Merawat ingatan melalui kata, meski kata-kata tak menjamin rasa I
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text

Hari-hari ini penuh dengan sesak dan ketakutan dimana-mana. Perihal pandemi belum reda, berita pesawat yang jatuh seakan menambah remuk hati manusia. Jatuh dan seketika meninggal. Meninggal tanpa ucapan perpisahan. Hari-hari semakin suram. Mencekam. Sebagai manusia muslim, aku diajarkan untuk percaya perihal hal-hal yang di luar batas akal manusia. Misal, sekalipun pesawat adalah kendaraan paling aman dan bebas hambatan karena tak ada macet. Bukan berarti tanpa resiko. Ada kejadian-kejadian yang memang sudah diatur Rabb. Manusia tinggal mempercayainya. Kejadian-kejadian yang akhir-akhir ini terjadi meski menyesakan, tetapi bisa jadi ini teguran. Agar manusia lebih bersyukur dan lebih _saminah waatonah (kami dengar dan kami taat). Pahami lirik ini coba.
Dua mata saya, hidung saya satu, dua telinga saya. Mulut saya satu, tidak berhenti makan_
Lagu kanak-kanak yang sangat familiar bukan? Bersyukur sesederhana mengingat apa yang sudah kita miliki. Perihal mata, hidung, telinga, dan mulut yang lengkap :")
Ini tulisan tak beraturan alurnya, setidaknya bisa menjadi refleksi untukku di 2021. Sekaligus tulisan pertama di tahun ini. Oh iya, insyallah aku akan berusaha menulis 30 hari ke depan. Meskipun tak menulis di tanggal 1 Januari, sebab aku menciptakan ritmen sendiri. Doakan konsisten :")
16 Januari 2021 @kekatazain11
Hari pertama~
4 notes
·
View notes
Text
Hai Tumbrl, hai 2022!
Lama tak berkunjung, kini aku memutuskan untuk sementara waktu berpindah 'rumah'. Meskipun, banyak cerita bersarang di Tumbrl. Namun, setelah dipertimbangkan untuk sementara waktu aku tak berkunjung dulu. Bukan berarti bosan, hanya saja bercerita mungkin ada 'rumah' lain yang lebih lapang. Tenang saja aku akan sesekali berkunjung, meski tidak serutin dulu.
10 notes
·
View notes
Note
Assalamualaikum..wr wb
Bang herry...minta nasihat melembutkan hati & mewaraskan pikiran...kata kata penyejuk di kala gundah...di kala putus asa...di kala hidup begitu hambar...di kala kecewa...di kala terpuruk...di kala sendiri...di kala ringkih & begitu lemah...sy butuh itu bang...bantu sy
KALA MERASA TERPURUK
Maaf ini agak panjang jawabnya karena ini relate banget dengan saya pribadi.
Wa'alaikumsalam wr wb
Hmm, kalau melembutkan hati, saya kayaknya tidak bisa. Karena hati saya keras; sudah terlalu tebal dari sekian banyak kesakitan. Mungkin bukan keras, tapi kenyal. Kenyal kan beda dengan lembut ya. Nah, saya lebih seperti kenyal. Jadi kalau soal melembutkan hati, mungkin coba kamu baca-baca lagi buku-buku Aa Gym yang mudah, atau Aidh Al-Qarni, atau mungkin coba ikutin kajian.
Tapi kalau mewaraskan pikiran, saya punya dua solusi. Apa itu? Pertama, meminimalisasi diri akan kebutuhan terhadap materi. Kedua, putuskan semua jenis urusan yang memungkinkan untuk dijeda dengan manusia.
Pertama, dirimu mengurangi barang-barang yang kamu miliki seminimal mungkin. Total. Yang tidak terpakai kamu buang atau kasih ke orang. Kalau masih berharga kamu jual. Pastikan kamu tidak menyimpan sesuatu yang tidak kamu gunakan. Hanya pakai yang kamu PASTI pakai tiap harinya. Apapun itu; pensil, kaos kaki, skincare, kutang, sepatu, makanan di kulkas, monitor tak terpakai, kabel charger. Serius, ini serius. Buku? Jangan, itu kamu simpan selamanya. Selain itu kurangi. Itu semua adalah beban kepemilikan. Kita terasa berat dengan memiliki sesuatu yang tidak terpakai. Kelapangan ruang akan membuat jiwamu fresh. Tangan yang enteng--dari barang-barang tadi--akan jauh lebih nyaman.
