kurzihebring
kurzihebring
Coretan Dinding
8 posts
Celotehan Orang Pinggiran
Don't wanna be here? Send us removal request.
kurzihebring · 5 years ago
Text
SUATU PANDANGAN TERHADAP
RUU PERLINDUNGAN DATA PRIBADI
Oleh : Heryana
17 Desember 2020
Perubahan zaman yang ditandai dengan peralihan kebiasaan manusia dari interaksi-interaksi analog ke digital, atau disebut dengan revolusi industri 4.0. Era digitalisasi menjadi masa dimana impian manusia tentang dunia yang tanpa batas perlahan-lahan menjadi kenyataan. Arus informasi yang kian cepat dan besar menjadi “makanan” yang bisa dikonsumsi siapa saja, baik infomasi yang bersifat publik maupun informasi terkait privasi seseorang.
Privasi merupakan hak setiap orang untuk leluasa dalam menjalankan kehidupan pribadinya, salah satu bentuk konkrit dari privasi adalah data pribadi.  Data pribadi merupakan segala informasi yang berkaitan dengan pribadi seseorang. Era digitalisasi membuat data pribadi mengikuti perkembangan teknologi yang semakin pesat, tentu hal tersebut berbanding lurus dengan potensi munculnya pelanggaran terhadap data pribadi. Sehingga diperlukan perlindungan terhadap data pribadi mengingat hal tersebut merupakan hal yang sensitif yang dapat disalahgunakan oleh pihak tidak bertanggungjawab sehinggi berpotensi menimbulkan kerugian finansial hingga ancaman keselamatan pemilik data.
Hal tersebut terbukti dalam polemik diskusi yang beberapa waktu lalu akan diadakan oleh CLS FH UGM tanggal 29 Mei 2020, data pribadi milik panitia diskusi dan anggota CLS FH UGM bocor sehingga muncullah berbagai teror pembunuhan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Bahkan Prof. Ni’matul Huda, Guru Besar FH UII yang direncanakan akan menjadi pembicara dalam diskusi tersebut, juga mengalami terror di kediamannya sejak tuduhan tidak bertanggung jawab terhadap acara diskusi tersebut mencuat.[1]
Kebocoran data pribadi sangat marak terjadi dan beragam bentuknya. Penyalahgunaan data pribadi mulai dari pesan singkat via nomor HP, seperti kasus mama minta pulsa, sampai pesan e-mail tawaran asuransi bodong sangat banyak terjadi dan banyak pula yang menjadi korban. Hal tersebut dikarenakan minimnya kesadaran masyarakat tentang keamanan data pribadi. Ditambah pemerintah yang belum serius dalam melindungi salah satu hak yang dijamin UUD 1945 ini. Belum ada instrumen hukum yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan data pribadi. Adapun instrumen hukum terkait data pribadi sifatnya sektoral seperti UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU mengenai perbankan, dan sebagainya.
Hak privasi menjadi fokus utama dalam Perlindungan Data Pribadi (PDP) dimana setiap individu berhak menentukan sendiri data mana, kepada siapa, dan seberapa lengkap data tersebut dapat diungkap.[2] Perlindungan hak privasi atas data pribadi di Indonesia belum menjadi fokus perhatian dari pembentuk undang-undang yang dibuktikan dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) PDP yang belum disahkan hingga kini.[3] Sementara, RUU ini merupakan produk hukum primer yang akan mengunifikasikan ketentuan-ketentuan mengenai PDP yang masih tersebar diberbagai peraturan perundang-undangan.[4] Data pribadi juga mampu membuka akses menuju akun perbankan yang berakibat kerugian finansial. Hal ini menunjukkan pelanggaran hak privasi dapat berujung pada masalah lain yang lebih serius. Karenanya, PDP sangatlah perlu untuk diimplementasikan secara aktual.
Ketidakseriusan Pemerintah dalam perlindungan data pribadi dapat dilihat dari belum disahkannya RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) hingga saat ini. RUU PDP dinilai sangat penting untuk melindungi hak warganegara. RUU tersebut mendasarkan pada Pasal 28 G ayat (1) UUD 1945 yang mana menegaskan bahwa “setiap orang berhak atas perlindungan diri pirbadi dan memperoleh rasa aman.”
Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G Plate, mengatakan bahwa penting bagi bangsa Indonesia untuk segera memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi.[5] Ia juga menilai bahwa krusialnya perlindungan data pribadi berkaitan erat dengan tingginya nilai ekonomi yang dimiliki oleh data tersebut. Selanjutnya, dukungan terhadap RUU PDP juga datang dari berbagai layanan jejaring sosial, salah satunya adalah Facebook Indonesia. Facebook Indonesia melalui Manajer Kampanye Kebijakan Facebook Indonesia, Naudhy Valdryono, menyatakan bahwa pihak Facebook menghormati proses pembuatan regulasi perlindungan data pribadi yang sedang dilakukan oleh pemerintah.[6]
Selain itu, masyarakat secara luas juga banyak yang memberikan dukungan, bahkan menuntut untuk segera disahkannya RUU PDP di Indonesia. Tujuannya, apabila sudah disahkan menjadi UU maka RUU PDP dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan mewujudkan payung hukum yang jelas ketika terjadi sengketa terkait dengan data pribadi. Menurut Plt. Direktur Pemberdayaan Informatika, Direktorat Jenderal Informatika, Kementerian Komunikasi dan Informatika Slamet Santoso, RUU PDP perlu segera disahkan mengingat pentingnya perlindungan terhadap kondisi keamanan dan data pribadi yang dimiliki oleh seseorang.[7]
Meski RUU tersebut dibutuhkan secepatnya untuk menjamin hak konstitusi warga negara, namun perlu ada perbaikan-perbaikan. Tidak adanya sanksi pidana yang tagas dalam UU tersebut. Berdasarkan draft per Desember 2019, hanya terdapat pidana denda bagi pelaku pelanggaran perlindungan data pribadi sehingga perlu tambah dengan pdana penjara mengingat data pribadi sangat sensitif dapat menimbulkan kerugian finansial bahkan keselamatan pemilik.
Selain itu, perlu diketahui bahwa terdapat tiga aspek umum yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih terkait perlindungan data pribadi, yaitu aspek konseptual, aspek kelembagaan, dan aspek hukum formil.[8] Masing-masing aspek tersebut tentu tidak terhindar dari kritikan dan masukan. Pertama, dalam aspek konseptual, ruang lingkup perlindungan data pribadi dinilai hanya dikenakan kepada perseorangan sebagai subjek hukum, seharusnya tidak demikian, karena badan hukum sebagai subjek hukum juga memerlukan adanya perlindungan terhadap data pribadi yang dimilikinya. Kedua, aspek institusi/kelembagaan, pengaturan terhadap perlindungan data pribadi sebisa mungkin harus memberikan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang jelas kepada lembaga-lembaga yang bersangkutan agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Kejelasan tersebut menjadi relevan karena ketika terjadi tumpang tindih kewenangan antar lembaga negara, maka akan timbul pula masalah dalam struktur kelembagaan. Ketiga, aspek hukum formil, pembuat undang-undang seharusnya dapat menghindari adanya penyempitan ruang lingkup dari undang-undang yang dibuatnya. Penyempitan tersebut biasanya dapat dilihat dengan adanya penyebutan contoh dari suatu definisi yang dirumuskan dalam suatu undang-undang.
Dengan berbagai uraian di atas, RUU Perlindungan Data Pribadi perlu dilakukan perbaikan mengingat hal tersebut merupakan hak konstitusional warganegara yang dijamin UUD 1945 serta Hak Asasi Manusia sebagaimana dijamin dalam instrumen-instrumen hukum internasional. Tentu perbaikan yang diperlukan juga jangan sampai memperlama disahkannya RUU tersebut karena kebutuhan akan instrumen hukum ini sangat mendesak demi memberikan perlindungan hukum yang jelas bagi data pribadi dan menindak pelaku-pelaku penyalahgunaan data pribadi.
