Tumgik
lacikata · 23 days
Text
Jangan terburu-buru mencela sesuatu yang terjadi tidak sesuai dengan inginmu, sebab bisa jadi di situlah cara Allah ﷻ melindungimu.
40 notes · View notes
lacikata · 28 days
Text
"Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. An-Nahl: 18)
Jika nikmat-nikmat-Nya tidak terhitung; harusnya kamu bisa taat lebih dari ini. *berbicaradidepancermin
52 notes · View notes
lacikata · 2 months
Text
Tumblr media Tumblr media
Tentang ayah.
43 notes · View notes
lacikata · 3 months
Text
Tumblr media
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Permisi sekilas iklan 🙏🏼
1 note · View note
lacikata · 3 months
Text
Beberapa waktu lalu ketika scrolling medsos sebelah, saya baru menyadari hal ini ketika menengok salah satu akun seorang artis.
Sebagai publik figur, beliau terbilang jarang mengunggah foto. Namun, dari sejumlah foto yang beliau unggah, kalau orang Jawa bilang, "tak titeni" selalu ketika memakai sling bag, letaknya di dalam kerudungnya.
Terlihat sepele, tetapi beliau sangat menjaga dalam hal ini, kain kerudung yang sudah terjulur menutupi dada, tidak ditimpa oleh sling bag yang justru bisa menggagalkan tujuan dari menjulurkan kain kerudung itu sendiri. Barakallahu fiik.
Sebagaimana penjelasan dari Ustaz Ahmad Zainuddin hafidzahullah, ketika ditanya, "Ustaz apa hukumnya memakai tas di luar jilbab? Yang apabila dipakai, maka akan membentuk kadang-kadang dadanya."
Beliau menjawab, "Ukuran haram dan tidaknya, apabila membentuk lekuk tubuh."
Sehingga, bagi muslimah apabila hendak memakai sling bag, bisa letaknya di dalam jilbab sebagai solusi, agar dada dan bahu yang sudah tertutupi, tidak terbentuk akibat tertarik oleh sling bag yang sedang dipakai. Wallahu a'lam bish-shawabi.
26 notes · View notes
lacikata · 3 months
Text
"Hidayah itu datang bertahap." (Ustaz Firanda hafidzahullah).
Dari yang belum berkaus kaki, lalu berkaus kaki.
Sudah berkaus kaki, kemudian memilih kaus kaki yang berwarna polos dan menghindari warna kaus kaki yang menyerupai warna kulit kaki.
Begitulah hidayah, bertahap.
"Tidak ada ketentuan khusus, namun ketentuan mengenai kaus kaki yang dipakai oleh perempuan tidak boleh menjadi fitnah bagi kaum laki-laki, sehingga jauhi warna-warna yang mirip dengan warna kulit kaki.
Hal ini bermaksud agar menghindari fitnah, sehingga tidak dikira itu adalah warna kulit kakinya." (Ustaz Musyaffa' Addariny hafidzahullah).
"Wanita itu adalah aurat. Perempuan itu semuanya aurat. Jika keluar rumah, maka ditemani oleh setan. Untuk itu, tutuplah aurat kecuali wajah dan telapak tangan yang diperselisihkan oleh para ulama.
Apabila dia berharap berdalil dengan kaus kaki. Kaus kaki itu dipakai untuk apa? Jikalau pakaiannya tersingkap, kakinya tidak terlihat." (Ustaz Nizar Saad Jabal hafidzahullah).
Inilah mengapa, seorang muslimah sebaiknya menghindari memakai kaus kaki yang menyerupai warna kulit kakinya, agar tercapai tujuan dari pemakaian kaus kaki itu sendiri yaitu untuk menutup aurat.
Disyariatkan menutup aurat pada bagian kaki dengan menjulurkan pakaian dan memakai kaus kaki, agar apabila pakaian tersingkap semisal terkena angin kaki tetap tidak terlihat.
Untuk itu, perlu dihindari memakai kaus kaki yang menyerupai warna kulit kaki, sebab jika memakai kaus kaki yang mirip dengan warna kulit kaki, hal tersebut justru tidak ada bedanya yaitu membuat seakan-akan memperlihatkan seperti warna kulit kakinya. Padahal ketika memakainya diniatkan untuk menutup aurat. Wallahu a'lam bish-shawabi.
