Tumgik
luluzuhriyah · 2 years
Text
APRIL2030: Dari Perusahaan Kertas Menuju Promotor Ekonomi Hijau
Tumblr media
Kehidupan modern saat ini sangat erat dan tak terpisahkan dari kertas, mulai dari kegiatan ibu rumah tangga sehari-hari yang menyeduhkan teh kepada keluarganya dengan produk teh celup, hingga perusahaan-perusahaan besar yang menggunakan papan-papan berbahan dasar pulp. Sadarkah bahwa produk-produk berbahan kertas yang kita gunakan sehari-hari adalah hasil olahan teknologi dengan bahan baku kayu? Jika tidak diproduksi dengan memperhatikan lingkungan, pohon-pohon di hutan beserta ekosistem di dalamnya akan habis suatu saat nanti. Lantas apa yang harus dilakukan? Pertanyaan ini dijawab dengan baik oleh Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) Group melalui program APRIL2030.
Jika asing dengan nama APRIL, mari berkenalan. APRIL Group adalah salah satu perusahaan penghasil pulp dan kertas yang terbesar, dengan teknologi terkini dan terefisien di dunia. Ingin tahu dimana produksinya? Di Indonesia! Ya, APRIL Group adalah perusahaan yang operasionalnya berada di Provinsi Riau, Sumatera. Sebagai perusahaan kertas, APRIL Group sangat memperhatikan keberlanjutan hutan industri mereka. Terbukti dengan komitmen APRIL Group yang berkontribusi dalam mendukung target Sustainable Development Goals (SDGs) pemerintah indonesia dalam mewujudkan ekonomi hijau, melalui APRIL2030 yang menargetkan nol emisi karbon pada penggunaan lahan di 2030 mendatang.
4 Komitmen APRIL2030
Tumblr media
Mengutip dari Sustainability Report APRIL Group 2021, melalui APRIL2030 perusahaan ini ingin turut andil dalam menerapkan dampak positif pada lingkungan, iklim, alam, beserta masyarakat sembari terus memajukan bisnisnya. Ada 4 komitmen utama dengan 18 target misi yang ingin dicapai melalui APRIL2030 demi mendukung SDGs yang dicanangkan oleh PBB yang tentunya diikuti juga oleh Indonesia. Keempat komitmen tersebut adalah Climate Positive (Iklim Positif), Thriving Landscapes (Lanskap yang Berkembang), Inclusive Progress (Kemajuan Inklusif), dan Sustainable Growth (Pertumbuhan Berkelanjutan).
Climate Positive
Tergabung dalam inisiatif Science Based Targets (SBTi), menandakan bahwa APRIL Group serius dalam membantu pemerintah mewujudkan ekonomi hijau di Indonesia. Target yang ingin dicapai APRIL2030 dalam komitmen iklim yang positif dan bersih diantaranya mencapai bersih emisi pada 2030, mengurangi 25% intensitas emisi karbon produk, mencanangkan 90% daya pada pabrik menggunakan energi bersih dan terbarukan, hingga memasuk 50% dari total energi pengoberasian fiber menggunakan energi yang terbarukan. Sebagai catatan, APRIL Group telah memanfaatkan panel surya sebagai salah satu sumber energi di wilayah operasional Pangkalan Kerinci, yang memproduksi 1MW energi.
Thriving Landscapes
APRIL Group memastikan bahwa sebagian besar lanskap mereka dilestarikan, dilindungi, dan keanekaragaman hayati di dalamnya terus bertumbuh. Persentase pendapatan dari hutan tanaman APRIL Group digunakan untuk restorasi dan konservasi hutan. Inisiatif ini termasuk memperluas kawasan konservasi dan restorasi di luar tapak operasi dan memastikan nol kehilangan bersih kawasan hutan lindung untuk mencapai keuntungan terukur dalam nilai ekosistem. Meminimalkan jumlah lahan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan produksi, APRIL Group berinvestasi dalam penelitian silvikultur dan inovasi teknologi untuk mencapai peningkatan 50% dalam produktivitas serat perkebunan.
Inclusive Progress
Sebagai perusahaan besar, tentunya APRIL Group turut memiliki tanggung jawab sosial pada masyarakat di Provinsi Riau, tempat wilayah operasionalnya berpusat. Maka kemajuan yang inklusif adalah tindakan APRIL Group untuk terus membantu masyarakat sekitarnya berdaya. Sektor kesehatan, pendidikan, dan inklusi gender adalah yang termasuk dalam fokus utama APRIL Group pada komitmen ini. APRIL Group melalui APRIL2030 menargetkan untuk memberantas kemiskinan ekstrem dalam radius 50 km dari wilayah operasional, sambil meningkatkan pendidikan dan akses universal pada perawatan kesehatan. APRIL Group juga menargetkan untuk turut membantu pemerintah untuk menurunkan prevalensi stunting sebesar 50% pada anak di bawah usia lima tahun di Provinsi Riau.
Sustainable Growth
Pertumbuhan yang berkelanjutan bagi APRIL Group adalah terus berinvestasi pada perkembangan bersama dengan iklim, alam, dan masyarakat disekitarnya. Meningkatkan efisiensi material dan pemulihan bahan kimia melalui pengurangan penggunaan air proses per ton produk dan pengurangan limbah padat adalah bukti nyata yang akan dilakukan APRIL Group untuk mencapai target ini. Melalui APRIL2030, perusahaan ini akan mengambil 20% serat selulosa untuk viscose dari tekstil daur ulang, serta akan mengurangi 80% sampah padat yang dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir).
Keseriusan APRIL Group dalam menyokong ekonomi hijau yang berkelanjutan ini tentunya menjadikan APRIL Group bukan hanya sekedar perusahaan kertas biasa yang memanfaatkan sumber daya alam di Indonesia, APRIL Group melalui inisiasi APRIL2030 telah menjadi promotor ekonomi hijau di Indonesia. Semoga inisiasi APRIL2030 menjadi role model bagi para pelaku industri di sektor lain untuk turut aktif mendukung SDGs Indonesia yang dicanangkan rampung pada tahun 2030 mendatang.
10 notes · View notes
luluzuhriyah · 2 years
Text
Darurat Perokok Anak, Indonesia Harus Bergegas
Tumblr media
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 1 Ayat 1, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Artinya, sampai seorang anak berusia 18 tahun, Ia masih harus dipenuhi hak dasarnya sebagaimana yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang dikelompokkan dalam lima klaster oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yaitu, hak sipil dan kebebasan; lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; kesehatan dasar dan kesejahteraan; pendidikan, pemanfaatan waktu luang, dan kegiatan budaya; dan perlindungan khusus. Negara memiliki kewajiban untuk turut andil bersama orang tua untuk memenuhi hak-hak dasar anak tersebut. Pekerjaan rumah Indonesia tentang pemenuhan hak dasar anak masih tergolong banyak, bahkan di bidang kesehatan dasar, Indonesia tengah memasuki masa genting: Darurat perokok anak.
Anak-anak sejatinya adalah generasi emas penerus bangsa, pada merekalah Indonesia akan bertumpu di masa depan. Sayangnya, dunia anak-anak tidak selalu cerah dan ceria seperti yang diasosiasikan selama ini oleh para orang dewasa. Banyak ancaman mengintai kepolosan dunia mereka, salah satunya dari industri rokok yang terus berusaha mengamankan konsumennya bahkan sejak mereka masih anak-anak. Indonesia dan rokok memang memiliki sejarah panjang. Mirisnya, kini anak-anak Indonesia yang terus menjadi korbannya. Salah satu hak dasar mereka yang termasuk ke dalam klaster kesehatan dasar dan kesejahteraan, masih jauh dari kata terpenuhi. Buktinya? Indonesia darurat perokok anak, jika tidak bergegas dan tegas menyikapi hal ini, bukan lagi generasi emas yang akan kita tuai, namun menjadi generasi yang harus kita tuntun dengan cemas.
Tercatat dalam Riset Kesehatan Dasar 2013, ditemukan bahwa prevalensi perokok anak  di Indonesia mencapai 7,2%, kemudian meningkat menjadi 9,1% pada 5 tahun berikutnya, yaitu pada Riset Kesehatan Dasar 2018. Sedangkan data terbaru yang dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO) melalui riset Global Adult Tobacco Survey (GATS) menyebutkan bahwa negara kita juga darurat perokok karena 25% rakyat Indonesia adalah perokok. Berdasarkan data tersebut, maka pada 2021 lalu tercatat sebanyak 69.1 juta penduduk Indonesia adalah perokok. Kemudian, jika menggunakan data ini untuk menarik jumlah total perokok anak, maka 9.1% dari 69.1 juta adalah sebanyak 6.288.100, itu adalah jumlah anak-anak Indonesia yang terjerat bujuk rayu industri rokok dan menjadi perokok. Enam juta sekian anak yang seharusnya bisa mendapatkan kehidupan sejahtera dengan kesehatan baik, harus terenggut haknya karena kelalaian negara dalam membendung gempuran industri rokok yang terus mengepung masyarakat Indonesia, juga anak-anaknya. Perlu digarisbawahi, bahwa data yang tertuang di atas adalah data perokok anak 2018, mari berdoa bahwa jumlahnya tidak naik pada tahun 2022 ini.
