ESTP || ordinary woman || the immortal follower of Capt Abdul
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Sedikit ngeri, tapi mau tidak mau,aku harus disini.
Memeriksa jiwa yang sudah lama tak kusapa.
Menyapa hati yang sudah lama tak kuraba.
Menanyakan akal yang sepertinya sedang hilang kendali.
Dengan berat hati, kuakui. Aku takut pada diriku sendiri. Yang sudah lama tak kusapa. Yang kini tak kukenali lagi.
Yang di detik ini, seperti sedang tersungkur akan banyaknya hal yang ia sesali terjadi.
7 notes
·
View notes
Text
"Justru itu, masalah!" sergah Capten.
Aku baru saja menyampaikan sebuah studi kasus. Jika dua orang akan menikah, dan dari pihak perempuan membeberkan bahwa ia banyak tak bisa. Tak bisa mengerjakan pekerjaan rumah, cuek, terbiasa semua sudah ada, terbiasa semua diuruskan, dan pihak lelaki mengatakan itu tak masalah.
"Jadi, menurut ta (menurut kamu), perempuan memang harus tau pekerjaan rumah?" Aku mengklarifikasi.
"Bukan. Bukan itu. Sudah benar kalau pekerjaan rumah itu tanggung jawab bersama. Tapi masalah jika setelah menikah, "tidak bisa"nya pasangan akan jadi tameng untuk selalu dimaklumi. Padahal tidak begitu," jawab Capten.
Dia melanjutkan, "Disini peran penting si pria dalam menjawab. Pemakluman itu tidak berarti tidak mempermasalahkan. Tidak pula membiarkan. Menikah bukan sekadar menerima kekurangan pasangan. Tapi bagaimana dengan kekurangan itu, mereka sama-sama mau belajar. Suami siap membimbing, istri mau dibimbing. Menikah itu tentang bagaimana mereka bisa jadi lebih baik bersama," lanjutnya.
Aku mengangguk. Paham.
Dipikir-pikir, jadi pria yang akan menikah itu memang berat. Apalagi menerima banyak syarat atau permintaan pemakluman dari si wanita. Seringnya, itu malah jadi senjata untuk tidak mau tahu sama sekali. Enggan belajar. Padahal, menikah itu tentang tumbuh bersama. Tentang belajar bersama. Bukan terus-terus dimaklumi lalu dibiarkan. Tidak hanya masalah pekerjaan rumah, tapi semua aspek.
Aku coba mengingat-ingat bagaimana dulu Capten juga menerimaku. Aku yang cuek, keras kepala, moody-an. Aku yang sama sekali "malas" dengan pekerjaan rumah, terutama memasak. Dan bagaimana akhirnya sekarang aku dengan tanpa ia paksa tapi juga tidak dibiarkan, justru bisa dengan ikhlas mencoba resep baru.
Meski tentu, saldo ovo masih harus standby untuk aplikasi grabfood. Wkwk.
Dan aku tersadar, ternyata ini november. Bulan yang lima tahun lalu, seorang pria meminta izin orangtuaku untuk datang ke rumah bersama orangtuanya. Pria yang mengajakku tumbuh bersama.
Lalu, setelah lima tahun, ingin sekali aku bertanya padanya, "Apa satu kata untuk menggambarkan kesanmu dalam membimbingku lima tahun ini?"
#firanurlail
0 notes
Text
Apa Lagi?
Apa lagi yang saya harapkan dari menjadi ibu yang fakir ilmu seperti saya?
Apalagi yang saya harapkan dari menjadi orangtua yang imannya sering turun seperti saya?
Apalagi?
Nak, maafkan kami. Yang masih jadi pendosa dan pengabdi dunia. Maafkan kami yang masih banyak kurang untuk mengajarkanmu kelak.
Apalagi yang kami harapkan?
Padahal, inginnya kami kelak kamu menjadi amal jariyah kami.
Inginnya kami kelak menjadikanmu penolong di akhirat nanti.
Tapi apa lagi yang diharapkan dari orangtua yang jauuh dari sempurna?
Nak, maaf. Bahkan jika kami memang bukan yang terbaik. Semoga kami tetap berusaha menanamkan semua yang dasar padamu.
Tentang mencintai Allah melebihi apapun.
Mengutarakannya melebihi apapun.
Mengingatnya melebihi apapun.
Nak, semoga kami kelak bisa menanamkan ini. Bahwa tak ada urusan dunia yang lebih penting dari adzan.
Tak ada, nak! Kau harus tau, bahwa ketika adzan berkumandang, hentikan semua apa yang kau kerja. Hentikan semua! Penuhi panggilan-Nya.
Shalatlah dulu!
Nak, jika hanya itu yang bisa kami tanamkan. Biarlah! Setidaknya dengan membuatmu menjaga shalatmu, kau akan paham bahwa tak ada di dunia ini yang layak dipentingkan dibanding Allah.
Tak ada satupun aktifitas dunia yang boleh merebut penghambaan kita pada Allah. Karena hanya dengan begitu, kau akan mencapai akhiratmu, namun sukses juga duniamu.
Karena bukankah kau di duniapun karena kehendak-Nya?
Nak, kumohon. Untuk ibumu yang masih miskin ilmu ini, ingatlah ini! Jaga shalatmu! Jaga! Agar Allah juga selalu menjagamu.
Jaga shalatmu! Jaga! Karena itulah penolongmu kelak.
1 note
·
View note
Text
Entah
tentang tempat-tempat yang tak pernah dikunjungi tapi dirindui.
tentang suasana yang tak pernah dirasa tapi terus berasa.
tentang waktu yang tak pernah dilewati tapi kembali diingini.
entah harus dijelaskan bagaimana lagi. semua hal satu-satu datang seperti hantu.
entah harus diungkapkan bagaimana lagi. sungguh kadang 'mereka' datang mengepung.
seperti menarik jiwa pada satu ruang yang terasa entah apa.
merindu tempat, suasana dan waktu yang bahkan tak pernah dikunjungi dan dilewati sepanjang hidup, tapi tak asing.
yang kemudian membuat diri tersungkur karena keinginan yang entah untuk apa. kesedihan mendalam karena tak mencapai sesuatu yang bahkan tak ditau apa.
yang karena tak bisa dijelaskan tapi hampir-hampir membuat diri tiba-tiba merasa jatuh pada titik terendah. merindu pada sesuatu yang semu. namun juga muak dan benci dengan sekitar.
hingga di satu waktu ketika mulai terbiasa dihantui, perasaan itu mulai bernama. bahwa jiwa ini lelah dan ingin pulang. bahwa inilah yang dinamakan putus asa. hingga mempertanyakan, untuk apakah hidup ini? tak bisakah ini berakhir saja? bolehkah pulang saja sekarang? cukupkah bekal untuk pulang?
bukan, ini bukan kemauan untuk berpikir seperti itu. ini hanyalah penjabaran tentang perasaan itu yang selalu datang tiba-tiba.
sungguh, bukanlah diri yang ingin merasa seperti itu. tapi seperti itulah yang dirasakan sekarang.
apakah ini titik terendah iman?
bolehkah aku pulang saja pada-Mu?
tapi aku malu dengan bekalku yang sedikit, sementara ada jiwa kecil yang Kau titipkan padaku sekarang.
malam, tolong aku.
1 note
·
View note
Text
Tentang mengendalikan perasaan dengan logika.
Tentang logika yang kadang-kadang harus mengalah dengan perasaan.
Ada beberapa hal yang kadang butuh pemakluman atas nama perasaan. Disaat mungkin banyak hal yang bisa saja dikendalikan dengan logika.
Karena membicarakan logika dan perasaan, adalah dua hal yang beriringan meski kadang tak bisa disamakan.
Mungkin kedengarannya tidak masuk akal, jika memandang ini dengan sudut pandang logika.
Tentang hal-hal yang memang butuh sudut pandang perasaan agar paham.
Bahwa psikis ini, membutuhkan semua hal tentangmu. Ragamu.
Mungkin kedengarannya berlebihan, jika menilai hal ini dari segi logika.
Tentang hal-hal yang ingin dimaklumi dengan perasaan.
Bahwa pikiran ini, membutuhkan dukunganmu secara fisik.
Mungkin kedengarannya egois, jika menghakiminya dengan logika.
Tentang hal-hal realita yang ingin dikesampingkan dulu atas nama perasaan.
Bahwa atas nama keadaanku, pada kesadaran akan hak memiliki, sedang mengharapkan hadirmu melebihi apapun.
Tentang hal-hal yang tentu saja masih bisa dijelaskan secara logika, namun perasaan memilih bicara saat dimintai alasan.
Tidak cukupkah "karena aku butuh kau disisiku saat ini" menjadi jawaban?
Egoiskah jika keadaan yang umumnya meminta banyak pemakluman ini, aku juga meminta hak yang menurut logikamu 'tidak wajar' dan 'tidak pengertian'?
Karena kadang, aku juga butuh pemakluman logikamu pada sisi-sisi diriku sebagai makhluk perasaan.
