Blog ini menelusuri perkembangan studi akademis filsafat Islam/Arab, dan filsafat Yunani, dan filsafat abad pertengahan untuk para peneliti dan mahasiswa di Indonesia. Dikelola oleh Fariduddin Attar Rifai (M.F. Attar) M.A.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Cara Menggunakan Kamus 'Arabic Almanac' Secara Offline

(Naskah abad ke-17, Kitāb al-tarjamān, Kamus bahasa Arab, Turki, dan Syriac)
Pendahuluan
Untuk kajian bahasa arab, tidak bisa diragukan bahwa kamus Arabic Almanac adalah sumber terpenting. Mengapa? Karena dalam satu website anda dapat merujuk arti satu akar kata (misalnya fa-ʿayn-lām) dalam 20 kamus, dimana sembilan diantaranya adalah kamus bahasa Arab-Inggris, tujuh adalah kamus Arab-Urdu, dua adalah kamus Arab-Indonesia, satu adalah kamus Arab-Arab, dan satu adalah kamus Arab-Perancis.
Di antara kamus-kamus ini, sumber yang paling menarik bagi pengguna bahasa Indonesia adalah:
1) Kamus Arab-Inggris Hans Wehr, yang merupakan kamus paling sering dirujuk oleh akademisi Barat karena kosa-katanya sangat lengkap. Kamus ini aslinya adalah kamus bahasa Arab-German, namun sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Turki, Farsi, dan bahasa-bahasa lain. Tentu saja, kita membutuhkan terjemahan bahasa Indonesianya.
2) Kamus Lane Lexicon, yang merupakan kamus Arab-Inggris terbesar hasil kajian seorang Orientalis hebat bernama Edward William Lane (w. 1876 M). Dalam kamus ini, Lane mengumpulkan terjemahan kata-kata yang terdapat dalam kamus-kamus klasik bahasa Arab, seperti Lisān al-ʿArab, ke dalam bahasa Inggris. Dia merefrensikan kamus apa saja yang ia gunakan untuk menerjemahkan kata-kata tertentu. Kamus ini sering digunakan untuk kajian sastra, dan kurang berguna untuk, misalnya, Filsafat. Dalam kajian filsafat, kamus Hans Wehr lebih berguna.
3) Kamus al-Munawwir, oleh KH. Ahmad Warson Munawwir. Kamus Arab-Indonesia ini adalah yang paling terkenal di Indonesia.
4) Kamus Idris al-Marbawi, sebuah kamus Arab-Malay yang terkenal di Malaysia. Mungkin bisa berguna untuk para ilmuwan Indonesia.
Dalam sekali melakukan search-function dalam website Arabic Almanac, serentak anda akan mendapatkan arti sebuah kata dalam 20 kamus ini.
Lebih hebat lagi, anda bisa mengunduh semua kamus ini dalam computer pribadi anda, dan meng-akses-nya lewat browser internet anda tapi secara offline. Sederhanadanya begini, sumber datanya tidak lagi di server, tetapi dalam hardisk anda, dan anda menggunakan browser internet sebagai aplikasi yang memberikan anda interface untuk meng-akses data tersebut.
Akan saya jelaskan bagaimana anda dapat menggunakan Arabic Almanac, baik secara online atau secara offline, meskipun saya rekomendasikan anda menggunakannya secara offline.
Bagaimana Melakukan Search-Function dalam Arabic Almanac?
Panduan ini untuk versi online dan offline karena interface-nya sama saja.
1) Klik Tautan ini.
2) Ada dua cara melakukan search. Yang pertama adalah untuk nge-klik sekali halaman kamus yang muncul. Nanti sebuah menu search akan muncul. Atau yang kedua adalah nge-klik tombol bernama ‘Search’ di pojok kanan atas browser anda. Menu search yang sama akan muncul.
3) Sistem search-function ini adalah berdasarkan akar kata bahasa Arab. Jadi, misalnya, anda ingin menemukan arti dari kata taʿaqqul, yang menggunakan wazan tafaʿ��ul, maka anda ketik akar dari kata tersebut yaitu ʿaqala (anggap saja anda menggunakan bentuk fiʿl māḍī). Anda dapat mengetik langsung dalam huruf bahasa arab, jika anda punya keyboard bahasa arab. Jika tidak, maka anda dapat penggunakan huruf Latin keyboard anda. Yang berikut adalah panduan dari website Arabic Almanac: Double letters: th/v/V -> "ث" gh/g/G -> "غ" kh/x/X -> "خ" sh/$ -> "ش" dh/* -> "ذ" Different cases: d -> "د" t -> "ت" D -> "ض" T -> "ط" z -> "ز" h -> "ه" Z -> "ظ" H -> "ح" s -> "س" S -> "ص" All other "normal" letters: a/A -> "ا" q/Q -> "ق" b/B -> "ب" k/K -> "ك" j/J -> "ج" l/L -> "ل" 7 -> "ح" m/M -> "م" r/R -> "ر" n/N -> "ن" w/W -> "و" y/Y -> "ي" f/F -> "ف" e/E/3 -> "ع" Jadi, jika anda ingin mencari arti dari kata taʾthīr, anda harus mencari akar katanya yaitu athara. Caranya dengan menggunakan huruf bahasa Arab atau, sesuai dengan panduan diatas, dengan mengetik ‘athr.’ Kalau anda mencari Aḥmad, maka anda tinggal mengetik ‘Hmd’; kalau infiʿāl, maka anda mengetik ‘f3l,’ kalau ḍābiṭ, maka anda mengetik ‘DbT,’ dst.
4) Sekali anda melakukan search untuk satu akar kata, anda akan mendapatkan arti dari akar kata tersebut dalam 20 kamus yang saya sebut diatas. Anda tinggal scroll ke bawah untuk menemukan kamus lainnya. Hasil search ini selalu diawali dengan kamus Hans Wehr, karena memang kamus ini yang paling berguna. Lalu, kamus kedua adalah Lane Lexicon, karena rangkumannya terhadap kamus-kamus klasik Arab memang kokmprehensif. Kamus bahasa Indonesia jauh di bawah! Tapi jangan khawatir, anda dapat merubah urutan tersebut. Ingan panduan ini berlaku untuk versi online dan offline, jadi anda dapat merubah setting ini ketika anda menggunakannya offline. Yang anda lakukan adalah: pada halaman utama website ini, anda nge-klik tombol yang berada dipojok kiri atas. Tandanya adalah gambar tiga garis. Nah, anda akan dialihkan ke halaman baru dimana anda dapat mengatur urutan kamus-kamus ini. Ada pilihan untuk memindahkan kamus tertentu ke atas atau kebawah kamus-kamus yang lain secara keseluruhan; ada pilihan untuk memindahkan kamus tertentu satu urutan ke atas atau kebawah; ada pilihan untuk menghilangkan sama sekali kamus-kamus tertentu dari hasil search-function anda. Mungkin untuk keperluan kita orang Indonesia, kamus-kamus Urdu bisa dihilangkan, kecuali anda mengerti bahasanya Muhammad Iqbal ini.