Coba sesekali kamu baca dan terapkan konsep hidup minimalis. Saya mencobanya dan wallahi it worked! Kamu tahu, tahun kedua di Istanbul membuat saya berpikir untuk membawa lebih banyak barang dan pakaian agar bisa saya gunakan ketimbang nganggur di rumah (di Jakarta). Tiap balik, saya selalu bawa barang: baju, sepatu, buku, tas gunung, tenda gunung! Hingga pada suatu titik saya merasa, what the hell? Kenapa banyak sekali barang-barang saya? Semenjak itu saya kurangi; saya hibahkan yang masih bagus; saya jual yang masih bisa dijual. Bahkan saya sekarang tidak pakai lemari, hanya rak pakaian RIGGA IKEA 2 buah untuk baju dan jaket-jaket.
Apa sih hubungannya? Dunia. Kita sudah terpenjara. Mungkin kita tidak sadar, tapi perhatikan deh dengan barang-barang itu kita akan dibuat sibuk dan rasa tanggung jawab itu beban. Bayangkan kalau harta kita makin besar? Ini kenapa banyak orang yang punya harta banyak tapi juga tidak bahagia. Karena makin berat rasa kepemilikannya. Kurangin deh, kamu akan plong rasanya. Who cares dengan orang lain yang punya ini itu. No, mereka tidak ada urusan dengan kejiwaan kita. Kita ada kita.
Kedua, kurangi urusan dengan orang lain. Kita pusing itu karena seringkali otak kita menjadi kebahagiaan orang lain sebagai standar. Kehidupan orang lain sebagai tolok ukur. Mulai jadikan bahwa kamu dalam universemu adalah pusatnya. Kamu tidak akan didikte oleh perkataan orang lain. Kamu tidak akan mau mengikuti trend orang lain. Kamu adalah kamu, yang bebas ke manapun kamu mau dan jadi apapun yang kamu mau.
Kalau kamu punya urusan dengan orang lain, segera selesaikan dan setop--juga soal hutang-piutang. Pokoknya apapun jenis urusan dengan orang lain, yang masih bisa kamu tunda, tunda atau setop.
Pernah ga sih kamu ngerasa seasik itu makan batagor di pinggir jalan depan FamilyMart Stasiun Tebet? Sambil lihat orang lalu-lalang sambil mainin gadget; sambil mengamati ada mba-mba yang lagi nunggu jemputan suaminya. Sedangkan kamu sendiri menikmati batagor yang agak hangat dengan mas-mas yang asik diajak ngobrol? Kamu tidak peduli mba itu sudah punya suami. Kamu peduli setan dengan orang-orang dengan gadget terbaru. Kamu hanya berpikir untuk menikmati suasana itu dengan dirimu sendiri. Itu adalah puncak dari kamu berdansa dengan universemu.
Jamaknya keterpurukan itu karena disebabkan energi negatif dari luar yang mempengaruhi kita. Saya bilang jamak, karena memang begitu. Kenapa? Karena kita tidak mampu mengontrol yang datang dari luar. Sebab itu kita merasa lemah jika tidak sanggup menghadapinya. Solusi cepatnya? Ya putuskan interaksi dengan dunia luar. Bukan menjadi antisosial, tidak. Bukan menjadi acuh, tidak. Kamu hanya menjaga duniamu agar terus berputar.
Maaf panjang, karena saya pun sampai sekarang masih sering mengalami hal yang sama. Dan saya mencobanya asik dengan diri sendiri. Pergi ke toko buku, nigh ride, nonton sendiri, makan sendiri, keliling mall sendiri, sambil kunjungi ke masjid-masjid yang membekas di hati atau masjid baru yang belum pernah saya datangi; dengar Spotify Hani Arrifai; mengurangi scroll sosial media; dan hal-hal sederhana tapi kita sebagai pusatnya.
Mungkin begitu.
