Tumgik
kataaba · 2 years
Text
Love u.. ❤️❤️❤️
ABATIMU
Tumblr media
Nak, ketahuilah begitu Bunda dan Abati sangat menyayangi dan melindungimu.
Di setiap perkembanganmu kami ucapkan syukur dan kami doakan Engkau selalu agar bertumbuh sebagaimana normal dan sempurna.
Bunda dan Abati pasrahkan seluruh penjagaanmu kepada yang Maha Menciptakanmu, kepada Allah yang telah menitipkanmu sebagai anugerah terindah.
Bunda mungkin merasakan sakit dan lemah yang terus bertambah. Tetapi Abatimu tak kalah kuatnya untuk mendukung kita. Abati siapkan lingkungan yang nyaman agar kita tidak kepanasan/kedinginan. Abati siap memindahkan minuman berliter-liter ke dalam wadah khusus untuk memastikan agar kita terhidrasi dengan baik. Abati kadang marah melihat kecerobohan Bunda menumpahkan air. Ia bukan marah tanpa sebab nak, hanya khawatir hal tsb membuat kita celaka. Abati pijat setiap malam bagian yang terasa pegal, tak sebentar kadang tapi Abati tak pernah mengeluh. Saat tiba tiba Bunda terbatuk tengah malam, Abati berlari mengambilkan minuman. Bunda juga ingat saat setelah berjalan atau berdiri terlalu lama, maka Abatimu pasti tak lupa mengoleskan minyak balur agar paginya Bunda tidak naik betis. Tak jarang saat naik betis Bunda berteriak dan Abatimu dalam keadaan tidurpun akan langsung bangun membantu.
Kadang Bunda tak sabar mendengar nasehatnya yang (menurut Bunda) overprotektif. Tapi di lain waktu Bunda sadar, ia hanya tidak ingin merasa gagal dalam menjaga kita. Bahkan kita dibolehkan tidur untuk beristirahat sepanjang waktu, tidak memasak pun tak apa. Abati adalah yang paling perhatian dan menjadi garda terdepan bagi kita, Nak. Saat jalan-jalan selalunya Bunda diingatkan, hati-hati, awas licin, tidak sedikit punggung Bunda dipijat. Dipastikannya tidak ada air mata yang jatuh di pipi Bunda, karena itu pasti akan membuatmu sedih juga. Bunda tidak minta hujan perhatian ini, tapi Bunda sangat bersyukur Allah menitipkannya untuk kita nak. Rezeki terbesar yang tak dapat digantikan dengan materi semahal apapun.
Saat sekarang ini, saat dimana kita berjuang berdua sebelum Bunda melahirkanmu. Bunda sangat merindukan Abati disisi Bunda. Begitupun Abati, katanya “Aba pengen disamping kamu selalu.” Tapi dengan perkataanya pula lah yang membuat Bunda semakin ikhlas, “Ga apa bentar kok, demi baby ya sayang.” Demi kamu, buah hati kami tak apa jarak kembali memisahkan asalkan Kau sehat dan selamat. Kami tak sabar bertemu denganmu, Nak.
Sayangi Abatimu dengan tulus ya, Nak. Ia mungkin tidak melahirkanmu, tetapi kehadirannya membuat Bunda mampu menghadapi hari-hari dengan penuh kasih sayang dan melahirkanmu dengan sehat selamat.
12 notes · View notes
kataaba · 3 years
Text
From laman biru tua, to buku nikah..
Kalaulah orang orang zaman dulu yang pandai memprediksi masa berceletuk, “bisa aja di masa depan orang orang bertemu jodohnya melalui sebuah benda. Tapi bukan sihir. Dimana melaluinya mereka dapat saling merasa cocok tanpa pernah bertemu langsung.” dan itu terjadi antara aku dan suami.
Tumblr media
Facebook?
Instagram?
Twitter?
No. Kami bertemu di Tumblr
Singkatnya kesukaan untuk menulislah membuat Allah pertemukan kami dengan cara yang tak biasa.
Kami tidak punya kuasa untuk mengatur ‘keteguhan di dada’, kecuali Allah.
Jadi kalau ada yang bertanya, “Kenapa bisa?”. Jawabanku, “Andai punya alasan yang ‘cantik’ untuk diberitahu. Tapi tak punya. Kecuali diberi keyakinan dan keajaiban dari Nya.’’
8 notes · View notes
kataaba · 3 years
Text
Tumblr media
1 note · View note
kataaba · 3 years
Text
Tumblr media
Mari samasama kita doakan, semesta kembali ceria..
5 notes · View notes
kataaba · 3 years
Text
Tumblr media
Semoga semesta segera membaik..
7 notes · View notes
kataaba · 3 years
Text
Tumblr media
Selalu bersyukur dengan apa yang kita punya, meski semua yang kita mau, belum bisa diraih.
3 notes · View notes
kataaba · 3 years
Text
Tumblr media
4 notes · View notes
kataaba · 6 years
Text
Kadang, hidup ini lucu.