5) Bagaimana kamus-kamus Barat mengatur klasifikasi kata-kata bahasa Arab? Kamus seperti Hans Wehr dan Lane Lexicon selalu menerjemahkan kata kerja dahulu, dan mereka memberikan setiap modalitas (taṣrīf) kata kerja nomor-nomor tertentu, dari I sampai XIII, meskipun yang XI-XIII itu jarang ditemukan. Berikut adalah urutan kata kerja tersebut:

Jadi, untuk menemukan, misalnya, arti dari kata ikhtalafa, yakhtalufu, anda harus melakukan search function dengan mengetik ‘khlf,’ dan dalam entri kata kerja, yang akan muncul sebagai entri pertama akar kata tersebut, anda akan menemukan arti dari bentuk I, II, III, dst. Yang anda harus cari adalah entri untuk nomor VIII, yaitu, seperti bisa dirujuk di gambar di atas, merupakan wazan ‘iftaʿala.’
Bagaimana Menggunakan Arabic Almanac Secara Offline?
Ingat bahwa panduan di atas berlaku untuk versi online dan offline. Lantas, karena kita tidak selalu memiliki akses internet, bagaimana kita bisa menggunakan kamus Arabic Almanac secara offline. Caranya seperti ini:
1) Unduh Zip File yang mengandung semua data kamus-kamus yang terkandung dalam Arabic Almanac.
2) Extract file-nya. File di dalam Zip ini ada dua folder yang pertama adalah ‘aa’ dan yang kedua adalah ‘mr’. Letakkan kedua folder ini dalam hard-disk anda, seperti ‘My Document.’
3) Buka browser yang anda sering gunakan, seperti Chrome, Opera, Firefox, dll (jangan menggunakan Internet Explorer!). Lalu anda klik File à Open. Setelah anda klik ‘open,’ Anda tinggal pilih folder ‘aa’ atau ‘mr’ untuk di buka. Nah, saya rekomendasikan anda pilih folder ‘aa,’ karena itu adalah kamus yang diurut berdasarkan akar kata, yang lebih mudah. Nanti browser anda akan menampilkan interface Arabic Almanac seperti anda meng-aksesnya lewat internet. Tidak ada bedanya dari segi interface. Yang berbeda hanyalah anda meng-akses data dalam computer anda (yaitu folder ‘aa’) dan bukan data di server Arabic Almanac di Amerika Serikat. Sangat efisien!
4) Setelah melakukan ini, anda akan perhatikan bahwa ‘alamat website pada browser anda sekarang adalah folder-folder dalam computer anda, bukan alamat website Arabic Almanac. Nah, saya rekomendasikan anda save setting ini dalam bookmark dengan nge-klik ctrl + D. Nanti kalau anda ingin merujuk kembali versi offline Arabic Almanac anda tinggal klik hasil simpanan bookmark anda, tidak perlu repot-repot FileàOpenà’aa’, dst.
5) Anda dapat melakukan hal yang sama untuk Tab atau Smartphone anda. Panduannya disini.
Semoga panduan ini berguna. Selamat belajar bahasa Arab!
12 notes
·
View notes
Text
Permulaan Riset: Analisa topik dan kajian refrensi umum

Bagi mahasiswa yang baru belajar filsafat Islam, baik yang berasal dari jurusan filsafat, uṣūl al-dīn, atau program lainnya, yang paling sulit adalah memahami cara pandang filosofis para pemikir yang konteks intelektualnya sangat jauh dari kita. Membaca sebuah teks tentang emanasi, katakanlah, al-madīna al-fāḍila-nya al-Fārābī, bukan sesuatu yang mudah. Tersirat dalam tulisannya beberapa ratus tahun perkembangan filsafat Neoplatonis mulai dari abad keempat dan juga prinsip kosmologis Aristoteles.
Ada beberapa panduan yang dapat membantu anda. Yang pertama adalah buku rujukan. Saya sudah menulis tentang buku rujukan yang layak digunakan di Indonesia saat ini. Dengan membaca karya Nasr & Leaman misalnya anda dapat merujuk pada bab yang khusus membahas pemikiran al-Fārābī dan bab yang membahas tentang kosmologi. Sedangkan melalui Karya Majid Fakhry, anda dapat membaca konteks transmisi teks-teks Yunani, khususnya dari tradisi Neoplatonisme, ke dunia Islam. Namun ada juga beberapa website yang secara gratis menyediakan panduan belajar seperti artikel-artikel pendahuluan tentang filsafat Islam dan filsafat pada umumnya. Website-website ini membantu saya ketika saya ingin melakukan riset dahulu kala saat masih belajar S1.
Yang pertama kali harus anda lakukan adalah analisa topik.
Jika topik anda adalah 'al-Fārābī dan teori emanasinya,' ini berarti anda membahas secara tidak langsung, topik-topik berikut:
Tradisi Neoplatonisme, Plotinus, Kosmologi Aristoteles dan Kosmologi Neoplatonis, assimilasi filsafat Yunani ke dunia Islam, geraka terjemahan pada abad ke-9, Peripatetik Baghdad, al-Fārābī, dll.
Setelah anda melakukan analisa ini, anda mencari artikel-artikel yang relevan tentang topik-topik yang didapatkan. Hal ini sangat penting untuk menemukan konteks, baik itu konteks sejarah dan konteks gagasan. Keduanya sama-sama penting. Tidak ada gagasan yang tidak mempunyai sumbernya dalam sebuah pergerakan sejarah, baik itu hubungan murid-guru, atau perkembangan sebuah tren filsafat pada masa tertentu. Memahami sebuah ide terkadang tidak lain dari memahami sejarah berkembanganya ide tersebut.
Anda dapat mencari artikel-artikel ini lewat sumber rujukan filsafat berbahasa Indonesia. Sudah banyak sekarang sumber-sumber yang memperkenalkan topik filsafat secara umum, baik itu ensiklopedia atau buku rujukan pustaka, atau buku pengantar, dll.
