Tumgik
khunaisa · 4 months
Text
Manusia yang di hatinya 1000 bait Matan Syatibi
"Minggu depan tolong kumpulkan opini kalian tentang qiraat apakah rowi dan qorinya berbeda bacaan atau kah sama" pinta dosen pelajaran Hadits, disambut geleng-geleng kepala satu kelas.
Mampusnya aku belum pernah baca kitab atau sekedar maklumat tentang pelajaran ini. Pelajaran yang harusnya sudah mulai kubaca karena memang termasuk pelajaran inti fokus pasca sarjanaku sekarang.
"Allah gagalkan kita untuk meraih sesuatu, sangat mungkin di masa depan sesuatu itu membawa kesengsaraan besar dalam hidup kita.bisa jadi bukankah ini bentuk kasih sayang Allah." Quotes harian dari penulis favorit Febriawan Jauhari yang ku pajang di insta story keesokan harinya.
"Seperti kata Syekh Ibn-Athoillah As-Sakandari
متى فتح الله عليك باب الفهم في المنع عاد المنع عين العطاء
Tatkala ia membukakan bagimu pintu pemahaman, terhadap "ketidak memberi-an" jadilah "tidak memberi" itu adalah pemberian sendiri" balas seseorang yang sepertinya satu kelas denganku. Orang yang sering ku dengar namanya disebut oleh dosen, teman bahkan kakak kelas. Aku tersenyum, entah apa maksud senyum yang terukir sendiri itu. Sembari ku balas dengan terima kasih.
Aku berpikir mungkin dia salah satu wasilahku memahami ilmu qiraat, tanpa malu keesokan harinya pun aku bertanya padanya tentang kitab apa yang bisa ku baca. Tak terduga ia malah menawarkan padaku meminjam kitab-kitab bacaannya. Lagi-lagi aku tersenyum kedua kalinya.
Hari-hari berlalu. Sepulang belajar aku ketemu kakak kelas dan menceritakan kekesalanku terhadap satu tugas yang sangat menantang ini lalu menceritakan ia yang meminjamkan kitabnya dengan suka rela. "Duktur selalu nanya dia ka, apalagi ilmu qiraat ini. Anehnya dia selalu bisa jawab" ucapku ditengah perjalanan.
"wajar saja, orang dia udah setoran qiraat. Dia kan menghafal Matan Syatibi." Jawabnya. Mataku terbelalak, masih ada ya zaman sekarang orang yang menghafal 1000 bait Matan? Ya kalau dipesantren mah memang banyak, ucapku dalam hati.
"Dia itu rajin anaknya dan rajinnya Istiqomah, sesuatu yang sangat jarang dimiliki oleh manusia sekarang" ucap Kakak kelasku tadi seakan mengerti keterkejutan ku.
Aku merasa tertampar. Api semangat yang selalu ku jaga telah meredup karena taman bunga yang ku jaga direnggut begitu saja oleh manusia berhati besi. Manusia muka dua yang aku tak Sudi melihatnya lagi. Namun api itu mulai berkobar lagi walau kecil, bersyukur sekali aku berada dilingkungan sehat seperti ini.
Terima kasih, wahai manusia dengan 1000 bait Matan Syatibi di hatinya
23-05-2024
-Khunaisa
0 notes
khunaisa · 2 years
Text
al-Lisaanu Natiqun Bil Hikmah
Semua berawal dari sebuah pesan dari grup whats up yang kubuka di sela-sela belajar.
"Cek-cek. Ana mau ke Alexandria Insya Allah hari kamis pagi jam 06:30. Rute : Syekh Syarowi, Imam Badawi, Imam Dasuq, sampai Alexandrianya malam. Lalu hari jumat sholat jumat, hadrah Syekh Abdussalam, ziarah ahbab, majelis Sidi Muhammad selesai sabtu dini hari langsung pulang.