Kita seringkali iri dengan kehidupan orang lain, tapi ada sebagian orang yang iri dengan kehidupan kita.
Bro, kita harus yakin kalau rezeki setiap orang itu berbeda begitu juga dengan masalah yang sedang dihadapi.
Karenanya, kita harus lebih bersyukur dengan apa yang Tuhan kasih. Meski tak sesuai apa yang kita inginkan, tapi percayalah itu yang terbaik.
21 notes · View notes
kataaba · 6 years
Text
Aku tanpamu bagai kopi tanpa gula
14 notes · View notes
kataaba · 6 years
Text
Sekali ini saja
Izinkan aku sekali lagi, untuk bandel. Karena tak menghiraukan nasehatmu. Bukannya aku berniat melawan, bukannya aku ingin durhaka, bukannya aku tak sayang padamu, Ibu.
Sekali saja, biarkan aku untuk Iri hati pada orang disekitarku. Engkau pernah bilang, jangan pernah iri dengan apa yang orang lain punya, karena itu akan buatmu tak bersyukur dengan nikmat Tuhan.
Tapi, bagaimana bisa aku tidak iri melihat mereka dengan bangga bercerita, share di media sosial tentang kegiatan mereka saat weekend bersama Ibunya, saat gajian mereka ajak Ibunya makan ditempat istimewa, membelanjakan gaji mereka untuk apa yang ibunya inginkan.
Ibu, aku tau harusnya aku lebih kuat. Seperti yang selalu Ibu bilang, “Lelaki itu harus kuat badannya dan juga hatinya. Kuat hati itu kuat jiwanya, kuat fisik adalah kuat raganya, kalau keduanya kuat maka ia akan jadi pribadi yang kuat dan baik akhlaknya.”
Aku iri Ibu, aku iri karena tak sempat merasakan moment itu bersamamu.
Aku iri. Maafkan aku ibu, dari anak lanangmu yang hatinya pagi ini begitu rapuh dilanda kerinduan.
I love u, Ibu 🤗😊
25 notes · View notes
kataaba · 6 years
Text
Setelah Kau Pergi, Pasar Seperti Tempat Terlarang Untuk Ku Pijak
Tidak terasa waktu bergulir tanpa memberi jeda padaku. Terus berjalan tanpa menoleh lagi kepada masa lalu yang sering kali meminta perhatian. Aku pun masih saja tidak ingin terlarut dalam pusaran kesedihan, tak ingin berkubang pada duka nestapa apalagi bermuram durja. Cukup sudah, waktu itu kabar datang membawa sebuah pesan yang jika bisa aku kembali untuk memutar waktu, aku memilih tidak ingin hal itu terjadi.           
Karena yang sudah pergi tidak akan kembali, karena ditiap pertemuan selalu ada perpisahan, karena bagaimana pun aku melakukan hal yang terbaik selalu saja ada takdir yang sudah digariskan dalam hidupku. Dan kini aku menuai kekecewaan yang masih bercokol dalam hatiku, tidak mau lepas dan terus mengakar, menghujam ke hati terdalam. Kenapa, kenapa di saat-saat terakhir aku tidak bisa mendampinginya? Kenapa di saat terakhir aku tidak bisa menggenggam tangannya? Kenapa di saat terakhirnya bukan aku yang dilihat? Kenapa di saat terakhirnya bukan aku yang disebut? Lalu kenapa, hingga saat ini kehilanganmu masih sangat tidak bisa kuterima? Apa benar aku ini tidak bisa merelakanmu atau semua itu hanya alasanku untuk membalut egoku yang kecewa? Entahlah, semua masih misteri dan aku tidak berniat menjadi Sherlock Holmes abad 21.
 Mataku panas, tiap kali memutar kembali kenangan tentangmu. Bahkan hatiku pun masih terasa nyeri tiap kembali menyelami kenangan tersebut, kenangan yang menjadi pelipur laraku dikala sangat merindukan sosokmu. Ya, tapi semua itu sia-sia bukan? Nyatanya aku hanya bisa membayangkan tanpa dapat menghadirkan wujudmu di hadapanku. Rindu, rindu dan sangat rindu, tapi apa daya jerit kerinduanku hanya dapat tertuang dalam alunan doa pengantar tidur abadimu. Pasar itu, yang tiap paginya selalu kita lalui bersama tidak lagi sama. Sepanjang jalannya selalu mengingatkanku dengan seluruh gelak tawa dan juga suaramu yang bergema dalam amygdalaku. Pasar itu bukan lagi tempat yang dapat membuatku tertawa. Kini aku pun memutuskan untuk berhenti mengunjungi pasar itu, karena aku ingin berhenti menangis bodoh di tengah riuh rendah para pengunjung yang sibuk memilih obral bh 30 ribu 2.
“Karena kenangan sejatinya tidak lenyap, dia berkumpul bersama kenangan lainnya menunggu untuk kembali diingat. Entah berapa lama waktu yang dibutuhkan.”