164 notes
·
View notes
Text
-menjadi dewasa berarti mengalahkan ego, mencari sesuap penghasilan untuk perut, menyisihkan pertemanan (memilah), mental abruadul, menantang bahaya, mengambil resiko-
menjadi dewasa seperti mengerikan :(
20 notes
·
View notes
Text
Ah, Covid Terus!

Aku mendengar suara telepon berdering agak lama, perempuan tua itu segera mengambil telepon genggam putih yang biasa ia gunakan untuk menelpon kerabatnya. Diseberang terdengar suara perempuan muda dengan suara yang samar-samar di telepon. Perempuan tua itu sedikit terkejut dan menekankan kata ‘positif’. Sesaat setelah itu, telepon dimatikan dan perempuan tua itu belum kunjung terlelap. Tidak seperti biasanya, mungkin ada mendung di wajahnya. Selepas tahajud, ia masih mengadahkan wajah sambil merapal doa untuk anaknya. Meskipun, lampu kamarku telah remang-remang semenjak satu jam yang lalu, tetapi sejujurnya aku mendengar dengan jelas percakapan dii telepon. Perempuan tua itu ibuku, sedang perempuan muda yang diseberang adalah mbakyuku. Suara ibu sedikit berpasrah disela-sela telepon itu. Aku yang enggan mendengar percakapan dini hari itu, memutuskan melanjutkan tidur. Telepon diseberang itu membahas hasil PCR-ku. Satu hari sebelum tes polymerase chain reaction (PCR), aku sudah swab antigen. Sejak hari swab antigen, keluarga sudah memutuskan untukku isolasi mandiri. Itu artinya gawai (telepon genggam) milikku dan milik ibu, tidak henti-henti berdering, ada saja yang menghubungi. Hingga kuputuskan sesekali mematikan gawai, dari bisingnya pertanyaan ‘mengapa’.
***
Mendung itu mampir di rumahku, hari ketika aku dijemput oleh ambulan beserta sopir yang mengenakan baju ‘astronot’. Di dalam mobil ambulan sudah ada 3 orang yang terlihat sendu. Hari itu pula ibu bertanya ini dan itu terkait kebutuhanku selama isolasi di luar. Kujawab bahwa, aku tidak butuh apa-apa dan barang beserta vitamin kiriman dari mbakyuku sudah lebih dari cukup. Aku mengemasi barang-barang sekadarnya dan dua buku kusesalkan di tas jinjing. Mobil ambulan itu ternyata lebih pas disebut angkot. Seperti angkot yang mengantar kusekolah, ketika SMA. Hahaha. Saat itu aku benar-benar biasa saja dan tak ada mendung di wajahku. Namun, berbeda dengan ibu ada ranum di matanya dan wajahnya sendu. Jadi, kuputuskan untuk bergegas naik ambulan. Tidak ada salam dan cium pipi, selain alasan prokes (protokol kesehatan), ibu juga berkaca-kaca. Aku tak sanggup. Seolah-olah seperti tahanan yang dijemput, tetangga melihat dengan tatapan bertanya-tanya. Di sebelahku ada 2 bapak yang positif dan saling diam. Sedangkan di depanku ada seorang ibu, kemungkinan berumur sekitar 50 tahun. Hujan dari matanya terlihat jelas, sebab membanjiri masker putih yang ia kenakan. Aku dan ibu itu bercakap-cakap, hingga kutahu namanya Ibu Susi, seorang pegawai rumah sakit. Sekaligus menjadi teman seruanganku selama isolasi. Berperawakan mungil dan tingginya hampir sama denganku, teman-teman seruangan mengira aku dan beliau adalah ibu dan anak. Beliau senang-senang saja ketika, mendengar hal itu.
***
Semua berawal dari kecapekan dan imun tubuhku yang sedang lemah. Awal mulanya, aku sakit panas selama 2 hari berlanjut sakit tenggorokan dan hilang penciuman. Selama sakit panas sudah berobat di salah satu bidan. Lalu, aku memutuskan berganti bidan karena sakit tenggorokan yang tidak kunjung sembuh. Dari bidan kedua diminta untuk swab antigen. Aku pun swab antigen di salah satu klinik. Perempuan berjilbab abu-abu lengkap dengan masker dan baju kurung, memberikan amplop hijau berisi hasil tes.
