lemonandomurice
lemonandomurice
Lemon Tea's Archive
26 posts
ID/ENG OK ∘ ちょい日本語 ∘ 中文still learning | Currently in HSR, R1999, and visual novels hell. | A blog just for personal vault. I usually didn't tag my posts, please proceed with discretion. | Header made by my beautiful friend! ദ്ദി(ᵔᗜᵔ)
Don't wanna be here? Send us removal request.
lemonandomurice · 1 year ago
Text
home
—Pokémon Omega Ruby & Alpha Sapphire short fanfiction; Higana/Zinnia x Haruka/May (Female MC) —Written in Bahasa Indonesia —Gameverse; GL/shoujo-ai, using JP names for the characters & cities & pokemons, might be OOC —Pokémon Omega Ruby & Alpha Sapphire © Game Freak & Tajiri Satoshi. Fanfiksi ini ditulis hanya demi menambah asupan gizi pribadi kapal kesayangan saya. Saya tidak bermaksud untuk mengambil keuntungan materiil apapun.
Setelah pertarungan terakhir mereka di Sky Pillar, sebulan lalu, Haruka tidak pernah melihat Higana. Gadis itu seolah-olah menghilang untuk selamanya.
Pertama kali bertemu Higana, Haruka merasakan sebuah firasat; bahwa mereka terikat oleh benang merah.
Dan itu mutlak sebab Haruka tidak mampu menghapus sosok Higana dari pikirannya, juga hatinya.
Ia merindukan Higana dengan semua perangai anehnya. Seperti bagaimana gadis itu selalu tertawa keras dan berekspresi seperti orang gila ketika melakukan pokemon battle dengannya.
Terkadang Haruka memberitahu Yuuki—sahabat baiknya sekaligus rival-nya—tentang rasa rindunya itu. Kata Yuuki, dengan pasti, Higana akan kembali. Namun Haruka tidak memercayainya. Sudah sebulan Higana tak pernah mengunjunginya.
Haruka juga menelusuri Hoenn demi mencari Higana—namun usahanya nihil. Higana seolah-olah menghilang dari Hoenn tanpa jejak.
Ia tak dapat menghapus sosok Higana dari benaknya.
Malam ini seperti malam-malam sebelumnya, dimana ia tidak bisa tidur karena memikirkan sosok Higana. Biasanya ia akan tertidur setelah tengah malam dan bangun dengan kepala pening.
“Haruka.”
Sepertinya, karena rasa rindunya yang membuatnya hampir gila itu, ia mendengar suara gadis itu—suara khas Higana. Ia tidak sedang berhalusinasi, kan?
“Haruka, buka jendelanya!”
Tunggu, ia tidak sedang bermimpi kan?
Haruka membuka jendela kamarnya, merasakan dinginnya angin malam Kota Mishiro. Dan ketika ia melihat keluar, betapa terkejutnya dirinya mendapati sosok Higana dan Bohmander kesayangannya ada di depan jendela kamarnya.
Tak dapat menahan diri, Haruka meneteskan air mata, meluapkan rasa rindunya yang selama ini terpendam dalam lubuk hatinya. Ia mempersilahkan trainer itu masuk ke kamarnya.
Higana masuk ke kamar Haruka dan menyimpan Bohmander dalam pokeball miliknya.
“Higana!”
Tanpa memedulikan Higana yang tersenyum tipis melihatnya menangis, Haruka mendekap trainer itu erat-erat. Yang ia peduli hanyalah keberadaan Higana dan bau tubuh khas-nya. Higana balas memeluk Haruka, menyalurkan kehangatan yang selama ini Haruka rindukan.
“Haruka adalah rumahku.”
Ketika Higana mengatakannya, tangis Haruka semakin keras. Semakin erat pula ia mendekap Higana.
“Jangan pergi kemana-mana lagi.”
Higana terkekeh pelan. Tangannya mengacak-acak surai cokelat Haruka.
“Baiklah. Aku pulang, Haruka.”
finish (i didn't remember and didn't note the exact date for this, i think it's around 2018-2019?)
0 notes
lemonandomurice · 1 year ago
Text
puppy love
—Pokémon Ruby & Sapphire fanfiction; Tsuwabuki Daigo/Steven Stone x Yuuki/Brendan (Male MC) —Written in Bahasa Indonesia —Gameverse; BL/shounen-ai, using JP names for the characters & cities & pokemons, might be OOC —Pokémon Ruby, Sapphire and Emerald © Game Freak & Tajiri Satoshi. Fanfiksi ini ditulis hanya demi menambah asupan gizi pribadi kapal kesayangan saya. Saya tidak bermaksud untuk mengambil keuntungan materiil apapun.
Yuuki tidak percaya dengan cinta pada pandangan pertama.
Baginya cinta pada pandangan pertama itu omong kosong. Cinta yang sebenarnya dibentuk oleh proses; perkenalan, pertemanan, ketertarikan, dan saling mencintai. Happy ending. Tidak ada yang instan.
Yuuki juga tidak percaya dengan frasa kesempurnaan.
Seberapa hebat pun seseorang, pasti ada satu atau dua hal yang membatasi diri. Tidak ada yang sempurna. Semua punya kelebihan dan kelemahan masing-masing. Semua sudah diciptakan sebagaimana mestinya—bahkan perjalanan hidup dan cinta pun tidak ada yang sempurna. Pasti ada lika-liku yang harus dijalani terlebih dahulu.
Namun terkadang tak bisa dipungkiri, Yuuki mendambakan kehidupan yang sempurna dan sosok yang sempurna pula. Terkadang ia juga berandai-andai seperti apa rasanya menyukai seseorang, jatuh cinta, berpelukan kemudian berciuman.
Jujur, Yuuki ingin jatuh cinta.
Bukannya Yuuki tidak memercayai frasa kesempurnaan pada tingkat ekstrim. Yuuki percaya; sempurna itu nyata, ada—hanya saja ia belum menemukan arti kesempurnaan baginya. Definisi kesempurnaan berbeda-beda. Namun suatu saat nanti, Yuuki diam-diam percaya hidupnya akan terasa lengkap—terasa sempurna. Yuuki percaya suatu saat nanti ia akan menemukan belahan jwanya. Yang pasti, yang manapun tidak masalah—toh ia menikmati hidupnya saat ini sebagai Pokemon Trainer baru.
—semua itu terpatahkan ketika ia meninggalkan zona nyaman, meninggalkan ibunya dan Profesor Odamaki untuk memulai petualangannya, menjelajahi Hoenn bersama Kimori.
Sebenarnya Yuuki cukup takut. Ia sendiri dengan Kimori dan Pokemon lainnya. Haruka juga ikut meninggalkan kampung halaman. Namun mereka tidak bersama-sama—mereka pergi dengan tujuan yang berbeda; Yuuki dengan impiannya menaklukkan kejuaraan Hoenn dan Haruka dengan impiannya menjadi ratu kontes serta melengkapi Pokedex yang diberikan ayahnya.
Padahal ada Haruka yang manis dan supel, namun Yuuki tidak merasakan getaran apapun. Sebenarnya bisa saja Yuuki jatuh cinta pada Haruka. Namun tidak bisa, ia hanya menganggap Haruka sebagai teman baiknya—sekaligus rival—saja. Tidak kurang dan tidak lebih.
Namun Yuuki bersyukur. Dalam perjalanannya, lumayan banyak hal yang ia pelajari; seperti membantu orang dalam kesusahan, menjadi Pokemon Trainer yang baik. Semua yang ia pelajari menambah wawasannya untuk mengincar lencana berikutnya. Yuuki juga berkenalan dengan orang-orang unik; si teman seumuran Mitsuru-kun yang sakit-sakitan, pelaut yang baru saja pensiun, Team Magma yang menyiksa Pokemon milik orang lain dan membuat masalah, hingga Tsuwabuki-san yang memintanya untuk mengirimkan surat untuk putranya di Kota Muro.
Mungkin ini akan menjadi perjalanan yang menarik.
Dunia Yuuki benar-benar berubah saat menginjakkan kaki ke gua yang berada di pesisir kota Muro. Dunia Yuuki yang sudah berwarna sejak kepindahannya ke Hoenn kini menjadi lebih indah. Seperti bagian dirinya yang semula memang belum lengkap, kini terlengkapi dengan sendirinya.
Semua itu terjadi ketika ia diserang sekelompok Zubat di gua. Kimori telah berevolusi menjadi Juptile. Juptile dan kawan-kawan sudah melemah, jadi Yuuki kurang bisa mengandalkannya untuk menyerang balik kawanan Zubat-Zubat nakal itu. Yuuki terpaksa melindungi dirinya dan partner-nya dari serangan Zubat-Zubat yang mengamuk, berharap setelah ini mereka akan pergi. Tubuhnya memeluk Juptile erat, menanti cabikan yang akan ia terima dari Pokemon liar tersebut.
Yuuki memejamkan mata, mengantisipiasi punggungnya akan terasa perih sebentar lagi berkat Zubat—
(Tubuhnya benar-benar bergetar.)
—namun rasa perih yang ia tunggu tak kunjung datang. Perlahan Yuuki membuka kedua matanya.
Betapa terkejutnya ketika ia melihat seseorang dengan punggung tegap dan bahu kokoh berdiri di depannya, membelakanginya sembari mengusir kumpulan Zubat dengan Metagross miliknya.
Metagross sangat besar dan kokoh, tidak seperti Juptile yang sedang-sedang saja, masih terlihat kecil dibandingkan Metagross. Yuuki merasa malu, namun juga berterima kasih pada sosok yang menyelamatkannya dan Pokemon-Pokemonnya dari situasi mencekam barusan.
Setelah Zubat tidak terlihat, sosok itu berbalik dan bertanya dengan suara lembut—yang juga mengandung ketegasan yang sulit diartikan—
"Kau tidak apa-apa?"
—dan Yuuki hanya bisa terdiam kaku ketika matanya bersibobrok dengan manik obsidian Tsuwabuki Daigo, pria yang baru saja menyelamatkannya.
Pria dengan bahu lebar dan punggung tegap itu memiliki tatapan yang sangat teguh dan menenenangkan. Kedua iris obsidian itu sangat indah untuk dipandang, seolah Yuuki terhipnotis ke dalam lautan misterius itu.
"Hei, kau tidak apa-apa?"
Pria itu bertanya lagi. Raut wajahnya khawatir. Ia menyentuh pundak yuuki, membuat Trainer muda itu mengerjap dan tersadar dari lamunannya.
"Saya baik-baik saja. Terima kasih sudah menolong kami, anu—"
"Sama-sama. Aku Tsuwabuki Daigo dan kamu?"
"Saya Yuuki dari Kota Mishiro."
Daigo menjabat tangannya. Jarinya lentik dan tetap indah dengan paduan cincin berlian di jari manis dan jari telunjuknya. Tekstur kulit Daigo tidak selembut yang ia kira, namun memberikan efek kupu-kupu yang sangat hebat pada bagian dalam perutnya. Telapak tangan Daigo terasa nyaman. Rasanya tangan kecilnya tenggelam dalam tangan besar milik Daigo yang tengah menjabat tangannya.
Ketika jabat tangan mereka berakhir, Yuuki kembali menatap Daigo. Pria itu balas menatapnya dan menyunggingkan senyum kecil. Ramah sekali.
"Ayo, Yuuki-kun. Kuantar kamu sampai keluar. Sepertinya Juptile terluka parah."
Pria itu memiliki wajah yang sangat rupawan. Wajahnya mulus tanpa cela. Di satu sisi, wajah itu terlihat polos dan ramah, di sisi lainnya wajah itu terlihat tegas dan berwibawa. Tsuwabuki Daigo itu tampan sekali. Dan ketika ia tersenyum, wajahnya berlipat kali lebih tampan dari sebelumnya.
Sempurna. Tsuwabuki Daigo adalah sosok yang sempurna—menurut Yuuki.
"Ah iya. Terima kasih Tsuwabuki-san. Saya dan Juptile sangat bersyukur."
Daigo terkekeh mendengar ungkapan terima kasih Yuuki yang menurutnya terdengar sangat kaku dan penuh rasa gugup. Menurut Daigo, Yuuki itu menggemaskan.
"Jangan panggil aku Tsuwabuki-san, tapi Daigo saja. Dan jangan bersikap formal. Santai saja. Nee, Yuuki-kun?"
Bagaimana bisa Yuuki bersikap tenang ketika jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya? Di satu sisi, ia senang mendapatkan perlakuan khusus dari sosok sempurna seperti Daigo.
Yuuki merasa ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Terkutuklah shoujo manga dan anime klise yang sewaktu kecil ia tonton dan nikmati—meski ia awalnya ia tidak memercayai cinta pada pandangan pertama, namun Yuuki menikmati karya fiksi yang berkaitan dengan hal tersebut.
Yuuki menundukkan kepalanya, kemudian mengangguk patuh. Apakah ini mimpi? Bisa memanggil si tampan Daigo dengan nama depannya? Seperti sudah dekat saja—Oh, Yuuki terlalu percaya diri.
"Baiklah, Daigo-san."
"Ya, begitu lebih baik, Yuuki-kun."
Mereka berjalan beriringan, ditemani Metagross dan Juptile yang berjalan di sisi kanan Yuuki. Sesekali Yuuki mengulum senyum malu-malu. Rasanya mereka dekat sekali.
Karena hening selama perjalanan keluar gua, Daigo bercerita sedikit tentang dirinya dan batu mineral kesukaannya. Yuuki berusaha menyimak dan memberi tanggapan kecil, namun tetap saja ia tidak bisa fokus mendengar karena curi-curi pandang ke wajah berbinar Daigo yang tampak sangat bersinar ketika bercerita mengenai hobinya; mengoleksi batu dan mineral langka.
Sisi antusias Daigo terhadap batu mineral sangat manis. Ia juga jatuh cinta dengan sisi ambisius pria itu.
"Nah, sudah sampai, Yuuki-kun."
Tidak terasa mereka sudah sampai di luar gua. Seberkas cahaya luar pada siang hari membuat Yuuki kembali membiaskan pandangannya terhadap keadaan di luar.
Yuuki lega karena sudah berhasil keluar dari gua penuh Pokemon liar itu. Namun ia juga dilema; di satu sisi ia tidak ingin berpisah dengan Daigo-san secepat ini.
Melihat Yuuki yang menunduk dengan ekspresi seperti ingin menangis, Daigo tersenyum dan mengacak surai hitam Yuuki yang tertutupi dengan beanie putih miliknya. Yuuki sedikit terkejut dan kedua pipinya merona, namun tidak menolak perlakuan manis Daigo.
"Senang bisa bertemu denganmu, Yuuki-kun."
Yuuki tersenyum kecil menanggapi pernyataan Daigo.
"Aku juga senang bisa bertemu dengan Daigo-san. Daigo-san adalah sosok yang baik."