Cc : @catatanpemimpi @yuvenil​
14 notes · View notes
kataaba · 6 years
Text
Surat untuk Ibu
Bu, apa kabar? sebelum menulis banyak hal yang saya bingung harus memulainya dari mana, ijinkan saya sekali lagi untuk memanggilmu dengan sebutan “ibu” setelah sekian lama ini, yang selalu saya sebut diam-diam kepada Tuhan dalam seuntai kalimat bernama doa. Saya sebenernya jenis manusia pemalu, bu. Tapi sepertinya lebih tepat dikatakan bahwa saya ini cengeng, bagaimana tidak cengeng, untuk menuliskan surat ini saja saya menitihkan air mata. Lemah sekali ya bu anak lelakimu ini.
Saya bingung, bu, harus memulai dari mana ketika menulis surat ini. Tapi ada satu hal yang ingin sekali saya katakan kepada ibu, perihal terimakasih saya yang tak ukur jagadnya karena telah memperkenalkan saya ke dunia. Mungkin dulu, suara saya bukanlah suara yang indah untuk engkau dengar bu, betapa tidak. Saya menjerit luar biasa bising ketika engkau melahirkan saya, pertanda saya tumbuh sehat di dalam rahimmu yang hangat oleh cinta dan kasihmu. Kaki dan tangan saya menggeliat tak sabar, merasakan kelegaan dan angin sejuk menerpa tubuh telanjang yang kecil. Lalu seketika saya berhenti menggigil saat lenganmu yang halus dan hangat mendekap dan menyambut saya dengan senyuman terindah, mungkin ditambah dengan satu dua titik airmata.
Bu, saya selalu yakin Allah pasti menjagamu dengan baik (disana). Karena Ibu sudah berhasil menjaga saya, menjaga kami -adik dan bapak- juga dengan sangat baik. Bahkan sampai sekarang saya tau Ibu selalu menjaga kami, entah dengan cara apa dan bagaimana.
Teringat jelas bu, dulu sering kali dari mulut ini membantah setiap perkataanmu, bahkan nada yang tinggi terkadang secara spontan saya lontarkan padamu, padahal setiap nasihat dan perkataan itu semata-mata untuk kebaikan saya. Meski begitu tak pernah henti pula engkau memaafkan, tak pernah letih menasehati, menghawatirkan, dan mempedulikan. Mungkin karena cintamu yang besar ya bu sehingga mampu meredam amarah dan emosi yang kerap kali mendominasi. Maafkan saya ketika emosi ini tak dapat dikendalikan, saya masih terlalu muda bu, saat itu. Emosi saya masih naik turun. Ego saya masih tinggi. Saya masih labil. Tentu untuk menjadi sepertimu saya harus belajar lebih pandai lagi mengendalikan diri.
Ibu, bagaiman caranya untuk bisa meredam amarah dan emosi yang begitu hebatnya? Kau seperti lautan tenang, bahkan tak pernah saya lihat riaknya. Saya malu bu, saya bahkan bisa meledak hebat hanya karna hal kecil. Saya malu jika suatu saat nanti mempunyai anak lalu mereka melihat bagaimana dahsyatnya ledakan emosi saya. Apa yang mereka pikirkan? Saya takut mereka menganggap saya seorang monster, bu.
Ternyata bu, dewasa tak senikmat masakan buatanmu. Bu, rasanya saya ingin berhenti untuk tumbuh setiap hari. Saya kesulitan bernafas rasanya setiap kali saya tak mampu melewati hari dengan baik. Setiap kali saya lihat jarum jam pun, dada saya semakin berat. Pertanyaan saya semakin menggunung. Mampukah saya bertahan setiap hari? Sanggupkah saya lewati? Apa yang harus saya lakukan? Sulit sekali rasanya mengatasi hal secara dewasa. Rasanya saya gagal, bu. Gagal menjadi lelaki dewasa yang tangguh nan elegan di dunia yang semakin hingar bingar ini. Saya juga lelah menggantukan harapan setinggi langit seperti yang engkau ajarkan, bu.
Bu, dalam bola matamu bisa saya lihat ketegaran yang amat hebat. Bagaimana bisa engkau setegar itu, bu? Bagaimana senyum itu dapat begitu mudah terlukis diwajahmu? Dan ketegaran hatimu, bisakah engkau mengajarkan kepada saya? Jujur saja, saya tak setegar itu, bu. Kelak , saya ingin menjadi dewasa dengan ketegaran sehebat milikmu
Aaaahhhh maafkan saya bu jika terlalu banyak mengeluh. Saya jadi malu pada angka dua puluh yang tertera di identitas saya. Tapi ya gimana lagi bu, namanya juga manusia bisa nya cuman ngeluh, ngeluh, dan ngeluh aja. Apalagi engkau adalah bentuk kenyamanan yang sulit saya temukan gantinya, bu. Engkau adalah gambaran dari ketulusan yang tidak akan ada habisnya, perhatian yang tidak pernah berjeda dan terus mengalir bahkan hingga saya sudah berumur dewasa ini. Meski kehidupan dewasa saya tak engkau temani dan hari-hari saya serasa mati, tak sedikitpun saya merasa kehilangan sosok ibu. Saya hanya perlu menyimpan namamu dalam baris-baris doa selepas lima waktu saya, kemudian membawamu dalam setiap planning kehidupan dimasa depan saya. Saya pun mempercayainya bahwa ibu tidak pernah benar-benar pergi, hanya saja berubah bentuk menjadi ‘keyakinan’ dan ‘semangat’ didalam diri saya.
