Text
Kekhawatiran dan Buruknya Keberanian
Dulu—setidaknya beberapa bulan yang lalu, saya selalu menganggap bahwa keberanian adalah bentuk paripurna dari ketakutan. Tapi, sekarang saya merasa berani.
Dan itu, membuat saya sangat takut.
Sejak kuliah, saya selalu memilih untuk menakuti diri saya sendiri. Bersiap-siap, seolah-olah ada sesuatu yang sangat buruk akan datang. Tapi, betapa lancangnya saya, kini justru merasa berani. Sama sekali tidak takut.
Dan itu, membuat saya sangat takut.
Setiap orang punya pilihan sendiri untuk memacu dirinya masing-masing. Untuk saya, bahan bakar itu bernama takut. Ketakutan selalu saya pelihara sebagai lilin kecil dengan api yang bersahabat di dalam kegelapan.
Dan hal itu yang membuat saya berani.
Hal yang terbalik ini membuat saya cemas akan pencapaian saya ke depan. Sementara orang lain membuat progresnya masing-masing, saya malah duduk terdiam setiap siang dan malam memikirkan hal yang sama. Sesuatu yang membuat saya takut dan berani secara bersamaan.
Untuk pertama kalinya saya berani melangkah tapi entah kemana. Berani mengambil langkah salah bisa menjadi salah satu hal yang saya lakukan.
Dan itu membuat saya takut. Takut yang salah.
Semoga tidak berlarut,
Karawang, 28 Maret 2022
2 notes
·
View notes
Text
Semua Butuh Proses, Proses Butuh Semua
Pada akhir tahun 2021, saya menyadari banyak hal. Tentang apapun. Tapi saya bisa satu tarik kesimpulan: 2021 lebih, sangat lebih baik dari 2020.
Progres yang saya rasakan begitu banyak. Dari pemasukan karena sekarang saya punya pekerjaan yang menghasilkan uang (bukan cuma satu, tapi tiga!), relasi yang meluas, tanggung jawab yang selesai dan baru saja mulai, serta kebanggaan diri saya lainnya yang dapat membuat saya merasa overproud.
Tapi saya lupa satu.
Tujuan utama saya mengumpulkan uang adalah untuk membayar UKT. Ya, tujuan itu memang akhirnya tercapai, meskipun saya tidak tahu apakah bisa dibayar atau tidak. Mengingat banyaknya tagihan saya di kampus, rasanya saya agak pesimis. Tapi setidaknya, saya sudah berusaha sebaik mungkin untuk membayar.
Oke. Apa tujuan dari bayar UKT? Menyelesaikan studi. Caranya seperti apa? Skripsi. Ya, skripsi!
Hingga bulan Desember dan pada akhirnya dosen saya yang bertanya kepada saya, seperti apa progres skripsi saya, saya belum menyentuhnya. Bahkan untuk dua bulan! Ini adalah waktu yang sia-sia.
Tapi jika saya mengingat bahwa saya bekerja, 16 jam sehari dengan tiga pekerjaan (bahkan sempat empat), saya merasa baik-baik saja. Saya tetap merasa tenang bahkan senang. Tentu saja ini tidak baik, tapi seharusnya memang saya merasa gelisah.
Iya, saya gelisah. Tapi bukan gelisah seperti seharusnya orang-orang gelisah. Saya masih terlalu santai. Jadilah, skripsi mandek.
Semua Butuh Proses
Tentu, hidup dengan 16 jam bekerja dan 4 jam waktu tidur adalah hal yang melelahkan. Meskipun saya merasa senang (dalam konteks uang, pastinya), saya tetap merasa gagal.
Skripsi adalah sebagian kecil kegagalan 2021 yang tidak boleh saya ulangi. Namun kegagalan saya di 2021 adalah ketidakpastian mimpi saya. Saya berjalan tanpa arah di 2021. Tidak ada arah. Tidak punya mimpi. Saya seperti PNS yang bermain Feeding Frenzy.