Daigo terkekeh pelan. Yuuki suka mendengar pria itu tertawa.
Daigo berjalan kembali ke dalam gua. Sebelum itu ia berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal pada Yuuki. Dengan senyum menawannya tentu saja.
"Maaf Yuuki-kun, aku harus kembali ke dalam gua. Ada sesuatu yang harus kucari."
"Tidak apa-apa, Daigo-san. Sekali lagi terima kasih sudah menolong kami."
"Sama-sama, Yuuki-kun."
Daigo melambaikan tangannya. Senyum kecil itu masih terpampang pada wajah tampannya.
Hati-hati, Daigo-san—batinnya dalam hati.
Yuuki mengawasi hingga punggung tegap itu menghilang ke dalam kegelapan gua.
Setelah sosok Daigo benar-benar menghilang, Yuuki menyentuh dadanya—tepat dimana jantungnya berpacu sangat kencang. Wajahnya benar-benar merona sekarang begitu mengingat pria itu.
Yuuki benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama. Konyol memang, namun debaran di dadanya tidak bisa dibohongi. Yuuki tersenyum mengingat sosok lembut dan hangat seorang Tsuwabuki Daigo. Senyum seperti gadis-gadis muda yang sedang dimabuk asmara.
Mereka baru saja bertemu, namun Yuuki memiliki firasat kuat bahwa suatu saat nanti mereka akan bertemu kembali. Tidak lama lagi.
Membayangkan dirinya akan bertemu kembali dengan Daigo, Yuuki tersenyum. Ia berandai-andai apa yang akan terjadi pada pertemuan mereka selanjutnya.
Oh, sepertinya Yuuki melupakan sesuatu—
Surat dari Tsuwabuki-san!
—ingatkan Yuuki untuk memberi surat titipan Tsuwabuki-san kepada Daigo-san ketika mereka kembali bertemu nantinya.
finish (Jumat, 20 Juli 2018)
0 notes
lemonandomurice · 1 year ago
Text
good night, don't forget to have a nice dream
—Pokémon Sun & Moon fanfiction; Gladio/Gladion x Mizuki/Selene (Fem!MC) —Written in Bahasa Indonesia —Gameverse; using JP names for the characters, might be OOC —Pokémon Sun & Moon © Game Freak & Tajiri Satoshi. Fanfiksi ini ditulis hanya demi menambah asupan gizi pribadi kapal kesayangan saya. Saya tidak bermaksud untuk mengambil keuntungan materiil apapun.
“Gladio-kun, aku ngantuk.”
Mizuki merebahkan tubuhnya di ranjang kabin. Guling putih polos di sampingnya menjadi sasaran peluk gadis itu. Aromanya wangi, seperti sabun cuci di rumah-nya.
Sebelumnya yang Mizuki lakukan hanya memandang hamparan laut luas yang diperindah oleh cahaya bulan penuh dari jendela kecil kabin dan berceloteh tidak jelas—tentang betapa senangnya ia akan bertemu kembali dengan Lillie di Kanto setelah sekian lama, betapa malangnya nasib Hau yang tertinggal di Pulau Melemele karena Hala-san memaksanya untuk berlatih—secara Hau calon kahuna selanjutnya, cita rasa masakan Mao-san yang tidak biasa, Kaki-san yang mulai serius dengan kerja paruh waktu-nya—sementara Gladio yang duduk di kasur satunya hanya mendengarkan ocehan temannya sembari membolak-balik lembaran buku tebal yang asik dibacanya.
“Aku capek.”
Mizuki merasa sangat lelah.
Kapal feri yang mereka tumpangi terombang-ambing selama kurang lebih empat jam perjalanan. Lama-kelamaan Mizuki pening—juga perutnya serasa diaduk-aduk. Dia tidak tahan jika sudah menyangkut perjalanan jarak jauh menggunakan transportasi air. Gadis itu mabuk laut sedari kecil. Ketika ia bersama ibunya baru saja pindah ke Alola, Mizuki bahkan hampir memuntahkan seluruh isi perutnya. Untungnya udara segar Alola saat itu berhasil mengembalikan akal sehatnya.
Sial sekali hari ini.
“Kalau ngantuk tidur.”
Pemuda itu membalasnya seperti biasa—singkat, jelas, padat. Hampir tidak ada emosi yang tersirat ketika Gladio berbicara.
Mizuki hanya nyengir bodoh. Dia sudah biasa menanggapi sikap tak acuh Gladio.
“Oh iya! Jangan lupa bangunkan aku kalau sudah sampai di Kanto.”
Gladio pura-pura tidak peduli. Ia memilih mendiamkan Mizuki seperti biasa. Diam-diam matanya menangkap bibir Mizuki yang mengerucut sebal—entah karena Gladio yang cuek padanya atau karena mabuk laut-nya—sebelum berbaring menyamping dan memejamkan matanya, bersiap menuju alam mimpi.
Imut.
Tetapi—tentu saja—yang namanya Gladio tidak suka mengungkapkan afeksi secara terang-terangan.
Dia bukan Hau yang dengan santainya memeluk Mizuki setiap kali bertemu, Kaki-san yang luar biasa hiperaktif, atau Ilima-san yang ramah pada semua orang.
Maka setelah dipastikan temannya—yang tidak ia akui sebagai kawan maupun musuh—sudah tertidur pulas, Gladio meletakkan buku tebal-nya, bangkit dari kasurnya dan menghampiri Mizuki yang memeluk guling dengan sangat erat seperti ingin memakannya—dan terkadang menggumamkan Kanto dan Lillie dengan lucunya.
Gladio mengulum senyum kecil. Jari lentik-nya menyentuh helai rambut hitam-kecokelatan Mizuki yang berantakan dan menutupi sebagian wajahnya. Berantakan. Ia menyingkirkan sedikit helai yang mengganggu, menatap wajah damai temannya yang tampak sangat polos. Gadis itu sangat tenang ketika terlelap—biasanya Mizuki tidak bisa diam.
“Tidurmu berantakan.”
Selama dua tahun mengenal Mizuki, gadis itu masa bodo dengan penampilannya dan tidak peduli dengan blus atau rok yang sedang trendi di kalangan remaja perempuan. Mizuki sedikit berbeda dengan adik perempuan-nya—Lillie—yang feminin. Namun terkadang juga Gladio dibuat heran ketika Mizuki memintanya (beserta Hau) untuk menemaninya berbelanja di toko pakaian serba ada demi membeli dress sederhana dan sepatu ber-hak rendah berwarna merah muda.
Dia menyimpulkan; Mizuki yang tomboi juga seorang gadis. Gladio sering melihat perempuan cantik dimana-mana, namun Mizuki berbeda. Gadis itu selalu mampu mencairkan hatinya yang beku dan membuatnya tertawa lepas—hal yang tidak dapat dilakukan orang selain Mizuki.
Bagi Gladio, Mizuki yang tampil apa adanya—maupun dipoles dan berpakaian seperti gadis feminin kebanyakan, atau Mizuki yang berantakan—tetap indah. Mizuki tidak pernah membuatnya bosan.
Dengan Mizuki, Gladio menemukan tempatnya berlabuh.
“Kau bahkan lupa memakai selimut.”
Gladio menarik selimut di pinggir kasur hingga menutupi seluruh tubuh Mizuki. Dari tadi temannya lupa menyelimuti diri. Udara malam cukup dingin. Dia tidak suka melihat gadis energik itu jatuh sakit. Gladio akan rindu Mizuki yang cerewet di saat-saat seperti itu.
Lagipula Gladio tidak pernah mempermasalahkan mulut berisik Mizuki.
“Selamat malam. Jangan lupa mimpi indah, Mizuki.”
Terima kasih, Gladio-kun.
Dalam tidurnya, Mizuki tersenyum kecil.
finish (Kamis, 19 Juli 2018)
0 notes
lemonandomurice · 1 year ago
Text
adore you
—Pokémon Sun & Moon fanfiction; Ilima x Mizuki/Selene (Fem!MC) —Written in Bahasa Indonesia —Gameverse; using JP names for the characters, might be OOC —Pokémon Sun & Moon © Game Freak & Tajiri Satoshi. Fanfiksi ini ditulis hanya demi menambah asupan gizi pribadi kapal kesayangan saya. Saya tidak bermaksud untuk mengambil keuntungan materiil apapun.
Mizuki berhasil menyelesaikan trial-nya yang pertama.
Mizuki cukup bangga. Dipandangnya normalium-z yang berhasil ia dapatkan bersama rekan-rekan pokemon-nya dengan iris yang berbinar-binar. Dari tadi senyumnya tak pernah hilang. Pencapaian pertama yang cukup baik bagi seorang trainer pemula sepertinya—Kapten Ilima juga mengapresiasi bakatnya, omong-omong. Rasanya seperti mimpi. Berkali-kali Mizuki mencubit pipinya dan meringis sakit; tanda bahwa semua ini nyata, bukan sekadar angan-angan trainer muda sepertinya.
Bahagia sekali Mizuki akibat hal sederhana tersebut—ia semakin antusias untuk menyelesaikan grand trial Kahuna Hala.
Ah, bertemu Hala-san nanti saja.
Sebelum menemui Hala, Lillie, maupun Hau, biarkan ia menikmati udara segar khas Hau’oli. Sambil melihat-lihat toko pakaian dan Battle Buffet yang menarik perhatiannya.
Mizuki sangat bahagia sampai-sampai ia terus bersenandung sepanjang jalan Hau’oli, mengabaikan pandangan turis dan warga lokal yang melihatnya dengan heran. Beberapa ikut tersenyum melhat tingkah gadis kecil itu—adakah orang yang lebih bahagia dari gadis itu? Mizuki hanya tidak dapat menahannya. Dia bukan tipe orang yang suka memendam sesuatu. Lebih baik mengekspresikannya. Tidak ribet dan membuat pikiran lebih rileks.
Kira-kira kepribadian Mizuki sebelas dua belas dengan Hau. Keduanya sama-sama personifikasi matahari. Selalu menebar senyum, tidak pasif, energik, tidak mudah putus asa—Hau dan Mizuki hampir identik. Hanya saja Hau tidak bisa diam, kelewat santai dan sangat lemot dalam berpikir.
Mizuki jadi merindukan sahabat baiknya itu.
“Mizuki-chan?”
Suara familiar itu menghentikan langkah Mizuki. Satu, dua, tiga langkah menuju gadis itu.
Mizuki menoleh, mendapati Kapten Ilima tengah tersenyum padanya. Ia balas menyunggingkan senyum. Menjaga kesopanan—lagipula ia memang ingin tersenyum—kepada yang lebih tua.
“Ah, Ilima-san. Alola!”
“Ya. Alola, Mizuki-chan.”
“Ilima-san sedang apa?”
“Aku hanya sedang mencari tempat yang bagus untuk melukis. Mizuki-chan tidak menyusul Hala-san?”
“Nanti saja, Ilima-san. Aku ingin menikmati Hau’oli dulu.”
“Begitu.”
“Iya. Udara Hau’oli sangat sejuk dan menenangkan. Dan Battle Buffet sepertinya seru! Aku ingin mencobanya sebelum menemui Hala-san.”
Berada dekat Mizuki memang menular. Energi positif gadis itu selalu membuat Ilima ikut tersenyum—seperti saat ini.
Mizuki menarik perhatian Ilima pertama kali bertemu—ketika gadis itu berhasil mengalahkan lima trainer dan seorang guru di Trainer School tanpa banyak usaha seperti trainer pemula pada umumnya. Kemudian, Mizuki membangkitkan rasa ingin tahu-nya setelah ia membantu sang kapten menutup mulut Team Skull di Hau’oli. Dan ketika Mizuki berhasil menyelesaikan trial-nya, tanpa ragu Ilima memberikan normalium-z dan mengapresiasi kemampuannya. Gadis itu—meski usianya masih sebelas tahun—memiliki potensi yang luar biasa dalam pokemon battle. Ilima menyaksikan sendiri perkembangan Mizuki yang pesat.
Ilima akui, Mizuki adalah perempuan yang manis—juga polos, terkadang. Tak perlu waktu lama bagi Ilima untuk jatuh hati pada Mizuki dan segala pesonanya. Dia sendiri tidak menyangka akan tertarik pada seorang gadis yang baru saja dikenalnya—dan lagi, kepada seorang gadis yang baru saja berusia sebelas tahun.
Aku tujuh belas tahun, Mizuki-chan sebelas tahun.
Ilima memang sempat mengagumi Matsurika-san. Namun Mizuki berbeda. Jantungnya berdebar untuk Mizuki, tidak pada Matsurika. Ilima hanya menganggap Kapten Matsurika sebagai sosok kakak dan sumber inspirasinya—tidak lebih juga tidak kurang.
“Kau sangat bahagia. Dari tadi senyummu tidak pernah hilang.”
“Iya, aku sangat, sangat senang, Ilima-san! Ini pencapaian pertamaku sebagai trainer, mana mungkin aku sedih karena berhasil menyelesaikan trial-ku yang pertama—trial milik Ilima-san!”
“Ya, baguslah kalau begitu.”
Ilima terkekeh. Dia gemas sekali. Jarang sekali ia temui gadis seekspresif Mizuki. Andai mereka sedekat itu, Ilima mungkin akan mencubit kedua pipi gadis itu saking gemasnya—atau mungkin mengelus puncak kepala Mizuki dengan lembut.
“Kau harus sering-sering tersenyum, Mizuki-chan. Dunia tentu akan lebih indah kalau kau sering tersenyum.”
Mizuki mengangguk. Lagi-lagi Kapten Ilima membuatnya serasa melambung tinggi—yang pertama ketika Ilima-san memuji bakatnya setelah trial. Mizuki senang sekali ketika sang kapten memujinya. Entah kenapa, hanya saja rasanya sangat menyenangkan.
“Senyummu ini menular, tahu.”
Kini pemuda yang dijuluki Pangeran Trainer School itu tersenyum lembut, menatap lurus kedua iris abu-abu Mizuki. Refleks. Ilima kagum dengan bola mata jernih Mizuki—meski warnanya gelap, tetap indah.
“Eh? Ilima-san?”
Menyadari apa yang baru saja ia katakan, Ilima yang kalem kini tergagap. Kedua pipinya memerah—namun warna merah itu tersamarkan oleh warna kulitnya yang sedikit gelap.
“Maaf, Mizuki-chan. Lupakan saja kata-kataku tadi!”
“Baiklah, Ilima-san?”
Mizuki sedikit heran, namun memilih mengiyakan. Ilima berusaha meredakan debar jantungnya. Keadaan serasa canggung dengan instan.
Ilima bodoh, kau merusak momen. Mizuki-chan masih muda, Ilima!—batinnya.
Ilima melirik Mizuki sekilas. Gadis itu tampak biasa saja, tampaknya tidak terganggu dengan perkataannya tadi serta tatapan intens yang refleks diberikan Ilima padanya. Padahal Ilima yang terkenal tenang itu sedang berperang dengan batinnya, sementara Mizuki tampaknya tenang-tenang saja.