Menjalani hari-hari sendiri tanpa kau disisi ternyata tak mudah untuk saya lalui, bu. Terkadang saya harus bersusah payah mengusir sepi. Tak jarang saya menghabiskan malam dengan membayangkan ibu juga disini. Tak ada lagi ibu tempat saya berkeluh kesah. Tak ada lagi pangkuanmu tempat saya menumpahkan air mata saat ada masalah. Bahkan tak ada lagi pelukan hangat yang bisa saya rasakan yang membuat saya aman dari dunia yang kejam ini. Tapi tak apa kok bu, masih ada ada ayah yang mendampingi saya. Memang si, ayah tidak memberikan kenyamanan dan pelukan hangat seperti ibu. Tapi kau tau bu, hanya dengan melihat punggung ayah saja saya bisa mendapatkan suntikan kekuatan yang luar biasa. Ayah ternyata tak kalah hebatnya dengan ibu. Tak tau kenapa hanya dengan melihat punggunya seolah-olah ada energi ki yang amat begitu besar menyelimuti punggung beliau, lalu energi ki tersebut secara spontan menular ke diri saya sehingga saya mendapat impuls positif yang cukup besar. Apa mungkin ini kekuatan magis-nya ayah, bu?
Ooooya bu, saya minta tolong, nanti jika ibu bertemu atau secara tak sengaja berpapasan dengan Allah tolong sampaikan permohonan maaf saya yang sebesar-besarnya karna hingga saat ini belum bisa menjadi hamba yang baik dan taat. Dengan ibadah sering melalaikan, waktu sering terlenakan. Mengatakan sesuatu kebaikan, tapi tak melakukan. Pintar mengoreksi kesalahan orang lain, tapi lupa dengan kesalahan diri sendiri. Hobi pergi ke Coffee Shop dan membeli secangkir kopi dengan harga berpuluh-puluh ribu, namun berat hati memberi uang kepada anak kecil yang minta-minta. Bahkan tak jarang saya pura-pura tak melihatnya dan mengabaikan anak kecil yang meminta-minta. Tapi saja janji saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk memperbaiki semua itu. Jadi mohon bantu saya bu, tolong sampaikan kepada Allah untuk memberikan kesempatan kepada saya untuk berbenah dan memperbaiki diri menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Hampir lupa, saya masih punya satu permintaan lagi, bu. Tolong tanyakan kepada Allah perihal tulang rusuk saya yang hilang. Iya saya tau bu, semenjak kepergianmu sosok ayah menjadi sangat penting bagi kehidupan saya. Beliau mampu memberi kekuatan untuk menjalani kehidupan yang keras ini. Namun tak bisa dipungkiri juga bahwasannya saya sangat butuh ‘sosok’ yang mampu memberikan saya kenyamanan dan kelembutan seperti ibu.. Saya butuh sosok dia, bu. Saya butuh dia yang rasa cinta nya terhadap saya sebesar engkau, bu. Saya butuh dia yang siap memberikan pelukan panjang ketika saya lelah dengan dunia yang hingar bingar ini. Saya butuh dia yang mampu memotivasi saya lewat tutur kata nya yang lembut ketika saya kehilangan semangat. Saya butuh dia yang sanggup memberi kekuatan lewat senyum manisnya ketika saya merasa tak sanggup menghadapi semua ini. Sebenarnya perihal jodoh, saya tidak terlalu terburu-buru kok, bu. Hanya saja saya butuh sedikit clue agar saya lebih muda mencarinya seiring saya memperbaiki dan memantaskan diri. Tapi akan lebih muda lagi jika Allah mau memberitahu secara detail perihal jodoh saya, namanya, nomor Whatsapp-nya, pin BBM-nya, nomor hapenya, alamat rumahnya, ukuran bra-nya. Jadi saya tak perlu repot-repot mencarinya, tapi langsung mendatangi rumahnya, bertemu ayah dan ibunya lalu saya lamar anaknya. Tapi ibu tak perlu khawatir, sebab cintanya dia tak akan sebesar kasih sayang ibu kepada saya. Lalu, dia yang kelak akan jadi ‘jodohku’, ada untuk melengkapi saya bukan untuk menggantikan posisi ibu. Posisi ibu tetap menjadi nomor satu dihati saya, dan entah mengapa tidak ada satupun yang bisa menyamaimu dan menggantikan posisi ibu.