59 notes · View notes
lacikata · 3 months
Text
Urgensi ilmu sebelum amal itu memang perlu ditekankan, seperti yang disampaikan Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah, “Siapa yang beribadah kepada Allah ﷻ tanpa didasari ilmu, maka kerusakan yang ia perbuat lebih banyak daripada maslahat yang diperoleh.” (Majmu’ Al Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 2: 282)
Barangkali, tentang wajah juga telapak tangan sebagai bagian yang diperbolehkan terlihat ketika salat sudah akrab didengar di telinga, namun bagi sebagian muslimah terdapat bagian lain yang kurang mendapat perhatian, yang ternyata justru menjadi bagian yang tidak boleh terlihat ketika salat, karena bagian tersebut merupakan aurat yaitu bagian bawah dagu.
Seringkali, ketika memilih mukena yang menjadi perhatian adalah bahannya, warnanya, modelnya, namun kurang diperhatikan apakah bagian bawah dagunya tertutupi dengan sempurna atau tidak.
Padahal, bagian tersebut juga menjadi salah satu penentu sah atau tidaknya salat, sebab salah satu syarat sahnya salat adalah menutup aurat. Wallahu a'lam bish-shawabi.
Biidznillah, sekarang ini juga banyak penjual mukena yang mulai memperhatikan tentang hal ini, dan apabila mukena teman-teman di rumah dalam kondisi masih bagus, namun bagian bawah dagunya kurang menutupi, di marketplace juga sudah banyak yang menjual inner dagunya saja.
Tumblr media
Wallahu waliyyut taufiq.
24 notes · View notes
lacikata · 3 months
Text
Dan beberapa bulan lalu, tepatnya tahun lalu juga mendapat pelajaran dari kisah nyata seorang menantu perempuan dengan mertuanya yang intinya serupa yaitu tentang penerimaan.
Keridaan orang tua dan mertua itu penting.
Jika diri sendiri atau keluarga, pun sebaliknya dari keluarga calon merasa ada ketidaknyaman atau ketidakcocokan denganmu atau keluargamu.
Terima saja (legawa); dalam artian tidak memaksakan diterima atau dilanjutkan.
Mundur lebih baik daripada tetap lanjut, namun jiwa raga babak belur setelahnya.
Flamboyan (2)
Beberapa waktu lalu ketika bersinggungan dengan kehidupan Rumah Sakit, kemudian mendengar kesaksian seorang menantu laki-laki yang menjadi korban pembacokan oleh mertuanya dengan kapak sehingga mendapat jahitan 5 cm di kepalanya.
Singkat cerita faedah yang dapat dipetik dari cerita beliau, mengingatkan saya pada sebuah nasihat dari Mamazi dan Masgun.
“Setiap orang memiliki kriteria masing-masing dan memang concern utama saya selain ke suami adalah keluarga suami sebab keluarga suami juga keluarga saya dan anak-anak saya.
Ibunya menjadi ibu saya, bapaknya menjadi bapak saya, saudara-saudaranya menjadi saudara saya. Semua, neneknya, tantenya semua menjadi keluarga saya. Penting sekali saya harus bisa sayang dengan semuanya.
Bukan hanya dapat menerima, tetapi saya harus sayang dan care dengan semuanya. Ketika mereka senang, saya senang. Mereka sedih, saya pun sedih.
Walaupun laki-lakinya adalah pangeran tetapi jika keluarganya tidak welcome, saya tidak akan mau, makan hati dan menjadi masalah di kemudian hari. Untuk itu, jangan pernah kecintaan banget dengan laki-laki sebelum menikah.
Keluarga suami harus keluarga baik-baik yang menerima kita. Ini nasihat Mama saya, sering sekali beliau mengingatkan ini.” - Mamazi
***
“Sebab yang sudah menikah pasti paham betapa pentingnya dukungan orang tua untuk rumah tangga nanti.
Nanti jika sudah menikah, kita akan paham bahwa menikah dengan seseorang (dan keluarganya juga) yang dapat menerima diri kita itu lebih menenangkan. Kita tidak perlu memaksa seseorang untuk menerima kita, sekalipun kita menyukainya. Menyukai itu tidak berarti bahwa kita harus juga memilikinya. Realita ke depan, tidak berjalan dalam pemahaman yang seperti itu.” - Masgun
118 notes · View notes
lacikata · 3 months
Text
"Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya)." QS. Al-A'raf: 64
"Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada." QS. Al-Hajj: 46
Barakallahu fiika.
Yang menyilaukan bisa membutakan mata, di antaranya harta, takhta dan cinta kepada selain Allah ﷻ dan Rasul-Nya.
Lalu bagaimana dengan keburukan fitnah al-Masih ad-Dajjal, jika hari ini saja masih dibutakan oleh ketiganya?
Ya Allah, selamatkan kami dari siksa jahannam, siksa kubur, fitnah hidup dan mati serta keburukan fitnah al-Masih ad-Dajjal.