Jerat Rokok Pada Anak-Anak
Entah dari mana asal-muasalnya, rokok erat dikaitkan dengan budaya Indonesia. Hal ini yang seringnya dijadikan pembenaran oleh para perokok, bahwa mereka merokok karena memang budaya masyarakat Indonesia merokok. Nyatanya merokok hanyalah kebiasaan, bukan kebudayaan Indonesia. Jika ditarik mundur, kebudayaan merokok justru berasal dari suku Indian di benua Amerika yang kemudian menyebar ke seluruh dunia (dikutip dari laman Tobacco Control Support Center). Perokok dewasa tentunya menjadi salah satu faktor yang menjadikan anak-anak terjerat rokok. Anak-anak secara naluriah akan cenderung selalu meniru semua perilaku orang dewasa di sekitarnya. Mengutip hasil penelitian Health Education Research pada tahun 2006, melalui salah satu artikelnya yang meneliti secara kualitatif persepsi merokok anak-anak Indonesia dengan responden anak laki-laki pada kelompok usia 13-17 tahun, menggunakan metode Focus Group Discussion (FGD), penelitian dengan judul ‘If I don’t smoke, I’m not a real man’—Indonesian teenage boys’ views about smoking (Kalau saya tidak merokok, saya bukan lelaki sejati - Pandangan Remaja Laki-Laki Indonesia tentang Merokok) menemukan bahwa anak-anak mulai merokok karena terbiasa dengan lingkungan mereka. Para anak laki-laki yang berasal dari Jawa Tengah tersebut mengatakan bahwa di rumah, setidaknya salah satu anggota keluarga mereka merokok dan dalam kehidupan sosial mereka sebagian besar teman-teman mereka adalah perokok. Ini cukup menguatkan bahwa perokok dewasa sangat memegang peran penting dalam menjadi perpanjangan tangan industri rokok untuk merekrut konsumen baru, para anak-anak di sekitarnya.
Kemudahan akses terhadap rokok juga menjadi faktor berikutnya yang membuat jerat rokok pada anak semakin mudah. Penelitian dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) pada Juni 2021 memaparkan secara gamblang bahwa akses pembelian rokok di DKI Jakarta yang notabene Ibu Kota Indonesia saja, masih sedemikian mudahnya. Dalam radius 1 km2  ada setidaknya 15 warung eceran rokok di DKI Jakarta. Sementara itu, dalam radius sekitar 100 m dari SMP, SMA/SMK negeri dan swasta di DKI Jakarta, terdapat ratusan warung penjual rokok eceran, 124 warung rokok eceran yang berdekatan dengan SMP dan 236 warung rokok eceran yang berdekatan dengan SMA/SMK. Sungguh sebuah data yang cukup menguatkan bahwa rokok adalah komoditas yang begitu mudah diakses oleh generasi anak-anak kita. Meski rokok adalah produk yang dilabeli untuk usia 18 tahun ke atas, pada praktiknya penjual rokok di warung eceran tidak menjadikannya sebagai sesuatu yang serius. Mereka tetap mau menjual kepada para anak-anak sekolah tersebut. Harga rokok batangan yang murah juga menjadi faktor kemudahan lainnya bagi anak-anak untuk membeli rokok. Dalam penelitian ini juga menyebutkan bahwa warung rokok eceran ini juga menggunakan media promosi di warungnya, seperti poster dan spanduk, yang menjadi daya tarik para konsumen anak-anak untuk membeli rokok di warung mereka. Belum adanya aturan tegas mengenai pengaturan penjualan rokok ini telah menjadi bom waktu yang siap meledak di masa depan bagi generasi yang digadang-gadang akan menjadi generasi emas Indonesia ini. 
Stigma rokok yang beredar di masyarakat juga menjadi jurus industri rokok berikutnya untuk mengikat erat generasi anak-anak Indonesia. Mengutip kembali penelitian Health Education Research pada tahun 2006, ada salah satu pernyataan dari salah satu anak lelaki yang menjadi responden penelitian tersebut bahwa “Jika saya tidak merokok, saya belum jadi lelaki sejati”, ini adalah bukti bahwa merokok masih memiliki stigma dan asosiasi positif di kalangan anak-anak. Bahwa merokok adalah simbol maskulinitas, merokok itu keren. Dari mana pikiran-pikiran tersebut tertanam di otak anak-anak? Tentunya tidak lain dan tidak bukan dari lingkungan yang terus menggempur mereka dengan rokok itu sendiri. Meski sudah dilarang untuk menampilkan wujud rokok pada tiap iklannya, iklan rokok selalu dibuat sedemikian rupa dengan atmosfer yang positif. Meski sudah diberikan peringatan tertulis dan bergambar pada tiap bungkus rokok mengenai bahaya merokok, iklan rokok dengan penggambaran positif di media televisi dan internet masih menang dalam hal penguasaan atensi masyarakat, utamanya anak-anak remaja. Hal ini didukung oleh temuan riset GATS yang menunjukkan adanya peningkatan media promosi rokok melalui internet yang pada 2011 hanya 1,9% saja menjadi 21,4% di tahun 2021. Jika iklan rokok pada media televisi sudah memiliki regulasi yaitu waktu penayangan pada malam hari, pada media internet ini belum ada pengaturan yang jelas sama sekali, menjadikan anak-anak riskan terpapar iklan rokok melalui internet.
Bagi keberlangsungan bangsa Indonesia, darurat perokok anak adalah sungguh suatu tanda bahaya. Sebaliknya, fenomena ini adalah ladang cuan dan keuntungan sebesar-besarnya bagi segelintir orang, para bos industri rokok. Bagaimana tidak? Mereka berhasil mendapatkan konsumen loyal jangka panjang jika berhasil menyasar anak-anak, karena sifat adiksi rokok yang membuat anak-anak susah lepas dari kebiasaan merokok jika sudah terpapar, yang seiring berjalannya waktu akan menjadikan mereka perokok dewasa atau konsumen loyal industri rokok. Bahaya bagi Indonesia jelas terprediksi nyata, sebagaimana yang dikatakan oleh Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi yang dikutip melalui artikel katadata.co.id bahwa target Sustainable Development Goals (SDGs) terkait penurunan prevalensi perokok di Indonesia menjadi 40% akan terancam gagal, dan tentunya bonus demografi yang dicanangkan maju pada 2030 nanti, bisa menjadi momen antiklimaks bagi Indonesia, karena generasi yang adiksi rokok akan menjelma menjadi generasi yang kurang sejahtera secara sosial dan kesehatan. Alih-alih mendapatkan bonus demografi yang berkualitas, Indonesia hanya akan menanggung beban dari rakyat yang sakit dan kurang kompeten karena terjerat rokok ketika masih anak-anak.
Rayuan Baru Rokok Elektrik
Jika biasanya evolusi diidentikkan dengan perubahan makhluk hidup, rupanya industri rokok kini tengah melakukan evolusi untuk produk mereka dengan menghembuskan rayuan baru berbentuk rokok elektrik. Jika rokok konvensional berbahan baku utama tembakau, rokok elektrik ini memiliki sensasi lain karena bahan utamanya adalah likuid mengandung nikotin dengan beragam varian rasa. Akrab disapa vape, rokok elektrik juga mendoktrin pencandunya bahwa mereka bukan perokok. Padahal bahaya dan resikonya tidak jauh lebih ringan dari rokok konvensional. Di kalangan aktivis anti rokok, jenis rokok elektrik dikenal sebagai rokok yang berganti baju, dari bentuk konvensional, menjadi bentuk yang lebih mutakhir yaitu vape. Rokok elektrik dengan aneka rasanya ini juga menjadi polemik tersendiri dan jurus jitu untuk menarik minat anak-anak, karena ada rasa buah-buahan, anak-anak lebih penasaran dan ingin mencoba. Terbukti, saat menghadiri webinar Hari Anak Nasional pada 28 Juli 2022, yang diselenggarakan oleh Lentera Anak dan FCTC Indonesia, ada salah satu pembicara yang membagikan pengalamannya memiliki seorang adik usia SD, menjadi perokok elektrik dan membeli melalui marketplace. Sekali lagi, regulasi yang belum kuat masih menjadi akar masalah kejadian ini. Rokok elektrik memang dilarang untuk diperjualbelikan kepada anak-anak, namun pada prakteknya, masih banyak anak-anak yang bisa mendapatkan akses terhadap rokok elektrik, dengan membeli melalui marketplace dan juga membeli langsung via titip beli kepada orang dewasa.