Bu, saya merindukanmu, tak ada cerita paling indah selain menceritakan kerinduan ini. Tetapi jujur, saya mungkin tak sanggup menggoreskannya menjadi untaian aksara indah. Bahkan saya bukan seorang penyair, pun pelantun puisi merdu. Memang sangat berat ketika terlalu merindukan belaian ibu, dengan memandang foto saja mungkin itu tidak cukup bagi saya. Ingin sekali rasanya setiap hari, setiap detik melihat wajah ibu, melihat lengkungan senyum ibu sebagai penawar letih saya seusai seharian kerja. Namun yang saya dapat, ibu tak berada disamping saya, ibu tak seatap lagi dengan saya. Lalu setiap tanggal 22 Desember teman-teman saya selalu berlomba-lomba untuk merayakan hari itu bersama ibunya. Hampir semua postingan socmed teman saya hari itu adalah tentang ibu, berfoto dengan ibunya, memberikan hadiah, dan hal indah lainnya.
Lalu saya apa??? Saya hanya bisa membuka galeri foto lama diponsel saya, saya pandangi foto ibu. Kemudian memilih foto mana yang bisa saya posting. Heii… Bu, saya mulai kesulitan memilihnya, karna ternyata stok foto bersamamu tak sebanyak yang saya kira. Bahkan saya takut karna memori saya mulai pudar menyimpan potret wajah tenangmu, bau aroma tubuhmu, senyum manismu, hangatnya pelukanmu, dan masakan khas buatanmu. Ya Allah salahkah saya iri kepada mereka? Ya Allah salahkah saya menginginkan ibu disini? Salahkan saya cemburu? Cemburu pada mereka yang bisa dengan bebas memeluk ibunya, mencium pipi ibunya, merasakan hangat pelukannya.
Mungkinkah kita bisa bertemu sekali waktu, bu? Banyak hal yang ingin saya ceritakan tentang kehidupan saya saat ini. Menceritakan bagaimana sulitnya menghadapi kejamnya hidup tanpamu. Menyampaikan gumpalan rindu yang menumpuk di relung hati saya. Melakukan hal yang belum sempat saya lakukan untukmu. Memberikan waktu saya untuk menemani dan menjagamu.
Ibu, ada milyaran maaf yang ingin saya utarakan dihadapanmu. Maafkan saya bu, sejengkalpun belum terbalas jasamu. Maaf untuk perilaku yang terkadang mengiris ulu hatimu. Maaf untuk jarak yang tak sengaja tercipta seiring umur saya bertambah. Maaf karna saya belum sempurna menghapus segala penat dan lelahmu. Serta maaf-maaf lain yang mungkin tidak akan cukup saya tulis dalam 1000 lembar kertas sekalipun.
Kini sudah tak dapat saya dengar lagi tawa renyah yang ibu miliki. Sudah tak dapat saya cium lagi aroma rempah-rempah racikan tangan ibu yang tertuang dalam sebuah masakan. Sudah tak dapat saya rasakan lagi perhatian yang tersirat disetiap omelanmu. Sudah tak dapat saya rasakan lagi hangat dan nyamannya pelukanmu. Tapi bu, kasihmu tertanam abadi di hati saya. Ciri khas perilakumu dalam memberi dan menunjukkan cinta dan kasih sayang tidak akan pernah mampu tergantikan. Ibu tetaplah ibu, wanita paling istimewa yang dianugerahkan Allah sebagai seseorang yang cintanya begitu amat besar kepada saya bahkan ketika saya belum dilahirkan kedunia ini.
Doa saya semoga Allah mebalas segala bentuk kasih sayang dan pengabdianmu seperti halnya ibu yang menghabiskan seumur hidup untuk menyayangi saya dan keluarga. Semoga Allah menempatkan ibu di tempat teristimewa. Senantiasa menjaga ibu dan suatu saat semoga Allah berkenan sekali lagi mengumpulkan kita di surga miliknya.
Saya harap ibu tetap mengawasi saya dari kejauhan sana. Merangkul saya dengan kehangatan cinta yang ibu kirim lewat pertanda. Menemui saya untuk berbincang panjang, bercerita dan tertawa lewat sebuah mimpi. Lalu kelak akan saya ceritakan pada cucu-cumumu bahwa malaikat sepertimu memang benar-benar ada. Dan di setiap pertemuan kita selanjutnya, saya pastikan saya tidak akan sungkan untuk bicara dan mengutarakan bahwa, ibu adalah wanita terhebat.
Cc : @catatanpemimpi & @yuvenil
478 notes · View notes
kataaba · 6 years
Text
Kehidupan Baru
Aku sering berebut peluk dengan si bungsu, sering memburu pelukannya kala aku sedang ingin manja, merasa menang ketika aku lebih dibela daripada si bungsu, merasa sangat bahagia ketika keinginanku didengarkan dan diwujudkan, merasa sangat lepas ketika dapat bercerita tentang banyak hal padanya, dan masih banyak hal lain yang sering aku lakukan dengannya.