30 notes · View notes
lacikata · 3 months
Text
Yang menyilaukan bisa membutakan mata, di antaranya harta, takhta dan cinta kepada selain Allah ﷻ dan Rasul-Nya.
Lalu bagaimana dengan keburukan fitnah al-Masih ad-Dajjal, jika hari ini saja masih dibutakan oleh ketiganya?
Ya Allah, selamatkan kami dari siksa jahannam, siksa kubur, fitnah hidup dan mati serta keburukan fitnah al-Masih ad-Dajjal.
30 notes · View notes
lacikata · 3 months
Text
Tawakal itu ketika kamu berdoa meminta yang terbaik; kamu pun telah siap kehilangan yang terbaik menurutmu.
Tawakal juga berarti tetap berikhtiar sebagaimana yang diizinkan Allah ﷻ tanpa melanggar syariat-Nya.
Dan apa yang telah ditetapkan Allah ﷻ untukmu, tidak ada keraguan atau penyesalan setelahnya karena Dialah Pemberi keputusan yang paling baik.
Kamu pun tenang, sekalipun keburukan datang dari segala penjuru yang kamu tidak ada daya untuk menghindari atau menghentikannya Dialah yang akan melindungimu, karena Allah ﷻ berfirman:
"Dia melindungi orang-orang yang saleh." (QS. Al-A'raf: 196)
Maka berusahalah tetap taat kepada Allah ﷻ dan Rasul-Nya meski sulit, karena Dialah pelindungmu dan sebaik-baik penolong.
140 notes · View notes
lacikata · 3 months
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
🔄 Ustaz Boris.tan hafidzahullah.
Sebab, memotivasi lagi membanggakan diri itu beda tipis. Na'udzu billahi min dzalik.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ
Yang artinya: "Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan-Mu di saat aku mengetahui dan aku mohon ampunan dari sesuatu yang aku tidak mengetahui." (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dihukumi sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah)
37 notes · View notes
lacikata · 4 months
Text
Semoga senantiasa Allah ﷻ jaga untuk mengajak orang lain kepada-Nya; bukan mengajak orang lain kepada diri sendiri.
Sungguh, tidak ada yang menakjubkan dari manusia kecuali pada mereka itu terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya.
Dialah, Al–Hamid, Yang Maha terpuji.
Lillahi Ta’ala.
Diketahui bahwa ikhlas karena-Nya merupakan salah satu syarat diterimanya amalan seorang hamba. Namun, menjaganya untuk senantiasa ikhlas bukanlah perkara yang mudah. Sebagaimana dikatakan Sufyan ats-Tsauri rahimahullah, “Aku tidak pernah menghadapi yang paling berat seperti menghadapi niatku.”
Seperti iman yang selalu berubah-ubah (naik, turun); niat pun demikian. Pagi bisa ikhlas, siangan dikit bisa jadi riya’. Hari ini tulus, besoknya diungkit-ungkit. Oleh sebab itu, dikatakan Ibnul Qayyim rahimahullah, “Yang penting bukan masalah beramalnya, namun menjaga amal itu sendiri dari hal-hal yang senantiasa bisa merusaknya.”
Sebab mau sebanyak apa pun, selelah apa pun dalam beramal saleh tidak akan diterima jika tidak terpenuhi salah satu dari kedua syaratnya. Dan salah satu dari penyebab rusaknya keikhlasan adalah riya’.
Para salaf pun telah memberikan teladannya, di mana mereka berusaha semaksimal mungkin untuk menyembunyikan amal salehnya. Mengapa? Sebab ketika tampak dapat memicu tingginya spekulasi sehingga mudah terkena riya’.
Seperti Ibnul Mubarak rahimahullah yang mengenakan penutup wajah ketika berjihad agar tidak diketahui oleh orang lain. Ini pun yang diterapkan oleh mujahidin di Palestina, Hamas di antaranya yang merupakan perintah dari Syekh Ahmad Yassin rahimahullah, “Kamu tutup wajahmu sehingga ketika kamu berjihad benar-benar lillah (karena Allah Subhanahu Wata’ala).”
Beliau sebagai pendiri Hamas juga menaruh perhatiannya hingga mencakup perihal penampilan yang bertujuan untuk memupuk keikhlasan mujahidin. Begitu pun dengan salah satu sosok yang dikenal sebagai Abu Ubaidah hafidzahullah, yang diketahui dari beliau hanyalah nama (samaran) dan statusnya sebagai juru bicara.
