justitiave
justitiave
JUSTITIAVE
114 posts
yang bertiwikrama
Don't wanna be here? Send us removal request.
justitiave · 6 years ago
Text
non-spesifik
di atas bean bag kuningnya beringsut pada kelabu
lantai dan tembok penuh mural semi-sempal
kamis, masih lama jelang bulan yang akan datang
aku hilang dan terseok pada remang masa depan
lumpuh dan keok karena dosa masa lampau
 berusaha mencari diriku pada bait-bait non-spesifik
agar aku tidak tidak waras sendiri
karena kudengar penulisnya agak gila
mungkin lewat puisi kami bisa berkawan
berbagi tawa dan tangis 
mengais maaf dari diri sendiri
yang membenci tapi juga ingin menyelamatkan
diri ini dari diri ini
 bapak selalu bilang, aku harus selalu ranking satu
suatu hari, kucoba tidak mencoba terlalu keras
aku ranking dua, dan bapak buang muka
lalu aku paham
seperti makan siang, tak ada cinta yang cuma-cuma
1 note · View note
justitiave · 6 years ago
Text
Doktor
malam pulang menyusuri rel kereta disapanya penjual pecel rujak pempek tahu bulat dan bakwan                                                                                                         malang ada pembeli tiran yang makan bebek dan ayam tiren di sampingnya ikan tenggiri bacin tahu formalin    sedap            aroma peti jenazah menolak disitir salak gunung sampah di sudut bentala kalibata city     nan           shitty
tapi masih tak sebau borok ego yang ada
di kepalanya yang mulai botak koyak jadi kotak karena a k a d emia entah demi siapa
atau
di ulu hatinya yang bengkak nanah lantaran hasrat yang serakah rekah seperti bunga       sedap                 malam yang menyusuri rel kereta dan menantang tumpukan sampah di sudut bentala cendekiawan berputus asa
di dalam peti jenazah disemayamkannya sebuah nama:
2 notes · View notes
justitiave · 7 years ago
Text
Jangan Goblok
Beberapa orang ingin menjadikan kematian sahabat baik
Beberapa lainnya lari tunggang langgang ketika ia mendekat
Beberapa yang tunggang langgang, lelah berlari, dan menerima ajakan kematian untuk berteman
Beberapa yang tadinya tunggang langgang karena antipati, tahu bahwa kematian tak bisa dihindari, justru ia akrabi
Ada banyak cara bersikap di hadapan seringai kematian
Ia bisa dirayakan dengan suka cita, pakai kembang api dan terompet
Ia bisa diterima dengan umpat keparat disertai lempar sendal jepit
Ia bisa ditangisi, digelayuti, diminta tak pernah datang barang sekali
atau ia bisa disambut dengan biasa saja, bisa saja.
Tapi Nona, saya kasih tahu, mati tak pernah enak
Minimal tidak seenak mie ayam garing setiabudi pada pukul tiga pagi
Mati tak pernah mudah
Setidaknya tak semudah mengganti rok mini dengan jilbab di hari pertama masuk kerja
Mati tak pernah sederhana
Paling tidak tak sesederhana berdusta pada kekasih yang tak lagi kau kasihi tapi masih kau kasihani
Mati itu rumit, mahal, dan berisik, Nona.
Jangan goblok. Hiduplah.
2 notes · View notes
justitiave · 8 years ago
Text
The Currency of Love
She remembers the warmth of your arms when she accidentally injured her leg on her way back home. It was a sunny Tuesday. She wore a set of blue vest-skirt with smelly hat atop of her head. 
She was calmly sitting in the rear set of the city bike until a swarm of rooster flocked nearby her legs. Being an alektorophobic kid, she reflexed and put her feet inside the bike’s chain. 
Lek Dar suddenly turned into blue when she saw 2 inches of red flesh tattered from the little girl's heel. She didn't feel anything, to be honest, but she remembered telling herself what she would say once they arrive back home: Papa, Lek Dar was not the one to blame. 
Both of you never took her home, not even once. To purge your guilt, you falsely ensconced her with the companionship of a distant relative whose relation to your progeny she cannot point out in your rather simplistic family tree. 
Lek Dar was so much like her parents, albeit her helper’s salary, than both of you ever were to her. Lek Dar taught her about love and life whilst you taught her about loneliness and quest of validation.  
She was running amok—she admitted, but needless to say, you put her in competition with your career just to get a chunk of your attention. 
She knew deep down that she was a very ordinary kid—ungifted, lacking talent, and born with mediocre physical appearance. She was not that smart, to begin with, but she knew that as a sapiosexual parent you would trade your profuse, luxurious attention with her cognitive achievement. So she started swallowing every bit of paperwork and textbook she could find. 