Satu contoh kecil lainnya adalah gagalnya saya membendung perasaan terpengaruh oleh teman-teman kantor. Saya tahu, mereka ingin resign karena berbagai hal. Karena sehari-hari saya bersama mereka, saya terlena. Saya terbawa arus dan ingin resign juga.
Padahal, saya punya target dan keinginan. Mungkin, saya tidak akan resign sebelum bulan puasa dan lebaran. Setelah itu, barulah boleh saya mencari pekerjaan lain yang lebih baik. Tapi alangkah bodohnya saya mengikuti mereka seakan-akan saya tidak punya pendirian. Itu poin yang paling saya benci, dan kau pasti mengetahuinya!
Saya tidak mengatakan saya harus berbeda, bukan. Tapi saya benci mengikuti orang, saya benci saya merasa jika saya tidak punya pendirian.
Akhirnya saya punya tekad: Hingga saya resign, saya ingin memberikan 100% untuk perusahaan. Saya tidak peduli apa kata orang, saya punya pendirian yang teguh. Saya ingin berproses untuk mencapai banyak tujuan selanjutnya di hidup saya.
Jakarta, misalnya.
Proses Butuh Semua
Sialnya, namanya juga mimpi, sulit digapai. Jalannya terjal dan berliku. Saya butuh semua hal yang saya butuhkan dan inginkan untuk menjadi modalnya.
Saya ingin ke Jakarta, punya gaji lebih baik. Dekat dengan keluarga dan partner saya. Impian saya ingin berangkat kerja naik kereta. Hanya itu saja sebenarnya impian saya, sederhana.
Tapi tiba-tiba saya merasa kecil, bodoh, dan tidak tahu apa-apa. Padahal saya tahu, saya pasti bisa. Saya pasti mampu!
Saya ingin lulus. Tapi bayangan hutang itu selalu mengikuti, menggelayut kemanapun kaki saya melangkah. Sial memang, bajingan! Kenapa hidup saya tidak pernah berjalan di atas aspal yang mulus?!
Ah, tapi sudahlah. Saya pasrah dengan kehendak Tuhan. Biar saya berusaha dan berdoa. Allah tidak tidur, begitu bukan Yaa Rabb?
Kotagede, 19 Januari 2022
0 notes
Text
Permulaan
Saya berjalan lagi, meniti jalan yang belum pernah saya lewati sebelumnya. Belum kenal medan, apalagi kawan dan lawan. Menyingkirkan rasa takut, berani, dan sakit kepala disaat yang bersamaan. Mungkin saja, kaki saya sakit terkena kerikil, tapi itu bukan masalah besar.
Sudah jauh saya melangkah, lalu menengok ke belakang. Ada berbagai pengalaman yang sudah saya tempuh. Ada kenangan pahit yang sudah saya teguk. Ada cerita manis yang menjadi bekal untuk saya bagikan kepada semak belukar dan pohon jati yang dingin di sepanjang jalan.
Di persimpangan, saya melihat kabut dingin menyambut. Hujan ringan turun dengan hangat sebagaimana pohon sakura gugur di musim semi. Dengan senyum saya melangkah, mengencangkan ikat pinggang dan memanggul tas yang berisi kata-kata motivasi dan nasihat orang terdahulu.
Pohon jati bilang, memang sudah saatnya saya naik ke atas. Meskipun terjal jalannya, ia yakin saya bisa melewatinya. Saya ragu dan penuh tanya, seperti apa jalan yang ia maksud. Tapi, saya menghormatinya. Saya siapkan peralatan sebaik mungkin.
Di sela perjalanan, saya duduk beristirahat ditemani semak belukar. Ia adalah saksi dan teman untuk ribuan orang lainnya yang beristirahat seperti saya. Lalu ia mengajak saya berbincang,
"Kau percaya dengan Pohon Jati?"
"Kenapa pula kau bertanya?"
"Dia berbohong kepadamu, dan hanya mencoba memberimu semangat."