Salah satu pelajaran yang bisa diambil adalah untuk menjaga keikhlasan. Popularitas bisa menjadi bencana bagi mereka yang bermental lemah, sebab ia bisa betul-betul memperdaya minimal akan menimbulkan riya’ pada dirinya.
Sebagaimana yang juga betul-betul diterapkan oleh para salaf, mereka bersusah payah untuk menyembunyikan amal salehnya. Mereka bahagia ketika amal saleh atau identitasnya tidak diketahui, sehingga hal itu tidak menimbulkan spekulasi yang bisa mencoreng keikhlasan mereka.
Ini pun yang termaktub di QS. Al-Baqarah: 271, “Jika kamu menampakkan sedekah(mu) maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu.”
Keikhlasan adalah jiwa setiap ibadah serta amal saleh dan dengan menyembunyikannya akan menumbuhkan keikhlasan itu sendiri, sebaliknya ketika amal saleh itu sengaja agar terlihat, diketahui, didengar oleh orang lain terdapat dua kemungkinan, bisa baik dan buruk.
Baiknya, apabila tidak disertai riya’ dapat memotivasi orang lain, sehingga ia akan memperoleh pahala serupa pahala orang lain yang melakukannya (HR. Muslim). Buruknya, jika tidak bisa menghindari perasaan riya’ justru akan menimbulkan bumerang bagi diri sendiri.
Dan inilah lagi-lagi sebuah pelajaran dari para ulama, mereka yang ilmunya lebih tinggi, amalnya lebih hebat, lebih memilih menyembunyikan sebab mereka pun lebih paham betapa lemahnya manusia, mudahnya tergelincir dan itulah yang lebih baik sebagaimana telah Allah Subhanahu Wata’ala terangkan di dalam Alquran.
Seyogianya, meski gempuran zaman yang sekarang ini menggoda manusia untuk berlomba-lomba menjadi konsumen popularitas dengan pamer sana, pamer sini; mengikuti syariat lebih utama dan lebih baik akibatnya.
Dan ketika seseorang sengaja memamerkan amal-amal salehnya, bisa jadi salah satu tujuannya agar mendapat pengakuan dari orang lain, di mana hal itu bisa memicu kekaguman dari orang lain yang akan memenuhi syahwatnya.
Inilah yang dikatakan oleh Ibnul Atsir rahimahullah sebagai as syahwah al khaffiyah atau syahwat yang tersembunyi, seperti orang yang lapar melihat makanan kemudian dirinya bersyahwat, begitu pula dengan orang yang ingin dipuji dan gila pujian merupakan salah satu penyakit yang perlu dilawan, sebab ia bisa merusak keikhlasan.
Telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa kelak ada 3 golongan orang yang beramal saleh namun mereka justru masuk neraka. Mengapa? Sebab mereka beramal bukan karena-Nya melainkan tersimpan ingin diakui (riya’) di dalam hatinya.
Siapa mereka? Mereka adalah orang yang syahid di jalan Allah Subhanahu Wata’ala, orang yang menuntut ilmu kemudian mengajarkannya, orang yang dilapangkan rezeki serta harta bendanya. Dan telah dikabarkan pula dalam Alquran bagi mereka yang beramal saleh dengan tujuan mencari kedudukan di hati manusia agar disanjung, dihormati, disegani maka ia akan dapatkan hal itu.
Sebagaimana 3 golongan yang telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, mereka yang mengaku berperang semata-mata karena-Nya, namun ternyata berdusta sebab ia berperang agar dikatakan seorang yang gagah berani dan memang telah ia dapatkan hal itu. Demikianlah, yang telah dikatakan tentang dirinya.
Mereka yang menuntut ilmu kemudian mengajarkannya hanyalah karena-Nya, namun ternyata berdusta sebab ia menuntut ilmu agar dikatakan seorang alim (yang berilmu) dan memang telah ia dapatkan hal itu. Demikianlah, yang telah dikatakan tentang dirinya.
Juga mereka yang tidak pernah meninggalkan sedekah dan infak pada jalan yang dicintai-Nya, namun ternyata berdusta sebab ia berbuat demikian agar dikatakan seorang dermawan dan mereka pun memang telah mendapatkan hal itu. Demikianlah, yang telah dikatakan tentang dirinya (HR. Muslim).
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasaannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.” (QS. Hud: 15)
Namun, tidak dengan akhirat, “Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri.” (QS. Al-Qasas: 83)
Bagi mereka yang beramal dengan tujuan mencari kedudukan di hati manusia agar dikagumi, memperoleh banyak pemirsa di setiap unggahan, sebagainya, mereka akan dapatkan hal itu di dunia, namun surga tidak akan ia dapatkan, sebab Allah Subhanahu Wata’ala telah berfirman surga hanya diperuntukkan bagi mereka yang tidak ingin menyombongkan diri (tidak mencari kedudukan di hati manusia) melainkan mereka yang mencari kedudukan; di sisi Rabbnya. Begitu pula dengan yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka neraka baginya, bagi mereka yang beramal saleh bukan karena-Nya.