“Ilima-san kenapa?”
“Tidak—tidak ada apa-apa, Mizuki-chan.”
Ilima melihat jam tangan demi menghindari pandangan polos Mizuki. Bisa tambah kacau hatinya kalau ia menatap gadis itu lama-lama. Takut kebablasan nantinya.
Astaga, aku melupakannya!
Oh, Ilima benar-benar lupa. Dia harus bergegas menemukan tempat melukis yang nyaman dan sepi—salahkan sikap perfeksionis-nya, kemudian langsung menyelesaikan lukisannya. Tenggat waktu-nya esok hari. Klien-nya akan mengambilnya besok siang.
Berbincang dengan Mizuki benar-benar membuatnya lupa waktu.
“Mizuki-chan, aku melupakan lukisanku.”
“Ah, maafkan aku, Ilima-san. Aku menyita waktu Ilima-san.”
Mizuki seperti ingin menangis. Ilima menggeleng dan tertawa kecil. Mizuki yang polos tentu saja tidak pernah mengganggu waktu-nya.
Malah Ilima belum ingin berpisah dengan Mizuki dan mengobrol lebih lama—mengenal gadis itu lebih dalam. Gara-gara deadline lukisan.
“Tidak perlu minta maaf, Mizuki-chan. Berbicara denganmu sangat menyenangkan.”
Mizuki mengangguk. Dia tersenyum lebar hingga matanya membentuk lengkungan seperti bulan sabit. Senyuman yang sangat disukai Ilima.
Rasanya benar-benar tidak rela berpisah secepat ini. Apa boleh buat, Mizuki juga harus menyelesaikan semua trial selain miliknya.
“Baiklah, Ilima-san! Aku juga senang bisa berbicara dengan Ilima-san!”
“Sampai jumpa, Mizuki-chan. Sukses ya dengan grand trial Hala-san.”
“Terima kasih, Ilima-san. Sampai ketemu lagi!”
Ilima melambaikan tangan. Mizuki balas melakukan hal yang sama hingga pemuda itu hilang dari pandangan.
Sepeninggalan Kapten Ilima, Mizuki menghela napas lega.
Gadis itu menyentuh dadanya. Degdegdeg. Debaran jantungnya keras sekali.
“Kau harus sering-sering tersenyum, Mizuki-chan. Dunia tentu akan lebih indah kalau kau sering tersenyum.”
“Senyummu ini menular, tahu.”
Pernyataan Ilima tadi terus terngiang-ngiang. Kedua pipinya merona memikirkannya—dan tatapan tadi, Mizuki mengingat iris obsidian Ilima yang sempat bersiborok dengan miliknya meski hanya sekejap. Tatapan teduh dan senyuman lembut itu menggetarkan hati Mizuki.
Kini Mizuki tidak mampu menghapus sosok Kapten Ilima dari benaknya.
Rotom memang benar; Ilima seorang perayu ulung.
finish (Minggu, 22 Juli 2018 - unedited)
Notes: Terinspirasi setelah player character sukses menyelesaikan trial pertama dan Rotom yang mengklaim Ilima sebagai “dreamboat”. Dreamboat artinya sebenarnya bukan perayu sih, tapi aku anggap saja begitu #maapkan. Anggap saja Ilima 17 tahun, secara Trial Captains usianya berkisar antara 11-19 tahun, hehe.
0 notes
lemonandomurice · 1 year ago
Text
my crystalfly
—Genshin Impact short fanfiction; Xiao x Xingqiu —Written in Bahasa Indonesia —Established relationship, might be OOC —Genshin Impact © HoYoverse. Fanfiksi ini ditulis hanya demi memuaskan dahaga pribadi terhadap kapal minim asupan kesayangan saya. Saya tidak bermaksud untuk mengambil keuntungan materiil apapun.
Ketika kau sedang tenggelam dalam dunia buku fantasi tebalmu, kusingkirkan helai-helai surai biru lautmu ke samping. Kau sungguh-sungguh menghayati isi bacaanmu hingga tak menyadari aksiku barusan, hmm?
Kusematkan sebuah crystal core pada rambutmu. Cahaya geo crystalfly berpendar dalam redupnya cahaya bulan pada malam hari di beranda atas Wangshu Inn.
"Xiao?"
Kau menoleh dan—tak lupa menandai halaman terakhir yang kau baca—menutup buku tebalmu. Kau memandangku heran dan karena binar-binar cerah pada mata emasmu, aku terpaksa memalingkan wajah, menyembunyikan debar jantungku dan wajahku yang memanas.
"Ah, crystal core ini untukku?"
"Aku menangkap terlalu banyak crystalfly. Jangan salah paham."
Walau aku tak ingin mengakuinya, kau tampak cantik dengan crystal core yang tersemat pada rambutmu. Mungkin bila rambutmu ikut dihias oleh sekuntum bunga sutra kesukaanmu, aku akan jatuh lebih dalam pada pesonamu.
Kau terkekeh pelan, menyentuh crystal core yang tersemat pada samping kupingmu.
"Aku suka. Terima kasih, Xiao sayang!"
Kemudian kau tersenyum lembut. Jujur saja, kau yang tersenyum seperti itu tidak bosan dipandang.
"Kau tersenyum, Xiao sayang? Gesturmu hari ini cukup manis."
Aku membawamu ke dalam sebuah pelukan, membenamkan kepalaku pada bahu sempitmu. Aroma tubuhmu seperti bunga sutra, sungguh menenangkan rasanya setiap kali merengkuh tubuh rampingmu.
"Xiao sayang kenapa? Tumben manja."
"Diamlah. Aku sedang mengisi energi."
Adeptus sepertiku tidak boleh terlena dengan manusia sepertimu, namun... senyumanmu selalu menghangatkan hatiku yang perlahan membeku.
Jangan tunjukkan senyummu pada orang lain selain diriku.
Karena kau adalah crystalfly milikku, sesosok cahaya redup nan menenangkan yang perlahan-lahan membimbingku menuju paradis.
(Sabtu, 1 Mei 2021 - unedited)
0 notes
lemonandomurice · 1 year ago
Text
pregnant
—Boku no Hero Acedemia fanfiction; Bakugou Katsuki x Jirou Kyouka —Written in Bahasa Indonesia —Future AU; Bakugou & Jirou are married, might be OOC and some inaccurate descriptions —Boku no Hero Academia © Horikoshi Kouhei. Fanfiksi ini ditulis hanya demi menambah asupan pribadi kapal kesayangan saya. Saya tidak bermaksud untuk mengambil keuntungan materiil apapun.
Kyouka tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Wanita itu memejamkan mata, kemudian membukanya kembali, memastikan apa yang ia lihat bukanlah ilusi semata.
Testpack yang ia pegang menunjukkan dua garis. Positif. Bakugou Kyouka positif hamil.
Kyouka tersenyum lega, sesekali terkikik geli. Bagaimana reaksi Katsuki kalau ia memberitahunya?
Ia tak sabar menunggu suaminya pulang sehabis patroli malam, tak sabar memberitahu kabar gembira ini.
“Tadaima.”
Speak of the devil.
“Okaeri, Katsuki!”
Mendapati Kyouka berdiri di belakang pintu, menyambut kepulangannya dan mengecup pipinya, merupakan situasi yang sangat jarang—mengingat istrinya tidak hobi membuka pintu dan bahkan sudah terlelap pada pukul sebelas malam, jam-jam ia pulang sehabis patroli.
Katsuki heran dengan satu hal; mengapa malam ini senyuman Kyouka lebar sekali? Rasanya wanita itu terlihat lebih energik dibanding biasanya.
“Katsuki~”
“Kau terlihat senang. Kenapa?”
Kyouka menghembuskan napas perlahan, bersiap-siap sebelum memberitahu Katsuki.
“Kau akan menjadi ayah.”
Katsuki mengernyitkan dahi, memproses informasi yang baru saja ia terima.
“Apa maksudmu?”
Satu detik.
Dua detik.
Tiga detik.
Empat deti— 
“APA? KAU HAMIL?”
“Iya. Makanya Katsuki akan menjadi ayah.”
“KAU…”
Katsuki speechless. Reaksi yang ditunggu-tunggu Kyouka. Cukup lucu ketika Katsuki kebingungan—sangat kontras dengan kepribadian meledak-ledaknya.
“Aku… jadi… ayah…”
Pria itu mendekapnya erat, sekilas mengejutkan Kyouka. Kemudian wanita itu balas memeluknya, membenamkan kepalanya di dada Katsuki.
Kyouka bergumam, “Tidak ada ucapan ‘aku bahagia’, ‘aku mencintaimu’, ‘terima kasih’ atau apa gitu?”
“Ussee!”
Kyouka terkekeh pelan, memaklumi kelakuan suaminya.
Walau tidak mengatakannya terang-terangan, Kyouka tahu kalau suaminya bahagia, menanti-nanti kedatangan anak mereka. Begitulah suka dan duka punya suami gengsian.
“Omong-omong aku sudah menamai anak kita.”
“Wah, cepat sekali. Kau segitu tidak sabarnya ingin menjadi ayah?”
“Namanya Boombox.”
“Nama macam apa itu?”
“Baiklah. Explosive Ammo.”
“Katsuki! Bisa tidak kasi nama yang benar?”
“Cherry Bomb.”
“Baka Katsuki!”
Selamat datang, calon penerus keluarga Bakugou.
end (Kamis, 23 Januari 2020 - unedited - i forgot the actual date for this tbh :"))
0 notes
lemonandomurice · 1 year ago
Text
oversized t-shirt
—Boku no Hero Acedemia fanfiction; Bakugou Katsuki x Jirou Kyouka —Written in Bahasa Indonesia —Future AU; Bakugou & Jirou are married, might be OOC —Kinda NSFW —Boku no Hero Academia © Horikoshi Kouhei. Fanfiksi ini ditulis hanya demi menambah asupan pribadi kapal kesayangan saya. Saya tidak bermaksud untuk mengambil keuntungan materiil apapun.
“Katsuki, mau kopi?”
Melihat Kyouka berbusana dengan santai sembari membawa dua gelas kopi hangat pada pagi hari membuat mata Katsuki melongo.
Tubuh kecil Kyouka tampak tenggelam dalam kaus besarnya. Kaus Katsuki menutupi tubuh Kyouka hingga atas lutut, menyembunyikan celana pendeknya, seolah-olah ia tidak memakai celana sama sekali—
Berkat Kyouka, ia melupakan acara televisi yang sedang ia tonton.
Oh, sialan.
Pagi-pagi Bakugou Katsuki sudah mengeras.
Kyouka sialan dengan baju kebesarannya.
“Oi, telinga panjang. Jangan keluyuran di rumah dengan kausku.”
Wanita yang sayangnya tidak peka itu terkekeh. Ia meletakkan dua cangkir kopi di meja, kemudian duduk di samping Katsuki, menyandarkan kepalanya pada bahu pria itu. Bahu Katsuki ditambah sofa empuk yang nyaman, pagi hari Kyouka terasa sempurna.
“Habis kaus Katsuki nyaman.”
Kyouka tampak manis dengan kaus kebesarannya, namun yang namanya Bakugou Katsuki tidak suka mengungkapkannya secara terang-terangan. Maka Katsuki pura-pura mendecih sebal.
“Tch, tidak cocok pada tubuhmu, baka.”
“Katsuki jahat.”
Wanita itu tertawa, menyamankan posisinya di samping Katsuki. Bahu keras Katsuki sangat nyaman. Pria itu jarang protes kalau ia membaringkan kepalanya di bahunya—terkadang saja kalau ia merasa lelah ketika pulang dari pekerjaannya sebagai pro hero.
Kyouka terlihat santai dan damai, sesekali menggumamkan soal bahu Katsuki yang menenangkan dan bersenandung kecil, sementara Katsuki tersiksa dengan kepolosan istrinya. Walau tubuhnya kecil dan dadanya rata, perempuan itu terlalu menggoda.
Tidak adil.
Katsuki meraih lengan Kyouka, mencengkeramnya, memaksanya untuk bertukar posisi. Kini ia di atas, mengurung wanita itu dengan kedua tangannya.
Kyouka sendiri terkejut dengan aksi spontan Katsuki. Kedua pipi wanita itu merona merah.
“K-Katsuki? Apa yang kau lakukan?”
“Ini salahmu.”
“Hah?”
Kyouka memang selalu tidak peduli dengan apa yang ia kenakan. Lebih parahnya dari pagi ini, sebelumnya ia selalu mengenakan tank top dan celana pendek atau kaus biasa dengan celana pendek, atau celana tiga per empat—tetapi hal itu belum cukup untuk membuat Katsuki terangsang.
Tapi kali ini berbeda, kaus kebesarannya membangkitkan iblis dalam diri Bakugou Katsuki. Rupanya Bakugou Kyouka tanpa sengaja menggoda suaminya. Fetish baru, huh?
“Kau ingin menggodaku, hah?”
Katsuki menyelusupkan jarinya ke dalam kaus kebesarannya, meraih celana pendek Kyouka. Ia melepas risletingnya, membelai paha mulus Kyouka.
Kyouka melenguh. Geli.
“Nggh—H-hah? Siapa yang menggodamu?”
“Kau ini bodoh sekali, nona Bakugou. Kau tidak sadar kalau kau telah memasuki teritoriku?”
Katsuki menyeringai, menatapnya tajam. Kyouka menyadari satu hal; ia telah membangkitkan sisi buas seorang Bakugou Katsuki.
Kyouka ikut menyeringai.
Ia sangat tidak keberatan, toh ia juga menikmatinya. Terkadang perlakuan kasar dan tak terduga suaminya membuatnya tergoda—meski ia tidak mengatakannya secara langsung. Ia malu.
“Aku tidak akan berhenti meski kau memohon. Bersiaplah, Kyouka.”
Tubuhnya merinding nikmat ketika Katsuki mengancamnya dengan suara rendahnya.
Tersenyum penuh arti, Kyouka mengalungkan tangannya pada leher Katsuki.
“Aku menantikannya, Katsuki.”
end (Kamis, 23 Januari 2020 - unedited)
0 notes
lemonandomurice · 1 year ago
Text
How to raise an explosive boyfriend
—Boku no Hero Acedemia fanfiction; Bakugou Katsuki x Jirou Kyouka —Written in Bahasa Indonesia —Alternate Universe; no quirk, Highschool AU, Preman!Bakugou, might be OOC —Boku no Hero Academia © Horikoshi Kouhei. Fanfiksi ini ditulis hanya demi menambah asupan pribadi kapal kesayangan saya. Saya tidak bermaksud untuk mengambil keuntungan materiil apapun.
Punya pacar preman? Jirou Kyouka mengalaminya.
