Quote
Ada rintik paling basah menyentuh tanah Meluncur satu-satu melebur tak tentu Ada rindu paling resah menemu gundah Berjumpa dalam semu akhirnya tidak bersatu Inginku gelisah tak sudah-sudah Jadi temu bagai candu, untukmu.
1 note
·
View note
Text
Cerpen : Menanti Tulisanmu
Aku selalu menanti tulisanmu. Karena darimana lagi aku bisa tahu tentang apa yang sedang kamu pikirkan bila tidak dari sana. Kita tidak pernah bercakap-cakap tentang sesuatu yang dalam, hanya sebuah sapaan. Aku selalu menunggu tulisanmu. Karena darimana lagi aku bisa tahu tentang jalan pikiranmu, tentang masalah yang sedang kamu hadapi, atau tentang perasaan yang sedang kamu rasakan. Meski tulisan itu tidak sepenuhnya mewakili perasaan, setidaknya aku tahu perasaanmu masih hidup untuk nantinya aku cintai. Itu pun bila kamu mengijinkan.
Aku selalu membaca tulisanmu. Dari halaman satu hingga halaman yang aku yakin akan terus bertambah. Karena darimana lagi aku bisa mengenalmu dengan leluasa bila tidak dari sana. Aku bahkan tidak kuasa menyebut namamu di hadapan temanmu. Aku harus menunggu sepi atau malam hari untuk bisa leluasa memandang layar dan membaca berulang-ulang setiap kata yang lahir dari pikiran dan hatimu.
Aku menyukai cara jatuh cinta seperti ini. Tidak kamu tahu dan aku pun tidak harus repot-repot bertanya kesana kemari tentangmu hari ini. Teruslah menulis, karena suatu hari salah satu tulisanmu akan kuwujudkan. Tentang resahmu menunggu seseorang yang tak kamu tahu siapa, tapi kamu percaya pasti datang. Aku pasti datang.
Rumah, 10 Mei 2015 | ©kurniawangunadi
1K notes
·
View notes
Text
Ber-ja-rak
Belajar mata kuliah Morfologi pagi ini cukup membuat kepalaku berdenyut. Materi verba dan kombinasi afiks mengalir dengan lancar memenuhi ruangan yang tidak terlalu besar ini. Temanku menyebutkan salah satu contoh kata verba, ia mengucap kata "berjarak". Fokusku yang saat itu sedang bermain bolpoint langsung terambil secara cepat. Ber·ja·rak v ada antaranya (jaraknya) Sebuah kata verba, sebuah kata kerja, sebuah kata yang menggambarkan keadaan; perbuatan. Aku mengulang-ulang kata itu. Ingatanku terlempar pada peristiwa beberapa hari yang lalu. Lewat pesan singkat, kamu memberitahu sebuah analogi yang berasal dari konsep opportunity cost yang baru saja kamu pelajari. Kamu dengan semangat menjabarkan sebuah analogi yang bisa membuatku tertawa sekaligus berpikir. Dengan lancarnya kamu berkata bahwa apa yang sedang kita lalui merupakan bagian dari opportunity cost. Sebuah kesempatan-kesempatan yang hilang untuk aku dan kamu menghabiskan waktu bersama (lagi). Sore lengang yang hanya bisa aku nikmati sendiri tanpa kamu, atau akhir pekan yang hanya berakhir dengan setumpuk folder lagu dari kamu yang berkali-kali aku dengarkan. Aku berharap ada sore yang sama, dengan obrolan ringan sampai pada politik negara lain yang kamu jelaskan secara berbinar seolah sedang bercerita tentang dongeng fiksi anak-anak. Atau tentang membaca buku bersama, menyusuri jalan bersama, dan berakhir dengan makan di tempat makan merakyat. Rasanya, jika aku bisa menahanmu, pasti akan ku lakukan. Tapi aku yakin, akan ada kebaikan datang setelah 3,5 tahun kita lewati bersama. Aku yakin, dengan berjarak seperti ini rindu kita menjadi lebih berarti. Aku tidak mau, rindu kita kurang dihargai karena hariku hanya penuh dengan tubuhmu yang wangi itu. Selamat bertemu di hari esok yang menyenangkan. Salam rindu, dengan jarak 140km dari tempat indekosmu saat ini.
0 notes
Text
10.