"Itu pula tugasmu bukan, semak-semak? Menyemangati musafir ulung dan tidak beruntung seperti saya?"
"Tidak, sama sekali tidak. Kamu bukan orang lain. Kamu tidak memerlukan nasihat dan petunjuk Pohon Jati, pun dariku."
"Kenapa begitu?"
"Tasmu terisi penuh, otakmu terbiasa berpikir dengan baik, kakimu kuat melangkah. Tapi pandanganmu kosong, jenuh, dan kotor. Itu sebabnya kau beristirahat di sini, di jalan yang salah."
"Apa maksudnya jalan yang salah?"
"Pohon Jati salah. Kau tidak seharusnya berada di jalan ini. Kembalilah dan ambil jalan lain. Dan satu lagi: Bersihkan pandanganmu dan nikmatilah hujan ini."
Saya kembali berjalan menuju persimpangan dimana Pohon Jati berada. Ia dikelilingi sekelompok orang yang tertidur di bawah keteduhannya. Tanah terlihat lebih kering membuat saya lebih cepat melangkah dan memasang muka marah di depannya.
"Hai," kata Pohon Jati. "Lihatlah sekolompok orang ini: Mereka sangat mudah beristirahat. Minim rupanya pengalaman mereka mengembara sebagai musafir. Tidak seperti dirimu."
"Kau berbohong lagi, Pohon Jati!"
"Si Semak memang begitu, pandai memprovokasi. Aku tidak berniat buruk kepadamu," katanya. "Tidurlah dulu, beristirahatlah. Beri para musafir medioker ini arah besok pagi."
Sungguh, saya penat. Saya memutuskan untuk beristirahat bersama Pohon Jati. Di antara bintang yang terlihat jelas dan terang, akan aku sambut besok pagi dengan berbagai harapan. Semoga kali ini saya tidak salah jalan.
Kotagede, 16 November 2021
0 notes
Text
2021, dua ribu dua puluh satu? Serius?
Di malam tahun baru kemarin, saya tidak merasakan hal-hal spesial. Tidak beruforia—atau mengeluarkan kata-kata positive toxicity—dengan cara apapun, selain membeli roti bakar coklat sambil memperjuangkan Portsmouth agar segera naik ke Championship di gim Football Manager 2020. Hujan deras yang mengguyur Jogja seharian menambah syahdu suasana saya di kamar kos.
Bukan tidak mau keluar, toh, saya juga tidak ingin kemana-mana malam itu. Roti bakar yang saya beli hanyalah pelipur lara saya yang gagal di 2020.
Dengan gagalnya saya memanfaatkan 2020, itu artinya tahun kedua saya menilai diri gagal dalam menjalani kehidupan dalam setahun. Pertama, saya sudah gagal di 2018. Kedua, di tahun 2020. Sebenarnya, 2018 tidak terlalu buruk. Saya jadi ketua panitia, ikut lomba—dan juara tentunya, cuti kuliah lalu bekerja sebagai content writer.
Lalu kenapa gagal? Karena seharusnya saya tidak menunda kuliah, yang tanggungannya ada di tahun ini.
Tahun ini mayoritas penyesalan saya adalah tidak melaksanakan apa yang sudah saya rencanakan sejak 2019: Lulus kuliah setelah Praktik Kependidikan. Saya juga agak menyesal, kenapa saya tidak mengulang beberapa mata kuliah untuk memperbaiki IPK saya yang anjlok dan jelek itu.
Di tahun 2020, awalnya semua begitu matang. Saya ikut KKN Genap sambil microteaching, sungguh asyik saat itu. Lalu tiba-tiba pandemi menyerang dan membuat semua impian saya harus diatur ulang sebaik mungkin. Saya sebisa mungkin meniadakan faktor pandemi sebagai penyebab kegagalan, tapi, tidak dipungkiri jika pandemi tidak terjadi, maka rencana saya bisa saja mulus.
