just-iam
just-iam
64 posts
Kotak ceritaku
Don't wanna be here? Send us removal request.
just-iam · 4 years ago
Text
Aku seperti ini bukannya aku tak berusaha
Kalau kalian berfikir aku terlalu memanjakan perasaanku hingga aku terseret terlalu jauh pada harapan kosong ini, kalian salah
Sekuat hati aku mencoba pergi
Tapi selalu pada akhirnya kita dihadapkan pada keadaan yang tak mungkin dihindari
Aku pengen, yaudah kalau memang Tuhan tak mengijinkan kita bersama, jauhkan kami
2 notes · View notes
just-iam · 4 years ago
Text
Kesalahan terbesarmu adalah menginginkan seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya, jika kamu berpikir itu akan mudah, tidak, kamu salah.
0 notes
just-iam · 4 years ago
Text
Kalau ingin menjauh, menjauh saja. Tak ada yang memaksamu untuk pura2.
0 notes
just-iam · 5 years ago
Text
“Akan ada hari di mana aku tidak mencintaimu lagi. Tidak takut bertemu senyum yang seperti itu lagi. Tidak masalah jika namamu hilir mudik di telingaku lagi.Akan ada hari di mana aku tersadar, bahwa mencintaimu adalah kesalahan yang cukup kulakukan sekali saja.”
— (via mbeeer)
2K notes · View notes
just-iam · 5 years ago
Text
Aku bukan mengaturmu, aku peduli!
0 notes
just-iam · 5 years ago
Text
Tumblr media
0 notes
just-iam · 5 years ago
Text
Melihat Kehilangan
Bagaimana jika matamu melarikan segala tawa, atau sesekali: mengantarkan duka?
Ini tidak lebih dari perjalanan cahaya yang pada akhirnya dapat dipersepsikan oleh otakku. Maksudku, apakah aku mengendalikan otakku ataukah otakku yang mengendalikan aku ataukah aku dan otakku berkolaborasi untuk mengendalikan hal-hal di sekitarku ataukah: aku dan otakku sebenarnya dikendalikan oleh sesuatu?
Pada tiap pantulan cahaya yang aku benci akhirnya: tolong jangan terlalu sering datang. Aku benci melihat kehilangan.
Dan berada di antara dinding-dinding yang lebih sering mendengar rapalan ayat-ayat penuh harap daripada dinding rumah ibadah: aku takut tak mampu.
Tentang anak yang memohon perpanjangan usia untuk orang tuanya. Tentang orang tua yang merayu Tuhan untuk jangan dulu mengambil anaknya. Tentang istri yang tak pernah lagi peduli pada kerut ataukah kantung matanya yang semakin bertambah, demi menghabiskan siang dan malam untuk menjaga suami tercintanya yang bergantung pada alat bantuan napas.
Sungguh aku benci melihat kehilangan. Mendengar pecahan-pecahan tangis. Isak yang berhamburan.
Seberapa pun seringnya aku melihat kehilangan, sungguh menghadapinya tak akan pernah mudah. Tapi katamu, tak harus kupandang dari sudut yang ditinggalkan. Kadang aku pun harus melihat dari sudut yang pergi.
Dan memaksa untuk paham, kelak akan ada giliranku pula untuk pergi menyusul.
Rfabs 1996-2020 Masehi
73 notes · View notes
just-iam · 5 years ago
Text
MENIKAH ITU BUKAN KOMPETISI
Ketika memasuki usia dimana most of friends are getting married, ada rasa ingin menikah? Ga munafik pasti ada. Namun bukan kewajiban kita untuk ikut menikah di saat melihat yang lain menikah. Menikah bukan sebuah ajang perlombaan siapa yang lekas dia yang menang.
Ada celetukan teman yang gue ingat, “Lu ga pengen nikah?”
Semua orang berkeinginan untuk menikah. Tapi perlu diingat kembali, apakah semua akan selesai begitu saja setelah menikah? Engga. Hidup setelah menikah ini ga selamanya indah seperti mawar setaman. Semua baru awalnya saja. Akan ada yang namanya ups and downs yang harus ada persiapan sematang mungkin sebelumnya. Menikahlah karena sudah siap. Ditanya siap, ga ada yang siap dan memang harus dipersiapkan. Karena kehidupan setelah menikah ga bisa dijalani dengan prinsip  jalani dulu saja nanti pasti ada jalannya.