[1] Irwan Syambudi, Kasus Peretasan & Teror Diskusi CLS FH UGM: Polisi Lambat Bertindak, https://tirto.id/kasus-peretasan-teror-diskusi-cls-ugm-polisi-lambat-bertindak-fECn, diakses 17 Desember 2020.
[2] Selvi Marliana, Kajian Hukum Perlindungan Hak Privasi Pengguna SIMCard Terkait Registrasi SIMCard berdasarkan Permen Kominfo Nomor 14 Tahun 2017 tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi.
[3] Christoforus Ristianto, “DPR Didesak Sahkan RUU Perlindungan Data Pribadi”, https://pemilu.kompas.com/read/2019/08/02/13450871/dpr-didesak-sahkan-ruu-perlindungan-data-pribadi, diakses 17 Desember 2020.
[4] Setyawati Fitri Anggraeni. “Polemik Pengaturan Kepemilikan Data Pribadi, Urgensi untuk Harmonisasi dan Reformasi Hukum di Indonesia”. Jurnal Hukum & Pembangunan . 48.4(2018): 816-817.
[5] Agus Tri Haryanto, “RUU Perlindungan Data Pribadi Bakal Masuk Prolegnas 2020”, https://m.detik.com/inet/law-and-policy/d-4793400/ruu-perlindungan-data-pribadi-bakal-masuk-prolegnas-2020 , diakses pada 17 Desember 2020.
[6] Dadi Haryadi, “Facebook Dukung Perlindungan Data Pribadi”, https://m.ayobandung.com/read/2019/09/13/63589/facebook-dukung-perlindungan-data-pribadi , diakses pada 17 Desember 2020.
[7]  Vendi Yhulia Susanto, “Kominfo targetkan RUU Perlindungan Data Pribadi rampung tahun 2020”, https://amp.kontan.co.id/news/kominfo-targetkan-ruu-perlindungan-data-pribadi-rampung-tahun-2020#referrer=https://www.google.com , diakses pada 17 Desember 2020.
[8] Bambang Pratama, “Beberapa Catatan tentang RUU Data Pribadi”, https://business-law.binus.ac.id/2017/06/16/beberapa-catatan-tentang-ruu-data-pribadi/, diakses pada 17 Desember 2020.
2 notes · View notes
kurzihebring · 6 years ago
Text
Rezim Kolonial Menjerat dengan Identitas, Si Minke Menjebolnya dengan Kelas
Apa lawan kata “inlander” (pribumi) pada masa kolonial? 
Sekiranya pertanyaan itu diajukan beberapa tahun silam, saya akan menjawab: Nederlander (orang Belanda). Jawaban ini pula yang akan diberikan oleh orang-orang yang tidak cukup teliti membaca kompleksitas sejarah kolonial di Hindia Belanda. Orang dengan mudah menunjuk Nederlander sebagai “lawan kata” dari inlander karena sebutan “inlander” memang muncul dari mulut orang-orang Belanda, katakan saja, pemerintah kolonial.
Daniel Dhakidae, dalam karya terbaiknya Candekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, menolak untuk menunjuk Nederlander sebagai “lawan kata” dari inlander. Bagi Daniel, “lawan kata” dari Inlander adalah orang-orang (peranakan) India, peranakan Arab dan peranakan Tionghoa. Pendeknya orang-orang dari Timur (vreemd), bangsa Asia. Dalam nomenklatur hukum Hindia Belanda, mereka disebut Vreemde Oosterlingen (Timur Asing).
Kenapa bisa terjadi? Bukankah panggilan “inlander” dimunculkan oleh pemerintah kolonial untuk mengejek keterbelakangan dan kebodohan warga Hindia Belanda? Kenapa Daniel Dhakidae dan tentu saja pemerintah kolonial menunjuk bangsa-bangsa Timur (Vreemde Oosterlingen/Timur Asing) sebagai “lawan kata” inlander?