Yang mau ikut monggo. Tapi cari tumpangan sendri untuk nginapnya. Kecuali kalo cukup untuk homestay bisa sewa semalam aja. Cuma ngajak aja takut ada yg mau. hehe" pesan dari kakak kelas yang dirumah."
Sebagai manusia yang pernah tinggal disana walau cuman empat puluh hari, hati mana yang tak tergerak untuk ikut? Apalagi dua tahun tidak pernah berkunjung lagi.
"Yah, dua minggu lagi ujian." Aku melihat beberapa diktat kuliah yang belum sama sekali terbaca. Rasanya sayang waktu dua hari tidak dimanfaatkan dengan baik.
Tapi diri ini gersang akan nasehat. Mengingat memori tiga tahun yang lalu syekh-syekh di Alexandria selalu meminumi ahbabnya dengan nasehat dan hikmah. Teringat jelas bagaimana ketenangan yang disuguhkan kota itu.
"Tapi kapan lagi? Mumpung ada kakak kelas yang mengajak" pikirku waktu itu, mungkin ini memang kode dari Allah untuk ziarah kesana. Setelah berpikir panjang, aku memutuskan untuk ikut. Dengan harapan hikmah itu benar-benar ku dapat tanpa lupa membawa diktat kuliah yang belum dibaca.
Jam menunjukkan pukul tujuh dini hari. Aku berangkat bersama enam orang lainnya menuju metro, sebuah kereta bawah tanah yang mengantar kami ke Subra. Lalu menaiki el-tremco menuju Mit Gamr. Sampai disana berziarah ke makam Imam as-Sya'rawi. Tak ada rakyat Mesir yang tidak mengenal beliau, Ffto-fotonya bahkan menjamuri angkutan umum di Mesir. Lalu ke Tantha ke makam Sidi Badawy. Lanjut ke daerah Dasuq dan sampai ke Alexandria jam 22:00 CLT.
Keesokan harinya, aku menuju masjid Amr bin al-Ash berharap bisa mendengar suara Maulana Syekh 'Alaa yang biasa mengisi khutbah, ceramah dan pengajian disana. Benar saja, hari itu beliau yang mengisi khutbah jumat. Setelah adzan kedua berkumandang, suara khas beliau berkumandang.
"Kalian tahu apa itu investasi?" beliau mengawali ceramahnya. Oh iya salah satu hal yang kukagumi di Mesir. Isi khutbah jumatnya tak hanya tentang zikir dan ibadah. Tetapi bisa juga membahas tentang sosial, pernikahan, semangat dan pendidikan. Bahkan aku pernah mendengar khutbah jumat tentang bahasa Arab.
"Zaman sekarang yang ada dipikiran masyarakat adalah investasi itu tentang bisnis, perdagangan dan ekonomi. Tapi mereka melupakan investasi iman kepada Allah, investasi akhlak Rasulullah.
"Apakah kalian sadar pikiran kita sedang terjajah dengan dunia?"
Kau tahu? air mataku hampir saja jatuh mendengar kalimat ini.
"Kita selalu memimpikan hidup yang nyaman, bisa membeli apa yang kita mau, tapi tak ada sedikit pun kita memimpikan bisa melihat Rasulullah."
"Kalau saja Rasulullah itu ada di hati kita, pasti kita akan mengikuti seluruh jejak, akhlak, kepedulian beliau."
"Siapa disini yang buka kitab hadist atau tafsir di androidnya?" tanya beliau serius.
"Kita bahkan lupa berinvestasi untuk ilmu. Seyogyanya kita menjual waktu kita untuk senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya, mempelajari agama-Nya secara utuh dan inilah investasi yang Allah rido."
"menyiapkan harta yang banyak, rumah yang nyaman untuk anak-anak kita itu bagus. Tapi lebih bagus lagi kalau kita menyiapkan pendidikan agama dan akhlak untuk anak." nasehat beliau. Isi khutbah ini semuanya daging, tak hanya kulit. Aku jamin jika kalian mendengar langsung tegas namun lembutnya beliau berkhutbah, hati kalian akan terenyuh. Terakhir beliau mendoakan umat agar senantiasa menjaga Qur'an dan dijaga oleh al-Qur'an.