Ada beberapa website berbahasa inggris yang menurut saya cukup bagus jika anda ingin memperkaya informasi yang sudah didapatkan:
Stanford Encyclopedia of Philosophy: http://plato.stanford.edu/ Internet Encyclopedia of Philosophy: http://www.iep.utm.edu/ Kedua ensiklopedia ini adalah kajian yang peer-review, yaitu, hasil dari penilaian komunitas akademik. Karena ini, kedua sumber ini dapat dipercaya untuk mendapatkan pembahasan umum tentang permasalah-permasalah filsafat atau filsafat dasar seorang filosof.
Islamic Philosophy Online: www.muslimphilosophy.com Website ini memuat biografi singkat para filosof filsafat Islam. Anda juga dapat mengunduh banyak sumber-sumber primer (artikel, monograph, dan buku), dan juga beberapa sumber primer. Website ini punya beberapa cabang khusus untuk beberapa pemikir besar seperti: al-Fārābī, Ibn Sīnā, al-Ghazālī, Ibn Rushd, dan Muhammad Iqbal.
7 notes
·
View notes
Text
Buku Rujukan Kalam Klasik: Cambridge Companion to Classical Islamic Theology

Buku rujukan pustaka paling mutakhir tentang teologi Islam (Kalam). Banyak peneliti muda yang memberikan kontribusi untuk publikasi ini seperti Ayman Shihadeh, Sajjad Rizvi, Nader El-Bizri. Ketiga peneliti ini juga menerbitkan karya-karya akademis dalam bidang filsafat Islam. Banyak juga peneliti terkemuka generasi lama yang masih menerbitkan kajian-kajian menarik, seperti David Burrell, William Chittick, Hossen Ziai, Yahya Michot, dan Umar F. Abd-Allah. Editor buku ini adalah Tim Winter (Abd al-Hakim Murad), yang mengajar di Cambridge dan juga merupakan intelektual Muslim terkenal di dunia Barat.
Saya rekomendasikan buku ini bagi siapapun yang ingin mulai kajian tentang Kalam. Perhatikan baik-baik daftar pustaka setiap artikel, karena lis ini terdiri dari studi-studi yang paling up to date.
Berikut adalah penjelasan buku ini dari CUP:
This series of critical reflections on the evolution and major themes of pre-modern Muslim theology begins with the revelation of the Koran, and extends to the beginnings of modernity in the eighteenth century. The significance of Islamic theology reflects the immense importance of Islam in the history of monotheism, to which it has brought a unique approach and style, and a range of solutions which are of abiding interest. Devoting especial attention to questions of rationality, scriptural fidelity, and the construction of 'orthodoxy', this volume introduces key Muslim theories of revelation, creation, ethics, scriptural interpretation, law, mysticism, and eschatology. Throughout the treatment is firmly set in the historical, social and political context in which Islam's distinctive understanding of God evolved. Despite its importance, Islamic theology has been neglected in recent scholarship, and this book provides a unique, scholarly but accessible introduction.
6 notes
·
View notes
Text
Beberapa Publikasi Institute of Islamic Studies Cabang Tehran

Bagi yang melakukan studi tentang tradisi pascaklasik filsafat Islam (dan lebih khusus lagi pemikiran mazhab Isfahan): anda dapat mengunduh beberapa versi PDF publikasi-publikasi penting yang diterbitkan oleh Institute of Islamic Studies Universitas McGill Cabang Tehran (IIS-Tehran). Kebanyakan karya-karya ini adalah teks primer yang sudah di tahqiq-kan, meskipun ada juga beberapa sumber sekunder dalam bentuk terjemahan farsi (misalnya karya Syed Naquib al-Attas dan Abdurrahman Badawi). Yang menarik bagi saya adalah:
1) Ḥikmat al-ʿayn oleh al-Kātibī al-Qazwīnī (w. 1276), yang bukan hanya muridnya Naṣīr al-Dīn al-Ṭūsī (w. 1274), tetapi juga muridnya Athīr al-Dīn al-Abharī (w. 1265), yang merupakan muridnya Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 1209). Berdasarkan silsilah ini al-Kātibī al-Qazwīnī merupakan bagian dari tradisi Avicennisme Sunni yang dirintis oleh Rāzī.
2) al-Shifāʼ, al-Ilāhīyāt, wa-taʻlīqāt Ṣadr al-mutaʼallihīn ʻalayhā : maʻa zubdat al-ḥawāshī min Mīrdāmād, al-ʻAlawī, al-Khuwānsārī, al-Sabzawārī, al-Mullā Sulaymān, al-Mullā Awlīyāʼ wa-ghayrihim, oleh Ibn Sīnā dengan catatan Mullā Ṣadrā (w. 1640) dan penjelasan Mir Damād (w. 1631), muridnya Sayyid Aḥmad ʿAlawī (w. 1644), dkk. Buku ini penting untuk melacak bagaimana mazhab Isfahan menginterpretasi metafisika Ibn Sīnā.
3) Durrat al-Fakhīr, Nūr al-Dīn Abd al-Raḥmān Jāmī (w. 1492). Karya ini sangat unik: ditulis oleh penyair dan sufi Naqshbandiyya Persia terkenal, Jāmī, dan dikomisi oleh Sang Penahluk, Sultan dynasty Uthmāniyya, Muhammad II. Karya ini membandingkan pandangan para Sufi (mazhad Ibn ʿArabī), Mutkallimūn, para filosof tradisi Ibn Sīnā (Peripatetik) mengenai beberapa isu metafisika. Jāmī berkesimpulan bahwa pemikiran kaum Sufi lebih unggul daripada yang lain.
Selain ketiga karya diatas anda juga dapat mengunduh beberapa syarah (komentar) Fuṣūṣ al-Ḥikam Ibn ʿArabī yang terkenal; kitab murid muridnya Ibn Sīnā, al-Lawkarī; beberapa kitab teologi Syi'ah Dua Belas, seperti Shaykh al-Mufīd, al-Ṭūsī; karya etika Muʿtazila oleh al-Zamakhsharī, dll.