Karena kadang, aku juga butuh kau lihat sebagai makhluk rapuh yang lelah berpikir secara logika.
Karena kadang, aku juga ingin melihat sisimu yang mengalah pada perasaan.
Hanya jika memang kau memiliki perasaan yang sama.
-nurlail-
*sudah lama gak nulis 😅
1 note
·
View note
Text
Cerita Tanggal Enam (16) *Ramadhan dan kami yang belum dewasa; sebuah renungan untuk kapal yang harus terus berlayar*
Yang baru menikah, tentu Ramadhan tahun ini akan menjadi cerita berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Terutama bagi mereka yang kemudian langsung diberi kesempatan (benar-benar) hidup berdua saja dengan pasangan mereka. Pasti ada cerita. Pasti ada kisah. Yah, bagaimanapun kondisinya, bulan Ramadhan yang memang selalu punya cerita unik akan semakin unik bagi mereka yang baru berumah tangga. Saya pun.
Meski ini termasuk Ramadhan kedua kami sejak menjadi suami istri, namun ini menjadi pertama kali kami puasa bersama. Di 'cerita tanggal enam' juni tahun lalu juga saya menceritakan bagaimana puasa dan lebaran kami (sebagai pengantin baru) yang tidak bersama. Dan oh ya, tentu saja lazimnya pengantin baru, segala keriwehan dan drama wanita yang baru jadi istri dalam menjalani perannya tentu ada. Apalagi ditambah dengan usia kehamilan yang semakin tua. Eh, jadinya ini tidak hanya menjadi puasa kami berdua, tapi bertiga dengan si janin dalam perut.
Mengenai puasa dan hamil, saya bersyukur masih diberi kekuatan dan kemudahan oleh Allah sampai saat ini untuk bisa berpuasa layaknya orang normal. Setelah melakukan konsul dengan dokter tentu saja. Mengingat saya yang (menurut capten) termasuk 'kurang gizi' dan malas makan, ditambah mual muntah yang sekali dua kali masih menghampiri.
Karena sendiri, jadilah memang cuma dukungan capten yang bisa diandalkan demi kelancaran puasa. Meski di awal sempat melarang, demi mendengar penjelasan dokter dan saya yang terus merajuk agar dibolehkan puasa dengan segala janji manis saya tentang makan, diapun mengijinkan. Dan demi pembuktian bahwa saya bisa, saya kemudian disibukkan dengan mengorek sebanyak mungkin dari 'abang google' tentang tips dan trik berpuasa bagi ibu hamil. Yang kesemuanya mengarah ke satu kesimpulan, makannya tetap teratur. Tiga kali sehari. Waktunya saja yang dipindahkan. Setelah buka, menjelang tengah malam dan sahur. Meski pada realitanya, hanya di awal-awal saja saya menerapkan itu. Penyakit mudah kenyang selama hamil, asam lambung dan mual muntah yang mengganggu jadi faktor utama saya tetap tidak bisa terus-terus mengikuti pola itu. Padahal, saya kan dulu terkenal pelahap segalanya kalo soal makanan. Apalagi puasa. Duh, bukan fira namanya kalo mudah kenyang. Wkwk.
Beberapa hari menjelang puasa juga saya rajin ngajak ngobrol si janin. Semacam 'briefing'. Kalo mulai hari kapan dan sampai kapan, pola makan akan berubah. Tandanya ada di adzan subuh dan maghrib. Minta kerja sama si janin biar mengerti dan anteng gak minta makan atau minum setelah adzan subuh berkumandang sampai adzan magrib. Begitu terus saya ulang-ulang. Dan itu berhasil. Sampai dia terbiasa. Bahkan kadang dia ikut mengkode melalui gerakan (entah tendangan atau sundulan) jika adzan maghrib berkumandang. Dan sampai sekarang, puasa saya masih full. Meski tentu saja ada satu dua hari drama hampir nyerah karena tiba-tiba muntah sampai kehabisan tenaga. Yang namanya muntah, meski tidak membatalkan puasa, ya pasti mulut terasa aneh kalau tidak minum. Tapi syukurlah masih bisa tertangani. Lagi-lagi kuncinya ya ajak si janin berkomunikasi untuk dimotivasi. Biar dia kuat. Kemarin juga saat cek rutin ke dokter semua masih aman. Bahkan berat badan saya dan janin juga tetap naik. Meski lagi-lagi itu belum ideal menurut capten. Dia sejak awal semacam terobsesi berharap melihat berat badan saya benar-benar naik drastis layaknya ibu hamil. Karena saya hamil tidak seperti ibu hamil pada umumnya. Perut yang kecil bahkan kadang gak ketahuan kalau hamil (padahal sekarang sudah memasuki 30 minggu), dan badan yang belum kelihatan "membengkak". Tapi percayalah, meski terlihat kecil, ini (perut) tetap saja 'berat' dibawa jalan. 😅
Usia kehamilan yang memasuki trimester ketiga memang memasuki waktu dimana ibu hamil akan sulit tidur. Karena perut yang terus membesar dan janin yang semakin aktif bergerak (terutama di malam hari), menjadi yang paling andil membuat sebagian besar ibu hamil bisa terjaga sepanjang malam alias sulit tidur. Termasuk saya. Demi mencari posisi nyaman, ditambah perjuangan tiap hari membangunkan capten yang entah kenapa menjadi lebih 'manja'. Bangunkan dia selama puasa ini seperti melatih kesabaran membangunkan anak kecil yang sedang belajar puasa. Wkwkwk. Anggap saja hitung-hitung belajar membangunkan anak sendiri. Serius, capten di tiap subuh menjadi ujian kesabaran saya melebihi apapun. 😂
Entah ini termasuk keuntungan atau tidak, tapi susah tidur membuat saya tidak sulit bangun tidur. Meski hanya bisa tidur sejam dua jam saja untuk kemudian terbangun mendahului alarm yang saya stel di jam setengah tiga subuh. Untungnya adalah karena sampai saat ini Alhamdulillah saya belum pernah bablas kesiangan sahur. Dan ruginya ya saya jadi kurang tidur dan tekanan darah rendah. Yang tentu saja bisa menjadi pengaruh tidak baik untuk janin. Apalagi, di satu sisi juga tidur pagi sangat tidak disarankan untuk ibu hamil. Tapi karena di malam harinya kurang tidur, meski kadang sudah berusaha menahan kantuk di pagi hari dengan melakukan apa saja, beberapa kali saya harus kalah dan tertidur. Kadang juga bisa berhasil tahan sampai agak siangan. Entah kenapa saya selalu bisa nyenyak tidur di siang hari dibanding malam. Padahal, si janin tidak kalah aktifnya saat siang.
Ngomong-ngomong, kok ini malah jadi curhat ibu hamil dan berbagi tips dan trik ibu hamil puasa yah. Wkwk.
Mengenai mengatur menu sahur dan buka? Oh ya, meski saya yang sedang masuk fase malas makan dan capten yang memang sejak dulu makannya tidak ribet (tempe-tahu tiap hari pun tak masalah), tetap saja saya juga kena sindrom kecemasan tiap malam untuk mikir "besok mau buka dan sahur apa yah." Justru karena makan capten yang tidak ribet dan terkesan irit ditambah saya juga lagi irit makan itulah yang kadang membuat pusing mengatur menu. Atau mengatur porsi lebih tepatnya. Apalagi, capten yang kurang suka dengan makanan bermalam atau yang dipanasi. Jadi saya tidak bisa memasak banyak di sore hari untuk buka dan sahur sekaligus. Meski menunya sama, sebisa mungkin saya pasti harus memasak baru di saat sahur. Bukan makanan semalam yang dipanasi. Beruntung di awal-awal puasa ada adik saya yang sempat nginap seminggu lebih. Jadi makanan selalu habis saat itu juga. Dan di perbarui saat sahur.
Kebiasaan tak bisa menyimpan makanan untuk dipanasi kemudian inilah yang pernah menjadi masalah. Lauk dan sayur jadi hampir dipastikan tak ada saat subuh. Saya harus mengolahnya di subuh hari. Kecuali nasi. Jadi, di suatu subuh, setelah shalat malam dan semua bahan siap, saya menyalakan kompor untuk mulai memasak. Dan tadaaa, gas habis pemirsa. Jam menunjukkan pukul setengah empat. Oh ya, kami memang sejak awal puasa terbiasa sahur mendekati jam empat. Jadi masak pun bisa saya mulai tidak terlalu dini hari. Tapi dengan kondisi seperti itu, panik dong yah saya. Karena kita hanya punya NASI. Segera saya ke kamar untuk melaporkan itu ke capten. Dia masih sedang menyelesaikan shalat. Jadi sambil menunggu, saya kemudian mengutak-atik aplikasi go-food. Duuh, kalau lihat jam pasti sudah tak sempat. Belum lagi pilih warung makan. Karena banyak yang tutup. Dan yng buka rata-rata jauuh dari rumah kami.