Sesak rasanya mengingat diri yang masih lalai, merasa cepat lelah dalam belajar, hilang semangat bahkan merasa berat. Padahal Allah selalu melihat apa yang diinvestasikan hamba-Nya untuk agama ini.
"Semangat berinvestasi ya Nis, mari melanjutkan perjuangan" Sadar atau tanpa sadar, yang pasti berniat untuk menjadi hamba yang lebih baik terucap. Berusaha menjadi umat yang benar-benar diinginkan Rasulullah. Coba tadi jika aku memilih untuk tidak salat jumat, tak akan kudengar petuah indah ini.
Shalat jumat berakhir, dilanjutkan ziarah. Kami diantar oleh salah satu murid beliau menggunakan el-tremco. Kami menyebutnya Ustadz Sadad, beliau banyak bercerita bagaimana Maulana Syekh 'Alaa beserta guru-gurunya.
"Kalian tahu? Ada tiga kekhususan Maulana dan orang yang mengikutinya. al-Lisaanu Naatiqun Bil Hikmah, lisan yang penuh dengan hikmah, humble dan pandai mengambil hati serta pandangannya selalu dengan kasih sayang" ujar beliau. Aku mengiyakan dalam hati. Setiap yang bertemu beliau pasti juga megiyakan. Lisannya penuh dengan hikmah. Seperti yang kita tahu bahwa lisan adalah cerminan hati, rasanya seperti melihat akhlak Rasulullah terhadap sahabat.
Ziarah selesai dan malam pun tiba. Kenangan tiga tahun yang lalu berdesakan meminta diingat. Semuanya terasa manis, walau cuman memori.
"Hayok ke Zawiyah" ajak seorang teman. Aku tersadar dari lamunan dan mengikutinya berjalan.
29 Mei 2022
~Khunaisa~
1 note · View note
khunaisa · 4 years
Text
Kepingan Syukur
"Ah syukur, bagaimana caranya aku bisa berteman denganmu?" Ini pertanyaan Zerina setiap hari, mengingat pemasukannya sebagai mahasiswa hanya berasal dari pemberian orang tua. Bukan, bukan kurang namun ingin rasanya seperti anak perempuan lain yang bisa membeli barang lucu tanpa takut kehabisan di akhir bulan. Atau mungkin memiliki gamis cantik dan koleksi jaket musim dingin mengingat ia belajar di negeri yang cuacanya lumayan ekstrim, dingin menusuk tulang, apalagi tempat belajarnya lumayan jauh harus punya niat yg kuat bangun pagi menembus angin bahkan kabut pagi hari.
"Ah tidak, kasihan abah" kalimat itu yang menari di kepala, setiap ia ingin meminta uang saku lebih. Tetapi ia tak pernah tega melakukannya. Teringat wajah mereka yang sudah tua, apalagi abah yang berusia lanjut, membuatnya mengurungkan niat tersebut. Berkali-kali ia harus memutar otak biar uang saku untuk sebulan tetap ada lebihnya, biar bisa dipakai untuk kebutuhan mendadak. Terlebih lagi ia memiliki niatan untuk lanjut S2 di Bumi Kinanah tersebut.
Suatu malam Zerina pergi ke Habasy, sebuah supermarket yang lumayan besar di al-Hay Asher untuk belanja bulanan. Zerina memutuskan untuk membeli bahan makanan mentah agar dapat di olah sendiri menjadi cemilan, brownies atau kue rumahan. Mungkin rasanya tak seenak kue di toko-toko, namun lumayan hemat untuk sekedar mengganjal lapar atau suntuk habis belajar. Itu ide paling cemerlang yang pernah terpikirkan.