Itulah balasan terhadap apa yang mereka telah kerjakan dan tidak ada sesuatu pun dari manusia yang tersembunyi bagi Allah Subhanahu Wata’ala.
Semoga menjadi renungan dan evaluasi (terkhusus untuk diri sendiri). Wallahu waliyyut taufiq.
Waspada riya’ terselubung – Ustaz Firanda Andirja hafidzahullah.
79 notes · View notes
lacikata · 4 months
Text
Karena hanya Allah ﷻ, satu-satunya yang bisa menerima 100% seburuk-buruknya kamu; maka berusahalah menjadi sebaik-baik hamba bagi-Nya.
342 notes · View notes
lacikata · 5 months
Text
Bukan seberapa lama kamu menunggu, tetapi sudahkah kamu memenuhi hak-hak-Nya terlebih dahulu?
Jangan hanya inginnya sat set dikabulkan, disegerakan mendapat pertolongan tetapi mengerjakan kewajiban belum dimaksimalkan, belum lagi hati sudah diliputi buruk sangka terlebih dahulu, "Kok belum dikabulkan?", "Kapan dikabulkan?"
Manusia; terdepan dalam mendahulukan hak-haknya (menuntut ini dan itu) namun acapkali lupa mengevaluasi kinerjanya, bahkan ketika menjadi seorang hamba.
Salatnya masih kurang khusyuk, masih nanti-nanti lalu pantaskah menuntut Allah Subhanahu Wata'ala untuk segera mengabulkan? Pantaskah menyikapinya dengan demikian?
Look in; kembalikan ke dalam diri. Sudahkah diri ini mengamalkan perintah dan menjauhi larangan-Nya? Sudahkah diri ini memelihara optimisme dan berbaik sangka pada-Nya?
Muhasabah diri terlebih dahulu, sebab Allah Subhanahu Wata'ala telah mengharamkan kezaliman pada diri-Nya. Manusia sendiri yang telah menzalimi dirinya, dengan berbuat maksiat sehingga doa-doanya tidak dikabulkan misalnya.
Untuk itu, pola pikir yang perlu dibangun maksimalkan saja dahulu sebab-sebab agar doa dan pertolongan-Nya datang.
Kapan dikabulkannya? Kapan pertolongan itu datang, sesungguhnya Allah Subhanahu Wata'ala lebih mengetahui waktu terbaiknya.
Keterampilan yang luput dipelajari sejak dini; keterampilan menunggu, sehingga terbangun mental ingin buru-buru.
114 notes · View notes
lacikata · 5 months
Text
Tumblr media
🔄 Ustaz Boris.tan hafidzahullah.
Lillahi Ta’ala.
Diketahui bahwa ikhlas karena-Nya merupakan salah satu syarat diterimanya amalan seorang hamba. Namun, menjaganya untuk senantiasa ikhlas bukanlah perkara yang mudah. Sebagaimana dikatakan Sufyan ats-Tsauri rahimahullah, “Aku tidak pernah menghadapi yang paling berat seperti menghadapi niatku.”
Seperti iman yang selalu berubah-ubah (naik, turun); niat pun demikian. Pagi bisa ikhlas, siangan dikit bisa jadi riya’. Hari ini tulus, besoknya diungkit-ungkit. Oleh sebab itu, dikatakan Ibnul Qayyim rahimahullah, “Yang penting bukan masalah beramalnya, namun menjaga amal itu sendiri dari hal-hal yang senantiasa bisa merusaknya.”
Sebab mau sebanyak apa pun, selelah apa pun dalam beramal saleh tidak akan diterima jika tidak terpenuhi salah satu dari kedua syaratnya. Dan salah satu dari penyebab rusaknya keikhlasan adalah riya’.
Para salaf pun telah memberikan teladannya, di mana mereka berusaha semaksimal mungkin untuk menyembunyikan amal salehnya. Mengapa? Sebab ketika tampak dapat memicu tingginya spekulasi sehingga mudah terkena riya’.
Seperti Ibnul Mubarak rahimahullah yang mengenakan penutup wajah ketika berjihad agar tidak diketahui oleh orang lain. Ini pun yang diterapkan oleh mujahidin di Palestina, Hamas di antaranya yang merupakan perintah dari Syekh Ahmad Yassin rahimahullah, “Kamu tutup wajahmu sehingga ketika kamu berjihad benar-benar lillah (karena Allah Subhanahu Wata’ala).”