Saya juga kehilangan semangat yang selama ini saya jaga setengah mati. Semangat saya menguap entah kemana, menjadi manusia pragmatis lalu digilas roda-roda kehidupan yang dinamis bergerak. Padahal, hanya semangat yang membara saya bisa melewati 2018 dengan ‘berhasil’, walau akhirnya memang saya akui saya gagal. Seperti kata Rhoma Irama, kalau sudah tiada baru terasa, semangat itu memang mahal, mahal sekali harganya.
Keadaan itu diperparah saya terpaksa pulang ke kampung halaman dan tidak bertemu teman-teman di Jogja, hampir selama delapan bulan. Saya kehilangan teman berbincang, teman untuk beradu argumen, dan seterusnya: Karena mereka pun pulang kampung. Selama masa PSBB, saya cuma diam di rumah, membantu ibu, menjaga adik-adik, dan Praktik Kependidikan selama Juli-Oktober.
Delapan bulan di rumah juga merubah kebiasaan saya. Kebiasaan baru saya selama di rumah adalah makan dan jajan. Karena itu pula, berat badan saya naik lebih dari sepuluh kilo selama di rumah. Badan saya menjadi gemuk, perut menjadi buncit dan berglambir, serta perilaku konsumtif semakin menjadi. Akumulasi dari itu semua, saya sempat terkena hernia, alias turun bero. Sebulan lamanya saya menahan sakit, akhirnya diurut selama tiga jam untuk menyembuhkan penyakit itu.
Tahun yang penuh kegagalan itu diperparah dengan ketidakbijaksanaan saya dalam mengambil keputusan yang banyak berpengaruh terhadap masa depan yang akan saya jalani. Sialnya, beberapa keputusan menguntungkan, tapi lebih banyak yang merugikan saya—atau orang lain. Saya kerap membenci diri saya sendiri setelah mengambil banyak keputusan, entah itu tentang keluarga, atau tentang studi. Saya berubah menjadi pribadi yang gampang marah, banyak merenung, berkata kasar, dan menyalahkan orang lain.
Ketika tahun resmi berubah menjadi 2021, saya menyadari bahwa saya sudah hidup dengan waktu yang lama. Saya terpaku menatap layar yang menunjukkan angka 2021. Dunia sudah terlalu tua, ternyata. Teman-teman yang tadinya membersamai saya, kini satu per satu mulai meniti kehidupannya sendiri-sendiri. Komunikasi menjadi begitu kaku dan penuh perhitungan, tidak sedinamis dulu, ketika mengobrol di burjo sambil mencaci dosen dan tugasnya.
Saya benci mereka meninggalkan saya sendiri di sini, atau memang selama ini salah: Saya mungkin saja menganggap mereka sahabat terdekat saya, namun tidak sebaliknya. Malam-malam yang saya lalui menjadi memikirkan tentang ini, apalagi jika saya berpikir bahwa tidak ada teman yang abadi.
Kini tersisa beberapa teman saya yang dari sejak awal studi selalu menemani saya. Hari-hari terakhir saya di 2020 bersama mereka, tertawa dan mengeluh bersama. Hidup mencampakkan kami sampai babak belur, hingga kami merasa tak kuasa untuk menggerakkan roda-roda kehidupan kami yang sudah lama tidak jalan.
Di penghujung 2020, dan di awal 2021, saya begitu khawatir kehilangan mereka dengan alasan apapun. Saya khawatir menjadi sendiri dan kehilangan semangat yang dulu ada. Saya juga terlalu takut dan cemas tidak bisa menjadi teman dan sahabat yang baik, apalagi menjadi beban mereka. Entah mereka merasakan hal yang sama atau tidak, tetapi itulah yang saya rasakan dalam menghadapi tahun baru: Ketakutan dan kecemasan.
Saya tidak pernah berharap saya akan pergi dari mereka—walaupun saya tahu pada akhirnya perpisahan akan terjadi—yang sudah menemani saya selama ini. Semoga saja tidak akan berpisah, karena saya takut sendiri.
