kedualengan
kedualengan
zndayya
7 posts
mencari,memungut, menaruh, menata ide -ide yang berserakan.
Don't wanna be here? Send us removal request.
kedualengan · 4 years ago
Text
kenangan
waktu akan berlalu, engkaupun tumbuh dari masa kanak kanak, remaja, kemudian dewasa dan akhirnya menua. semua masa akan menyisakan kenangannya, dan ada dua hal yang pasti dari sebuah kenangan, yaitu: mengenang dan dikenang.
perihal mengenang setiap kita punya caranya sendiri, ada yang menjadikannya pelipur lara, pelengkap sebuah data, bumbu nostalgia ataupun sebuah ratapan kesedihan.
tapi perihal dikenang, tampaknya ada dua hal yang seharusnya kita perhitungkan dan persiapkan matang-matang, dua hal itu adalah tentang dikenal sebagai orang yang baik maupun buruk, itu semua adl hasil dari apa yang kita lakukan sekarang.
dan sebagai penutup, teriring sebuah harapan semoga diri ini menjadi orang yang dikenal baik oleh setiap yang pernah hadir di hidup ini, yang dekat maupun jauh, yang karib maupun asing, sekarang dan esok, bahkan oleh generasi yang mengenalku hanya lewat sebuah nama.
3 notes · View notes
kedualengan · 4 years ago
Text
Bualan Bujang
Belum lama ini, menjelang Ramadhan, untuk mengobati rasa rindu, saya memutuskan untuk menelpon salah satu sobat karib. Percakapanpun mengalir antar benua, terkadang menerjang sekat lampau dan terkadang menyikap kabut lusa, hingga pada titik beliau berkesah kondisi pasca berbadan dua. Sebegitukah rasa “rindu” mengalir. Sebatas ditinggal sang belahan jiwa akan sebuah hajat yang bahkan tidak melampaui lamanya menunggu adzan maghrib. Yah, entahlah, saya hanya bisa menerka-nerka kehidupan itu, hanya bisa mendengar dan memahami. Kata Dilan dalam novel tulisan Pidi Baiq “rindu itu berat biar aku saja...”, ups...nukilan jahiliyah saya keluar, tak apalah, apatah arti sebuah nukilan.
Dipenghujung sua, beliau memohon do’a akan keberkahan rumah tangga dan dzuriyat setelahnya. Ahhh.... dikau sobat, saya yang diperantauan ini, di salah satu tanah yang diberkahi ini, pada amal yang paling mulia ini, sungguh cermat kau memilih wasilat munajat. Tapi dirinya kubuat tercengang dikala si bujang hitam yang tak begitu tampan ini mengakiri kata : “Do’a-kan juga saya disini kawan, semoga anak saya lahir sebelum pulang ke indonesia”. Bagaimana bisa pria lajang yang  pernah diharap dalam do’a oleh seorang wanita tanah air di setiap  penghujung malamnya;  ini berucap demikian.
Bualan ini, saya tujukan kepadamu sobat yang masih bertanya-tanya akan makna kata tersebut. Dan untuk kalian para pembaca yang mungkin dapat memetik manfaat. Serta bagimu duhai “kasih” entah itu siapa disana; imma hadhorim, syamali maupun nusantara. Yang jelas gagasan ini terdesit pada suatu malam.
Yang saya lantangkan dihadapan para thullab terbaik dari syaikh Dr. Umar bin Haidarah al-Kastiri, dengan dihadiri beliau langsung dalam jalsah khataman kitab alfiyah zubad. Tatkala ditanya istifadah yang paling membekas. Spontan lisan ini terucap : “ kitab, adalah anak abadimu” kemudian saya menambahkan; “wahai syaikh, saya berharap suatu saat nanti dipertemukan dengan pendamping hidup yang mampu melahirkan 3 kategori anak : anak biologi, anak ideologi dan anak abadi”. Seketika itu mereka serempak mengamini, mengijabahi. Ya Allahummastajib ...... berikut penjelasannya :
Anak biologi.