#mcgill university#institute of islamic studies#mulla sadra#ibn sina#fakhr al-din al-razi#mazhab isfahan#iran#ibn arabi#al-katibi al-qazwini#nasir al-din al-tusi#syi'ah#athir al-din al-abhari#unduh
5 notes
·
View notes
Text
Terjemahan Baru Fisika dan Metafisika al-Isharāt wa-l-Tanbīhāt Ibn Sīnā

Shams Inati telah menyelesaikan dan baru saja mempublikasikan terjemahannya terhadap kitab al-Isharāt wa-l-Tanbīhāt, buku 'ensiklopedik' terakhir yang ditulis oleh Ibn Sīnā dan yang mempunyai pengaruh paling besar pada tradisi pascaklasik karena banyaknya syarah yang dilakukan terhadap kitab ini oleh generasi penerus filsafat Avicenian. Terjemahan ini melengkapi terjemahannya terhadap Jilid I (Logika) dan Jilid IV (Taṣawwuf). Berdasarkan karya-karya yang lalu ini, kualitas terjemahan Inati sangat tinggi dan catatan kaki yang ia berikan biasanya sangat lengkap. Terjemahan ini adalah sumbangan yang luar biasa bagi penelitian filsafat Islam. Yang berikut adalah refrensi pustaka terjemahan kitab al-Isharāt oleh Shams Inati:
Remarks and Admonitions, Part One: Logic. Translated by S. Inati. Toronto: Pontifical Institute of Mediaeval Studies, 1984.
Remarks and Admonitions, Physics and Metaphysics. Translated by S. Inati. Columbia University Press, 2014.
Ibn Sīnā and Mysticism. Translated by S. Inati. London: Kegan Paul, 1996.
7 notes
·
View notes
Text
Rekonmendasi Buku Pustaka Rujukan Filsafat Islam I

Sesuai dengan argumen Nanang Tahqiq dalam artikelnya 'Kajian Pustaka Falsafat Islam di Indonesia,' Ilmu Ushuluddin 1 (2013), 509-532, salah satu faktor penting yang menghambat kemajuan pembelajaran dan pengajaran filsafat Islam adalah tidak adanya buku refrensi yang memadai yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Yang saat ini layak digunakan menurut Tahqiq hanya dua:
1) Nasr, Seyyed Hossein dan Oliver Leaman. Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2003.
2) Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam. Cet. 1. Jakarta: Pustaka Jaya, 1987. Buku ini diterjemahkan oleh Mulyadi Kartanegara. Adapun cetakan baru yang diterbitkan oleh Mizan, namun edisi ini menerbitkan sebagian dari naskah aslinya.
Meski kedua buku refrensi ini masih sangat berguna untuk tahap awal penelitian bagi mahasiswa S1, terdapat banyak kekurangan dalamnya: beberapa bab da artikel-artikel dalam kedua buku ini adalah hasil penelitian akademis yang sudah dianggap kadaluarsa dari segi metodologi dan koten. Artikel tentang Ibn Sīnā di Ensiklopedi Tematis misalnya, yang ditulis oleh Shams Inati, tidak bagus. Sedangkan Karya Majid Fakhry didasari pada anggapan umum pada tahun 60-an dan 70-an bahwa setelah masa Ibn Rushd, filsafat Islam mengalami kemunduran drastis, khususnya karena kritik al-Ghazālī terhadap kaum filosof. Ia juga cenderung tidak menerima taṣawwuf spekulatif sebagai filsafat.
Keunggulan Majid Fakhry adalah dalam pembahasan beliau tentang transmisi filsafat Yunani Hellenistik ke dalam peradaban Islam. Kualitas penelitian beliau juga lebih terjaga dari satu bab ke bab yang lain karena ditulis oleh satu penulis yang memang hebat kualitas penelitiannya.
Keunggulan Ensiklopedia Tematis adalah dalam historiografinya yang membahas perkembangan filsafat pascaklasik. Memang Nasr dan Leaman berjasa untuk mengafirmasikan bahwa setelah Ibn Rushd filsafat Islam bukannya mengalami kemunduran, melainkan mengalami perkembangan luar biasa, khususnya dalam integrasi antara taṣawwuf spekulatif dan filsafat Peripatetik.
Yang berikut adalah daftar sementara buku pustaka rujukan dalam bahasa Inggris yang mengandung penelitian mutakhir dari segi metodologi, historiografi dan konten. Akan saya terus update lis ini secara berkelanjutan. Saya fokus pada buku-buku refrensi, bukan monograf. Mungkin lis ini bisa membantu mahasiswa yang ingin melakukan penelitian dalam filsafat Islam.
Adamson. Peter and Richard C. Taylor, eds. The Cambridge Companion to Arabic Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press, 2005.
Davidson, Herbert Alan. Alfarabi, Avicenna, and Averroes on Intellect. Their Cosmologies, Theories of the Active Intellect, and Theories of Human Intellect. New York: Oxford University Press, 1992.
Dhanani. Al-Noor. The Physical Theory of Kalam: Atoms. Space and Void in Basrian Muʿtazili Cosmology. Leiden: E.J. Brill, 1994.
Frank, R.M. Beings and Their Attributes: The Teaching of the Basrian School of the M ’tazila in the Classical Period. Albany: State University of New York Press, 1978.
Gutas, Dimitri. Avicenna and the Aristotelian Tradition: Introduction to Reading Avicenna's Philosophical Works. Leiden: E. J. Brill, 1988.
McGinnis. Jon and David C. Reisman, trans. and eds. Classical Arabic Philosophy: An Anthology of Sources. Indianapolis and Cambridge: Hackett Publishing Co., 2007.
Reisman, David, ed. Before and After Avicenna: Proceedings of the First Conference of the Avicenna Study Group. Leiden: E. J. Brill. 2003.
8 notes
·
View notes
Text
Terjemahan Bahasa Inggris Kitāb al-Mashāʿir, Mullā Ṣadrā oleh Seyyed Hossein Nasr

Brigham Young Unviersity Press kembali menerbitkan sebuah terjemahan dan teks editan karya besar dalam tradisi filsafat Islam: kali ini Kitāb al-Mashāʿir-nya Mullā Ṣadrā. Buku ini mungkin adalah buku kedua paling penting setelah al-Asfār al-arbaʿa. Penerjemahnya adalah Seyyed Hossein Nasr, seorang peneliti yang sangat berpengaruh dan menentukan dalam sejarah kajian filsafat Islam di Barat dan di dunia Muslim. Editornya adalah Ibrahim Kalin, murid Prof. Nasr, yang merupakan spesialis dalam pemikiran Mullā Ṣadrā. Terjemahan ini adalah bagian dari Islamic Translation Series, yang telah menerbitkan beberapa karya-karya penting dalam tradisi klasik, seperti karya-karya Ibn Sīnā, al-Ghazālī, dan al-Suhrawardī. Ini pertama kalinya ada terjemahan kitab dari periode pos-klasik, khususnya masa Safavid. Sebenarnya sudah ada terjemahan kitab ini oleh Parwiz Morewedge, dengan judul Metaphysics of Mulla Sadra (New York, 1992). Namun mungkin kualitas editan dan terjemahan ini kurang baik sehingga Kalin dan Nasr merasa perlu melakukan terjemahan ulang. Pusat studi Mullā Ṣadrā di Indonesia adalah STFI Sadra di Jakarta Selatan. Koleksi kepustakaan institusi ini--khususnya dalam tradisi Ḥikma Mutaʿliyya--mungkin yang paling lengkap di Indonesia. Namun setahu saya mereka belum mendapatkan terbitan baru ini. (Saya adalah dosen-tidak-tetap di STFI).