1 note
·
View note
Text
Refleksi Maret
Setelah melewati minggu-minggu kuliah setelah cuti, gue bawa semangat baru yang belum pernah gue rasakan sebelumya. Gue merasa ini kuliah bakal jadi ajang pelampiasan gue setelah cuti satu semester yang lalu. Gue mencoba gak telatan lagi, gak copy-paste pas bikin tugas, mandiri ngerjain tugas, dll.
But it sucks, and I looked at my same self every morning. There’s no changes but effort.
Ya, effort, usaha. Gue rasa yang gue punya cuma semangat itu, gak lebih. Apa sih yang gue punya? Nothing. Seakan semua hilang begitu aja, gak ada bekas kecuali semangat yang gue rasain setiap pagi. Gue bersyukur soal ini.
Thus, yang jadi permasalahan sekarang adalah, bagaimana caranya gue memanajemen effort ini biar gak menggebu-gebu dan menghasilkan sesuatu?
Gue mencoba memotivasi diri sendiri buat menghasilkan sesuatu: karya, rupiah, dan hal-hal besar lainnya. Lalu muncul pertanyaan-pertanyaan toxic yang selalu aja muncul di kepala;
Lo pikir lo siapa? Lo ga punya apa-apa, ga punya siapa-siapa. Terus mau ngapain? Jalanin aja kayak orang biasa, sih. Gak usah banyak mau, abot.
Pertanyaan-pertanyaan itu menusuk banget buat gue. Rasanya emang gue butuh semuanya, tapi gue sendiri. But I don’t even need fuckin’ girlfriend, I need partner for accompany me to gain some achievement.
Tapi apa itu jadi yang utama? Hell no. Yang gue maksud partner adalah orang yang bisa ngasih gue modal, bener-bener bisa diajak kerjasama bikin ini-itu. Bukan cuma sebatas omongan ‘semangat’ tiap pagi yang gue rasa hampa.
Tapi, mungkin partner itu Cuma 3%. Sisanya, sekarang, gue percaya diri bisa melewati (ya, sekedar melewati) ini semua, dan selanjutnya akan menghasilkan sesuatu.
I love my self enough.
0 notes
Text
Petrichoria
Hinggap pada anganku tentangmu yang memangku rayu
Gigih suara terdengar memekik, gelora metafora
Rasi bintang menuntun kita kepada jalan panjang pemikiran
Rasional tingkat tinggi tanpa ironi
Debur sungai menyeringai, sejurus merayu malu
Dirimu tersenyum dan menunduk, awan beradu
Berudu dewasa hebat menderu, pintu langit terbuka lebar
Aku terjebak dalam petak permainanmu
Kala petir bersahutan dengan nyanyian sungai, puan gigit bibir bergincu
Merahnya beradu getir karena muson barat
Petrichoria tercium mesra
Sepanjang malam temani bercumbu ria
0 notes
Text
Mana Mungkin
Mana mungkin aku bisa menatap matahari, jika dengan bermandikan sinarnya saja aku bisa merasakan kasih sayangnya..
Mana mungkin aku bisa menahan bulan, jika dengan kelembutannya saja aku merasa tenang..
Mana mungkin aku bisa marah dengan ombak, jika dengan derasnya saja aku tersentuh..
Maka, kasih, biarkan aku meresapi hadirnya dirimu, memaknai setiap katamu, dan mencintai segenap jiwamu,
Karena mana mungkin aku sanggup menatap matahari
Menahan bulan
dan marah dengan ombak..
0 notes
Text
Menurut saya, sebuah kegagalan adalah ketika banyak orang menganggap saya mumpuni. Padahal saya sendiri merasa tidak kompatibel untuk melakukannya.
Kegagalan juga terjadi ketika orang-orang berharap banyak dengan saya, padahal saya sendiri tidak mempercayai diri saya sendiri.