Capten yang selesai shalat melihat saya kasak kusuk, bertanya. Saya pun memberitahu. Dan percayalah, bicara sama capten saat dia mengantuk hanya akan membuatmu lebih dongkol. Dia itu paling tidak bisa menahan kantuk. Datar. Biasa saja. Slow respon. Saya yang berusaha tidak panik berkali-kali menarik nafas. Dia? Oh, masih kelihatan ingin melanjutkan tidur meski dia juga komentar begini, "gak bakalan sempat dek kalo mesan go-food."
'Iyaaaa, tauuuuu. Makanya kasih solusi dong kaaaak." kataku. Tapi dalam hati. Ingin rasanya menggigit melihat tingkahnya yang tidak menunjukkan akan bergerak melakukan sesuatu. Huaaaaah! Cobaan ibu hamil kenapa seberat ini yak. *sambil usap-usap perut berharap si anak gak ngikut-ngikut bapaknya. Saya mulai panik karena jam menunjukkan pukul 03.45. Dan kami belum punya apa-apa untuk dipakai sahur. Mungkin bisa saja kami tak usah sahur. Tapi itu berarti kemungkinan besar saya akan dilarang puasa oleh capten. Dan tentu tidak enaklah dengan adik saya. Masa dia tidak ikutan sahur. Meski pasti dia paham. Wkwk.
"Kaaaak, gimana niih." Saya mulai merajuk kesal. Capten mengerjap. Matanya setengah terbuka. "Gak ada apa-apakah dek yang bisa dimakan? Sisa semalam?" tanyanya. Yaelaaah, nanya laagi. Sudah tau kita gak pernah simpan makanan. Dongkolku dalam hati.
"Ndak adaaa. Itu semua harus dimasak dulu." jawabku sambil menahan kesal.
"Mie instan? Ada kan?" tanyanya lagi sambil mengumpulkan kesadaran. Tau bahwa istrinya sudah mulai mau meledak.
"Ada." saya jawab sekenanya.
"Itu saja dek." masaknya di rice cooker saja." katanya lagi. Saya tidak menjawab. Tapi juga segera beranjak setelah terdiam beberapa detik. Menuju dapur. Dia mengikuti. Tau istrinya sudah sangat kesal dan panik. Dengan sedikit bantuannya yang masih menahan kantuk, akhirnya kami memakai caranya. Memasak mie instan di pemanas. Tapi telur yang biasa jadi pelengkap tidak ada. Syukurlah masih ada sayur sawi dan bakso beku yang bisa saya tambahkan sebagai pelengkap. Agar tidak mie instan dan nasi to' yang dimakan. Saya lagi-lagi memberi briefing si janin. Minta maaf karena sahurnya cuma mie instan dan minta kerja sama biar dia tetap kuat. Untung saya nge-stok jus susu kurma. Hasil menelusuri tips dan trik di facebook agar ibu hamil kuat berpuasa.
Jam empat lebih lima menit, semua beres. Saya lega. Dan harus mengakui bahwa meski sempat tingkahnya membuat kesal, pada akhirnya capten memberikan solusi yang berguna. Wkwk. Memang sudah seharusnya kaan. Taulah wanita kalau lagi panik. Mana bisaaa berpikir jernih. Dan yah, lelaki sebagai makhluk akal dan imam yang dalam hal ini sebagai 'capten'nya harus bisa dijadikan sandaran. Harus bisa selalu punya solusi. 😆
Untuk masalah buka, pada dasarnya saya dan capten sama. Gak suka ribet dan tidak muluk-muluk mau buka puasa apa. Gak harus beraneka ragam makanan tersaji. Bahkan jika itu hanya ada air putih dan kurma saja. Es buah pun capten melarang saat saya inisiatif mau buat sendiri. Beli saja katanya. Lebih mudah. Gak perlu nyetok segala macam buah. Mengingat kami bukan pelahap segalanya saat berbuka. Secukupnya iya. Hanya karena tentu saja saya lebih memikirkan dia. Yang irit makan. Jadi tetap harus pusing memikirkan variasi makanan. Dan makan dengan layak tentu saja. Di pihak capten juga sebaliknya. Dia lebih cenderung memikirkan saya. Sejak sebelum hamil ya dia kalau ribet tentang makanan lebih ke agar saya makan. Dia ngikut. Sejak hamil, dia lebih ribet untuk memastikan saya makan dengan layak. Jadi sering kali kami debatnya karena saya ingin ngikut seleranya biar dia banyak makan, dia juga ribet suruh saya yang menentukan makanannya. Tujuan dan mikirnya sama. "Ya ndak papa sih kalo saya makan seadanya, tapi dia? Dia kan harus makan layak." begitu kira-kira pola pikir kami ke masing-masing.
Ini sebenarnya romantis. Tapi pada realita, jatuhnya gak romantis. Kami kadang harus saling menahan sabar untuk terlibat pembahasan bertele-tele dan berputar-putar di ' "mau buka apa?" "saya terserah qt ji." "saya juga terserah qt ji." ' hingga kemudian waktu berbuka puasa sebentar lagi tiba dan kami belum memutuskan akan buka puasa dengan apa. Ini kejadiannya kalau saya lagi mood swing atau mual muntahnya kumat jadi gak bisa berjibaku dengan dapur. Kadang kalau lagi kena kliknya sih mudah saja dealnya. Satu bilang terserah, satunya menyarankan, kemudian oke. Selesai. Beli makanan diluar atau sekalian makan di luar yang menunya sudah di deal-kan. Tapi kalau sudah sama-sama "terserah", maka ribetlah semua. Jadi terkesan kami malah ribet dan gak simpel yak dalam urusan berbuka.
Sesekali capten tidak bisa menemani saya berbuka di rumah. Kebanyakkan urusan kantor yang belum kelar dan kadang sedang berada di kantor yang areanya jauuh diujung dunia (mode lebay). Demi mempertimbangkan macet dan agar tetap bisa isya dan tarawih, saya menyarankan dia agar sekalian saja pulangnya selesai tarawih. Meski tentu saja karena hormon dan sendiri di rumah, saya harus menguatkan hati untuk tidak baper karena berbuka sendiri.
Nah, kalau sudah begitu, kadang saya yang sama saja dengan capten yang tidak ribet, malas menyiapkan apa-apa. Asal ada air dan cemilan kecil cukuplah. Jadi, pernah sekali capten sudah berpesan bakal tidak berbuka di rumah karena urusan di Jakarta pusat. Jadi bakal buka dan sekalian isya-tarawih disana. Saya yang sedang malas gerak dan tau tidak ada capten ya jadinya tidak masak. Kan gak asik juga masak tapi makannya sendiri. Meski tetap belanja untuk persiapan sahur. Mau beli makanan diluar juga sedang malas. Padahal tentu saja capten tidak masalah. Yang penting bagi dia, saya makan dengan layak. Karena mikirnya capten buka diluar, dan setelah kemarinnya saya belanja sedikit cemilan, juga stok telur masih ada. Maka saya memutuskan untuk tidak masak. Goreng telur ceplok bereslah. Sendiri juga. Lagian memang kalo sahur mesti masak lagi subuh. Gak bisa sekarang. Bukanya sama teh hangat dan biskuit dan kurma. Bereslah. Pikirku.
Sampai setelah adzan selesai, suara motor capten terdengar. Paniklah saya. Loh kok pulang? Katanya gak buka di rumah. Saya buka pintu dengan tampang gak karuan. Sementara capten yang entah sudah punya feeling, menatap saya dengan tatapan "tercyduk kamu!".
"Kok pulang?" tanyaku basa-basi. Dia masih menatap saya dengan penuh selidik. Setelah melakukan ritualnya pada saya, dia nyosor ke meja makan. Langsung sidak. Saya mengikut dengan panik.
"Sudah saya duga!" katanya. Terus menatap saya dan meja makan dengan tatapan "kan tercyduk!". Dia kemudian sambil geleng-geleng. Saya cengengesan. Tau maksudnya apa.
"Sudah yakin saya pasti adek ndak beli apa-apa, atau ndak masak ki." dia meneruskan. Saya manyun. Benar-benar merasa tercyduk. Yah, perjanjian dari awal saat dia mengijinkan puasa kan karena saya berjanji akan menjaga makanan saya. Janji akan makan banyak. Tapi saat itu saya lebih merasa bersalah karena saya belum masak untuk menyambutnya pulang. Karena memang kan harusnya dia belum pulang. Sedang dia marahnya karena saya yang tidak menyiapkan makanan untuk diri saya sendiri hanya karena tau sedang sendiri. Sebenarnya marah capten dan penyesalan saya tidak sinkron. Dia marahnya karena apa, saya minta maafnya karena apa. Jadilah dia gemas tapi tidak mungkin marah-marah juga.