Hampir mustahil mencari istilah Vreemde Westerlingen (Barat Asing), baik dalam nomenklatur hukum kolonial maupun dalam nomenklatur politik di Hindia Belanda.
Belanda adalah penguasa di tanah Hindia Belanda. Dengan setumpuk modal dan jejaring birokrasi yang dimilikinya, penguasa Belanda mengecualikan bangsa Belanda dari dua kategori tersebut, baik itu inlander maupun Vreemde Oosterlingen. Orang Belanda bukan inlander dan pada saat yang sama juga bukan orang asing. Dalam kata-kata Daniel Dhakidae: “Penguasa (Belanda) adalah orang-dalam namun bukan inlander, dia orang-luar namun bukan asing.”
Perspektif di atas akan menjadi lebih jelas jika berjalan sedikit memutar dengan menelaah konsepsi kekuasaan tradisional. Raja adalah orang yang diberi mandat oleh Tuhan (wahyu keprabon), tetapi dia bukan Tuhan. Raja memang manusia, tapi Raja tidak sama dengan kawula atau rakyat jelata. Dalam konsepsi kekuasaan tradisional, pinjam kata-kata Ben Anderson, “Raja ada di antara (in-between) manusia biasa (kawula jelata) yang ia perintah dan Tuhan yang memberinya mandat memerintah/berkuasa (wahyu keprabon).”
Dengan melakukan itu, penguasa kolonial bisa terhindar dari “jebakan lingustik” memerhadapkan dirinya dengan inlander dalam satu hubungan yang muka berhadapan muka. Dengan hanya menyebut orang-orang bangsa Timur (Tionghoa, Arab atau India), Belanda juga sedang menebar jaring “devide et impera”: memerhadapkan penduduk Hindia Belanda dengan orang-orang bangsa Timur itu.
Di titik inilah, seperti yang akan coba saya tunjukkan, Tirtoadisoerjo tampil ke muka sebagai orang pertama yang menggelar “politik diskursif tandingan” lewat senjata terbaiknya, suratkabar Medan Prijaji.
Seperti yang bisa baca dari jargonnya, Tirto memersembahkan Medan Prijaji sebagai suara dari sekalian orang dari “bangsa yang terprentah”.
Siapa yang masuk dalam kategori bangsa yang terprentah?
Jargon Medan Prijaji bisa memberikan penjelasan. Di sana, dengan eksplisit disebutkan bahwa bangsa-bangsa yang terprentah adalah siapa saja yang terprentah, baik itu raja-raja, bangsawan, priyayi, bangsawan usul dan pikiran (intelektual/kaum terpelajar) hingga saudagar-saudagar dari, dengan mengutip Medan Prijaji, “bangsa jang terprentah laennja jang dipersamakan dengan Anaknegeri, di seloeroeh Hindia Olanda”.
Jika Anda pernah membaca bagian “Pendahuluan” dari AD/ART Sarekat Dagang Islamijah yang juga disusun oleh Tirto, Anda akan menemukan hal yang sama dengan semangat yang tercermin dari jargon Medan Prijaji. Anda akan menemukannya pada paragraf terakhir bagian Pendahuluan itu.
Dari situ jelas, para raja atau sultan bukan “bangsa jang memrentah”. “Bangsa jang memrentah”, dalam kosakata Medan Prijaji, adalah pemerintah kolonial Belanda.
Inilah yang saya maksudkan sebagai “politik diskursif tandingan” itu. Dengan rumusan macam itu, Tirto mencoba keluar dari jebakan diskursif yang ditebar oleh pemerintah kolonial yang memerhadapkan orang-orang inlander (pribumi/native) dengan bangsa-bangsa Timur (India, Tionghoa dan Arab berikut kaum peranakannya).
Tirto tampil ke muka dengan “politik diskursif tandingan” dengan mengajukan rumusan baru: “bangsa-bangsa yang terprentah”.
Tirto ingin menegaskan bahwa kategori Inlander dan Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) tak mampu menjelaskan proses politik yang berlangsung di Hindia Belanda. Yang lebih relevan dan aktual untuk menjelaskan realitas sosial dan politik di Hindia Belanda adalah rumusan “bangsa yang terprentah” dengan bangsa yang memrentah”.