Hai. Mungkin aku pengecut hanya berani menyampaikan ini lewat tulisan yang bahkan tidak pernah kamu tau. Tapi aku tidak peduli, karena bagiku, menulis selalu bisa mengungkapkan semua yang ada walaupun tanpa pernah kamu baca. Aku yakin kamu sekarang mungkin sedang meminta maaf pada orangtuamu, ataupun kamu sedang merenung memandangi langit-langit kamarmu. Bagaimana aku bisa tahu? Karena aku juga pernah merasakan bagaimana kehilangan mimpi yang kita percaya akan menjadi nyata. Mungkin nasihat-nasihat ala pepatah dari semua orang bagimu saat ini tidak penting. Mungkin kamu berfikir, itu hanya sebuah omong kosong yang diucapkan orang yang tidak merasakan apa yang sedang kamu rasakan. Aku ingat kata-katamu yang kamu ucapkan pukul 8 malam itu. "Doakan aku keterima, biar deket kan kalau mau ngapa-ngapain." Aku yang mendengarnya langsung menundukkan kepala agar semburat merah di pipiku tidak bisa kamu lihat. Tanpa kamu minta pun, doaku selalu mengalir. Dari dua rakaatku, sampai rakaat tengah malamku, namamu selalu aku sebut. Apapun yang kamu inginkan, akan selalu aku aminkan. Dari keinginan kecilmu, sampai mimpi-mimpi yang telah kamu susun sejak dulu. Kamu yang malam itu begitu semangat menceritakan semua mimpi serta harapanmu, juga pengorbanan yang telah kamu tempuh untuk sampai pada tahap ini. Aku tersenyum melihat kamu kini telah berubah menjadi sosok lelaki dewasa yang telah memikirkan masa depannya, bukan anak SMP nakal yang sering keluar masuk kantor BK. Tapi hari ini, mimpi itu ternyata harus kandas. Mungkin aku tahu, atau mungkin juga aku tak tahu bagaimana perasaanmu sekarang. Tapi yang terpenting, kamu tetaplah hebat. Aku bangga pernah dan akan terus jatuh cinta dengan lelaki yang aku yakini tak akan pernah dikalahkan oleh keadaan. Kamu boleh bersedih, agar kamu juga tahu kesedihan itu kadang menyembuhkan. Namun, setelah itu, kembalilah menjadi lelaki yang akan melakukan apapun demi membuat orangtuanya bahagia. Bukankah kamu pernah bilang kalau kamu akan melakukan apapun yang orangtuamu inginkan, walaupun itu bukan yang kamu harapkan. Pesanku satu, jangan pernah berhenti melangkah. Jalanmu masih panjang. Waktumu juga masih luang. Dan di waktu serta perjalanan itu, percayalah, aku akan selalu menjadi orang yang mendukungmu. Salatiga, 4 Mei 2017.
1 note
·
View note
Photo

"Mungkin diriku, masih ingin bersama kalian. Mungkin jiwaku, masih haus sanjungan kalian." - Sheila on Seven SMA, baru setahun lalu aku meninggalkan bangunan dengan warna dominan hijau itu untuk melanjutkan pendidikanku. Aku menganggapnya bukan hanya sebagai bangunan sekolah, tapi juga sebuah rumah. Karena di tempat itu, aku bertemu dengan orang-orang hebat, yang pasti akan terus kuingat. Masa di mana aku masih mengenakan seragam putih abu-abu yang sedikit sobek di lengan sebelah kiri, tapi nyatanya tetap nyaman untuk digunakan. Masa di mana aku menemukan cinta pertamaku. Masa di mana aku bertemu dengan orang yang sampai saat ini bisa aku panggil dengan sahabat. Andai saja aku bisa kembali, untuk sekedar menuntaskan rindu yang semakin lama makin menggebu. Halo, bangunan sekolah. Bagaimana keadaanmu? Aku masih ingat detail tentangmu. Mulai dari gerbang masuk yang selalu dijaga satpam hingga tempat parkir bawah tanah yang gelap. Apakah kamu masih berdiri dengan kokoh? Tak peduli bagaimana hujan dan matahari menerpamu. Ataukah kamu sudah rapuh karena banyak coretan dari murid-murid nakal yang berhasil membuatmu kotor. Aku ingat awal aku memandangmu. Dengan