“Mbak, punya gejala ya? Ini hasilnya positif” ujar petugas klinik.
“Oh positif ya mbak, ya sudah” ujarku dengan tenang. Harapanku hasilnya tentu negatif, tetapi ketika hasilnya positif sama sekali tidak kaget atau khawatir. Hahaha. Justru ibu dan mbakyuku yang heboh, untuk segera isolasi dan tes PCR. Hari selanjutnya, PCR di rumah sakit swasta dan malamnya hasilnya sudah keluar. Oh ya, ibu dan ayah juga di swab antigen hasilnya negatif. Alhamdulillah. Sejak hari swab antigen itu, aku berdiam diri di kamar dan mencari cara untuk bertahan dari kebosanan. Satu hari selepas telepon malam itu. Aku dihubungi pihak Pukesmas dan kelurahan, terkait kontak dengan siapa saja. Disaat yang bersama pula pimpinanku menelpon.
“Ini saya juga dihubungi pihak kelurahan. Jika ditanya bertemu dengan siapa, akan menjawab bagaimana?” ujar beliau di seberang telepon.
“Jawab bertemu dengan beberap orang saja ya” ujarnya lagi.
Aku hanya mengiyakan dan tidak bertanya mengapa harus begitu, ah aku menyimpulkan sebab takut terkena tracking. Beliau juga tidak menyarankan untuk tes PCR dan hanya swab. Aku enggan menanggapi dengan serius, sebab ketika itu aku butuh menenangkan pikiran dari orang-orang yang menghubungi hanya bertanya ini dan itu.
Hari berikutnya mobil ambulan berkunjung ke rumah dan menjemputku ke tempat isolasi. Aku tidak diperkenakan isolasi di rumah, sebab hanya aku yang positif. Ketika isolasi di luar, ternyata lebih leluasa dan bebas. Selama di isolasi kami dibebaskan berkegiatan. Memancing, karoke, badminton, dan tenis meja misalkan. Isolasi di tempat khusus ini, hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang bergejala ringan dan OTG (Orang Tanpa Gejala). Bertemu dengan orang-orang penyintas Covid-19, sesuatu hal yang patut disyukuri. Dari mereka pula makna-makna kehidupan dapat kupetik dan disimpan menjadi kisah yang bisa jadi k tuliskan nantinya. Bertemu dengan teman-teman: Fitri, Lestari, Amalia, Bu Susi, dan Bude Sukini merupakan hal yang tak mudah tergores diingatkanku.

Di pengujung Juni, aku pulang dari masa isolasi. Akhirnya pulang setelah 10 hari isolasi, waktu yang cukup untuk membuat virus dalam tubuhku mati dan tidak menular. Padahal, aku mulai betah dan sudah menyusunkan beberapa agenda yang kulakoni selama di isolasi. Di saat seperti ini, aku jadi paham mana orang yang benar-benar tulus, pingin tahu (kepo), dan hanya basa-basi. Beberapa orang bertanya, karena memuaskan keinginan tahuannya. Beberapa orang ada yang mendoakan kesembuhanku. Beberapa yang lain bertanya karena takut di-trancking dan menyesalkan mengapa perlu di swab. Duh, tolong cari tahu secara ilmiah bukan hanya mengdepankan ego.
“Iya Za, di saat seperti ini tidak perlu tanya ini dan itu. Baiknya pula bertanya apa yang perlu dibantu” kata salah seorang temanku.
“Betul, rasa empati dan simpati diperlukan juga. Jadi, pas awal-awal janganlah tanya ini dan itu dulu. Minimal mendoakan, karena tidak semua orang sekuat aku. Ada beberpa orang yang malah down psikisnya, lantaran dijauhi” ujaranku ketika video call dengannya.
Kami sepakat bahwa rasa ingin tahu yang tinggi, terkadang harus direndam untuk menenangkan keadaan. Sungguh, menceritakan berulang kali apa yang dirasakan bukan hal yang mudah. Ini juga berlaku jika ada hal duka datang, berita meninggal misalkan. Tunggulah seseorang itu dalam keadaan tenang, maka ia akan menceritakan. Jangan memburu keingintahuan dan tanpa melihat kondisi seseorang. Kejam.