0 notes
Text
Migrain dan Segala Hal yang Setengah-setengah
Akhir-akhir ini saya sangat mudah diserang migrain, itu lho, pusing yang cuma sebelah. Biasanya saya rasakan kalau sudah agak sore, selesai kuliah, atau ketika insomnia saya kambuh. Awalnya saya rasa cuma setitik saja terasa nyeri, namun pada akhirnya menyebar pula ke setengah kepala, terkadang juga ke seluruh kepala.
Ketika migrain, saya tidak mengobatinya dengan minum obat-obatan warung yang jadi wujud kapitalisasi kesehatan kecil-kecilan itu--hell, apa ini. Saya memilih membiarkannya selangkah demi selangkah merambah kepala. Lalu tiba-tiba saya merasa kepala berat sebelah.
Oleng, kapten!
Lalu saya berpikir lebih jauh dan memaknai migrain ini sebagai teguran Allah kepada saya, untuk tidak melakukan sesuatu setengah-setengah.
Betul, bukan, kalau lebih enak merasakan pusing satu kepala ketimbang migrain yang setengah begini? Yaa.. meskipun sebetulnya keduanya sama-sama tidak enak.
Mungkin dalam hidup kita, atau saya, banyak melakukan banyak hal-hal yang sebetulnya jika dikerjakan sepenuh hati, bisa menjadi suatu hal yang benar-benar bagus. Sayangnya, terkadang, atau bahkan seringkali, kita melakukannya setengah hati.
Asbabun nuzul kita, atau saya, melakukannya setengah hati tentunya beragam. Bisa jadi pesimis, tidak enak hati, atau bahkan karena terlalu optimis, berharap banyak dan sesuatu yang berlebihan. Sehingga membuat kita, atau saya, pada akhirnya melakukan sesuatu setengah hati.
HIngga ada keputusan-keputusan lain yang kita ambil karena segalanya dilakukan dengan setengah hati. Saya benci dengan orang-orang yang melakukan tugasnya setengah hati, begitu juga dengan diri saya. Dimana itu berarti saya benci diri saya sendiri. Menanggalkan tanggung jawab, kemalasan, ketidakpekaan, apatis, hanyalah kristalisasi dari segala hal yang dilakukan setengah hati.
Maka itu, saya lebih baik pusing satu kepala dibanding migrain. Atau saya migrain hanya karena belum makan.
Dengan migrain di kepala,
Yogyakarta, 15 April 2018.
0 notes
Text
Bukan level Wartafeno lagi, tapi Mojok.co. Heuheu
Cara agar semangat untuk mengerjakan tugas kuliah di hari libur
Hari libur adalah hari yang dinantikan oleh semua orang didunia ini kecuali pengangguran, libur menjadi hal yang menyenangkan bagi siapa saja termasuk saya sendiri. Libur saya walau hanya 2 hari tetapi menjadi hal yang sangat luar biasa mulai dari bisa merasakan nikmatnya bangun siang, bisa merasakan nikmatnya mandi siang hehe.. bisa malas-malasan tanpa perlu memikirkan setelah ini ada makul apa, hangout with him hihi.. semua itu menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan bagi saya tetapi disamping hal menyenangkan tersebut terselip sedikit hal yang sama sekali TIDAK menyenangkan yaitu tugas, tugas menjadi sekumpulan kerikil dalam perjalanan liburan menyenangkan saya. Harus mengerjakan tugas disaat seharusnya kita bersantai sangat membuat mood menjadi berantakan, tak ada yang salah memang dengan tugas karna menjadi seorang mahasiswa kita dituntut untuk harus selalu “AKUR” dengan tugas dan kuis tapi untuk bisa mengerjakan tugas itu dengan baik kita harus dalam kondisi tenang dan dalam keadaan ingin mengerjakan tugas tersebut nah disini saya ingin sedikit share tentang bagaimana caranya agar kita bisa mendapatkan mood yang bagus untuk mengerjakan tugas di hari libur atau hari santaimu.