Sedikit mengenai sosok Seyyed Hossein Nasr. Meskipun beliau mempunyai peran yang tidak bisa tergantikan dalam perkembangan kajian filsafat Islam di masa modern, interpretasi beliau mengenai tradisi Ibn Sīnā sudah banyak ditinggalkan peneliti di Barat. Masalah khususnya adalah mengenai status al-Ḥikma al-Mashrīqiyya (Filsafat Timur) yang konon adalah doktrin terakhir dan tersembunyi Ibn Sīnā yang mengantisipasi prinsip-prinsip Filsafat Cahaya Suhrawardī. Sumber utama dari interpretasi ini adalah gurunya Nasr dan seorang orientalis dan filosof Perancis Henry Corbin. Sayangnya tidak ada bukti tekstual apapun yang bisa mempertahankan argumen Nasr. Memang ada kitab al-Ḥikma al-Mashrīqiyya, namun sebagian besar kitab ini telah hilang dalam sejarah dan yang tersisa hanyalahbagian logikanya; namun dari segi konten bagian ini tidak ada bedanya dengan pembahasan logika di kitab Ibn Sīnā yang lain. Dimitri Gutas menulis beberapa artikel mengenai kontroversi ini dan dalam bukunya Avicenna and the Aristotelian Tradition beliau memberikan penolakan terhadap tesis Nasr yang menurut saya qaṭʿī (pasti). Meski demikian, kualitas penelitian Nasr pada pemikiran pasca-klasik dan taṣawwuf masih sangat bagus, karena dia lebih menguasai periode ini. Salah satu contohnya adalah terjemahan ini.
#mulla sadra#seyyed hossein nasr#terjemahan#al-hikma al-muta'aliyya#al-hikma al-mashriqiyya#STFI Sadra#dimitri gutas
3 notes
·
View notes
Text
Resensi Buku Ebrahim Moosa: Ghazālī and the Poetics of Imagination

Buku ini adalah buku pertama yang saya baca mengenai al-Ghazālī, dan karena umur saya dulu masih muda, saya sebenarnya tidak mengerti apa yang ditulis. Penulis buku ini, Ebrahim Moosa, mencoba untuk menarik relevansi kehidupan, kepribadian dan pemikiran al-Ghazālī untuk dunia modern. Untuk melakukan ini dia menggunakan perspektif hermeneutika dan beberapa pemikir posmodernis, seperti Foucault dan Derrida. Meski demikian, pemikiran al-Ghazālī tetap menjadi rujukan utama dan studi ini menggunakan studi sumber-sumber tekstual yang komprehensif dan teliti. Al-Ghazālī tidak 'digunakan' untuk membuat sebuah poin mengenai posmodernisme, melainkan posmodernisme digunakan untuk menerangi askpek-aspek menarik dan terlupakan dalam pemikirannya. Salah satu ide menarik dari buku ini adalah: fungsi atau warisan utama pemikiran al-Ghazālī bukanlah jawab-jawaban yang pasti yang ia berikan mengenai hubungan tasawwuf dan shariah atau filsafat dan kalam atau yang lahir dan yang batin, melainkan kemampuan dia untuk bergerak dan berkreasi dalam 'liminalitas,' yakni batasan-batasan konsepsual yang dianggap berlawanan dan baku tanpa harus menafikan 'fakta' bahwa batasan-batasan tersebut memang ada dan terkadang penting untuk dipertahankan. Bahwa al-Ghazālī digunakan sebagai inspirasi dalam menyikapi dunia modern bukan sesuatu yang baru, setidaknya oleh pemikir-pemikir Islam (dan Kristen) di Barat. Di Indonesia, sikap para cendikiawan masih terpengaruh oleh sikap para modernis yang menyalahkan pengaruh langsung atau tidak langsung al-Ghazālī dalam 'kemunduran' filsafat dan sains. Anggapan ideologis ini berimbas pada penelitian akademis filsafat Islam, dan hasilnya bisa dinyatakan sebagai sesuatu yang memalukan, karena para peneliti di Barat sudah meninggalkan asumsi ini sejak akhir tahun 70-an. Meski demikian saya amati sudah ada beberapa tulisan peneliti Indonesia yang mencoba merehabilitasi status al-Ghazālī dalam wacana modernisme dan sejarah filsafat Islam secara umum. Namun karena komunitas peneliti di Indonesia tidak mempunyai wadah yang tetap untuk mempublikasikan hasil penelitiannya, dan para peneliti pun tidak secara konsisten membaca jurnal internasional dan nasional yang beredar, tetap saja anggapan salah ini terus-menerus diulangi.
Yang berikut adalah resensi yang cukup komprehensif tentang buku ini. Mungkin buku Ebrahim Moosa ini perlu diterjemahkan ke bahasa Indonesia?
'The structure of the book itself is a circle with stages of liminality, a central theme. Mirroring Ghazālī’s own journey from doubt and self-reflection on method to the certainties of esoteric knowledge (through both Sufism and philosophy), Moosa takes us through a series of chapters from the ‘Agonistics of the Self’ through to the ‘Technologies of the Self’, culminating, once self-knowledge is no longer dubitable, in epistemic encounters with others. The result is far more than just an intellectual biography of Ghazālī for the present age. Moosa’s aim is to pursue ‘a line of thought about the aesthetics of imagining religion’ (p. 29). Moosa’s dialogue with Ghazālī is animated by the relationship between knowledge and subjectivity, exemplified in the notion and metaphor of the threshold (dihlīz), a liminal space that eschews medians in favour of violating antinomies.