Beliau sebagai pendiri Hamas juga menaruh perhatiannya hingga mencakup perihal penampilan yang bertujuan untuk memupuk keikhlasan mujahidin. Begitu pun dengan salah satu sosok yang dikenal sebagai Abu Ubaidah hafidzahullah, yang diketahui dari beliau hanyalah nama (samaran) dan statusnya sebagai juru bicara.
Salah satu pelajaran yang bisa diambil adalah untuk menjaga keikhlasan. Popularitas bisa menjadi bencana bagi mereka yang bermental lemah, sebab ia bisa betul-betul memperdaya minimal akan menimbulkan riya’ pada dirinya.
Sebagaimana yang juga betul-betul diterapkan oleh para salaf, mereka bersusah payah untuk menyembunyikan amal salehnya. Mereka bahagia ketika amal saleh atau identitasnya tidak diketahui, sehingga hal itu tidak menimbulkan spekulasi yang bisa mencoreng keikhlasan mereka.
Ini pun yang termaktub di QS. Al-Baqarah: 271, “Jika kamu menampakkan sedekah(mu) maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu.”
Keikhlasan adalah jiwa setiap ibadah serta amal saleh dan dengan menyembunyikannya akan menumbuhkan keikhlasan itu sendiri, sebaliknya ketika amal saleh itu sengaja agar terlihat, diketahui, didengar oleh orang lain terdapat dua kemungkinan, bisa baik dan buruk.
Baiknya, apabila tidak disertai riya’ dapat memotivasi orang lain, sehingga ia akan memperoleh pahala serupa pahala orang lain yang melakukannya (HR. Muslim). Buruknya, jika tidak bisa menghindari perasaan riya’ justru akan menimbulkan bumerang bagi diri sendiri.
Dan inilah lagi-lagi sebuah pelajaran dari para ulama, mereka yang ilmunya lebih tinggi, amalnya lebih hebat, lebih memilih menyembunyikan sebab mereka pun lebih paham betapa lemahnya manusia, mudahnya tergelincir dan itulah yang lebih baik sebagaimana telah Allah Subhanahu Wata’ala terangkan di dalam Alquran.
Seyogianya, meski gempuran zaman yang sekarang ini menggoda manusia untuk berlomba-lomba menjadi konsumen popularitas dengan pamer sana, pamer sini; mengikuti syariat lebih utama dan lebih baik akibatnya.
Dan ketika seseorang sengaja memamerkan amal-amal salehnya, bisa jadi salah satu tujuannya agar mendapat pengakuan dari orang lain, di mana hal itu bisa memicu kekaguman dari orang lain yang akan memenuhi syahwatnya.
Inilah yang dikatakan oleh Ibnul Atsir rahimahullah sebagai as syahwah al khaffiyah atau syahwat yang tersembunyi, seperti orang yang lapar melihat makanan kemudian dirinya bersyahwat, begitu pula dengan orang yang ingin dipuji dan gila pujian merupakan salah satu penyakit yang perlu dilawan, sebab ia bisa merusak keikhlasan.
Telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa kelak ada 3 golongan orang yang beramal saleh namun mereka justru masuk neraka. Mengapa? Sebab mereka beramal bukan karena-Nya melainkan tersimpan ingin diakui (riya’) di dalam hatinya.
Siapa mereka? Mereka adalah orang yang syahid di jalan Allah Subhanahu Wata’ala, orang yang menuntut ilmu kemudian mengajarkannya, orang yang dilapangkan rezeki serta harta bendanya. Dan telah dikabarkan pula dalam Alquran bagi mereka yang beramal saleh dengan tujuan mencari kedudukan di hati manusia agar disanjung, dihormati, disegani maka ia akan dapatkan hal itu.
Sebagaimana 3 golongan yang telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, mereka yang mengaku berperang semata-mata karena-Nya, namun ternyata berdusta sebab ia berperang agar dikatakan seorang yang gagah berani dan memang telah ia dapatkan hal itu. Demikianlah, yang telah dikatakan tentang dirinya.
Mereka yang menuntut ilmu kemudian mengajarkannya hanyalah karena-Nya, namun ternyata berdusta sebab ia menuntut ilmu agar dikatakan seorang alim (yang berilmu) dan memang telah ia dapatkan hal itu. Demikianlah, yang telah dikatakan tentang dirinya.