_______ Hakekat anak adalah anak biologis. Meskipun kategori-kategori lain lebih baik, tetap saja, seorang anak darah daging adalah dambaan setiap Bani adam. Karena anak yang sholeh adalah aset akherat berharga. Darinya orang tua mendapatkan do’a mengalir setelah bermayam di pusara (Muslim. 3084), darinya orang tua dapat dientaskan dari neraka melalui syafa’at (Ahmad. 23433, Muslim. 4766), darinya orang tua dapat dipakaikan mahkota dan baju keagungan (al-Hakim, Abu Dawud. 1241), pula orang tua dapat mendudukkan anak-anaknya selaras derajat di akherat kelak (ar-Ra’d : 23). Maka dari itu, tidak ada kata “mantan” bagi hubungan bapak-anak. Saling berkasih sayang, berbangga diri, berpihak apapun keadaanya, dan saling mewarisi tabiat. Wajar saja demikian, karena dijadikan kecintaan terhadap anak sebagai tabiat manusia (Ali Imran : 14) dijadikan sebagai penyejuk mata bagi orang tua (Al-Furqon : 74) serta merupakan bunga rampai kehidupan dunia (Al-Kahfi : 46).
Bahkan, diantara tujuan utama pernikahan juga berkaitan dengan dzuriyat. Menjaga kemurnian anak biologis agar selaras dalam keyakinan, keturunan dan ketaatan. Maka dari itu Nabi Ibrahim tatkala menitipkan istri dan anaknya di lembah gersang Makkah, beliau senantiasa berdo’a agar keturunannya dijauhkan dari keyakinan yang menyimpang (Ibrahim : 35).
Menakjubkan, Dr. Musthofa Bugho menulis dalam kitabnya “Fikih Manhaji”, karena sebab anak biologis, dibolehkan bagi suami menduakan istri dengan akad yang sah. Sang kekasih hati Nabi agung Ibrahim; Sarah, memberikan kita sebuah suri tauladan, merelakan Suaminya mempersunting Hajar untuk mendapatkan dzuriyah sholihah. Buahnya, ia justru dikaruniai Nabi Ishaq di usianya yang terlampau 1 abad.
Dari sinilah Rasulullah memilahkan kita para pemuda agar mencari para wanita-wanita yang penyayang lagi pemberi keturunan (Abu Dawud : 1754). Tidak berhenti di situ, beliau juga menganjurkan pesona agama dibanding lain (Bukhori : 4700). Sebab,  istri adalah pendamping hidup serta pendidik bagi anak-anak biologis kita. Hafidz Ibrahim pernah bergurindam :
الأم مدرسة إذا اعددتها..... أعددت شعبا طيب الأعراق
Seorang ibu adalah madrasah, jika engkau persiapkan (dengan baik) ....
Sejatinya, kau telah siapkan bangsa yang baik sejak dini ...
Saya sendiri belajar banyak melalui kitab tulisan syaikh Musthofa bin Hasani as-Siba’, yang mana, ia juga belajar langsung dari eksperimen kehidupan, (هكذا علمتني الحياة) “beginilah hidup mengajariku”. dalam salah satu fragmen tulisannya tersebut, seolah membisikkan saya. Berhati-hatilah dalam memilih (calon) ibu karena :
“Rendahnya akal ibu menumbuhkan anak yang teledor, rendahnya agama menumbuhkan anak yang fasiq, rendahnya amanah menumbuhkan anak yang berkhianat, rendahnya kecantikannya menumbuhkan anak yang sholeh. jika dalam seorang ibu itu terkumpul agama, akal dan keindahan maka akan menumbuhkan tokoh besar. Saya kira karakter tersebut tidak ada kecuali pada hurr iin (bidadari).” He..he..he.