Tapi, sekarang dia hanya bisa menjalani kehidupannya sendiri, segala hal yang sering aku lakukan perlahan menghilang, perasaan yang sering aku rasakan perlahan memudar. Beruntung dia masih bisa pulih walaupun tidak sepenuhnya. Aku terkadang meremehkannya, sering menganggapnya tidak mampu melakukan apa-apa padahal dia mampu. Seperti ada kehidupan baru sejak saat itu. Iya sejak separuh tubuhnya lumpuh dan kaku.
Jika dia harus pergi, aku adalah orang yang pipinya tak akan pernah kering karena berlaku tidak baik disisa umurnya, aku adalah orang yang biadab karena tidak menyayanginya dengan sepenuh hati disisa waktu hidupnya.
Dan
Dia itu Ibuku.
Cc @catatanpemimpi @yuvenil
12 notes · View notes
kataaba · 6 years
Text
Untuk Ibu, Rumah Yang Sebenar-benarnya Untuk Kepulanganku
“Selain Tuhan yang tidak pernah meninggalkanmu, ada satu seseorang yang doanya selalu membersamaimu; Ibu.” - Cc: @catatanpemimpi @yuvenil
Tumblr media
Aku menulis ini setelah Ibu beberapa hari pulang dari Rumah Sakit. Saat itu, ketika jam makan siang aku mendapat telegram pulang dari orang rumah, bahwa Ibu sedang sakit dan dibawa ke rumah sakit. Kabar itu sontak membuatku terkejut. Tanpa mengulur waktu aku langsung bergegas pulang, berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja tanpa ada hal buruk yang tidak kuinginkan. Jarak antara kotaku dan tempat Ibu tinggal cukup jauh, butuh waktu kurang lebih lima jam dengan menumpang Bus Antar Kota. Selama perjalanan pulang perasaan cemas tumpah ruah di dalam hati. Doa-doa kupanjatkan agar Ibu selalu baik-baik saja. Sesampainya aku pada Rumah Sakit tempat Ibu dirawat, aku melihat tubuh Ibu terbaring lemas dengan alat bantu pernafasan dan selang infus yang menjalar panjang. Hati dan pikiranku sontak kacau, ada banyak semoga yang kupanjatkan untuk Ibu kala itu. Aku menghampirinya. Ibu yang mengetahui kedatanganku hanya tersenyum. “Bagaimana dengan urusan kerjaan kamu, apa masih lancar?” suara Ibu lirih tersapu oleh suara pendingin ruangan. Dan aku hanya mengganggukan kepala dengan berurai air mata. Tak kupedulikan bahwa aku akan dikatakan sebagai laki-laki cengeng, aku menangis karena kasihan melihat kondisi Ibu saat itu. Sebab terakhir kali Ibu dibawa ke Rumah Sakit ketika aku kelas 5 SD, aku masih ingat betul itu. “Hey, tak apa… Ibu baik-baik saja.” bagaimana dia baik-baik saja, sedangkan tubuhnya terbaring lemas. Apanya yang baik-baik saja? Dua bulan yang lalu saat terakhir kali aku bertemu Ibu memang iya kondisinya masih baik-baik saja, tapi aku tahu betul, bahwa saat Ibu terbaring di Rumah Sakit, dia sedang menahan rasa sakit agar semuanya terlihat baik-baik saja, agar aku tak terlalu mencemaskannya. Di usiaku yang sudah hampir seperempat abad. Aku masih membutuhkan Ibu dan Ayah untuk menjadi saksi pernikahanku kelak. Aku masih butuh Ibu untuk menggendong anak dari istriku; cucu Ibu nanti. Aku masih membutuhkanmu, Bu. Tolong jangan sakit lagi seperti itu, jangan membuatku cemas lalu harus kusalahkan diriku sendiri. Maaf untuk kesalahan yang pernah kuperbuat. Maaf untuk kesibukan yang menyebabkanku tak memperhatikan kondisi dan kesehatanmu. Aku ingin membahagiakanmu, Bu. Di sisa umurku aku ingin lebih banyak untuk membersamaimu. Aku ingin selalu membahagiakanmu, sebab restumu adalah ridho Allah juga, sebab surgaku ada di bawah telapak kakimu. Terima kasih, Bu, terimakasih untuk kasih sayangmu. Dari kasih sayangmu telah membuatku menjadi salah satu dari anakmu yang mandiri. Terima kasih karena selalu menguatkanku dengan doa-doamu. Jangan sakit lagi, Bu, jangan sakit seperti itu lagi. Sebab sakit yang kau rasakan juga akan dirasa oleh anak-anakmu. Semoga Allah selalu melindungi Ibu, agar Ibu selalu merasakan pencapaian-pencapaian dari anak-anak Ibu. Terima kasih, karena telah mau membesarkanku. © Luka Kita | 21 November 2017
203 notes · View notes
kataaba · 6 years
Text
Waktu: Seperti Lubang Pelepasan
Tak ada gunanya berbohong kepadaku. Kau kelelahan. Aku tahu. Dan sekarang, aku akan menunjukkan padamu sesuatu yang menenangkan—juga menyenangkan, barangkali.