Jadilah dia cuma mendesah sambil berujar panjang, "istrikuuu" saking gemasnya. Ya, begitulah. Tau juga dia kalau saya ini copy-pastenya dia. Suami seperti apa akan menghasilkan istri seperti apa bukan? Wkwkwk. Meski tetap saja dia dengan keras mengingatkan bahwa kondisinya beda. Saya kan hamil. Jadi harus lebih memikirkan diri sendiri dan si janin. Jadilah dia menyuruh saya bersiap biar makan diluar setelah shalat magrib. Namun karena pertanyaan "mau makan apa?" yang saya yakin akan berujung pada perdebatan bertele-tele ala kami, juga karena gengsi saya sebagai istri larena merasa bersalah si suami pulang tapi tidak ada makanan, maka saya menolak ajakan makan diluar. Lagian bahan makanan ada. Biar saya masak saja. Lebih karena saya masih keki karena terciduk tidak masak. Nanti malah dikiranya saya sengaja biar bisa makan diluar. Meski tentu saja capten tidak berpikir demikian.
Merasa tidak menemukan pembelajaran berharga? Sama saya juga. Wkwkwk. Ramadhan harusnya menjadi momen belajar dan memperbaiki diri. Meningkatkan apa yang telah menjadi kebiasaan dan amalan baik, dan meninggalkan apa yang tidak baik bahkan buruk. Di Ramadhan ini, dengan status saya yang telah berumah tangga, saya merenung. Betapa belum dewasanya saya dan capten. Betapa banyak sekaaali hal yang mesti diperbaiki.
Harusnya, Ramadhan menjadi waktu evaluasi yang tepat dimana segala hal yang pernah diniatkan bisa tercapai saat memutuskan menikah. Bukankah kami mengaku menikah itu karena ibadah? Lalu sejauh apa ibadah kami telah dijalankan? Jika kebanyakkan kami malah masih tertatih menyesuaikan kebiasaan dan kepribadian masing-masing? Demi mengingat kembali visi saya dan capten saat dulu saling menyetujui bahwa kami bisa sevisi jika menikah, tentu masih jauhlah dari tercapai. Bahkan merangkak untuk mencapainya pun belum. Kami masih disibukkan dengan penyesuaian-penyesuaian yang remeh seperti diatas. Padahal, dalam beberapa bulan kedepan kami harusnya sudah benar-benar bersiap untuk menjadi sebaik-baik tempat belajar bagi manusia baru bernama anak.
Lalu, bagaimana kami bisa jadi tempat belajar jika kami berdua saja masih harus merenovasi tempat itu? Ramadhan, harusnya menyentil saya dan capten yang dulu mengaku akan sama-sama belajar menjadi manusia lebih baik. Mengaku akan menjadikan pernikahan sebagai ibadah dan proses belajar seumur hidup. Dimana membiasakan kebiasaan dan amalan baik masing-masing dan menularkannya ke juga masing-masing kami. Capten sebagai pemimpin, dan saya sebagai yang akan dituntun. Penundaan sepuluh bulan harusnya jadi peringatan bagi kami bahwa Allah meminta kami lebih menyiapkan diri lagi untuk menjadi orangtua. Nyatanya, hingga di dua bulan menjelang kelahirannya, saya dan capten belum juga dewasa. Belum juga tegas pada diri masing-masing dan pasangan tentang hal baik apa saja yang harus kami pertahankan agar menjadi contoh bagi anak-anak kami.
Di ramadhan ini, dengan segala drama yang mungkin saja kelihatan lucu, unik, menyenangkan untuk dikenang, kadang menyebalkan, saya menduga-duga bagaimana kualitas keimanan kami sebagai yang belajar dalam biduk rumah tangga. Bukankah ramadhan harusnya menjadi momen bagi kami untuk meningkatkan keimanan? Untuk mencapai visi dan misi kita dulu saat memutuskan saling membersamai? Saling memberi pengaruh yang baik dan sama-sama belajar. Yang tentu saja niatnya satu. Menambah kecintaan kita pada Allah. Tapi, apa yang saya dapatkan masih jauh dari itu. Saya dan capten masih jauh mencapai sakinah, mawaddah dan warahmahnya rumah tangga.
Belum lagi, kekhawatiran saya setelah Ramadhan. Akankah amalan, ibadah dan hal-hal baik yang rutin kami jalankan selama Ramadhan akan bisa bertahan saat Ramadhan berakhir? Akankah itu terus mengakar pada diri kami agar kelak, saat anak ini lahir dan pada waktunya akan ikut ber-ramadhan bersama kami, dia belajar bahwa setidaknya, orangtuanya ini punya kebiasaan dan amalan baik yang selalu konsisten dilakukan. Kebiasaan-kebiasaan yang akan menjadi identitas keluarga kami nanti. Dan tentu saja tolak ukur seberapa iman kami terus-terus terjaga.
Nyatanya, kami justru masih harus berjibaku dengan hal-hal sepele diatas. Yang lagi-lagi tentang penyesuaian-penyesuaian. Hingga saya sampai di kesimpulan, benarlah bahwa pernikahan itu memamg proses belajar seumur hidup. Dan frasa ini tidak main-main. Tidak sekedar kata-kata. Tidak ada istirahatnya. Tidak boleh bosan. Semua harus mengerti peran. Suami harus tau tanggung jawabnya sebagai pemimpin dan pemegang komando, istri juga harus tau bahwa pernikahan itu memang bukan hanya tentang menemukan orang yang akan berusaha menerjemahkan semua maunya.
Ramadhan ini, yang notabene adalah bulan penuh pengampunan dan waktu untuk evaluasi diri, sebuah rumah tangga harus berjalan. Tidak hanya mencari pengampunan untuk masa lalu tapi juga kualitas diri yang harus diperbarui demi sebuah masa depan dalam rumah tangga. Sebuah tujuan yang tidak berujung. Harus menegakkan layar agar melangkah maju. Tidak disitu melulu. Paham bahwa pencapaian tidak hanya untuk dunia saja. Tapi akhirat. Meski pada realita, utamanya saya dan capten, kami malah lebih disibukkan dengan hal-hal duniawi. Padahal, kami juga pengharap surgawi. Rumah tangga itu berat. Meski bukan berarti jadi momok untuk takut berumah tangga.
Semoga, saya dan capten masih selalu punya kesempatan untuk sama-sama merenung dan mengevaluasi sejauh mana visi-misi kami dalam berumahtangga tercapai. Karena ini sudah tanggal enam yang keenambelas kali kamu bersama. Dan cerita kita masih tidak jauh-jauh dari hal yang masih remeh. Semoga, kami akan lebih dewasa dan sadar bahwa kapal harus terus berjalan. Tidak berputar di situ-situ saja. Ya, kan capt?
Selamat terus berlayar untuk kalian yang juga sedang dalam bahtera rumah tangga. Semoga kita masing-masing sudah menuju ke arah mata anginnya. Sebuah visi yang sebelum menikah pernah disepakati akan dicapai saat memutuskan berlayar. Semoga ramadhan ini adalah persinggahan yang tepat untuk mengisi bahan bakarnya. Agar bisa terus berlayar pada sebuah tujuan yang tak berujung di dunia saja. Semoga Allah selalu menenangkan ombak yang sewaktu-waktu bisa menghantam dan mengkaramkan kapal kita. *nurlail
0 notes
Text
Ada Yang Salah (dan Hilang)
Prihatin sekali melihat lembar-lembar halaman itu lama kosong. Sekalipun kosong hanya karena memindahkan yang tiap bulan wajib disetor.
Saya terlalu lama mendua-tiga-empat-kan. Terlalu lama meninggalkan. Padahal sejuta rasa dan kata banyak ingin mengisi tiap lembarnya. Tiap waktu.
Saya terlalu lama pergi. Padahal, dulu ini selalu menjadi tempat pertamaku kembali setelah berkelana. Tempat semua kata dan rasaku tertuang. Semua curahan hati dan kejujuran. Semua ratapan dan apa saja.
Dan, sekarang? Malah kubiarkan banyak lembar terlalu lama kosong. Terlalu lama diisi. Terlalu lama dilanjut.
Tumblrku.
0 notes
Text
Cerita Tanggal Enam (15) *(memaknai arti dari) Menerima Kehamilan
Saking banyaknya yang terjadi, dan seperti tak ingin satupun hal yang terlewat untuk ditulis, malah mandek. Sejak seminggu lalu malah bingung merangkumnya bagaimana. Mana yang pantas ditulis untuk dibagikan, mana yang memang cukup jadi konsumsi pribadi saja. Padahal, temanya satu. Tapi cerita dan drama yang terjadi tidak cukup jika dituliskan jadi satu. Ya, proses ini memang berharga. Saangat berharga untuk jadi pembelajaran. Bagi kami yang menjalaninya dan barangkali juga bagi mereka yang sedang menjalani proses yang sama. Atau bahkan untuk mereka yang memang mau tau dan belajar.
