawa, mereka hanya ikut-ikutan tertawa. Pada saat kami diam saja, kadang mereka malah ketawa dan langsung diam seketika. Malu kan jadinya dilihat orang, apalagi dilihat oleh komediannya.
Memang sih acara stand-up kali ini bukanlah yang tergokil, tapi setidaknya dia sudah berusaha keras untuk bercanda dan aku juga cukup puas bisa nonton acara ini secara langsung. Apalagi dia berada di panggung Jepang. Tiket yang aku bayar pun terbayar lunas, yah meski Rikku, Marco dan Makoto gak paham, setidaknya mereka bisa menikmatinya.
Saat aku keluar dari toilet, tiba-tiba aku melihat seseorang yang sepertinya aku kenal. Dia berada di dekat pohon besar lainnya. Dia sedang berdiri sambil memegang sebuah minuman di dalam plastik.
Aku melihat ke arahnya. Dia memakai dress hitam dengan aksen putih. Sepatunya adalah flat shoes dengan warna merah gelap dan memakai stoking selutut warna hitam. Lalu dia sadar ketika ia dilihat olehku.
“Eh?!” “Bukannya kau Ono-san, ya?”
Mukanya tampak senang saat melihatku, dan aku pun menghampirinya.
“Iya, benar....” “Kau, Kirei Otsuka, kan?”
Aku bertanya dengan wajahku yang penasaran, mengapa dia bisa berada disini?
“Ya... itu aku, jarang sekali aku bertemu denganmu di tempat seperti ini. Memangnya kamu disini ngapain?”
“Ehmm... aku nonton stand-up comedy kok sama temen-temenku.”
“Ooo... bareng temen-temen juga, ya?”
Ehhh... sepertinya aku salah ngomong deh... Seharusnya aku tidak berkata ‘bareng temen-temen’.
“Iya, kau benar.” Aku membalasnya dengan tenang.
Tapi, wajahnya memandangku lama dan tersenyum dengan imutnya.
“...Aku harap, aku bisa bertemu dengan Rikku, tapi... sepertinya aku...”
Kau kenapa Kirei? Sepertinya apa??
“...Ah sudahlah, lupakan saja.”
Dia tersenyum kembali dengan manisnya.
“Oh... kalo begitu, aku duluan, ya?”
“Heem, sampai ketemu lagi.”
Entah kenapa dia memasang wajah dan senyuman yang seperti itu? Imut dan manis. Apa dia ingin bertemu dengan Rikku? Tapi, bagaimana ia tahu kami disini? Atau... ada maksud lain jika tidak bertemu Rikku? Bukannya aku ingin menutupi dari dia, tapi kadang aku juga merasa bahwa Rikku jangan dekat-dekat lagi dengan Kirei. Perasaanku juga berkata, sebaiknya jauhi saja Kirei dariku.
Aku takut, jika aku mulai terpesona yang ujung-ujungnya aku akan terikat olehnya. Karena Kirei, bukanlah gadis yang normal.
***
Berawal dari Rikku yang telah memulihkan keadaan hati dan mentalnya. Saat itu Rikku mulai terbiasa tanpa seorang wanita didekatnya. Dia juga tidak begitu tertarik dengan gadis-gadis manapun di sekolah. Sampai pada suatu kejadian, dimana Rikku pergi keluar untuk membeli makanan di minimarket.
Rikku mendengar suara teriakan dari gang di arah depan. Teriakan itu seperti seorang perempuan yang sedang dikejar-kejar oleh seseorang. Rikku langsung reflek menuju lokasi itu. Ketika Rikku sampai di depan gang, dengan cepat perempuan itu berlari ke arah Rikku lalu tersandung. Mereka berdua jatuh bersamaan dengan posisi perempuan itu berada di atasnya sambil memeluk Rikku. Perempuan itu ternyata masih gadis, muda dan tak berdaya. Ia meminta tolong kepadanya untuk menjauhkan dirinya dari orang yang mengejarnya. Ternyata yang mengejar gadis itu adalah seorang pemuda laki-laki masih memakai seragam sekolah, dengan kancing yang terbuka semua dan dengan rambut acak-acakkan sambil membawa botol alkohol di tangan kirinya. Rikku mencoba untuk memberanikan diri. Lalu ia dengan cepat menendang botol tersebut sampai terlempar pecah ke arah tembok dan memukul perut orang itu dengan tangan kanannya. Sebelumnya, Rikku berkata kepada gadis itu untuk berlindung dibelakangnya dan diminta untuk diam. Tak hanya satu kali pukul, Rikku memukul hingga tiga kali berturut-turut. Memukul ke arah perut dan terakhir ke arah dagunya. Lalu Rikku berkata kepada orang tersebut bahwa jangan pernah lagi menganggu seorang gadis yang lemah tak berdaya, terutama saat sendirian. Dan orang itu pun kabur meninggalkan mereka berdua sendirian. Gadis itu sudah tertolong oleh Rikku dan mereka pergi bersama ke minimarket untuk membeli minum. Memang gadis itu tidak terluka, hanya saja ia shock dan kelelahan setelah dikejar-kejar oleh berandal tersebut.
Setelah mereka membeli minuman, Rikku megajak gadis itu pergi ke taman dekat situ. Lalu Rikku bertanya nama gadis itu. Dan dialah Kirei Otsuka, gadis yang dikejar-kejar oleh seorang berandal sekolah. Lalu Rikku lanjut menanyakan apa yang sebenarnya telah terjadi. Pertamanya, Kirei masih sedikit gemetar akibat shock yang ia alami sebelumnya. Rikku pun menunggu dengan sabar dan mencoba menenangkan Kirei dengan menyuruhnya untuk menarik nafas panjang. Dengan berlahan, Kirei bercerita tahap demi tahap. Akhirnya, ia menceritakan semua tentang dirinya.
Tanpa Rikku sadari sebelumnya, bahwa dia benar-benar tidak berpikir aneh-aneh soal gadis itu. Tapi... semuanya menjadi jelas. Bahwa Kirei adalah seorang pelacur.
Bocah yang memakai seragam sekolah tersebut adalah pelanggannya, tetapi dia marah dan meminta ganti rugi karena gadis yang dipesannya bukanlah bernama Kirei. Jadi, bocah itu mengomel dan marah-marah, sambil mencoba untuk memukul Kirei. Lalu Kirei kabur dan dikejar oleh bocah itu. Tak heran jika bocah tersebut marah-marah tidak jelas karena keadaanya sedang mabuk.
Sudah kesekian kalinya, Kirei dikirim kepada pelanggan yang salah. Hal itu memang disengaja oleh kepala pemilik rumah ‘bordil’ yang memperkerjakan Kirei. Dikarenakan pada musim itu, para pelanggan yang memesan selalu meminta harga yang murah, tetapi dengan hasil yang memuaskan. Maka dari itu untuk mengakali hal tersebut, kepala rumah ‘bordil’ sengaja mengirim Kirei untuk memuaskan hasrat para pelanggan. Dengan harga murah yang harus dibayar di awal dengan lunas sesuai dengan pesanan. Namun ternyata, tubuh dan wajahnya tidak sesuai dengan ekspektasi mereka, sehingga kekacauan pun terjadi. Mereka yang meminta ganti rugi akhirnya dilampiaskan semuanya kepada Kirei. Kirei selalu kabur dari hal itu karena memang benar dia tidak bisa mengganti rugi. Otomatis, Kirei hanya dijadikan sebagai budak dari pelacur.
Pada titik itulah, Rikku merasakan sebuah pilihan yang sangat sangat berat. Dia harus memilih antara menolongnya untuk keluar dari pekerjaannya, atau...
Membiarkannya.
Tapi, jika dibiarkan saja, maka perasaan Rikku lagi-lagi tidak enak dan tertekan. Rikku yang juga masih memiliki hati nurani, perpikikir bahwa dirinya harus benar-benar memilih.
Tangannya sedikit gemetar, dahinya mengerut, wajahnya panik, perasaannya tertekan, jantungnya berdebar dengan keras. Rikku harus memilih sebuah jalan. Dan jika dia sudah memilih, tak ada jalan untuk kembali.
Pada akhirnya... Rikku memilih...
Untuk menolongnya.
Menolong Kirei keluar dari pekerjaannya.
Dia juga berkata bahwa pekerjaannya itu juga tidak bagus untuk kesehatannya, baik mental maupun fisiknya, ya meskipun... sudah ‘bekas’ banyak orang. Namun Rikku tetap berusaha semaksimal mungkin membantu Kirei agar ia bisa berubah dari jalan kehidupannya.
Cerita ini sudah diceritakan padaku sewaktu kami hanya berdua saja. Baik di dalam rumahku, di tempat makan dan di sekitar sekolah tanpa adanya Sam, Marco dan Makoto. Aku tidak tahu apakah Rikku juga bercerita kepada mereka semua atau hanya aku saja, tapi yang pasti pada saat ia bercerita kepadaku, dia merasa sangat aman. Bisa dilihat dari wajahnya dan nada bicaranya, dia benar-benar percaya jika aku bisa menjaga rahasianya. Dia juga berjanji kepada Kirei bahwa dia akan menemaninya saat sedang merasa kesepian.
Bagiku... janji itu sangatlah beresiko tinggi. Kenapa? Ya, karena Kirei sampai saat ini, ia tidak tahu keberadaan orangtua nya. Jadi sekarang Kirei hanyalah seorang gadis yang tinggal di apartemen dekat dengan tempat kerjanya yang baru, yaitu di sebuah restoran makanan Eropa. Aku tidak tahu lokasinya dimana, akan tetapi... jika aku biarkan Rikku pergi sendirian kesana, aku akan merasa sangat khawatir terhadapnya. Pikiranku akan kacau jika aku tidak mengawasinya waktu dia pergi sendirian keluar.
“Aku akan menemanimu jika kamu ingin pergi jalan dengan Kirei. Tapi ingat, jangan macam-macam.” Itulah yang aku katakan padanya.
Sejauh ini, Rikku tidak melakukan hal-hal aneh. Waktu aku tanyai dengan empat mata, dia benar-benar jujur saat menjawab. Keperluannya hanya dua, pergi beli jajan di minimarket atau makan di warung dekat rumahku. Dia sendiri tinggal dengan kedua orangtua nya yang sekarang pengawasannya kepada Rikku lebih diperketat. Maka dari itu aku masih percaya bahwa Rikku tidak macam-macam untuk pergi sendiri menemui Kirei.
Seiring berjalannya waktu, Rikku juga menceritakan tentang Kirei kepada ketiga teman kami yang lain. Namun diceritakan hanya sebatas teman yang tanpa sengaja bertemu di sebuah restoran. Untuk hal-hal yang lainnya tidak dia ceritakan, melainkan hanya kepadaku saja.
Rikku juga memberitahu kepada Sam, Marco dan Makoto bahwa dia juga menyukai Kirei. Bukan secara fisik, melainkan Rikku tertarik dengan gaya bahasanya yang sopan dan lembut. Aku mencoba untuk menanyakan hal tersebut waktu tanpa mereka bertiga. Dan jawabannya adalah, Rikku benar mulai tertarik dengan Kirei, tapi hanya sebatas teman kenalan saja. Aku juga berterus terang kepadanya, jangan sampai dia memikirkan hal-hal ‘liar’ kepada Kirei. Dia mengatakan kepadaku bahwa aku juga harus percaya. Jadi... kubiarkan untuk percaya kepadanya.
Setelah aku pergi meninggalkan Kirei, aku kembali kepada teman-temanku untuk pergi makan. Seperti biasa kami selalu kelaparan saat jalan-jalan. Entah kenapa kelaparan saja bisa membuat kami kompak satu dengan yang lainnya.
Kami semua tidak tahu tempat makan mana yang menurutnya enak dan sedikit murah. Mencoba mencari tahu lewat internet dan peta online, kami mulai melakukan pencarian. Aku pun berada pada posisi paling belakang, sambil mataku melihat layar ponselku. Tiba-tiba...
0 notes
jeremykazuma · 8 years ago
Text
Dibawah Langit Yang Sama - Onaji Sora no Shita De 「同じ空の下で」
Gak salah sih kalo anak laki-laki kumpul bareng dengan sesamanya, hanya saja pembahasan yang dibahas pasti bisa sampai kemana-mana. Itulah asyiknya berkumpul di dunia lelaki. Mulai membahas dirinya sendiri, sampai orang lain, dan bahkan sampai hal-hal yang berbau ‘kotor’. Tapi paling banyak berbau kotornya sih.
Gakpapa, selama masih pada batas wajar, obrolan kami tetap terkendali dan tidak merugikan teman-teman yang lain.
Pada saat ini kami sedang bermain kartu bersama, sambil menunggu jam hingga jarum pendek berada pada pukul 12 malam. Waktu itulah kami harus menonton film yang ‘ehmm...’ sangat menghibur.
“Marco-san![i] Apa kau menggunakan chakra[1] ilusi?!”
Teriakku sambil menatap kartu yang dibuang olehnya ke tengah.
“Dasar!!! Kau saja yang tak peka!!!”
Mulutnya terbuka lebar hingga teriakkannya ‘menghujani’ sekitar wajahku.
“Marcoooooo... menjijikkan sekali!!!”
Aku sambil mengusap wajahku dengan lengan bajuku hingga berkali-kali dan jangan sampai ada yang tersisa dari ‘hujan’ buatannya.
“BWAHAHA!!! Rasakan itu, Kazu-san! Kau pantas mendapatkannya!”
Apa-apa’an lagi nih Samuru! Bukannya dia juga jijik sama ‘hujan’ buatannya si Marco?! Malah dia mendukungnya. “Payah!”
“Wah-wah, kalo kalian teriak-teriak begini terus lama-lama kita gak selesai-selesai nih....”
Benar juga apa yang dikatakan Makoto, sebenarnya aku juga sudah bosan dengan metode permainan ini. Kalo tidak ada Marco disini, pasti kami sudah bermain dengan cepat!
Sayangnya, satu teman kami paling ga suka mainan kartu... lebih tepatnya permainan kartu receh* macam begini. Makannya dia memilih pergi ke minimarket. Seperti biasa... Rikku selalu jajan.
[Permainan yang terlalu mudah, bahkan anak kecilpun bisa melakukannya]
“Oi, Makoto! Kenapa kartumu masih banyak begitu??? Ayo, cepat buang saja!”
Lagi-lagi dia berasa sok jago dalam permainan kartu ini. Sial, tapi kenapa aku tidak bisa bermain cepat?! Apa karena aku terintimidasi oleh kata-kata Marco??? Sepertinya tidak juga, tapi aku coba untuk melakukan teknik rahasia kali ini.
“Hei, Marco!” sambil aku menunjukkan sedikit kartu-kartuku kepadanya, aku sengaja untuk memancingnya.
“HEH?! Kenapa begitu, Kazu-san?? Apa kau sudah lelah memegang kartu-kartumu??”
“Bukan, bukan begitu, tapi lihatlah.”
“Kau bahkan tidak bisa mengalahkanku dengan trikmu itu.”
“HEH, lihat saja nanti!”
Lalu aku mulai mengambil satu deck kartu di depanku, aku memilih kartu-kartuku, dan...
“LAAAAAA!!! LIHATLAH, MARCO-SAN!!!”
Aku membanting enam kartu sekaligus di hadapannya penuh dengan semangat pejuang Samurai jaman modern!
“KAMPRET! Kau mulai menantangku ya, Kazu-san!”
“Sudahlah, hentikan semua celotehanmu itu. Kau tidak akan berhasil dengan mulutmu.”
Tanganku sambil menggosok hidungku selayak orang yang membetulkan kacamatanya. Tapi aku gak pake kacamata. Gakpapa lah, biar sok keren dihadapan Marco.
“APA KAU BILANG!!!” “Ohh... baiklah... akan aku selesaikan dengan sangat cepat.”
Wajahnya memanas! Seperti gunung api mau meledak! Matanya melolot saat aku mengatakan kata-kata ku tadi di depannya, tapi tiba-tiba raut wajahnya berubah seperti tsunami yang mau melandaku. Sepetinya dia mau balas dendam.
Tangan Marco mengambil satu kartu yang ada di deck. Jari-jarinya mulai sangat lihai memilih kartu-kartunya, dia sedang berkonsentrasi penuh. Dan waktunya tiba, dia melepaskan kartunya seperti rudal kecepatan 400km/jam! BAAMMM!!!
“HAYOOO!!! Empat kartu sekaligus!!”
Dia mengeluarkan empat kartu yang sama. Dalam arti keempat angkanya sama.
“...”
Tapi... tunggu dulu... Samuru dan Makoto diam sejenak. Mereka memperhatikan kartu yang dibuang oleh Marco dengan seksama. Dilihat dari tatapan matanya, seperti ada yang janggal.
“Kau membuang kartu apa, Marco-san?”
Samuru menatap Marco dengan wajahnya yang ngeledek seperti orang bangun tidur siang.
“Dilihat dulu sebelum membuang.”
Makoto berkata sambil menunjuk ke arah kartu yang dibuang oleh Marco.
“Apa?? Kenapa?! Apanya yang salah???”
Ekspresi Marco yang gak karuan. Matanya melebar, melihat ke dua teman kami, seakan-akan dia sudah tentu benar.
“Itu angka berapa, Marco?”
Makoto menggeser empat kartu milik Marco supaya dia dapat melihat dengan sejelas-jelasnya.
“ASTAGAAAAA!!! KENAPA AKU BISA SE-CEROBOH INI!!!”
Dalam kemarahan yang luar biasa bercampur malu, dia kaget setengah mati, sambil dia memegang kepalanya dengan kedua tangannya. Rambutnya berdiri tegak seperti disetrum 200 volt oleh Samuru dan Makoto.
Ternyata aku juga baru perhatian, jika keempat dari angka kartu yang dibuang oleh Marco tidaklah sama. Enam keriting, enam hati, enam wajik, dan sembilan waru.
Oh... ada sembilannya ternyata.
Terpaksa Marco mengambil dua kartu yang terlanjur dia buang.
“Hedeh... kampret... payah... padahal sedikit lagi aku menang!”
Marco berkata dengan suara pelan tapi jelas.
“Hmm... sekarang, giliranku.”
Samuru mulai melempar kartunya dan dia mengakhiri permainannya.
“Aku juga.”
Makoto juga telah menghabiskan kartu-kartunya.
“Dan aku...”
Aku melihat kartuku sejenak, melihat sebuah angka yang mengingatkanku pada sebuah memori yang lalu.
“Aku juga habis!”
Aku melemparkan kartuku empat sekaligus, dengan angka kembar dua dan angka kembar tiga.
“Tidak... tidak... TIDAKKKK!!!!”
Argh! Lagi-lagi dia teriak tidak jelas. Menjengkelkan, berisik, sepertinya aku harus menyumpal mulutnya dengan sapu lidi!
“Sudahlah... akui saja kekalahanmu.”
Makoto berkata dengan halus sambil menatap Marco yang sedang terbungkuk menyesali kecerobohannya. Gak biasanya Makoto berkata seperti itu saat bermain seperti ini.
“AHHH! Ini memang saya sudah lelah.”
Lagi-lagi lebay[2]-nya keluar gak jelas. Gaya bahasanya seperti orang kelelahan saat selesai bekerja shift malam.
“Sudahlah, kita istirahat, yuk!”
Entah dia ngantuk atau laper, dia jadi resek dan ngomong nglantur kemana-mana.