Setelah mengambil semua bahan Zerina berjalan menuju kasir. Di depannya ada bapak paruh baya, Kelihatannya bapak itu bukan orang Kairo. Melihat penampilannya, beliau seperti bapak-bapak lainnya yang datang dari perkampungan untuk membangun jembatan layang. Zerina terkejut, beliau hanya membeli deterjen ukuran kecil, teh dan gula.
"Yaa Rabb, bapak itu" ucapnya dalam hati. Jumlah belanjaannya berbanding terbalik dengan dengan bapak itu, ia merasa sangat malu.
"Hitung aja dulu" ucapnya menggunakan bahasa amiyah. Ditangannya ada uang 20 pound, ia terlihat sedikit malu dengan pembeli yang lain.
"Gak cukup" jawab penjaga kasir.
"Hmm, berapa semuanya" tanya sang bapak.
"Ini gak cukup pak, coba cari deterjen yang lebih kecil" ujar penjaga kasir dengan suara sedikit terangkat. Zerina dari tadi masih melongo, rasa kasihan dan malu kini bercampur. Ternyata benar, melihat ke bawah itu kadang diperlukan untuk menjaga syukur kita. Kali ini ia merasa tertampar.
Lebih tertampar lagi uang yang ia miliki 200 pound. Sepuluh kali lipat dari uang bapak itu, walaupun sisa 200 pound tersebut akan digunakan untuk ongkos pergi ke kuliah selama dua mingguan. Allah menegurnya dengan cara yang sangat indah.
Bapak itu balik ke kasir dengan berjalan lambat, malu rasanya memiliki uang 200 pound tersebut. Malu karena rasa syukur yang dimiliki terasa sangat tipis. Bagaimana nasib keluarga bapak itu, mungkin gajinya tak seberapa dari uang saku Zerina dan itu untuk satu keluarga.
"Oh betapa tipisnya syukurmu Rin!" Zerina bergegas pergi setelah membayar semuanya. Rasa malu masih bertengger di hatinya, bulir-bulir air mata kini berjatuhan. Ternyata Allah masih menyayanginya dengan mencukupi semua kebutuhannya, mengirimkan dua malaikat baik hati yang mencintainya, memberi izin untuk belajar dan mengerti betapa hidup penuh dengan perjuangan dan hikmah.
Sesampainya di rumah, baru tepikir olehnya kenapa ia tidak membayari belanjaan bapak itu, toh dihitung-hitung hanya 23 pound saja. Zerina memukul dahinya, semuanya terlambat. Semua itu baru terpikirkan saat ia sampai di rumah.
Rasanya tak terpikirkan lagi jaket impian, yang terpikir sekarang bagaimana cara agar ia selalu bersyukur dan berbagi kebaikan dengan yang lain. Bukan kah hidup mewah tanpa ketenangan juga tak enak? Bukan kah hidup dengan merasa cukup jauh lebih berharga?
"Oh syukur, aku mulai mengenalimu sekarang" ucap Zerina dalam hatinya.
Cairo, 15/01/2021
-Khunaisa-
0 notes
khunaisa · 4 years
Text
Tentang Kesendirian
Cuaca dingin, walaupun matahari sedang terik-teriknya pada jam 14:00 CLT, jaket bahkan selimut setia bertanggal di badan, ditemani segelas kopi. Bukan anak indie, hanya hobi minum kopi karena rasanya yg unik dan aromatic.
Saat itu aku sedang membolak-balik diktat kuliahku at-Tazhib Alaa' at-Tahzib Fii 'Ilmi al-Mantiq. Sebuah kitab yang mengajarkan ilmu logika, bagaimana cara dan rentetan berpikir yang benar. Sepenting itu sampai Azhar saja mengajarkannya. Maklum, bayang-bayang ujian menari-menari di kepala. Terkadang ia seperti boneka Chuki yang lucu, imut, menggemaskan.
Lalu, androidku berdering ada panggilan telepon dari orang seberang sana.