Yang pertama yang harus dilakukan adalah setelah bangun tidur duduk dulu sebentar lalu tarik nafas dalam-dalam lalu hembuskan setelah itu minum air mineral lalu mulailah untuk bergegas mandi, mandi dapat membuat pikiran menjadi lebih tenang dan dapat menaikkan semangat, nah setelah mandi ini lah kalian bisa mulai mengerjakan tugas kuliah kalian. Tugas terbagi dalam 2 bentuk yaitu tugas yang ditulis tangan dan diketik jika tugas kalian berupa tulis tangan maka yang harus kalian sentuh terlebih dahulu adalah buku dan pulpen kalian begitu juga kalau dalam bentuk ketikan usahakan untuk langsung menyentuh laptop kalian. Jangan sekali-kali sentuh handphone kalian sebelum mengerjakan tugas karna handphone sangat ampuh mengalihkan pikiran agar tak mengerjakan tugas, kecuali mungkin jika ingin melihat note yang diketik di handphone atau ingin play music maybe hal ini masih diizinkan asal jangan keterusan ya gengs.
Yang kedua jika tugas kalian berupa tugas praktek atau survey kalian dituntut untuk berimajinasi lebih tinggi gengs jika tugasnya dalam bentuk praktek anggap saja kalian sedang melakukan sesuatu yang menyenangkan atau mungkin berimajinasi bahwa hasil praktek kalian akan dibayar there’s no problem about that yang penting mood kalian dapat terbentuk terlebih dahulu. Kalau dalam bentuk survey? Gampang, anggap saja kalian sedang diperintah oleh dosen kalian untuk tamasya dan refreshing.
Yang ketiga tak perlu terburu-buru dalam mengerjakan tugas kerjakan saja semampu kalian istirahat ketika sudah mulai muak dan makan ketika sudah mulai lapar hehe.. setelah itu kalian bisa melanjutkan lagi tugas-tugas kalian.
Yang keempat jangan menumpuk tugas kalau bisa dijejer hehe.. kenapa harus dijejer? Agar hasrat kalian untuk mengerjakan tugas muncul karna ruang gerak kalian akan terasa sempit akibat jejeran tugas kalian haha..
Dan yang terakhir kalau memang semua tips absurd diatas masih belum mampu menggoyahkan rasa malas kalian cobalah untuk ingat orang tua kalian, ingat betapa kerasnya mereka bekerja untuk membiayai kuliah kalian, memenuhi kebutuhan hidup kalian dengan mengingat ini kalian pasti akan mendapatkan semagat dan super mood untuk mengerjakan tugas di hari libur sekalipun hehe..
Yahh mungkin sudah banyak yang tau atau share mungkin selain saya tentang masalah menaikkan mood untuk mengerjakan tugas di hari libur ini tapi saya tetap berterima kasih karna kalian telah meluangkan waktu untuk membaca tips tidak jelas saya ini hehe.. terima kasih sekali lagi semoga liburan kalian bisa bermanfaat dan kalian juga bisa mendapatkan lagi mood untuk mengerjakan tugas di hari libur kalian semua, love you all see you on next post :*
2 notes
·
View notes
Text
Gila
Kamu harus tahu, seberapa buruknya caramu hingga membuat saya gila, memaksa saya untuk hiduo di bawah bayang-bayang kehidupan orang lain.
Kamu harus tahu, seberapa pintarnya kamu hingga membuat saya tidak habis pikir, perempuan dewasa sepertimu berlaku seperti itu.
Ya, saya maafkan. Hanya saja..
Saya hanya ingin memastikan, di dalam hidup saya hingga nanti saya mati, kamu tidak akan mendapat respect dari saya.
Saya pastikan, kamulah satu-satunya dan yang terakhir.