Lalu dia mengambil bantal dan mencoba untuk tidur dengan... dengan gaya tidur cantik ala-ala princess Disney[3].
“Marco... kalo mau tidur, tidur di teras saja sana,” kata Samuru sambil menguap dengan santainya.
“Berisik! Aku beneran mau tidur nih!”
“Ah... kau mengganggu ruang gerak kami saja.”
“Berisik, berisik!”
Dengan mendekap bantal yang ditaruh di atas kepala Marco, sambil menggeliat di pojok kamar tidurku.
Lalu datanglah Rikku sepulang dari minimarket. Tetapi dia datang dengan dengan wajah yang gembira dan senang.
“Ada apa Rikku?” Tanyaku.
“Aku bertemu seseorang,” sambil menaruh belanjaannya disamping pintu.
“Hah? Siapa?” Marco seketika bangun dan bertanya dengan wajah setengah sadar.
“Lagipula, kamu lama banget. Kami sudah menunggumu hampir satu jam. Kau kemana apa sih?” Khawatir Makoto.
“Jangan-jangan? Kau bertemu dengan....“ Samuru bertanya dengan wajah penasaran.
“Kirei,” telapak tangannya dilipat di depan dadanya.
“HAH!!! Kami kira kau bertemu—”
Perkataan Samuru langsung aku potong.
“Ah sudahlah, lagian tak mungkin malem-malem gini, kan?”
Aku berkata sambil menyilangkan tanganku ke dada, dengan wajah sok keren ku menatap ke bawah.
“Ha... ada benarnya juga, Kazu,” tangannya sambil menggaruk-garuk kepalanya dengan wajah yang tersenyum malu.
Dia malu beneran atau... dia lupa? Mungkin dia berusaha untuk melupakan semuanya, termasuk kenangan indah saat bersamanya.
Setelah Rikku kembali ke kamarku, kami semua duduk bersama sambil menunggu waktu untuk menonton sebuah film. Kecuali Marco, dia tetap pura-pura tidur dengan mukanya menghadap ke arah kami.
Ya... film yang akan kami tonton pada jam 12 malam adalah... film... yang...
Uhhhhhh........ wahhhhh........
Film.........
Filmmmm............
Yang.........................
Sangat menghibur.................
Yaitu.............
Film komedi aksi dari Jackie Chan. “Sip! Waktunya melek-melek’an!” kataku sambil bersandar pada lemari.
***
Aku ceritakan siapa Kirei, gadis yang ditemui oleh Rikku pada malam itu.
Siapa itu Kirei? Apa ada hubungannya dengan Rikku?
Semuanya berawal dari akhir kisah cinta dari Rikku.
Kirei, adalah gadis baru yang ditaksir oleh Rikku setelah dia putus dari pacarnya dulu, Mariska Kudo namanya. Kerap kali dipanggil Marie oleh Rikku.
Marie dan Rikku sudah berpacaran lama dari kelas 2 SMP dan berakhir di kelas 1 SMA akhir. Mereka benar-benar menjalani hubungan asmara dengan samngat sempurna di mata kami, teman-temannya. Kami juga selalu mendukung Rikku untuk tetap bersama Marie hingga seterusnya.
Tetapi karena suatu hal yang menyebabkan pemahaman Marie tak sejalan dengan Rikku. Salah satu dari keluarga Marie tak setuju dengan pasangannya. Bliau menolak Rikku dengan beralaskan bahwa Rikku harus bisa menikahi Marie saat lulus SMA, jikalau tidak bisa, maka hubungan mereka harus segera dihentikan.
Itu adalah permintaan yang sangat berat bagi Rikku. Tidak mungkin seorang anak yang baru lulus SMA bisa menikahi langsung orang yang dicintainya. Pernikahan butuh biaya dan butuh beberapa tahun untuk mengumpulkan semua biaya untuk menikah.
Orang tua kandung dari Marie juga berusaha keras untuk mengatasi bliau dengan cara apapun. Tetapi tetap saja, bliau bersikukuh untuk segera melihat pernikahan antara Marie dengan Rikku. Padahal niat bliau yang sebenarnya, tidak suka melihat Rikku berpacaran dengan Marie. Maka dari itu bliau mencetuskan keputusan untuk mereka berdua segera menikah setelah lulus.
Hari demi hari, tahun demi tahun, Rikku masih menjalani hubungannya dengan Marie. Akan tetapi hubungan mereka tidak diketahui oleh bliau bahkan orang tua kandung dari Marie sendiri. Mereka menjalani hubungan backstreet.
Hingga kelas 1 SMA, hubungan mereka sedikit demi sedikit diketahui oleh orang tua Marie. Hal tersebut menyebabkan banyak konflik antara orang tua Marie dengan dirinya. Marie ingin terus membela Rikku sebagai orang yang dicintainya, tetapi di sisi lain, Marie juga sebagai anak dari ayah dan ibunya.
Pada akhirnya, akhir semester kelas 1 SMA, Marie hendak memutuskan untuk menyudahi hubungannya dengan Rikku. Ia sangat terpukul dengan keadaan hubungannya dan keputusan Marie. Mau bagaimana pun, Rikku juga tak bisa memenuhi permintaan bliau dari keluarga Marie untuk menikahinya. Marie pun sudah meminta maaf berulang kali kepada Rikku karena ia juga merasa bersalah atas keadaan keluarganya. Tapi tetap saja, Rikku merasa tertekan dan tak tahu harus berbuat apa lagi. Rikku juga mengatakan maaf kepada Marie. Dan... Rikku pun pergi dengan segala amarah di dadanya, merasa bersalah sendiri dan meninggalkannya. Marie memanggil Rikku beberapa kali, tapi tetap saja dia melangkah pergi. Hubungan mereka pun kandas di tengah jalan.
Kami, teman-teman Rikku hanya bisa menerima dia apa adanya. Meskipun sempat dia kabur dari rumah beberapa kali. Namun kami selalu mengejarnya dan mengembalikan dia ke rumah orang tuanya dengan selamat.
Kami selalu membantunya dalam kemurungannya, dalam depresinya, dalam kemarahannya, dalam segala apapun demi membantu teman kami ini. Karena kami tak sanggup melihat penderitaannya yang sangat dalam tergores dalam hatinya. Kami terus membantu dan terus berusaha untuk menolong dia dari keterpurukannya. Orang tuanya pun sudah pasrah kepada kami bertiga. Hanya kami lah satu-satunya orang yang sanggup menolong Rikku.
Pada waktu itu, kami belum bertemu dengan Makoto Torisakuchi. Jadinya aku, Marco dan Samuru lah yang masih menolong Rikku untuk pulih. Kami bertiga memutuskan untuk membuat klub sendiri di luar klub sekolah, yaitu klub ‘Bermain Santai’. Klub ini kami dirikan bertujuan untuk membangkitkan minat positif dari Rikku. Dengan segala macam upaya yang kami lakukan, akhirnya Rikku mau untuk bergabung.
Seiring berjalannya waktu, kami berempat setelah pulang sekolah selalu berkumpul dan bermain di rumahku. Apa kerjaan kami? Hanya bermain dan bermain dengan santai. Bukannya kami malas atau tak berilmu, melainkan klub ini untuk menolong teman kami, Rikku, supaya minat yang ia miliki dapat tumbuh secara positif. Permainan-permainan yang kami mainkan pun juga sudah diseleksi dengan seksama. Kami hanya memainkan permainan yang seru-seru aja, seperti game RPG petualangan, game basket, game balapan, game simulasi, bahkan game manual (kartu remi) dan yang paling cepat terasah adalah game kartu ini. Kami sangat menghindari game-game yang berjenis galge[4] dan eroge[5]. Hal itu sangat krusial sekali jika kami mainkan bersama dengan Rikku, meskipun yah... kami bertiga emang punya sih game itu di kamar kami masing-masing. Yang terlebih penting adalah menyelamatkan kejiwaan Rikku dari kejadiannya di masa lalu.
Setelah beberapa waktu sejak kami berempat melakukan segala aktifitas di klub, aku bertemu dengan Makoto. Dia adalah orang yang jago bermain dalam bidang olahraga, terutama boling, biliar, golf dan panah. Dia juga adalah orang yang mendirikan klub olahraga bernama klub ‘Instink Sport Progresion’, disingkat ISP. Klub yang didirikannya sudah ada sejak kelas 1 SMA, dan sampai sekarang masih berjalan dengan jumlah anggota yang terus bertambah, ya... meskipun namanya agak aneh sih menurutku dan mungkin gada artinya.
Aku akui, Makoto adalah orang yang konsisten dalam bidangnya. Dia selalu mengasah ketangkasannya dalam olahraga yang ia tekuni. Entah sehabis pulang sekolah dia ke klub olahraga boling di luar, bermain golf dan memanah di tempat permainan olahraga dan hampir setiap hari, dia bermain biliar di ruang klub nya, itu karena sekolah hanya mampu menyediakan fasilitas meja biliar.
Pada pertengahan kelas 2 SMA, aku mengajak Makoto untuk ikut bergabung dengan klub kami. Awalnya hanya iseng sih ngajak dia, tapi tanpa aku sadari, dia mau ikut bergabung. Aku sendiri pun tidak menyangka jika dia menerima secepat itu. Aku tanya alasannya kenapa dia mau menerima cepat, dia menjawab bahwa game juga bagian dari olahraga, maka dari itu dia ikut bergabung.
Satu orang lagi bertambah. Seiring waktu berjalan, kami berlima menikmati masa-masa dalam klub kami. Rikku pun sudah menjadi orang yang kembali ceria, sedangkan Makoto menjadi orang yang sangat terbuka, terutama tentang kesukaan-kesukaannya soal olahraga. Tak hanya itu, Makoto juga mulai tertarik dengan game-game yang berbau... ‘ehmm’ seperti yang sudah aku sebutkan diatas tadi. Kami semua menjadi cepat akrab dengan Makoto.
Keesokan harinya setelah kami begadang hingga pagi. Ketika aku bangun, Samuru dan Marco sudah pergi meninggalkan kami bertiga. Aku sebagai tuan rumah pun tak menyadarinya. Sepertinya mereka berdua ada urusan lain sehingga mereka pulang lebih awal. Entah jam berapa juga tidak tahu, tapi yang jelas aku bangun jam 10 pagi. Rikku dan Makoto masih tertidur lelap. Rikku tidur di atas kasurku, dengan tangannya tertimpa guling dan bantalnya berada di bawah, menimpa perut Makoto. Aku memutuskan untuk tidak membangunkan mereka dulu, karena kasihan juga kalo aku bangunin, posisi mereka sedang enaak-enaknya nih. Lalu aku pergi ke dapur, membuat teh untuk kami bertiga. Lalu, dimana kedua orangtuaku? Mereka semua sudah bekerja, berangkat dari jam setengah 8 pagi. Jadi aku dan teman-temanku bisa bebas bermain apa saja pada saat orang tuaku bekerja. Yang penting mereka tahu diri juga sih. Membuang sampah pada tempatnya, menjaga semua barang-barang di rumah, menyiram pipis di toilet, tidak menggunakan handuk bersamaan, begitu juga sabun, tidak menginjak rumput tetangga dan tidak telanjang sembarangan.
Akhirnya dengan terpaksa aku bangunkan Rikku dan Makoto. Gilak, udah hampir jam 12 siang nih. Aku orangnya gak suka membuang-buang waktu saat liburan seperti ini. Mumpung masih liburan gitu, aku manfaatin sebanyak-banyaknya. Jadi, dalam kamusku*, gada yang namanya bermalas-malasan waktu liburan. Kalo sekolah, boleh sih, asal gak terlalu sering aja.
[Kamus di otak, bukan kamus dalam buku]
“Hei! Rikku, Makoto, ayok bangun! Gilak, udah hampir jam 12 siang nih!”
Aku membangunkan mereka sambil menggoyang-goyangkan dengan kaki ku.
“...”
Wah emang bener dah, mereka berdua ternyata ahli banget tidur. Aku coba pukul-pukul mereka dengan kakiku sampai ke muka mereka masing-masing. Dan akhirnya...
“Apaan sih ini??” Makoto bangun sambil membuka matanya perlahan. “WAAA!!! Kenapa ada kaki disini?!! Dasar kau Kazunari!!”
Akhirnya dia bangun juga dengan cara yang tidak elegan.
“Makanya, jangan buang-buang waktu dong.”
Lalu disusul oleh Rikku yang ikut bangun karena mendengar teriakan Makoto di bawahnya.
“Ada apa sih?? Oh udah siang ya?” dia bangun sambil megusap-usap matanya.
Udah siang gundulmu! Ini hampir sore tau!! Jelas lah kalo begadang itu pasti jatuhnya pada bangun siang. Ga mungkin kan orang begadang bisa bangun pagi? Kecuali mereka-mereka yang udah pada bekerja.
Kami anak-anak sekolah pasti suka menikmati waktu liburan dengan bertidur. Tapi bagiku, sekali lagi, itu hanya membuang-buang waktu saja.
“Ayolah kalian cepat! Aku sudah membuatkan teh untuk kalian. Segera habiskan dan mandi! Aku udah mandi ni soalnya.”
Aku berkata sambil berjalan membuka pintu untuk keluar kamar. Lalu mereka berdua mengikutiku dengan berlahan dan mengantuk.
Setelah mereka menghabiskan teh dan mandi, kami akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah Samuru. Karena sebelumnya, dia sudah meng-emailkan pesan kepadaku supaya segera datang ke rumahnya untuk merencanakan perjalanan liburan kami.
Ya, hanya aku dan Samuru lah yang SADAR akan hal liburan. Kami berdua selalu punya rencana saat liburan, entah pergi ke pusat belanja, entah ke gunung, entah ke hutan, ke kolam renang, pantai, taman hiburan, konser, sulap, pokoknya banyak deh... dan sering juga kami yang ribet sendiri, terlalu banyak perencanaan.
Namun untuk kali ini, kami akan merencanakan ke tiga tempat saja. Itu semua juga tidak jauh-jauh dari daerah kami. Kami akan ke sebuah taman terbuka yang sedang mengadakan bazar makanan dan pasar aneka natal. Kedua, kami akan ke Kyoto Station buat nemenin Marco dan Samuru bentar, mereka rencananya mau beli pernak-pernik sih disana. Kata mereka event disana kali ini beda dari sebelum-sebelumnya. Gak tau juga sih event apa, yang penting ngikut aja lah. Terakhir, kami akan menonton acara stand-up comedy di lapangan terbuka. Tepatnya di halaman ROHM Theater Kyoto*. Lumayan, ini baru pertama kalinya kami semua menonton komedian asal Indonesia yang katanya jago banget ngomongnya.
[Gedung teater megah yang ada di Kyoto]
Tiba waktunya kami berangkat ke lokasi pertama yang diantar oleh Samuru sendiri menggunakan mobil ayahnya. Meskipun masih ada selang waktu 5 jam, tapi kami harus segera kesana supaya menghindari macet, terutama liburan di tahun ini. Katanya sih tahun ini lagi banyak banget event yang bermunculan. Mulai dari konser musik, aksi pertunjukan sulap, konser J-Pop, pertunjukan tarian natal, tarian modern, sampai konser festival Anime.
Sebenarnya aku pengen banget ke festival Anime sih, tapi acara puncaknya baru di akhir tahun dan awal tahun. Itu gak mungkin bagiku, karena harga tiket mahal banget dan jumlah tiketnya juga terbatas. Itupun udah pada banyak yang pre-order mulai dari bulan Oktober. Jadi pasti udah pada abis, yang tersisa hanya tiket on-the-spot. Kalian tahu sendiri kan tiket on-the-spot itu jauh lebih mahal daripada online? Apalagi itu sebuah festival Anime terbesar tahun ini. Tapi gak apa-apa lah, selama aku bersama teman-temanku, aku gak merasa kesepian lagi.
Dan... kami sampai pada tujuan kami. Ternyata acaranya belum dimulai. Kami datang terlalu awal. Kami pikir di jalan macet, ternyata masih lancar-lancar aja. Mungkin belum jam 8 malam kali, ya? Jadi masih agak lenggang. Masih ada beberapa tenda-tenda stand makanan yang baru di dirikan, ada juga yang masih membersihkan meja kursi, ada juga yang masih ribut sama pegawainya. Namun ada satu stand yang kami lihat sudah mulai memasak masakannya dan kami mencoba untuk menghampiri. Orang tersebut menjual Takoyaki tapi dengan racikan yang berbeda. Kami penasaran dan kami hendak membelinya.
“Ini Takoyaki, ya?” Tanyaku dengan penasaran.
“Betul, ini Takoyaki spesial khusus untuk acara Natal,” kata penjualnya sambil memutar-mutar Takoyaki.
“Memangnya apa spesialnya?”
“Biasanya setelah dimasak langsung dimakan, kan? Tapi di acara seperti ini, kami menjual Takoyaki memakai pilihan toping yang berbeda-beda.”
“Ooo... pake toping, ya??” tanganku sambil memegang menu dan melihat pilihan toping Takoyakinya.
Jadi Takoyaki yang sudah matang akan dipadukan dengan beraneka macam toping. Pilihannya ada gula pasir, ada madu, ada coklat kacang, ada keju yang dilumerkan, ada jamur (hah, jamur?), ada daging asap (hah? Daging asap?), ada es krim (heh! Es krim), dan bisa juga dijadikan sebagai isi sandwitch. Wah, aneh-aneh bener ini, bukannya kami tambah cepet milih, tapi malah semakin bingung, terlalu banyak varian topingnya.
Akhirnya kami serentak memilih toping yang sama. Kami memilih toping GULA PASIR! Kaya donat aja brati, ya. Tapi harga yang ditawarkan lebih murah dari Takoyaki biasanya. Rikku lah yang sering beli Takoyaki di sekolah pada saat festival budaya. Harganya sekitar ¥300 - ¥400, sedangkan Takoyaki yang kami beli hanya ¥200 saja. Mungkin dikarenakan hanya pakai gula pasir saja. Yak, itu asuk akal. Coba kalau pake daging asap tadi? Atau dibikin sandwitch? Pasti lebih mahal. Bukan karena daging atau rotinya sih, tapi aku mikir karena anehnya itu.
“Wah, kenapa jadi kamu yang nentuin sih?” Marco sedikit mencemberutkan mulutnya dengan taburan gula di bibirnya.
“Ya... mau gimana coba? Kita semua bingung, kan?” Aku membalasnya.
“Ya iya sih... tapi sebenernya aku mau yang pake daging asap itu, cuman tadi aku liat harganyaaa... buset dah...,” Makoto tidak kuat membayangkan harganya.
“Iya kan mahal, namanya juga jualan di event Natal beginian.”
“Bener juga kau...,” lanjut Rikku sambil mengunyah.
Kami nongkrong di pinggiran lapangan yang ada rumputnya, sambil menunggu semua stand bazar dibuka. Tak salah memilih tempat, udara disini ternyata sejuk juga, tidak terlalu dingin. Meskipun ini musim dingin, tapi kami merasakan ketenangan waktu memakan Takoyaki, meski cuman bertopingkan gula.
Akhirnya, semua stand telah buka dan pada waktu itu juga pengunjung semakin banyak berdatangan memenuhi stand yang ada disana. Kami pun langsung bergegas menuju kesana. Kami melhat-lihat berbagai stand makanan, jika ada yang tertarik akan dibeli, tapi aku tidak. Aku menjaga uangku supaya hemat, soalnya aku sudah menghabiskannya sewaktu membeli tiket untuk menonton stand-up comedy dan berencana untuk membeli beberapa aksesoris disana.