Pernah juga ada sepupu bertanya, “Bang, kok di umur segini lu belum nikah-nikah sih?”
Gue jawab, “Nanti saat lu belum menikah seumur gue, lu bakal tau kenapa.”
Kesal? Engga. Gue memaklumi karena yang bertanya adalah orang pada fase dimana semangat dan percaya diri berbunga-bunga. Gue pernah berada di fase itu. Lalu, gue ngelewatinya begitu aja. Gue menyesal? Engga juga. Gue malah banyak bersyukur kepada Tuhan. Semakin banyak waktu gue bersiap diri.
Pertama; buat gue menikah itu untuk sekali seumur hidup walaupun ada celetukan  "lu nikah juga belum tentu jodoh mungkin cuma persinggahan."
Bebas aja kalo ada pendapat begitu. Realitanya memang banyak yang beranggapan begitu. Tapi ga buat gue. Sebut saja ini adalah prinsip tradisional yang masih gue pegang. Oleh karena itu gue butuh persiapan yaitu  gue harus mapan serta matang secara psikologis. Karena jika jiwa gue sehat maka cara pandang gue meluas dan keyakinan gue ikut mendalam lalu diri pun ikut berkembang. Dari artikel yang gue baca, salah satu permasalahan pertama dalam rumah tangga itu finansial. Namun, pokok utama mengapa uang bermasalah adalah secara psikologis manusia takut, khawatir semua akan berantakan tanpa uang. Berdampak stress karena ketakutan yang digadang-gadang sendiri. No! Kesehatan mental itu berharga lho.
Kita harus mempersiapkan jiwa sesehat mungkin agar diri kita bisa sebaik mungkin. Memang terdengar egois. Tapi kita harus menyelamatkan diri kita sendiri. Pribadi, gue memikirkan diri sendiri saja masih seperti warna abu-abu tanpa kepastian. Bagaimana gue mau memikirkan istri kelak?
Karena tidak ada yang tau bagaimana istri/suami kita setelah menikah kelak. Membebaskankah? Mengekangkah? Disaat poin kedua terjadi setidaknya lu sudah terselamatkan di masa muda.
Dulu ketika fase semangat dan percaya diri berbunga-bunga gue berpikir , wisuda kerja lalu menikah. Namun di saat gue bekerja ternyata ada yang gue lupa , gue belum “selamat” di masa muda gue sepenuhnya. Karena banyak teman gue yang dulunya partikel bebas, setelah menikah mereka terpenjara terkukung. Berujung mereka memandang rumput tetangga lebih hijau.
“Enak ya lu ki bisa sana sini haha hihi. Gue pengen kayak dulu lagi. Ini mah tiap hari mikirin gimana istri gimana anak.”
Gue ga ingin seperti itu. Setiap pilihan memiliki konsekuensinya. Termasuk menikah. Dan hal di atas bukanlah hal yang seharusnya disebutkan. Jujur kiblat gue adalah bokap gue. Bokap bukan orang yang menikah di usia terbilang muda. Beliau pernah berkata “Puas dulu kamu masa muda, bang. Biar kamu tua ga ingin apa-apa lagi selain keluargamu.”
Kedua; bagi gue menikah itu bukan hanya perkara menyatukan dua kepala. Menikah itu menyatukan banyak kepala yang mana sama hitam tapi hati siapa yang tahu.
Kepala-kepala inilah yang sedikit merepotkan. Gue pribadi lebih memikirkan bagaimana hidup setelah menikah daripada huru hara di saat menikah. Ya setelah menikah kita harus tetap hidup; nigga.
Namun, hidup bermasyarakat yang menjunjung tinggi nilai budaya dan adat istiadat ga semudah itu. Biar kalau mati nanti ada yang nguburin, gue harus memaniskan mulut mereka. Luar biasa sekali semua itu kembali lagi  berhamba kepada Keuangan Yang Maha Esa.