Rokok elektrik meski tidak mengandung tembakau, sama bahayanya dengan rokok konvensional. Sebagaimana yang disampaikan oleh dr Agus Dwi Susanto, SpP(K), Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) yang dikutip melalui laman kompas.com, mengatakan bahwa meski tidak mengandung tar, rokok elektrik tetap mengandung nikotin dan bahan karsinogen lainnya yang bisa memicu berbagai penyakit seperti iritasi pada paru-paru, gejala pernapasan, bronkitis, asma, PPOK, pneumonia, paru-paru bocor, kanker paru, pneumonitis, dan evali akut yang menyebabkan sesak nafas tiba-tiba. Jika pengonsumsinya adalah anak-anak, bisa dibayangkan bahaya tersebut dua kali lipat resikonya, karena organ anak-anak yang masih pertumbuhan dan belum mencapai fungsi yang maksimal seperti orang dewasa.
Indonesia Harus Bergegas
Ibu pertiwi tengah bersusah hati, menyambut tahun ke 77 kemerdekaannya, ada masalah pelik yang harus bergegas ditelisik. Pemerintah harus segera melakukan tindakan counter attack agar generasi emas kita tidak hilang karena terjerembab jerat rokok. Salah satu langkah nyatanya adalah dengan percepat revisi PP 109/2012 yang sudah selama 2 tahun lebih tertunda, meskipun presiden sudah memberikan mandat melalui Perpres No.18/2020 dan Menko PMK sudah mengirim surat kepada Menteri Kesehatan agar menyelesaikan pembahasannya. Namun pemerintah melalui Kementerian Kesehatan masih belum menyelesaikan dan mengesahkan revisinya.
Lima poin utama yang terus disuarakan para aktivis dan lembaga pada revisi PP tersebut antara lain: 1.) Perluasan peringatan kesehatan bergambar, 2.) Larangan penjualan ketengan, 3.) Larangan iklan terutama di internet dan media luar ruang, promosi, dan sponsor rokok, 4.) Pengaturan rokok elektronik seperti pada rokok konvensional, 5.) Pengawasan dan sanksi. Kelima pokok utama tersebut harus disahkan dalam revisi PP 109/2012 agar bisa dijadikan sebagai kado terindah dirgahayu ke 77 Republik Indonesia kepada generasi penerus bangsa. Nantinya, dengan disahkannya PP dengan tambahan lima poin tersebut, pemerintah telah membayar hutangnya pada anak-anak Indonesia dengan upaya perlindungan hak kesehatan mereka, agar prevalensi perokok anak juga bisa tercapai pada angka 8.7% pada tahun 2024 sebagaimana yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 -2024.
Indonesia harus bergegas agar tidak kehilangan generasi emas. Mari susul Thailand dan Brunei yang sudah gagah berani patuhi dan tegakkan peraturan tegas pelarangan total, baik iklan langsung, promosi, sponsorship, display di tempat penjualan, CSR, display pack, dan cross border (Data Yayasan Lentera Anak). Indonesia berkejaran dengan waktu, semakin cepat sahkan revisi, semakin banyak anak-anak Indonesia yang akan terlindungi dan terselamatkan dari jerat rokok. 
Jika menunggu pemerintah rasanya lama dan entah kapan realisasinya, mari kita mulai dari lingkungan terkecil di rumah kita sendiri. Bangun stigma negatif rokok, jaga dan tuntun anak-anak kita agar tidak terjerat rokok sedari dini. Meski efeknya tidak sebesar jika pemerintah yang bertindak dari hulu, setidaknya kita menjalankan peran kita dengan sebaik-baiknya. Menjaga anak-anak kita masuk ke daftar jutaan anak indonesia yang menjadi korban kepungan industri rokok. Dirgahayu ke 77 Indonesiaku, semoga menjadi maju bisa segera tercapai di negeriku, sejahtera serta sehat jasmaninya, bebas dari adiksi rokok toksik, supaya generasi emas bisa tercapai dengan baik.
Referensi:
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2970/indonesia-setelah-30-tahun-meratifikasi-konvensi-hak-anak
http://www.tcsc-indonesia.org/rokok-bukan-budaya-asli-indonesia/
https://protc.id/densitas-dan-aksesibilitas-rokok-batangan-anak-anak-usia-sekolah-di-dki-jakarta-gambaran-dan-kebijakan-pengendalian/https://protc.id/health-education-research-if-i-dont-smoke-im-not-a-real-man-indonesian-teenage-boys-views-about-smoking/
https://katadata.co.id/yuliawati/berita/629a4c7ae4079/indonesia-darurat-konsumsi-rokok-25-penduduk-jadi-perokok
https://www.kompas.com/sains/read/2022/08/13/203100623/vape-tak-lebih-aman-dari-rokok-konvensional-apa-saja-bahaya-vape-rokok-?page=all#:~:text=Vape%20rokok%20menghasilkan%20sejumlah%20bahan,%2C%20asma%2C%20serta%20kanker%20paru.
https://www.lenteraanak.org/content/berita_terkini/darurat_perokok_anak_serbuan_iklan_rokok_dan_regulasi_yang_lemah
https://www.republika.co.id/berita/rghvg4349/darurat-perokok-anak-6-organisasi-minta-segera-disahkan-revisi-pp-tembakau
0 notes
luluzuhriyah · 5 years
Text
Pengen
Namanya hidup sawang sinawang. Si A lagi dapet ini, jadi pengen. Ngeliat si B hidupnya begitu, jadi pengen.
Tapi ujung-ujungnya masih disini aja. Seringnya gitu. Pengennya aja banyak, action nya ga tau kapan. Hiks.
1 note · View note
luluzuhriyah · 5 years
Text
Just Blabbering : Biar Apa?
Maap kalo ada yang tersinggung, cuma mau nyampah. Kayaknya gw terlalu sensitif deh. Somehow, gw ga suka cenderung sakit hati dengan istilah atau frase ejekan di bawah ini meski bukan ditujukan ke gw :
“Negara berflower”, yang berada dalam kalimat yang membahas keburukan. Kayak yang ngomong bukan bagian dari negara itu. Plus menggeneralisasi.
“Negara +62 “ , yang berada dalam kalimat mengejek atau membahas keburukan. Lo bukan orang Indonesia? Punya nomor HP bukan +62 apa bikin bangga?
“Gini boleh, bego jangan”, dalam kalimat yang isinya sebenarnya nasihat, tapi kenapa harus ada frase kayak gitu? Kayak yang ngomong paling pinter sedunia akhirat.
“Sahabat gurun,” dalam kalimat nyinyiran. Lo ngejek apa gimana?
Dan lain - lain yang sejenis.
Segitunya ya perlu ngejek atau ngehina orang? Biar apa? Meyakinkan orang lain kalo diri kita lebih baik daripada yang kita katain? Jangan - jangan yang kita katain jauh lebih mulia.
Ya maap kalo sensitif, gw kan penduduk negara berflower yang dikit - dikit protes, yee gak yee kaan?
136 notes · View notes
luluzuhriyah · 5 years
Text
Aku pernah mencintai sedalam-dalamnya, lalu jatuh terluka, kecewa.
Setelahnya, ku putuskan hubungan dengan rasa cinta. Merutuki diri sendiri karena dengan bodohnya menjadi budak cinta. Ku mantapkan hati bahwa aku sanggup tak mencinta lagi.
Ajaibnya, cinta sejati datang tepat pada waktunya. Kala hati gersang mempertanyakan nyatanya rasa cinta. Ia mengetuk dengan merdunya pintu hati yang retak dan lebab oleh rasa kecewa dulu.
Apakah hatiku luluh? Tidak secepat itu. Takutku masih terus meyakinkan bahwa rasa cinta itu tak ada yg sejati, alih-alih hanya menyakiti.
Apakah si sejati pergi dengan cintanya dan kecewa sepertiku dulu? Ternyata tidak. Ia setia disana. Membantu merawat lukaku dengan caranya. Menyinari hatiku dengan cahaya cintanya. Lama, namun ia bertahan.
Hingga akhirnya aku percaya, dialah cinta sejatiku. Membuatku ingat kembali bagaimana rasa bahagia dan merona karena cinta. Mengingatkanku tentang betapa berharganya aku dan kami layak untuk bahagia lagi saling membahagiakan.
