ledesespoir
3 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Dan Jiwa, malam itu.
Laki-laki tinggi itu, Argana Djiwa namanya.
Dia jiwaku, jiwaku yang hebat, jiwaku yang kuat, jiwaku yang selalu baik.
Argana Djiwa, tak pernah bosan rasanya menyebut namamu. Namamu yang indah, seindah jiwamu. Apapun yang kamu lakukan selalu menarik di mataku, apapun yang kamu katakan selalu berhasil membuatku tersenyum. Namun tidak ketika malam itu.
Hari itu, hampir tengah malam. Kamu datang ke rumahku dengan keadaan yang jauh dari kata rapi. Tidak seperti kamu yang biasanya, hari itu kamu datang dalam keadaan yang membuat bulir-bulir air mataku terjun bebas seketika. Kamu berantakan, Jiwa.
Aku ingat ketika tubuhmu yang tinggi menjulang itu terkulai lemas di hadapanku. Aku ingat bagaimana dekap rangkulanmu hari itu, aku ingat nafasmu yang menderu kencang, aku ingat isakan kecil yang kamu tahan.
“Jiwa, kenapa berantakan sekali?” tanyaku pada Jiwa sambil membalas dekapannya dengan sentuhan tangan naik turun dibahunya yang bergetar hebat malam itu. Yang dapat kudengar dari Jiwaku malam itu hanya kata maaf, entah berapa kali dia menyebut kata itu. Tak memaksanya untuk berbicara, kubiarkan kami dalam posisi seperti itu sampai Jiwaku mereda.
Ketika Jiwa dapat mengatur nafasnya kembali normal, ia memandangiku lekat dan dalam. Matanya berbicara, ada sesuatu hal besar yang ingin ia katakan. Namun bibirnya bungkam dan ditutupnya rapat-rapat saat itu.
“Kiana, aku sayang kamu.”
Jiwaku berbicara! Dia mengatakannya, hal yang selalu aku ingin dengar darinya. Setelah melewati keheningan dalam beberapa saat, akhirnya laki-laki itu berhenti dari bungkamnya.
Rasanya aku ingin menabrakkan diriku pada Jiwa saat itu juga, namun aku berusaha setengah mati untuk menahan pergerakanku yang akan terlihat gila itu. Aku berusaha untuk mengeluarkan senyuman terbaikku padanya. “Terima kasih Jiwa, aku juga sayang sama Jiwa. Sangat sayang sekali.”
Jiwa tersenyum lesu, tatapannya tidak hidup. Dia kembali memelukku sembari membelai rambutku yang mulai memanjang, seperti yang Jiwa minta. Panjangin rambutmu ya, Kiana.
“Kiana, maaf kalau kamu harus sama aku sekarang.”
Tidak Jiwa, bukan ini kelanjutan yang ingin kudengar darimu. Tolong berhenti, aku tidak pernah berharap kalimat seperti ini keluar darimu yang selalu berhasil membuatku tenang. “Enggak Jiwa, aku gak apa-apa. Aku seneng sama kamu.” Aku menjauh dari dekapannya, aku ingin melihat wajahnya, dan tatapannya. Apa arti dari semua ini? Mengapa ia mengatakan ini padaku?
“Maafin aku, Na. Aku belum bisa ngelangkah maju sama kita. Aku gak pantes Kiana. Kamu berhak dapetin yang terbaik, dan itu mungkin bukan aku.”
Kulihat ia menunduk dan tak berani membalas tatapan mataku. Jiwaku yang hebat kini menunduk dihadapanku? Mengapa Jiwaku begini?
“Jiwa, yang terbaik itu kamu. Buatku cuma kamu yang terbaik. Kamu lihat kan, aku sembuh sekarang. Aku gak sakit lagi karena aku punya kamu.”
Bulir-bulir air mata itu jatuh tak terbendung, aku terisak hebat. Jiwa diam, masih dalam posisi yang sama. Nafasnya tak beraturan dan bahunya naik turun dengan cepat. Kemudian dia kembali menegakkan kepalanya dengan susah payah, kedua tangannya mengecengkram kuat hoodie hitam yang dia pakai saat itu.
“Aku selalu jadi penyembuh buat orang lain, tapi aku gak pernah sembuh, Kiana!” Nada suaranya meninggi, nafasnya semakin tersengal. Kali ini matanya ikut memerah dan dia memalingkan wajahnya dariku.
Tak ada yang dapat kulakukan selain menangis di hadapannya. Aku akui, diriku sangat lemah terhadap perdebatan. Aku selalu menghindari perdebatan, dan saat ini hal itu harus muncul tepat di depan wajahku. Kami berdua berantakan, aku yang menangis terisak dengan mata yang sudah terasa perih dan bengkak. Dan diseberang sana, jiwa menahan amarahnya.
“Gak apa-apa, Jiwa. Kita bisa sembuh sama-sama, aku yakin kita bisa.”
Kami kembali beradu argumen setelahnya. Aku dengan pendirian dan keyakinanku untuk tetap bersama Jiwa. Dan Jiwa dengan pendirian dan keyakinannya yang bertolak belakang denganku. Sampai akhirnya perdebatan yang hampir tak berujung itu ditutup oleh pernyataan dari Jiwa yang membuat kami sama-sama bungkam dalam sepersekian detik.