“Lu ga ditanyain mulu tah sama emak bapak lu kapan nikah?”
Ga ada orang tua yang ga sedih melihat anaknya belum menikah. Dan ga ada anak yang ga ingin menikah agar orang tuanya ga sedih. Termasuk gue. Orang tua bertanya? Jelas. Orang tua memaksa? Jelas. Tapi itu beberapa tahun lalu. Sudah lewat fasenya. Sekarang fase dimana orang tua berkata  bagaimanapun ke depannya yang penting kamu bahagia. Kembali lagi, kesehatan mental itu berharga lho.
Ada juga yang ngomong "kenapa juga sekolah lagi nanti ga ada cewek yang mau deketin. Bisa jadi perjaka tua."
Terimakasih netijen sadayana. Bukan cuma perempuan, kita sebagai lelaki juga berhak memilih dan memutuskan mau seperti apa kita. Memutuskan untuk lanjut sekolah pun sudah gue pertimbangkan baik-baik. Gue sampai berkonsultasi dengan sahabat gue yang sudah menikah ,  jujur gue juga memikirkannya. Haruskah gue menikah lalu sekolah atau sekolah lalu menikah?
“Sekolah dulu aja ki kalo ada kesempatannya. Lu kata enak sekolah setelah menikah? Belum kelar adaptasi dengan suami eh ini gue mau punya anak, adaptasi dengan anak. SPP nambah lagi padahal lumayan buat DP KPR rumah.”
Dan apa yang sudah gue putuskan untuk gue dahulukan harus gue pertanggungjawabkan segala konsekuesinya. Menyesali? Menyalahkan? Mencari pembenaran? Engga. Gue tahu kapasitas diri gue dan gue tahu apa yang harus gue lakukan bukan melarikan diri dari semua itu.
Secara pribadi, pria atau wanita yang merasa minder terhadap pendidikan pasangannya adalah orang yang tidak memiliki rasa percaya diri dan konsep diri yang baik. Percaya diri saja ga punya maka bagaimana ia bisa dipercaya akan memperjuangkan dan bertanggungjawab atas keluarga?
Yang terakhir; masalah jodoh. Disini gue ga akan membicarakan tentang kriteria. Itu bukan hal penting yang harus disebutkan. Pada dasarnya jodoh gue untuk saat ini memang belum nampak hilalnya. Seberapa kuat gue berusaha kalo kata Tuhan belum ya mau gimana. Gue ga akan memaksa Tuhan. Semua begini karena Tuhan masih sayang dan belum rela lepasin gue makanya masih di-posesif-in. Memang. Tuhan itu selalu luar biasa. Gue saja yang suka gatau diri.
Ketika orang-orang berkata,  menikah harus jelas sejalan visi misi ke depannya untuk bisa bertahan. Permasalahannya; tidak semua orang bisa bertahan dengan gue yang introvert sembilan puluh persen, virgo, golongan darah B(-) ini. Tahu maksudnya? Gue born to witty by nature sekampret-kampretnya umat. Maka sebelum memutuskan mencintaiku, tanyakan sekali lagi siapkah kau menghadapi aku?
221 notes · View notes
just-iam · 5 years ago
Text
Memang benar sepertinya cintamu selalu berawal dari perut.
0 notes
just-iam · 5 years ago
Text
Ada kalanya kita tak perlu tahu tentang apapun.
Walaupun harus dipaksa agar tak tahu.
Ya.. itu lebih baik untuk kesehatan hatimu.
Paksakan.. iya harus dipaksa.
Kau memang tak perlu tahu lagi apapun tentang dia.
0 notes
just-iam · 5 years ago
Text
Tumblr media
“Mungkin kita memang ditakdirkan hanya sebatas itu. Sebatas pernah bersama. Kisah singkat yang tak kerap lengkap. Kisah sementara yang tak berpengaruh apa-apa.”
— (via mbeeer)
2K notes · View notes
just-iam · 5 years ago
Text
Tumblr media
Aku masih menunggu..
Siapa tahu tiba2 kau datang..