Hingga tanggal enam terlewat, saya tetap bingung memulainya bagaimana. Agar tak kesan jumawa apalagi merasa berbangga hati. Yang awalnya ingin berbagi untuk merekam memori karena bersyukur, tapi takutnya jadi boomerang yang bisa melukai hati karena terkesan merasa sedang berada di posisi lebih baik dari wanita lain. Atau terkesan di lebih-lebihkan. Tapi percayalah, saat akhirnya saya berada di proses ini, saya paham betapa memang wanita tercipta untuk menjalani lakon drama yang kadang diluar akal sehat (terutama bagi pria sebagai partnernya) dalam menjalaninya. Wkwk.
Dan saya (juga capten mungkin) mengambil kesimpulan, "masing-masing wanita hamil punya dramanya sendiri. "
Sebagai wanita yang sejak dulu terbilang 'angkuh' untuk selalu merasa bahwa saya bisa mendominasikan logika dibanding perasaan, bahwa saya tidak seperti wanita pada umumnya yang lemah dengan perasaan, benar-benar runtuh hanya karena pembenaran klausa ini, "perubahan hormon". Mungkin jika capten ditanya tentang bagaimana rasanya menghadapi saya selama beberapa bulan belakangan, dia pun juga bisa menciptakan mellow-drama versinya sendiri.
Yah, saya akui. Tidak hanya membuat capten harus terlibat di banyak adegan mengharu biru yang kadang ingin saingan dengan drama termellow yang ada, saya pun juga ikut terlibat dengan drama versi capten sendiri. Di satu waktu mungkin kami saling lelah menghadapi, di sisi lain kami saling kuat menyemangati. Dan lagi-lagi, ini semua tentang belajar bersama. Pada satu fase dalam kehidupan rumah tangga kami. Fase yang Allah percayakan pada kami untuk melewatinya. Menyiapkan diri menjadi orangtua.
Bahagia? Tentu saja. Meski fase ini tidak menjadi tolak ukur suksesnya sebuah rumah tangga, tapi sebagian besar yang sedang berproses dalam rumah tangga tentu mengharapkan bisa berada di fase ini. Maka pertama-tama kami bersyukur menjadi salah satunya.
Tapi tentu saja yang namanya belajar itu tidak mudah. Yang namanya belajar itu tidak mungkin tidak lelah. Dan tidak ada kebahagiaan yang mutlak. Tidak ada proses yang di tiap langkahnya selalu manis. Singkatnya, selama enam bulan terakhir menjadi wanita hamil membuat saya merasa benar-benar bisa mendapat gelar "queen of drama". Wkwkwk.
Tanpa saya sadari, banyak sifat saya menjadi berlebihan. Kadang tak masuk akal, bahkan diluar kebiasaan. Dipikirnya saya akan tangguh seperti biasa. Tapi akhirnya saya jadi paham sekali mengapa banyak artikel tentang pengalaman wanita hamil dan perubahan kebiasaan dan kelabilan emosi sangat ditekankan pada pemakluman atas nama perubahan hormon.
Pertama, masalah kebiasaan makan. Di salah satu obrolan lepas kami saat belum berada di fase ini, saya dan capten pernah sama-sama sepakat bahwa ibu hamil yang ngidam masalah makanan itu agak berlebihan dan sebenarnya bisa diatasi. Bahwa "bawaan janin" hanya dijadikan alasan atau tameng agar permintaannya terhadap suatu makanan itu terpenuhi. Hingga para suami selalu punya cerita uniknya sendiri bagaimana mereka harus melewati banyak drama untuk permintaan makanan yang kadang diluar akal sehat cara dan waktu memintanya. Dan, yah. Tiap ibu hamil memang berbeda. Meski pada umumnya perempuan melewati fase ngidam makanan ini, bersyukurnya memang hingga sekarang, saya belum pernah membuat capten harus rela melakukan sesuatu atau mengorbankan waktu tertentu untuk mendapatkan makanan yang saya ingini. Saya pun sesekali ngidam makanan, tapi tidak pernah menuntut mutlak harus ada saat itu juga. Bisa besok-besok. Dan sepertinya memang capten akan selalu melatih saya untuk tetap waras dan tidak ikutan tren itu.
Namun, bukan berarti saya mulus saja melewati fase ngidam makanan ini. Justru karena tidak seperti wanita hamil umumnya, saya jauh lebih sulit. Tidak menginginkan apa-apa dan bahkan masuk kategori malas makan. Di tambah mual muntah yang di awal kehamilan sudah ada dan terus nempel hingga sekarang. Saya memang tidak selalu menginginkan makanan tertentu, tapi justru saya tidak bisa makan sesuatu yang sebenarnya saya suka dan kadang mulai menyukai makanan yang saya tidak suka. Kami juga harus rela membiarkan pengeluaran di bagian makanan sedikit membengkak selama saya hamil. Karena saking susahnya mendapat makanan yang cocok, lebih sering kami itu membeli atau sekalian makan diluar. Bahkan di tiga bulan pertama saya tidak pernah lagi menyalakan kompor untuk memasak.
Awalnya baik saya dan capten berusaha menepis kenyataan itu. Bahwa saya jadi lebih pilih-pilih makanan. Tapi melihat keadaannya, kami pun menerima. Bahwa itu memang "bawaan janin". Bahwa makanan saya harus variatif. Bahwa selama hamil, saya jadi susah makan masakan rumahan alias masakan saya sendiri. Bahwa meski saya kehilangan sebagian besar nafsu makan, di sisi lain kami juga harus sering makan diluar. Karena anehnya, saya tidak akan muntah. Butuh berapa bulan hingga kami mulai mengerti pola makan saya. Kadang ngikut selera capten, kadang tidak cocok bahkan jadi tidak suka dengan makan favorit saya yang kebetulan memang tidak disukai capten (seperti kapurung, ikan dan durian), kadang jika ingin makan makanan tertentu, meski tidak langsung terpenuhi, tapi saya akan mengalami fase "makan-muntah" yang baru reda jika makanan yang pernah saya ingini itu akhirnya saya makan.
Karena saya yang mengalami, mungkin lebih cepat paham. Capten yang memang laki-laki dan mengandalkan logika awalnya tetap merasa itu tidak masuk akal. Hingga beberapa kejadian yang dia saksikan langsung dan polanya sama membuat dia akhirnya menerima. Bahwa memang sudah begitulah pola makan saya.
Masalah mual muntah ini, berikut asam lambung yang juga memperparah berkurangnya nafsu makan saya, namun kami bersyukur tidak harus sampai membuat saya mendapat penanganan medis. Semua masih kami atasi dengan cara sendiri. Apalagi, adanya fakta bahwa itu bisa diminimalisir atau bahkan hilang sementara jika kami tidak makan di rumah.
Kedua, masalah emosi dan mood. Saya bisa bilang, bahwa fase hamil pertama ini membuat saya dan capten harus benar-benar berlatih sabar untuk saling menghadapi. Mungkin sebenarnya ini lebih berat di capten. Saya memang yang sejak awal selalu memakai mode diam jika sedang ngambek, menjadi masalah yang berkali-kali menguras kesabaran. Pasalnya, kadang pun saya suka diam tanpa alasan. Tiba-tiba jelek saja moodnya. Kadang membuat capten berkali-kali harus berada di situasi meminta maaf meski tidak tau salahnya apa. Dan saya berkali-kali berada di fase menangis karena merasa bersalah.
Saya juga jadi mudah tersinggung. Apapun nasehat capten atau candaannya yang sebenarnya tidak perlu dimasukkan di hati, saya malah tersinggung. Dan itu bukan saya lampiaskan dengan marah tapi menangis. Merasa kepikiran dengan candaannya dan kemudian merasa menjadi istri yang buruk. Wkwkwk. Hingga drama demi drama pun lebih sering terjadi.
Karena ketidakstabilan emosi inilah yang juga awalnya membuat saya kadang sulit menerima dan merasa sering diabaikan capten. Saya yang lebih sensitif seperti tidak rela jika dia harus sangat sibuk di kantor. Parahnya, capten memang sedang memasuki masa-masa sangat sibuk di kantor karena pindah divisi. Butuh banyak penyesuaian karena tentu saja mekanisme kerja dan tugas-tugasnya adalah hal baru. Dia juga sedang dalam fase belajar beradaptasi dengan itu semua. Jadi tentu saja tidak bisa tidak sibuk untuk itu. Dan bagi saya, yang secara emosional sedang sangat membutuhkannya, namun di sisi lain saya juga masih berusaha berpikir logis, ini tentu melatih kesabaran saya. Yah, kami hanya berdua disini tak ada sanak keluarga. Jadi mau tidak mau dengan kondisi saya yang hamil, saya memang hanya akan bergantung padanya.