To you, her achievement made your pride and acknowledgment. You’d say, “alhamduillah masih ranking satu” with that ego-induced husky tone everytime other parents asked how she had been doing throughout the trimester. That sentence, that exact words, was all she knew about your love for her. 
But she wondered, maybe, her Papa was not a complete monster who taught her to keep grinding all the time. 
Remember when you cried on the phone when she told you she successfully defended her thesis after 3 hours? 
She was astounded by the fact that, you didn't say  “itu baru anak Papa” the way you used to be, instead, you apologized. 
There had to be something wrong, she thought. This was supposed to make you happy, Pa. 
But you were, weren’t you? The next day you were excited about coming to her graduation party to which she disagreed. 
There won't be any graduation party. I have to work and save money, she nonchalantly said. And you wonder how your daughter has turned so cold. 
She seldom comes home because oh work is a lot and time is money, you told her decades ago. Now she started telling you she didn't want to marry. She said no louder than your nos you often doled out to her if she started whimpering over toys. Now, she is a selfish adult who prioritizes career over anything. 
But you wonder, maybe, her daughter was not a total senseless evil who will put you in the nursing home sooner or later. 
Now, she is seldom able holding back her silent tears on Go-Jek ride to Kos after you collapsed a few weeks ago. She prayed a myriad prayers everytime someone told her how grand is her name and she would answer humbly, Papa was the one who gave it. She takes more jobs, eats less, runs further, works crazier, stares at your photo longer, and shouts your name out more often during her brief sleep.
To her, the currency of love is always the willingness to take extra miles for the loved ones, despite them not knowing. And guess who taught her that?
Jakarta, 15 February 2018
P.S.: Happy birthday to you. 
1 note · View note
justitiave · 8 years ago
Text
Pecah
Seperti balon, hanya saja ia tak warna-warni. Seringnya kelabu atau hitam pasi. Melayang tak tentu sambil membawa berbagai rupa partikel gulana: yang terurai adalah kesedihan, yang sedikit menggumpal adalah rasa sesal, sementara yang bulat padat adalah kemarahan.
Beberapa orang memilih untuk berpegangan erat pada balon-balon mudharat tersebut. Alih-alih membawa mereka terbang ke tempat lain yang lebih baik, mereka disibukkan menjaga balon-balon agar tak berlarian.
Menatanya, menentukan senar mana yang mesti dilonggarkan agar balon tak saling berdesakan. Sesekali mereka habiskan waktu berjam-jam mendongak, khawatir balon-balon kesayangan itu menyusut. Tanpa mereka sadari, begitulah cara kesedihan, penyesalan, dan kemarahan menua abadi.
Jika saja saya punya paku payung, jarum, pisau, apapun itu benda tajam yang bisa melolosi balon-balon celaka itu. Manusia akan telanjang dari sabotase kebahagian dan kebaik-baik sajaan.
Biar mereka hirup dalam-dalam sembilunya partikel perasaan yang coba mereka sembunyikan. Biar mereka tahu bahwa rasa sakit tidak terhindarkan, tapi kita sepenuhnya berhak menentukan bagaimana harus bertindak atasnya.
0 notes
justitiave · 8 years ago
Text
Poncol
Di atas motor pinjaman paman, kita duduk bercengkrama
Menyusuri jalan merdeka yang digenangi rindu
Di Poncol, Gambang Semarang beralun seperti doa yang mengiba
Dalam teduh yang gemuruh kau mengingatkan
Ojo lali dompet lan tiket
Ojo lalen lan kelangan
Aku menunduk di hadapanmu, menekuni dompet dan tiket yang terbujur kaku
Sekaku rahang yang menahan leleh air mata di tebing jiwa
Sebaku sopan santun jangan-sampai-drama di tempat umum
Sefakyu aku masih rindu, tapi kalau tidak kerja, Bapak-Ibu dan aku bisa-bisa makan nasi bau
Semua sudah lengkap, ujarku
Kecuali waktu yang lebih panjang
Sambut yang lebih hangat
Peluk yang lebih khidmat
Ikhlas yang melapangkan
Sabar yang mendewasakan
Cium tangan yang lebih lama
Maaf yang lebih tahan lama
Juga cinta yang panjang, lapang dan suka berlama-lama
Gambang Semarang berdetak memburu detik jarum jam
Sementara selamat tinggal melambaikan tangan
Sambil sesekali menyeka tebing matanya
Nduk, ojo lalen lan kelangan.
Jakarta, Januari 2018
*untuk Bapak, semoga lekas sembuh. 