seragam putih biru tua aku berjalan memasukimu. Dan tidak lupa sedikit menggerutu karena aku pikir kamu tidak akan semenyenangkan ini. Tapi nyatanya aku salah, setelah tiga tahun aku berada di sini ternyata setiap sudutmu memberikan banyak kenangan dan cerita. Saat aku pertama kali telat masuk, saat aku dihukum karena tidak berseragam lengkap, atau saat aku melaksanakan wisuda terakhirku. Benar saja, bangunan ini menyimpan banyak cerita, yang sialnya sulit dilupa. Mari menjelajahimu lagi. Sekarang sampai pada ruang kelas kesayanganku. Aku memandangi sebuah pintu yang sudah tidak ada lagi lubang sebesar kepala manusia yang dulu menjadi tempat para guru untuk mengintip kami kala kelas kami ribut. Perlahan aku memasuki ruangan itu. Tidak banyak berubah. Masih ada coret-coretan rumus ataupun bahan ulangan yang bisa menjadi contekan untuk para murid. Masih ada sebuah lirik lagu tentara yang ditulis oleh temanku yang berambisi menjadi tentara. Aku merasakan seperti masih ada bayangan anak-anak yang berkejaran mengelilingi meja. Atau bayangan wali kelas kami yang tidak letih-letihnya memberi nasihat kepada kami. Ah, papan tulis itu, saksi masa remajaku. Untuk para guru, para pembimbingku, bagaimana keadaan kalian? Aku harap semoga kalian selalu diberi kesehatan dan semangat yang tidak akan letih untuk memberi ilmu bagi para muridmu. Dari guru yang kusayangi hingga guru yang pernah aku umpat setengah mati karena kesal aku pernah dimarahi. Sejujurnya aku merindukan semuanya. Rindu akan suara lantang mereka, omelan mereka, atau lelucon jenaka yang diselipkan kala pelajaran. Pak, bu, di tempat yang baru pendidik itu tidak sama seperti kalian, yang bisa hangat dan dekat. Bahkan sekarang tidak ada lagi yang memanggilku Nak, Dek, ataupun Mbak. Aku rindu dengan sapaan itu. Aku rindu dengan semua yang pernah Bapak dan Ibu lakukan. Aku masih ingat bagaimana kesabaran kalian saat mendidik kami. Bagaimana kalian tak pernah mengeluh meski siang terik mengganggu. Aku rindu, duduk di bangku kelas sambil mendengarkan kalian. Semua cerita ini tak akan pernah bisa aku lupa. Malah kadang cerita ini memantik bara api rindu yang kemudian disusul monolog tentang kenangan saat putih abu-abu. Walau umurku terus bertambah, kenanganmu tetap setia melekat pada lingkar otakku. Terimakasih, SMA Dua, atas pelajaran serta pengalaman yang berharga. Aku doakan semoga semakin baik untuk segalanya. Tetap jaya walau aku tau kamu juga menua. Esok nanti, saat aku pulang, aku akan kembali untuk menengokmu, sekedar melepas rindu dengan temu.
1 note
·
View note
Text
Menuliskanku
Kamu boleh menulisku bila mau. Kamu boleh menjadikanku kalimat tanya, sekaligus menulis jawabannya. Boleh juga kamu menjadikanku sebagai kalimat pernyataan, meski berupa majas-majas yang maknanya tak pernah lelah kita artikan.
Kamu pun boleh menulisku menjadi angka-angka. Seperti menjadikanku sebagai jumlah hari atau tahun disaat kamu berjuang untuk menjadi diri sendiri. Atau menjadi angka yang menunjuk pada waktu-waktu tertentu saat kamu merasa kesepian.
Kamu bisa menulisku menjadi kalimat puisi atau pantun. Atau jika kamu menjadikanku sebagai lirik lagu sunyimu, yang sering kamu nyanyikan sendirian dengan gitar tua yang kamu gantung di samping lemari. Aku bersedia.
Kamu boleh menulisku. Tapi tolong jangan menghapusnya. Biar tulisan itu menjadi kenangan dan pelajaran. Biar kita sama-sama tahu bahwa kita pernah memiliki cerita yang kita mainkan bersama.
©kurniawangunadi
1K notes
·
View notes
Text
9.