Rikku, seperti biasa, dia selalu suka jajan. Dia membeli beberapa jajanan tradisional disana. Samuru yang biasanya suka diet, tapi kali ini dia membeli beberapa jajanan juga, ya... meskipun tak sebanyak Rikku. Marco, langsung menuju ke bagian pernak-pernik. Dan aku pun juga langsung menyusulnya sekedar melihat-lihat.
“Hei, Marco, apa yang kamu beli itu?”
“Kamu gak tau ini?”
“Emangnya, apa sih ini?”
“...”
Marco terdiam sejenak sambil melihatku.
“Ini Koi Super Miracle Item!! Masak kaga tau??” sambil memperlihatkan benda itu di depan mataku.
“Oh... itu... Jimat Asmara, kan?” Aku jawab dengan muka datar.
“Dasar... itu sama aja kali...”
“Lalu, untuk apa kamu membelinya?”
“Ya... untuk jaga-jaga aja buat kado.”
“Emangnya... kau sudah punya pandangan?”
“Belum sih... aku harap...”
Dia melihat ke arah belakang ku, sepertinya melihat seseorang yang dikenal.
“Eh... itu, bukannya si Marie??”
“Ha?? Mana??”
“Itu! Di depan sana...,” sambil nunjuk-nunjuk ke arah orang itu.
“Eh! Nda usah nunjuk-nunjuk kali!”
Lalu Marie menuju ke arah kami. Dan... kami pun bertemu dengannya.
“Hai! Marco-san, Kizu-san... sudah lama gak ketemu, ya...?” ia melambaikan tangan kanannya dan berjalanan kepada kami berdua.
“Ya... benar... Marie-san,” Marco membalasnya sambil tangannya berada di belakang kepalanya dan mukanya tersipu malu.
“Kebetulan ya bisa bertemu denganmu disini....” Sahutku hangat.
“Ehm... kau sendirian, Marie-san?” Tanya Marco.
“Enggak, aku sama adikku, kok. Tapi dia lagi beli jajanan.”
Raut wajahnya saat tersenyum, masih sama seperti waktu dulu, saat dia dan Rikku masih berhubungan. Tapi... penampilannya sedikit berubah.
“Oh... Marco, yang di tanganmu itu apa?”
“Oh... ini sebuah Jimat, kok.”
“Jimat apaan?”
“Jimat keberuntungan aja.”
Wajahnya memerah malu karena takut ketahuan jika itu adalah sebuah Jimat Asmara.
“Ohh... benarkah?? Aku juga mau ituuu....”
Malah tiba-tiba dia menginginkan barang seperti itu. Hmm....
“Kau ingin membelinya juga??”
“Iya, benar.”
Lalu kami kembali ke stand yang menjual Jimat Asmara itu. Tapi ternyata sudah habis.
Cepet juga! Padahal baru beberapa menit sudah ludes. Namun kami diberitahu oleh penjualnya jika di barisan belakang masih ada yang menjual barang tersebut. Kami pun langsung ke tempat itu dengan cepat.
“Hei, Marco, apa kau tidak keberatan jika itu sebenarnya Jimat Asmara?”
“Aku hanya berharap barangnya habis.”
“HEH??”
Oh, aku tahu. Marco berharap seperti itu supaya dengan sengaja dia bisa memberikan Jimatnya kepada Marie. Tapi... entahlah... apa tujuannya.
Setelah kami bertiga sampai, Marie melihat-lihat benda yang seperti dimiliki oleh Marco. Dan tahu apa yang terjadi?
Betul... Jimatnya habis... Aku berpikir, ini benar-benar Jimat Keberuntungan!
“Yah... kehabisan lagi....” Raut wajah Marie tampak sedih.
“Tak disangka Jimat seperti itu cepat laku.”
“...”
Marco terdiam sebentar, dia sepertinya mau melakukan aksinya.
“Marie...”
“Ada apa?”
Jimat Marco langsung diberikan ke tangan Marie dengan cepat. Tanpa banyak basa-basi, Marco detik itu juga, dia menjadi seorang pria yang berani.
“HAH! Apa ini tidak apa-apa???”
“Gak apa-apa, kok, lagipula setelah aku pikir-pikir lagi, buat apa aku menyimpan barang seperti itu. Lebih baik aku berikan saja kepadamu.”
“Ta—Tapi... Apa benar... i—ini tidak apa-apa??”
Marco tersenyum lembut dan berkata, “Tidak apa-apa kok.”
Muka Marie memerah. Telinganya memerah. Pikirannya melambung. Jantung berdebar-debar, seperti mau meledak rasanya.
Sejak hubungannya dengan Rikku berakhir, Marie tak pernah diberi hadiah oleh orang lain. Terutama oleh orang laki-laki.
Jelas terlihat di wajahnya, dia sangat senang serta kaget. Tak disangkanya yang memberikan hadiah adalah Marco, teman masa kecilnya.
“Oya, satu hal lagi, Marie.”
“Y—Ya??”
“Penampilanmu hari ini... sangat oke.”
Marie lagi-lagi tersipu malu dan terdiam seperti patung. Mukanya memerah lagi, memalingkan wajahnya sebentar, lalu menatap Marco kembali dengan tersenyum.
“Terima-kasih, Marco-kun.”
Dan Marco membalasnya dengan senyuman lembut.
Setelah kami mengucapkan perpisahan dengan Marie, kami pun segera menemui teman-teman kami yang lain. Sambil berjalan, Marco mengucapkan sesuatu yang sepertinya penting untuk dibahas.
“Kazu, sebaiknya kita rahasiakan ini.”
“Ya, aku tahu.”
“Sebenarnya, aku suka dengan Marie.”
“Ya, aku juga tahu itu.”
“Kau tahu maksudku, kan?”
“Kan, tadi kamu sudah memperlihatkan aksimu di depan mataku.”
“Bukan itu.” “Sebenarnya, aku suka dengan Marie sejak kami kecil, tapi entah... saat aku memberikan Jimat Asmaraku kepadanya, aku semakin tambah suka dengannya.”
“Ya, aku juga tahu.”
“Hedeh... dari tadi jawabanmu sama melulu.”
“...Yang terlebih penting, jangan sampai Rikku tahu jika Marie datang kesini.”
“Iya, kau benar.”
[1] Kekuatan supranatural yang ada dalam anime Naruto
[2] Sesuatu yang dilebih-lebihkan, tetapi tak sesuai dengan situasi dan kondisi
[3] Produser film besar Walt Disney dari Amerika
[4] Galge adalah game simulasi pacaran ala kartun Jepang
[5] Eroge adalah game simulasi sex ala kartun Jepang
[i] -san, -kun, -chan, adalah kata ganti panggilan dalam bahasa Jepang. –san artinya kata ganti panggil secara umum. –kun artinya kata ganti panggil untuk laki-laki yang sudah akrab. –chan artinya kata ganti panggil untuk perempuan yang sudah akrab.
0 notes
jeremykazuma · 8 years ago
Text
Alasan yang Tak Terucap - Anmoku no Riyu 「暗黙の理由」
Dulunya adalah Sekolah Umum Mashima yang sudah ada sejak tahun 1992 dan mulai populer pada tahun 1998. Dengan nama pendirinya Totsuya, Hiroshi dan Nagasaki, Nakawa beserta para relawan yang dahulu berjuang mempertahankan sekolah tersebut.
    Pada masa kejayaannya sekolah itu sedikit demi sedikit beralih menjadi sekolah yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat sekitar. Banyak isu-isu yang beredar jika sekolah tersebut memiliki murid-murid yang ‘aneh’ dan biasa dikatakan abnormal. Totsuya, Hiroshi dan Nagasaki, Nakawa, pendiri sekolah memutuskan untuk mengubah sistem manajemen akademik dan membangun sebuah area inkubasi sebagai tempat perlindungan jika ada sesuatu hal terjadi di luar kendali.
    Tahun 2004 sekolah itu telah memiliki sistem manajemen akademik yang baru dan memiliki beberapa guru serta pengawas murid-murid. Sekolah tersebut juga berganti nama menjadi Sekolah Mashima yang menghilangkan kata ‘umum’ pada sebelumnya. Dengan penambahan beberapa fasilitas baru, seperti ruang OSIS (yang difungsikan juga sebagai ruang monitor murid-murid), ruang untuk organisasi khusus, ruang rapat khusus, ruang inkubasi dan segala macam pembaharuan secara tampilan luar yang lebih modern. Namun Hiroshi dan Nakawa sudah tidak lagi aktif untuk mengawasi sekolah. Tugas mereka diserahkan kepada kepala-kepala yang baru, termasuk OSIS dan mereka berdua berpesan untuk tidak terlalu mempublikasikan sekolah secara publik. Karena banyak sesuatu yang ‘unik’ di dalam sekolah tersebut yang tidak bisa dipublikasikan dengan sembarangan.
    Pada tahun 2010, tahun kedua bagi anak kelas 2 di SMA Mashima. Sekolah khusus yang mengembangkan setiap karakter dan kemampuan anak untuk mencapai tujuan yang mulia. Banyak hal yang terjadi pada sekolah itu. Namun berkat adanya organisasi khusus yang diberi wewenang penuh oleh kepala sekolah untuk mencari murid-murid yang memiliki kemampuan ‘khusus’ dari sekolah-sekolah lain, lalu dipindahkan ke Sekolah Mashima. Salah satunya adalah Organisasi Pasir Emas yang bertugas untuk mencari dan memindahkan murid-murid dari sekolah lain yang memiliki kemampuan ‘khusus’ tersebut. Satu anggotanya bernama Keiichi Kazuya bertugas sebagai seksi operasional. Dulunya dia adalah anak yang pintar dan selalu ranking satu, tetapi karena kecurigaan dari pihak guru, akhirnya dia dibawa ke OSIS untuk disidang. Hasilnya dia dicap sebagai anak yang memiliki kemampuan untuk menghasut orang lain dan merubah pola pikir orang yang dihasutnya. Lalu pihak OSIS menghubungi kepala sekolah Mashima untuk disampaikan kepada OSIS Mashima supaya dipindahkan ke sana. Sebelum masuk ke kelas 2, Kazuya menjalani pelatihan khusus oleh salah satu pemimpin OSIS selama satu tahun, baru ditempatkan di kelas 2 SMA Mashima. Akhirnya Kazuya mengakui segala kesalahannya dan bertobat menjadi orang benar dan ditarik oleh Organisasi Pasir Emas.
    Organisasi Pasir Emas diketuai oleh Mitsuko Tatsuya yang juga menjabat sebagai wakil ketua. Sekretaris oleh Koujima Watabe, bendahara oleh Shinju Erika dan seksi operasional, Keiichi Kazuya. Tugas dari Organisasi adalah beroperasi ke sekolah-sekolah lain untuk mencari dan memindahkan beberapa murid yang memiliki kemampuan khsus ke Sekolah Mashima. Tak hanya mencari di dalam sekolah, mereka berempat mencari murid sekolah yang bolos, yang berkeliaran di jalan dan yang membuat kerusuhan di lingkungan sekitar.
    Tatsuya adalah anak perempuan kelas 2-A yang memiliki watak keras namun bertanggung jawab atas tugas yang diembannya. Koujima atau yang kerap dipanggil Kouji ini adalah anak laki-laki kelas 1-B yang doyan makan roti sapi panggang. Dia juga kadang-kadang suka mencuri roti tersebut di kantin SMP. Erika adalah seorang gadis kelas 2-B yang memiliki watak tenang dan tak banyak bicara, namun dia peka terhadap lingkungan sekitar. Yang terakhir Kazuya, seorang anak laki-laki pindahan atau lebih tepatnya dipindahkan dari SMP Hitomori. Sekarang Kazuya duduk di bangku kelas 2-B bersama dengan Erika.
***
Menjelang satu bulan sebelum libur musim panas, Organisasi Pasir Emas disibukkan oleh beberapa tugas yang lumayan banyak. Mereka harus mencari dua target dalam seminggu dan sebisa mungkin memindahkan mereka. Seperti biasa mereka berempat pergi ke sekolah-sekolah lain untuk bertugas, tetapi minggu itu hanya ada tiga orang yang bertugas. Erika tidak masuk sekolah karena ijin pergi dengan keluarganya selama dua minggu ke luar kota. Untuk sementara digantikan murid lain bernama Noguchi Koharu, seorang murid akselerasi kelas 3-A semester dua.
    “Selamat siang semuanya.” Sapa Koharu dalam ruangan organisasi.
    “Kau yang bernama Noguchi Koharu, ya?” Tanya Kouji.
    “Benar, panggil saja aku Koha. Aku disini untuk menggantikan Erika sementara. Aku datang dengan kerelaanku untuk ikut misi ini.”
    “Baik. Apa kemampuanmu, Koha?”
    Dengan duduk santainya di atas sudut meja, Tatsuya bertanya kepada Koha dengan tegas.
    “Aku bisa memanipulasi objek yang telah aku sentuh dan bisa mengkloningnya, tapi hanya bertahan selama 5 detik. Jadi kalo ingin menggunakan kekuatanku harus cepat-cepat,” balas Koha dengan senyum lebar.
    “Woh... keren.... Memiliki dua kekuatan sekaligus.”
    Kouji yang memperhatikan Koha, entah dia betul-betul memperhatikannya atau tidak, atau bisa jadi dia asal ngomong.
    “Hahaha, biasa aja sih, lagipula aku sangat senang untuk membantu kalian dalam misi ini.”
    Tangan kanan menggaruk rambutnya, wajah tersenyum manis. Padahal dia laki-laki, tapi memiliki tampang manis saat tersenyum. Dan ia balas pujian Kouji dengan senang hati.
    “Baik. Kami masih belum tahu apa manfaatmu membantu kami, tapi setidaknya kau harus berada dekat kami selama misi ini berjalan dan jangan sampai kau lengah.”
    Tangannya yang bersilang di dada, mengatakannya dengan tegas. Itulah Tatsuya jika bertemu dengan orang asing, seperti yang ia lakukan waktu bertemu dengan Kazuya.
    Lalu mereka berempat keluar sekolah untuk menjalankan misi mereka, dengan jatah waktu yang relatif singkat dari biasanya, mereka harus lebih cepat dan berhati-hati terhadap keadan sekitarnya.
***
    “Akhirnya kita sampai. Koha, kau mencari dengan Kouji dan aku mencari dengan Kazuya. Kalian cari bagian depan sekolah, sedangkan kami mencari bagian dalam sekolah.” Perintah Tatsuya dengan cepat.
    “Baik!!!” Jawab mereka bertiga.
    “Ayo!”
    Mereka tiba di SMP Fujita dan langsung berpencar untuk mencari murid yang memiliki kemampuan hipnosis.
    Akhir-akhir itu satu kelas digelisahkan oleh tingkah laku beberapa anak perempuan yang aneh setelah mereka keluar pada jam istirahat. Beberapa dari mereka didekati oleh seorang laki-laki yang bisa dibilang wajahnya biasa saja dan memiliki perawakan pendek.
    Laki-laki asing tersebut mendekati salah satu gadis dan berbincang dengannya. Setelah bertahan selama 20 detik, para gadis itu kembali ke kelas dan kebingungan. Gadis itu tak ingat kejadian dari beberapa menit yang lalu. Lalu lelaki tersebut pergi dan mencoba mendekati gadis yang lain.
    Teman-teman satu kelasnya bertanya kepada gadis itu. “Apa yang sedang terjadi?” Tetapi gadis itu tetap tidak bisa menjelaskannya, ia malah bingung dan menjadi pusing.
    Setelah tim Pasir Emas bertanya kepada guru yang lewat di koridor tentang kejadian tersebut, akhirnya mereka disarankan untuk menemui ketua OSIS. Ketua menjelaskan bahwa kejadian tersebut berlangsung selama jam istirahat di seluruh jenjang SMP secara acak dan bahkan ada satu gadis di SMA yang mengalami hal serupa. Jadi dia menyarankan untuk bertanya langsung kepada beberapa gadis yang ada di kelas 2.
    “Apakah kau yang bernama Fujiwara, Nao dari kelas 2?”
    Tatsuya memandangnya dengan tajam, seperti biasa jika ia sedang menginterogasi seseorang.
    “I—I—Iya... be—benar...,” jawabnya dengan gemetar.
    “Apa kau mengalami kejadian aneh belakangan ini?”
    “Eee... I—Iya... b—benar. Waktu... jam istirahat, aku didekati seorang laki-laki dengan tiba-tiba, lalu aku diajak ngobrol dengannya. A—aku gak ingat apa-apa... dan aku gak tahu, kok kenapa aku bisa pindah ke tempat lain... padahal sebelumnya aku berada di koridor depan kelasku....”
    “Tapi kau merasakan hal aneh di tubuhmu?”
    “Eee... a—aku... aku tak merasa apapun di bagian tubuhku kok... seperti biasa... gada apa-apa.”
    “Bisa kau jelaskan lebih detail tentang fisik dari laki-laki itu?”
    “Emm... dia... berambut pendek, warna coklat kehitaman, terus, tubuhnya agak pendek... dan... memiliki hidung yang agak mancung.”
    “Baiklah, terima kasih atas informasinya.”
    Tatsuya meninggalkannya dan mereka berempat langsung bergegas mencari orang tersebut.
    Dari semua informasi yang mereka dapat dari para korban, menjelaskan bahwa ciri-ciri fisik yang diceritakan sama. Tapi mereka belum tahu namanya dan dari kelas berapa tersangka tersebut berasal, karena sewaktu gadis-gadis yang lain ditanyai ciri-ciri fisik dari lelaki tersebut, tidak ada satupun yang tahu, bahkan mengenalnya. Kemungkinan besar mereka menduga bahwa tersangka itu berasal dari jenjang lain. Tanpa berlama-lama mereka menuju ke gedung SMA.
    Gedung SMP dan SMA berseberangan hanya dipisahkan oleh lapangan tenis. Mereka mencari informasi tersebut dengan cepat dan sigap. Saat sedang mencari di koridor SMA, tiba-tiba Kazuya dan Kouji melihat seseorang memiliki ciri-ciri fisik persis diceritakan oleh para korban sedang berjalan menunduk menuju arah mereka. Dia benar laki-laki bertubuh agak pendek, hidung mancung dan berambut hitam kecoklatan.
    Sambil mereka berdua datang menghampirinya, Kouji berteriak, “Hei! Kau orang yang suka menghipnotis gadis-gadis di SMP ya?!”
    Dengan wajah geram Kouji yang seolah-olah ingin menghajar bocah tersebut dengan cepat.
    Lelaki itu terkejut dan langsung menatap Kouji dengan serius, “Memangnya kenapa? Apa masalah buatmu? Lagipula kalian tidak usah ikut campur urusanku!”
    “Memangnya... kau tahu, kami ini siapa?” Tatsuya membalasnya dengan tatapan tajam.
    “Aku tahu! Kalian hanya pengganggu saja!”
    Dengan perkataan yang lantang, ia beraksi untuk menghipnotis mereka dengan matanya.
    “Awas!!! Jangan melihat matanya!”
    Kazuya langsung berteriak kepada mereka hendak menyelamatkan. Tetapi hanya dia yang selamat dari hipnotis anak itu.
    “Hahaha! Ternyata hanya kau yang tidak melihat mataku, dasar kau benar-benar egois!”