Dalam sekali hentak, rumusan baru itu tidak hanya menandingi rumusan diskursif kolonial, untuk tidak menyebut melantakkannya, tetapi juga sekaligus memersatukan dua kategori yang sebelumnya “di-set-up” sedemikian rupa untuk saling berhadapan yaitu orang inlander (pribumi/native) dan Vreemde Oosterlingen (Tionghoa, Arab, India dan peranakannya).
Dengan rumusan diskursif macam itu pula, Tirto “menyeret” pemerintah Belanda untuk masuk ke dalam “peta diskursif” di Hindia Belanda dan bukan lagi sebagai penguasa yang berada di atas kelompok-kelompok lain seperti sebelumnya (baik itu inlander maupun Vreemde Oosterlingen).
Jika hari ini, istilah “non-pribumi” masih merujuk pada orang-orang peranakan, baik itu peranakan Arab, India atau/dan terutama peranakan Tionghoa, berikut segala implikasinya, Tirto tentu saja tak terlibat dalam rumusan diskursif macam itu karena ia adalah orang yang merumuskan satu pembayangan bangsa yang melampaui batas-batas perumusan “pribumi dan non-pribumi”.
Tirto melampaui rumusan diskursif itu dan menawarkan rumusan baru yang berporos pada penyusunan kategori berdasarkan kriteria “bangsa dan anak negeri jang terprentah”. Inilah rumusan paling dini dari bangsa Indonesia yang melampaui kriteria rasialis, etnisitas, bahasa, agama dan peradatan; sebuah rumusan yang ditegakkan di atas kriteria sosial-ekonomi-politik.
Dengan menunjuk Tirtoadhisoerjo sebagai “Sang Pemula” dari pembayangan bangsa Hindia Belanda, yang kelak diadopsi dengan nyaris persis oleh negara Indonesia modern, Pramoedya justru menempatkan asal usul gagasan kebangsaan Indonesia pada “sumber” yang tegas-tegas melampaui kriteria berdasarkan ras.
Inilah perlawanan diskursif yang sebelumnya tidak ada presedennya dalam sejarah intelektual Hindia Belanda. Perlawanan diskursif yang cerdas ini pasti berhulu dari sebentuk kesadaran yang sudah mengalami “lompatan kualitatif”, sebuah lompatan yang sukses menjebol jebakan diskursif devide et impera yang ditebarkan pemerintah kolonial.
Jika semangat Ben Anderson bisa dikutip, dari sinilah asal-usul “ruang imajinatif” bernama Indonesia berhulu. Dengan rumusan “bangsa yang terprentah” inilah pembayangan identitas kolektif di seantero Hindia Belanda menjadi dimungkinkan.
Tirto meletakkan dasar dari pembayangan bangsa ini, yang kelak diolah lebih lanjut oleh para pemimpin gerakan selanjutnya, dan mengkristal dalam trilogi ayat Sumpah Pemuda.
Kartini, dalam surat-suratnya yang terkenal, memang sudah berbicara tentang solidaritas dan kepedulian terhadap sesama anak negeri Hindia Belanda, kendati ia lebih sering berbicara tentang orang-orang Jawa. Hanya saja, Kartini belum melakukan “lompatan kualitatif” yang berhasil meloloskan dirinya dari jebakan diskursif yang ditebar oleh pemerintah kolonial. Jika kita membaca surat-surat Kartini, akan segera terlihat betapa Kartini mengerahkan semua kepedulian dan solidaritasnya yang mengharukan itu masih dalam kerangka pemerintah kolonial sebagai “kepala keluarga” Hindia Belanda.
Karena rumusan itu pertama kali dijlentrehkan secara eksplisit dan dipraktikkan dalam kerja-kerja jurnalistik sehari-hari di Medan Prijaji, maka bolehlah dibilang Medan Prijaji adalah (dengan nada Foucaultian) “situs tertua” dari pembayangan identitas kolektif orang-orang di tanah Hindia Belanda, siapa pun ia, tanpa memandang ras, etnis, bahasa, agama dan peradatan.