Kekasihnya memang bertalenta dalam akademis, fisik, dan musik. Namun pemuda itu termasuk salah seorang anggota geng preman paling ditakuti seantero sekolah. Sesekali ia merokok dan sering terlibat dalam pertengkaran.
Sebelum mereka berpacaran, Bakugou Katsuki—nama pemuda itu—pernah membuat seorang guru emosi hingga sang guru hampir memukulnya dengan penggaris besi tajam. Pernah juga ia membuat teman sekelasnya hampir keluar sekolah. Ia juga pernah membuat teman sekelasnya menangis.
Pemuda itu memang brengsek.
Bakugou Katsuki adalah sosok yang dihindari oleh Kyouka. Ia tidak ingin terlibat dengan orang seperti itu.
Tapi—
Enam bulan lalu, Kyouka terkejut setengah mati ketika pemuda yang paling ia hindari itu menembaknya di koridor sekolah, disaksikan oleh banyak pasang mata. Banyak yang terkejut, ada yang menatap Kyouka penuh simpati, bahkan banyak juga yang tidak peduli. Kata-kata pemuda itu pun tidak romantis. Hanya: “Kau dan aku. Kita pacaran. Aku tidak menerima penolakan.”
Kyouka sebenarnya ingin menolak pernyataan cinta tidak terduga itu, namun tatapan menusuk Katsuki seolah meruntuhkan pertahanannya, membuat lidahnya kelu, membuat tubuhnya gemetar ketakutan. Apa yang akan terjadi bila ia menolak preman nomor satu itu? Alhasil Kyouka mengangguk pasrah. Untuk sementara, cari aman. Lagipula suatu hari aku akan memutuskannya atau dia akan bosan padaku.
Saat mereka mulai berpacaran, kebiasaan buruk lelaki itu perlahan-lahan memudar. Katsuki tidak merokok lagi, mulai memakai seragamnya dengan rapi dan jarang mengajak ribut geng lain.
Kyouka tentu saja terkejut dengan perkembangan signifikan Katsuki. Tak hanya itu saja, seluruh anggota geng preman Katsuki ikut terkejut. Pemuda bersurai ash blonde itu memang masih sering bertengkar, namun tidak separah dulu.
Yang paling Kyouka tidak sangka, perlahan-lahan ia mulai menyimpan rasa pada pemuda itu. Tak ia sangka Katsuki—meski kasar—adalah sosok yang baik hati di dalam. Terkadang perhatian sekecil apapun dari pemuda itu membuatnya luluh. Pernah ketika ia sedang sakit, Katsuki memasakannya semangkok bubur, memaksanya makan hingga menemaninya sepanjang hari sampai tertidur.
Gitu-gitu Katsuki peduli pada pacarnya. Ia memang brengsek, namun sesekali ia bersikap manis. Terkadang ia tidak bisa jujur pada diri sendiri—dasar tsundere. Mulutnya seperti kebun binatang, namun bahasa tubuh dan tindakannya tak dapat membohongi bahwa Katsuki benar-benar tulus berpacaran dengannya.
Hal sesederhana itu yang membuat hati seorang Jirou Kyouka yang awalnya tidak peduli dengan asmara klepek-klepek.
Meski begitu, Katsuki tetap saja menyebalkan.
Satu hal yang Kyouka benci; pemuda itu tidak pernah memanggil namanya. Baka Onna, Kuso Onna, Mimi, dan Motamota menjadi panggilan sehari-harinya.
Pemuda itu juga pencemburu buta. Ia selalu marah-marah setiap kali Kaminari Denki maupun Sero Hanta mendekatinya atau barangkali hanya sekadar berbincang ringan dengannya. Kedua lelaki itu memang satu geng dengan Katsuki, namun tetap saja pemuda itu tidak suka setiap kali mereka dekat-dekat dengan Baka Onna-nya.
Pernah suatu hari Katsuki hampir membuat Denki babak belur akibat terlalu dekat dengan Kyouka-nya. Untungnya gadis itu dengan sigap meredakan amarah Katsuki sebelum Denki terluka parah. Ternyata simple sekali meredakan amarah Katsuki saat itu; peluk saja dari belakang dan pemuda itu langsung diam.
Selain itu, pemuda itu juga selalu menciumnya di sembarang tempat. Terkadang di koridor sekolah yang ramai atau kantin sekolah, ia tidak segan-segan menyambar bibir gadis itu meski banyak pasang mata yang melihat adegan tak etis itu—ia ingin membuktikan bahwa Kyouka adalah miliknya pada semua orang. Terkadang ciuman Katsuki penuh dominasi, terkadang juga lembut. Kyouka tak bisa memungkiri bahwa kekasihnya itu jago sekali dalam berciuman.
Hubungan seksual? Belum pernah sama sekali. Katsuki bilang dada Kyouka terlalu rata untuk dinikmati dan ia malas berhubunhan ranjang. Tapi nyatanya itu hanyalah kedok untuk menutupi fakta bahwa ia ingin menjaga Kyouka, menunggunya hingga ia siap. Ia tidak ingin merusak gadis itu.
Bergenggaman tangan saat berkencan juga sesekali. Kencan pertama aja sempat hancur lebur karena Katsuki marah-marah pada Kyouka yang memakai celana pendek. Karena itu Katsuki melepas jaketnya dan menyuruh gadis itu untuk melingkarkannya di pinggang.
Terkadang Kyouka sebal. Ia ingin sesekali Katsuki memanggil namanya, ingin sesekali bisa mengganggu Denki dengan tenang, ingin sekali-kali Katsuki membiarkannya dekat dengan Yaomomo—yang Kyouka suka hanya Katsuki seorang kok.
Tapi Katsuki selalu mengawasinya, bahkan mengancam Kaminari dan Momo supaya tidak dekat-dekat dengannya. Rasa sayang pemuda itu memang tidak perlu diragukan lagi, tapi terkadang Kyouka kesal.
Meski begitu, Kyouka tidak membenci Katsuki. Sebaliknya, ia amat sayang pada pemuda itu.
Katsuki adalah Katsuki. Seburuk apapun temperamennya, Katsuki mencintainya dengan caranya sendiri. Lagipula sejujurnya terkadang ia merasa perlakuan Katsuki padanya cukup manis. Ia terbiasa dengan sikap pemuda itu.
Suatu hari, Kyouka mendapat kabar buruk dari Kirishima Eijirou—teman satu geng Katsuki. Katanya, Katsuki habis berkelahi dengan preman kota sebelah dan mengalami patah tulang pada tangan kirinya. Katsuki tidak terluka parah, hanya kondisi tangan kirinya saja yang buruk dan ditemani dengan sedikit memar pada badan dan wajahnya. Kira-kira sekitar tiga bulan ia akan pulih.
Mendengarnya, tubuh Kyouka melemas. Kakinya terasa berat untuk melangkah. Buru-buru ia menuju ke alamat rumah sakit yang diberikan oleh Eijirou.
Sesampainya di rumah sakit, Kyouka langsung mengunjungi kamar rawat inap pemuda itu. Tanpa mengetuk pintu, mengabaikan aturan rumah sakit, ia langsung berlari menuju pemuda itu, mendekap tubuh penuh perban Katsuki. Pemuda itu terkesiap, namun kembali tenang. Ia balas memeluk Kyouka, meletakkan kepalanya pada bahu sempit gadisnya.
“Katsuki bodoh! Kau tidak apa-apa kan?”
Katsuki mendecih sebal. Tapi dalam hati senang karena Kyouka mengunjunginya, mengkhawatirkan kondisinya.
“Ini cuma luka kecil, Baka. Kau terlalu berlebihan.”
Kyouka ingin memukul kepalanya karena sikapnya yang keras kepala itu, namun diurungkannya mengingat kondisi pemuda itu.
“Astaga, ini bukan luka kecil! Tangan kirimu aja sampai patah. Kenapa kau bisa mematahkan tangan kirimu?”
Katsuki menghela napas, melepaskan pelukannya. Ia menggembungkan pipi kesal. Tangan kanannya mengepal, seperti ingin menghajar seseorang.
Kyouka terkekeh. Baginya, kekasihnya lebih kekanakkan dibanding orang-orang yang ia kenal.
“Ini tidak lucu! Argh, mereka terlalu kuat. Apalagi manusia berambut merah putih itu. Aku benci sekali dengan wajah tanpa ekspresi itu. Memuakkan! Untungnya aku berhasil mengalahkannya, yah meski dampaknya seperti ini. Aku lengah saat ia melancarkan serangan pada tangan kiriku. Ugh, mengingatnya membuatku ingin membalas dendam.”
Pemuda itu merengut. Seperti anak kecil saja.
Kyouka tersenyum lembut, menyentuh pipi pemuda itu, mengelusnya penuh kasih sayang. Bisa ia rasakan pipi Katsuki memanas akibat perbuatannya.
“Kau membuatku khawatir dan kau harus tanggung jawab! Lain kali jangan melibatkan diri dengan perkelahian yang membahayakan nyawamu, ya?”
Melihat senyum lembut Kyouka, Katsuki meleleh. Dalam hati ia sedikit menyesal sudah membuat perempuan itu khawatir. Saat ia jatuh cinta pertama kali pada Kyouka, ia bersumpah untuk menjaganya dan tidak akan membuatnya khawatir—apalagi menangis. Tapi, janji itu tidak selalu ia tepati. Katsuki yang keras kepala dan bertemperamen tinggi selalu saja melibatkan dirinya dalam situasi berbahaya.
Katsuki nyengir. Ia mengacak surai keunguan Kyouka, membuat helai-helai pendek itu berantakan. Kyouka terkejut. Kedua pipinya memerah.
Manis sekali.
“Katsuki!”
“Aku akan lebih berhati-hati lain kali. Kau terlalu berlebihan, Baka.”
Kyouka menghela napas. Ia menatap Katsuki khawatir, juga penuh harap.
“Benarkah?”
Tanpa Kyouka duga, pemuda itu menyodorkan jari kelingkingnya. Katsuki tersenyum lembut—sebuah senyuman yang jarang diperlihatkannya pada siapapun. Gadis itu ikut tersenyum, mengaitkan jari kelingkingnya pada jari Katsuki.
“Janji.”
“Janji. Kalau kau terjebak dalam kondisi ini lagi, aku akan marah besar.”
Katsuki mengangguk mantap. Wajahnya mendekat. Kedua pipi Kyouka memerah ketika pemuda itu menempelkan kening mereka. Bisa ia rasakan deru napas hangat Katsuki menerpa wajahnya. Tatapan pemuda itu melembut. Kyouka berusaha menunduk untuk menghindari tatapan maut pacarnya—hal ini tidak bagus untuk jantungnya! Namun gagal. Kedua matanya membalas tatapan Katsuki, terpesona dengan kedua iris pemuda itu.
Rasanya wajah Katsuki semakin tampan saja.
Terlalu dekat! Tuhan, tolong aku! Jantungku mau meledak! Kyouka berteriak dalam hati.
Lagi-lagi pemuda itu tersenyum tulus. Sudah berapa kali Kyouka hampir jantungan gara-gara gap moe Katsuki?
“Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, Kyouka.”
Kyouka terdiam, kemudian tersenyum lebar. Ini pertama kalinya ia mendengar pemuda itu benar-benar memanggil namanya.
Memori sore ini akan selalu terekam dalam ingatannya.
“Terima kasih juga karena selalu menjagaku, Katsuki.”
Kemudian bibir mereka bertemu.
finish (Sabtu, 7 Maret 2020 - unedited)
0 notes
lemonandomurice · 1 year ago
Text
stable
—Boku no Hero Acedemia fanfiction; Bakugou Katsuki x Jirou Kyouka —Written in Bahasa Indonesia —Alternate Universe; no quirk AU, Bakugou & Jirou are married, might be OOC —Boku no Hero Academia © Horikoshi Kouhei. Fanfiksi ini ditulis hanya demi menambah asupan pribadi kapal kesayangan saya. Saya tidak bermaksud untuk mengambil keuntungan materiil apapun.
Bakugou Katsuki tidak percaya dengan segala teori golongan darah terhadap perilaku dan hubungan antar manusia.
Kuso, bagaimana bisa ia memercayainya jika di dunia ini hanya terdapat empat golongan darah saja sedangkan umat manusia tidak terhitung jumlahnya? Sungguh aneh jika hanya terdapat empat personaliti di dunia yang terbentang luas ini.
Lagipula semua teori itu tidak terbukti benar. Katanya, pasangan bergolongan darah O dan AB tidak cocok. Akan terjadi chaos ketika dua golongan darah itu dipasangkan. Namun kenyataannya, Kirishima Eijirou, sahabat baiknya yang bergolongan darah O malah berkencan dengan Ashido Mina, seorang gadis bergolongan darah AB. Hubungan mereka langgeng. Malahan mereka selalu mengumbar kemesraan, tidak seperti yang tercantum pada artikel majalah wanita murahan yang menyatakan bahwa pasangan bergolongan darah O dan AB selalu marak konflik dan susah akur.
Teori golongan darah tentunya tidak masuk akal bagi dokter muda sepertinya. Itu semua hanya berdasarkan subjektivitas. Katsuki lebih percaya dengan teori konspirasi alam semesta dan ilmu kedokteran yang bersifat logis dan sudah terbukti kebenarannya.
Bagaimana seorang barbarian seperti Bakugou Katsuki bisa menjadi seorang dokter? Terpujilah otaknya yang cerdas—minus sikap menyebalkannya itu.
Dan satu-satunya dari berjuta umat Jepang yang bodoh itu adalah Jirou Kyouka—kini Bakugou Kyouka—yang sedang membaca komik bertemakan golongan darah yang berjudul Simple Thinking About Blood Type Volume 1.
Sejak seminggu lalu, Kyouka yang biasa sibuk dengan musik-musiknya, kini mulai jarang menghabiskan waktu di studio mungil pribadinya pada malam hari. Kyouka yang memiliki passion besar terhadap musik dan workaholic dan sering tertidur dalam studionya itu kini selalu berada di kamar mereka berdua ketika malam hari tiba. Hal yang sangat langka mengingat Katsuki jarang menemukan Kyouka tertidur di atas kasur besar mereka berdua—wanita itu biasanya terlalu sibuk dengan gubahan-gubahan musiknya.
Hal itu diam-diam membuat Katsuki senang karena bisa bersama Kyouka, bisa menghabiskan waktu lebih lama bersamanya setelah ia pulang bekerja, namun di satu sisi ia merasa risih. Meskipun akhirnya mereka bisa tidur bersama, tetap saja Kyouka sibuk dengan dunianya sendiri hingga tidak menganggap keberadaan suaminya.
Kyouka selalu membaca majalah ataupun buku-buku yang berkaitan dengan golongan darah tanpa menghiraukan Katsuki yang berbaring di sampingnya. Katsuki tidak tahu apa yang merasuki wanitanya itu. Mungkinkah Mina dan Yaomomo membombardir Kyouka dengan segala gosip yang berkaitan dengan golongan darah hingga istrinya terobsesi dengan hal laknat itu? Siapa yang tahu.