Mengenai covid sendiri, ada beberapa orangyang percaya dan taat prokes. Sebaliknya ada yang mati-matian, enggan percaya dan mengatakan bahwa covid konspirasi. Pun jika aku enggan percaya, nyatanya aku mengalami sendiri dan sakit kurasakan yang beda dari yang sudah-sudah.
Memang orang yang memiliki sakit bawaan (komorbit) akan lebih parah dan tentu dirujuk di rumah sakit. Saat ini rumah sakit penuh dan tenaga kesehatan kuwalahan. Pihak rumah sakit atau Pukesmas, terkadang jadi kambing hitam. Ada yang mengatakan, pasti nanti di-covid-kan misalkan swab di rumah sakit atau Pukesmas. Nyatanya tidak selamanya demikian. Aku selama isolasi mendapat cerita dari beberapa pihak. Ada yang swab di rumah sakit dan Pukesmas, hasilnya negatif. Dana yang dikorupsi dan penangan pemerintah yang kurang tanggap, bisa jadi dua alasan yang membuat sebagian orang skeptis terhadap Covid-19. Namun, kita dianjurkan untuk berikhtiar dalam segala hal terlebih mengenai kesehatan. Covid hanya mampu dicegah dengan 5 M: memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas. Ya hanya itu dan tanpa inovasi yang lain. Niatkan itu bentuk ikhtiar dan menjaga keluarga.
Capek memang, diberbagai lini media massa maupun televisi melulu tentang Covid. Capek memang melulu menaati protokol kesehatan. Capek memang mendengar kabar duka hampir setiap harinya. Capek dan capek yang lainnya. Sungguh jangan menunggu giliran untuk sakit dan mempercayai ketika sudah terkena. Jangan menjadi manusia yang abai, biasakan untuk mencari tahu dari ahlinya. Bukan mendepankan ego dan spekulasi semata. Umat muslim tidak diajari untuk menjadi manusia yang anti sains. @kekatazain11
#coronavirus wfh#covid 19#stayhome#staysafe#staypositive#pandemi#coronavirus#wfh 2021#semangat#sehatselalu
25 notes
·
View notes
Photo




Sometimes I get sad when leaves on my plants die, but it’s just a part of the normal growth process! In the same way, our personal growth won’t always be perfect- we’re going to make some mistakes and have some setbacks, and that’s okay. The fact that we are growing in the right direction is what will make a difference in the end.🌱
Chibird store | Positive pin club | Webtoon
4K notes
·
View notes
Text
Ramadan, menyederhanakan buka dan sahur. Meluarbiasakan amalan harian. 🌻
7 notes
·
View notes
Quote
Seni itu menyejukkan batin dan mata. Sayangnya hingga kini, aku hanya sebagai penikmat seni. Tanpa mampu membuatnya dan hanya mampu mengikat rasa dengan tulisan. Sebab bagiku seni menulis lebih mendalam.
kekatazain
19 notes
·
View notes
Text
Di penghujung Februari ini, entah mengapa rasa jenuh mendera. Mengalir pada ulu aliran darah, otak, dan hati. Barangkali, pertahananku mulai runtuh. Ini bukan berkata tak bersyukur. Hanya jenuh saja, melakukan pengulangan dalam setiap hari. Itu saja, teman diskusi yang mulai jarang berjumpa. Sosial media yang membuat penuh kepala, sebab banjir informasi. Hanya butuh duduk dan cerita. Tolong ya, semesta kembalikan lagi masa-masa kuliahku. Jika bisa dan hanya jika bisa. Jika diizinkan Rabb.
16 notes
·
View notes
Text
Sebuah Pengingat untukku.
Kita hidup di negara yang mungkin menjadikan umur sebagai patokan dalam suatu hal. Misal, 21 tahun lulus kuliah. 25 tahun menikah. 40 tahun punya rumah, dan lain-lain. Padahal, Allah yang lebih tahu kapan peristiwa itu akan terjadi. Ketika kita lihat teman kita di usia 21 belum lulus, jangan mencela dia. Mungkin ada prioritas lain yang sedang dia kerjakan. Jika temanmu di usia 25 belum menikah, jangan cecar dia dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat dia kecewa. Cukup doakan. Dan jika diusia 40 tahun temanmu terlihat masih luntang-lantung belum memiliki pekerjaan tetap, belum memiliki rumah, jangan cibir dia. Doakan yang terbaik untuknya. Karena ini semua titipan Allah dan semuanya akan dihisab.