Terima kasih, suamiku.
1 note · View note
luluzuhriyah · 5 years
Text
Baby blues: a condition that I thought I can handle. Sadly, I can't.
0 notes
luluzuhriyah · 7 years
Text
Sedih memang ketika banyak orang memilih jadi penyebar energi negatif ckckck
lingkar
“Build your circle carefully. Gather people around you who will reinforce your growth”
Suatu hari, saya larut dalam sebuah obrolan yang ringan namun cukup serius. Waktu itu kami membicarakan tentang seorang kawan perempuan yang tengah dilanda kebimbangan untuk menikah. Di satu sisi, hatinya selalu berbunga setiap kali melihat mereka yang sudah berumahtangga. Ia sadar bahwa ia menginginkan hal serupa. Tapi di sisi lain, ketika ia menceritakan keinginannya tersebut ke beberapa rekan dekatnya di kantor, ia harus mendapati kenyataan yang berseberangan.
Rekan-rekannya berbagi kisah tentang sisi-sisi tidak menyenangkan dari pernikahan. Tapi, cerita yang disampaikan terdengar kurang berimbang sehingga hampir seluruh isinya merupakan pengalaman yang terdengar tidak mengenakkan. Katanya, “kalau udah nikah, perempuan enggak punya bebas kaya pas masih sendiri” atau “kamu udah enggak akan bisa seneng-seneng lagi, lho”. Akhirnya, kawan kami yang masih melajang menyimpulkan obrolan itu dengan kalimat penutup: pernikahan tidak akan membuatmu bahagia. Wow.
Di kesempatan lain, Citra pernah bercerita tentang rekan kerjanya yang terbilang unik. Sebut saja ia T. Keunikan T adalah ia rutin membagikan kisah tidak menyenangkannya dalam hal mengurus anak semasa Citra tengah mengandung. T sering berkisah kepada Citra bahwa menumbuhkembangan anak itu melelahkan sekali. Baginya, proses mengurus anak begitu menguras pikiran, tenaga dan waktu. Secara tidak langsung, ia mengesankan bahwa memiliki anak hanya akan membuat ibu manapun menderita.
Saya yang mendengar Citra berkisah, cuma bisa tertawa kecil. Pikir saya, “kok ada ya orang yang bercerita hal seburuk itu ke ibu hamil yang lagi bayangin banyak hal nyenengin untuk kelahiran anak pertamanya”. Dengan kondisi hormonal ibu hamil yang cenderung lebih sulit ditebak dibandingkan perempuan yang tidak sedang mengandung, tentu watak T yang antik itu kerap menjadi pencetus naik-turunnya suasana hati di masa mengandung Citra dulu.
Mungkin dua kisah di atas cukup mewakilkan pengalaman kita sehari-hari. Di kehidupan nyata, ada sebagian orang yang terbiasa memberikan pengaruh negatif pada hal positif apapun yang tengah kita pikirkan. Bukan pengaruh yang sifatnya sementara melainkan secara permanen berasal dari watak mereka yang memancarkan hawa negatif di manapun mereka berada kepada lingkungan di sekitarnya. Di mana mereka ada, di sana hadir interaksi yang cenderung tidak mengenakkan. Kita tahu bahwa kita pernah bertemu dengan orang-orang semacam itu.
Di luar sana, sudah tentu ada begitu banyak pasangan yang bahagia dengan pernikahannya. Juga ada banyak ibu yang bersyukur serta bahagia dengan anak-anaknya. Tidak semua orang merana dengan rumah tangganya juga tidak semua ibu menderita dalam menjalani perannya. Seringnya, kita tidak bisa memilih siapa saja yang bisa berada satu lingkungan dengan kita. Tapi kita masih bisa memilih siapa yang layak kita jadikan orang-orang terbaik untuk diakrabi dalam keseharian.
Mungkin kebimbangan kawan kami tidak akan sedemikian menguat andai keinginan baiknya tidak berbalas kisah nyata mereka yang tidak bahagia dengan rumah tangganya. Untung istri saya tidak pernah sesaatpun menyesali kehamilannya karena kisah susah yang dibagi oleh rekan kerja yang tidak bahagia dengan perannya sebagai ibu. Kalau bahagia merupakan pilihan, maka ia juga harus datang dari pilihan atas lingkungan terdekat kita. 
Kalau tak sanggup menasihati mereka yang hawa negatifnya begitu kuat, maka abaikan dan tinggalkan saja. Sudah semestinya waktu kita tidak terkuras terlalu banyak karena pengaruh negatif dari luar.
Jadi, jangan pernah sekalipun menyepelekan penentuan orang-orang yang layak kita akrabi. Jangankan diakrabi, orang-orang yang kita ikuti di linimasa saja bisa menyumbang pengaruh terhadap keputusan kita. Saat linimasa kita diisi oleh para penghina kekuasaan, maka jangan heran kalau sikap kita pun lama kelamaan akan terlihat serupa. Bukankah bahkan keputusan untuk membeli barang saja bisa dipicu oleh selebgram yang tengah menggunakan barang sejenis di linimasa?
Setiap hari kita harus membuat pilihan, setiap saat kita mesti berkeputusan dan tentu kita akan menjalani apa yang telah kita putuskan sebelumnya. Maka, kita perlu sekuat tenaga bertahan pada lingkaran pergaulan yang menopang kita terus tumbuh ke arah kebaikan. Ingatlah bahwa jalan hidup yang kita tempuh akan selalu dibentuk oleh keputusan-keputusan yang kita ambil sebelumnya. Tidak berlebihan rasanya kalau kita terus mengelilingi diri dengan orang-orang terbaik untuk keputusan dan jalan hidup yang juga baik.
402 notes · View notes
luluzuhriyah · 7 years
Text
:"(
pilihan
tulisan gue yang nyeritain peristiwa taksi online yang gue tumpangin dicegat sama orang-orang opang udah gue hapus. Takutnya ntar yang baca malah negatif thinking banget sama opang.
gue pernah bilang, dalam konflik itu udah ga ada istilah victim sama villian. Semua sama-sama sakit. Pun termasuk konflik ojol sama opang.
gue mungkin perlu mengistighfari lintasan pikiran gue yang kesel pengen bilang:
“orang-orang kurang wawasan yang ditinggal zaman”
Segala bentuk sweeping kayak gini adalah bentuk perlawanan karena ngerasa nggak ada pilihan. 
Wawasan, pola pikir, dan apa yang kita alami sehar-hari itu membentuk mentalitas. Dan temen-temen yang melawan ini mungkin sehari-harinya emang biasa dihadapkan pada kondisi ga punya pilihan atau pilihan yang ga pernah berpihak kepada mereka. Maka setiap perubahan itu jadi terasa akan membunuh mereka. Mental ini juga yang ngebuat mereka suka menggunakan uang utk kenikmatan instan etc etc…
Pas ngobrolin kenapa PnPM ga banyak berhasil, banyak banget yang nyalahin masyarakat yang ngejual gerobak dan memakai modal yang dikasih pemerintah untuk keperluan instan. Buat DP motor misalnya. Terus motornya ga dipake kerja. Dan ga kuat bayar cicilan. Endingnya itu motor disita dealer. Gue sering banget nemu yang kayak gini.
FYI, gue sendiri lahir dan besar di daerah sub urban yang sebagian besar masyarakatnya kerja di pabrik dengan akad outsourcing. Kontraknya habis tiga bulan sekali. Tiga bulan kerja, sebulan nganggur. Polanya udah kayak gitu terus. Masuk pabrik titip lowongan. Bayar pula.
Sampai sekarang, orang di sekitar gue mikir kalo sekolah tinggi itu buang-buang duit. Dan ga sekolah pun bisa tetep kaya. Konyolnya, sampe sekarang mereka percaya kalo gue masuk ITS karena titipan dan masuk CPNS karena nyogok.
gue sama sekali ga marah dengan tuduhan macem itu. Dan ga ngerasa perlu ngebuktiin apapun.
hanya yang bikin gue sedih adalah, kondisi kayak gitu kadang cuma dikomentari sama kelas menengah yang semua kebutuhannya tercukupi dan well educated dengan komentar tak berperasaan:
“Emang mentalitasnya gitu. Ga mau maju”
dulu pas masih aktif di sosmas, gue juga kesel banget lihat anak-anak lulus SMP udah dinikahin. Terus habis gitu punya anak, KDRT sama suami. Ditinggal. Dan menambah jumlah anak terlantar.
It hurts me so much.