0 notes
Text
Nasi Jamblang
Saya tidak mau marah. Karena saya tahu banyak orang lain yang marah. Karena marah itu sifatnya menular, jadi lebih baik tidak. Saya juga gak mau sambat, yaa mungkin bisa sesekali, tapi tidak setiap saat. Sambat itu ya cuma untuk orang-orang yang sudah tidak sanggup lagi menahan beban sendiri. Sedangkan marah dan sambat itu dua hal yang berkaitan erat. Manusia era digital bin milenial ya kerjaannya cuma itu aja: bar nesu yo sambat. Abis marah terus curhat. Siklusnya itu aja. Makanya di Instagram lebih rame lambeturah, kan? Nah, manusia jaman sekarang banyak masalah justru banyak marah dan sambat ketimbang nyari solusi. Tapi kadang curcol si sambil nyari solusi. Ya akhirnya nggosipi wong tadi. Tapi solusi, susah dicari. Orang yang bisa ngasih solusi dengan tajam dan terpercaya kayak liputan (6)9 juga jarang. Kalau ada dan solusinya tepat tapi berat, paling kena omong: sok tau, sok suci, sok bener, sok keren, sok ganteng, sok niru mamah dedeh. Macem-macem deh ya kayak nasi jamblang. Mungkin karena alasan ini orang-orang baik ora cangkeman. Lebih baik diam daripada ngasih solusi tapi tetap digosipi. Akhirnya banyak orang sok tau ngasih solusi. Diikutin lagi. Makanya di Instagram lebih rame lambeturah, kan?
1 note
·
View note
Photo
Dinamis banget. Paling gak bisa









Charles House by Austin Maynard Architects | Photograph by Peter Bennetts
2K notes
·
View notes
Text
Hanya Puzzle
Terkadang kita hanya butuh orang yang mengerti, bukan hanya sekedar hati dan janji-janji mimpi masa depan yang tidak pasti. Walau terkadang Tuhan tidak menciptakan garis lurus untuk hidup, tapi Tuhan akan menakdirkan orang yang lurus.
. .
Walaupun itu di surga.
. .
Hell. Yeah.
. .
Tidak semua orang mempunyai keinginan dan kemampuan yang sama. Tuhan menakdirkan orang dengan batas dan level yang bermacam-macam. Ada orang yang mampu tapi tak berkeinginan–boleh kita bilang ia malas, ada pula orang yang berkeinginan tapi tak mampu–antara tidak beruntung, belum waktunya, takdir, atau yang paling buruk: azab.
. .
Bagaikan puzzle, Tuhan membentuk sedemikian rupa plot cerita yang berbeda pada hidup setiap orang. Tuhan bisa menulis cerita indah. Tuhan barang tentu mudah membuat cerita indah layaknya fiktif–lebih baik dari Dilan atau Milea tentunya, cerita yang begitu berbeda atau tidak realistis menjadi betulan, hingga cerita buruk yang menjadi hikmah untuk semua manusia. . . Kita bisa menjadi Dilan, Minke, Lintang, atau Fahri dalam hidup. Bisa menjadi siapapun. Membuat apapun. . . Dengan potongan-potongan puzzle itu, kita bisa temukan banyak hikmah yang bisa kita serap. Lebih banyak dari yang kita serap dari FTV Hidayah atau Kisah Nyata saban hari di televisi.
1 note
·
View note
Text
Satu
Hilang sehat pun tak rehat Jiwa kuat tak mampu lompat Hati sendiri dierosi sepi Fana memang, tapi aku telah di tepi Ombak pasang, aku tetap tenang Entah nanti meninggi Membukit Menjulang Menerjang Menyerah hanya pilihan pecundang Bersatulah dengan lautan Berjuang menuju ke tepi yang penuh Dengan emas dan berlian Semoga aku bersama Sang Maha Segala Kepunyaan
0 notes
Text
Sepi
Matari lemah di ufuk
Jingga mulai memudar
Ombak terjang kencang
Api-api dinyalakan
Kala lagu-lagu berhenti dinyanyikan
Air-air dituangkan
Saat itu angin berhenti berhembus
Menghormati jiwa-jiwa sepi
1 note
·
View note