    Dengan keadaan yang panik, Kazuya hanya bisa melihat ke arah lain. Dia tak tahu apa yang harus dia perbuat kepada teman-temannya. Mereka bertiga hanya bisa berdiri sambil melotot ke arah anak itu. Mereka tak bisa melakukan apa-apa.
    Di keluarkannya kunci pas dari kantongnya hendak melemparkan ke arah Kouji.
    “Rasakan ini!!!” sambil melemparkan benda itu hanya dengan jarak kurang dari satu meter.
    Tetapi hal tersebut ditangkis oleh Kazuya dengan tangan kanannya. Dilemparkannya ke arah depan sebelah kiri. Dia telah kesakitan menangkis sebuah kunci pas yang berukuran 12 inchi tanpa melihat arah datangnya.
    “Hah... itu hanya kebetulan bagimu, tapi kau tidak akan menangkisnya untuk kedua kalinya!”
    Tanpa berpikir panjang, lelaki tersebut melemparkan kunci pas untuk kedua kalinya. Kali ini dia melempar dengan ukuran 15 inchi ke arah Tatsuya.
    “Tidak!!!”
    Kazuya berteriak sambil mengarahkan kepalanya ke arah lemparan kunci tersebut.
    Ternyata kunci pas berhenti tepat di depan kepala Kazuya. Dengan jarak hanya lima sentimeter saja. Lalu dia memegang kunci itu dan pengaruh hipnotisnya pun hilang.
    Tidak mungkin! Itu tidak mungkin! Anak itu berkata dalam hati, memang dia tidak percaya atas apa yang dilihatnya.
    “Bagaimana kau bisa menghentikan lemparanku?! Tanpa menggunakan tanganmu?! Dan berhenti tepat di depan kepalamu?!”
    Dengan matanya yang melotot, ia bertanya dengan panik kepada Kazuya. Sudah tak bisa dipercaya lagi bahwa seorang manusia bisa melakukan hal seperti itu. Menghentikan sebuah lemparan tanpa melakukan apa-apa.
    “Bukankah kau ingin membunuh?? Kau sebaiknya aku laporkan kepada polisi!!!”
    Bentak Kazuya sambil mengangkat tangan kananya yang memegang kunci pas hendak melemparkannya ke dia.
    “Kazuya, hentikan!”
    Dengan lantang, Tatsuya berteriak kepada Kazuya untuk menghentikan niatnya. Lalu Kazuya menurunkan tangannya dengan perlahan sambil menatap tajam lelaki itu.
    Semuanya telah tersadar kembali setelah lelaki itu kehilangan fokus untuk menghipnotis. Karena letak kelemahannya adalah ketika ia mulai kehilangan fokus.
    “Huh... baiklah... aku menyerah,” tangannya tangannya terangkat, wajahnya yang tertunduk lemas, suaranya pelan. Dia menyerah dengan mudah dengan badan sedikit gemetar.
    Kouji bertanya sambil mengarah ke arah Kazuya, “Sebenarnya apa yang terjadi Kazuya?!”
    “Tidak apa-apa, semuanya sudah beres,” jawab Kazuya sambil melihat ke wajah lelaki tersebut.
    Kouji, Tatsuya dan Koha masih terlihat kebingungan dengan yang telah terjadi sebenarnya. Efek dari hipnosis itu menyebabkan korban menjadi tidak ingat apa-apa pada kejadian sebelumnya. Kouji melihat ke kanan kirinya dan melihat ada kunci pas di sebelah kiri dekat pintu kelas. Lalu mereka melihat tangan Kazuya sedang memegang kunci pas, dengan luka memar yang terlihat jelas berwarna ungu gelap.
    “Baiklah. Ayo, kau ikut kami!”
    Kazuya berkata demikian sambil memasukan kunci pas yang ia genggam ke dalam kantong celananya. Ia berjalan di depan sedangkan Tatsuya, Kouji, Koha dan bocah itu berjalan mengikutinya dari belakang.
***
Setelah mereka menuju taman sekolah dekat gedung SMA. Mereka bertiga menanyai beberapa informasi tentang bocah tersebut.
    “Hei, dari tadi kami belum tahu siapa namamu?” tanya Kouji dengan kedua tangannya berada di pinggangnya.
    “Namaku Hitonashi Saki,” dengan wajah yang menunduk malu bercampur sedikit takut.
    “Kau itu murid SMA kelas 1, kah?” Tanya Tatsuya.
    “Iya, benar.”
    “Hmm... kenapa kau sekarang jadi pendiam begini...,” Kouji berkata dengan pelan sambil tangannya berada di dagunya. “Kau masih belum percaya kami, ya?”
    “Bukannya aku tidak percaya kalian. Aku hanya berpikir, mengapa ada sekolah yang memiliki murid-murid berkemampuan khusus di sekitar sini.” “Apa tujuan kalian sebenarnya?” sambil wajahnya terangkat ke atas, memandang Tatsuya dengan heran.
    “Kami disini bertugas untuk melindungi murid-murid yang memiliki kemampuan sama sepertimu, bukan untuk tujuan yang buruk, tetapi untuk melindungi dari yang terburuk.” Jelas Tatsuya.
    “Ha?? Maksudmu??” tanya Saki heran.
    Kazuya maju selangkah mendekati Saki dan berkata dengan tegas namun pelan.
    “Kami semua mencari orang-orang yang sama sepertimu untuk melindungi dari para ilmuan keji yang akan dijadikan objek penelitian mereka. Tapi jika mereka gagal, maka yang ada hanyalah tinggal nama kita. Mereka pasti akan melenyapkan kita. Tak peduli masih usia muda ataupun yang tua, jika kita gagal menjadi objek percobaan, maka kita akan dibunuh dan dibuang oleh mereka. Apakah kau mau seperti itu, Saki?”
    “Hah! Apa katamu?!” dia terkejut mendengar penjelasan dari Kazuya. “Kau tidak bercanda kan??” lalu ia berdiri, memandang Kazuya dengan wajah yang tidak percaya.
    “Kami sama sekali tidak bercanda, karena dari senior kami sudah ada yang menjadi korban. Maka dari itu kami diberi wewenang ini oleh atasan kami untuk mencari murid-murid sepertimu.” Sambung Tatsuya.
    “Oh... jadi begitu ya....” sejenak merenung.
    “Baiklah.” Saki kembali tentunduk.
    “Segeralah pulang dan bereskan semua barang-barangmu di rumah, nanti malam akan ada yang menjemputmu untuk pindah ke tempat kami.” Ujar Tatsuya.
    “Bagaimana kalau—“
    “Tenang, mereka yang akan menjemputmu lebih senior daripada kami. Kau akan terus diawasi oleh mereka sampai kau benar-benar tiba di tempat kami.”
    Dengan wajah yang menjadi yakin, akhirnya Hitonashi mau menuruti mereka. “Baiklah kalau begitu.”
Setelah semua beres, Kazuya kembali pulang ke apartemennya. Membuka pintu dan masuk, hendak berjalan menuju kursi di depannya untuk mulai makan malam bersama dengan adiknya.
    Adiknya sudah berdiri di samping meja makan, berhadapan dengan kakaknya dengan wajah yang cemberut. “Kenapa Kakak lama sekali??? Yuna sudah menunggu dari jam 9 tadi lo.”
    “Maaf-maaf, tadi Kakak benar-benar ada urusan penting yang gak bisa ditinggal.”
    “Ooo...” “Jadi anggota OSIS itu menyibukkan sekali, ya?”
    “Bukan OSIS, Yuna, tapi Organisasi Pasir Emas,” sembari duduk di kursi meja makan.
    “Oh... Pasir Emas??” tangan kanan Yuna memegang pipinya sambil menatap kakaknya dengan pikiran kosong.
    “Kamu tahu?”
    “Emm... gak tahu sih.”
    “Yah, sudah kuduga.”
    “Yang Yuna tahu cuman OSIS SMA aja, hehehe,” wajahnya tersenyum lebar. “Baiklah ... ayo kita makan malam, Kak!” sambung Yuna dengan semangat.
    “Baiklah!!”
***
Keesokan harinya mereka berempat kembali berkumpul di ruang organisasi. Tatsuya melihat kertas tugas yang ada di meja. Kali ini mereka bertugas untuk mencari seorang pengendali air di SMA Nagano yang berjarak hanya 20 km saja dari Sekolah Mashima.
    “Pengendali air? Kayak orang jaman dulu aja.” Celoteh Kazuya.
    “Jika dibayangkan pengendali air tidak lebih bahaya dibandingkan pengendali api, yakan?” Kouji mencoba untuk melawak.
    “Bodoh, jangan pernah kita anggap remeh dia. Siapa tahu levelnya lebih kuat dari kita. Kita tetap harus berhati-hati.”
    “Iya, kau benar Tatsuya.” “Kalian jangan anggap remeh dia,” balas Koha sambil melihat ke arah Kouji dan Kazuya.
    “Baiklah. Ayo kita pergi sekarang,” Tatsuya bergegas untuk pergi keluar.
    Mereka segera pergi ke SMA Nagano dengan naik bus dan berjalan kaki. Tapi sebelum sampai ke lokasi, Tatsuya ingin membeli roti untuk bekal makan siangnya. Lalu mereka mampir dahulu di sebuah minimarket dekat sekolah.
    “Selamat datang, selamat berbelanja.” Sapa pelayan kasir.
    “Oh, iya...,” balas Koha dengan senyum.
    “Kau mau membeli apa, Tatsuya?” Tanya Kazuya dengan nada pelan.
    “Entahlah, liat-liat aja dulu,” sambil mencari-cari roti yang dia sukai.
    “Hei, kau mau be—“ hendak bertanya kepada Kouji.
    “Waa... ternyata disini ada roti sapi panggang juga. Wahh... senangnya ...,” ekspresi Kouji yang girang setelah mendapatkan roti sapi panggang.
    Astaga Kouji. Dengan raut wajah yang malu melihat Kouji seperti itu.
    “Kalo kamu suka—“ hendak bertanya ke Tatsuya.
    “Waa... ternyata disini ada roti lapis daging ham... dengan saus barbeqiu?! Wahh... keren!” semangat Tatsuya setelah menemukan roti kesukaannya.
    Apanya yang keren? Raut wajah yang bingung campur malu. Ternyata Tatsuya juga seperti itu waktu menemukan roti kesukaannya. Tak jauh beda dengan Kouji. Tapi Kazuya benar-benar belum pernah melihat ekspresi Tatsuya se-senang itu. Melihat wajahnya yang cerah dan...
    Ya...
    Sangat manis.
    Setelah menemukan roti kesukaan mereka, Kazuya berjalan untuk memilih roti yang lain. Dan ia menemukannya. Roti isi kacang hijau dan bakpao isi coklat. Lalu ia menuju bagian minuman.
    Hmm... yang mana ya... banyak sekali pilihannya. Kazuya kebingungan saat memilih minuman.
    “Kau pilih yang mana, Kazuya?” Tanya Koha.
    “Gak tahu nih, pilihannya banyak sekali,” sambil jongkok memilih minuman.
    “Meskipun tergolong mini market, tapi disini lengkap banget ya....”
    “Iya, kau benar, sampai bingung mau milih yang mana.” “Kalo kau yang mana?”
    “Aku ini aja deh, ocha dalam botol dingin, kayaknya enak.”
    “Kau tidak suka minuman manis, ya?”
    “Kadang suka sih, tapi aku lebih suka minuman yang gak terlalu manis.”
    “Oh, begitu.” Lalu Kazuya menoleh ke arah kasir. Disitu rupanya sudah ada Tatsuya hendak membayar rotinya. “Jadi aku pilih ini aja deh.” Lanjut Kazuya membeli dua minuman sekaligus.
    Di sebleh Kazuya ada Kouji yang juga bingung memilih minuman. Cukup lama dia melihat-lihat minuman tersebut, sampai yang lainnya sudah berada di kasir.
    “Aduh... yang mana ya?? Kok aku jadi bingung gini sih? Padahal kalau di kantin aku selalu cepat milih minuman dan makanan,” ujar Kouji sambil wajahnya yang melas memandang lemari es.
    “Yang ini aja, Kouji,” Koha menyarankan sambil menunjuk satu minuman.
    “Teh melati? Wah... boleh juga.... Terima kasih Koha,” dengan wajah yang lega dan sedikit terharu.
    “Sama-sama.” Wajah Koha yang murah senyum selalu membuat damai hati setiap orang.
    Berlanjut ke bagian kasir. Masing-masing sudah mendapatkan bagian mereka. Tetapi Kouji masih melihat-lihat sekeliling minimarket erssebut, hendak membeli sesuatu yang lain.
    “Kenapa kau?” Tanya Kazuya kepada Kouji.
    “Kok gak ada peralatan tulis atau peralatan dapur gitu ya?”
    “Jelas gak ada lah. Kan ini minimarket khusus makanan dan minuman,” jawab Tatsuya ke Kouji sambil memberikan ke penjaga kasir.
    “Kok kamu tahu?” balas Kouji sambil memakan roti sapi pangganggnya.
    “Di signboard-nya sudah jelas tertulis,” Tatsuya jadi agak gemas.
    “Ooo... gitu ya...,” wajah Kouji pura-pura tidak mendengarkan.
    Dasar, Kouji bodoh, selalu tidak memperhatikan sekitarnya. Tatsuya sambil menyampingkan kedua tangannya ke pinggang, meihat Kouji dengan gemas.
    Sambil mereka berjalan keluar, Kazuya bertanya ke Tatsuya. “Emm... Tatsuya, kau tidak beli minum?”
    “Tidak kok, aku sudah terbiasa makan roti tanpa minum.”
    “Sebaiknya kau minum setelah makan roti, ntar seret lho.”
    “Enggak bakal, aku udah terbiasa kok,” melihat ke arah Kazuya.
    Lalu Kazuya mengambil minumannya dari kantong plastik. “Nih buat kamu,” dia memberikan satu minumannya kepada Tatsuya.
    “Tidak usah. Kau tak perlu repot-repot begitu,” tangannya menolak.
    “Sudahlah terima saja.”
    “Ehh... enggak, tidak usah,” kedua tangan Tatsuya di pinggang.
    “Sudahlah terima saja, kau kan jarang minum, Tatsuya,” ujar Kouji sambil memakan rotinya dengan celemotan.
    “Ehm... baiklah, aku t’rima,” dengan sedikit sungkan Tatsuya menngambil minuman dari Kazuya. “Terima kasih lho,” melihat ke arah Kazuya lagi.
    Kazuya mengangguk. “Iya.”
    “Baiklah kita cari duduk dulu sambil menghabiskan makanan kita.” Ujar Koha.
    “Oke...” Sahut Kouji.
    “Baik.” Sahut Tatsuya.
***
Setelah menghabiskan makanan, mereka lanjut menuju SMA Nagano. Lalu masuk ke ruang rapat untuk mendiskusikan beberapa informasi tentang seorang pengendali air. Ketua kelas yang bernama Takata Akira dari kelas 1-A. Ia menjelaskan bahwa si pengendali air yang dimaksud Organisasi Pasir Emas itu sedikit melenceng dari perkiraannya. Terutama Tatsuya, ia menyimpulkan bahwa pengendalian air adalah berupa air murni berbentuk cairan, namun Akira menjelaskan bahwa orang tersebut mengeluarkan es. Jadi, es yang dikeluarkannya memang berasal dari air, tapi entah asal air itu dari mana, yang terlihat jelas pelaku membekukan semua mesin minuman di setiap koridor sekolah, bahkan sampai di luar koridor.
    “Jadi sudah berapa lama kejadian itu terlihat?”
    “Sudah 2 bulan terakhir ini kejadiannya. Tapi untuk pelakunya sendiri kami baru menyadari beberapa minggu terakhir ini. Karena sebelumnya kami dengan klub sains meneliti kandungan apa yang ada pada mesin minuman tersebut, kenapa bisa ada es disitu. Ternyata hasilnya itu es murni yang asalnya dari air.”
    “Lalu, siapa pelakunya?”
    “Pelakunya adalah murid dari kelasku sendiri. Namanya Korodera Aoi.”
    “Bisa kau tunjukan orangnya?”
    “Mari, ikut aku.”
    Setelah Tatsuya mengetahui nama anak tersebut, mereka segera menuju ruang kelas 1-A. Akira menunjuk Aoi berada. Aoi sedang duduk bersama teman-temannya di pojok kelas. Dua temannya berada di depannya, sedangkan Aoi duduk sendirian berhadapan.
    “Apakah anda Korodera Aoi?” Tatsuya bertanya sambil mendatangi Aoi.
    “Benar, ada apa? Siapa kalian?” dengan wajah bingung.
    “Kami adalah Organisasi Pasir Emas, dari Sekolah Mashima. Kami dipanggil disini untuk mencari orang yang berkemampuan khusus seperti anda. Aku adalah ketuanya.”
    Kampret, ini pasti perbuatan Akira. Dengan sikap Aoi yang sedang duduk santai, sambil satu kakinya terangkat ke kursi, meminum minuman kaleng yang dia pegang. “Oh ... pasti kalian sudah tahu keberadaanku disini ya?”
    Keberadaan? Ya jelas lah... kan Akira sudah ngasi tahu, malah ngajak bercanda. Kouji jadi bingung campur kesal.
    “Benar, disini kami memiliki beberapa informasi bahwa anda sudah membuat ulah disini, seperti membekukan mesin minuman di sekolah.”
    “Iya, benar. Tapi... apa urusanmu disini?” dengan nada menahan geram.
    “Bukankah aku sudah katakan tadi. Kami akan memindahkanmu ke sekolah kami.” Ujar Tatsuya.
    “Jika aku menolak?”
    “Maka hidupmu akan terancam dari para ilmuan bengis yang sedang mencari orang-orang yang memiliki kemampuan sama sepertimu.”
    Kenapa topik pembicaraannya jadi menyeramkan begitu? Aoi berkata dalam hati dengan perasaan kesal, karena dia merasa bahwa kehidupannya terganggu oleh mereka. “Oh... apakah kau ingin menakut-nakutiku, anak kecil?”
    Apa?! Dia memanggil Tatsuya anak kecil? Kau bisa saja dibunuh olehnya! batin Kouji lagi.
    “Kami tidak sedang menakuti dirimu, tetapi ini semua demi kebaikan dan keselamatanmu.” Jawab Tatsuya dengan sedikit kesal.
    “Oke... baiklah... mari kita ‘bermain’ sebentar diluar,” ia berdiri sambil memandang Tatsuya tajam.
    Setelah Aoi mengajak mereka keluar kelas, mereka menuju ke lapangan sekolah. Disana ada sebuah kolam ikan kecil yang dimanfaatkan untuk menyejukkan disekitar lapangan sekolah. Ada juga pohon besar yang menaungi kolam itu. Aoi langsung berhadapan dengan Tatsuya yang hendak menunjukkan sesuatu kepada dia.
    “Kau ingin menunjukkan apa lagi kepada kami?”
    Dengan wajah Tatsuya yangserius emmandang Aoi sebagai murid yang serius. Sepertinya Aoi tidak akan main-main dengan dia.
    “Lagi? Aku adalah pengendali air dan juga es, meskipun kalian hanya melihat kejahilanku saja, tapi untuk kali ini aku akan menunjukan kekuatanku sebenarnya.”
    Sambil tangan Aoi mengendalikan air yang ada di kolam ikan itu, membuat kristal es dan membidik Tatsuya. Dilemparkannya kristal-kristal es itu langsung ke arah Tatsuya.