Ah, apa iya, saya harus bersabar membujang hanya untuk mendapatkan wanita sempurna (bidadari). Hmmm. Saya rasa tidak. Tapi sekali lagi saya terhentak dengan segmen lain kitab. Beliau berliteral :
“Setiap yang dibangun oleh ayah yang cerdik dalam pendidikan selama bertahun-tahun, dapat dengan mudah diruntuhkan oleh ibu dalam beberapa hari.” Apa maknanya, saya kurang paham, sekali lagi saya hanya bisa menerka.
Jadi, mau tidak mau harus tetap memilih diantara sekian wanita yang tidak sempurna itu; memilah sesuai petunjuk Rasulullah. Agar mampu melahirkan anak-anak biologis yang sejalan dengan ayahnya. Karena “Buah tidak akan jatuh, jauh dari pohonnya”.
Terkadang saya juga tergeleng-geleng mentela’ah beberapa sirah para tokoh. Betapa membuat saya membenarkan peribahasa diatas. Bagaimana tidak, dahulu banyak didapati silsilah bapak-anak dengan kesamaan keunggulan. Muhammad bin Abdurrahman bin Abu Bakar bin Abu Qohafah; empat keturunan yang menjadi sahabat Rasulullah. Ismail bin Hammad bin Abu Hanifah; kakek, ayah, anak yang tersohor sebagai Imam fikih. Bilal (qodhi Bashroh) bin Abu Burdah (qodhi Kufah) bin ABu Musa (qodhi Qodhi amm Umar bin khotob); yang ketiganya saling mewarisi keahlian qadha’. Said bin Abdurrahman bin Hassan bin Tsabit bin Mundzir bin Haram; tujuah turunan berdarah sya’ir. Dan yang paling terkenal adalah Muntashir bin Mutawakil bin Mu'tashim bin Rasyid bin Mahdi bin Manshur; 6 pewaris tahta dari Sang Ayah.
Mau saya jadikan apa anak-anak saya kedepan, itu tergantung siapa saya dan bagaimanakah saya nantinya. Ini juga berlaku dengan kaliau wahai para bujang senasib. Oleh karenanya, pantaskan diri, tentukan visi dan pilihlah dengan teliti.
Anak ideologi.
_________ Bukan dihubungkan dengan nasab, bukan pula dihubungkan dengan darah daging. Anak-anak ideologis adalah anak hasil didikan kita, menerima pengaruh positif dari kita dan memberikan manfaat kepada orang lain. Mereka tak terikat dengan waktu, tak terpaut dengan jumlah tertentu, bahkan sebagian tak ternilai pahalanya di timbangan amal. Bilamana anak kandung kita  tak selalunya menurut, mendo’akan, serta terbatas. Bilamana buku-buku kita tak selamanya dibaca. Anak ideologislah yang selalu berdiri membela, menolong, menegarkan langkah kita. Selalunya berqudwah dengan kita, menerima nasehat, arahan dan saran dari kita serta menyebarkan ilmu-ilmu kita, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Yusuf terhadap Imam Abu Hanifah.
Banyak-banyak istilah untuk menyebut eksistensi seorang ayah ideologis; seperti kyai, guru, tokoh masyarakat, para pendiri dan pendahulu. Tapi saya lebih mempopulerkan istilah yang digaungkan oleh Bakr bin Abdullah bu Zaid dalam kitabnya Hilyah tholibul ilmi. Beliau menyebut mereka sebagai “bapak ideologis” dan “bapak spiritual”. Inilah salah satu jariyah amal bagi kita yang tak akan terputus “ilmu yang bermanfaat”, cobalah lihat kembali nukilan sabda Nabi dari Abu Hurairah dibeberapa kitab hadits seperti Muslim (3084), Abu Dawud (2494), tirmidzi (1297), nasai (3591), Ahmad (8489), Darimi (558).