Juga mereka yang tidak pernah meninggalkan sedekah dan infak pada jalan yang dicintai-Nya, namun ternyata berdusta sebab ia berbuat demikian agar dikatakan seorang dermawan dan mereka pun memang telah mendapatkan hal itu. Demikianlah, yang telah dikatakan tentang dirinya (HR. Muslim).
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasaannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.” (QS. Hud: 15)
Namun, tidak dengan akhirat, “Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri.” (QS. Al-Qasas: 83)
Bagi mereka yang beramal dengan tujuan mencari kedudukan di hati manusia agar dikagumi, memperoleh banyak pemirsa di setiap unggahan, sebagainya, mereka akan dapatkan hal itu di dunia, namun surga tidak akan ia dapatkan, sebab Allah Subhanahu Wata’ala telah berfirman surga hanya diperuntukkan bagi mereka yang tidak ingin menyombongkan diri (tidak mencari kedudukan di hati manusia) melainkan mereka yang mencari kedudukan; di sisi Rabbnya. Begitu pula dengan yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka neraka baginya, bagi mereka yang beramal saleh bukan karena-Nya.
Itulah balasan terhadap apa yang mereka telah kerjakan dan tidak ada sesuatu pun dari manusia yang tersembunyi bagi Allah Subhanahu Wata’ala.
Semoga menjadi renungan dan evaluasi (terkhusus untuk diri sendiri). Wallahu waliyyut taufiq.
Waspada riya’ terselubung – Ustaz Firanda Andirja hafidzahullah.
79 notes · View notes
lacikata · 5 months
Text
Lillahi Ta’ala.
Diketahui bahwa ikhlas karena-Nya merupakan salah satu syarat diterimanya amalan seorang hamba. Namun, menjaganya untuk senantiasa ikhlas bukanlah perkara yang mudah. Sebagaimana dikatakan Sufyan ats-Tsauri rahimahullah, “Aku tidak pernah menghadapi yang paling berat seperti menghadapi niatku.”
Seperti iman yang selalu berubah-ubah (naik, turun); niat pun demikian. Pagi bisa ikhlas, siangan dikit bisa jadi riya’. Hari ini tulus, besoknya diungkit-ungkit. Oleh sebab itu, dikatakan Ibnul Qayyim rahimahullah, “Yang penting bukan masalah beramalnya, namun menjaga amal itu sendiri dari hal-hal yang senantiasa bisa merusaknya.”
Sebab mau sebanyak apa pun, selelah apa pun dalam beramal saleh tidak akan diterima jika tidak terpenuhi salah satu dari kedua syaratnya. Dan salah satu dari penyebab rusaknya keikhlasan adalah riya’.
Para salaf pun telah memberikan teladannya, di mana mereka berusaha semaksimal mungkin untuk menyembunyikan amal salehnya. Mengapa? Sebab ketika tampak dapat memicu tingginya spekulasi sehingga mudah terkena riya’.
Seperti Ibnul Mubarak rahimahullah yang mengenakan penutup wajah ketika berjihad agar tidak diketahui oleh orang lain. Ini pun yang diterapkan oleh mujahidin di Palestina, Hamas di antaranya yang merupakan perintah dari Syekh Ahmad Yassin rahimahullah, “Kamu tutup wajahmu sehingga ketika kamu berjihad benar-benar lillah (karena Allah Subhanahu Wata’ala).”
Beliau sebagai pendiri Hamas juga menaruh perhatiannya hingga mencakup perihal penampilan yang bertujuan untuk memupuk keikhlasan mujahidin. Begitu pun dengan salah satu sosok yang dikenal sebagai Abu Ubaidah hafidzahullah, yang diketahui dari beliau hanyalah nama (samaran) dan statusnya sebagai juru bicara.
Salah satu pelajaran yang bisa diambil adalah untuk menjaga keikhlasan. Popularitas bisa menjadi bencana bagi mereka yang bermental lemah, sebab ia bisa betul-betul memperdaya minimal akan menimbulkan riya’ pada dirinya.
Sebagaimana yang juga betul-betul diterapkan oleh para salaf, mereka bersusah payah untuk menyembunyikan amal salehnya. Mereka bahagia ketika amal saleh atau identitasnya tidak diketahui, sehingga hal itu tidak menimbulkan spekulasi yang bisa mencoreng keikhlasan mereka.
Ini pun yang termaktub di QS. Al-Baqarah: 271, “Jika kamu menampakkan sedekah(mu) maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu.”
Keikhlasan adalah jiwa setiap ibadah serta amal saleh dan dengan menyembunyikannya akan menumbuhkan keikhlasan itu sendiri, sebaliknya ketika amal saleh itu sengaja agar terlihat, diketahui, didengar oleh orang lain terdapat dua kemungkinan, bisa baik dan buruk.