Gue pernah ngerasain punya sudut pandang bahwa PTN cuma bisa diakses orang-orang kaya. Pernah punya bayangan kalo ntar gue bakal kerja di pabrik. Berdiri 16 jam dengan kaki gue yang dulunya dipake jalan 3 km aja bengkak. Sampai akhirnya pas gue ikut tim olimpiade matematika pas SMP dan ketemu sama orang-orang dari universitas, gue jadi nyadar kalo kita sebenernya punya pilihan. Hanya pilihan tersebut ga selalu kelihatan.
that’s why dulunya gue juga sempet sepakat kalo being rich is sometimes injustice. Yaa soalnya ga bisa dipungkiri, orang kaya itu punya pilihan yang lebih banyak daripada yang miskin.
tapi pas gue di posisi gue yang sekarang, gue nyadar kalo teori itu ga sepenuhnya benar. Yang ngebuat kita punya pilihan, ga melulu harta, tapi juga ilmu dan tekad baja yang ngebuat kita ga menyerah pas lihat jalan yang seolah buntu.
Balik lagi ke orang-orang yang seolah ga punya pilihan cem mang opang ato tetangga-tetangga gue. Gue dulu sering deketin tetangga-tetangga gue yang usia SMA. Gue coba ngasih tau tentang bidikmisi yang gratis. Dan mereka tetep ga percaya kalo itu gratis. Pas gue nyuruh mereka belajar rajin dari kelas 1 SMA, mereka tetep bilang:
“Soalnya susah mbak. Mending kerja pabrik aja”
gue antara ngerasain putus asa, kesel, pengen teriak. Sampe kapan kalian kerja pabrik? jadi outsorcing yang diperes tenaganya doang? 
sungguh ga gampang nunjukin ke orang kalo mereka punya pilihan. Soalnya emang udah bertahun-tahun ditindas perasaan ga punya pilihan. Pengen jadi PNS ada yang nipu. Udah bayar 70 juta, tetep ga lolos. Terus yang nipu bilang kalo posisinya dilelang. Jadi kalo mau lolos, harus bayar yang lebih banyak *tepok jidat*. Kerja di pabrik aja kalo nitip lamaran, masih tega ditarik duit 750 ribu. Padahal kontrak cuma tiga bulan dan pendapatan rata-rata per bulan ga sampe 2.5 juta. Dan masih banyak lagi. Ke orang-orang yang kayak gini, apa ya masih tega bilang:
“dasyar masyarakat yang nggak mau maju”
huh…
“dasyar kelas menengah ngehek yang ga bersyukur”
dulu, gue punya cita-cita jadi jurnalis. Punya cita-cita pengen bikin TV dan sampe sekarang terobsesi sama pendidikan non formal untuk anak-anak miskin. Gue pengen sebelum mereke tertindas “perasaan ga punya pilihan”, mereka ngelihat pilihan itu lebih awal lewat akses informasi yang lebih baik. Gue juga pengen banget aktif di filantropi karena gue tau kalo orang yang lagi laper, itu seharusnya ditunaikan dulu haknya buat dikasih makan. Bukan dikasih nasihat.
makanya gue sakit hati banget pas ada orang yang bilang….orang sub urban ato orang-orang miskin itu tontonannya cuma sinetron terbang naik elang. Makanya pikirannya kayak gitu-gitu aja.
“ya emang mereka elu yang bisa langganan Netfilx? National Geographic? Fox? HBO?”
gue sempet kesel sama orang TV yang pas gue tanya, “Kenapa sih program cem xyz dan abc yang isinya joget doang dan guyonan ga mutu dipertahanin? Ga mendidik”
“Yaa kan tugas gue ngehibur day. Bukan ngedidik. Pendidikan mah tugas lo yang di kampus”
“-_________-a”
“Ya emang seleranya masyarakat gitu”
“Kata siapa? Kata AC Nielsen? Lo yakin selera masyarakat emang kayak gitu? Bukan karena lo yang ngebentuk selera masyarakat yang kayak gitu? Karena mereka ga punya pilihan?”
sesungguhnya, orang cem gue, ga pernah nganggep dangdut itu norak. Karena gue sendiri kadang masih dengerin Rita Sugiarto dan kadang juga dengerin campur sari. Gue ga gengsi dan nganggep, it’s so suburban -
yang gue masalahin adalah cerita dalam sinetron, guyonan-guyonan ga jelas yang ngeledek fisik. Ngerusak mentalitas banget. Pantesan gue dulu dibully karena fisik gue beda.
Akar permasalahan dari “perlawanan orang-orang yang ngerasa ga punya pilihan” ini sebenernya adalah akses pendidikan yang nggak merata. Tapi penyelesaiannya nggak cukup untuk ngasih mereka informasi yang kalo ga diterima, kita seenak-enaknya bilang:
“ga mau maju”
orang yang kelaparan itu harus diberi makan biar kenyang baru dikasih kail buat memancing ikan. Itu nggak mudah. Butuh endurance yang kuat dan perasaan cinta yang ga terbatas. 
Wassalam. Sorry kalo cerita gue berantakan.
Gue berharap kalo kelak kalian jadi pejabat, semoga Allah ngejaga hati kalian buat ga korupsi dan tetep mencintai rakyat-rakyat yang menurut kalian ngeselin dan ga mau maju. Bagaimanapun mereka tetep amanah.
Jangan benci sama supir angkot yang angkotnya ngetem. Jangan benci sama opang. Jangan benci sama pedagang liar yang dipinggir jalan dan ngasih makanan pake gula abal-abal. Jangan pernah benci sama mereka. Karena bagaimanapun mereka tetap amanah kita.
233 notes · View notes
luluzuhriyah · 7 years
Text
Buat Apa Repot Banget Belajar Sekarang? Kayak Mau Nikah Besok Aja~
Hallo, generasi millenials! Apa kabar quarter life crisis? Semoga tidak menggalaukanmu sedemikian rupa, ya! Eh hmm, memangnya apa sih yang sering jadi sumber kegalauan anak muda zaman now? Apa lagi kalau bukan tentang masa depan? Tentu saja! Salah satunya adalah tentang pasangan hidup: siapa orangnya, bagaimana pertemuannya, kapan menikahnya, dan seterusnya. Tanpa disadari, kegalauan tentang masalah yang (di)besar(-besarkan) ini seringkali mengambil energi yang sangaaaaat besar. Padahal,
jauh dari pada kegalauan-kegalauan receh itu, ada lebih banyak hal yang lebih penting untuk digalaukan, seperti misalnya, “Apakah benar sudah siap menikah? Sudah siap menjadi pasangan? Sudah siap diamanahi Allah keturunan? Sudah siap menjadi orangtua?”
Sayang sekali, kebanyakan yang terjadi seolah seperti orang yang belajar berenang setelah langsung tenggelam ke air dan belajar setelah ujiannya memang ada, padahal semuanya akan lebih baik jika persiapan dan belajar dilakukan sebelum ujian. Begitupun dengan pernikahan dan pengasuhan, dimana kelak perempuan akan menjadi madrasah pertama sedangkan para lelaki akan menjadi kepala sekolahnya. Maka, laki-laki dan perempuan sama-sama perlu memahami persiapan pernikahan dan pengasuhan.
Mampu Menikah Bukan Sekadar Tentang Materi dan Finansial
Kepada para pemuda, Rasulullah berpesan untuk menikah jika memang telah mampu menikah. Tahukah kamu? Yang dimaksud dengan mampu dalam konteks ini bukanlah tentang kemampuan untuk bisa membayar kontrakan, cicilan kendaraan, atau biaya walimah besar-besaran. Bukan itu. Tapi, mampu disini juga berarti kesiapan mengasuh karena pernikahan berarti sebuah gerbang dimana nanti akan ada keturunan-keturunan yang dihasilkan.
Sebuah ayat pengingat dari Allah dalam Al-Qur’an pun telah membahas mengenai pentingnya kesiapan mengasuh ini untuk dipersiapkan, yaitu
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” - Q.S An-Nisa : 9
Nah tuh, hendaklah takut kepada Allah kalau meninggalkan keturunan yang lemah. Memangnya, lemah disini konteksnya apa, sih? Apakah tentang harta yang kurang cukup? Apakah tentang fisiknya yang sering sakit? Bukan, lemah disini adalah lemah dalam menghadapi tantangan zamannya.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan? Di ayat tersebut kita juga diperintahkan untuk berkata benar, yang ternyata tidak hanya mencakup perkataan, tapi juga perbuatan dan keputusan yang dibuat untuk anak, yang ketiganya haruslah benar. Ini berperan dalam praktik-praktik sederhana. Bagaimana kita bisa mengatakan apa yang benar kepada anak-anak kita sementara kita tidak mengetahui yang benar itu apa?