Ini sama sekali tidak ada romantisnya. Katsuki memang bukan tipe romantis, namun bukannya ia tidak ingin bermesraan dengan istrinya itu, hanya saja cara Katsuki menunjukkan afeksinya berbeda—terkadang ia menyerang wanita itu dengan ganas ataupun menunjukkan kode-kode (yang sayangnya tidak jelas) ingin dibelai. Dan Kyouka jarang sekali peka terhadap kodenya.
—Berkaca terlebih dahulu, Katsuki! Kau juga terlalu gengsian untuk memberi afeksi pada istri tercinta! Mengatakan “aku mencintaimu” saja mungkin saja hanya tiga kali dalam setahun. Gara-gara gengsi itu pula Katsuki menunjukkan afeksinya dengan ganas, seperti predator yang sedang kelaparan.
Ah, Katsuki jadi cemburu dengan semua buku-buku itu. Ia ingin memeluk Kyouka dan menciumnya ganas, ingin merasakan bibir yang sudah seminggu tidak dilumatnya. Selama itukah ia tidak merasakan bibir menggoda istrinya? Sudah lama pula ia tidak merasakan betapa pasnya tubuh kecil itu berada dalam dekapannya. Tak bisa dipungkiri ia rindu dengan wajah merona Kyouka maupun sikap sarkasnya itu.
Katsuki menggerutu.
Bagaimanapun juga ia ingin bermesraan dengan Kyouka setelah sekian lama wanita itu lebih asik dengan dunianya sendiri.
“Oi, telinga panjang…”
“Hmm~”
Kyouka, masih asik dengan komik strip itu, tidak menggubris Katsuki yang memanggilnya lirih.
Namun kali ini sepertinya Kyouka salah besar mengira Katsuki hanya akan mengucapkan selamat tidur sebelum berkelana ke alam mimpi. Ia terkejut ketika Katsuki mengambil buku komik itu dari tangannya dan meletakkannya di meja samping tempat tidur mereka—tepatnya di meja samping sisi Katsuki.
Kyouka yang menoleh hendak protes, namun terdiam mendapati suaminya yang menatap lurus ke matanya tanpa berkedip. Kini mereka saling berhadapan, tidak saling membelakangi seperti seminggu sebelumnya.
Mereka terdiam selama beberapa detik. Mengabaikan tatapan tajam Katsuki, Kyouka balas menatapnya dengan pandangan memelas—seperti anak-anak yang menginginkan sesuatu—yang sayangnya tidak ampuh sama sekali. Malahan suaminya menatapnya semakin tajam sembari menggembungkan pipi kesal.
Kalau saja Katsuki tidak mengambil bukunya—
“Katsuki, kembalikan!”
Katsuki sebenarnya ingin menerjang si mungil yang sekarang tampak beribu kali lebih menggemaskan—terpujilah ekspresi memelas itu—sembari menahan seringaian predatornya.
“Tidak mau, baka!”
Katsuki nyengir melihat Kyouka yang kini mengerucutkan bibir kesal.
“Jangan memasang ekspresi seperti itu. Kau ingin kuterkam sekarang juga?”
Sebelum Kyouka sempat membalas, Katsuki langsung membenamkan kepala wanita itu pada dada bidangnya, membuatnya merasakan wajah memanas Kyouka dan gestur terkejut wanita itu. Bisa ia rasakan Kyouka gemetar, namun istrinya tidak berusaha melepaskan diri meski terdengar gumaman kecil seperti: “Katsuki, kau menyebalkan.”, “apa yang kau lakukan?”, “kembalikan bukuku.”, “bodoh.”, maupun makian khas Bakugou Kyouka lainnya.
“Kau senang dipeluk olehku, ya? Makanya tidak ingin melepaskan diri.”
“Uh, pede sekali kau, tuan Bakugou.”
Kalau begini, Katsuki makin senang menjahili tuan puterinya itu. Tanpa sadar Kyouka telah membangkitkan iblis laknat dalam diri Bakugou Katsuki.
Katsuki menyeringai, “Atau jangan-jangan kau sengaja mengabaikanku karena ingin mencari perhatianku, hah?”
Kyouka kembali mengerucutkan bibir sebal, namun kali ini debaran jantungnya semakin kencang—yang tentu saja dapat dirasakan Katsuki.
“Terserah kau saja, Katsuki.”
Kyouka menghela napas. Kalau suaminya sudah seperti ini, ia tak akan bisa menang.
“Katsuki…”
“Hm?”
“Kau percaya tidak dengan teori golongan darah?”
Kyouka bertanya tanpa melepaskan pelukan mereka. Diam-diam ia menikmati dekapan Katsuki.
“Aku tidak percaya dengan hal bodoh semacam itu. Kenapa memangnya?”
“Tidak apa-apa, hanya saja… uh… bagaimana mengatakannya, ya?”
Kyouka terdiam sejenak, mencari kata-kata yang pas. Katsuki menunggu wanitanya berbicara. Ia sedikit penasaran sebenarnya.
“Pasangan bergolongan darah A adalah pasangan yang stabil dan paling sempurna dibandingkan dengan pasangan bergolongan darah lainnya. Kita sama-sama bergolongan darah A dan aku pikir kita sangat cocok. Yah, meski terkadang kau menyebalkan, susah jujur, suka berkata kasar, dan sikapmu sangat tidak mencerminkan pria bergolongan darah A yang kalem, hehehe.”
Mendengar pujian—atau makian?—keluar mulus dari mulut Kyouka, Katsuki meledak, “KAU BEDEBAH—”
Bukankah ia adalah pria baik-baik? Kasihan dihina istri sendiri.
Kyouka terkekeh gemas, memaklumi sikap meledak-ledak suaminya.
Kyouka melanjutkan, “Eits, tunggu sebentar, jangan bakar apartemen kita! Ada lanjutannya! Saat pertama kali aku membaca artikel mengenai golongan darah, aku selalu mencari artikel lainnya yang berhubungan dengan kita. Tanpa sadar aku mulai tertarik dengan teori-teori itu. Kurasa kita juga sangat cocok kok. Aku yakin hal itu memang benar karena—”
Kyouka mengecup singkat bibir Katsuki. Hanya sebuah kecupan ringan yang berlangsung kurang dari tiga sekon, namun dapat membuat wajah Katsuki memerah. Yah, Katsuki juga menyukai sisi tidak terduga wanitanya.
“—Hubungan kita sangat stabil, Katsuki.”
Mendengar penuturan yang baginya tidak masuk akal namun manis itu, Katsuki yang awalnya menganggap teori itu palsu hanya menyeringai dan mendekap Kyouka lebih erat. Katsuki mengecup keningnya dan berbisik pelan, “Baiklah, baiklah. Kalau nona Bakugou bilang begitu, maka aku percaya. Hubungan kita tidak buruk dan sangat sempurna.”
—Perkataan manis yang sangat berbanding terbalik dengan kepribadian menyebalkan Bakugou Katsuki. Diam-diam Kyouka ingin menjahili suaminya itu.
Kyouka mengangguk. Tak lama kemudian rasa kantuk menyerangnya. Ia menguap lebar, begitu pula dengan Katsuki.
“Sekarang tidurlah, baka! Besok kita masih harus bekerja. Kau dengan seluruh komposisi musikmu dan aku harus ke rumah sakit pagi-pagi sekali. Dasar bos bajingan.”
Kyouka terkekeh. Tanpa disuruh pun, ia akan segera tidur dan berlabuh ke alam mimpi. Ia melepaskan pelukan mereka, membaringkan tubuhnya di kasur empuk mereka, menyelimuti dirinya dengan selimut tebal mereka.
“Selamat tidur, Katsuki.”
Ketika mendengar dengkuran pelan di sampingnya, Katsuki tersenyum tulus. Sesekali ia menatap wajah damai Kyouka ketika tertidur. Wanita itu cukup manis ketika terlelap seperti itu.
Katsuki masih menganggap teori golongan darah itu tidak realistis.
—Namun Katsuki akan memercayai teori golongan darah jika hal tersebut keluar dari bibir Kyouka-nya.
Sekali lagi, Katsuki mengecup kening wanita itu sebelum menyusulnya ke alam bawah sadar.
“Aku mencintaimu, dasar wanita bodoh.”
Dalam tidurnya, Kyouka tersenyum kecil.
finish (Rabu, 19 Februari 2020 - unedited)
0 notes
lemonandomurice · 1 year ago
Text
"Terima kasih, Dabi-san."
—Boku no Hero Acedemia fanfiction; Dabi x Midoriya Izuku —Written in Bahasa Indonesia —Alternate Reality; modified canon dimana Izuku tidak ketemu All Might —Content warning: suicide attempt, depression —Boku no Hero Academia © Horikoshi Kouhei. Fanfiksi ini ditulis hanya demi menambah asupan rarepair problematik kesayangan saya. Saya tidak bermaksud untuk mengambil keuntungan materiil apapun.
Dilahirkan tanpa quirk, hidup Midoriya Izuku bagai neraka.
Dipandang sebelah mata, dikucilkan masyarakat, diperlakukan tidak adil, menjadi bahan bulan-bulanan teman masa kecilnya—tubuh Izuku sudah terbiasa dengan rasa sakit.
Bila Kacchan memukulnya, Izuku menerimanya. Bila Kacchan menendangnya, Izuku memperbolehkannya. Setiap kali Kacchan menggunakan tubuhnya untuk menyalurkan amarah, tubuh Izuku mati rasa untuk sekadar merasakan sakit—seolah-olah ia hidup hanya untuk Kacchan.
Midoriya, kau tidak melawan?
Kau mau diperlakukan seperti itu terus?
Melawan? Melawan…?
Izuku tertawa getir.
Tentu saja ia sudah mencoba melawan. Jika ia membentak, Kacchan tidak akan senang. Jika ia melawan, Kacchan akan menghukumnya. Tanpa quirk, ia bukan apa-apa. Ia hanyalah Deku—tidak berguna.
Tanpa quirk, ia tak akan bisa menjadi hero. Izuku tahu—ia tak senaif itu.
Tubuh Izuku memang sudah terbiasa dengan rasa sakit, namun hatinya tidak.
(Hati Izuku serapuh gelas kaca.)
Izuku berdiri di atap bangunan tinggi pusat kota. Di satu sisi tatapannya sarat emosi dan kebencian, di satu sisi bola mata hijaunya tidak berisi tanda-tanda kehidupan.
Itu kan jurnal yang sudah kurangkum dengan susah payah…
Sembari memeluk sobekan kertas yang ia kumpulkan menjadi satu, Izuku menggigit bibir. Tangan kanannya menyentuh birai besi atap sekolah. Hembusan angin sore menerpa surai hijaunya, sesekali menghempas kertas-kertas yang didekapnya.
Sakit.
Karena ia lemah, ia tidak menangis. Ia tidak bisa menangis.
Perkataan Kacchan barusan terngiang-ngiang, “Kalau kau sangat menginginkan quirk, terjunlah dari ketinggian dan kau akan mendapat quirk di kehidupan selanjutnya!”
Entah Kacchan serius atau tidak ketika mengatakannya, Izuku tidak peduli.
Izuku menunduk, menatap berbagai lautan manusia berlalu-lalang. Dilihat dari atap, mereka terlihat kecil—namun bahagia. Permukaan aspal serasa jauh—namun juga menariknya mendekat. Kertas-kertas yang dipeluknya sepenuhnya jatuh di atas permukaan beton atap—bocah itu terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri untuk peduli dengan draf analisis hero berharganya.
Kacchan benar. Kalau aku mati, orang tak berguna di dunia ini berkurang satu. Mungkin aku bisa mendapat quirk di kehidupan selanjutnya…
Izuku mengepalkan tangan, menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya kembali. Ransel kuningnya ia letakkan di permukaan beton atap—setelah ia menyelipkan surat terakhir, tentunya.
Izuku menyeret tubuh limbungnya ke ujung atap. Kedua kakinya berada di ambang beton. Kaki kanannya—diikuti dengan kaki kirinya—melangkah maju, siap mengikuti gravitasi.
Izuku benci Kacchan. Izuku benci dunia ini. Izuku benci masyarakat. Izuku benci dirinya sendiri.
Benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci benci—tidak. Bagaimanapun, Izuku tidak bisa membenci siapapun.
Aku selalu mencintaimu, Okaa-san. Kacchan, semoga kau bisa menjadi hero yang hebat… Maafkan aku. Selamat tinggal…
Sebentar lagi, jiwanya akan meninggalkan dunia ini.
Sebentar lagi, semua yang ia pendam akan menghilang.
Sebentar lagi, ia akan bebas.
Izuku memejamkan matanya erat. Jantungnya berdebar kencang menunggu impak gravitasi. Ia sudah siap mati.
Namun kerasnya permukaan aspal tak kunjung ia rasakan. Tubuhnya mendarat di atas… bantal? Izuku tidak tahu. Rasanya empuk. Badannya tidak merasakan nyeri. Izuku mencium wangi kayu bakar.
Mungkin ia sedang berada di surga?
“Bocah bodoh.”
Perlahan Izuku membuka kedua matanya. Langit sore, gang kecil, dan kaos putih dibalut mantel abu-abu gelap samar-samar mengisi ruang pandangnya.
Izuku terbaring telungkup di atas tubuh orang asing. Ia menengadah, berusaha memfokuskan pandangannya. Bola matanya bertabrakan dengan iris biru muda seorang pria asing. Netra pria itu sejernih air di pegunungan, Izuku seolah-olah terhisap ke dalamnya. Pria itu tampak tidak berekspresi, namun Izuku menangkap raut kekesalan yang sedikit tersirat—namun tidak ada kebencian di sana.
“Menyingkir dariku, Bocah.”
Nada suaranya terdengar dalam dan nyaris tidak mengandung emosi. Wajahnya menyeramkan; penuh dengan bekas luka bakar dan jahitan (staples medis?) pada beberapa bagian tubuhnya—Izuku teringat Frankenstein.
Anehnya, Izuku sama sekali tidak takut.
“Oi, kau dengar aku?”
Oh, aku belum mati. Izuku mencubit-cubit pipinya. Sedikit perih—Izuku tidak tahu harus bersyukur atau tidak.
“Kau tuli?”
“Aku tidak tuli! Aku mendengarkanmu, Tuan! T-tolong berikan aku waktu untuk memproses semua ini…”
Izuku berdiri, memisahkan diri dari si pria asing. Pria itu ikut berdiri, membersihkan mantel hitamnya dari debu-debu tak kasat mata. Ia menatap Izuku dingin—dan penuh akan simpati bila diperhatikan dengan saksama.
“Kenapa kau melompat dari ketinggian? Kau cari mati, hah?”