Ketukan pintu membuat tidurku yang lelap, terganggu. Aku segera beranjak menuju pintu. "Iya sebentar." Aku langkahkan kaki sambil mengerjap-erjapkan mataku. Aku membuka pintu lalu menemukan lelaki yang hampir basah kuyup dan malah tersenyum. Ah, sial, dia lagi. "Lah? Kamu ngapain? Kok hujan-hujanan? Ayo sini masuk dulu." "Di sini aja. Sebentar lagi reda kok, kayaknya." Aku menganggukan kepala lalu bergegas mengambil handuk untuk lelaki ini. "Dikeringin dulu, tuh, rambutmu. Nanti keburu kamu flu. Aku buatkan minum dulu, ya?" "Kamu tetep bawel, ya. Udah, gak usah. Sini duduk dulu." Ucapnya sambil menahanku agar tidak pergi. Aku duduk berseberangan dengannya. Bukan apa-apa, aku hanya menghindari jantungku untuk berdetak lebih cepat dari biasanya. "Kamu dari mana? Kok sampai sini?" . Dia tidak menjawab pertanyaanku. Tidak terasa sudah tiga jam dia berteduh. Tiga jam sudah aku menemaninya. Tiga jam sudah aku mendengar ceritanya. Tiga jam sudah mata itu berbinar saat menceritakan sesuatu. Aku senang mendengar ceritanya. Senang dengan lesung pipi yang seringkali muncul dengan kerutan di mata saat senyumnya terbit. Dia tampak sangat sangat bahagia dengan kehidupannya. . Setelah tiga jam, akhirnya aku bicara "Masih hujan. Kamu gak mau masuk dulu? Rumahku masih sama kayak dulu kok. Persis sebelum kamu pergi."
0 notes
Quote
Kau bagaikan bunga yang mekar di hati Ku harapkan kau mekar selama-lamanya Kau umpama bintang menyinari hidupku Ku harap kau tetap bersinar Ketika kau perlukan aku Setiap saatku ada di sisimu Ketika ku rindu padamu Terasa cinta semakin dalam Sayang, kasihku abadi Cintaku mekar di hati ini Kau dalam ingatan Di sepanjang hayatku Demi teguhnya cinta selama-lamanya
Puisi dari mama untuk papa saya, yang saya temukan di belakang album foto keluarga. :)
2 notes
·
View notes
Text
8.
“Kak!” Serunya sambil berlari-lari kecil menghampiriku.
Rambutnya berantakan, tasnya ia sampirkan di bahu sebelah kiri, serta seragam SMAnya terlihat tidak rapi.
“Udah selesai? Jadi mau makan?” Tanyaku
“Jadi, laper banget, aku daritadi belum sempet makan. Sini aku aja yang di depan.” Jawabnya tidak lupa dengan bibir yang ia kerucutkan.
Sudah lima belas menit kami berada di kafe ini.
“Tadi pas pelajaran matematika, aku kena marah guru gara-gara ketiduran hahaha…” Ucapnya dengan bersemangat.
Ia selalu seperti ini saat bercerita padaku. Dengan tatapan berbinar, suara yang antusias, tangan yang sesekali digerakkan, juga dengan badan yang selalu tegap.
Aku pernah menyuruhnya untuk bersandar pada kursi dan berbicara dengan santai saat bercerita, namun ia tidak mau, katanya itu membuat ceritanya jadi kurang seru.
Hampir setiap hari ia membagi ceritanya padaku. Entah itu tentang sekolahnya, yang bisa aku tebak pasti tentang kenakalannya saat berada di sekolah. Tentang teman-temannya yang selalu marah saat ia bertingkah usil. Tentang video game yang baru saja dibelinya. Tentang musik yang baru saja ia dengarkan. Atau tentang adiknya yang masih berumur empat tahun. Tidak lupa juga cerita tentang mantan pacar terakhirnya yang sampai saat ini menjadi alasan lelaki ini susah move on.
Kami berteman baik sejak setahun lalu. Kami selalu berbagi cerita setiap hari sehabis ia pulang sekolah. Kami juga saling berbagi luka. Ia tentang mantan terakhirnya, sementara aku tentang lelaki yang aku sukai sejak setengah tahun lalu.
Mungkin, kami adalah dua orang yang saling bertemu dalam keadaan terluka. Mungkin, kami akan menyembuhkan pada suatu hari nanti. Atau mungkin, kami malah membuat luka baru pada hati kami masing-masing. Entah bagaimana akhirnya, namun aku menikmati waktu ini. Waktu di mana aku bisa selalu bersama raganya, meskipun belum tentu dengan hatinya.
0 notes
Text
7.
“Kamu mau pesan yang mana? Aku Sosis Mozarella aja.” Ucapku sambil menyerahkan daftar menu padanya.
“Yang mana ya, sama kayak kamu aja apa, ya? Kayaknya enak. Eh, bentar.”
Dia kemudian fokus melihat daftar menu. Alisnya yang tebal berkerut. Sesekali ia membenarkan letak kacamatanya.