Mempelajari Ilmu Pra-Nikah Ternyata Belum Tentu Mempelajari Kesiapan Mengasuh
Pernikahan adalah tentang ibadah seumur hidup yang menghabiskan lebih dari setengah usia kita. Pasca menikah, tugas yang paling identik untuk diemban oleh sepasang suami isteri adalah mengasuh anak. Tapi, hal ini seringkali menjadi luput untuk menjadi perhatian anak-anak muda, seolah menikah selesai dengan urusan antarpasangan saja. Ini bukan sekedar asumsi atau cerita, karena data dari statistik pendaftar Parents Prouductive menggambarkan
62% anak muda mempelajari pra nikah, tapi ternyata, jumlah yang belajar dan mempersiapkan pengasuhan jauh lebih sedikit daripada itu, yaitu 21,6% saja.
Kesiapan mengasuh anak-anak muda zaman now ternyata rendah, hal ini didukung juga oleh fakta bahwa pengasuhan ini tidak ada sekolahnya. Tidak ada sekolah menjadi ibu atau ayah, padahal untuk profesi-profesi lain ada sekolahnya, bahkan untuk menjahit pun ada kursusnya. Nah, dengan akses belajar dan akses informasi yang saat ini meluas, sebenarnya tidak ada alasan yang bisa membenarkan kita untuk menunda-nunda belajar dan mempersiapkan diri. 
Belajar bisa dari mana saja, tapi masalahnya, apakah kita mau melakukannya dengan menginvestasikan waktu, tenaga, dan mungkin juga uang kita?
Silahkan ditanyakan kepada masing-masing hati :”)
Memangnya, Apa yang Membuat Kita Perlu Memiliki Kesiapan Mengasuh Sejak Dini? Engga Nanti Aja Kalau Sudah Dekat ke Akad atau Kalau (Istri) Sedang Hamil?
Pertama, karena kita tentu ingin nurut kepada Allah dan menhindarkan diri dari meninggalkan keturunan yang lemah seperti yang telah dibahas dalam Q.S An-Nisa ayat 9 tadi. Berkaitan dengan hal ini, dalam sebuah kesempatan, Ibu Elly Risman pernah menyampaikan,
“Kalau sama Allah aja kamu engga takut, terus kamu mau takut sama siapa?”
Kedua, karena kita kelak akan menga/suh generasi dengan tantangan zaman yang berbeda. Sebagai generasi Y (lahir di rentang tahun antara 1980 – 1994), disadari atau tidak, kita seolah dipaksakan orangtuanya untuk sekolah setinggi-tingginya dan mendapatkan pekerjaan yang bagus, akibatnya generasi Y dapat unggul secara akademik tapi tidak siap menjadi suami/isteri dan orangtua. Padahal, generasi Y ini mengemban amanah yang sangat besar di transisi generasi karena berada di masa peralihan antara 2 generasi yang sangat berbeda. Amanah apakah itu? Amanah mengasuh digital native, yaitu anak-anak yang sudah terpapar teknologi sejak lahir, bahkan sejak di dalam kandungan.
Persepsi masyarakat dalam mengasuh adalah learning by doing. Bahayanya, hal ini justru dekatnya dengan trial and error. Padahal, pengasuhan tidak bisa diulangi lagi dan akan ada banyak penyesalan yang terjadi setelahnya jika gagal. Kalau begitu, apa yang akan terjadi jika kita sebagai generasi Y ini mengasuh anak tanpa persiapan?
Kemungkinan paling mungkin adalah kita akan mengobservasi cara pengasuhan orangtua kita dulu dan dia menggunakannya lagi untuk mengasuh anak-anak kita, padahal zaman sudah berbeda.
Tidak hanya itu, parenting is all about wiring, bahaya kan kalau ada rantai pengasuhan yang salah yang kemudian kita tularkan lagi pada anak-anak kita?
Ketiga, kesalahan pengasuhan akan berakibat pada kondisi BLAST pada anak-anak, yaitu bored-lonely-afraid/angry-stress-tired, sehingga mereka akan rentan terhadap bullying, peer pressure, konten dan value yang tidak baik, sasaran empuk pebisnis pornografi, dan budaya hidup tidak sehat.
Ada sebanyak 87 juta anak Indonesia (yang saat ini berusia 0-19 tahun) yang akan mengisi posisi pemimpin negeri ini di tahun 2045 (di usia emas sebuah negara). Siapakah mereka? Mereka adalah anak-anak kita, yang dilahirkan dari generasi kita. Bayangkan bagaimana jika mereka BLAST? Padahal, generasi yang kelak memimpin negeri ini di 2045 haruslah menjadi generasi yang BEST (Behave-Empathy-Smart-Tough), yaitu yang berbudi pekerti baik, memiliki rasa kasih sayang, punya kecerdasan emosional, cerdas, dan tangguh sejak dari rumah karena di luar banyak sekali tantangan yang dihadapi.
Kalau Begitu, Apa yang Bisa Kita Lakukan Sekarang?
Pertama, kenali diri sendiri, pahami bahwa setiap orang terlahir unik, berdamailah dengan masa lalu dan terimalah bahwa seluruh kejadian di masa lalu itu adalah bagian dari diri kita, terima kekurangan dan kelebihan, jadilah diri sendiri.
Seseorang yang tidak kenal dirinya sendiri cenderung akan mencari-cari pasangan yang sempurna untuk menutupi kekurangan dirinya. Padahal, seperti yang dikatakan ustadz Salim A Fillah, jangan menikah dengan ekspektasi, tapi menikahlah dengan obsesi, yaitu tidak mencari pasangan yang sempurna tapi kita bertekad kuat untuk menjadikan dan mendidik pasangan kita sempurna di mata Allah. Maka, carilah yang di kepalanya ada ilmu, di hatinya ada takwa, dan di tangan ada kebaikan yang kelak akan kalian lakukan berdua.
Kedua, sadari bahwa kita kelak akan menjadi orangtua. Ketiga, pilihlah calon yang terbaik, karena hak pertama anak adalah dipilihkan ayah/ibu yang terbaik untuk kita (ikhtiar untuk menjadi suami/istri terbaik). Keempat, rumuskan tujuan pengasuhan, yaitu tentang mau jadi apa anak kita, bagaimana akan mengasuhnya, keluarga kita mau jadi apa, pasangan kita mau jadi apa, dan seterusnya.
Ikat Dulu Untamu, Lalu Bertawakkallah
Semua orang terinstall untuk bisa jadi orangtua, memang begitulah fitrahnya. Tapi, jangan kemudian berleha-leha. Ikat untamu dulu, usaha dulu, belajar dulu, bersiap dulu, baru setelahnya tawakkal kepada Allah. 
“Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zamannya, bukan di zamanmu.” – Ali bin Abi Thalib
_____
Tulisan ini adalah resume materi Parents Prouductive sesi pertama yang diolah kembali agar lebih mudah untuk dicerna. Judul asli materi ini adalah “Menjemput Amanah Baru: Mengasah Asa, Menyemai Generasi” yang disampaikan oleh Ahmad Sa’ad Ibrahim, seorang inisiator NuParents dan edukator Parenting Era Digital.
Sampai bertemu di review-review selanjutnya. Untuk membaca tulisan parenting atau pra-nikah lainnya, klik disini.
791 notes · View notes
luluzuhriyah · 7 years
Text
Menghargai
Saling harga menghargai itu harga mati, buatku. Apapun kondisinya, sedang bicara serius, bercanda, atau ngobrol biasa, I’ll never ever disrespect people.
Sedih, entah bagaimana mulanya, sepertinya sudah membudaya bahwa tidak menghargai orang dengan kedok kata ‘bercanda’ adalah hal biasa. Dan aku adalah orang yang sangat tidak bisa menerima sikap tersebut. Kemudian, ironically, ketika kita speak up, mereka yang diingatkan malah dengan entengnya membalikkan dengan kata ‘baper’.
Inikah saatnya hijrah? 
0 notes
luluzuhriyah · 7 years
Text
Pagi Membaca: Solusi Tingkatkan Minat Baca Anak Sekolah Dasar
25.618.078 adalah total anak Indonesia dari Sabang sampai Marauke yang tengah menempuh pendidikan di Sekolah Dasar (SD). Data yang dikutip dari Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2016/2017 milik Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tersebut menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia usia sekolah saat ini paling banyak berada di jenjang SD. Sementara itu, total siswa SMP seluruh Indonesia berada di angka 10.145.416, sedangkan total pelajar SMA dan SMK adalah 9.342.455 siswa. Fakta tersebut tentunya harus menjadi perhatian bersama, bahwa melalui banyaknya anak-anak SD tersebutlah masa depan bangsa akan digenggam. Penanaman nilai-nilai positif sudah semestinya digalakkan sejak saat mereka di SD. Secara usia, para siswa SD menurut Noehi Nasution dalam buku Psikologi Penididikan masuk pada kategori masa intelektual. Pada masa tersebut, anak-anak cenderung lebih mudah dididik jika dibandingkan dengan masa sebelumnya atau masa setelahnya. Jika pemerintah benar-benar ingin meningkatkan budaya membaca masyarakatnya, maka bermula dari meningkatkan budaya baca pada tingkat anak SD adalah sangat tepat.