Kalau pria itu menatapnya seperti itu, Izuku akan hancur.
Izuku menggigit bibir. Ia menunduk, memilih untuk berhadapan dengan permukaan beton dibanding tatapan dingin-tapi-hangat pria itu—Izuku tidak kuat. Sudah terlalu banyak emosi yang ia pendam dalam satu hari.
Terbata-bata, Izuku berkata dengan cukup nyaring, “A-Aku tidak memintamu untuk menyelamatkanku!”
Pria itu menghela napas berat. Jemari kasarnya mengusak surai hijau Izuku hingga berantakan. Empunya terkesiap, namun membiarkan pria itu mengacak-acak rambutnya. Ia membungkuk, menyejajarkan tingginya dengan Izuku. Jari telunjuknya menyentil dahi Izuku gemas.
“Dengarkan aku, Bocah. Aku tidak tahu apa saja yang sudah kau alami hingga saat ini, tapi bunuh diri adalah tindakan yang bodoh. Kau memang akan terbebas dari penderitaanmu, tapi pikirkan juga perasaan orang-orang yang kau tinggalkan.”
Izuku meremas ujung seragam sekolahnya. Kalau ia mengakui status quirkless-nya, pria itu akan meninggalkannya, seperti Kacchan berubah dan beralih meyakitinya—Izuku tak peduli. Toh ia tak punya siapa-siapa. Ia tidak punya tempat untuk pulang.
“A-aku tidak punya quirk!”
Pria itu terdiam sejenak, kemudian tertawa kecil, menggumam pelan dengan suara seraknya, “Oh, begitu…”
Pria itu akan meninggalkannya. Pria itu sama saja dengan semua orang-orang itu—
“Bodoh.”
“Iya, aku memang bodoh—”
“Mereka yang mengucilkanmu itu sampah.”
“Eh?”
Izuku terkejut. Pria itu menghina mayoritas orang-orang hebat itu? Seumur hidup, baru kali ini Izuku bertemu dengan sosok yang tidak menghina statusnya yang quirkless.
Masih menatap lurus Izuku, pria itu melanjutkan, “Kau memang tidak punya quirk dan kau memang tidak akan berguna di lapangan, terutama dalam pekerjaan hero bagian kombat dan di masyarakat modern ini. Tapi bukan berarti mereka bebas memperlakukanmu dengan tidak adil.”
“T-tuan…?”
Pria itu menghela napas, kembali menyentil dahinya gemas. Izuku mengaduh kesakitan—dihadiahi dengan senyuman puas sang pria asing.
Ketika pria itu tersenyum, hati Izuku menghangat.
Entah kenapa senyumnya menjengkelkan… dan terasa nostalgik.
“Sekarang lupakan semua orang bodoh itu. Mereka sampah masyarakat—tidak penting. Kalau kau dianiaya, teruslah melawan. Pulanglah, pasti orang tuamu khawatir karena anak nakal sepertimu keluyuran sore hari begini. Dan kalau kau sudah sampai rumah, lupakan aku. Anggap kita tidak pernah bertemu.”
Izuku menunduk lemas. Dadanya sesak. Ekspresinya seperti anak kucing terlantar. Berpikir akan berpisah dengannya, membuat Izuku ingin menangis sejadi-jadinya dan menghambur ke pelukannya.
Ah, Izuku lupa—ia tidak bisa menangis.
Bagaimanapun juga, pria itu orang pertama yang berada di sisinya dan tidak mengucilkannya.
Tangan Izuku menarik ujung mantel pria itu.
“Aku tidak ingin kembali…”
“Ibumu?”
Mengingat ibunya, Izuku tersenyum sendu. Midoriya Inko adalah ibu terbaik yang pernah dikenalnya, namun Izuku tidak ingin menyakitinya lebih jauh.
“Tidak… Aku hanya akan merepotkannya…”
Pria itu mendecih sebal. Pria itu sudah pasti membencinya.
Izuku akan pulang, meminta maaf karena tiba di rumah larut malam, menghambur ke pelukan ibunya, bangun pagi dan bertemu dengan Kacchan di sekolah esok hari—
“Bocah merepotkan…”
“...!”
Izuku terkesiap. Tubuhnya diangkat seperti karung beras. Walau badannya terasa letih berkat stress yang dialaminya sepanjang hari, pria itu tidak peduli dan menyampirkannya di bahunya sesuka hati. Tubuh pria itu terlihat kurus dan jangkung, tetapi tenaganya cukup impresif hingga bisa mengangkat tubuh Izuku dengan enteng.
“T-Tuan?! Turunkan aku!”
“Jangan panggil aku Tuan. Panggil saja aku Dabi.”
“Da… Dabi-san?”
“Tidurlah.”
Izuku menurut dan memejamkan mata. Kemanapun pria itu—Dabi—membawanya, Izuku tidak peduli—ia tidak ingin memikirkannya saat ini. Wangi kayu bakar yang menguar dari tubuh pria itu terasa sangat nyaman dan adiktif.
“Terima kasih, Dabi-san,” bisiknya sebelum tertidur pulas.
Tanpa disadari Izuku, pria itu tersenyum licik.
(Dabi menemukan tujuan baru; ia ingin membuat Izuku menangis.)
finish (Rabu, 29 Juli 2020 - unedited)
0 notes
lemonandomurice · 1 year ago
Text
cats
—Boku no Hero Acedemia fanfiction; Shinsou Hitoshi x Midoriya Izuku —Written in Bahasa Indonesia —Future AU; Shisou & Midoriya are married, full of fuwa fuwa i can't handle the angsts —Boku no Hero Academia © Horikoshi Kouhei. Fanfiksi ini ditulis hanya demi menambah asupan kapal-kapal all x brokoli kesayangan. Saya tidak bermaksud untuk mengambil keuntungan materiil apapun.
“Hicchan, sudah kubilang jangan membawa pulang kucing liar lagi!”
Shinsou—dulunya Midoriya—Izuku ngomel-ngomel ketika mendapati Hitoshi membawa seekor kucing liar sehabis pulang dari pekerjaannya sebagai pro hero.
Izuku tidak begitu terkejut sebenarnya. Memang sudah kebiasaan suaminya membawa kucing liar untuk diadopsi. Kira-kira setiap minggu, koleksi kucing mereka bertambah satu.
Omong-omong kucing Hitoshi bawa kali ini memiliki warna bulu yang tidak biasa. Bulunya berwarna hijau dan terlihat halus. Ditambah mata besarnya yang terlihat berkilauan. Imut sekali!
Izuku ingin sekali menyentuhnya, namun ia urungkan. Ia harus teguh pada prinsipnya; tidak boleh menambah koleksi kucing lagi di rumah!
“Kita sudah punya sembilan kucing dan ini jumlah yang sangat banyak!”
Hitoshi memasang muka memelas, “Ayolah, Izuku…”
Lagi-lagi suaminya berbuat curang, membuat pendiriannya sedikit goyah.
Hitoshi tahu kalau Izuku mudah sekali ditaklukkan—Izuku lemah sekali dengan ekspresi memelasnya dan juga dengan sesuatu yang imut, seperti kucing. Pria itu nyengir—yang sialnya terlihat tampan di mata Izuku.
“Kau tidak gemas, Izuku? Lihatlah mata besarnya yang menggemaskan dan rasakanlah bulu hijaunya yang halus.”
“Tidak ya tidak, Hicchan!”
Menghela napas, Izuku kembali ke dapur, melanjutkan kegiatan memasak makan malam yang tertunda setelah menyambut kepulangan suaminya.
Kalau boleh jujur, sebenarnya Izuku ingin mengadopsi kucing imut itu, namun baginya rumah mereka sudah penuh dengan kucing.
Hitoshi mengikuti Izuku ke dapur, memeluk pinggangnya dari belakang, menampung kepalanya di bahu sempit Izuku. Ia mengecup tengkuknya, membaui aroma khas Izuku.
Izuku meringis geli. Wajahnya memerah. Tubuhnya gemetar.
“H-Hicchan! Aku kan sudah bilang tidak boleh!”
Bukannya takluk pada rajukan Izuku, semakin jadi pula Hitoshi. Ia mengeratkan pelukannya, mendengar irama jantung izuku yang berdetak semakin kencang.
Menggemaskan sekali.
“Tidak mau. Kucing ini mirip kau, Izuku. Aku gemas dan tidak tahan untuk tidak membawanya.”
“H-Hicc—chan—geli!”
“Kau imut dan kucing ini imut. Itu fakta yang tidak terbantahkan.”
Izuku kembali menghela napas. Kalau sudah begini, mustahil menolak Hitoshi—ia akan semakin memangsa Izuku. Pria itu akan menggodanya lebih jauh. Shinsou Hitoshi memang curang.
“Hufft… Hicchan memang curang.”
“Aku tidak curang. Kau saja yang terlalu imut dan mudah digoda—aku tak keberatan sih.”
Izuku menggembungkan pipinya kesal—yang malah tampak semakin imut bagi Hitoshi. Kenapa ia selalu saja kalah dengan suaminya?
“Baiklah. Sekali ini saja.”
“Terima kasih, Izuku. Aku mencintaimu.”
Hitoshi mengecup bibirnya singkat, kembali memeluknya erat. Lagi-lagi Izuku memerah dan Hitoshi menyukainya.
Izuku tahu kalau membuat janji dengan suaminya akan berakhir sia-sia. Ia tahu kalau Hitoshi akan melanggar janjinya secepat mungkin, mengingat pria itu sangat mencintai kucing.
Sebenarnya Izuku tidak mempermasalahkannya. Kucing itu menggemaskan. Hanya saja mengurus kucing tidak semudah yang ia bayangkan—terkadang ia kewalahan dengan urusan rumah tangga dan pekerjaannya sebagai pro hero. Namun Hitoshi selalu menyempatkan diri untuk bermain bersama kucing-kucing di rumah di sela kesibukannya—Izuku diam-diam luluh melihat sisi manis suaminya itu.
Izuku tersenyum tipis.
Hari ini keluarga kecil mereka bertambah satu. Izuku diam-diam memikirkan nama kucing baru mereka, mengingat Hitoshi selalu memintanya untuk menamai mereka.
—Izuku terkekeh pelan mengingat suaminya tak kreatif dalam memberi nama.
Mungkin Midori nama yang bagus? Natsumi? Atau mungkin Hasumi?
Oh ya, Izuku lupa. Masakannya!
“Hicchan, tolong lepaskan aku. Aku harus lanjut memasak makan malam. Hicchan pasti lapar kan? Tunggu saja di meja makan.”
“Baik, nona Shinsou.”
“Hicchan baka! Aku ini pria!”
Tersenyum kecil, Hitoshi meninggalkan Izuku yang memerah sembari terkekeh gemas.
end (Kamis, 23 Januari 2020)
0 notes
lemonandomurice · 1 year ago
Text
catch me if you can.
—Boku no Hero Acedemia fanfiction; Dabi x Midoriya Izuku —Written in Bahasa Indonesia —Alternate Reality; dimana AFO adalah ayahnya Izuku, quirkless & kinda OOC Izuku (he's kinda calm in this AU i guess?) —Boku no Hero Academia © Horikoshi Kouhei. Fanfiksi ini ditulis hanya demi menambah asupan rarepair problematik kesayangan saya. Saya tidak bermaksud untuk mengambil keuntungan materiil apapun.
Midoriya Izuku seperti kupu-kupu; begitu bebas dan indah.
Eksistensi Izuku di markas tidak spesial; ia hanyalah putra kandung All For One yang dilahirkan tanpa quirk dan kesehariannya hanya melayani anggota villain di bar. Seringkali Dabi menjumpainya bereksperimen di laboratorium kecil miliknya—dan hasil percobaannya tidak berguna. Semua orang menyayanginya, termasuk pemimpin mereka yang kekanakkan itu.
Awalnya Dabi tidak memedulikan keberadaannya. Baginya Izuku hanyalah bocah bau kencur yang terisolasi dari dunia luar, hanya pemeran figuran di dunia markas. Dunia Izuku hanya sebatas interior League of Villains—All For One dan Shigaraki Tomura sialan melarangnya keluar demi alasan keamanan. Ia tak pernah ikut serta dalam misi berbahaya. Ia terlihat dingin dan tegas. Bocah itu gila. Terkadang Dabi mendengar tawanya dari laboratorium dan lingkaran hitam selalu tersampir di bawah matanya—yang terlihat seperti mata panda.
Tanpa sadar Dabi selalu mengamati gerak-geriknya. Tampaknya curi-curi memandangi Izuku menjadi salah satu dari sekian hobinya.
Midoriya Izuku terlihat bebas.
Izuku menikmati kesehariannya (tampak dari senyum tipis samar-samar yang tanpa sadar ia tujukan pada dirinya sendiri). Senyuman itu terlihat cantik. Matanya membesar dan dipenuhi binar-binar bahagia ketika ia berhasil melakukan eksperimennya. Tawa kecilnya terdengar merdu. Ia pandai meracik minuman dan melayani pelanggannya. Izuku terlihat dingin, namun keberadaannya hangat. Izuku juga pendengar yang baik—Toga Himiko salah satu klien setianya. Bocah itu cukup perspektif; pandangannya luas dan ia tidak segan-segan mengungkapkan ketidaknyamanannya—Dabi senang melihat Izuku mengonter argumen beberapa klien menyebalkan dengan nada kalemnya, atau hanya sekadar menyingkirkan lengan Shigaraki setiap kali pria itu merangkul pundaknya mesra.
—dan tentunya Dabi tidak melupakan bokongnya yang berisi dan bibir merah mudanya.
Pantas saja bosnya dan Toga tergila-gila padanya. Tak heran kebanyakan anggota League of Villains menemukan rasa nyaman dari sosok Izuku—dan Dabi bukan pengecualian.
( “Izuku-kun, mau jadi pacarku nggak? Ayolah, bilang iya~”
“Maaf, tapi Toga-chan adalah sahabat terbaikku.” )
( “Izukun, kalau kita menikah, kita akan membuat banyak keturunan. Kau mau tidak menikah denganku? Kita akan menguasai dunia bersama, memberi pelajaran pada society yang kejam ini.”
“Maaf, Muracchan. Aku laki-laki, aku tidak bisa memberimu anak. Dan juga, aku menganggapmu sebagai kakak laki-lakiku.” )
( “Midoriya, kencan yuk.”
“Maaf, Muscular-san ingat kan kalau ayahku dan Muracchan tidak memperbolehkanku keluar?” )
Melihat rekan-rekannya ditolak mentah-mentah di bar, Dabi menahan tawa—setidaknya tiga pejuang cinta Izuku sudah tereleminasi.
Terkadang Dabi berandai-andai; mengapa semudah itu jatuh cinta dengan sosok Midoriya Izuku? Apa yang istimewa darinya? Dabi sendiri tidak mengerti.