The function of the introduction is to provide the contexts for this journey. Two of these are historically contingent: the intellectual culture of the Islamic Persianate world of the eleventh century, and Ghazālī’s own self-conception and criticism of self and others exemplified in his famous ‘confession’ al-Munqidh min al-ḍalāl. A further historical context is the impact of Ghazālī; as Moosa says, ‘a cursory survey will show that the Muslim tradition is saturated with Ghazālī’s traces’ (p. 12). It is significant that he writes ‘Muslim’ and not Sunni; traditionalists grudgingly conceded his scholarship and Shiʿi thinkers such as the Safavid duo of Mullā Ṣadrā (d. c. 1635) and his student Muḥsin Fayḍ-i Kāshānī (d. 1679) were indebted to his thought. Finally, three further contexts are deeply contemporary: the academic reception of Ghazālī beginning with Orientalist polemics that considered him to be a renegade and thoroughly confused and culminating with the debate on his relationship with philosophy; the contemporary Islam debate between neo-traditionalists such as Hamza Yusuf Hanson and Abdal Hakim Winter who champion him as an exemplar and Salafī excoriators who dismiss Ghazālī’s scholarship as ‘so many inauthentic and fabricated’ḥadīth; and the concern among contemporary Arab and Muslim thinkers for philosophy and the distaste for Ghazālī as the destroyer of the rational tradition. For Moosa, Ghazālī is all and none of these. The real task is to see how one can use him to do the imaginative and liminal work of tradition in a time of intellectual and cultural crisis. The present troubles are not the first to face Islamic civilization; Moosa seeks a genealogy of the past to help the present navigate an intellectual path with the critical assistance of a dialogue with Ghazālī.'
3 notes
·
View notes
Text
Seri Monograf Terbitan German mengenai Kalām pasca-Ibn Sīnā

Salah satu topik paling hangat dalam kajian filsafat Islam dewasa ini adalah interaksi antara tradisi Avicennian dan Kalām, baik Sunni dan Syi'ah. Pembedaan antara falsafa yang konon 'demonstratif' dan ilmu kalām yang konon 'dialektis' tidak lagi bisa dipertahankan apalagi jika kita menelusuri perkembangan pemikiran para mutakallimūn dari al-Juwaynī (w. 1085 M), al-Ghazālī (w. 1111 M), dan Fakhr al-Dīn al-Rāzī (w. 1209 M). Seri monograf ini mengangkat pemikiran para mutakallimūn yang melanjutkan dan juga melakukan kritik atas tradisi Ibn Sīnā. Salah satu perkembangan paing menarik adalah diangkatnya metode dialektika sebagai metode yang penting dalam kajian ilmu alam, bukan karena demonstrasi tidak bisa dilakukan tetapi karena--sejak kritik al-Ghazālī terhadap kaum filosof--tidak banyak argumen yang dapat dipertahankan secara demonstratif. Premis-premis yang dianggap pasti dapat diragukan kepastiannya dan hanya mempunyai kekuatan probabilitas. Kalau premis sebuah silogisme tidak universal, maka hasilnya adalah sebuah silogisme dialektis. Pelopor yang mengangkat keabsahan metode dialektis dalam kajian filsafat adalah Abū al-Barakāt al-Baghdādī (w. 1165 M) (meskipun bibitnya sudah tertanam di pemikiran al-Ghazālī). Pengikut Abū al-Barakāt, atau orang-orang yang dipengaruhi olehnya tidak lain dari Fakhr al-Dīn al-Rāzī dan Shihāb al-Dīn al-Suhrawardī (w. 1191 M).
Yang berikut adalah beberapa judul-judul menarik yang sudah diterbitkan oleh Seri ini:
Volume 1 - An Anonymous Commentary on Kitab al-Tadhkira by Ibn Mattawayh. Facsimile Edition of Mahdavi Codex 514 (6th/12th Century). Introduction and Indices by Sabine Schmidtke. Tehran 2006.
Volume 2 - Khulasat al-nazar. An Anonymous Imami-Mu’tazili Treatise (late 6th/12th or early 7th/13th century). Edited with an Introduction by Sabine Schmidtke and Hasan Ansari. Tehran: Iranian Institute of Philosophy & Institute of Islamic Studies, Free University of Berlin, 2006. (Series on Islamic Philosophy and Theology. Texts and Studies; 2) [English title page and introduction (PDF)]
Volume 3 - Rukn al-Din Ibn al-Malahimi al-Khwarazmi: Kitab al-Fa’iq fi usul al-din. Edited with an Introduction by Wilferd Madelung and Martin McDermott. Tehran 2007.[English title page and introduction (PDF)]
Volume 4 - Mahmud b. Ali b. Mahmud al-Himmasi al-Razi: Kashf al-ma’aqid fi sharh Qawa’id al-aqa’id. Facsimile Edition of MS Berlin, Wetzstein 1527. Introduction and Indices by Sabine Schmidtke. Tehran 2007.[English title page and introduction (PDF)]
Volume 5 - Shehaboddin Yahya Sohravardi: Loghat-e muran (The Dialogue of the Ants). Critical Edition with Notes and Introductions by Nasrollah Pourjavady. Tehran 2007.
Volume 6 - Critical Remarks by Najm al-Din al-Katibi on the Kitab al-Ma’alim by Fakhr al-Din al-Razi, together with the Commentaries by Sa’d b. Mansur Ibn Kammuna. Edited with an Introduction by Sabine Schmidtke and Reza Pourjavady. Tehran 2007.[English title page and introduction (PDF)]
Volume 7 - Rukn al-Dīn Ibn al-Malāḥimī al-Khwārazmī: Tuḥfat al-mutakallimīn fī l-radd ʿalā l-falāsifa. Edited with an Introduction by Hassan Ansari and Wilferd Madelung. Tehran 2008.[English title page and introduction (PDF)]
Volume 8 - Al-Kāshif (al-Jadīd fī l-ḥikma), by ʿIzz al-Dawla Ibn Kammūna (d. 683/1284). Edited with an Introduction by Hamed Naji Isfahani. Tehran 2008.
Volume 9 - Two Codices Containing Theological, Philosophical and Legal Writings by Ibn Abī Jumhūr al-Aḥsāʾī (d. after 906/1501): MSS Marwī 855 and 874. Persian Introduction and Indices by Ahmad Reza Rahimi Riseh. English Introduction by Sabine Schmidtke. Tehran 2008.
Volume 10 - Muḥammad b. ʿAlī b. Abī Jumhūr al-Aḥsāʾī (d. after 906/1501): Mujlī mirʾāt al-munjī fī l-kalām wa-l-ḥikmatayn wa-l-taṣawwuf. Lithograph edition by Aḥmad al-Shīrāzī (Tehran 1329/1911). Reprinted with an Introduction, Table of Contents, and Indices by Sabine Schmidtke. Tehran 2008.[English title page and introduction (PDF)]
Volume 11 - Abū ʿAbd ar-Raḥmān as-Sulamī: Collected Works on Early Sufism. Volume 3. Compiled and edited by Nasrollah Pourjavady and Mohammed Soori. Tehran 2009.[English title page and introduction (PDF)]
Volume 12 - Afdal al-Din al-Khunaji: Kashf al-asrar an ghawamid al-afkar. Introduced and edited by Khaled el-Rouayheb. Tehran 1389/2010.