Melalui tulisan ini, saya ingin mencoba menawarkan metode yang bisa digunakan untuk meningkatkan minat baca pada anak SD yang tentunya setelah minat baca mereka meningkat, budaya membaca akan dengan sendirinya terbentuk. Metode ini bernama “Pagi Membaca”, ini metode sederhana, hanya butuh meluangkan waktu dan menambah koleksi perpustakaan sekolah. Metode ini bisa diterapkan mulai dari kelas I sampai kelas VI. Mengapa sederhana? Karena seperti namanya, setiap pagi sekolah mewajibkan aktifitas membaca dan membacakan. Apa bedanya? Aktifitas membacakan bisa diterapkan untuk anak-anak yang duduk di kelas I sampai III. Siapa yang membacakan? Guru dan siswa. Diawali dengan guru membacakan buku untuk siswa pada saat jam sekolah dimulai hingga 15 menit sampai 30 menit. Apa yang dibacakan? Bisa buku cerita atau pelajaran yang akan diajarkan hari itu. Contoh, untuk siswa kelas I yang baru belajar membaca dan menghitung, sang guru bisa membacakan cerita tentang pentingnya membaca dan menghitung. Setelahnya, guru bisa melanjutkan ke materi pelajaran sesuai jadwal.
Sedikit berbeda dengan siswa kelas I, aktivitas membacakan pada anak-anak kelas II dan III sudah bisa melibatkan siswa. Setiap minggu, guru dan siswa bisa bergantian membacakan cerita. Dalam prakteknya, hari Senin bisa dimulai dengan membacakan cerita oleh guru, kemudian hari Selasa oleh siswa, dan begitu seterusnya. Guru bisa menentukan bersama-sama dengan muridnya mengenai buku tema apa yang akan mereka bacakan. Sumber bacaan bisa diambil dari buku peprustakan atau koleksi pribadi guru dan siswa. Sumber bacaan tidak diharuskan milik pribadi siswa, sehingga jika ada yang tidak mampu membeli buku cerita, bisa meminjam buku-buku perpustakaan. Untuk durasi waktu, masih sama dengan aktifitas membacakan pada kelas I yaitu berkisar antar 15 menit – 30 menit saat memulai jam pelajaran.
Untuk jenjang kelas IV sampai kelas VI, karena sudah terbiasa membacakan sedari kelas II, maka mereka sudah bisa diberi kewajiban individu membaca minimal 1 buku dalam 1 bulan. Buku yang dibaca tentunya bertema bebas selama masih dalam ruang lingkup buku pengetahuan, baik dalam bentuk buku cerita, komik pengetahuan, atau buku pengetahuan biasa. Kemudian, pada akhir bulan, siswa harus menuliskan hasil bacaannya atau merangkum tentang buku yang ia baca kemudian membacakannya di kelas. Walaupun sudah lebih bisa diajarkan mandiri dan membaca di rumah, namun aktifitas membaca 15 menit di awal jam pelajaran masih harus tetap dilaksanakan. Sebagai bentuk kebersamaan kelas, mereka bisa membuat pembatas buku seragam untuk satu kelas. Agar guru bisa memantau kemajuan membaca buku siswa, bisa disiapkan papan membaca siswa. Pada papan tersebut terdiri dari nama siswa, judul buku yang dibaca dan halam yang sudah dibaca. Jika dilustrasikan, papan membaca siswa bisa dilihat pada gambar berikut:
Tumblr media
Untuk penulisan halaman dan judul buku yang dibaca bisa dilakukan oleh siswa sendiri, hal tersebut juga bisa meningkatkan rasa keterlibatan siswa dalam proses membudayakan membaca tersebut. Dalam aktifitas membacakan, teman-teman kelas yang mendengarkan juga boleh bertanya terkait buku yang dibaca, setiap siswa juga dipersilakan saling meminjam buku jika ada yang tertarik dengan buku yang dibacakan oleh temannya. Namun karena sudah dibacakan, buku yang sudah dibacakan tidak boleh menjadi buku wajib membaca. Buku tersebut bisa dibaca di rumah oleh siswa yang berminat meminjam tersebut. Penambahan tulisan-tulisan motivasi tentang membaca juga akan menambah semangat siswa dalam membaca. Tidak harus membeli ornamen-ornamen mahal, namun bisa dengan dibuat sendiri bersama-sama. Contohnya, saat mata pelajaran seni budaya, anak-anak bisa ditugaskan membuat karya tulisan motivasi membaca yang bisa dipajang di dinding ruang kelas mereka.
Selain membiasakan budaya “Pagi Membaca”, pihak sekolah juga bisa mengadakan beberapa kegiatan luar kelas yang berkaitan dengan membaca dan buku. Misalnya, melakukan kunjungan ke perpustakaan daerah, atau mengunjungi toko buku bersama-sama. Kunjungan ke toko buku bisa membuat para siswa mengetahui proses bagaimana buku didistribusikan sebelum dijual di etalase toko. Selain melakukan kunjungan, sekolah juga bisa mengundang pihak perpustakaan daerah atau pihak toko buku untuk berkunjung ke sekolah, sehingga proses belajar mengajar juga semakin bervariasi. Pada tingkat kelas IV hingga kelas VI, agar kegiatan “Pagi Membaca” semakin menarik, guru juga bisa memberikan apresiasi pada muridnya yang berhasil melebihi target bacaan. Apresiasi bisa berupa tambahan nilai pada pelajaran Bahasa Indonesia atau apresiasi dalam bentuk hadiah kecil, seperti alat tulis, buku atau jajanan.
Dalam sebuah artikel terbitan European Journal of Social Psychology, tim peneliti yang dimotori oleh Phillippa Lally mengemukakan bahwa untuk membentuk kebiasaan baru, dibutuhkan waktu rata-rata 66 hari. Mengacu pada hasil penelitian tersebut, tentunya kegiatan “Pagi Membaca” sudah masuk dalam rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk membuat kebiasaan atau budaya baru pada kalangan anak SD. Mengapa demikian? Tentunya karena mereka sudah mulai diperkenalkan dengan membacakan sejak kelas I dan terus berlanjut hingga kelas VI dan juga melibatkan mereka secara langsung dalam upaya pembiasaan membaca.
Mengutip peri bahasa Jawa yang berbunyi “Witing tresno jalaran soko kulino” yang artinya adalah cinta karena terbiasa, maka jika siswa SD sudah terbiasa membaca di sekolah melalui kegiatan “Pagi Membaca” tentunya cinta akan buku dan membaca akan tumbuh dengan sendirinya.  Membaca akan menjadi budaya sekolah yang dicintai siswanya. Anak – anak Indonesia akan memiliki budaya membaca sekuat anak-anak Finlandia yang menduduki peringkat pertama “The World’s Most Literate Nation”. Tentunya dengan segera memulai kegiatan “Pagi Membaca” kita tidak lagi berada di peringkat 60 dari 61 negara dalam hal minat baca. Jika bersaing untuk menggantikkan Finlandia berada di posisi 1 dunia dalam hal minat baca terlalu ambisisus, setidaknya kita bisa menargetkan untuk naik beberapa peringkat. Buku adalah jendela dunia, sehingga membacanya adalah cara kita mengetahui duni lebih luas. Apalagi di dunia yang semakin terus mengarah ke cyber world, membaca adalah pondasi penting yang harus digemari generasi penerus kita. Jika tidak, mereka akan tergerus pada pusaran informasi yang tidak kuat verifikasi. Meningkatkan minat baca dan membudayakannya adalah ‘PR’ kita bersama sebagai warga negara Indonesia. Sementara itu, membimbing anak-anak generasi emas penerus bangsa agar mencintai dan berminat tinggi akan buku dan membaca adalah tanggung jawab kita para orang dewasa, utamanya pengatur kebijakan yang mampu menjalankan program menyeluruh untuk anak-anak SD di seluruh Indonesia.
Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Penulisan Artikel Ilmiah Sekolah Dasar Kemendikbud 2017, katergori artikel ilmiah populer.