Saya memang hampir tidak pernah protes dengan segala sibuknya dan paham jika dia juga lelah jika pulang. Hingga kadang terkesan mengabaikan saya ketika dia pulang. Padahal sebenarnya, saya butuh ditanya, diperhatikan dan sebagainya. Sebenarnya saya paham itu. Tapi lagi-lagi, karena emosi yang tidak stabil, saya kadang suka menangis diam-diam. Beberapa ketahuan olehnya sebagian besar tidak. Karena saya menangisnya ya pas dia memang belum pulang atau ketika dia sudah tertidur. Wkwkwk. Awal menghadapinya, saya memang berpikir bahwa dia mengabaikan saya. Berpikir bahwa dia tidak benar-benar paham bahwa kehamilan saya butuh perhatiannya lebih. Merasa bahwa saya bukanlah prioritasnya dan bahkan terkesan menjadi beban. Kami pernah beberapa kali terlibat drama karena masalah ini. Awalnya karena dia bercanda saat menanggapi salah satu keluhan saya. Tapi karena emosi saya yang sedang tidak stabil, jadilah saya menangis. Hingga semua saya ungkapkan semua apa yang saya rasakan tentang sibuknya itu. Di drama lainnya saya juga tiba-tiba sudah sesenggukkan saja. Sudah banjir air mata. Setelah dibujuk baru mau mengeluarkan semua uneg-uneg saya. Bahkan drama berikutnya, saya pernah sangat marah (tapi tetap dengan menangis) karena perbedaan pandangan kami tentang akan lahiran dimana.
Yah, awalnya saya pikir sayalah yang mesti banyak sabar menghadapinya. Tapi ada beberapa drama yang saya yakin sebenarnya itu membuat capten kesal dan berusaha keras menahan diri. Seperti menghadapi mood saya yang terbang-terbang. Karena kadang saya suka terdiam tanpa alasan. Kesal tanpa alasan, tiba-tiba merajuk dan bahkan bertingkah sangat keras kepala tidak mau dibujuk yang saya yakin, jika saya di posisi capten, saya bisa gila dan menyerah. Hingga itu tadi, sering kali dia akhirnya berkata, "minta maaf dek kalo saya ada salah atau kata-kata yang bikin tersinggung." karena dia sudah mulai paham polanya. Bahwa kadang ada candaannya yang saya anggap mengiris hati. Padahal memang itu mood swing. Terjadi begitu saja. Tiba-tiba mood saya jelek tanpa alasan. Diam tanpa alasan. Hingga kadang saya pikir apa kehamilan membuat saya setengah waras?
Berjalannya waktu, kami berdua kembali menerima situasi ini dan belajar lagi. Saya menerima situasi bahwa meski saya hamil, saya juga harus menerima keadaan capten yang sedang sangat sibuk. Saya mengubah pola pikir. Bahwa jika saya tidak ikhlas dengan sibuknya, bagaimana lelahnya bisa bernilai ibadah dan berkah? Jika saya terus merasa dia lebih peduli pekerjaannya dibanding kondisi saya, bagaimana bisa dia selalu berusaha merelakan semua waktunya untuk siapapun demi harus segera pulang menemani saya? Jika saya terus merengut meski diam-diam, bagaimana dia bisa selalu merasa nyaman menjadikan saya tempat pulangnya? Bukankah karena sibuknya itu, saya juga hingga sekarang tidak ada hambatan di hal-hal lainnya. Dan jika saya lebih rasional lagi, saya akan mendapati bahwa dia pun tidak pernah tega membiarkan saya atau membuang waktunya diluar untuk bersenang-senang. Dia tidak pernah mengorbankan saya untuk hal-hal yang kadang dia juga butuh. Singkatnya, dia tetaplah capten saya yang sangat bertanggung jawab. Dan karena dia bertanggungjawab itulah makanya dia tidak bisa seenaknya saja mengabaikan pekerjaannya, bukan?
Di sisi capten, meski tidak bisa mewakili apa yang dia rasakan, saya tau untuk hal ini tentu berat baginya. Bagaimana dia yang terbiasa fokus satu hal harus belajar membagi fokus. Bekerja sambil memikirkan kondisi istrinya yang sedang labil emosinya. Wkwkwk. Tidak ikut tersinggung dengan sikap-sikap saya. Menerima kalo itu murni karena kondisi psikis hamil. Berusaha memilih kata-kata yang tidak membuat saya tersinggung jika sedang menjelaskan sesuatu. Dan yah, saya merasakan itu. Merasakan betapa capten benar-benar harus meredam ego dan emosinya selama menghadapi ketidakstabilan saya. Berusaha benar-benar membuat saya paham bahwa tentu saja dia tetap peduli dengan kondisi saya meski sedang sibuk.
Ketiga, masalah sikap protektif capten. Sebenarnya, ini bukan masalah. Bahkan kadang hal inilah yang membuat saya sadar untuk di masalah kedua. Bahwa saya tidak diabaikan. Tapi, lebih ke karena sikap sok jagoan dan keras kepala membuat saya memandang sikap protektif capten itu jadi masalah dan membuat sedikit terkekang awalnya. Atau karena cara menyampaikan yang justru membuat saya salah paham dan merasa sebaliknya. Selama hamil, capten lebih ketat dan lebih hati-hati dalam memberi saya ijin. Saya benar-benar hampir tidak bisa keluar rumah atau mengerjakan sesuatu tanpa pendampingannya. Jadi, saya hanya bisa keluar jika bersamanya atau bahkan dia memilih tidak mengikutsertakan saya.
Namun karena saya yang keras kepala dan kadang sok jago, saya kadang merajuk atau memaksa. Jika itu pekerjaan rumah, tentu saja saya masih bisa menang. Karena dia tidak bisa mengawasi dan saya berusaha membuktikan bahwa saya masih baik-baik saja. Lagian lama-lama dia juga menerima bahwa ada pekerjaan yang akan tetap bisa saya lakukan. Apalagi, ditambah dengan dia yang sedang sibuk-sibuknya makanya tidak terlalu bisa membantu dulu. Hanya saja dia memang sama sekali tidak mempermasalahkan jika saya tidak bisa dan tidak mau dulu mengerjakan.
Kalau kami keluar bersama dan harus naik transportasi umum seperti commuter line atau busway, dia lebih protektif dan terkesan menyebalkan. Apalagi saat memilih tempat duduk. Dia selalu ngotot bahwa saya harus dapat tempat duduk meski full. Sementara saya punya pertimbangan lain kenapa kadang menolak permintaannya untuk duduk. Seperti memang kondisinya sudah tidak bisa lagi atau saya lebih mengalah dengan orang yang lebih membutuhkan. Dan itu kadang membuatnya marah. Pokoknya saya harus aman. Tidak ada alasan. Apalagi kalau dia sudah mengusahakan. Sementara saya merasa belum perlu "diamankan" seperti itu. Kadang saya juga terkesan mengabaikan peringatannya.
Ditambah saya yang suka ceroboh, hal-hal diataslah yang kemudian jadi sangat protektif tentang ijin keluar rumah. Capten benar-benar ketat. Yang sebenarnya untuk kebaikan saya tapi saya salah pahami sebagai rasa terkekang karena ya dia pun sedang sangat sibuk jadi tidak selalu bisa menemani keluar. Menurut saya, harusnya masih bisa saya atasi sendiri. Bisa pergi sendiri. Tapi jadi sulit karena capten pasti tidak mengizinkan keluar sendiri. Hingga saya merasa ruang gerak terbatas. Dan beberapa drama juga terjadi karena masalah ini. Saya yang masih merasa bisa namun tidak bagi capten. Tapi saya juga tidak cukup berani untuk nekat pergi tanpa seijinnya.
Hingga beberapa kali saya harus menolak ajakan keluar atau menghadiri kegiatan yang ingin saya ikuti karena masalah ijin ini. Beberapa saya terima, kebanyakkan terpaksa terima, dan beberapa berakhir drama berdebat dulu. Pasalnya, ada beberapa kebijakan capten yang menurut saya tidak masuk akal. Apalagi jika itu ijin keluar yang tidak terlalu jauh dari rumah. Jadi kadang saya mesti membujuk dulu dan meyakinkan dia bahwa saya masih bisa dan tidak serapuh dan seceroboh itu untuk tidak diijinkan. Beberapa pertemuan teman juga dengan terpaksa harus batal atau saya tolak karena capten tidak bisa menemani atau mendadak tidak bisa menemani, sementara dia tidak akan mau kalau saya pergi sendiri. Nah, pembatalan-pembatalan itulah yang kemudian membuat saya kadang kesal dan terkumpul jadi satu. Hingga satu waktu kemudian ada lagi pertemuan dengan teman, saya membujuk dan merajuk. Yang akhirnya dengan sedikit berat hati, capten mengizinkan. Tapi kemudian mencabut kembali ijinnya di detik-detik terakhir saya akan berangkat, saya benar-benar marah. Sebenarnya dia mencabut ijin pun karena menimbang banyak hal. Parahnya dia juga marah. Apalagi, dia masih di kantor. Saya bertingkah. Karena ngambek, jadi saya mengabaikan semua usahanya untuk membujuk saya dari jauh. Mengabaikan telepon dan chatnya. Sebenarnya lebih ke tidak ingin berdebat atau membuat dia emosi karena dia sedang tidak di rumah. Dan memang karena saya kalau ngambek ya diam.