Baiknya, apabila tidak disertai riya’ dapat memotivasi orang lain, sehingga ia akan memperoleh pahala serupa pahala orang lain yang melakukannya (HR. Muslim). Buruknya, jika tidak bisa menghindari perasaan riya’ justru akan menimbulkan bumerang bagi diri sendiri.
Dan inilah lagi-lagi sebuah pelajaran dari para ulama, mereka yang ilmunya lebih tinggi, amalnya lebih hebat, lebih memilih menyembunyikan sebab mereka pun lebih paham betapa lemahnya manusia, mudahnya tergelincir dan itulah yang lebih baik sebagaimana telah Allah Subhanahu Wata’ala terangkan di dalam Alquran.
Seyogianya, meski gempuran zaman yang sekarang ini menggoda manusia untuk berlomba-lomba menjadi konsumen popularitas dengan pamer sana, pamer sini; mengikuti syariat lebih utama dan lebih baik akibatnya.
Dan ketika seseorang sengaja memamerkan amal-amal salehnya, bisa jadi salah satu tujuannya agar mendapat pengakuan dari orang lain, di mana hal itu bisa memicu kekaguman dari orang lain yang akan memenuhi syahwatnya.
Inilah yang dikatakan oleh Ibnul Atsir rahimahullah sebagai as syahwah al khaffiyah atau syahwat yang tersembunyi, seperti orang yang lapar melihat makanan kemudian dirinya bersyahwat, begitu pula dengan orang yang ingin dipuji dan gila pujian merupakan salah satu penyakit yang perlu dilawan, sebab ia bisa merusak keikhlasan.
Telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa kelak ada 3 golongan orang yang beramal saleh namun mereka justru masuk neraka. Mengapa? Sebab mereka beramal bukan karena-Nya melainkan tersimpan ingin diakui (riya’) di dalam hatinya.
Siapa mereka? Mereka adalah orang yang syahid di jalan Allah Subhanahu Wata’ala, orang yang menuntut ilmu kemudian mengajarkannya, orang yang dilapangkan rezeki serta harta bendanya. Dan telah dikabarkan pula dalam Alquran bagi mereka yang beramal saleh dengan tujuan mencari kedudukan di hati manusia agar disanjung, dihormati, disegani maka ia akan dapatkan hal itu.
Sebagaimana 3 golongan yang telah dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, mereka yang mengaku berperang semata-mata karena-Nya, namun ternyata berdusta sebab ia berperang agar dikatakan seorang yang gagah berani dan memang telah ia dapatkan hal itu. Demikianlah, yang telah dikatakan tentang dirinya.
Mereka yang menuntut ilmu kemudian mengajarkannya hanyalah karena-Nya, namun ternyata berdusta sebab ia menuntut ilmu agar dikatakan seorang alim (yang berilmu) dan memang telah ia dapatkan hal itu. Demikianlah, yang telah dikatakan tentang dirinya.
Juga mereka yang tidak pernah meninggalkan sedekah dan infak pada jalan yang dicintai-Nya, namun ternyata berdusta sebab ia berbuat demikian agar dikatakan seorang dermawan dan mereka pun memang telah mendapatkan hal itu. Demikianlah, yang telah dikatakan tentang dirinya (HR. Muslim).
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasaannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.” (QS. Hud: 15)
Namun, tidak dengan akhirat, “Negeri akhirat itu Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri.” (QS. Al-Qasas: 83)
Bagi mereka yang beramal dengan tujuan mencari kedudukan di hati manusia agar dikagumi, memperoleh banyak pemirsa di setiap unggahan, sebagainya, mereka akan dapatkan hal itu di dunia, namun surga tidak akan ia dapatkan, sebab Allah Subhanahu Wata’ala telah berfirman surga hanya diperuntukkan bagi mereka yang tidak ingin menyombongkan diri (tidak mencari kedudukan di hati manusia) melainkan mereka yang mencari kedudukan; di sisi Rabbnya. Begitu pula dengan yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka neraka baginya, bagi mereka yang beramal saleh bukan karena-Nya.
Itulah balasan terhadap apa yang mereka telah kerjakan dan tidak ada sesuatu pun dari manusia yang tersembunyi bagi Allah Subhanahu Wata’ala.
Semoga menjadi renungan dan evaluasi (terkhusus untuk diri sendiri). Wallahu waliyyut taufiq.
Waspada riya’ terselubung – Ustaz Firanda Andirja hafidzahullah.
79 notes · View notes