========
Naskah ini ditulis pada Juli 2007, 12 tahun silam, sebagai bagian dari diskusi panjang – anak sekarang mungkin menyebutnya blogwar.
32 notes · View notes
kurzihebring · 6 years ago
Text
“Kita bisa mengendalikan ingatan. Makanya kita kenal dengan proses menghafal. Tapi kenangan sebaliknya: justru kenangan yang mengendalikan kita. Makanya ada istilah “lupa ingatan”, tapi tak pernah ada istilah “lupa kenangan”. Sebab kenangan itu melampaui lupa.”
114 notes · View notes
kurzihebring · 8 years ago
Text
Ketuhanan dan Kesederhanaan
Semakin banyak benda yang dimiliki seseorang, semakin ia tak bahagia. Alih-alih bahagia, malah muncul banyak ketakutan akan kehilangan hartanya.
Kesederhaan sebagai gaya hidup yang sekarang sedang ng-hits di jepang bukan perkara baru. Orang-orang terdahulu sudah banyak mempraktekannya. Tentu berbeda dengan tingkatan kita. Dalam agama-agama, termasuk islam, kesederhanaan memiliki tempat yang agung. Kesederhanaan pada derajat tertentu mengantarkan seseorang pada sikap zuhud.
Kita banyak diajarkan oleh suri tauladan kita semua, Rasulullah dan para Nabi terdahulu serta para sufi. Kesederhanaan yang didasarkan pada ketuhanan mampu mengantarkan kita pada kebaahagiaan sejati. Hal tersebut dimaknai sebagai bentuk kepasrahan pada Eksistensi Tertinggi.
Menurut Imam al-Ghazali, "zuhud adalah menjauhkan diri dari kehidupan dunia dan memalingkan diri darinya, penuh kepatuhan semaksimal mungkin."
Dapat dikatakan bahwa zuhud berarti melepaskan diri dari segala belenggu duniawi yang sifatnya profan dan sementara selain menghambakan diri kepada Yang Maha Esa. Zuhud juga bermakna sebagai bentuk penegasian dan pengecualian dalam kredo agama islam. Dalam bahasanya Nurcholish Madjid, "tiada tuhan (t kecil), selain Tuhan (T besar)."
Semoga kita bisa meneladani Rasulullah dan orang-orang suci untuk mengamalkan sikap zuhud. Amiin.
0 notes
kurzihebring · 8 years ago
Text
Mental Feodal di Kalangan Terpelajar
Feodalisme secara praktik - dalam arti sebenarnya - sudah lama punah. Namun secara mental masih hidup. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya mental senioritas yang mesih menjamur, bahkan dikalangan terpelajar.
Perploncoan yang tak kunjung hilang dari jaman penjajahan hingga sekarang, malah diwadahi dan dilegalkan oleh penyelenggara pendidikan. Perploncoan kini berkamuflase dengan nama Masa Orientasi dan Diklatsar Organisasi.
Hanya ada satu kalimat untuk menanggapinya, meminjam istilah Bung Rhoma, “SUNGGUH TERLALU”
0 notes
kurzihebring · 8 years ago
Text
Berpihak pada Kebenaran
Penindasan terbesar kedua, setelah syirik, adalah kapitalisme. Kapitalisme menumpuk kekayaan pada segelintir orang sehingga tidak terjadi pemerataan kekayaan. Kenyataan tersebut membuat eksploitasi penuh terhadap orang-orang lemah. Kesenjangan ekonomi semakin jauh ketika buruh (labour) tidak dibayar sebagaimana mestinya. keadilan sosial dan keadilan ekonomi sangat tidak mungkin tercipta melalui sistem ini. Hubungan kapitalis dan orang lemah dapat dikatakan sebagai hubungan antara penindas dan tertindas. Islam mengajarkan kita berpihak pada kaum yang lemah dan dilemahkan (mustadhafin). Kebenaran ada dipihak kaum tertindas. Maka, keberpihakan kepada kaum tertindas adalah keberpihakan kepada kebenaran.