Jakarta, 2 Januari 2021
Rajuami
81 notes
·
View notes
Text
Selamat Menua di Bumi yang Tua

Perempuan 20 tahunan itu menatap cermin dengan nanar. Menatap sampai ke dalam matanya sendiri. Menatap setiap jengkal dalam dirinya. Ujung matanya memicingkan, mungkin ada yang salah. Mungkin ada yang aneh, mungkin yang di cermin bukan dirinya. Nyatanya, wajah itu miliknya dan bukan delusi. Wajah yang telah tertimbun air yang keluar dari dua kelopak matanya. Berkali-kali air dari kelopak matanya yang tak berhenti. Itu caranya untuk menatap semesta dengan segala hal yang di luar nalarnya. Tubuhnya belum koyak, masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun, tahun ini tubuhnya tetap harus kuat. Menerima apapun yang akan diberikan padanya. Memahami setiap keadaan dan menenangkan riuhnya pikiran. Hatinya ingin merengkuh bahagia. Sesekali ia lupa, semesta diciptakan bukan untuk bahagia saja. Ada duka yang patut dicicip.
Ia kembali menatap cermin. Mengamati tiap sendi tubuhnya. Lebih detail. Barangkali, tangan dan kaki bukan miliknya. Ia mengamati dengan saksama lagi. Sayangnya, tangan dan kaki itu tetap miliknya. Tangan yang sering ia gunakan untuk menghapus air dari kelopak matanya dan kaki yang digunakan untuk menompang tubuhnya. Ia menghela nafas panjang, berkali-kali ia menyakinkan diri bahwa itu dirinya bukan orang lain. Atau bahkan kembarannya, sama sekali bukan.
Ia telah mengenal dirinya dengan cukup baik. Hal yang tak dikenali adalah masa hidupnya apakah masih lama di bumi ini. Berapa detik, menit, jam, dan tahun lagi?
Sebab, semakin ia hidup di bumi semakin kekalutan dan ketakutan hinggap di pikiran dan hatinya. Seolah-olah pikiran dan hatinya, berat untuk menglangkah.
Ia kembali menatap cermin. Kini, ia sanggup melanjutkan perjalanan di bumi. Ya, sesekali terjal menghampiri dan sesekali harus mengambil jeda untuk berhenti.
Perempuan 20 tahunan yang menatap cermin itu tersenyum dan melapangkan dada.
"Yowis pokoke urip iku nerimo ning pantum" ujarnya.
Perempuan 20 tahunan itu adalah aku, selamat menatap luas. Semoga betah tinggal di bumi yang sudah tua. Selamat menua dan bertumbuh menjalar ke pelosok bumi ya.
Mendewasakan Pikiran, Menyemai Makna. :")
Tua dan berfaedah, biar 'pulang' dan ditanya Rabb tak malu-maluin.
10 Februari 2021, H-
#30haribercerita#30harimenulis#cerita#30hariberaksara#dewasa#tumblrtop10#30hbc2021#30hbcbaik#30hariberkarya#30hbcbarutau#karya tulis#tulisan
42 notes
·
View notes
Text
:")))
Tumbuh
Kita adalah tumpukan tahun-tahun sebelum ini. Kita adalah kumpulan keputusan-keputusan di masa lalu. Kita adalah apapun yang belum bisa tercapai.
°
Tiba-tiba ada yang hilang dan terkikis waktu. Ada yang tak sejalan, ada yang berpaling, ada yang menjauh. Setiap hari dan waktu ada yang berubah. Entah diri kita atau orang lain yang berubah. Perubahan itu di luar kontrol kita. Masing-masing bertumbuh dengan caranya sendiri. Ketika seseorang yang 'tumbuh' dalam psikisnya pun bergejolak. Mengalami perubahan dan tuntutan yang baru. Kita mengalami perubahan dari anak TK menjadi SD, SD menjadi SMP, SMP menjadi SMA dan seterusnya.