"Halo?"
"Iya, halo" jawabku dengan tatapan mata yang masih terfokus pada diktat.
"Gimana? Jadi bimbel?"
"Hmmmmhh" aku menarik nafas panjang, menyadari nasib yang begitu tak ku senangi. Siapa yang tertarik dengan kesendirian? Membayangkannya saja malas.
"Kayaknya enggak" jawabku seadanya.
"Oh, okee" balas orang di seberang sana.
"Sendiri itu gak enak" keluhku. Keluhan yang sangat mengganggu kepala. Aku yakin kamu bisa membayangkan betapa tidak enaknya di negeri orang sendirian.
"Kenapa?" Tanyanya setengah tertawa.
"Bimbel sendiri, kemana-mana sendiri, ijroat sendiri, iri rasanya melihat mereka yang ke kuliah berdua, talaqi berdua, kemana pun berdua" baru sampai situ, air mataku sudah berjatuhan. Mengingat betapa sulitnya aku menemukan teman yang bisa membersamaiku kemana-mana. Bukan cuman itu, pencarianku sudah lama sudah dari empat sampai lima tahun yang lalu. Tahun ini aku merasa menemukan apa yang aku cari, tetapi rupanya itu hanya sekedar harapan. Orang itu bahkan tak menganggapku ada, ah dasar aku!
"Menurutku, berdua itu ribet apalagi jika untuk berurusan" jawabnya singkat.
"Ya mungkin kita berbeda. Kan kemana-mana hilang bisa saja lelah karna tertawa atau sekedar didengar keluh kesah kita" jawabku sambil terisak lagi. Orang itu tertawa,
"Sebegitu masalah di kamu ya sampai keliatannya begitu mengganggumu."
"Mungkin." Ya berharap memang lelah.
"Tapi yang aku tahu, mereka menganggapmu ada."
"Siapa?"
"Yang di rumah lama dan baru, di asrama, di darrasa dan di kuliah" jawabnya penuh keyakinan. Dia seperti manusia yang sangat tahu tentangku bahkan saat aku lupa mengenali diriku sendiri lebih dalam. Eh tapi emang ada manusia seperti itu?
"Teman itu bukan yang senantiasa ada tetapi bagaimana kita bisa menghargai waktu saat bersamanya." Pikiranku menolak, menurutku perempuan adalah makhluk yang jarang sendiri. Faktanya ia selalu minta ditemani kemana-mana dan itu patut dimaklumi.
"Hati akan merasa tenang, jika ia merasa cukup. Ia bagai rumah yang nyaman, luas dan kaya. Makanya kenapa seorang sufi tidak memerlukan teman, karena hatinya sudah dipenuhi zikir, mengingat Allah yang Maha Sempurna."
Terkadang aku bingung, pemilik suara ini umurnya berapa? ia anak yang seumuran denganku tetapi pemikirannya jauh lima sampai sepuluh anak tangga dari pemikiranku. Tangisku terhenti, tak terasa tangan ini mulai menyapunya mengingat bahwa semua yang Allah takdirkan adalah anugerah yang patut disyukuri. Allah yang takdirkan aku menuntut ilmu disini, Allah pula yang akan memenuhi kebutuhanku. Aku juga yakin, ia yang berbicara seperti ini mungkin saja lebih kesepian dariku tetapi ia menerima segalanya.
Aku juga pernah membaca tulisan Taufik Aulia, bahwa kesendirian itu hanya diberikan kepada hamba yang kuat, tak banyak yang mampu mengembannya.
Masih dengan musim dingin yang sama namun cuaca hari ini hanya sekitar 25 derajat celcius, aku berusaha merekam semuanya. Mungkin hanya sekedar cerita biasa dan beberapa orang mungkin mengalaminya.
Dari aku, perempuan yang menyukai kata, prosa dan segala cerita yang penuh makna.
-Khunaisa-
1 note · View note