“Tidak pernah aku melihat kekayaan yang berlebih, kecuali disampingnya ada hak-hak orang miskin yang diabaikan.” - Sayyidina Ali bin Abu Thalib ra
0 notes
kurzihebring · 9 years ago
Text
Gagal memahami hidup sebagai proses dialektis. kita tidak akan paham bagaimana, misalnya dalam konflik, satu pihak bisa jadi dalam keadaan benar pada satu waktu dan pihak lawannya bisa jadi benar pada waktu yang lainnya.
Biarlah salah permanen itu hanya dalam perkara pacaran. Mau pagi, siang, sore, malem, besok, lusa, atau nanti, laki-laki tetap saja pihak yang disalahkan. :(
0 notes
kurzihebring · 9 years ago
Text
MENGGUGAT KESADARAN SEJARAH KITA : Bapak Pers Indonesia
Oleh Heryana pada tanggal 9 Juni 2016
“Jangan sekali-kali melupakan sejarah”, demikian kata Bung Karno dalam orasinya di Gedung Indonesia Menggugat. Tentu bukan kalimat kosong tanpa arti. Susunan kata yang membuat kita, sebagai manusia, merasa penting akan pengetahuan sejarah yang tak lain dari runtutan gerak yang dilakukan oleh umat manusia. Lain daripada itu Bung Karno ingin mengajak kita sadar bahwa keadaan sekarang tidak lain dari rangkaian sejarah tersebut. Indonesia dengan keadaannya yang sekarang, dengan segala kelebihan dan kekurangannya juga tidak lain bagian dari gerak sejarah.
Menggugat kesadaran sejarah bukan untuk mengenang romantisme kepahlawanan ataupun kepecundangan orang terdahulu. Dalam sejarah sejatinya selalu ada peran pahlawan dan pecundang. Lebih dari itu untuk menempatkan diri kita sendiri untuk mengambil peran dalam sejarah masa kini, menjadi pahlawan ataukah pecundang. Mari menengok kembali sejarah bangsia kita, bangsa besar bernama Indonesia.
Ialah Raden Mas Tirto Adi Soerjo, seorang yang dinobatkan sebagai bapak pers Indonesia. Mungkin teman-teman merasa asing dengan nama ini, padahal ia adalah seorang yang menjadi pionir pada masa awal kebangkitan. Dari tangannya ia memberontak pada tiran. Dari goresan tintanya ia melawan kedzaliman. Pikirannya menggetarkan kaum penindas. Seorang yang terlalu penting untuk dilupakan sejarah.
Sebagai anak seorang bupati ia bisa bersekolah di HBS yang pada masa itu sangat jarang pribumi yang bisa sekolah disana. Pribumi pada masa itu masih dalam kegelapan yang tak berkesudahan setelah sekian lama dikungkung dalam kolonialisme Belanda. Sebagaimana ditulis dengan apik oleh Pramoedya di dalam Bumi Manusia, menggambarkan bahwa pergundikan, patriarki, mental feodal golongan priyayi yang tak lain juga orang-orang pribumi yang menindas bangsanya sendiri merupakan kemerosatan moral dalam tubuh penduduk Hindia Belanda pada waktu itu.
R.M. Tirto Adi Soerjo selain bersekolah, ia rajin menulis di surat kabar dan melakukan kerja sampingan. Kegiatannya yang demikian lambat laun membentuk R.M. Tirto Adi Soerjo sebagai seorang pribadi. Ia dilahirkan dari golongan bangsawan – terlihat dari gelarnya, yakni Raden Mas – namun memilih tidak untuk menindas bangsanya sendiri – pada waktu itu golongan priyayi pribumi kebanyakan menjadi hamba Gubermen – melainkan menyadarkannya.