    Apa?! Dia benar-benar melakukan itu?! Kazuya pun tak bisa berbuat apa-apa karena kemampuannya masih terbatas. Pikirnya, ia hanya bisa menggunakan kekuatannya dengan jarak yang sangat dekat. Tapi tiba-tiba...
    Suara angin besar berhembus dan menghempaskan kristal-kristal es milik Aoi. Tatsuya terselamatkan oleh angin besar itu.
    Akira?! Kazuya melihat dia dengan heran.
    Dia?? Akira, kan?! Kouji pun juga heran melihatnya.
    Apa?! Apa itu?! Seperti tebasan angin yang besar! Aoi memandang heran angin itu. Kristal-kristal es nya terhempas jauh ke sebelah kirinya. Lalu ia melihat arah hembusan angin itu dan dia melihat, ada Akira disana sedang berdiri dengan wajah sangat serius memandang dirinya.
    “Hentikan Aoi! Kau sudah keterlaluan!” Akira teriak dengan lantang.
    “Akira, kau....” Tatsuya pun juga kaget Akira memiliki kemampuan seperti itu.
    “Ya! Aku juga memiliki kemampuan ini. Aku gunakan tepat seperti saat ini. Karena aku sudah tidak tahan lagi dengan perbuatanmu, Aoi!”
    Sambil Akira berkata seperti itu, dia datang mendekati Aoi yang masih heran. Matanya yang melotot, Akira pun lebih serius menanggapi Aoi yang keburu kelewatan.
    “Untung kau datang Akira.”
    Koha pun merasa bersyukur melihat kedatangannya setelah ia juga cukup panik melihat situasi Tatsuya yang terjepit tadi.
    “Kenapa kau kesini?? Kau tidak usah ikut campur urusanku!”
    Aoi membentak Akira, dengan wajah bencinya karena urusannya dipotong oleh Akira.
    “Apa ini semua urusanmu?? Masalah ini bukan soal membekukan mesin minuman saja, tetapi keberadaanmu sebentar lagi akan diketahui oleh ilmuan bengis.”
    Sambil berbicara tegas, Akira menunjuk-nunjuk Aoi hendak memperingatkannya dengan keras.
    “Apa kau tahu semua tentang para ilmuan itu dan tentang manusia-manusia lainnya?!” Aoi seakan tak percaya akan hal itu.
    “Memang yang aku ketahui tidak semuanya, tapi ... ada beberapa temanku yang berani mempertaruhkan diri untuk menyelidiki ilmuan-ilmuan disana, hanya untuk mengetahui motif dan tujuan mereka. Dan sampai sekarang, mereka belum pernah kembali disini. Berarti bisa aku pastikan... mereka takkan pernah kembali! Apakah kau mau bertindak serampangan hanya untuk memperoleh kesenangan?”
    “Aoi, lebih baik kau pindah dari sekolah ini dan ikut bersama dengan mereka, supaya hidupmu aman di tangan mereka.” Sambung Akira.
    “Sepertinya, kalian menganggap para ilmuan itu suatu hal yang sangat serius.”
    “Hmm... baiklah, mau bagaimana lagi,” Aoi menundukkan kepalanya dan merenungkan perkataan Akira.
    “Baik, sekarang kau harus bergegas ke tempat kami.” Sambung Tatsuya.
    “Aku akan siap-siap dulu.”
    “Jika sudah, segera ke tempat ini. Kami akan menelpon ‘pengantar’ untuk menjemputmu.”
    Setelah Tatsuya menelpon ‘pengantar’ tersebut, sambil Aoi menyiapkan barang-barangnya, ia bertanya kepada Akira.
    “Kau tidak ikut bersama dengan kami?”
    “Aku tidak bisa. Aku sudah memutuskan untuk menjaga tempat ini. Bersama dengan dua orang temanku, kami bertiga menjaga tempat ini sampai kami tidak menemukan murid-murid yang memiliki kemampuan spesial.”
    “Apa kalian tidak apa-apa? Bagaimana jika kalian ditemukan o—“
    “Tenang saja, satu teman kami memiliki kekuatan yang hebat. Aku yakin dia bisa kami andalkan saat keadaan terdesak.”
    Setelah Tatsuya bercakap-cakap dengan Akira, pada keputusannya Akira tidak ikut dengan mereka. Ia memilih untuk bersama dengan kedua temannya sebagai penjaga di sekolah mereka. Akira sudah berjanji dengan teman-temannya yang dulu pernah seperjuangan dengannya untuk tidak meninggalkan sekolah sampai keadaan benar-benar normal kembali.
    “Aku sudah siap.” Aoi datang membawa dua tas nya.
    “Oke, ikut kami.” Kata Tatsuya.
    Setelah mereka berjalan mengantar Aoi ke mobil, Tatsuya dan yang lainnya berpamitan dengan Akira. Aoi juga berpamitan dengan Tatsuya dan meminta maaf atas kejadian tadi. Tatsuya pun menerima maaf dari Aoi. Lalu ‘pengantar’ tersebut berangkat menuju tempat tinggal yang dimiliki oleh Sekolah Mashima.
    Dalam perjalanan menuju rumah masing-masing, mereka berempat membicarakan perkataan yang diucapkan oleh Akira. Ada beberapa hal aneh yang diketahui oleh mereka.
    “Dilihat dari pembicaraan Akari, dia sepertinya lebih banyak tahu dari kita. Apa Akari dan teman-temannya sudah pernah masuk ke dalam markas para ilmuan?” Tanya Tatsuya bingung.
    “Jika dipikir-pikir mungkin saja mereka sudah pernah, tapi... bagaimana mereka bisa masuk? Apalagi keluar?” Kazuya berkata demikian.
    “Mungkin mereka hanya mencari informasi di luar area saja.” Koha menambahkan.
    “Tapi aku rasa tidak mungkin. Tadi dia mengatakan bahwa keberadaan Aoi akan ditemukan segera oleh para ilmuan. Aku menduga, baik Akira atau temannya sudah tahu gerak-gerik para ilmuan,” Tatsuya menjelaskan sambil tangannya memegang dagunya.
    “Mungkin saja, tapi kita harus lebih berhati-hati lagi saat sedang beroperasi seperti ini.” Sambung Kazuya dengan serius.
    “Hmmm... bisa jadi salah satu teman Akari memiliki dua kemampuan sekaligus, atau bahkan tiga, sehingga semua informasi yang didapatkan Akari berasal dari dia. Mungkin hanya dia yang mampu masuk dan keluar dari fasilitas para ilmuan, tapi aku juga ragu jika orang tersebut kembali, tidak mungkin kembali tanpa luka.” Kouji menuturkan dengan lengkap.
    “Kita tak pernah tahu dimana, apa dan siapa saja orang-orang yang berada di dalam fasilitas ilmuan bengis itu. Kita hanya perlu ekstra hati-hati sekarang.” Ucap Tatsuya dengan sangat serius.
    “Tepat seperti yang dikatakan Kazuya.” Imbuh Koha.
    Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba mereka dihadang oleh tiga orang tak dikenal. Sudah dipastikan mereka adalah preman yang sedang mabuk, sambil membawa pisau, botol alkohol dan korek api. Wajah mereka seram dan kejam dan berjalan mendekati mereka berempat.
    “Hei mau kemana kalian??” preman yang membawa pisau berkata demikian.
    “Lihat, ada satu gadis yang cantik disini!” ungkap preman yang membawa botol alkohol.
    Preman yang membawa botol alkohol menuangkan alkoholnya ke pisau yang dibawa temannya, lalu dibakar menggunakan korek api.
    “Aku tidak akan menyakitimu, gadis kecil, aku hanya ingin menyakiti mereka yang memiliki rambut pendek.” Kata preman yang membawa pisau.
    Lalu tiba-tiba preman yang membawa pisau dilempar kardus dari depan. Ternyata yang melempar adalah Koha yang sudah memanipulasi kardus itu menjadi besi, sehingga preman tersebut terlempar cukup jauh. Dia jatuh dan tak berdaya karena tepat terkena mukanya.
    “Haaa!!!” teriak Tatsuya sambil mengayunkan tangan kananya. Tiba-tiba botol alkohol tersebut terbelah menjadi dua, padahal Tatsuya hanya berdiri dari tempat ia berdiri. Teryata kemampuannya adalah mengeluarkan angin yang sangat tipis dan tak terlihat, seperti pedang tajam yang dapat membelah apapun di dekatnya.
    “Sekarang giliranku,” sambil membetulkan kacamatanya, Kouji menggunakan kekuatannya untuk mengambil korek api yang ada pada tangan salah satu preman tersebut. Kemampuan Kouji adalah teleportasi dengan jarak dekat.
    “Ayok kita Lari!! Mereka monster!!!” sambil teriak mereka lari meninggalkan mereka berempat.
    Kazuya mendengarkan ucapan preman-preman itu saat mengatakan ‘monster’ dihadapan mereka. Ia berpikir sesuatu tentang perkataan tadi dan merenungkannya.
    “Ayo, kita pulang.”
    Mereka berjalan keluar dari lorong gang itu, tapi Kazuya terhenti sejenak.
    “Ada apa Kazuya?” Tanya Tatsuya heran.
    “Eh... tidak apa-apa. Ayo kita pulang.” Kazuya berkata sambil memikirkan sesuatu.
    Sesampai di apartemen, Kazuya memikirkan perkataan preman tadi terus menerus. Seperti ia merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya dan juga pada orang-orang yang memiliki kemampuan khusus. Sesuatu yang harus segera dibereskan.
    “Selamat datang, Kakak!” sahut Yuna dengan ceria.
    “Oh... aku pulang,” balas Kazuya dengan wajah lelah.
    “Hari ini Yuna memasak kari buat kakak lho...,” sambil berlari ke kompor untuk memanaskan kari yang ada di panci.
    “Oya?” Kazuya terkejut.
    Sambil memanaskan kari, Yuna mengaduk-aduk kari tersebut dengan pelan-pelan. Lalu setelah hangat, Yuna menyiapkannya ke dalam mangkok. “Ini Kakak, udah siap!”
    “Wah cepat sekali?”
    “Yuna sudah masak dari tadi, tapi Yuna panaskan lagi. Soalnya Kakak selalu datang terlambat sih.”
    “Yaa... bagaimana ya, memang ini kerjaan Kakak.”
    “Tapi Yuna ngerti kok kerjaan Kakak sangat bertanggung jawab. Hari ini Kakak kayaknya lelah banget?”
    “Iya, hari ini sesuatu banget. Setelah selesai makan malam, Kakak langsung tidur ya,” sambil mengunyah makanan yang ada di mulutnya.
    “Ehh... jangan langsung tidur dong, Kak, gosok gigi dulu... masak engga gosok gigi? Ntar bau lhoo...,” celoteh Yuna dengan wajahnya yang imut.
    “Iya, iya, ntar gosok gigi dulu deh,” sambil menelan daging.
    “Nahh... begitu dong, Kak,” Yuna sambil tersenyum lebar. Kazuya pun ikut tersenyum lega.
***
Keesokan harinya mereka berempat berkumpul lagi. Kali itu Erika sudah kembali yang sempat digantikan oleh Koha. Pintu terbuka perlahan, Erika pun masuk sambil menutup pintu.
    “Oh.... Selamat datang kembali, Erika!” sahut Kouji dengan gembira.
    “Selamat datang, Erika.” Sambut Tatsuya dengan hangat.
    Erika maju sederap dengan langkahnya, memandang Tatsuya dengan lebar. Sedangkan Kazuya memandang Erika dengan heran, seperti ada yang berubah pada penampilannya.
    “Maafkan aku, Ketua. Aku telah pergi selama ini tanpa membantu kalian sedikitpun.”
    Sambil tersenyum Tatsuya menjawab. “Tidak apa-apa, Erika, lagipula urusan dengan keluargamu lebih penting, kan?”
    “Iya benar, tapi aku ngerasa enggak enak aja sama kalian.”
    “Sudah, gak apa-apa kok, semuanya masih bisa teratasi dengan baik.” “Waktu tanpa kehadiranmu, kami juga digantikan sementara oleh Koha, dari kelas 3-A.”
    “Oh... syukurlah.”
    Sambil membuka kertas tugas, Tatsuya membacakannya. “Baiklah. Kali ini kita mencari seseorang yang berada di dalam mall. Disini tertulis, orang tersebut sedang berjalan sendirian. Kemampuannya adalah Scriying[1] dan kita harus mencarinya bersama-sama.”
    “Apa itu Scriying?” Tanya Kazuya.
    “Aku pun masih belum tahu pastinya, tapi disini tertulis, dapat melihat benda di dalam benda tertutup.” Jelas Tatsuya.
    “Jadi semacam penglihatan tembus pandang gitu, ya?” Celoteh Kouji.
    “Betul, tapi kita belum tahu pastinya benda apa yang ia incar.” Jelas Tatsuya.
    “Mungkin... dia mau mencuri perhiasan.” Balas Erika.
    “Jika seperti itu, ayok kita segera bergegas.” Respon Tatsuya dengan cepat.
    Segera mereka meninggalkan ruangan dan menuju ke mall yang sudah disebutkan di dalam kertas misi. Mall itu cukup jauh dari Mashima, tetapi dengan memakai kereta, mereka akan sempat sampai ke sana sebelum anak itu melakukan aksi yang berbahaya.
    Setelah berjalan beberapa langkah, sms masuk pada ponsel Tatsuya. Bertuliskan lokasi tepatnya berada di dalam area permainan, lantai 2, sebelah barat. Lalu mereka bergegas ke sana masuk dalam area permainan. Mereka mencari anak tersebut dengan bersama.
    Setelah beberapa langkah, akhirnya mereka menemukan anak itu tepat seperti yang diberitahukan dari sms.
    “Itu dia, yang berdiri di depan mesin minuman.” Ujar Kazuya dengan yakin.
    “Kenapa kau bisa yakin itu dia?” Tatsuya membalas dengan wajah ragu.
    “Hanya insting sih, tapi coba kita dekati dia.”
    “Sebaiknya coba kau saja Kazuya, tidak mungkin kita mendekatinya dengan keadaan ramai seperti ini.”
    “Oh... ehm... baiklah.” Kazuya berjalan ke arah anak itu dengan sedikit ragu dan bertanya kepadanya.
    “Sedang apa kau disini? Kenapa kau tidak menekannya?” Tanya Kazuya dengan hati-hati.
    “Aku sedang mengamati volume dari tiap-tiap minuman ini.” Kata anak itu.
    “Oh... jadi kau sedang membayangkan isi dari semua minuman ini ya?”
    “Tidak, aku sedang melihat minuman mana yang penuh dan mana yang kurang, jadi aku bisa membeli yang volumenya penuh.”
    “Bukankah semuanya sama ya? Kan sudah ada tulisan berapa mili di kalengnya.”
    “Tidak. Tidak semua minuman yang sama, volumenya sama persis. Jadi aku memilih yang lebih banyak.”
    “Lalu, bagaimana caramu supaya tahu?”
    “Hanya dengan mengamatinya saja, dari baris depan sampai belakang.”
    Jadi, dia bisa melihat baris depan sampai belakang ya? Luar biasa, tidak hanya satu benda saja, tetapi semuanya sekaligus. Kazuya merasa bahwa anak itu hebat tetapi juga cukup membahayakan. Bisa jadi kemampuan yang dia miliki dipergunakan untuk kejahatan.
    “Yak, aku sudah menentukan mana yang aku pilih.” Anak itu menekan tombol salah satu dari minuman itu, lalu mengambil dan menunjukan kepada Kazuya untuk dilihat volume airnya. “Lihat, benar-benar penuh kan?”
    “Wahh... kau hebat juga nak. Ngomong-ngomong siapa namamu?”
    “Aku, Alex.”
    “Oh... sepertinya kau bukan keturunan orang sini ya?”
    “Aku blasteran antara Jepang dan Inggris. Tapi lebih banyak Inggrisnya.”
    “Begitu ya... bisa kau ikut denganku sebentar, Alex?”
    “Baik, tak masalah.”
    Alex dibawa oleh Kazuya keluar dari arena permainan. Kazuya memberi kode kepada Tatsuya, Kouji dan Erika untuk menjaga jarak antara mereka berdua supaya Alex tidak curiga. Kazuya membawa Alex ke tempat makan di dekat situ, lalu mengobrol soal kemampuan yang ia miliki.
    “Kau sudah memiliki kemampuan itu sejak kapan?”
    “Jadi kau ingin menangkapku, ya?”
    “Bukan, bukan itu maksudku, aku hanya kagum kau bisa melihat dengan tembus pandang dari benda yang tertutup. Itu saja.” Kazuya grogi dan berdebar-debar.
    “Itu bukan kemampuan untuk melihat tembus pandang. Sama sekali berbeda. Kemampuan ini hanya dapat melihat isi dari benda yang tertutup, tidak lebih dari satu penghalang.”
    “Jadi hanya dapat melihat hanya satu penghalang ya?”
    “Benar, aku tidak bisa melihat menembus tembok yang berlapis-lapis. Lagipula jarakku melihat benda tersebut hanya sejarak dua telapak tangan saja.”
    “Ooh... begitu....”
    “Lalu, apa maumu kesini? Kau pasti tidak sendirian, kan?”
    Apa? Apa dia mengetahui keberadaan mereka? Kazuya sambil memandang Alex dengan sedikit cemas. “Anu ... aku datang sendiri kok ....” Kazuya sedikit berkeringat.
    “Baiklah. Memang tidak ada yang mencurigakan dalam dirimu, tetapi aku bisa merasakan mereka sedang mengawasi kita.” “Aku bisa mencium orang-orang yang mengawasimu dari jauh, apakah mereka teman-teman dekatmu?”
    Bagaimana ini? Mau mengelak apapun tetap dia bisa mengetahui keberadaan mereka, apa anak ini memiliki kemampuan ganda?? Kazuya kebingungan sambil keringatnya terlihat jelas di damping telinga dan juga di hidungnya. Tapi ia tetap untuk tenang dan mengendalikan keadaan.
    “Kau tidak perlu berbohong lagi, orang asing. Ada tiga orang lagi yang duduk bersama dengan jarak dua meter dari tempatku. Apakah mereka teman-teman dekatmu?” Alex merasakan kehadiran dari teman-teman Kazuya. Ia memepet Kazuya dengan pertanyaan itu.
    Mau bagaimana lagi aku tidak bisa mengelaknya. Batin Kazuya.
    “Hmmph ... baiklah, kau sudah menemukan mereka.”
    Lalu Kazuya memberi tanda dari tangannya untuk menyuruh Tatsuya, Kouji dan Erika datang mendekat.
    Setelah mereka datang mendekat, Kazuya menjadi merasa sangat waspada dengan Alex, dia juga menjadi kuatir dengan teman-temannya. Namun karena itu tugas bersama, maka Kazuya melemparkan pertanyaan kepada Tatsuya.
    “Oii, Tatsuya ... ini anak mau diapakan??”
    Ini anak kok tiba-tiba lancang begini?? Tatsuya juga sedikit panik dengan pertanyaan Kazuya, tetapi ia mengehela nafas sambil memandang ke arah Alex, “Jika kamu terus mema—“
    “Memakai kekuatan ini lalu menangkapku, kan? Aku sudah pikirkan resikonya. Kalian tidak perlu repot-repot datang ke tepat ini hanya untuk menangkapku. Sebaliknya aku datang kesini untuk menangkap seseorang.” Alex langsung mmemotong percakapan Tatsuya.