“Biar aku aja yang ke sana. Kamu tunggu di sini aja.” Ucapnya lalu pergi untuk memesan makanan.
Kami duduk berhadapan, aku memotong makananku lalu memberikan padanya.
“Cobain, deh. Gak terlalu pedes kok, gak kayak punya kamu.”
Ia mengangkat wajahnya. Keringat mengaliri wajahnya, dan pipinya memerah karena makanannya terlalu pedas. Bibirnya yang telah merah ia kerucutkan, serta alisnya bertaut. Ah! lucu sekali, batinku.
“Itu minum aja punya aku. Kamu sih pesen yang pedes.” Ucapku sambil memberikan segelas es tehku padanya.
Ia terkekeh dan langsung meminum es teh itu sampai tinggal setengah gelas.
Ia lalu sibuk menikmati makanannya lagi. Aku mengamati detail wajahnya— sepasang mata hitam yang teduh, alis tebal, lesung pipi di pipi kanan yang selalu muncul saat ia tertawa, juga bibir mungil yang berwarna merah muda padahal ia adalah seorang perokok. Bagaimana aku tidak jatuh cinta dengan semua itu? Wajahnya yang selalu bisa aku pandangi setiap waktu, juga yang selalu muncul dalam pikiranku.
“Heh, bengong aja sih! Lagi mikir jorok, ya?” Tanyanya diiringi seringai usil yang menyebalkan.
“Enggak lah!” Jawabku sambil memukul pelan tangannya.
Aku tersenyum melihatnya. Siang itu, aku mengakui, bahwa ada yang lebih menarik daripada sepiring kue lekker sosis mozarella yang sedang aku makan, yaitu lelaki dengan kaus hitam di depanku.
0 notes
Text
6.
Tatapannya lurus mengamati jalanan yang diguyur hujan di balik dinding kaca. Seolah, itu adalah pemandangan menarik yang berhasil menyita seluruh perhatiannya. Dahinya berkerut seperti sedang memikirkan sesuatu. Satu jam yang lalu, aku memberikan surat itu. Surat yang berhasil aku simpan dalam kurun waktu tiga tahun. Surat yang hampir setiap hari aku baca. Surat tentang perasaanku padanya. Aku menunduk, ia mengalihkan pandangannya padaku. "Aku buka, boleh?" Tanyanya sembari merobek sisi kiri amplop berwarna biru muda itu. "Silahkan." Ia membacanya, di sana tertulis: "Aku mungkin tidak akan paham dengan semua duniamu. Aku tidak tahu tentang orderdil motor yang selalu berhasil menyita banyak waktumu. Aku tidak bisa bermain gitar dengan lihai seperti kamu. Aku tidak paham dengan semua game yang kamu mainkan. Bahkan aku tidak juga tahu tentang klub bola kesukaanmu. Tapi, sejak mengenal kamu, aku jatuh cinta dengan dunia tulis menulis. Setiap hari, aku sempatkan untuk membuat sebuah tulisan dan pasti selalu kamu yang menjadi tokoh utama. Aku menulis dengan hati-hati, tentu saja juga dengan hati, dengan kalimat indah yang berusaha aku tata dengan rapi. Jadi, meskipun tak pernah aku jamahi duniamu, kamu tetap aku abadikan melalui tulisanku."
0 notes
Text
5.
Kami berdua bertatapan Sesaat lalu timbul hasrat yang tiba-tiba hadir Hasrat yang seharusnya tidak kami turuti Namun, semua terlambat Tubuhnya kini telah menyatu denganku Mahkota kami telah mekar Layaknya bunga yang selalu disiram air Tangannya melalui tubuhku Begitu mulus membelai setiap detail karya Tuhan ini Suaranya memabukkan Yang membuat permainan ini semakin lepas kendali Dan di saat itu Aku merasa telah menjadi makhluk Tuhan seutuhnya
0 notes
Text
4.
"Hati-hati, ya. Nanti kalau udah sampai kabarin aku." Ucapnya pelan
"Iya. Kamu juga jangan malam-malam, ya, pulangnya."
Setelah itu kami berpisah. Mengerjakan hal yang seharusnya memang kami berdua lakukan. Ia makan malam dengan kekasihnya, sementara aku harus menjemput kekasihku di bandara.
0 notes
Quote
Haruskah aku menjadi abu; agar kau tau, bagaimana kepergianmu membakar aku.
0 notes
Quote
Sekarang kita berjarak Kau menangis hingga serak Bergelas-gelas arak berserak Berkali-kali berhasil kutenggak Namun rindu bercorak Membuat jantung selalu berdetak Dan dalam gelapnya malam, Aku tak akan pernah berderak
0 notes
Text
3.