Ia lulus dari HBS kemudian melanjutkan ke STOVIA (sekolah dokter untuk pribumi) di Batavia yang merupakan satu-satunya perguruan tinggi di Hindia Belanda pada waktu itu. Ketika di STOVIA ia tetap menulis untuk surat kabar. Karena di sekolah dokter dengan segudang kesibukannya dan bekerja di surat kabar ia tidak bisa mengimbanginya yang berujung pada pemecatannya dari STOVIA.
Pemecatannya dari STOVIA tidak menjatuhkan pribadinya. Justru pemecatan itu menjadikan babak baru dalam catatan perjuangannya. Dengan gencar ia mengajak siswa sekolah dokter untuk membuat organisasi pribumi. Didirikan lah sebuah organisasi bernama Sjarikat Priaji yang disusul dengan lahirnya Medan Prijaji sebagai badan pers organisasi tersebut. Organisasi yang didirikannya ternyata meleset dari harpan dan kemudian vakum lalu bubar. Sjarikat Priaji yang lumpuh itu bukan berarti dia tidak mempunyai andil apa-apa. Walaupun sebagai organisasi tidak sejalan dengan harapan, namun mewariskan Medan Priaji yang jadi alat perjuangan R.M. Tirto melalui tulisannya. Pendirian Sjarikat Priaji yang tak lama kemudian bubar itu menginspirasi dr. Tomo seorang siswa STOVIA untuk membuat organisasi, yakni dikenal dengan Boedi Oetomo pada tahun 1908.
Seiring dengan makin berkembangnya Medan Prijaji, ia dan beberapa temannya mendirikan lagi sebuah organisasi yang mencakup ke-Hindia-an bernama Sjarikat Dagang Islam. Ia memilih untuk mendirikan lagi organisasi bergabung dengan Boedi Oetomo yang cakupannya hanya untuk orang Jawa. Organisasi dan badan pers yang dibangunnya, Sjarikat Dagang Islam (SDI) dan Medan Prijaji menjadi senjata R.M. Tirto untuk melawan penindasa yang dilakukan pemerintah kolonial. Tak jarang ia melancarkan serangan-serangan yang mampu membuat resah Gubermen. Propaganda yang ia lakukan di setiap daerah berbuah manis bisa dilihat dari makin banyaknya orang-orang yang bergabung menjadi anggota SDI.
SDI tumbuh menjadi kekuatan baru – disamping Boedi Oetomo – dari pribumi Hindia. Dengan ajaran boyscott dia membuat para perusahaan-perusahaan barat lumpuh. Kaum buruh dan petani yang sebelumnya selalu ditindas baik oleh perusahaan ataupun pemerintah dengan hukum kolonialnya kini memliki kekuatan. Boyscott menjadi senjata para buruh dan petani dalam mengadapi pemodal. Aktivitasnya di SDI dan Medan Priaji tersebut membuat Gubermen gerah yang berujung pada pembuangannya ke Ambon, Maluku.
Pembuangan R.M. Tirto menandai akhir perjuangannya secara lahir. Namun keberanian ia dalam memulai babak kebangkitan bangsa menjadikan awal yang penting bagi perjuangan-perjuangan setelahnya. Gerbang yang didobraknya membat bangsanya mampu merangkak masuk dan menciptakan perlawanan yang jauh lebih besar. Ialah Raden Mas Tirto Adi Soerjo, Sang Pemula.
Sebagaimana saya katakan diawal, tulisan ini bukan hanya untuk membuat kita terkagum-kagum akan sosk Raden Mas Tirto Adi Soerjo, yakni untuk mengukur sejauh mana kita mengambil peran dalam perjuangan untuk bangsa Indonesia, sejauh mana sumbangsih yang telah mampu berikan bagi tanah air kita. Lebih dari itu membuka kesadaran kita sebagai manusia dalam mengambil peran di masa kini, apakah akan jadi pahlawan atau pecundang? Jawablah untuk diri sendiri.
“Didiklah rakyatmu dengan organisasi, dan didiklah penguasa dengan perlawanan” ~ Jejak Langkah ~
Diolah dari novel Tertralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer.
#Novel #Minke #TirtoAdiSoerjo #Blog #KebangkitanNasional
0 notes