    Semua mata tertuju pada Alex dengan heran. Mereka tidak mengerti yang dimaksudkan Alex. Tapi Kazuya malah semakin penasaran dengan seseorang yang ditunggu-tunggu olehnya.
    “Apakah kamu ingin melawannya?”
    “Tentu saja, inilah yang aku nanti-nantikan. Aku sudah tidak tahan lagi dengan dia.”
    “Lalu, apa kami juga ikut terlibat?”
    “Tidak. Kalian hanya perlu menyaksikan saja.” Ia merasakan ada seseorang yang datang. “Sebentar lagi ia datang,” degup jantung Alex semakin cepat.
    Orang yang dinantikan Alex pun datang. Tapi mereka berempat tidak tahu dimana lokasi orang tersebut. Mereka mencari-cari dengan pandangan mereka, namun tidak menemukan orang yang dimaksud oleh Alex.
    Tiba-tiba ada suara seseorang berkata keras dari bawah. “Oh... jadi kau disitu rupanya, si pengguna Telesthesia!” “Percuma saja ya aku neghilangkan tubuhku.” Orang yang dinantikan Alex muncul.
    “Apa itu Telesthesia[2]??” Kazuya bertanya kepada Alex.
    “Nanti kau juga paham.”
    Dia mengatakan hal itu sambil berdiri pada pinggiran besi, mengambil sebuah kain panjang yang ada di kantongnya dan mengikatkan ke besi itu untuk dia turun ke lantai bawah.
    Sambil turun ke bawah, Alex terus memandang orang itu dan setelah turun ia berhadapan langsung dengannya.
    Siapa dia? Siapa dia sebenarnya?? Kazuya terus bertanya-tanya dalam hatinya seakan ia mau menanyakan hal tersebut kepada orang yag bisa menghilang itu.
    “Kazuya! Apa kita harus menonton mereka saja? Apa yang harus kita lakukan?” Tatsuya terdengan sedikit kuatir dan ingin segera Kazuya yang menyelesaikannya.
    “Untuk saat ini kita berada pada jarak aman dulu, baru nanti jika ada kericuhan dan mara bahaya, kita baru menghentikan mereka.” Tegas Kazuya sambil terus mengamati mereka yang di bawah.
    Suasana dibawah makin tegang. Banyak pengunjung Mall yang terhenti dan menonton mereka berdua. Apakah akan ada hal yang besar terjadi disana? Semoga tidak ada apa-apa.
    Masing-masing mereka berdua memasukan tangannya ke kantong masing-masing. Mengambil sesuatu dari kantongnya. Alex menggunakan tangan kirinya, sedangkan orang asing itu menggunakan tangan kanannya. Lalu sebuah senjata keluar memanjang seperti tongkat lipat.
    “Baiklah, kita bermain dengan cara yang adil,” kata orang asing itu dengan senyum jahat hendak menjatuhkan mental Alex. Dengan tangan kanan membawa tongkat, ia pun langsung menyerang Alex tanpa berlambat sedikitpun.
    Alex pun langsung menangkis dengan tongkanya. Kedua orang sama-sama memakai senjata tongkat lipat yang sama, warna sama, bentuk sama dan mungkin ukuran panjangnya juga sama. Mereka saling bertarung satu dengan yang lain. Banyak penonton yang melihat kejadian langka itu. Banyak yang langsung direkam pertarungan mereka dengan ponsel mereka masing-masing.
    Mereka berdua memang memiliki kekuatan, tapi mereka tidak menggunakannya dan memilih bertarung dengan adil. Sebenarnya apa maksudnya?
    Kazuya dan yang lainnya terus memandang mereka dengan wajah penuh tanya seolah berkata siapa mereka sebenarnya. Mereka bertarung tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dari mulut mereka. Dengan tongkat kayu mereka masing-masing yang saling mengenai satu sama lain, menimbulkan suara seperti baku hantam pada pedang kayu.
    “Kazuya, lakukan sesuatu! Jika begitu terus maka mereka akan terekspose sampai keluar!” Dengan nada menggertak Kazuya dari Tatsuya.
    “Kenapa harus aku, Tatsuya?!” Kazuya mencoba untuk mengelaknya.
    “Kan kamu yang ngajak ngobrol dia pertama.” Tatsuya sedikit sebal dengan perkataan Kazuya.
    Dengan ekspresi sedikit geram, Kazuya tetap melakukannya. “Hah, baiklah!”
    Kazuya langsung turun dari lantai dua. Tetapi memakai eskalator. Dia langsung berlari sekuat tenaga untuk menghentikan mereka berdua.
    “Hentikan!!” tangan kanan Kazuya mengarah ke depan dan senjata kayu mereka terhempas jauh.
    Kazuya pun heran ketika melihat kemampuannya bisa seperti itu.
    “Hei! Siapa kau?! Beraninya kau mengganggu kami!” Teriak orang asing itu.
    Sembari orang tersebut teriak, Alex terkejut melihat kekuatan Kazuya tadi. Dengan ekspresi wajah yang terus memandang Kazuya heran, ia pun bertanya dengan nada pelan, “Kazuya, apa yang kau lakukan?”
    “Oh... kau mencoba menghentikan kami berdua, ya?? Jika itu maumu, baiklah... terima ini!!”
    Orang asing itu memukul dengan tangan kanan, tepat di depan mata Kazuya. Tapi...
    Apa?! Apa-apa’an ini?!  Apakah ini sebuah pelindung?? Orang itu menarik tinjuan tangannya dari pelindung Kazuya, tetapi dia tak mau diam.
    Sambil ancang-ancang dia akan melakukan tendangan ke samping Kazuya.
    “Rasakan ini!!!“
    Lagi-lagi tendangannya dihentikan oleh pelindung yang tak kelihatan.
    “Hentikan, Kak!!” teriak Alex dengan keras.
    Kazuya juga terkejut, melihat kaki kiri orang itu sudah berada dekat dengan kepalanya, tetapi lagi-lagi dilindungi oleh pelindungnya.
    Orang itu menarik kakinya dan langsung mengarahkan kepada Alex. “Ini untuk kedua kalinya kau memanggilku kakak.” “Tapi kau akan menyesal kali ini.”
    Alex memandang kakaknya terbata, sambil kakaknya berlari ke arahnya dengan sangat cepat. Lalu ia berhenti di depannya. Kedua tangannya memegang kepala Alex, seperti ia mencoba untuk menghipnotisnya.
    “Aku akan melihat kenyataan yang sebenarnya,” kata kakaknya sambil menutup matanya.
    “Hei! Apa yang kau lakukan terrhadap Alex?!” teriak Kazuya.
    Kakak Alex tak merespon. Ia tetap memegang kepala Alex sambil menutup mata.
    “Jangan diam saja!!” Kazuya berteriak lagi, tetapi tetap saja tak direspon.
    Lalu Tatsuya, Kouji dan Erika datang mendekati Kazuya.
    Tiba-tiba matanya terbuka dan ia menurunkan tangannya dari kepala Alex.
    “Jadi, kau tidak tahu siapa yang membunuh ibu?” sambil memandang Alex dengan wajah menyesal.
    “Kau sudah meihatnya sendiri, kan?”
    “Aku kira, ayah yang membunuh ibu.”
    “Jelas bukan. Itu tidak mungkin.”
    Dia menarik dan menghela nafasnya, lalu ia memalingkan wajahnya dari Alex. “Baiklah, aku akan pergi.”
    Dengan cepat Alex berkata, “Tolong, jangan pergi lagi kak! Aku juga salah dalam hal ini. Aku seharusnya memberitahukan semuanya kepada kakak waktu itu.”
    “Bukan, ini salah Kakak. Kakak tidak memperhatikanmu lebih pada waktu itu.” Kakaknya berkata dengan memalingkan wajahnya dari Alex.
    “Sudah, semuanya sudah jelas. Biarkan Kakak pergi.”
    “Tolong, Kak! Jangan pergi!” Sekali lagi Alex mencoba untuk mengehentikannya.
    Tetapi sambil berjalan, ia mengatakan, “Biarkan aku yang menerima hukuman itu.”
    “Kakak... Kakak...!”
    Kakaknya bergegas pergi dari tempat itu, meninggalkan adiknya sendiri. Alex pun menjadi sedih dan meneteskan air matanya.
    Kazuya dan yang lainnya datang menghampiri Alex yang sedang bersedih. Dengan sedikit ragu, Kazuya menanyakan kepada Alex secara berlahan. “Jadi, tadi adalah kakakmu?”
    “Iya, dia adalah kakakku,” Alex menjawab dengan berlinangkan air mata kesedihan.
    “Tapi apa yang dilakukan dia terhadapmu tadi?”
    “Dia adalah pengguna Psychometry.”
    “Kemampuan apa itu?”
    “Ia bisa membaca pikiranku dari kejadian masa lalu, tapi semua yang ia sangka salah. Dia kira bahwa ayah kami telah membunuh ibu kami, padahal ayah kamilah justru melindungi ibu. Tapi waktu itu kakakku melihat dari sisi yang berbeda.”
    Sambil mengusapkan air matanya, Alex hendak untuk pergi. “Sudahlah aku tidak mau menceritakan hal ini kepadamu. Aku harus pergi.”
    “Hei! Tunggu dulu! Ada hal yang harus kami katakan.”
    “Apa lagi?!”
    “Kau tidak bisa pergi lagi, kami harus membawamu ke tempat kami.”
    “Memangnya kenapa?”
    “Karena ada beberapa ilmuan yang mencoba menangkap kita semua dan kita akan dijadikan alat percobaan. Mereka tertarik dengan kita yang memiliki kemampuna khusus. Jadi supaya aman, kau harus ikut kami.”
    “Aku tidak tertarik.”
    “Kau sudah gila, Alex?! Jika kau pergi keluar, maha hidupmu tidak lagi aman!”
    “Kalian tidak usah sok peduli denganku! Aku memiliki jalan hidupku sendiri. Jika seandainya aku ditangkap, biarlah itu terjadi. Lagipula sepertinya aku sudah tahu bahwa apa yang dikatakan kakakku tadi, mungkin ia ingin menyerahkan diri kepada ilmuan yang kalian sebut tadi.” “Biarkan aku juga tertangkap oleh mereka dan bertemu dengan kakakku.”
    “Itu belumlah pasti! Kau bahkan ti—“
    “Diam!! Aku bilang diam! Aku sudah memutuskan hal ini. Dan aku tetap pergi!”
    “Baiklah jika itu keputusanmu. Mulai sekarang hidupmu tidak akan aman.”
    “Kehidupan inilah yang aku jalani.” “Selamat tinggal.”
    “Baik.”
    “Tatsuya, kita juga harus pergi dari sini.”
    “Baik....”
***
Setelah menjumpai Alex yang memiliki kekuatan unik, mereka hendak mengajak Alex untuk ikut mereka, namun Alex tak mau karena ia sudah memutuskan untuk ikut kakaknya entah pergi kemana. Kejadian itu takkan dilupakan oleh mereka berempat, terlebih Tatsuya yang dirinya merasa gagal untuk mengajak Alex. Tatsuya sedikit tertekan dengan hal tersebut, murung dan hatinya mulai terguncang.
    Menjadi seorang pemimpin bukanlah hal yang mudah untuk dijalani, tapi itulah kenyataan yang diterimanya. Dari situlah Tatsuya dapat belajar tentang sesuatu bahwa setiap manusia memiliki jalan dan keputusannya masing-masing. Tak peduli seberapa besar resiko yang mereka hadapi,mereka tetaplah harus memutuskan yang pantas untuk dijalani.
    Kazuya seperti biasa pulang ke apartemennya, disambut oleh adiknya yang imut, membuat hati dan pikirannya menjadi lega. Kelelahan yang dirasakannya tak lagi meluas di tubuhnya. Melihat senyum adiknya membuatnya selalu kembali bugar dan bersyukur akan hal itu. Kazuya memang seorang yang benar-benar menyayangi adiknya, Yuna. Tetapi pada hari itu sebelum Yuna tidur malam, Yuna menceritakan mimpinya semalam. Ia berkata kepada Kazuya bahwa ia melihat seorang yang pernah tinggal bersama dengan mereka, ia seorang laki-laki, perawakannya lebih tinggi dari Yuna dan Kazuya, namun memiliki warna mata yang sama. Yuna berpikir bahwa ia mungkin adalah kakaknya yang pertama, tetapi Kazuya masih belum yakin jika mereka memiliki saudara kandung lagi. Kazuya masih yakin bahwa tidak ada saudara lagi. Mereka hanya tinggal berdua saja dengan meninggalkan ibu dan ayah di daerah lain.
    Setelah menemani adiknya tertidur, Kazuya membuka tv dan menonton berita. Ia melihat berita tersebut bahwa di seluruh dunia sedang dihebohkan adanya manusia bertubuh raksasa yang suka muncul pada malam hari di hutan. Diperlihatkan sebuah video amatir yang merekam kejadian tersebut dengan sekilas. Manusia raksasa itu memancarkan cahaya biru di seluruh badannya dan berjalan menuju ke sebuah danau. Video dari seorang amatir tersebut menunjuk pada suatu daerah di negara Swiss, dekat pegunungan. Mereka yang merekam kejadian itu juga menambahkan beberapa tulisan bahwa manusia raksasa tersebut kemungkinan besar tinggal di hutan dekat pegunungan. Pemerintah Swiss langsung memberi tanggapan atas video terebut bahwa masyarakat dan dunia tak perlu terkejut atas munculnya manusia raksasa bersinar biru, bliau juga menuturkan untuk tidak masuk ke daerah tersebut dikarenakan pemerintah dan badan penelitian akan menelusuri hutan pegunungan untuk mencari manusia raksasa itu. Mereka akan memastikan dan mengungkap kebenaran dibalik munculnya mansuia raksasa bersinar biru itu kepada masyarakat setempat dan kepada dunia.
    Kazuya tidak terlalu terkejut saat melihat berita tersebut. Ia bahkan mematikan langsung tv nya. Ia berharap agar manusia tersebut bisa hidup damai dan tenang tanpa diganggu oleh siapapun, termasuk badan pemerintah dan yang semacamnya. Lalu ia langsung mematikan ruang tengah dan masuk ke kamarnya. Ia merebahkan badan dan mulai untuk tidur. Tapi ia masih membayangkan bahwa hal semacam itu, manusia berkemampuan khusus, tak hanya terjadi di negaranya saja. Ia beranggapan bahkan masih ada banyak manusia semacam itu di belahan dunia lainnya, hanya saja berbeda tingkat kemampuannya.
***
Pagi hari pun tiba. Kazuya dibangunkan oleh adiknya yang tiba-tiba masuk ke kamarnya dan membangunkan dia dengan menepuk-nepuk pipinya. Kazuya membuka matanya dan adiknya berada tepat di depan matanya.
    “Hah... apa yang kau lakukan?”
    “Ayo Kak, cepat bangun....”
    “Memangnya kenapa? Ini kan hari libur.”
    “Antar Yuna ke sekolah, Kak. Yuna hari ini ada kemah.”
    “O... oh... kamu ada kemah ya? Kenapa kamu gak bilang dari kemarin?”
    “Kemarin Yuna udah capek, Kak, karena udah beres-beres.”
    “Ooo... baiklah... tunggu bentar ya, Kakak mandi dulu.”
    “O... oh... Kakak nanti mau sarapan dulu?”
    “Nda usah, nani Yuna bisa telat, hehehe.”
    “Oke... siap Kakak!”
    Kazuya langsung bergegas untuk mandi dan mengantar adiknya ke sekolah. Adiknya sendiri bersekolah di tempat yang sama, yaitu SMP Mashima, kelas 3. Sekarang ia sedang mengikuti acara kemah bersama dengan kelas 2. Lokasi dari kemah tidak terlalu jauh dari Mashima.
    Setelah mengantar adiknya, Kazuya mampir ke sebuah toko alat tulis sebelum pulang ke tempatnya. Setelah masuk, Kazuya melihat ada seorang gadis yang tidak asing baginya. Lalu ia mendekati gadis itu dan melihat dengan jelas, bahwa gadis itu adalah Erika. Ia mengenakan baju berwarna biru pastel dengan lengannya yang panjang dan lebar sampai ke pangkal tangannya. Memakai rok panjang berwarna biru sedikit lebih tua dan memakai sabuk warna putih. Ia juga memakai tas samping berwarna biru yang diselempangkan dari kanan ke kirinya. Sepatunya berwarna biru muda senada dengan bajunya. Semuanya serba biru muda. Itulah Erika yang dilihat Kazuya di dalam toko alat tulis. Kazuya berpikir tumben banget bisa bertemu Erika di luar sekolahan. Sendirian, tanpa ada Tatsuya yang biasanya bepergian menemaninya ketika di luar.
    “Heii... Kazuya... tumben kita bertemu di tempat ini.” Sapa Erika langsung.
    “O—oh... iya... tumben kamu disini juga.” “Kamu lagi nyari apa, Erika?”
    “Ini..., aku mau nyari kado buat temenku.” “Ngomong-ngomong, kamu sendirian ya?”
    “Oh... iya, aku sendirian.”
    “Lalu adikmu dimana?”
    “Adikku berangkat kemah hari ini.”
    “Ohh... berarti tadi kamu yang antar adikmu?”
    “Iya.”
    “Wah... Kakak yang baik, ya...?”
    “Hahaha. Udah jadi tanggung jawabku kok.”
    “Benar, kau emang orang yang baik.” Lalu Erika berjalan melewati Kazuya. “Emm... Kazuya?”
    “Ada apa?”
    “Aku boleh memanggilmu, Keiichi?”
    “Hah? Emm... memangnya kenapa, ya?”
    “Kau boleh memanggilku, Shinju.”
    “Hah?? Oh... aku masih belum paham.”
    “Kita kan udah lama berteman, masak kita tidak bisa saling memanggil nama depan kita?”
    “Oh... o ya... benar juga....”
    Perasaan Kazuya benar-benar tidak enak, apa ada sesuatu yang salah? Tiba-tiba Erika memanggil nama depannya dan dia meminta memanggil nama depannya juga. Kazuya masih belum mengerti akan hal itu. Erika yang tiba-tiba menunjukan sifat feminimnya. Apa mungkin setelah ia berlibur dengan keluarganya, ia disadarkan oleh keluarganya atau mengalami sesuatu? Yang Kazuya yakini, Erika waktu masih kelas 1 SMA, sifatnya tidaklah feminim. Dia sangat pendiam dan selalu merespon jawaban dengan singkat. Tapi pada hari itu, waktu itu, dimana Kazuya bertemu dengan Erika, mereka menjadi sangat akrab. Seolah-olah Erika sedang menyembunyikan sesuatu dalam hatinya.
    Setelah mereka berdua keluar dari toko itu, Kazuya berjalan berdua dengan Erika. Mereka mengobrol bersama membahas tentang adik Kazuya. Erika sangat ingin bertemu dengan Yuna, karena dari dulu ia hanya bertemu sekali dengannya.
    “Kei, adikmu sekarang seperti apa ya?”
    “Ya... sama seperti dulu lah. Cerewet, suka masak dan... imut.”
    “Ooo... jadi kamu sangat menyayangi adikmu, ya?”
    “Ya... begitulah...,” wajahnya sambil tersipu malu.
    “Kapan-kapan, aku boleh menemui adikmu, ya?”
    “Kan bisa ketemuan di sekolah?”
    “Maksudku, waktu adikmu lagi memasak.”