1 note · View note
luluzuhriyah · 7 years
Text
The struggle is real
Semakin bertambahnya usia, semakin banyak realitas hidup yang akan kita alami. Dulu, waktu masih berjuang dan berkutat sama kuliah dan skripsi, rasa-rasanya itu adalah perjuangan terberat. Sekarang, meskipun masih ingat gimana rasanya nggak tidur karena harus kejar deadline paper, yang paling terasa adalah manisnya menuntut ilmu.
Sekarang, di dunia kerja, rasa-rasanya realitas pahitnya hidup lebih menampakkan wujud aslinya. Tidak disukai karena berprestasi, lebur dalam pertanyaan diri tentang haruskah tinggal atau meninggalkan. Belum lagi masalah hati dan perasaan yang seringnya paling melelahkan.
The struggle is real, just one step after commencement day.
Saat diri sendiri adalah yang harus kita ajak berdamai, menguatkan, menyusun pondasi ketangguhan. Namun rapuh adalah nama sisipan yang hanya kita yang tahu, rasanya berat.
Perjuangan setiap orang memang berbeda. Namun yang mutlak adalah bahwa perjuangan itu nyata.
3 notes · View notes
luluzuhriyah · 7 years
Text
Kereta Ramah Ibu dan Anak
Kereta api (KA) adalah salah satu transportasi kegemaran publik. Berdasarkan catatan PT. KAI (Kereta Api Indonesia) yang dikutip dari company profile tahun 2016, selama tahun lalu saja jumlah penumpang KA tembus angka 352,31 juta orang, jumlah tersebut mengalami kenaikan sebesar 7,82 % jika dibandingkan dengan tahun 2015 yang total penumpangnya mencapai angka 327.12 juta penumpang. 
Tumblr media
Dengan angka tersebut, menurut laman kumparan.com, KA merupakan angkutan publik yang paling diminati dibandingkan dengan angkutan laut dan angkutan udara pada tahun 2016. Dari total angka 351,8 juta tersebut, penumpang KA pelaju (commuter) Jabodetabek adalah penyumbang terbesar dengan total penumpang 24,8 juta orang yang setara dengan 77,27 % dari total penumpang KA.
Sebagai perusahan perseroan milik negara yang serius mengimplementasikan Good Governance, KAI sudah terbilang sukses dan terus berada dijalur yang tepat dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini. Capaian-capain mereka tercermin dari banyaknya reformasi pelayanan yang terus menuju arah paripurna. Mulai dari terus bertambahnya channel penjualan tiket KA jarak jauh yang memutus rantai pembelian tiket di stasiun yang lebih memakan waktu dan upaya. Hingga fasilitas self service melalui mesin e-kiosk yang sudah banyak tersedia di mayoritas stasiun KA. Bukan hanya KA jarak jauh, para penumpang KRL juga sudah bisa membeli tiket sendiri melalu vending ticket machine. Perlahan namun pasti, PT. KAI berbenah agar efisiensi pembelian tiket terus berjalan.
Tumblr media
Ticket Vending Machine di St. Bogor (sumber: tribun bogor)
Jika melakukan perjalanan jarak jauh menggunakan KA, penumpang tidak lagi harus repot-repot memilih makanan saat para prami dan prama menawarkan makanan di dalam KA. Layanan Meals Pre-order online bisa digunakan sehingga saat dalam perjalanan, para penumpang hanya tinggal duduk manis menunggu pesanan makannya. Menu yang tersedia juga beragam dan dengan harga yang bersaing. Sistem check-in dan boarding pass juga inovasi lain yang dilakukan PT. KAI agar perjalanan menggunakan KA semakin nyaman dan aman. 
Selain yang sudah dijabarakan di atas, masih banyak inovasi lain yang sudah dilakukan PT. KAI, seperti Rail Pay, sejenis kartu yang bisa digunakan untuk pembayaran kereta dan moda lainnya, peremajaan kereta yang sudah berusia lebih dari 30 tahun, perbaikan toilet dan granitisasi stasiun serta penambahan pengoperasin relasi baru KA.
Namun, sebagai BUMN yang memiliki tujuan besar untuk “Menjadi Solusi Terbaik Transportasi di Indonesia” sebagaimana yang didengungkan pada laporan tahunan PT.KAI tahun 2015, sudahkah PT.KAI menyediakan layanan KA atau stasiun yang ramah ibu dan anak?
Sayangnya, selain gerbong khusus perempuan yang hanya ada pada KRL, fasilitas lain yang berpihak kepada ibu dan anak masih jauh dari kata terbaik. Dari total 539 stasiun kereta yang beroperasi, belum sampai seperempatnya yang memiliki ruang laktasi memadai. Ada beberapa stasiun yang ruang laktasinya masih digabung dengan posko kesehatan, padahal jelas fungsi keduanya berbeda. Beberapa stasiun besar di Jakarta memang sudah memiliki ruang laktasi, seperti St. Gambir, St. Pasar Senen dan S. Jakarta Kota. Namun masih kurang luas dan minim sosialisasi.
Tumblr media
Ruang laktasi Stasiun Gambir (sumber instagram @keretaapikita)
Sebenarnya selain menyediakan ruang laktasi, pihak PT. KAI pada tahun 2014 juga pernah melakukan kerja sama dengan Universitas Indonesia (UI) menyediakan kabin laktasi di St. Jakarta Kota dan St. Depok Baru. Kabin tersebut didesain seukuran bilik toilet namun dengan interior yang berbeda. Akan tetapi, inovasi ini seperti hilang ditelan jaman, tidak berkelanjutan.
Tumblr media
Kabin laktasi (sumber detik.com)
Beberapa cuitan ibu-ibu yang kesusahan saat memerah ASI (Air Susu Ibu) dalam perjalanan jarak jauh juga sebenarnya sudah disampaikan melalui sosial media PT. KAI pada akun instagram @keretaapikita seperti pada foto-foto berikut:
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Apabila dikaji lebih serius lagi, penulis yakin masih banyak aspirasi lain dari para ibu yang merasakan sulitnya melakukan perjalanan KA jarak jauh tanpa ruang laktasi yang memadai. Untuk itu, sebagai transportasi publik yang amat diminati dan paling nyaman untuk perjalanan ibu dan anak, sangat diharapkan sekali setidaknya dalam rangkain KA jarak jauh ada 1 ruang laktasi yang lengkap dengan fasilitas toilet khusus balita.
Memang bukan suatu perkara mudah untuk mewujudkan harapan tersebut. Namun, apabila komitmen PT. KAI “Menjadi Solusi Transportasi Terbaik di Indonesia” serius, tentunya fasilitas yang satu ini harus diperhatikan. Melihat tren positif perbaikan layanan dan fasilitas yang digalakkan oleh PT. KAI, penulis optimis harapan memiliki ruang laktasi yang memadai baik di stasiun maupun di gerbong KA bisa direalisasikan oleh PT. KAI dalam beberapa tahun kedepan.
Selamat ulang tahun ke 72 transportasi publik yang paling dicintai. Kami bangga memiliki PT. KAI!
0 notes
luluzuhriyah · 7 years
Text
Adalah aku yang membesar-besarkan hal kecil, atau kamu yang begitu tak peduli hingga menyepelekan hal yang penting bagi orang lain?
Tanya hati pada luka
1 note · View note
luluzuhriyah · 7 years
Photo
Tumblr media
Allah tidak pernah jauh . Tidak peduli betapa kelamnya situasi Anda, betapa situasi itu menimbulkan putus asa, betapa sulitnya bagi Anda dan orang-orang terkasih Anda . Selama Anda bergantung kepada-Nya, Allah akan memberi Anda cahaya dari arah yang tidak bisa dilihat orang lain dan Dia akan mengubah situasimu dalam sekejap dan itu ada di tangan Allah. Itu semua ada di tangan Allah . - Nouman Ali Khan - . #noumanalikhan #noumanalikhanindonesia #nakindonesia #nakquote . Donasi: https://kitabisa.com/nakindonesia
81 notes · View notes
luluzuhriyah · 7 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
16K notes · View notes
luluzuhriyah · 7 years
Text
Sejatinya lidah bisa menebas lebih lincah dari pedang. Menusuk lebih sakit. Menggores luka yang sembuhnya menahun. Tak ada dokter yang bisa menyembuhkan. Lalu, mengapa lidahmu digunakan untuk menyakiti? Menyakiti(ku) yang menurutmu objek lucu untuk ditertawakan dan direndahkan dengan kepiawaian lidahmu? Sadis. Selamat atas kepuasan yang kau dapatkan karena menyakiti seseorang. Kepuasan ternista, menurutku.
0 notes