Isi pikiran Izuku seperti labirin. Tidak jelas apa yang dipikirkannya. Bocah itu terlihat dingin, tetapi keberadaan dan senyumnya hangat, namun Dabi tetap tidak bisa menebak jalan pikirannya, apa yang sebenarnya remaja itu rasakan, hatinya untuk siapa.
Kalau dipikir-pikir, Izuku adalah enigma yang ingin ia pecahkan. Izuku adalah tantangan yang ia cari. Sosoknya yang sulit ditebak memompa rasa ingin tahunya dan memunculkan keinginan bawah sadarnya.
Dabi ingin melihat sosok asli Izuku. Ia ingin Izuku membuka diri padanya. Izuku yang penuh wawasan, Izuku yang kuat pendirian, Izuku yang rapuh—semuanya.
Dabi ingin mendapatkannya. Ia harus mendapatkannya.
(Yang tidak Izuku ketahui, sesungguhnya Dabi sangat persisten. Sekali menemukan sasarannya, ia akan mengejarnya. Ketika ia berhasil mendapat buruannya, ia akan menghujamkan taringnya dan tidak akan pernah melepaskannya—dan Midoriya Izuku adalah sosok tidak beruntung itu.)
-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
Midoriya Izuku seperti kupu-kupu; cantik dan enigmatik.
Dabi ingin mempreservasi keindahannya.
Dabi akan mematahkan sayapnya, menginjak-nginjaknya ketika tubuhnya jatuh ke tanah, membakar tubuhnya dengan gairah, membuat Izuku hanya memikirkannya seorang.
-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
“Midoriya, aku ingin menangkapmu.”
“Maksud Dabi-san?”
“Aku ingin menangkapmu. Aku ingin memerangkapmu. Aku ingin menyimpanmu di dalam kotak kaca, mempreservasi keindahanmu.”
Izuku tertawa kecil. Dabi senang mendengarnya. Tawa Izuku terdengar menenangkan, mengingatkannya akan lagu pengantar tidur.
“Dabi-san ngomong apa sih? Aku tidak indah. Dabi-san terlalu mengada-ngada.”
“Di mataku tidak begitu. Aku serius ingin menangkapmu. Aku menginginkanmu.”
“Kalau begitu… Catch me if you can, Dabi-san.”
Midoriya Izuku adalah enigma—hingga saat ini Dabi tidak bisa memahami isi pikirannya sepenuhnya.
“Kalau Dabi-san bisa menangkapku… Dabi-san bisa mengurungku dan melakukan apa saja padaku.”
Bocah itu menantangnya, huh? Dabi merasa adrenalinnya berpacu. Target ingin diburu rupanya—dan predator dengan senang hati akan mengabulkannya.
(Perburuan dimulai dan Dabi tidak berniat untuk kalah.)
Dabi menyeringai, mengecup punggung tangannya, “Tunggu saja, Tuan Putri. Kau akan menjadi milikku. Aku akan memperlakukanmu dengan sangaaat baik… Kuharap kau menantikannya, Midoriya Izuku.”
end (Selasa, 11 Agustus 2020)
0 notes
lemonandomurice · 1 year ago
Text
sweets
—DRAMAtical Murder fanfiction; Trip x Seragaki Aoba —Written in Bahasa Indonesia —Alternate Reality; if Virus and Trip weren’t Morphine’s leaders, might be OOC tho —DRAMAtical Murder © Nitro+Chiral. Fanfiksi ini ditulis hanya demi menambah asupan ToriAo kapal karam problematik kesayangan ini. Saya tidak bermaksud untuk mengambil keuntungan materiil apapun.
Terkadang Aoba mempertanyakan obsesi Trip terhadap makanan manis, serta seberapa besar kapasitas perutnya itu.
Badan Trip besar dan mungkin saja ia memiliki perut karet.
Trip suka cake, lolipop, crepe, es krim—intinya makanan manis atau dessert. Setiap kali mereka—Aoba dan Trip—menghabiskan waktu di kafe, Trip selalu memesan cake dan hidangan lainnya dengan jumlah dua kali lipat, sedangkan Aoba hanya memesan sepiring donat dan secangkir teh hangat. Dengan pesanan berikut saja Aoba sudah merasa kenyang, berbeda dengan Trip yang meski sudah makan dua kali, namun terkadang masih tersisa rasa lapar di perutnya.
Aoba takjub dengan Trip dan nafsu makannya yang luar biasa. Aoba penasaran mengapa Trip suka makanan manis. Apa lidahnya tidak mati rasa akibat terus-menerus mencicipi gula dan bahan makanan manis lainnya?
“Trip, kenapa kau suka makanan manis?”
Trip berhenti meneguk bubble tea yang ia pesan, menatap Aoba yang memasang tatapan penuh rasa ingin tahu.
“Hmm… Aoba mau tahu?”
Aoba mengangguk.
“Iya. Apa lidahmu tidak mati rasa setiap hari makanan manis? Nanti gula darahmu bisa naik lho.”
Trip meneguk bubble tea-nya hingga tidak tersisa. Senyuman miring dan usil tersampir di wajahnya.
“Hmm… Aoba khawatir padaku?”
Dengan semburat merah yang menghiasi wajah, Aoba hanya bisa pasrah—mengingat Trip yang memang suka menggodanya sedari dulu.
“Tentu saja! Nafsu makanmu luar biasa hebat dan makanan yang kau pesan setiap hari adalah cake dan makanan manis lainnya. Kalau kau memesan kopi, kau juga menambah terlalu banyak gula. Bisa-bisa nanti kau diabetes!”
Trip terkekeh mendengarnya. Aoba mendecih kesal, ingin menghajar kekeras kepalaan sosok yang duduk di hadapannya ini. Sudah baik hati Aoba memedulikannya, mengingatkannya akan bahaya makanan dan minuman manis dan Trip hanya tersenyum mengejek—lebih tepatnya tersenyum usil.
“Tapi gitu-gitu badanku tetap bagus.”
Terkutuklah Trip dan segala kenarsisannya.
“Ini bukan masalah bagus atau tidaknya bentuk badanmu. Aku hanya ingin kau menjaga kesehatanmu. Karena aku khawatir dengan kebiasaanmu itu…”
Trip tersenyum puas, merasa senang dengan pengakuan Aoba. Tidak sering Aoba jujur dengan perasaannya dan mengekspresikan bentuk rasa khawatirnya. Aoba itu kalau digoda terkadang susah jujurnya, makanya sisi Aoba hari ini sangat jarang.
“Aoba sangat manis kalau lagi khawatir.”
Aoba menatap Trip tajam. Trip tidak menggubrisnya dan mendekatkan wajahnya hingga bibirnya menyentuh bibir milik Aoba. Trip tidak takut dengan ekspresi kesal Aoba—malahan baginya Aoba yang seperti ini terlihat sangat manis dan imut.
Menggunakan kesempatan, Trip merasakan rongga-rongga dan gusi, merasakan seluruh bagian dalam mulut Aoba. Sensasinya menggiurkan dan adiktif, salah satu hal yang Trip suka dari Seragaki Aoba.
Ketika tautan mereka terlepas, Trip menjilat sisa-sisa saliva yang masih bertengger di bibirnya. Ada rasa manis yang masih terkecap.
Trip menyukainya.
“Aoba manis.”
Rona merah kembali menghinggapi kedua pipi Aoba, menjalar sampai ke telinga. Ini benar-benar memalukan; Trip dan segala aksi spontannya itu. Ia hanya bisa menunduk dan diam termangu, tidak sanggup menatap pria itu setelah ia menciumnya. Ah, benar-benar…
Trip menyeringai kecil, tidak menunjukkan rasa bersalah setelah dengan sengaja meraup bibir Aoba dan membuat pemuda itu gugup setengah mati.
“Mungkin kalau aku bisa merasakan bibirmu setiap hari, aku akan berhenti memakan banyak makanan manis, Aoooba.”
finish (Senin, 24 Juli 2017)
0 notes
lemonandomurice · 1 year ago
Text
108 bunga mawar merah
—DRAMAtical Murder fanfiction; Virus x Seragaki Aoba —Written in Bahasa Indonesia —Alternate Reality; if Virus and Trip weren't Morphine's leaders, might be OOC tho —DRAMAtical Murder © Nitro+Chiral. Fanfiksi ini ditulis hanya demi menambah asupan VirAo pribadi. Saya tidak bermaksud untuk mengambil keuntungan materiil apapun.
“Wah…”
Seragaki Aoba hanya bisa memandang takjub pada buket bunga di hadapannya.
Virus mengunjungi toko, membawakannya sebuket mawar merah. Aoba dapat menebak; isinya ada seratus delapan. Warna merahnya memikat mata dan terlihat romantis.
Aoba sudah terbiasa setiap kali Virus mengunjunginya dan membawakannya hadiah. Ia sebenarnya tidak tahu mengapa atasan yakuza itu mau saja repot-repot membelikannya barang-barang yang terbilang cukup—sangat—menguras dompet.
Namun diam-diam Aoba sangat senang setiap kali Virus memberinya sesuatu dan sebenarnya ia juga penasaran dan menanti-nanti, ingin tahu benda seperti apa yang akan diberikan Virus padanya.
Dan hadiah kali ini lebih mengejutkan dibanding biasanya.
“Anu… Virus…”
“Kenapa, Aoba-san? Tidak suka dengan hadiahnya?”
Aoba menggeleng. Ia menunduk—ada sedikit semburat merah di kedua pipinya.
“Bukan begitu, Virus. Mawar-nya sangat indah… Tapi… Um…”
“Tapi kenapa, Aoba-san?”
“Um… Kau tahu kan arti dari seratus delapan bunga mawar merah? Um…”
Aoba mulai gugup. Arti sebenarnya dari jumlah bunga mawar merah yang dibawa Virus kali ini sangat mendalam—juga memalukan baginya.
Bunga mawar merah sendiri memiliki banyak arti; cinta yang dalam, romantis, gairah cinta yang memuncak dan masih banyak lagi. Bahkan jumlah bunga mawar tersebut juga memiliki makna. Terutama jika jumlahnya ada seratus delapan.
Virus hanya tersenyum kalem.
“Memang apa artinya, Aoba-san?”
Aoba memainkan jarinya. Berbanding terbalik dengan Aoba yang sudah geregetan. Apakah Virus benar-benar tidak tahu atau sedang mempermainkannya? Terkadang Aoba tidak bisa menebak jalan pikiran dan tindakan Virus.
“Um… Artinya… Maukah kau menikah denganku? Biasanya mawar merah berjumlah seratus delapan digunakan untuk melamar seseorang, kira-kira begitu… Dan aku kira… Um…”
—dan aku kira kau ingin melamarku, begitu yang ingin Aoba ucapkan.
“Aoba-san tahu banyak ya.”
Masih tersenyum, Virus menggenggam tangan Kanan Aoba, membawanya ke depan bibirnya. Dengan perlahan, ia mengecupnya, menyentuh puncak tangannya dengan bibirnya.
Aoba hanya diam termangu, memproses apa yang baru saja terjadi. Rona merah di kedua pipinya menjalar sampai ke bagian kuping.
Orang ini… Benarkah? ...Serius?
“Apa—”
Virus hanya tersenyum seperti biasanya—senyum ramah bercampur geli dan licik. Aoba yang sudah ingin pingsan mendapat perlakuan tidak biasa itu heran dengan Virus yang sangat kalem.
“Maaf, Aoba-san. Habisnya Aoba-san terlalu manis.”
Mungkin asap malu-malu mulai keluar dari puncak kepala Aoba sekarang seiring bertambahnya rona merah pada wajahnya. Tidak bisakah jantungnya yang berisik ini diam sebentar?
“Maaf, Aoba-san… Aoba-san sangat manis hingga aku tak bisa menahannya. Aku hanya bercanda. Tentu saja aku tahu artinya.”
Virus terkekeh, mengagumi setiap inci wajah Aoba yang memerah karenanya. Betapa banyak sisi Aoba yang membuatnya jatuh hati, membuatnya ingin memiliki pria itu seutuhnya, sepenuhnya. Maka dari itu Virus tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk memonopolinnya. Tidak akan ia serahkan Aoba kepada siapapun—bahkan Trip sekalipun. Ia memastikan Aoba hanya melihat ke arahnya. Hanya padanya.
(Dan untungnya, meski Aoba tidak menyadarinya, ia sudah jatuh ke dalam pesonanya.)
Virus mendekat hingga bibirnya berada tepat di samping telinga Aoba. Karena Aoba tidak menolak aksi agresif Virus, bisa ia rasakan Aoba telah jatuh dalam genggamannya. Virus menyeringai, kemudian berbisik pelan.
“Maukah Aoba-san menikah denganku?”
finish (Kamis, 27 Juli 2017)
0 notes
lemonandomurice · 1 year ago
Text
you'll never know
—Magical Starsign fanfiction; Pico x Heroine/Fem!MC (lebih tepatnya Heroine >>> Pico) —Written in Bahasa Indonesia —Might be OOC —Magical Starsign © Brownie Brown. Fanfiksi ini ditulis hanya demi menambah asupan pribadi. Saya tidak bermaksud untuk mengambil keuntungan materiil apapun.
Sejak menginjakkan kaki di Akademi Will-O-Wisp, ia selalu mengagumi Pico.
Pico adalah salah satu dari lima kawannya—dan yang paling spesial di antara semuanya. Pico adalah sumber inspirasinya. Karena Pico, ia belajar sihir dengan giat.
Pico—katakan ia cukup tampan—berkarisma. Ia memang ceroboh dan seenaknya sendiri, namun hatinya hangat. Tubuhnya maskulin—meski terkadang sikapnya seperti bocah berusia lima tahun. Di tubuh Pico, menguar bau arang yang khas. Meski amis, ia menyukai aroma tubuh sahabatnya.
Baginya, sihir api yang dihasilkan Pico meski amburadul tampak indah dan memikat. Setiap Pico menunjukkan hasil latihan sihirnya, ia selalu memandangi dengan mata berbinar.
Netra lavender itu selalu menatap Pico setiap hari. Memerhatikan tingkah konyol temannya setiap kali bertukar tawa dengan orang lain atau sekadar memerhatikan Pico yang berusaha keras fokus pada mata pelajaran sihir harian—namun akhirnya pemuda itu pun tertidur pulas.
Katakan ia pengecut karena tidak berani berterus terang pada Pico, namun benar adanya. Yang ia lakukan selama ini adalah mengagumi Pico dari jauh. Memendam, memendam, dan memendam. Ia berusaha bersikap normal. Takut hubungannya dengan Pico retak. Takut Pico risih. Terus menerus membohongi perasaan.
Namun, berkat Pico juga, ia yang semula tidak tahu menahu soal penampilan, berubah menjadi seorang gadis. Rambut panjangnya yang bergelombang selalu ia ikat rapi. Ia mulai mengenakan sedikit pelembab bibir serta sedikit bedak. Berharap Pico akan meliriknya—namun nihil.