Pertama-tama, duduklah bersandar, nyamankan posisimu. Lalu, dengan jari telunjuk tangan kiri—atau jari mana pun sesukamu, tutuplah lubang hidung sebelah kirimu untuk kemudian bernapas melalui lubang hidung sebelah kanan. Dengan tempo lambat dan tenang, lakukan kegiatan itu selama lima menit. Atau dua menit kalau kau merasa tak sabar.
Setelah itu, kau boleh kembali bernapas dengan cara seperti biasa. Kau pun boleh menyadari sesuatu. Bahwa sekarang, kau merasa lebih lega, misalnya. Beban tubuhmu berkurang. Atau kau mendadak berubah menjadi melankolis. Apa pun. Dan, sudah kubilang, tak ada gunanya berbohong kepadaku.
Sekarang, mari kuajari kau satu hal. Nanti, setelah kaubaca apa yang kuterangkan, memejamlah. Karena kemungkinan besar, kau akan mendapati tubuhmu serasa melayang. Seperti saat menumpangi kendaraan yang melaju di sebuah turunan tajam. Seperti tidur di ayunan yang digerakkan dengan begitu lembut, penuh kasih sayang. Dan kau akan menyadari banyak hal. Tetapi, perlu kauingat; yang akan kaulihat dalam pemejamanmu bisa berbeda dengan apa yang kukatakan. Itu semua, kautahu, tergantung seberapa besar kau merasa nyaman. Dan untuk lebih mudahnya, tentukan sendiri berapa lama kau akan memejam. Bebaskan!
Pada pemejaman pertama, kau akan melihat dirimu kecil tengah berlarian sambil melengking-lengking, dengan mulut berlepotan makanan cair. Celana pendek dan singlet yang kaukenakan begitu kotor. Seperti anak setan. Di belakangmu, seorang perempuan yang memegang mangkuk plastik di tangan kiri dan sendok plastik di tangan kanan tengah duduk di beranda rumahmu sambil tersenyum melihat tingkahmu yang menurutmu dungu belaka. Perempuan itu lalu bangkit mendatangimu yang tengah melubangi tanah dengan jari telunjuk tangan kanan, entah apa maksudnya. Lihatlah, kau kecil begitu dungu, bukan?
Sesampainya di dekatmu, perempuan itu kembali menyuapimu. Ia merayu kau yang dungu untuk makan. Agar kau cepat tumbuh. Agar kau cepat besar dan pintar. Walaupun tanpa pernah tahu ada apa setelah kau besar, perempuan itu, kautahu, akan tetap menggelontorkan harapan dan kasih sayang untukmu yang terlampau banyak bergerak—bahkan menurutmu merepotkan. Sekarang memejamlah. Dan setelah kau membuka mata, ikuti saja apa yang kukatakan. Aku belum selesai.
Kau boleh tersenyum. Setelah menyadari bahwa dulu kau begitu dungu. Benar-benar dungu dan dalam arti yang sebenar-benarnya. Kau pun boleh senang lalu ketagihan.
Sekarang, kau akan memejam untuk kali kedua. Dan kau akan mendapati dirimu tengah mendusin pukul enam pagi oleh bunyi piring dan gelas dan sendok dan alat memasak yang berdentangan. “Bisa, tidak, tak usah berisik?!” gumammu. Sebetulnya, kau tahu kau punya banyak stok umpatan di dalam batok kepalamu. Tapi pagi itu, menggumam saja bagimu sudah cukup. Sementara kau mengumpulkan kembali nyawamu, seorang perempuan tengah mondar-mandir dari dapur ke ruang makan atau ruang tamu—ingatanmu mulai kabur. Tapi kau bisa melihat dengan jelas bahwa perempuan itu tengah sibuk-sibuknya menyiapkan makanan yang sebentar lagi berpindah tempat ke lambungmu setelah kau mandi lalu mengenakan seragam putih abu-abu. Kau tak betah dengan ingatan itu yang menurutmu monoton belaka. Di mana cuma ada kau yang bangun pagi, mengumpat oleh bunyi berdentangan, melesat keluar lalu terseok-seok pulang pada sore hari.
Kau kehausan, bukan? Minumlah. Aku tahu, kau menginginkan ketenangan. Dan, diam-diam, kau berharap menemukan ingatan yang menyenangkan. Bersabarlah, sebentar lagi urusan kita selesai dan kau bebas melakukan apa pun yang kaumau.