Tapi tentu saja saya tetap membatalkan janji. Sengambek apapun, saya tidak akan pernah berani nekat untuk melanggar aturannya. Teman saya sebenarnya sangat paham. Karena profesinya sebagai dokter. Saya saja yang memang tidak mau paham dengan sikap protektif capten. Ditambah ini adalah uneg-uneg yang sudah terkumpul. Betapa sulitnya saya keluar rumah sendirian selama hamil. Padahal sebenarnya masuk akal juga karena kebanyakkan ijin saya keluar itu pasti ke tempat jauh. Wkwk.
Hingga ia pulang, ngambek saya belum juga reda. Atau tepatnya tidak mau reda karena beberapa hal. Dia yang sempat menelepon untuk kembali menawarkan agar saya bisa pergi dengan ditemani olehnya yang merelakan bisa pulang lebih cepat, tapi saya malah marah karena menilai dia plinplan dalam memberi ijin apalagi saya kan sudah terlanjur membatalkan janji. Kedua karena setelah tau saya menolak, dia tidak segera pulang. Padahal kan tadi dia bilang bisa meninggalkan kantor lebih cepat. Apalagi dia tidak mengabari alasan dia tidak jadi pulang cepat. Padahal saya menunggunya untuk makan malam bersama karena yakin dia belum makan.
Lalu, ketika dia tiba, dan mendapati saya belum reda marahnya (padahal sebenarnya saya sedang berusaha meredakan setelah sebelumnya lagi-lagi saya menangis, wkwkwk) hati saya tambah sakit ketika dia juga memilih diam saat pulang. Tidak ingin makan dan sibuk sendiri. Padahal dia tau masalah saya terhadap makan dan susahnya saya makan. Kami malah saling mendiamkan. Saya keras kepala, dia juga sedang tidak ingin membujuk. Padahal kami sama-sama lapar. Wkwkwk.
Hingga nyaris pukul sepuluh, dia mulai bersuara. Apa saya sudah makan atau belum. Saya masih keras kepala menghindar bicara. Menghindar melihat dia. Tau saya belum makan jadi membuat dia akhirnya mengalah lagi. Berusaha membuat saya bicara dan menjelaskan alasannya mendiamkan. Alasan dia akhirnya ikutan marah. Hingga kemudian saya menangis lagi. Karena merasa terabaikan dengan caranya pulang lama tanpa kabar dan mendiamkan saya. Saya juga akhirnya buka suara tentang perasaan saya menghadapi sikap protektifnya yang saya nilai berlebihan selama saya hamil. Hingga saat itu, di pembicaraan itu, saya mendapat jawaban untuk kesemua masalah saya selama hamil ini. Dengan suaranya bergetar dan sesekali harus melap ingus dan airmata saya yang bersaingbtumpah ruah, saya mendapat jawaban dari kegundahan saya tentang "apakah saya tetap berharga untuknya meski dia sibuk?" dan juga semua pikiran-pikiran negatif saya tentang dia selama ini yang sedang sibuk disaat saya butuh dia.
Saya tidak bisa lupa dengan percakapan itu. Yang benar-benar meruntuhkan keras kepala saya, sok jago, dan merasa terabaikan. Bahwa alasan protektifnya justru sangat masuk akal. Dan karena sangat tau watak sayalah yang membuat dia seprotektif itu. Kecerobohan saya, sikap.mementingkan orang lain, tidak memedulikan kondisi sendiri, memaksakan diri meski sebenarnya tidak bisa. Hal-hal itulah yang membuat dia berat memberi ijin saya keluar sendirian. Bahkan jika itu hanya untuk belanja di alfamart yang jaraknya 900M dari rumah. Wkwkwk. Ya, karena saya memang selalu punya potensi membahayakan diri sendiri.
Dengan berusaha keras, dia memilih kata-kata yang baik untuk menjelaskan. Agar saya tidak salah paham dan tersinggung. Terlebih dia juga tidak mau saya mengira bahwa yang dia lakukan semata-mata karena dia memikirkan bayinya saja. Karena kenyataannya, sayalah yang dia khawatirkan. Kondisi saya. Dan bahkan malam itu, dia juga sukses menegur saya tanpa membuat saya tersinggung. Saya benar-benar tersentil. Dan juga tersentuh. Bahwa memang sayalah yang egois. Hanya memikirkan diri saya. Lupa kalau saya sudah tidak sendiri. Saya punya amanah dalam kandungan yang harus saya jaga. Bahwa keras kepala dan segala tingkah saya bisa jadi akan membahayakan diri saya sendiri dan janin saya. Bahwa sayalah, yang belum menerima sepenuhnya kondisi hamil ini.
Makanya, di malam itu saat dia menjelaskan semuanya, menjelaskan alasan dia marah dan menegur saya yang masih mode mogok makan hanya karena ngambek, saya benar-benar merasa bersalah. "Ingat dek, tidak sendiri meki. Ingat perjuangan ta sampai bisa ki dapatkan itu amanah. Haruski jaga itu. Jangan ki egois ikuti mauta tidak mau makan atau merasa bisaki melakukan sesuatu. Utamakan orang lain padahal kita lebih butuh. Karena memang kondisi ta sekarang memang berhak untuk itu. Bukan untuk kekang ki apalagi sampai berpikir kalau adek repotkan saya. Haruski terima itu." itu sedikit dari banyak nasehat capten yang bikin saya sangat tersentil.
Yah, saya hamil. Saya bahagia. Tapi saya ternyata belum belajar memaknai apa arti sebenarnya dari menerima kehamilan itu hingga kata-kata capten menyadarkan saya tentang banyak hal. Bahwa di tiap proses kehamilan wanita, akan banyak hal yang harus ia terima dan korbankan. Mungkin sama seperti saat seorang pria mengucapkan ijab kabul. "Saya terima nikahnya". Bahagia. Tapi ada tanggung jawab dan pengorbanan besar yang akan dia hadapi. Begitu juga resikonya. Dan dia harus benar-benar paham arti kata menerima itu.
Begitu pula saat wanita menerima kehamilan. Tanggung jawab dan pengorbanan besar telah menantinya. Berikut resikonya. Dan pada fase saya, sedikitnya hal-hal seperti diataslah yang tengah saya hadapi. Sebenarnya masih ada banyak cerita. Tapi terlalu panjang untuk dijelaskan satu-satu. Yang terpenting, lagi-lagi ini tentang meredam ego. Di satu sisi, saya harus terima untuk bisa mandiri dan tetap waras berpikir ditengah-tengah pergolakkan hormon yang membuat saya selalu membutuhkan capten padahal dia juga tengah sibuk. Di sisi lain, saya juga harus menerima situasi bahwa saya tidak bisa selalu sok jago melakukan dan bertindak sesuatu sendirian. Selalu berpikir dampaknya untuk saya dan janin.
Sama seperti capten sebagai partner saya. Dia juga harus menerima banyak hal berubah. Tanggung jawab yang lebih besar. Dan perhatian yang akan lebih terbagi lagi. Berat memang untuknya. Tapi sebagai laki-laki yang telah merasa sanggup berujar "saya terima nikahnya", tentu dia harus paham dengan resikonya. Dan sampai waktu ini, saya merasakan bahwa penyesuaian itu tidak saja dilakukan oleh saya tapi juga dia. Yang artinya, bukan hanya saya yang berjuang memaknai arti kata menerima. Dia juga.
Karena ini sudah bukan hanya tentang saya dan capten lagi. Tapi juga tentang calon anak kami. Dan semakin kesini, saya mulai paham kenapa wanita yang memiliki harapan menjadi ibu diminta menyiapkan diri puluhan tahun sebelumnya. Ya karena saat hamil, kau bahkan akan sangat sulit mengontrol diri dari efek "perubahan hormon" itu. Sembilan bulan tidak akan cukup untuk belajar bagaimana menjadi orangtua yang baik. Karena ternyata, justru kita lebih dipusingkan dengan hal-hal yang sebenarnya remeh tapo jadi kelihatan berat. Masalah makan, kontrol emosi, mood, menjaga kewarasan, mengontrol ketergantungan dengan suami. Belum lagi ditambah was-wasnya kita dengan perkembangan janin. Baikkah? Belum tentang persiapan lahir.
Jadi, sembilan bulan memang tidak cukup untuk menguasai ilmu parenting yang sebenarnya tidak kalah pentingnya. Akan jadi sosok seperti apa kita di mata calon anak kita. Dan kebiasaan baik apa yang kelak ingin kita tanamkan. Sementara selama hamil kita lebih dipusingkan masalah menjaga asupan makan. Maka, demi sedang berada di posisi ini tanpa bermaksud mengecilkan wanita yang belum dan tidak merasakannya, bahwa kehamilan itu tidak sekedar menerima saja. Ini salah satu fase berat yang menuntut segala ilmu sabar, tanggung jawab dan banyak pengorbanan. Untuk mempersiapkan seorang manusia. Sadar atau tidak, pasangan suami istri yang diberikan amanah anak itu memang tengah mempersiapkan sebuah peradaban baru. Tentang manusia seperti apa yang kelak mengisi dunia ini. Dan tentu saja itu tidak bisa dengan hanya membuat kita berputar pada masalah makan dan mood selama hamil. Wkwk.