Pico tidak akan pernah meliriknya sekeras apapun ia berusaha.
Karena Sorbet.
Sorbet tipe gadis idaman; penyihir elemen air dengan sikap kalem yang memikat, juga salah satu sahabatnya. Dia elegan, berhati besar, kalem, pintar, sempurna—siapa yang tidak terpesona? Bahkan Pico jelas-jelas menunjukkan ketertarikan padanya. Meski Pico sering kali ditolak, namun pemuda itu tetap kokoh. Ia tetap mengejar Sorbet.
Pokoknya, Pico bukan sosok yang mudah menyerah.
Sementara ia hanya siswi biasa—ia tidak cerdas seperti Sorbet, tetapi tidak bodoh juga. Nilai standar, praktik sihir lumayan, wajah standar—tidak secantik Sorbet. Belum lagi netra ungu-nya yang unik dan dark magic yang sudah mendarah daging dalam tubuhnya, yang sesekali membuat sedikit orang merasa terintimidasi. Ia bukan Sorbet yang sempurna.
Betapa irinya ia dengan sahabat perempuannya itu.
Namun ia bisa apa? Memaksa Pico untuk balik menyukainya? Tidak mungkin.
Yang ia lakukan hanyalah merenung—merutuki sikapnya yang pengecut, mengutuk perasaan romantis yang ia rasakan, iri pada Sorbet yang tidak bersalah dan menyalahkan dirinya sendiri yang tidak kompeten.
Rasanya ia gagal sebagai wanita.
Menangis dalam diam dan terus menyalahkan diri sendiri sangat membuang waktunya yang berharga—ia sadar akan hal itu, namun terkadang ia perlu pelampiasan—dan pelampiasan itu adalah dirinya sendiri. Patah hati itu sesak. Ia yang tertutup sulit untuk membagi bebannya pada orang lain, bahkan kepada lima sahabatnya itu.
Namun tidak ada yang akan ia dapatkan dengan bersedih terus-menerus. Ia hanya akan membuat teman-temannya khawatir—terutama Lassi, si manusia kelinci yang selalu menyadari raut wajahnya yang murung akhir-akhir ini.
Mulai saat itu, ia merombak penampilannya. Rambut panjangnya yang biasa diikat rapi, kini dibiarkan tergerai berantakan, tidak disisir dengan benar. Ia berusaha menjadi diri sendiri. Ia sering membaur dengan Lassi yang cerewet atau Chai yang kocak, berusaha melupakan sosok Pico yang terus muncul dalam benaknya—dan itu sangat sulit karena afeksinya pada Pico begitu kuat.
Toh Pico tidak meliriknya barang sedikit pun.
(Saat ia mulai menggerai rambutnya, Pico hanya menanyakan dengan tawa nyaring, “Hei, ada apa dengan rambutmu? Berantakan sekali!” atau “Kau kenapa sih? Ada masalah? Kita ini sahabat, harusnya kau cerita saja padaku!” atau “Kau habis putus cinta ya?”—yang ini hanya ia tanggapi dengan senyuman pahit.)
Menata rambut sesuka hati—meski tidak rapi—juga terasa nyaman.
Selamanya Pico hanya akan menganggapnya sahabat terbaik yang pernah ada—tidak akan pernah lebih dari itu. Baginya, meski menyakitkan, ini lebih baik daripada tidak dianggap sama sekali.
Selamanya Pico tidak akan pernah mengetahui apa yang sesungguhnya ia rasakan. Lebih baik ia biarkan saja waktu yang akan menyembuhkan luka tanpa goresan ini.
Toh, ia bisa apa?
finish (Minggu, 12 Agustus 2018 - unedited)
Notes: Saya kangen banget sama game ini. Meski game ini tidak begitu populer, namun cukup asik buat dimainkan—meskipun sistem battle-nya agak agak ngeselin dan rumit, sih. Tetapi karakternya lucu-lucu :3. Ini headcannon saya kenapa rambut Heroine terkesan berantakan dan tidak rapi, namun heroine tetap cocok dengan rambut seperti itu hehe.
0 notes
lemonandomurice · 1 year ago
Text
How to please your fujoshi girlfriend
—Genshin Impact fanfiction; Xiao x fem!Xingqiu —Written in Bahasa Indonesia —Genderbended character: Female!Xingqiu —Set in Alternate Universe & might be OOC —Genshin Impact © HoYoverse. Fanfiksi ini ditulis hanya demi memuaskan dahaga pribadi terhadap kapal karam saya. Saya tidak bermaksud untuk mengambil keuntungan materiil apapun.
"Kak Xiao! Lihatlah!"
Dengan kedua mata berbinar-binar cerah, Xingqiu memamerkan sebuah manga yang ia temukan di etalase khusus komik keluaran terbaru. Ilustrasi pada sampul buku menunjukkan dua orang pria; seorang pria bersurai cokelat gelap dengan iris amber yang memanjakan mata berpasangan dengan seorang pria berambut jingga dengan bermata sebiru air laut. Pria berambut jingga itu sedang memeluk mesra pria satunya. Mereka berdua tersenyum pada audiens. Terdapat tanda 'Volume 5 — END' pada bagian kanan atas seri manga dengan judul 'My POOR Archon Husband' itu.
Sisi itunya kambuh lagi, batin Xiao sengsara.
Gadis pendek itu tersenyum senang—ia tidak sepenuhnya pendek, sebab perbedaan tinggi badan mereka hanya sebatas kira-kira tiga sentimeter. Walau termasuk pendek untuk ukuran laki-laki, Xiao cukup bangga dengan perbedaan tinggi yang kurang kentara itu. Setidaknya, ia tidak perlu diejek oleh kerabat-kerabatnya. Bila Xingqiu lebih tinggi bahkan nol koma nol satu sentimeter darinya saja, habislah ia.
"Sampulnya manis banget! Kayaknya Mas Shouri dan Koushi bakal bersatu pada akhirnya! Semoga ilustrasi sampulnya nggak menipu. Aku ingin mereka berbahagia. Kadang pengarangnya suka menebarkan bumbu plot twist pada manganya sih!"
Melihat Xiao hanya menatapnya datar sembari bersandar di rak buku terdekat, Xingqiu mengerucutkan bibir kesal. Gadis itu mengarahkan sampul buku itu tepat di depan wajah pacarnya, memaksa Xiao untuk memerhatikannya. Ia menatap Xiao memelas, berusaha membuat dirinya terlihat imut—yang sayangnya tidak mempan.
"Tidakkah mereka terlihat menggemaskan, Kak Xiao?"
Kalau sudah meracau tentang manga yang berkaitan dengan romansa antar lelaki, Xingqiu tak bisa diam. Tak hanya manga bergenre shounen-ai, gadis itu juga tak henti-henti mempromosikan manga kesukaannya yang mengusung tema lain. Terlebih, Xingqiu hobi memasangkan karakter-karakter dalam seri animanga kesukaannya. Xiao adalah objek seluruh curahan hati gadis itu. Bila kapal kesayangannya karam, ia akan menangis dan mengoceh tanpa henti—dan Xiao terpaksa menghiburnya. Bila kapalnya berlayar, ia akan menulis fanfiksi dan memaksa Xiao untuk membacanya sebelum mengunduhnya ke situs membaca fanfiksi gratis dengan tema merah.
Xiao menghela napas pasrah. Telapak tangannya mengacak-acak surai kebiruan Xingqiu hingga cukup berantakan. Tak lupa ia menyentil dahi gadisnya. Gadis dengan rambut panjang sebahu itu menggerutu kesal.
"Rambutku!?"
"Kau ini ya... Orang-orang pada ngeliatin kita."
Yang Xiao katakan sembilan puluh sembilan persen benar; saat ini, berkat Xingqiu yang terlalu menggebu-gebu, para pengunjung dan karyawan toko buku menonton mereka.
Xingqiu tersenyum sumringah dan Xiao menahan diri untuk tidak mengomeli gadis manisnya—tak ingin membuat keributan di tempat publik.
"Maaf, Kak Xiao."
Kini ekspresi Xingqiu bagai kucing terlantar. Sekilas Xiao merasa bersalah karena sudah menggubris celotehan bahagia gadisnya. Bagaimanapun juga, dengan caranya sendiri, Xiao sayang pacarnya.
—bisa dibilang ia bucin. Tentu saja ia tidak ingin mengakuinya. Tampil (sok) keren di hadapan pacarnya merupakan sebuah keharusan.
"Kemarikan komik itu."
Xingqiu menurut, membiarkan Xiao mengambil manga itu dari tangannya. Pemuda itu berjalan menuju kasir dan mengeluarkan dompetnya.
"Kak Xiao, nggak perlu repot-repot. Biar aku saja yang membayar—"
"Gak usah sungkan."
"Tapi—"
"Kubilang santai aja."
Xingqiu tersenyum cerah, "Baiklah, Kak Xiao! Tapi lain kali, biarkan aku mentraktirmu!"
"Terserahmu."
Setelah membayar dan keluar dari toko buku, Xingqiu langsung menggenggam tangannya, menautkan jari-jari mereka di bawah terangnya lampu pusat perbelanjaan Taiwan pada sore hari. Sesekali ia menggumam perihal kapal Shouri-Koushi pada komik barunya, contohnya; "Nanti Mas Shouri sama Koushi bakal ngewe nggak ya, ehehehe."
Gadis itu tak berhenti tersenyum—dan Xiao yang melihat Xingqiu tenggelam dalam dunianya sendiri berusaha menahan bibirnya yang sebentar lagi akan membentuk sebuah senyuman kecil. Walau terkadang celotehannya menyebalkan, saat tersenyum, pesona Xingqiu akan meningkat dua kali lipat—dan ia dibuat jatuh hati semakin dalam.
"Kak Xiao."
"Hmm?"
"Terima kasih untuk hari ini. Sangat menyenangkan."
Sebuah senyuman hangat dari Xingqiu membuat hatinya berdesir. Xiao mengeratkan genggaman tangan mereka, meremas jemari mungil Xingqiu. Ia menatap gadis itu lekat-lekat sembari menyunggingkan sebuah senyum tipis.
"Sudah menjadi tugasku untuk mengurusmu kan?"
"Kak Xiao?"
"Bagaimanapun juga, aku menyayangimu, dasar fujoshi akut."
—dan sebuah kecupan singkat mendarat pada bibir Xingqiu sebagai kompensasi manga seharga seratus dua puluh dolar Taiwan itu.
(Kamis, 13 Mei 2021 — unedited)
0 notes
lemonandomurice · 1 year ago
Text
I'm fallin down, but that's okay, because I’ve got you
—Genshin Impact short fanfiction; Xiao x Xingqiu —Written in Bahasa Indonesia —Established relationship, might be OOC —Genshin Impact © HoYoverse. Fanfiksi ini ditulis hanya demi memuaskan dahaga pribadi terhadap kapal karam saya. Saya tidak bermaksud untuk mengambil keuntungan materiil apapun.
"Ah!"
Xingqiu memekik pelan ketika tumitnya tersandung saat menjejaki anak tangga kayu Wangshu Inn. Ia menaiki anak tangga kayu yang cukup lapuk itu sembari fokus membaca buku fantasi tipisnya. Tak mengherankan bila ia menelan ludahnya sendiri.
Oh tidak, batinnya.
Kali ini ia tak hanya sekadar tersandung. Ia akan jatuh dari ketinggian lebih dari dua meter dari atas lautan lepas Liyue.
Maka Xingqiu memejamkan matanya, menunggu impak yang akan diterima oleh tubuhnya—mungkin ia akan patah tulang hingga lumpuh seumur hidup, atau mungkin saja kehilangan nyawanya. Siapa yang tahu?
Namun sesuatu—lebih tepatnya seseorang—menangkapnya sebelum ia sempat terjatuh, merengkuh pinggangnya dengan lengan kokohnya. Xingqiu membuka matanya dan tenggorokannya tercekat. Menggendong tubuh kurus Xingqiu, sosok Adeptus Xiao memandunya hingga ke beranda teratas Wangshu Inn dengan lincah.
"Tolong turunkan aku."
Dan Xiao sama sekali tidak menanggapinya. Pria itu masih merengkuh tubuhnya sembari menatapnya jengkel.
"Kau sungguh-sungguh cari mati ya?"
Xingqiu tak menjawab. Ia membiarkan bibirnya membentuk senyuman kecil sembari mendengarkan pria itu mengomel.
Dia benar-benar peduli padaku, batinnya senang.
"Sudah kubilang kau harus memerhatikan langkahmu setiap kali kau berjalan. Matamu terus terfokus pada buku sialanmu, tak heran kalau kau tersandung."
Masih memasang senyuman jahil, Xingqiu mengalungkan lengannya pada tengkuk sang adeptus, "Kan ada Xiao yang akan selalu menangkapku setiap kali aku akan terjatuh..."
"Kau ini ya..."
Xiao menghela napas pasrah. Ia mendekatkan wajahnya hingga kening mereka bersentuhan. Ekspresinya tegas—namun Xingqiu menemukan sedikit kelembutan di balik raut tegasnya.
"Kau seperti karakter utama wanita dalam novel fantasimu."
"Kenapa?"
"Meski kau tidak selemah itu, kau itu ceroboh. Kalau sudah berurusan dengan bukumu, fokusmu langsung buyar. Kau tidak berdaya. Kau… seperti selalu menunggu seorang pangeran untuk menyelamatkanmu."—dan walau begitu, kau juga bersinar seperti mereka dan tekadmu juga kuat seperti mereka, namun frasa itu sama sekali tak terucap dari bibirnya.
Mendengarnya, Xingqiu terkekeh. Ia memejamkan matanya, membiarkan angin sepoi-sepoi menyapu helai-helai rambutnya. Lengannya membawa Xiao mendekat hingga bibir mereka hampir bersentuhan.
"Dan sang putri sudah menemukan pangerannya," ujarnya mantap.
"Aku tak sudi menjadi pangeranmu."
"Xiao akan selalu menjadi pangeranku."
"Tidak akan, Bandel."
"Omong-omong, bisa turunkan aku, Xiao?"
"Tidak, dasar anak nakal. Nanti kau terjatuh lagi."
Sepanjang perjalanan menuju kamar kamar sang adeptus, Xiao tidak pernah melepaskannya.
Dan Xingqiu membiarkan Xiao menuntunnya, mempercayakan seluruh hidupnya kepada pria itu.
Xingqiu tak lagi takut terjatuh, karena ia yakin Adeptus Xiao akan selalu menangkapnya. Kapanpun dan dimanapun ia berada, bagai angin membawa keduanya mendekat, sosok itu selalu ada, mengulurkan tangannya dan memastikan bila ia baik-baik saja.
—karena Xiao akan selalu melindunginya, ketinggian tak lagi semenakutkan itu.
(Jumat, 7 Mei 2021)
0 notes