Sambil tersenyum seperti biasanya..
0 notes
just-iam · 5 years ago
Text
Gak papa kok kalo kita saling memebenci. Biar imbang
0 notes
just-iam · 5 years ago
Text
“Ada kalanya aku juga lelah. Bukan ingin menyerah, hanya terkadang bingung, kenapa rasa-rasanya hanya aku yang berjuang sendiri?”
— (via mbeeer)
1K notes · View notes
just-iam · 5 years ago
Text
.
“Aku tidak pernah berhenti mencintaimu. Tidak. Aku hanya mencoba menjadi lebih dewasa untuk mengerti bahwa kau tidak merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan. Cintaku masih tetap, sebesar itu. Kusimpan sebagai sebuah hadiah jika kelak kau kembali dengan perasaan yang sama sepertiku.”
— (via mbeeer)
1K notes · View notes
just-iam · 5 years ago
Text
Terimakasih atas beberapa perjalanan singkat yang pernah kita lewati bersama.
Begitu berkesan buatku, entah buatmu..
Hal kecilpun kalau bisa kuabadikan pasti akan kulakukan, walau hanya sebatas memory..
Kamu inget gak kita pernah lihat bintang jatuh di atas langit Bromo waktu itu, diam2 ada doa yang terselip diantara dinginnya malam itu.
Atau.. waktu kita buru2 ngejar bis dan helmku jatuh di tengah jalan, buatku hal2 gak penting itu berkesan banget.
Banyak hal2 kecil yang membuatku terkesan. Entah denganmu
Terima kasih atas perjalanan beberapa jam. Di matamu yang ngantuk saya temukan kesenangan, di matamu yang binar saya temukan impian, lewat matamu saya ingin sekali menembus kepalamu, merasakan duduk dan bersandar kemudian lalu lalang barangkali ada yang bisa saya tempati sebagai memori, yang tentu ingin terus kamu ulang.
35 notes · View notes
just-iam · 5 years ago
Text
Aku takut gila
Kalian tahu rasanya sepi?? Kesepian??
Rasanya bener2 menakutkan, aku ketakutan.
Rasanya saat itu, uangku pun tak mampu menghilangkan kesepianku. Bahkan kalaupun saat ini aku pergi ke mall dengan membawa uang lalu belanja apa yang aku inginkan, rasanya semua itu tak ada artinya. Tak berarti. Aku tak menginginkan apapun sekarang selain sapamu.
Ditambah dengan perasaan kecewa, terluka, harapan yang hampa, berbagai macam curiga, rasa yang tak terbalaskan, beribu pertanyaan tentang perasaan, rindu yang tak bisa diucap, semua berkumpul dan seakan menertawaiku.
Sekali lagi, otakku selalu kembali lagi ke kamu. Apapun yang aku lakukan selalu berujung di kamu. Ya Tuhan, kenapa aku ini. Usia 30 tahun tak membuatku sadar. Aku masih tetap berhalusinasi. Maksudku, heeii bangun, yang kau perjuangkan tak sekalipun memperdulikanmu.
Lalu bagaimana dengan teman-temanku? Apakah aku tak punya teman? Entahlah. Semakin kesini ak semakin merasa sendiri. Tak ada temanku yang benar-benar menganggapku teman. Mereka meninggalkanku. Bukan, bukan meninggalkan dalam artian sebenarnya. Ada hal yang lebih penting dari aku, yaitu keluarga. Prioritas mereka sudah bukan lagi teman tapi anak, pasangan dan keluarganya. Dan harusnya aku tak mempermasalahkan itu. Tapi pada kenyataanya, sekarang aku diabaikan.
Sepanjang waktu aku hanya bergulat dengan pemikiran-pemikiranku sendiri, seandainya, kalau saja. Aku tak pernah benar-benar berkompromi dengan itu. Pikiran-pikiran masa lalu pun kemudian datang lagi, penyesalan contohnya. Mungkin jika dulu aku tak melewatkan sesuatu tak akan begini critanya. Mungkin prioritasku sudah selevel lebih tinggi.
Sampai pada akhirnya aku merasa aku tidak bahagia.
0 notes