“Kiana, denger. Aku suka sama kamu, aku sayang kamu lebih dari yang kamu tau. Tapi sampai sekarang aku masih anggap dia itu ada dan aku masih nyari dia di kamu! Maafin aku, Na. Kamu gak seharusnya tau, tapi aku harus bilang ini ke kamu. Aku sebrengsek ini, Kiana.”
Pertahananku runtuh, kali ini benar-benar runtuh. Rasanya duniaku seakan berhenti, waktuku berhenti, kehidupanku berhenti. Seperti disambar oleh petir yang dahsyat, aku mematung. Aku hanya bisa memandangi kepergian Jiwa, setelah dia mengatakan hal itu. Laki-laki itu pergi dengan sekuat tenaga. Kulihat ia hampir terjatuh berkali-kali, bahkan kakinya yang panjang itu seperti sedang tak mampu menopang tubuh kurusnya.
Di luar sana sedang angin kencang, seperti tengah ikut merayakan keributan kami. Semoga malam itu, Jiwaku yang hebat dilindungi sampai ia kembali pulang.
Sampai hari ini, aku tak menemukan Jiwaku. Dia menghilang. Namun aku yakin dia akan kembali, entah untukku atau bukan. Aku hanya ingin dia kembali. Pulang ya, Jiwaku yang hebat.
(Satu chapter aja, karena udah writer block)
0 notes
Text
Yang hilang kembali, namun akan selalu pergi.
Dia bilang, dia sudah mati sejak menginjak usia tujuh belas tahun, yang paling banyak di nanti-nanti. Dia selalu ingin mati, jiwanya ingin mati, dan hidupnya adalah mati.
Dan jiwa-jiwa yang mati itu tak akan merasakan sakit lagi walau terbantai ribuan kali dan meski tanpa henti.
Rasa yang dia ketahui hanya hampa, gelap dan sunyi. Seperti peti mati yang tertutup rapat, di dalamnya gelap gulita.
Ia menyerah untuk membuka tutup peti mati itu. Terlalu berat untuknya, dan pada akhirnya dia memilih untuk berdiam diri di dalam sana. Sampai ia benar-benar mati. Raga dan jiwanya.
Saat menyerah sudah terpatri dalam dirinya, setitik cahaya kecil muncul entah dari mana asalnya. Cahaya itu kecil dan sangat terang, dia menyebutnya kunang-kunang.
Kunang-kunang itu terjebak. Terjebak dalam peti mati bersamanya. Dia terbang kesana kemari mencari jalan untuk keluar. Melihat apa yang dilakukan si kunang-kunang kecil, dia merasa diikat bagai boneka dengan tali-tali. Dia tergerak mengikuti cahaya kunang-kunang untuk menggeser tutup peti mati tadi.
Sejak kehadiran kunang-kunang kecil, jiwa yang mati itu hidup kembali.
Dia hidup, dia akan hidup kekal kali ini. Dia akan hidup untuk melihat indahnya si kunang-kunang kecil.
“Kunang-kunang, kamu pernah lihat orang mati berkali-kali tetapi lahir kembali di hari yang sama? Itu aku, setiap hari aku mati dan terlahir kembali.”
Dia mengatakannya dengan senyum manis paling palsu, yang akan menggores hati siapa pun yang melihatnya.
“Kunang-kunang yang baik, kali ini aku tidak ingin mati. Aku ingin hidup selamanya untuk menikmati keindahanmu."
Melihat keindahan kunang-kunang hari itu, membuatnya memiliki alasan untuk menghidupkan jiwanya kembali. Dia ingin tetap hidup, tak ingin merasa mati lagi. Demi kunang-kunangnya. Dia memberanikan diri, keluar dari peti matinya.
Tanpa dia sadari, bahwa kunang-kunang tak berumur panjang. Hanya dalam beberapa hari, kunang-kunangnya akan pergi dan meninggalkannya dalam kesendirian lagi.
0 notes
Text
to the boy i never dated.
hi,
i really want to talk to you, but i don't know how to tell you that without sounding annoying. i really want to tell you, how much i miss you, every single breath. i really want to say how much i like you without feeling desperate. and i really want to tell you how sad i have been lately, but i don't know how to tell you without feeling dumb. i don't know how to talk to you and share my feelings without making you feel bad or you think that i'm dramatic.
you, yes you. you're my most favorite person in the whole damn planet. because you make me feel comfortable and safe. if you see the way my face lights up and my mood changes when you text me, it's pure happiness because i love you. yeah, i love you and i care for you and i wish you all the happiness on this planet because you deserve it. and you must know that i don't just "love you" because there is a difference between "love you" and "i love you" and for me to come out and say i love you is shocking because i tell people all the time "love you" because i care for them. but you, i love you with all of my heart. yes, i know you will never love me as much as i love you. but it's okay, because i love you for who you are, not who you act like, and not who people think you are. you are you, i know you and i love you. i want you to genuinely be happy with who you are, and with your life.
1 note
·
View note