0 notes
justitiave · 8 years ago
Text
Deep Cut
We’ve run, devouring miles of sour modern love
We slipped through, bit by bit of stanzas we can never construe
But you detour, leaving solo steps to savour
I wobbly move myself to you
To the cloudy climes and the alarming nights
Clutching mellowed whispers to deliver
About the sky that was made just for you
The shining stars to match your blue
And the sanity that falls apart
When you are out of view
0 notes
justitiave · 9 years ago
Text
Bongkar Pasang
Aku menggali rupamu di sudut-sudut ingatanku. Mengumpulkan potongan alis tebalmu yang sisa satu. Bongkah hidung besarmu berserak di antara potongan jari dan bola mata. Sedang daun telingamu terhenyak oleh bagian besar kaki dan tangan.
Kukenali rasa sakitmu di antara tebar senyum dan tawa dua tahun kita. Sementara rasa kecewamu menjelma gelembung-gelembung udara yang memenuhi ruangan. Sesalmu menggugat tumpukan kenangan, menyelesaikan pertikaian yang masih menggantung sejak paruh tahun lalu.
Nama, tubuh, dan jejak kenanganmu kurajut ulang. Dengan harapan kau kembali utuh untuk kita yang dulu keruh. Lalu kuingat, tak pernah ingin kau melihatku lengkap seluruh; kau membencinya. Kau paling suka memreteli ku, membuatnya jadi potongan-potongan tanpa makna. Katamu, agar lebih sederhana saja. Kelitmu, aku yang rumit adalah sia-sia.
Pernah kau buang kesukaanku pada filsafat. Pernah kau cerca kecintaanku pada bekerja. Pernah kau hempas kegilaanku pada diskusi tengah malam di antara kepul asap rokok dan cangkir kopi. Katamu: itu tak penting.
Jika aku hutan, maka telah kau tebangi pohon-pohonku. Kau kerdilkan sulur-sulur liarku dan kau jinakkan belantara gagasanku. Tapi aku merimba dalam bahana. Aku mekar tanpa perlu kelakar.
Kususun lagi potongan dirimu dengan khidmat. Semua yang kubutuh telah terpasang pada tempatnya: kepala, pundak, lengan, tangan, kaki, dan penis. Sementara lidahmu kubungkus rapi dengan plastik hitam. Kusembunyikannya di dalam kulkas agar tetap segar. Nantinya akan kulelang di hadapan para pembunuh yang butuh benda tajam.
Akan kubilang kepada mereka: hati-hati dengan ujungnya, racun sambitnya luar biasa mematikan.
4 notes · View notes
justitiave · 9 years ago
Text
Matinya Kaktus
Kaktus tak pernah rakus Air tak diberangusnya Subur pun tak dicari Tanah gersang dan paceklik ia kawani Kaktus pandai mengurus Batang dan akar yang apa adanya Jauh dari rekah mekar Asing atas mewah sekar Berdiam mematung memaku tanah Bisunya abadi Tenangnya hakiki Matinya tak diketahui Ia kaktus yang menghampar Menantang berang serbu debu Lalu mati tegak berdiri Dalam diam yang tak dikenali
0 notes
justitiave · 9 years ago
Text
Kau dan Aku
Kau senja, aku tinja
Kau rona, aku hina
Kau asih, aku buih
Kau asmara, aku samsara
Kau kekal semesta, aku gelap anumerta
Aku cinta yang buta dan renta
Kau sukacita yang tak kenal kita
1 note · View note
justitiave · 9 years ago
Text
Suicidal Romance
When he said the time spent together was enjoyable, she said the moment given was irreplaceable. 
When he said he felt lonely when he missed her, on the very same seconds she said she caught an awful fever. 
When he said he fucked her, she said they made love to each other.
At the end of the day, her love was too big to handle, she ended up killing herself with the fabricated truth she believed in. 
Tumblr media
3 notes · View notes
justitiave · 9 years ago
Photo
Tumblr media
248 notes · View notes
justitiave · 9 years ago
Text
Tentang Sebuah Nama
Berbait-bait ini ditulisnya
dalam bahasa yang merendah diri
tentang malam-malamnya yang panjang terjaga
mata yang membelalak demi mendegar seru ajak
juga bisik nama seseorang di ujung sana yang pernah dikenalnya
Dalam renung, berbait-bait diciptanya
tentang hangat sapa yang membakar akal
cikal dari rindu yang tak tentu arah
berlari ke utara lantas melesat ke tenggara
hilang dalam bara-bara asa yang tak bersisa
Berbait-bait ini diriwayatkannya
untuk mengenang satu malam yang dingin
liris yang membuat hidup tak ingin
demi mengetahui angin yang berhembus ke utara dan tenggara
kerap mampir membekap 
sekedar untuk membisikinya 
sepotong nama
0 notes
justitiave · 9 years ago
Text
Agar Tak Keliru
Agar tak ada keliru Biar bisik sederhana di antara pasir pantai bicara Tentang asih jiwamu dan tentang sakit batinku Yang berdoa agar kau melangkah Menghalau jemalin gundah Menemuiku Di tepi jalan beraspal luka Saling mengobati Saling menyeka tangis Sampai pepohonan dan semak rendah membicarakan kita Melihat kita terbakar menjadi jelaga
1 note · View note
justitiave · 9 years ago
Text
Biar aku
Biar aku menggamitmu. Menuntunmu ke sudut-sudut ingatan paruh tahun lalu. Kala nama dan perkenalan adalah barang mahal, namun kita berbesar hati -menukar ego dengan remeh celoteh.