Suara speaker yang menandakan pesawat akan segera berangkat terdengar lantang di telinga. Aku menghembuskan nafas sambil mengusap wajahku dengan kasar, memandangi koper yang berada di depanku. Menimbang-nimbang apakah aku harus pergi atau tidak. Mataku melirik ke sebelah kanan, seorang lelaki tertunduk dengan menggenggam sebuah tas kecil. Aku mengusap lengannya agar ia tenang. Satu senyum samar berhasil ia berikan padaku.
Ia berdeham sekali dan menatapku.
“Berat, ya, ternyata. Sulit banget sih.” Katanya diiringi tawa hambar. Tangan itu memegang tanganku, meremasnya pelan kemudian mengusap telapak tanganku dengan ibu jarinya.
“Setelah kamu memutuskan pergi, sebenarnya aku masih baik-baik saja, karena kamu masih berada dalam wilayah teritorialku yang sewaktu-waktu bisa aku gapai. Tapi, kalau sekarang kamu pergi jauh, kam-”
Aku memotong ucapannya, tubuhku langsung kurapatkan padanya. Memeluknya erat seolah sebenarnya tak ingin pergi.
“Kamu akan baik-baik aja kok. Kita akan baik-baik saja. Take care.” Tenggorokanku tercekat saat mengatakan itu. Kabut di mataku semakin tebal, aku memejamkan mataku berusaha tidak menangis. Karena itu akan membuat kami berdua semakin sulit.
“Take care, too.” Ucapnya seraya pelukan itu semakin melonggar dan akhirnya hilang. Aku membalikkan tubuhku dan berjalan menjauhinya. Kakiku semakin berat, seolah ia menitipkan beberapa ton rindu yang harus kubawa.
Setelah itu ia pergi. Aku kembali pada kehidupan nyataku. Terimakasih, karena telah menjadi kehidupan nyata dan imajinasi. Sekarang, setelah perpisahan ini, kamu tidak lebih dari imajinasi yang tidak pernah bisa aku wujudkan.
0 notes
Text
2.
Dering telfon memecah keheningan di kamarku. Aku melirik sekilas ke benda elektronik di sampingku dan segera mengambilnya.
“Dia di sini. Tadi datang setelah kamu pergi.”
Pesan dari temanku yang memberitahu seseorang telah datang, lagi. Tanpa pikir panjang, aku segera menyambar kunci dan tergesa-gesa menuruni tangga. Di perjalanan, aku berusaha untuk tidak senyum-senyum sendiri agar tidak disangka orang gila.
Baru akan menelfon temanku untuk bertanya tentang keberadaannya, seseorang tiba-tiba melintas dan menegurku.
“Eh? Kok disini?"
Suara bariton itu membuat jantungku berdegup sangat keras. Aku memutar tubuhku dan menemukan lelaki ini. Lelaki yang dua tahun lalu -bahkan sampai sekarang- selalu rutin mampir di pikiranku.
“Eh iya, hehe. Aku panitia?” Aku menjawab -yang malah terdengar seperti pertanyaan- sambil memperlihatkan co-card ku.
Satu senyum lolos dari bibirnya. Tangannya terulur untuk menarikku menuju pinggir lapangan. Aku berjingkat kaget, namun aku segera mengikutinya.
Setelah dua puluh menit berada dalam keheningan, akhirnya dia bicara.
“Apa kabar?”
Hanya dua kata itu ternyata bisa membuat benteng pertahananku yang tadi aku bangun, runtuh. Perasaan itu hadir kembali. Yang ia hadirkan lewat pertemuan singkat tadi, juga lewat senyum yang berkali-kali muncul di wajahnya.
“Udah malem, aku anterin pulang aja?”
Aku menggeleng sambil membenarkan kerah bajunya yang kurang rapi.
“Gak usah, aku bawa kendaraan kok.”
Ia mengangguk samar. Tangannya sudah di atas kepalaku. Tentu saja untuk mengacak rambutku.
“Hati-hati, ya. Nanti kabarin kalau udah sampai rumah. Biar aku bisa telfon.”
Aku mencerna kalimat itu baik-baik. Satu tahun ini kami tidak berkomunikasi sama sekali. Namun secara mengejutkan, dia mengatakan kalimat tadi.
Terimakasih, semesta, pertemuan kali ini lahir dari ketidaksengajaan.
0 notes