Salah satu sarana utama menjadi “bapak ideologi” adalah belajar dan mengajar langsung, antara guru dan murid, kyai dan santri, syaikh dan tholib. Statement ini bukan dari saya, saya hanyalah menukil dari bapak sejarah dan peradaban dunia Ibn Kholdun al-Hadromi al-Yamani dalam kitabnya yang fenomental “tarikh”. Beliau mengungkap : “manusia mendapatkan ilmu pengetahuan, akhlaq, dan apa yang menghiasi diri mereka dari madzhab dan fadhilah; baik melalui belajar, mengajar, ilqa’, hikayat dan talqin mubasyir. Tapi capaian kemampuan melalui mubasyarah (tatap muka langsung) dan talqin (dikte) lebih kuat mengakar dan paten. Maka semakin banyak kadar syaikh seseorang semakin kuat pula kemampuan dan kepatenannya.”
Bahkan dahulu para pendahulu sangat membenci “Tasyyikh shohifah” yakni mendudukan buku pada kedudukan syaikh dan ustadz, “mereka berkata : mulanya ilmu itu ada di dada-dada para rijal (ulama’) kemudian berpindah ke buku-buku, jadilah kunci ilmu ada pada rijal, inilah yang menuntut mendapatkannya dari para rijal” demikianlah arahan langsung Imam Syathibi dalam Muwafaqotnya.
Maka tak heran sahabat agung Ibn Mas’ud menyebutkan bahwa manusia berhutang besar pada 3 golongan, salah satunya adalah “guru yang mengajari anak-anak mereka dan mengambil darinya imbalan, kalaulah bukan karena mereka niscaya manusia akan buta”. Inilah sebabnya seorang guru memiliki kedudukan spesisal di hati para murid. Tak tergantikan oleh siapapun. Yah, meskipun bersifat temporal terpaut berbilang generasi, tapi tetap pengaruhnya sangatlah luar biasa.
Saya sendiri iri dengan Abi, sosok yang tak begitu ku kenal di rumah, namun begitu harum diluar. Menjadi bapak biologis bagi 8 anaknya namun juga metafora akan bapak ideologis bagi banyak orang. Sederhana saja kiprahnya, merintis pondok bersama kawannya di ujung desa “sedayulawas”. Mengajar dan berdakwah. Saya iri karena di hari tutup usianya, bunga itu telah menjadi buah, begitu banyak manusia yang melawat. Jalanan penuh sesak, di masjid orang-orang bergantian mensholatkan, kata belasungkawa dan do’a tak henti-hentinya mengalir. Saya bertanya-tanya “Apakah kiprah yang telah engkau lakukan wahai abi, sehingga membuat mereka rela hadir meski dipautkan kota”. Ya Allah jadikanlah saya menapaki jejak beliau dan menjadi salah satu buah diantara ribuah buah itu. (لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ...Bukhori. 71).
Anak abadi.
_________ Istilah anak abadi merupakan istilah masyhur yang dipopulerkan oleh Imam Ibn Jauzi dalam kitab Shoid khotir-nya. Dan yang dimaksud dari anak abadi adalah karya tulis. Beliau berucap : “Tashnif alim waladuhu mukhollad”. (قَدْ مَاتَ قَوْمٌ وَهُمْ فِي النَّاسِ أحياءُ) sebagian kaum telah meniggal namun di hati manusia, mereka tetap hidup”.
Setiap orang akan ada dua pilihan setelah kematiaannya, baik itu dilupa ataupun dikenang. Dikenangpun karena apa. Apakah karena budi luhur, seperti beberapa tokoh yang bahkan dijadikan matsal oleh bangsa arab. Seperti sedermawan Hathim ath-Tha’i, secerdik Iyyas bin Mu’awiyah, dan sejujur Abu Dzar al-Ghifari. Atau kerena perangai buruknya, semisal; sebodoh Habnaqoh dan sedusta Musailamah al-Hanafi.
Demikianlah para ulama’ memilih dikenang karena ilmu. Betapa banyak ulama’ yang tidak semasa dengan kita namun seolah dekat di hati, seakan hidup bersama. Karena sebab karya-karya mereka yang kekal hingga kini. Sebut saja mitsal Imam Suyuthi dengan usia rata-rata manusia biasa (60 tahun-1445-1505 M) beliau mampu menorehkan 600 kitab di beberapa disiplin ilmu. (ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ).