Menyikapi perubahan aku tak tahu, kadang meronta, memberontak, sesekali meratap. Kali ini aku menerima apapun yang terjadi ke depan. Menerima dengan 'legowo', meski tetap ada rintihan-rintihan kecil. Menjalani rutinitas yang sama, memeluk gelisah, dan mencari jalan sendiri.
"Hidup itu dijalanin, bukan dipikirkan saja" kata seseorang.
Bukankah sebelum dijalankan dipikirkan dengan tenang? Beberapa waktu belakangan, rasanya aku hidup dalam kepura-puraan. Menyembunyikan hal tidak aku sukai dan enggan menjelaskan apapun tentangku.
"Kamu mudah sekali tertawa" kata seseorang.
Sungguh, aku tak tahu cara menertawakan hal 'lucu' atau versi lucuku berbeda dengan orang lain. Aku mendengar terhadap hal yang tak ingin aku dengar. Aku merasa terhadap hal yang tak ingin aku rasa. Ada hal yang membuat sensitif. Hal itu tak bisa aku kontrol. Tumbuh dengan waktu yang enggan istirahat dan tuntutan yang menumpuk, sedang aku harus tetap tumbuh.
Selasa, 11 Februari 2020
Selamat menua @kekatazain11 🌻
52 notes
·
View notes
Text
Jika boleh...

Jika boleh memilih ke masa lalu, aku ingin tahu tanggal-tanggal mendekati kelahiranku di dunia. Tanggal-tanggal dimana ibu berjuang mempertaruhkanku dan ayah yang menemani ibu. Atau kesulitan ibu ketika melahirkanku.
Tanggal-tanggal dimana ibu mencari pakaian bayi atau sesekali meminta makanan tertentu. Tanggal-tanggal dimana ibu mengelus-elus perutnya, sambil sesekali menembang lagu Jawa.
Tanggal-tanggal dimana simbah, sebagai orang tua dari orang tuaku mempersiapkan kelahiran cucunya dan barangkali ada syukuran pula di rumah. Tanggal-tanggal dimana ibu harus mempertaruhkan nyawanya.
"Nduk, Januari-Februari selalu diliputi hujan. Baju bayimu jarang keringnya" ujar ibu suatu ketika.
Tanggal-tanggal itu mungkin hari ini dan tahun ketika aku lahir. Aku hanya ingin tahu itu saja. Tentu aku tak bisa kembali ke masa itu. Hal yang pasti tanggal-tanggal itu mungkin sudah dilupakan oleh ibu dan ayah. Namun, momentum ketika gelisah dan cemas menantikan kelahiranku masih membekas di benak mereka.
#30haribercerita#30hariberaksara#30harimenulis#dewasa#30hbc2021#cerita#30hariberkarya#tumblrtop10#30hbcbarutau#30hbcbaik
12 notes
·
View notes
Text
Sudah malam mari tidur, tidak ada yang akan ingin dituliskan. Selain, waktu yang kian berkejar-kejaran dengan harapan.
Sudah malam mari tidur,
Sebab waktu benar-benar tak memberi jeda.
Kian membising di pikiran, menerka esok akan lebih baikkah?
Atau ada sedikit perpanjangan waktu~
Entahlah~
15 notes
·
View notes
Text
Membaca Tokoh
Kebiasaan membaca merupakan hal yang lumrah bagiku. Aku bisa membaca apapun, genre buku yang menarik adalah genre biografi tokoh. Tokoh siapapun itu patut dicermati cara mereka, menentukan sikap dan pilihan selama mereka masih hidup. Meksi gejolak hidupnya tak sama dengan kita. Setidaknya, mereka mengajari tentang kehidupan yang tak kekal, tetapi mengisinya dengan penuh kesungguhan. Ketika masih menjadi mahasiswa, aku sering membaca biografi tokoh Indonesia. Buku terbitan Kompas dan menariknya buku-buku tersebut ada yang seri tokoh 'kiri' Indonesia. Buku-buku itu layaknya novel dan kertasnya pun seperti kertas novel. Cara penulis bertutur lewat tulisan menggunakan pendekatan yang ciamik. Sehingga, seolah-olah merasakan betul peristiwa-peristiwa dalam buku biografi itu. Gaya kepenulisan esai dan mudah dimengerti. Tokoh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, misalkan. Dalam buku terbitan Kompas, dijelaskan secara detail asal mula dan hingga meninggalnya.Ia menjadi orang penting dalam pembentukan Negara Islam Indonesia (NII) atau yang juga dikenal sebagai Darul Islam (DI).