3 notes
·
View notes
Text
Seminar di Inggris: Colloquium- Avicenna and Avicennisms
Kajian-kajian mutakhir mengenai hubungan para mutakallimūn dan faylsūf, khususnya tradisi Ibn Sīnā. Pada masa klasik, penerus tradisi Ibn Sīnā adalah tidak lain daripada para mutakallmūn Sunni dan Syi'ah. Topik-topik yang dibahas sangat menarik dan mungkin bisa memberikan arah penelitian di Indonesia juga. Sudah tidak bisa lagi kita anggap tradisi falsafa sebagai tradisi yang terpisah dan antagonistis dengan tradisi kalām. Seminar ini akan mulai minggu depan!
'In the Islamic tradition, Abu ʿAlī Ibn Sīnā or Avicenna [d. 1037] remains the paradigmatic philosopher whose modification of the Aristotelian system, to propose the first comprehensive Islamic philosophy, was to have a lasting impact in both the Islamic world and medieval Europe. Bringing together a range of Avicenna scholars from established names to younger, up-and-coming scholars, this colloquium will focus on the impact and reception of Avicenna in these two lines of influence—in scholasticism and in the Islamicate world. We will perpetuate the recent tendency of defining philosophy in the Islamic traditions broadly to include the tradition of philosophical theology or kalām.'
1 note
·
View note
Text
Kajian Perennialisme/Tradisionalisme di Indonesia

Salah satu trend yang sudah lama berkembang dalam studi filsafat Islam di Indonesia adalah kajian dari perspektif perennialis atau tradisionalis ala Frithjof Schuon dan para pengikutnya seperti Seyyed Hossein Nasr. Kelompok perennialis/tradisionalis mempunyai sejarah yang panjang dan menarik dalam perkembangan pemikiran Barat dan saat ini banyak peneliti di Amerika Serikat dan Inggris yang terpengaruh oleh pemikiran mereka, khususnya mereka yang mengkaji Ibn ʿArabī dan tradisi Ḥikma Mutaʿāliyya. Dari pengamatan saya banyak sekali sarjana Indonesia yang mengkaji perspektif pluralisme dan metafisika para peneliti ini tanpa mengetahui latar belakang historis mereka, tanpa juga sadar bahwa mereka tegolong dalam kelompok perennialis/tradisionalis. Situasi ini memang sangat menarik: setelah eksperimentasi modernisme Harun Nasution, para sarjana Muslim ingin kembali pada khazanah filsafat Islam untuk menjawab tantangan dunia modern tetapi (sadar atau tidak) melalui metodologi dan hasil karya orang-orang Barat yang mengangkat tradisi ini sebagai jawaban atas kritik mereka terhadap kehampaan spiritual dunia modern. Dalam kata lain, dari Timur ke Barat untuk kembali ke sebuah Timur yang 'murni'. Bagi yang tidak mengetahui latar belakang perennialisme/tradsionalisme, terkesan bagi mereka bahwa yang mereka lakukan adalah dari Timur ke Timur yang murni. Tetapi proses hermeneutika ini jauh lebih kompleks daripada itu. Siapapun yang melakukan studi filsafat Islam dengan pendekatan dan terminologi ala Seyyed Hossein Nasr menurut saya tidak terlepas dari proses ini. Sebagai contoh: konsepsi bahwa ada sebuah 'filsafat Islam' atau 'Timur' murni yang berbeda secara epistemolgis dan ontologis dari 'filsafat barat.' Kategori 'filsafat Islam' yang murni adalah sebuah konstruksi konsepsual dan ideologis yang terbentuk pertama kalinya oleh para sarjana yang merupakan bagian dari atau terpengaruh oleh tradisionalisme. Saya rekomendasikan buku karya Mark Sedgwick, Against the Modern World (Oxford University Press, 2004), jika anda ingin mengetahui latar belakang sejarah kaum perennialis/tradisionalis.
Kutipan tautan diatas:
'Schuon's "transcendent unity" is behind the emergence of the so-called "Inclusive Theology" that was proposed by "Cak Nur," Nurcholis Majid (1939-2005), and that has been encouraging the spread of religious pluralism in Indonesia. Cak Nur, who did his Ph.D. at the University of Chicago from 1978 to 1984, has had enormous influence on the development of liberal Islamic thought in Indonesia, and his name was even proposed as a presidential candidate in 2004. His Inclusive Theology asserts that Islam is but one way to approach God, because the way to God is very wide and diverse.(1) Religious discourse can thus be expressed through various forms, for example, in Hinduism as Sanatana Dharma, in Taoism as the Tao, and in Buddhism asDharma, all of which represent the primordial tradition, or al-din al-hanif in Islam. Al-din al-hanif, in Allah’s sight, is actually the attitude of resignation (islam) which is common to all religious believers, particularly followers of the scriptures, both Jewish and Christian.(2) All religions teach monotheism (tawhid) and the attitude of surrender (islam), and differ in their exoteric aspects (sharia), and not their esoteric aspect or batin.(3)'
#perennialisme#tradisionalisme#seyyed hossein nasr#frithjof schuon#Harun Nasution#cak nur#modernisme#neo-tradisionalisme#pluralisme
6 notes
·
View notes
Text
Mahakarya Dimitri Gutas: Ibn Sīnā dan tradisi Peripatetik

Mungkin buku ini adalah buku paling penting untuk dibaca sebelum melakukan kajian apapun mengenai Ibn Sīnā. Namun, karena filosof ini adalah filosof paling menentukan dalam sejarah filsafat Islam/Arab, maka wajib juga karya ini dibaca sebelum ada yang melakukan riset apapun mengenai tradisi filosofis ini. Mungkin terkesan berlebihan, namun ada justifikasinya: buku Dimitri Gutas ini 1) mengkaji perkembangan filsafat Ibn Sīnā dengan membahas latar belakang historis setiap teks yang ditulis oleh al-Shaykh al-Raʾīs, 2) melacak secara komprehensif sumber-sumber historis dalam tradisi Peripatetik-neoplatonis yang menentukan bagi doktrin-doktrin Avicennian dan metodologinya, 3) menerjemahkan pendahuluan yang ditulis oleh Ibn Sīnā sendiri di awal kitab-kitabnya, 4) menerjemahkan dan membahas informasi biografis dan otobiografis mengenai perkembangan karir filosofis, metodologis dan doktrinal dalam filsafat Ibn Sīnā, dan 5) melakukan kritik terhadap pendekatan studi filsafat Islam/Arab pada abad ke-20 yang salah tafsir dan ideologis dan/atau keliru secara metodologis. Buku ini adalah ilmu alat utama dalam kajian filsafat Islam.