Kembali ke Imam Ibn Jauzi. Beliau memiliki ungkapan menarik tentang menulis, disebutkan : "saya memandang diantara pemikiran yang cemerlang, bahwa manfaat menulis lebih banyak dari pada mengajar langsung; karena saya mengajar langsung  seumur hidupku beberapa murid saja, tapi saya mengajar “melalui tulisanku” banyak kalangan yang tak terhingga nantinya, buktinya intifa’ manusia dari karya-karya mutaqoddimin lebih banyak dibanding istifadah dari masyayikh mereka.”
Lantas tunggu apa lagi wahai para kyai, tuanguru, ustadz, mua’llim. Mari sisihkan waktu untuk menorehkan sedikit kenangan untuk generasi mendatang. Saya juga merasa terheran-heran dengan beberapa alumnus-alumnus timur tengah. Kredibelitas mereka dalam keilmuan dan ilqo’ melangit tinggi tak tertandingi. Tapi dalam aspek literasi, seakan mereka awwam. Padahal saya tahu benar, 2 tahun setengah saya hidup di Yaman, banyak mendapati banyak masyayikh yang produktif menulis buku dan berkelas. “afala yata’atsaru bi masyayikhihim”.
Apakah mereka mengikuti madzhab Imam Ibn Jauzi yang menyarankan menulis di usia 40 tahun. setelah dirasa cukup menuntut ilmu dan menghafal sehingga membentuk cawan ilmu dalam berfikir. jika lemah maka memulai di usia 50 atau bahkan 60. kemudian setelah 60 tahun belajar lagi, mendengar hadits dan ilmu, menyedikitkan menulis hingga umur 70, jika telah lebih dari 70 kemudian fokus pada mengingat akhirat, mempersiapkan bekal, sekedar mengajar yang dibutuhkan atau tulisan yang dihajatkan, fokosnya harus pada tazkiyyah jiwa, intropeksi semua ketergelinciran, dan apa yang telah dikerjakan”. Wallahu a’lam.
Benar, tapi itu dalam ranah tulisan khazanah keislaman yang dapat diwariskan. Tipe tulisan ini tidaklah sembarangan ditorehkan. memerlukan keikhlasan dan kualitas ilmu yang tinggi. Sekali lagi Ibn Jauzi mengarahkan kita; “tujuan dari menulis itu bukan hanya mengumpulkan data sedemikian rupa, tapi tulisan adalah rahasia yang Allah tampakkan kepada hambanya yang dikehendaki, sehingga membantunya dalam analisa, mengumpulkan apa yang tercecer, menata apa yang tecerai, menjelaskan apa yang diremehkan, inilah tulisan yang bermanfaat.” Oleh karena itu saya memilki semboyan “Tulisan tanda kecerdasan”. Orang cerdas belum tentu bisa menulis, tapi penulis pastilah ia cerdas.
Sekali lagi, kawan-kawan thullab ilmi, masih banyak ranah tulisan yang mudah dikerjakan dan dibutuhkan segera oleh umat. Seperti tulisan-tulisan dakwah, tema-tema musiman yang berulang setiap tahun atau tulisan-tulisan kritikal kepada para penyebar syubhat. Kalaulah bukan kalian, siapa lagi.
➖➖➖➖➖➖➖➖ Terlebih lagi bilamana kita diberi pendamping yang seprofesi. Saling berkolaborasi dan berimprovisasi dalam melahirkan anak-anak biologi, ideologi dan abadi. Kita butuh sebuah rahim yang baik untuk melahirkan anak biologis, kita butuh pendamping yang setia untuk bisa menegarkan anak ideologis, dan kita butuh rival sejalan untuk bisa mendampingi lahirnya anak abadi.
➖➖➖➖➖➖➖➖ 🖱️Oleh : Katakita Haqilana.
🪙1 syawal, Mukalla - Hadromaut - Yaman.
📲Untukmu wahai para “G”udangan.