°
Membaca tokoh layaknya membaca kehidupannya. Benar bahwasanya yang pergi hanya raga, tetapi hakikatnya tokoh-tokoh besar itu masih hidup. Baik hidup semangatnya atau hidup secara berjuang. Semoga tokoh-tokoh yang patut diteladani mengakar di tiap jengkal bangsa ini.
#30haribercerita#30hariberaksara#30hbc2021#30harimenulis#cerita#tumblrtop10#30hbcbaik#30hariberkarya
6 notes
·
View notes
Text
Bermusim

Kita mengenal berbagai musim di belahan bumi ini. Musim-musim itu mengingatkan manusia tentang memoar kejadian tertentu. Musim hujan misalkan mengingatkan tentang bencana dan kenangan. Pun musim-musim yang tetiba 'merekah' seiring pandemi yang belum usai.
Musim bersepeda dan musim bunga. Dua musim yang digandrungi oleh siapa saja. Bersepeda aktivitas fisik yang digunakan dalih untuk meningkatkan imunitas tubuh. Lebih tepatnya untuk menyehatkan badan. Jadi manusia berjemur saja tidak cukup. Mungkin demikian. Maka, tak jarang sering di depan rumah baik pagi atau sore, banyak segerombolan manusia-manusia tua dan dewasa bersepeda. Terkadang juga cekikikan membahas sesuatu. Ya, bersepeda diiringi mengobrol. Bersepeda lengkap dengan kacamata hitam, air minum, headset, dan tentunya masker. Bersepeda menjadi tren gaya hidup yang tak sekadar menjaga tubuh agar tetap sehat, namun juga untuk menunjukkan eksis di sosial media. Tak heran toko-toko sepeda laris manis bak buah durian.
Berbeda dengan bunga, juga tetiba banyak mengincar. Apalagi bunga yang berbentuk daun, seperti monsetera dan sirih gading. Berbagai pot banyak dijual, baik pot putih dan cokelat beraneka ragam. Kaum ibu-ibu, tetiba muncul di berbagai lini masa menunjukkan eksistensi diri dengan memajang bunga di ruang tamu atau di teras. Mencari bunga-bunga tertentu tak harus ke puncak gunung. Berbagai tempat kini menjual bunga, seolah bunga-bunga itu penawar kebosanan di tengah pandemi tak berkesudahan. Popularitasnya naik bunga tak hanya sebagai perayaan wisuda atau pernikahan. Bunga kini dianggap sebagai suatu eksistensi bagi kaum mbak dan ibu yang merindukan 'like'.
Musim-musim itu akan terus berganti dan beralih, seiring manusia yang telah mengalami kebosanan. Maka, musim-musim atau tren tak melulu harus diikuti. Sesuaikan dengan jati diri, agar tak lupa harga diri.
@kekatazain11
#30haribercerita#30hariberaksara#cerita#30harimenulis#dewasa#tumblrtop10#30hariberkarya#30hbc2021#30hbcbarutau#30hbcbaik
14 notes
·
View notes
Text

Perihal rasa yang belum tuntas, biarlah luruh. Tanpa dipikirkan dan dirasakan, Ya sudah biasanya saja. Segala hal yang akan dialami ke depan. Rasa-rasa yang menyesakan, marah, benci, dendam, dan iri. Biarin saja, sebab manusia berbeda dengan makhluk lainnya. Karena memiliki hati yang suci. Memang ada banyak hal yang harus, biasa saja kan?
#30haribercerita#30hariberaksara#cerita#30hbc2021#30harimenulis#30hariberkarya#30hbcbaik#dewasa#tumblrtop10#30hbcbarutau
13 notes
·
View notes