Tautan diatas adalah informasi tentang edisi kedua yang mengandung banyak revisi dan informasi tambahan dari edisi pertamanya (diterbitkan 1988).
berikut adalah kutipan singkat tentang buku ini:
'Through close study of Avicenna's statements and major works, Dimitri Gutas traces Avicenna's own sense of his place in the Aristotelian tradition and the history of philosophy in Islam, and provides an introduction to reading his philosophical works by delineating the approach most consistent with Avicenna's intention and purpose in philosophy. The second edition of this foundational work, which has quickened fruitful research into the philosopher in the last quarter century, is completely revised and updated, and adds a new final chapter summarizing Avicenna's philosophical project. It is also enlarged with the addition of a new appendix which offers a critical inventory of Avicenna's authentic works, updating the work of Mahdavi (1954) with additional information on all manuscripts and important editions and translations. Its usefulness enhanced, the book provides primary orientation to Avicenna's philosophy and works and constitutes an indispensable research tool for their study.'
1 note
·
View note
Text
Kumpulan Artikel David King: Astronomi, Astrologi, dan Perkembangan Sains dalam Peradaban Islam

Resensi ini membahas kumpulan artikel-artikel David King, seorang peneliti terkenal yang spesialis pada sejarah astronomi dan astrologi di peradaban Islam pra-modern. Penulis resensi ini membahas karya David King dalam konteks dimana sampai sekarang pun banyak ilmuwan Barat dan Muslim yang masih berpandangan bahwa al-Ghazālī adalah penyebab (langsung atau tidak langsung, sadar atau tidak sadar) kemunduran Islam dalam sains dan filsafat. Contoh paling mutakhir adalah beberapa acara televisi dan ceramah Neil deGrasse Tyson--seorang astrophysicist Amerika Serikat yang terkenal--yang juga mengulang dongeng yang sama.
Berikut adalah kutipan dari resensi ini:
'Islam’s compatibility with science remains a prominent topic in public discourse. In a presentation on The Science Network, Neil DeGrasse Tyson pinpointed the career of the reformer Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 CE) as the point when and reason why science in Islamic societies began to decline. But in the past few decades, there has been a marked re-assessment of Ghazali’s career, culminating in Frank Griffel’s argument that Ghazali actually accepted versions of scientific causal explanations. And in the past several decades, a great deal of scholarship has appeared that has shown directly that Islam, whether before Ghazali’s lifetime or afterwards, was not at all inimical to science. The articles collected in this volume come from a scholar, David King, whose entire career has been devoted to showing the productive relationship between Islam and science.
Science in Islamic societies began and developed not in spite of Islam, but along with Islam. The general essay (“Islamic Astronomy”) in this volume helps show how the rise of Islamic astronomy was linked not to a passive “download” of information from ancient Greece, Persia, and India, but to how, by the rise of the Abbasid Caliphate in 750, interest in astronomy and astrology helped initiate the Translation Movement, an enterprise in which astronomical texts first from Sanskrit and Persian, and then from Greek, were translated into Arabic. Science served the nascent empire’s purposes, whether calendar calculations, determining prayer times, taxation, or political legitimacy. In addition, theQur’an contains plentiful references to the natural world, including the heavens, and discussions of the natural world played a role in Islamic thought, even before the Translation Movement.'
3 notes
·
View notes
Text
'Mistisisme' di Iran: dari Taṣawwuf hingga ʿIrfān

(Lukisan portret Sufi Niʿmatullāhī Mushtaq Ali Shah (w. 1794 M)
(Resensi ini membahas dissertasi yang ditulis oleh Ata Anzali (Rice Unviersity, 2012). Bagi yang tertarik dengan pemikiran Mulla Ṣadrā dan sejarah integrasi teori Sufi--khususnya Ibn ʿĀrabī--dalam pemikiran para filosof dan teolog Syi'ah, dissertasi ini menarik karena menulusuri proses bagaimana kosmologi dan hierarki walāya al-awliyyāʾ para Sufi diintegrasikan dengan pandangan imamiyya kaum Shi'ah--sebuah proses yang cukup kontroversial, meskipun sekarang, berkat usaha para pemikir Iran seperti Ayatullah Khomeini dan Allamah Ṭabāṭabāʾī, prinsip-prinsip taṣawwuf dewasa ini sudah menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari filsafat dan kurikulum tradisional. Dissertasi ini akan terbit dalam bentuk buku yang berjudul: Mysticism in Iran: The Safavid Roots of a Modern Concept. (South Carolina University Press, forthcoming) Berikut adalah kutipan dari resensi ini:
'This decline in the social prestige of sufism [following the establishment of the Safavid Dynasty] however, did not lead to a corresponding obsolescence of sufi theory, by this point inextricable from philosophy; but it did impel mystical philosophers and mystically-minded ulama to carefully distance themselves from its organized forms. This they did by transposing sufism onto a Shiʿi foundation, systematically replacing the sayings of Sunni sufi masters with hadiths of the Imams. (Indeed, this intense focus on Shiʿi hadith by the mystically-minded led to the association of sufi theory with the burgeoning Akhbari camp; mystical philosophers like Mullā Ṣadrā and his students wrote voluminous commentaries on Kulaynī’s al-Kāfī and the other major Shiʿi hadith compendiums as a matter of principle.) Crucially, they also began to replace terms like sufi and sufism with the more innocuous and less specific ʿārif and ʿirfān, such that the latter became definitive by the early 18th century. This deceptively simple terminological shift has gone unremarked until now; the generic term ʿirfān is habitually projected backward onto theoretical sufism as a whole with little regard for the specific intellectual and sociopolitical conditions of its emergence in Iran during the 17th and 18th centuries. By ignoring this context, we run the risk of fundamentally misunderstanding the nature of religiosity and spirituality in early modern and modern Iran.
So argues Ata Anzali in his dissertation, “Safavid Shiʿism, the Eclipse of Sufism and the Emergence of ʿIrfān,” which successfully retrieves this 17th-18th-century context. In doing so, it opens a key aspect of the still poorly understood early modern period to scholarly purview. (This study, not surprisingly, won last year’s prize for best dissertation in Iranian Studies from the Foundation for Iranian Studies.) Given the importance of Anzali’s work for our understanding of the intellectual, religious and sociopolitical history of early modern Iran, I will be unusually detailed in my summary of his findings as an aid to specialists and nonspecialists alike.'
3 notes
·
View notes