0 notes
kedualengan · 4 years ago
Text
"Ada yang sedang berusaha bersembunyi di tengah keramaian. Menjadi yang paling tak terlihat apa-apa di antara orang banyak. Menjadi yang paling rahasia di antara hamba-hamba Allah."
@terusberanjak
520 notes · View notes
kedualengan · 4 years ago
Photo
Tumblr media
Tidak ada yang bisa kau sombongkan atas semua pencapaianmu hari ini. kalaulah bukan karena taufik dan pertolonganNya kamu tidak ada di posisi ini.
0 notes
kedualengan · 4 years ago
Quote
tersadar sudah lama sekali tidak mengulang pinta untuk ingin yang istimewa di langit doa. Ingat, kamu tak punya apa apa dan tidak bisa apa-apa, lalu pertolongan siapa yang kamu harapkan, jika hanya menengadahkan tangan saja merasa enggan.
0 notes
kedualengan · 4 years ago
Text
Khawatirmu Tentang Masa Depan
@edgarhamas
Jujur saja, sebenarnya apa hal yang lebih membuatmu khawatir dibanding ketakutanmu pada masa depan?
Itulah yang membuat manusia yang kamu lihat —dan barangkali kita sendiri— belajar mati-matian demi ijazah, katanya agar di ‘hari depan’ diterima di universitas ternama. Sibuk kuliah dan ingin cepat lulus, demi ‘masa depan’ yang cerah di perusahaan besar. Kerja lembur bagai kuda dengan misi menciptakan ‘masa depan’ karir yang gemilang.
Kekhawatiran kita akan masa depan itu seperti kita berlari mengejar bayang-bayang kita sendiri. Tak pernah berakhir, dan selalu membuat hati gelisah. Menghidupkan hari ini demi esok hari. Sebuah cara hidup paling menyiksa yang pernah ada. Dibayang-bayangi esok akan jadi apa dan akan makan apa. Cara pandang seperti itulah yang melahirkan hamba dunia.
Untungnya, kita punya iman. Dengan iman, kita seperti punya obor yang menuntun kita menyusuri hari-hari ke depan yang gelap temaram. Iman membuat kita tahu bahwa selalu ada jalan bagi mereka yang yakin bahwa segala sesuatu —rizki, cinta dan pencapaian hidup— ada di tangan Allah. Maka mereka tenang, namun tak juga berpaku tangan. Mereka tenteram, tapi justru berkarya makin melesat!
Perkara rezeki dan karunia di esok hari, Allah bilang padamu dengan terang, “Kamilah yang membagi-bagi penghidupan mereka dalam kehidupan dunia” (Az Zukhruf 32) Semua sudah ada jatahnya, sudah ada pembagian seadil-adilnya.
Allah tak pinta kita untuk sibuk menghabiskan waktu demi karir. Justru Allah ingin karir kita hidup untuk menyelamatkan waktu kita yang sempit ini; menghidupkannya menjadi ibadah yang bernilai berat di timbangan akhirat.
Bahkan sejatinya, kerja kita, belajar kita, kegiatan kita, koneksi yang kita bangun, relasi yang kita kumpulkan; hakikatnya bukan untuk mencari penghidupan, tapi untuk bersyukur pada Allah. Unik kan? Kerja bukan demi rezeki, tapi sebagai tanda syukur.
Tapi memang begitulah aslinya. Dan itulah yang Allah ajarkan pada Nabi Daud dan keluarganya, “Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur kepada Allah. Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Saba’ 13)
Dan kamu pasti tahu, keluarga Nabi Daud justru menjadi keluarga paling kaya sepanjang sejarah manusia. Ia menjadi raja dan anaknya menjadi raja. Bukan sembarang raja.
Yang kamu khawatirkan tentang masa depanmu, sudah Allah cover.
Bersyukurlah dengan menjalani hidup yang bermanfaat bagi dakwah dan umat, itulah cara kita mencover waktu menjadi bulir-bulir pahala yang berat di timbangan amal.
3K notes · View notes
kedualengan · 4 years ago
Quote
Hanya ingin memulai
1 note · View note