Biar aku menggamitmu selayak kau menggamit akalku yang compang. Tersesat bukan kepalang, sebelum kita saling menemukan. 
Biar aku menggamitmu, agar kepadaku kau berpulang. Karena berjarak, kasih, adalah ujian paling keji, sementara hati sudah purna mencari.
0 notes
justitiave · 10 years ago
Text
Honesty
Honesty is petrifying. It takes more than courage to show one. It takes endurance, for being honest that you were once deeply hurt and you may still feel disheartened because it never changed, it never healed. It takes never-ending self-talk and ever-flowing tears to make you realize that the easiest way out is by secluding yourself from outside world, but that'd only make your list of mistakes longer. It takes more than 5 years or so to conceal it, deep-down in the ghetto you created for anything you never wish to experience by yourself.
But it needs only mixed of single hello, an awful drink, and bitter farewell with a stranger to bring your armor down. Then you got severely shot from memories you thought were already gone. The heartache is unbearable, you feel suffocated every time anything related to it ever accidentally crossed your mind.
I have told you, being honest costs a lot--it is a soul-sucking thing one does not simply want to do. But then if you were caught lying, would you keep telling the lie, even to yourself? 
1 note · View note
justitiave · 10 years ago
Text
Mencintai
Aku menulis lagi, bukan untuk siapapun namun demi akal sehatku.
Aku bercermin dan tak lagi mengenal sedikit pun bayangan yang berhasil terekam di hadapku. Ada seorang perempuan tertunduk sambil mencabiki kain bajunya. Dia menggeram, menahan teriakan, dan mengulang-ulang nama ayah ibunya.
Aku merasa gagal dan tak lagi punya makna. Banyak sesi hidup yang tak berhasil kujalani seperti yang kurencakan dan aku menangisi waktu yang kubuang sia-sia. Aku gagal membuat ayah ibu bangga. Atau setidaknya, aku gagal memberikan kebanggaan yang sudah kusetarafkan dengan ambisiku kepada mereka.
Aku menjadi pesakitan dan nyaris gila. Demi menyelamatkan kepercayaan atas eksistensiku, aku mencari pengakuan dari pasanganku sementara ia sibuk mengamini kehebatan perempuan lain. Aku merasa tak lebih dari hina hingga wajar diselingkuhi oleh pujian yang kuharapkan datang untukku. Hingga pada suatu titik aku tersadar, aku memaksanya untuk memujaku seperti berhala. Sebuah keinginan yang mencerminkan inferioritas pada tingkatan yang tak mampu lagi dicerna rasioku selepas aku memutuskan membuat tulisan ini.
Aku bangkit setelah aku mendoakan diri kepada Tuhan yang kuanggap ada. Kutimang diri dengan pujian apologi dan ku janjikan pada diriku bahwa hidup akan baik-baik saja. Itu hal yang ingin selalu ku dengar dari orang lain ketika aku hilang arah dalam sedih dan amarah. “Semua akan baik-baik saja, percayalah.” Kalimat itu adalah syahadat bagiku--kian merupa candu, layaknya agama bagi manusia menurut Nietzsche.
Kupeluk diri yang rapuh, dan kukisahkan kepada ia betapa jauh kita berdua telah melangkah. Kita melewati segala rintangan bersama, mulai dari kelaparan berhari-hari karena ayah tak kirim uang, nyaris putus kuliah karena ayah tak punya uang, nyaris pingsan karena bekerja untuk membayar uang kuliah--segala keringat, tangis, dan darah kami lalui bersama.
Lalu kuberjanji bahwa aku akan menjadi sahabat, guru, kekasih, penyembuh, dan penuntun terbaik bagi diri sendiri. Aku mengimani keyakinan bahwa melalui itulah manusia akan mewujudkan eksistensinya dalam kesempurnaan. Menenggelamkan diri dalam being yang dituhankan Sartre. 
Ya, aku adalah yang terbaik karena tak ada yang mampu menginderaku sebaik diriku sendiri. Melalui kepercayaan itu, kuhela napas dan berteguh hati, bahwa aku akan mencintai diri sendiri.
Dengan ikhlas. 
3 notes · View notes