Pada pemejaman ketiga, kau cuma mendapati bayangan dirimu yang sekarang. Benar-benar dirimu sendiri yang tengah duduk bersandar dengan muka kuyu setelah dihajar kegiatanmu seharian. Tak ada lagi perempuan yang dua ingatan sebelumnya selalu berada di dekatmu. Tak ada lagi kau yang dungu dan betul-betul dungu—sampai-sampai tak tahu cara memanfaatkan waktu—yang berlarian atau mengumpat-umpat.
Keringat dingin mengucuri mukamu. Tenggorokanmu kering. Matamu panas, lalu berluncuran air dari kelopaknya. Kau mendadak berubah menjadi bintang drama religi yang klise: menyesali apa yang kauperbuat. Tapi aku tahu, kau paham betul bahwa waktu bekerja seperti halnya lubang pelepasan: apa saja yang telah ia lewatkan, tak mungkin dapat dikembalikan. Kau mungkin bisa menyangkalnya dengan menjabarkan hasil penelitian ilmu pengetahuan kalau sampah perut dapat dikonsumsi, kepadaku. Percuma. Aku tak butuh tahu.
Sekarang kau punya masalah yang mengganggu sampai menyentuh bagian terdalam dirimu. Dan menyangkalnya, kautahu, cuma akan menambah daftar pertanyaan apa yang harus kaulakukan. Biar kuberi tahu; yang dapat kaulakukan cuma mencari foto perempuan itu di galeri ponselmu. Aku tahu kau menyimpannya.
Maka tataplah ia lamat-lamat. Sampai puas. Lalu pejamkan matamu. Kau akan melihat kembali kau kecil, kau yang dungu, tengah menangis melengking-lengking dan di sisinya, seorang perempuan menoleh kepadamu sambil tersenyum.
Kau tahu kau merindukan senyum itu. Dan itulah masalahmu yang aku tahu, kau paham betul bagaimana cara mengatasinya.
Cc: @catatanpemimpi & @yuvenil
19 notes · View notes
kataaba · 7 years
Text
SEJAK MAMA PERGI
Sempatku berharap mama tak usah ada.
Mama seperti monster.
Tak ada kata bermain. Sepulang sekolah harus tidur siang. Jika melawan, sapu lidi melayang.
Mama seperti monster.
Tak ada jajan. Hemat pengeluaran. Simpan sisa uang di celengan.
Mama seperti monster.
Dia akan memukulku saat aku malas mandi. Tak jarang kupingku ditarik dan aku diseret, ditelanjangi kemudian dieksekusi.
Mama seperti monster.
Dia selalu memaksaku memakan buku sekolah yang tak ku mengerti maksudnya. Undang-undang ditetapkan, wajib belajar dari jam 7 sampai jam 9 malam diberlakukan.
Mama seperti monster.
Aku harus tidur sendiri. Aku dipaksa bisa tak harus ditemani.
Saat ada mama, semua terasa sangat menyebalkan. Hingga akhirnya dia pergi. Benar kata orang-orang, kau akan merasa sesuatu berharga saat kau sudah kehilangannya.
Sejak mama pergi, aku merasa seperti mati. Tidurku terasa lama sekali. Tak ada yang membangunkan, waktu berjalan begitu pelan.
Sejak mama pergi, aku merasa seperti anak yang kurang gizi. Tak ada semur ayam atau ikan. Setiap hari ku hanya bisa mengkonsumsi indomie yang sesekali dicampur nasi.
Sejak mama pergi, aku merasa kehilangan arah. Tak ada yang menasehati saat aku membuat ulah. Tak ada alarm sebelum aku berlaku salah.
Sejak mama pergi, aku merasa begitu hina. Sumpah serapah muncul dari mulut tetangga. “Bapakmu bakal ngasih mama muda,” kata mereka.
Sejak mama pergi, aku merasa terbuang. Tak ada artinya rumah. Tak ada tempat yang menenangkan untuk aku pulang.
Hingga akhirnya mama kembali pulang. Dia yang telah lama berjuang di negeri orang akhirnya kembali pulang dengan sejumlah uang. Harapannya, keluargaku bisa lebih sejahtera. Hutang dilunasi dan bisa membangun rumah sendiri.
Aku kembali menemukan tempat untuk pulang. Sosok yang aku rindukan sudah menjadikan rumah menjadi tempat yang sangat nyaman untuk aku pulang.  Meski tak sering ku sampaikan ungkapan sayang dengan sebuah pelukan atau ciuman, tapi tanpa ku jelaskan, dia sudah sadar bahwa aku tak bisa lagi hidup dalam kehilangan.
Hingga akhirnya mama tetap bertahan dalam kapal yang sedikit goyang.
CC : @catatanpemimpi @yuvenil
17 notes · View notes
kataaba · 7 years
Video
youtube
SUMPAH KAMI MASIH PEMUDA
Voice over :
@yuvenil
@anzhilara
@chachaicho
@celotehpanda
@ramen-jawa
@reireres
@katadevi
@nona-ka
@catatanpemimpi
Editor :
@artopoem
25 notes · View notes