    “Ooh... ehm... boleh sih, tapi kalo mau berkunjung, hubungi aku dulu,” wajahnya sedikit kemerahan.
    “Hehehe, baik...,” dibalas dengan senyum Erika yang menenangkan hati.
    Lalu mereka berpisah di persimpangan jalan. Erika menuju arah berseberangan, sedangkan Kazuya melanjutkan perjalanannya lurus.
    Sesampai di dalam kamar, ponsel Kazuya mendapatkan sms dari Tatsuya :
    [ Hari ini, kamu ada waktu luang, gak? ]
    [ Memangnya ada apa? ]
    Kazuya menunggu balasan dari Tatsuya setelah beberapa menit.
    [ Ada yang ingin aku sampaikan kepadamu. Kita bisa ketemuan di terminal Yakuin sektor 606 ]
    [ Jam berapa? ]
    [ Sekarang! ]
    Kazuya kaget. Mendadak Tatsuya mengajaknya untuk pertama kalinya pergi. Entah hanya berdua atau dengan yang lainnya, tetap saja ia gugup jika diajak oleh seorang teman perempuan. Tapi mau bagaimana lagi, Kazuya harus menemui Tatsuya dengan segera karena sms nya bertuliskan ‘Sekarang!’. Tanpa mengulur waktu, ia mengambil jaketnya dan bergegas pergi ke tempat yang dituju.
    Dengan menggunakan MRT dan busway, Kazuya pun tiba di terminal yang sudah disebut Tatsuya. Ia sedang sedang duduk di bangku terminal, mengenakan baju tanpa lengan dengan warna pink pastel, ada tali yang dipita dibagian atas bajunya, memakai tas samping kecil berwarna pink yang lebih tua di lengan kanannya dan memakai rok selutut yang juga selaras dengan bajunya. Kazuya melihatnya, wajahnya memerah, tak biasanya Tatsuya mengeluarkan sisi feminimnya seperti ini. Lalu mereka berdua saling duduk dan menunggu busway jurusan berbeda.
    Setelah bus datang, mereka langsung masuk ke dalam menuju ke bagian belakang. Kazuya berada di belakangnya sambil mengamat-ngamati rambut ponytailnya yang bergoyang. Lalu mereka duduk berdua di bagian belakang. Tetapi dalam perjalanan, Tatsuya terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu.
    “Sebenarnya, kita mau kemana, sih?” tanya Kazuya sambil melihat Tatsuya yang sedang memegang tas sampingnya.
    “Kita ke taman Yusentei.”
    “Oh... memangnya ada apa disana?”
    Lalu Tatsuya mengambil dua buah tiket dan ditunjukkan kepada Kazuya.
    “Hah? Tiket pameran binatang?” sambil melihat ke arah tiket itu.
    “Aku ingin pergi kesana, tapi aku hanya punya dua tiket. Dan aku bingung mau ngajak siapa.”
    “Kamu dapat tiket itu dari siapa?”
    “Dari Kouji.”
    “Memang... dia menang lotre lagi??”
    “Tidak, Kouji dapat dari temannya.”
    “Ooo... lalu, kenapa kau mengajakku? Kenapa tidak Kouji saja?”
    Sejenak Tatsuya melepaskan pandangannya dari Kazuya. Ia melihat ke depan bus, menghela nafas, lalu memandang Kazuya kembali dengan senyum. “Gak apa-apa.”
    Huh... ada apa dengan anak ini?? Hari itu Kazuya mengalami hal-hal ganjil, pertama kepada Erika, kedua kepada Tatsuya. Apa mereka sedang menyembunyikan sesuatu? Kazuya berpikir dalam hatinya. Tapi yang pasti, Erika dan Tatsuya tidak akan melakukan hal-hal yang aneh, dilihat dari wajah dan perkataan mereka, mereka memang sedang melakukan hal yang tulus.
    Sesampai di Taman Yusentei, mereka berdua menuju ke pameran anjing. Pameran tersebut berada di dalam tenda besar yang berwarna putih dengan lampu-lampu yang menerangi dari atas, menyorot anjing-anjing yang ada disitu.
    Waktu mereka jalan-jalan, Tatsuya melihat satu anjing yang membuat dia penasaran. Lalu ia menghampiri anjing itu.
    “Hiii... lucunya....” Tatsuya melihat anjing itu dengan senang. Matanya yang terbuka lebar serasa ingin memeluk anjing itu. Ia memperhatikan bulunya, matanya, ekornya, kakinya, semua yang ada pada anjing itu diamatinya. Anjing itu jenis anjing Beagle, dengan warna putih campur coklat, berbulu pendek dan masih umur tiga bulan. Dengan melihat Tatsuya, penjaga anjing menawarkan untuk mengeluarkan anjingnya, tetapi Tatsuya menolak.
    Sambil berpamitan dengan anjing itu, Tatsuya dan Kazuya melanjutkan mengelilingi pameran tersebut. Lalu mereka berhenti lagi di anjing yang lain. Kali itu anjing jenis Mini Poodle berwarna coklat krem, umur dua bulan. Tatsuya sekali lagi mengamati anjing itu dengan seksama. Semuanya ia amati, mulai ujung kepala sampai ekor. Dengan mata yang terbuka lebar, pandangan Tatsuya tak lepas dari anjing Poodle itu.
    Sambil ia mengamati anjing itu, Kazuya bertanya kepada Tatsuya, “Kamu suka anjing, ya?”
    “Iya, dari dulu aku udah suka anjing. Tapi aku gak bisa melihara mereka.”
    “Jadi dulu kamu pernah punya anjing?”
    “Iya, emm... cuman satu sih, tapi sesudah itu dikasihkan ke pamanku, karena gak aku rawat. Hehehe.”
    “Ooo... jadi sekarang kamu hanya sekedar pengagum saja, ya?”
    “Iya. Seandainya aku bisa merawatnya, pasti aku akan merawat anjing yang banyak.” ujar Tatsuya sambil tersenyum lebar di depan Kazuya. “Baiklah.... Ayo, jalan lagi.”
    Sambil mereka melanjutkan perjalanan, Kazuya ingin menanyakan suatu hal kepada Tatsuya, tapi ia harus benar-benar mengumpulkan nyali untuk bertanya. Karena pertanyaan yang akan ditanyakan berkaitan dengan tingkah laku Tatsuya hari ini.
    Tanpa terasa mereka berdua mengitari pameran anjing selama satu jam. Tatsuya benar-benar puas sudah melihat anjing-anjing yang ada disana. Tak hanya melihat saja, ia juga menyentuh beberapa anjing yang tidak dimasukan ke dalam kandang. Saat Tatsuya menyentuh anjing-anjing itu, ia merasa sangat bahagia dan puas. Sudah lama ia tidak menyentuh anjing yang tidak berbulu sampai yang berbulu lebat. Benar-benar perasaan seperti di surga yang benar-benar memuaskan hatinya. Terlebih lagi ia ditemani oleh Kazuya yang bisa dipercayai dan diandalkan.
    Lalu mereka berjalan keluar dari pameran tersebut untuk membeli minum dan snack di dekat taman. Mereka masuk ke sebuah restoran cepat saji, memilih minum dan makanan yang ada disana, lalu duduk berhadapan.
    Kazuya duduk sambil memikirkan sesuatu untuk ditanyakan kepada Tatsuya. Tapi hati serasa belum siap untuk mendengarkan jawaban darinya. Kazuya mulai merangkai sebuah pertanyaan yang sekiranya cocok untuk dilontarkan kepada Tatsuya. Ia mengumpulkan keberanian sambil menatap Tatsuya dengan selembut-lembutnya.
    “Anu... Tatsuya....”
    “Ada apa?”
    “Ehm... kenapa hari ini kamu keliatan beda?”
    “Hah? Apanya yang beda?”
    Kazuya pertama kalinya grogi di hadapan Tatsuya, dengan tangan yang sedikit berkeringat memegang botol minuman yang ada di tangannya dan pandangannya menjadi tidak fokus. Tapi Kazuya tetap mengumpulkan mental untuk bertanya kepada Tatsuya.
    “Umm... kenapa kamu mengajakku hari ini?”
    Kazuya tidak berani menatap Tatsuya langsung, ia memandang ke arah meja.
    “Emm... maksudku, kenapa aku yang kamu ajak?” lanjut Kazuya membenarkan maksudnya.
    “Oh...,” sambil menyedot minuman yang ia pegang. “Karena kamu adalah orang yang aku percaya.”
    Kazuya masih belum menangkap apa maksud dari kata-kata Tatsuya soal percaya itu. Bahkan kata ‘percaya’ itu masih terasa ‘asing’ bagi Kazuya. Karena ia adalah mantan dari pemberontak dan pembuat onar di kelas. Jadi Kazuya berpikir bahwa mungkin dialah orang yang pertama diajak oleh Tatsuya untuk bepergian.
    “Bukan berarti si Kouji tidak bisa kamu percayai, kan?” Lanjut Kazuya memastikan.
    “Untuk urusan seperti ini, aku lebih tidak memilih dia. Tapi aku lebih memilihmu.”
    Tatsuya menatap Kazuya dengan lembut sambil dagunya ditopang oleh tangan kirinya.
    “Oh... begitu ya....” Jawab Kazuya.
    “Kenapa?”
    “O—oh... eng... engak apa-apa,” tiba-tiba grogi lagi.
    Setelah mereka mengobrol sambil menghabiskan makanan, mereka lanjut untuk menuju perjalanan pulang. Tapi sebelum pulang, Tatsuya melihat satu toko yang menjual pernak-pernik aksesoris ponsel. Mereka pun masuk sebentar untuk melihat-lihat.
    “Kazuya, masuk dulu yuk.”
    “Oh... baiklah.”
    Kazuya melihat keadaan sekitar, memandang berbagai aksesoris ponsel yang unik-unik. Beragam  macam merk ada di toko tersebut. Tetapi Tatsuya memandang pada loker di sudut toko. Ia tertarik dengan case ponsel yang bergambar anjing.
    “Eh, Kazuya... ada gambar anjingnya. Lucu banget...,” sambil dipegang lalu ditunjukan kepada Kazuya dengan wajah imutnya.
    “Hehehe, kalo kamu suka beli aja.” Balas Kazuya dengan hangat.
    “Tapi... yang ini lucu juga...,” Tatsuya memegang kedua case tersebut.
    Case pertama bergambar anjing berwarna coklat krem, sedangkan yang kedua bergambar anak anjing berwarna putih dengan bercak coklat di sekiar wajahnya. Tatsuya bingung hendak memilih yang mana.
    “Kalo kamu suka semua, beli aja keduanya.” Kazuya menyarankan.
    “Emm... tapi... yang satu buat siapa?”
    “Ya... disimpan saja dulu, kan bisa buat cadangan,” senyum Kazuya dengan malu-malu.
    “Oya... benar juga.... Terima kasih, Kazuya.”
    Kazuya membalasnya dengan senyuman lagi. Tanpa disadari, mereka berdua menjadi sangat akrab. Kazuya juga seperti menjadi penolong bagi Tatsuya disaat ia kebingungan.
    Tak lama setelah itu, Kazuya baru kepikiran mumpung ia disitu, ia hendak membelikan case ponsel juga untuk adiknya. Ia menuju rak aksesoris ponsel yang ada di pojok kiri dari toko. Disitu dijual case ponsel khusus penyanyi-penyanyi pop. Kazuya mencari sosok idola yang disukai oleh adiknya, lalu ia menemukannya. Gambar idola tersebut adalah Miamoto, Ishikawa, seorang penyanyi muda berusia 15 tahun. Meski harganya cukup mahal untuk sebuah case ponsel standar, Kazuya tetap membelikan, karena hal itu akan menjadi sangat berharga untuk adiknya.
    “Kau ingin membeli case juga?”
    “Iya, tapi untuk adikku. Dia penggemar Miamoto-san.”
    “Ohh... seorang idol muda, ya?”
    “Benar, ya... meskipun suaranya tidak terlalu indah, tapi memang yang disukai Yuna.”
    “Kamu memang kakak yang perhatian.”
    “Meskipun aku perhatian, tapi aku bukan siscon lo...,”
    “Gada bedanya siscon dengan tidak, bagiku sama saja. Dasar penyayang adik perempuan!”
    “Ehh!?... aku hanya penyayang adik, bukan berarti dia perempuan atau laki-laki.”
    “Hahaha... bercanda-bercanda,”
    Candaan Tatsuya memang bikin deg-deg’an. Sudah lama juga Kazuya tak pernah bercanda dengan perempuan, apalagi dengan teman satu tim. Ia merasa lebih dekat lagi dengan Tatsuya saat bercanda soal siscon. Yang terpenting waktu bercanda dengan Tatsuya, jangan sekali-kali membuatnya kesal.
    Setelah Kazuya memilih case tersebut, mereka menuju ke kasir untuk membayar. Kazuya mengintip dari layar komputer untuk melihat harga case ponsel yang dibeli Tatsuya. Ternyata harganya lebih mahal dari case yang dibeli untuk adiknya. Tapi itu dua banding satu, jadi jika dihitung-hitung tetap mahal yang dibeli Kazuya. Lalu mereka keluar toko dan melanjutkan perjalanan pulang.
    Dalam perjalanan pulang, sambil membawa belanjaan mereka, Kazuya melirik Tatsuya. Sekali lagi ia mengamati pakaian Tatsuya yang benar-benar beda saat hanya mengenakan seragam sekolah.  Dan Ia merasa bersyukur bisa berjalan bersamanya.
    “Tatsuya?” mendadak Kazuya melontarkan pertanyaan.
    “Ada apa?”
    “Apa kamu puas hari ini?”
    Tatsuya melihat sebentar ke arahnya, lalu melihat kedepan dengan wajah sedikit tersipu malu.
    “Hal seperti itu sudah jelas, kan? Aku sangat senang hari ini.” “Apalagi... jika berjalan berdua denganmu.”
    “Ha? Eh... benar itu...?”
    Reaksi wajah kaget dengan langkahnya sempat terhenti beberapa detik, lalu berjalan kembali. Setelah melihat reaksi Kazuya, Tatsuya merespon dengan mengangguk lembut. Dan ia berkata...
    “Terima kasih, atas semuanya... Keiichi-kun.”
    Ini... baru pertama kalinya aku dipanggil Keiichi oleh Tatsuya. Kazuya terhenti lagi dan memandang lama Tatsuya. Wajah Tatsuya yang dulu sangat serius, kini menjadi manis saat dipandang. Tatsuya menjadi heran saat aku memandang lama dirinya. Ia juga mengamati Kazuya, menunggu reaksi selanjutnya. Beberapa detik kemudian Kazuya mulai membuka bibirnya untuk berkata.
    “Apa aku juga boleh, memanggil nama depanmu?”
    “Heem, boleh saja.”
           Meskipun tak ada bulan pada malam itu, tetapi setidaknya ada banyak bintang yang menerangi jalan yang mereka lewati bersama. Sesuatu hal yang tak dimengerti sebelumnya, kini menjadi jelas saat berjalan berdua. Perasaan yang mungkin waktu itu masih terpendam, berlahan-lahan akan terungkap. Akhirnya mereka berdua berjalan sampai tiba di apartemen masing-masing.
[1] Kemampuan untuk melihat benda atau objek ke dalam medium tertutup secara spesifik
[2] Kemampuan untuk melihat jarak dan target yang tak terlihat menggunakan indra keenam
0 notes
jeremykazuma · 8 years ago
Text
Kakak-ku Tak Se-menyebalkan Seperti yang Aku Kira! (My Sister is not Annoying as I Expect!)
Aku Ryouku, seorang remaja laki-laki yang bersekolah di SMA Kudou, kelas 2-E. Saat ini aku berpacaran dengan Ino Fujiwara dari kelas 2-A sejak delapan bulan yang lalu. Alasan mengapa aku berpacaran dengan dia? Sebuah pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu jawabannya. Semua laki-laki tahu tentangnya. Mungkin karena aku kurang populer di kalangan ‘masyarakat’ kelas 2-A, jadi banyak teman-temanku yang kaget melihat hal ini. Juga teman-teman sekelas Ino, mereka juga heran kenapa dia mau denganku.
    Bodoh, bodoh, bodoh, aduh.... Entah kenapa mereka semua seperti orang yang baru lahir dari dunia ini. Melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya bisa dijawab sendiri.
    Mungkin karena karakter kami berbeda kali, ya. Ino orangnya selalu ramah dengan semua orang, mudah bergaul dan suka membantu mengerjakan PR teman-temannya [membantu mengerjakan PR teman-temannya? Apa gak salah?]. Sedangkan aku mungkin orangnya lebih cenderung pendiam dan hanya meiliki sedikit teman, sehingga banyak orang berpikir bahwa aku ini orangnya penyendiri. Padahal aslinya... iya sih. Tapi terserah apa kata mereka, yang pasti aku sebenarnya tak seperti itu.
    Ino, jati diri yang sebenarnya adalah seorang wanita yang rapuh dari sisi manapun. Berulang kali aku yang memberitahukan batasan-batasan yang seharusnya ia pikirkan atau dilakukan. Ia selalu menekan dirinya sendiri saat menghadapi suatu masalah yang cukup berat, terutama soal mata pelajaran yang tidak ia sukai. Seperti sejarah dan biologi. Aku dapat membantunya meringankan pikirannya itu, tapi... aku juga gak terlalu pintar soal pelajaran. Namun ia sangat senang jika aku bantu meskipun hanya sedikit saja. Yang terpenting baginya, aku adalah orang yang tulus dan perhatian dengan-nya. Tapi aku juga tidak mau terlalu membantunya setiap saat, supaya ada jarak waktu antara prioritasnya sebagai pelajar dan kepentingan yang mendesak. Harus ada waktu dimana aku bisa membuatnya mandiri, karena aku lemah dalam hal mengendalikan perasaan sendiri. Aku tak mau diriku menjadi orang yang sombong, karena sombong adalah bukti dari kelemahan.
***
Seperti hari-hari biasanya, kakakku bilang kepadaku kalau mau pergi pacaran harus ijin dulu dengan orang tua pacarku. Aku sih setuju saja, cuman yang tidak aku suka adalah ketika kakakku menceritakan soal pacarku ke papah dan mama serta adik. Ga cuman malu, tapi menjengkelkan.
    Aku sudah berulangkali untuk menjaga hubunganku ini tidak bocor darinya, tapi karena dia cerdas (lebih tepatnya cerdik), maka semuanya jadi tahu tentang hubunganku tanpa sepengetahuanku. Dan tiba-tiba semua orang yang ada di rumah jadi tahu. Ah, itu sungguh memalukan bagiku, so ridicilous. Males deh jadinya untuk ngajak Ino datang ke rumahku, terlebih lagi terhadap kakakku.
    Suatu malam di taman dekat Mall Akuon, jam 7 malam waktu setempat. Aku dengan pacarku sedang duduk di bangku taman. Pada waktu itu angin berhembus cukup kencang, menyebabkan badanku kedinginan.
    “Kedinginan ya?” Celetuk Ino.
    “Dikit sih, tapi gak papa kok, aku masih kuat.”
    “Halah jangan sok kuat deh.”
    Lalu ia mendekatkan tubuhnya ke badanku, perutku dipeluknya dan kepalanya bersandar pada bahuku.
    “Tapi kayaknya kamu juga lagi mikirin sesuatu deh, lagi bete ya?” sambil bersandar ia bertanya dengan nada lembut.
    “Yep, abis aku gak suka kalo hubungan kita diketahui sama keluargaku, terutama papah mamah. Gara-gara kakakku itu lho menyebalkan, dan... kepo banget dah pokoknya, bikin sebel.”
    “Jadi ulahnya kakakmu ya?” dengan nada sedikit lemas karena ngantuk.
    “Ya, jelas, dan dia seperti anggota paparazi yang ditugaskan untuk menggali informasi tentang aku dan kamu.”
    “Wealah cuekin aja lah soal itu, lagian kan dia maksudnya peduli sama kamu. Kan kamu adiknya,” sambil terbangun ia menjawabnya.
    “Ah, iya sih, tapi aku gak suka aja kalo caranya begitu.”
    “Bisa jadi karena kakakmu itu lagi iri sama kita. Hahaha!” Tertawa terbahak. “Emang kakakmu masih jomblo, ya?”
    “Ga cuman jomblo, tapi jomblo yang akut.” Aku coba ngelawak.
    “Ehmm... apa tu?” matanya tipis, seperti pura-pura tak tahu.
    “Jomblo yang kebelet pacaran.”
    “Ooo... itu mah kebelet eek.” Dia ketawa ngeledek. Entah ngeledek kakakku atau aku, engga paham.
    “Tapi yang jelas kakakmu kasihan juga ya. Terakhir aku denger kabar dari temenku kalo dia diputusin dengan alasan yang gak masuk akal.” Lanjutnya, sepertinya ia sedang membuatku penasaran tingkat lanjut.
     “Emang dia diputusin gimana? Kok temenmu bisa tahu?” Aku bertanya dengan cukup penasaran. Aku ingin lebih tahu soal kakakku lewat temannya.
    “Iya, soalnya temenku itu temen pacarnya kakakmu, jadi dia tahu banget, cuman untuk pokok permasalahannya dia emang gak mau tahu. Yang jelas waktu si cowoknya itu mutusin kakakmu, dia cerita ke temenku apa alasannya. Tapi bagiku dan bagi temenku semua alasannya itu masuk akal.”
    “Masuk akalnya??”
    “Jadi si cowok itu— Emm... aku sebutin namanya aja deh. Namanya Leo, dia bilang kalo kakakmu itu orangnya terlalu baper dan terlalu sensitif. Jadi kalo pas lagi sensi, kakakmu bisa jadi “harimau” yang lepas kandang. Temen-temennya disalah-salahin, pacarnya ngelakuin hal apapun serba salah, entah mungkin karena lagi haid atau apalah, yang pasti sensinya kebangetan. Yang kedua waktu kakakmu baperan. Baper karena alasan yang gak jelas, masak tiap kali lewat atau masuk ke tempat yang pernah dikunjungi berdua selalu jadi baper? Dia selalu ngomongin tempat itu berulang-ulang dan yang lebih parahnya disebarkan ke teman-teman satu klub-nya. Sungguh privasi yang sudah menjadi rahasia publik. Padahal waktu 6 bulan awal mereka pacaran, kakakmu masih bertingkah normal. Tidak banyak baper, tidak gampang sensi dan gak lebay. Tapi setelah waktu 6 bulan, dia mulai berubah sedikit demi sedikit. Jadi kacau dan tambah kacau. Itulah alasannya mengapa si Leo memutuskan kakakmu. Hal yang paling krusial baginya adalah ketika semua privasi mereka berdua disebarkan ke teman-teman kakakmu yang berdampak juga kepada teman-teman dari Leo. Sungguh annoying banget dan itu sangat menggelisahkan Leo dan teman-teman sekitar mereka berdua.”
    “Hmm... jadi intinya kakakku menyebalkan, kan??”
    “Iya sih... tapi kan dia tetep seorang perempuan, Rio .... Jangan kamu anggap sebuah bencana bagimu. Dia tetaplah seorang perempuan yang patut untuk dihargai dan dicintai.”
    “Kali ini kebijakanmu keluar.” Sambil aku tertawa ngeledek, entah dia sadar atau enggak. “Tapi temenmu itu ceritanya detail banget? Katanya untuk pokok permasalahannya, temenmu gak mau tahu??”
    “Kan udah lama kejadiannya. Lagian si Leo sendiri yang curhat ke temenku sih, jadinya ya... banyak tahu deh ...,” sambil tersenyum sombong dan garuk-garuk kepala.
    “Oke oke deh, kita lanjut jalan yuk, lama-lama bisa jadi ‘es batu’ nih kalo disini terus.”
    “Yap, ‘tul ‘skali!” sambil angkat jempol tangan, ia menghembuskan nafasnya dekat wajahku. Aku jadi ‘beku’ sesaat gara-gara nafasnya.
***
Kami pun melanjutkan perjalanan ke sebuah cafe dekat rumahnya. Kafe tersebut katanya baru buka dua hari yang lalu, kami pun dengan penasaran pergi kesana.
    “Irasshai-mase!!!” teriak pelayan yang ada di situ yang seperti suara toa digandakan tiga kali lipat.
    Kami pun memilih tempat duduk berjauhan dengan pelayan tersebut, biar gak bikin copot jantung. Lalu kami membuka daftar menu yang ada di meja kami.
    “Eh kamu mau pesen apa nih? Kali ini aku yang bayarin.” Tegas Ino.
    “Yang bener??” Aku curiga.
    “Beneran lah, jangan sok curigaan deh.” Balas dengan senyuman imutnya.
    “Ya udah ya udah, aku pesen mi soba dengan toping rumput laut.”
    “Lha minumya??”
    “Kamu aja yang nentuin.”
    “Kok aku?? Kan aku yang bayarin, kamu yang milih lah.”
    “Oke oke oke, aku pesen es matcha float aja.”
    “Okeh. Aku pesenin sekarang.” Lalu dia memanggil pelayan dengan tangan terangkat.
    Setelah memesan semua makanan dan minuman, ia kembali bertanya tentang kakakku. Dengan wajah yang sangat pensaran, ia pun bertanya.
    “Ryo, boleh gak aku ketemu kakakmu?” Dengan wajahnya yang sedikit memelas dan tatapan yang manis dipandang. Aku pun hampir tak sanggup untuk membalas balik ucapannya.
    “Emang kenapa? Kangen sama kakakku?” Aku pun juga penasaran apa yang ingin ia lakukan.
    “Bukan cuman itu sih, aku jadi lebih pengen tahu soal kakakmu sekarang setelah kamu cerita tentang kakakmu. Soalnya beda banget apa yang pernah aku lihat dulu sama apa yang kamu ceritakan tadi.”
    “Ngomong aja kalo kangen berat, lagian kakakku itu cukup sibuk lho.”
    “Sibuk apa emang?”
    “Katanya sih sibuk ngawasi pegawai-pegawai dan pramusaji di restoran tempat dia kerja. Dia sekarang udah naik pangkat kok jadi manajer pengawas restoran.”
    “Ooo... keren ya dia, tipe orang pekerja keras.”
    “Engga juga sih, dia cerita kadang juga santai-santai waktu semuanya berjalan lancar. Sambil kipas-kipas di dapur dan minum jus. Ga tau tuh kok ada jus disana. Mungkin sisa semalem.” Aku ngebayangin kalo itu jus bekas konsumen yang salah order atau ga jadi order tapi terlanjur dibuatin.
    “Wahh... kayaknya seru dehh.... Jadi, aku boleh ya ketemu sama kakakmu?? Ya, ya, ya, yaaa...??” Dengan tatapan wajahnya yang penuh rasa penasaran mendekat ke arahku sambil tangannya di atas meja.
    Aku diam sejenak dan menatap matanya, serasa aku tak bisa berkata apa lagi selain kata. “Yaa... baiklah. Besok Minggu aku antar kamu untuk ketemuan sama kakakku.”
    “Haaa, asyik, serius deh...,” dengan matanya yang berseri, membuatku bersyukur melihat ekspresinya yang seperti itu.
    Setelah percakapan itu, makanan kami pun datang. Seperti di tempat lainnya, minuman selalu datang terlambat, padahal pikirku seharusnya minuman dulu yang datang. Dan seperti biasa pula, Ino selalu ke toilet sebelum menyantap makanannya. Gak lama sih tapi tetap saja seperti sugesti yang tidak perlu dituruti.
    “Sudah keluarnya??” tanya ku dengan nada bercanda.
    “Sudah dong, air keran kan??” balas bercanda.
    “Emmm... air anu... itu... tahu lah....”
    “Hiii... jorok ah,” tatapan mata sinis.
    “Idih, biasanya gimana ya kan??” aku bales sinis.
    “Nih cobain dulu!” tangannya memegang sumpit sambil memasukkan somai ke dalam mulutku dengan paksa.
    Sebenarnya bukan somai sih, tapi aku tidak tahu apa itu namanya. Teksturnya halus dengan bentuk bunga yang berwarna putih, ada spiral warna merah muda di tengah. Mungkin lobak kali ya.
***
Hari minggu pun datang, aku harap Ino tidak heran saat melihat tingkah kakakku dengan gaya bahasa yang lebay. Kami bertiga janjian bertemu di sebuah Mall dekat dengan sekolah kami. Aku dan Ino sepakat bertemu dalam perjalanan. Meskipun cukup dekat tapi terasa jauh jika berjalan kaki. Pada akhirnya kami berdua sampai duluan di dalam Mall, lalu kami beristirahat sejenak duduk di kursi di sebuah toko baju. Sambil melihat-lihat dan menunggu kakakku, tak lama kemudian dia datang dengan gayanya yang... emm... menurutku lebay.
    “Oiii... Ryouku-chan!!! Maaf telat.” Sambil melambaikan tangannya ke arahku.
    Dengan memakai pakaian sleveless nya dan rok selutut. Kalau dia ke Mall seringnya pakai pakaian itu sih. Pernah memang dia memakai kaos dan kemeja, tapi aku rasa kalau dihitung-hitung cuman dua kali dalam setahun. Entahlah itu hanya perhitunganku saja.
    “Biasa telat. Kalau bukan Kakak, siapa lagi??”
    “Ahh kau ini selalu ngomong gitu, uhhh...” sambil mengusap-usap rambutku. “Eee... siapa itu??” wajahnya sambil mengarah ke Ino.
    “Dia... Couple-ku,” aku agak malu.
    “Oh... jadi dia pacarmu?? Manis juga ya kamu,” dengan wajahnya yang sengaja riang.
    “Makasih kak,” jawab Ino dengan senyum manisnya.
    “Ya udah yuk kita cari tempat duduk di foodcourt,” sambil aku megalihkan perhatian kakakku.
    Kami bertiga duduk di salah satu foodcourt yang ada di Mall, tempatnya tidak terlalu luas tapi cukup nyaman buat kami bertiga ngobrol bersama.
    “Oya aku hampir lupa, namamu siapa??” memulai pembicaraan dengan penasaran sambil matanya terbuka lebar.
    “Aku Ino Fujiwara, panggil aja Ino.” Perkenalan diri yang sedikit gugup.
    “Ohh... kau, Ino yaa... sepertinya aku pernah tahu kamu, tapi dimana ya?? Ah sudah lupakan lah.” Sambil tertawa yang ga jelas.
    “Jadi ada apa ini, kenapa kalian ingin ketemu denganku? Adakah sesuatu yang seru??” Matanya yang terbuka lebar penuh dengan rasa penasaran.
    “Anu... sebenarnya aku sendiri yang ingin bertemu dengan kakak. Aku sangat penasaran dengan kakak.” Jawab Ino dengan agak malu.
    “Penasaran denganku?? Emang kenapa? Padahal kita baru pertama kali bertemu kan? Hahaha, kau itu lucu juga Ino-chan.”
    Dia sambil tertawa aku mencoba untuk memberi isyarat kepadanya. “Kak, perkenalkan namamu kak.” Aku tatap tajam dia supaya berhenti dari tertawanya.
    “Oya... namaku Merina Kimura, biasa dipanggil Mer atau Merina, jadi kamu panggil Mer aja gapapa.” Dengan wajah imutnya yang bagiku cukup memalukan.
    “Emm... baik, Merina-san.” Jawab Ino cepat.
    “Wola, wola... Mer-san juga gapapa kok.” Lagi lagi dengan wajah senyumnya yang lebay.
    Lalu Ino membalas dengan wajah sedikit tersipu malu, tapi mau. “Jadi, begini, aku penasaran dengan apa yang dikatakan oleh Ryouku tentang dirimu, katanya kakak itu orangnya menyebalkan.”
    Aku kaget dan merasa ga enak sama kakak, Ino blak-blak’an banget. “Eh!!! Apa yang kamu katakan Ino?!”
    Kak Merina hanya tersenyum dan menjawab. “Hehehe... Ryouku selalu begitu, saat aku sedang memberikan kasih sayang kepadanya. Memang dia selalu berkata seperti itu tapi aku sangat menyayanginya. Jadi tidak masalah bagiku.” Lanjut dengan senyuman seperti menenangkan hati dan pikiran.
    “Dia selalu mencoba untuk menghindar dari diriku, Ino. Dia itu orangnya malu-malu kucing. Apalagi saat aku peluk dia dari belakang, reaksinya kaget, dan itulah yang aku suka dari dirinya.” Merina tertawa lebar.
    Aku harap kakak baik-baik saja setelah “ditembak” langsung oleh pertanyaan Ino dan Ino juga tidak menanyakan hal-hal aneh tentang kakakku. Jadi aku sedikit lega.
    “Ooo, begitu... jadi, Merina-san, menurutmu Ryouku itu orangnya seperti apa?”
    Dan tiba-tiba Ino menanyakan tentang diriku. Jadi intinya Ino mau lebih tahu tentang aku ya? Hmmm... kau itu memang suka bermain alur sendiri.
    “Ow, ternyata ada orang yang terbuka ya disini. Apa kau tidak keberatan, Ryouku-chan?”
    Gak usah pakai ‘–chan’ kali, lagipula aku malah jadi berpikir kalau dia pasti membuka aib-aibku dan kegiatanku selama aku di rumah, tapi biarkan itu terjadi saja lah... aku pasrah saja.
    Aku sedikit menghela nafas. “T—Tidak apa-apa Onee-chan. Hehehe,” pura-pura gugup.
    Ino benar-benar memperhatikannya dengan seksama. Masih dengan wajahnya yang penasaran akan banyak hal. Tidak hanya aku yang ingin diketahuinya, tetapi seperti kondisi jiwa dan tubuhku juga. Apa yang dia—Lebih tepatnya, apa yang dia rencanakan? Jika semua jawaban dari kakakku telah di”telannya”, apakah hal tersebut membuatnya merasa puas? Ya sudah lah aku hanya bisa mengamati mereka saja.
    “Kau benar-benar ingin lebih tahu tentang pacarmu ini ya? Baiklah, bersiap-siaplah Ryouku-chan, Ino-chan.” Lalu dia menyilangkan kakinya dan tangannya.
***
    “Jadi yang dikatakan oleh kakakmu apa semuanya benar??” tanya Ino seperti mencari kebenaran.
    “Sudah pasti tidak semuanya. Ada beberapa cerita yang dia karang sendiri menurut waktu dan tempat yang berbeda.”
    “Maksudnya??”
    “Kakakku memang orang yang cerdas mengarang soal waktu dan tempat, meskipun nampaknya semua cerita yang kamu dengar itu nyata, akan tetapi ada beberapa kejadian yang tidak sesuai dengan keadaan waktu itu. Begitu juga dengan tempatnya. Seperti saat dia menceritakan waktu aku hendak memasak mie instant, aku terkena air panas yang ada di dalam panci, lalu aku panik dan berteriak kencang. Reaksiku dikatakan lebay dan kakakku langsung meniup tanganku yang terkena air itu dan dia mulai mengambil alih memasak, padahal yang sebenarnya aku hanya kaget tanpa berteriak dan aku sendiri yang meniup tanganku, baru kakakku datang dari luar dan merawatku. Lalu soal aku membuka situs internet porno. Kakakku kebetulan masuk dan melihatnya, kemudian karena aku kepergok, wajahku langsung pucat dan mematikan layar monitor. Memang betul kakakku masuk kamarku dan melihat layar monitor, tapi yang aku buka bukan situs porno, itu iklan clickbait, istilahnya seperti itu sih. Wajahku juga gak pucat, tapi kaget aja ngeliat tiba-tiba dia nongol di samping monitor.”
    “Ooo... jadi ada beberapa cerita yang tidak sesuai dengan fakta ya? Sebenarnya kalo kamu membuka situs porno pun juga tak masalah buatku. Yang penting kamu jangan macem-macem aja sama aku.”
    “Ngomong apaan kamu?? Mikirmu terlalu dewasa sih.” Reaksiku terlalu berlebihan, sampai kaget saat dia menjelaskan dirinya seperti itu.
    “Yah, itukan kebiasaan yang dilakukan cowok, bukan? Temen-temenku cowok juga seperti itu kok, tapi mereka enggak berani macem-macem sama cewek sih, terutama sama aku.” Dengan mantab dan sombong ia berkata ke arahku. “Tapi memang kakakmu itu baik kok, berhati lembut dan tulus sama kamu, jadi kamu gak perlu lagi berpikiran negatif tentang kakakmu. Dia hanya ingin kamu terus ada untuknya dan dia terus ada untuk melindungimu. Meskipun caranya memang kadang menjengkelkan.” Lanjutnya sambil tersenyum manis ke wajahku.
    “Iya, apa yang kamu katakan itu ada benarnya juga. Aku tak perlu lagi berpikiran negatif tentang dia. Rasa sayang yang disampaikan dengan cara yang kurang halus, tetapi itulah dirinya yang apa adanya. Dia benar-benar kakakku.” Sambil aku melihat bintang di atas langit, memejamkan mata, menghela nafas. “Aku hanya perlu untuk mensyukurinya.”
    “Dan kamu harus berterima kasih dengannya juga.” Tumpuknya.
    “Berterima kasih, ya?” kubuka mataku menatapnya.
    “Heem”
    “Apa cukup untuk sekedar mengucapkan kata ‘terima kasih’?”
    “Jika itu kamu katakan dari hatimu yang paling dalam, kakakmu pasti bisa merasakannya juga. Katakan saja, itu sudah lebih dari cukup kok.”
    Aku hanya bisa bersyukur atas apa yang telah terjadi beberapa menit yang lalu, beberapa jam yang lalu, bahkan beberapa hari yang lalu. Jika semua hari-hari yang kulewati berjalan dengan rasa syukur, maka aku hanya bisa bernafas degan lega dan terbang layaknya rajawali yang terbang tinggi. Tidak ada masalah yang terlalu dikhawatirkan, tidak ada masalah yang terlalu membebani hatiku, semua dari pikiran dan hati. Kemana kaki melangkah disitu juga hati terbawa, dimana mata memandang disitu juga pikiran terbuka lebar.
           Ini semua hanyalah soal persepsi masing-masing manusia yang memiliki keunikannya sendiri. Memiliki jalan dan caranya sendiri. Bagaimana ia harus melangkah dan memutuskan suatu keputusan. Menghadapi tembok yang besar mapupun kecil, semuanya tergantung dari keputusan masing-masing manusia. Yang terlebih penting lagi adalah bagaimana sikap manusia mau menerima suatu kondisi atau keadaan yang mungkin tidak ia harapkan sebelumnya, namun dengan cara itulah manusia dapat belajar tentang penerimaan yang iklhas dan menimbulkan rasa syukur yang dalam.
0 notes
jeremykazuma · 8 years ago
Photo
Tumblr media
0 notes