Lalu, apa saya dan capten sudah benar-benar bisa mengatasinya? Tentu tidak. Meski di tiap harinya, kami tentu saja jadi lebih tau dan belajar. Dan memang kami harus terus belajar. Banyak-banyak mengalah, banyak sabar, banyak bersiap dengan segala kemungkinan baik buruknya, banyak memaklumi, dan pada proses kami, "minta maaf" dan "terimakasih" menjadi hal yang lebih sering kami ucapkan di penutup hari. Dan itu melegakan. Saya bisa menerima segala kesibukannya, dan tetap berusaha menjadi tempat ternyamannya saat pulang. Menjadi yang akan selalu memeluknya dalam situasi apapun dan saat dia benar-benar lelah dengan semuanya. Itu membuat saya lebih bisa mengontrol diri dan emosi. Karena dengan begitu, saya juga bisa sadar dan merasa bahwa sesibuk apapun, dia tau akan kemana dan kepada siapa tanggung jawabnya sekarang. Dia belajar sabar untuk menghadapi segala "mellow-drama" saya selama hamil, dan belajar untuk tau tanggung jawabnya agar terus mendidik saya menjadi madrasah pertama yang baik bagi anak-anak kami kelak.
Dan saya tau, berat memang bagi wanita dalam menghadapi fase hamil ini. Tapi tidak kalah beratnya bagi pasangan kita yang notabene makhluk dengan dominan logika itu menghadapi segala tindak tanduk kita. Memaksa mereka untuk kali ini berpikir dengan cara kita. "Pake perasaan." menuntut mereka untuk memaklumi bahwa "perubahan hormon" itu nyata bung! Bukan mitos atau dibuat-buat. Jadi tolong bersabar dan mengertilah. Wkwk.
Dan untuk segala mellow drama saya yang masih akan berlanjut dibulan-bulan berikutnya, dua hari lalu saya iseng nanya ke capten ketika di ruang tunggu cek up bulanan kehamilan, "kak, nanti mau kb gak?". Dia yang sedang main mobile legend tapi tau alasan saya tiba-tiba bertanya begitu menggeleng mantap sambil menjawab tegas, "tidak."
Okey. Let's see. Itu artinya dia siap untuk segala drama-drama berikutnya yang mungkin saja akan lebih pelik dari drama indos*ar sekalipun. Wkwkwk.
Selamat tanggal enam. Selamat saling belajar untuk semua calon orang tua yang diberikan amanah. Semoga kita benar-benar bisa memaknai arti dari menerima kehamilan ini. Tidak sekedar menerima dan berbahagia. Tidak sekedar menerima dan kemudian menuntut untuk sepenuhnya di mengerti. Karena percayalah, bagi pria pun, ini juga hal baru yang butuh penyesuaian dan pemakluman. *nurlail.
0 notes
Text
Cerita Tanggal Enam (14) *Terbiasa*
Menerima dan menyesuaikan kebiasaan. Adalah hal yang setahun belakangan terus saya dan capten lakukan. Normal saja sebenarnya bagi siapapun menjalani kehidupan rumah tangga. Mengurus dan diurus. Yang mungkin akan terus menerus dilakukan selama rumah tangga itu sepakat dijalankan. Pada prosesnya, tentu saja kita masing-masing semakin terbiasa. Entah terbiasa menerima atau terbiasa menyesuaikan. Bahkan tak jarang juga terbiasa diperdebatkan. Apapun efeknya, tetap saja masing-masing kita akan terbiasa. Begitupun saya dan capten.
Karena terbiasa, kadang kita bahkan tak sadar bahwa semua kebiasaan pasangan sudah menjadi bagian dari diri kita. Yang terbiasa kita hadapi. Yang terbiasa kita sesuaikan. Dan tentu saja yang kemudian mau tidak mau harus kita terima. Suami atau istri juga akan terbiasa saling mengurus dan diurus. Pada porsi masing-masing. Di dua minggu kemarin saya banyak sadar bahwa bagaimana kehidupan pernikahan saya selama setahun belakangan memang membuat saya di satu sisi terbiasa mengurus dan di sisi lain terbiasa diurus. Singkatnya, semua hal dalam hidup saya sekarang terkait erat dengan capten. Mengurusnya dan diurus olehnya. Menyesuaikan dan menerima kebiasaannya dan menyesuaikan kebiasaan saya.
Pada hidup saya dan capten yang benar-benar cuma berdua di perantauan, tak ada sanak saudara terdekat, bahkan teman-teman pun jauh dari kami. Tetangga sekitar juga kebanyakan sudah sepuh. Saya dapati bahwa saya memang benar-benar hanya bergantung pada capten. Untuk segala aspek. Saya bahkan mendapati mulai merasa berat hati jika keluar rumah tidak didampingi olehnya. Karena dia membiasakan saya seperti itu. Padahal dulu saya senang-senang saja melakukan apapun sendiri. Keluar rumah dan mengurus banyak hal diluar sendirian.
Dulu, kami kadang mesti berdebat dulu jika saya ngotot mengurus atau berpergian sendirian tanpa didampingi olehnya. Dia yang mulai paham bagaimana saya bisa sangat ceroboh diluar, harus diyakinkan berkali-kali jika di satu waktu saya ingin mengurus sesuatu di luar rumah sendirian. Jalan atau berpergian kesuatu tempat. Meski itu dekat saja dari rumah. "Tunggu saya dek", "Sama saya saja, dek", "Nanti saya saja dek" adalah jawaban tegas capten jika saya meminta izin untuk keluar dan setelah diskusi kecil, dia tiba di kesimpulan bahwa saya pasti akan melakukan hal yang mengkhawatirkan lagi jika dibiarkan sendiri.
Sedang saya dengan maha sok berani dan mandiri, yang memang dulu terbiasa melakukan hal-hal sendiri meski saya sadari kecerobohan yang kadang keterlaluan, suka berkeras bahwa saya bisa melakukan sendiri. Meski hingga sekarang perdebatan kecil diantara kami saat saya akan keluar sendiri tetap terjadi, tapi di sisi lain saya kemudian terbiasa. Merasa aneh jika keluar tanpa didampingi olehnya, dan mulai berpikir, "seandainya ada capten" saat saya mendapat izin keluar sendiri dan ternyata saya memang melakukan kecerobohan diluar sana.
Pernah karena akan menghadiri aqiqah anak teman di besoknya, saya merasa perlu mecari sebuah hadiah kecil. Dan saya tau bisa melakukannya sendiri karena capten juga sedang di kantor. Sekalian jalan-jalan sebentar pikirku. Mengingat beberapa bulan belakangan saya tak pernah lagi berbelanja apapun sendirian. Pasti ada capten. Pasti dengan capten. Lagipula mallnya juga dekat dari rumah. Cuma lima menit naik pete-pete. Izin juga mudah saya dapat dari capten. Ya karena mallnya dekat. Dan saya sudah pernah pergi sendiri tanpa melakukan sesuatu hal yang mengkhawatirkan. Entahlah apa yang ada dibenak capten. Tapi, setahun berumah tangga, saya pelajari bagaimana secuek apapun dia, pasti akan selalu resah jika tau saya berpergian sendiri. Meski itu tak jauh dari rumah. Separah itukah kecerobohan yang bisa saya lakukan sampai selalu membuat dia resah jika keluar sendiri? Atau karena kondisi saya beberapa bulan belakangan yang membuat dia berpikir sangat berbahaya jika membiarkan saya keluar sendirian. Entahlah. Tapi saya sama sekali tidak merasa risih. Meski kadang tiap akan keluar sendiri saya harus berusaha keras meyakinkan dia bahwa saya bisa. Wkwk.
Namun, yang terjadi kemudian adalah saya harus mengalami insiden salah naik pete-pete yang membuat saya kesasar. Hingga perjalanan lima menit ke mall itu justru saya tempuh menjadi nyaris satu jam. Ceroboh saya kumat. Sebenarnya tidak masalah saya kesasar. Sudah biasa. Saya memang begitu. Toh, saya pasti bisa menyelesaikannya. Bahkan menikmati momen bisa berjalan ke tempat baru meski harus kesasar dulu. Tapi saat itu saya malah khawatir ketahuan capten dan membayangkan dia menggerutu seperti ini, "Inilah kenapa adek ndak bisa dibiarkan keluar sendiri!"
Saat tiba di mall dan memilih hadiah juga. Saya memutuskan membeli beberapa kebutuhan rumah yang sudah habis. Kebetulan sedang disitu kan. Dengan pede saya mengambil keranjang besar. Mengambil segala hal yang saya rasa penting. Hingga beberapa menit berkeliling, saya kemudian menatap kembali barang belanjaan. Berpikir sebentar, kemudian berkeliling lagi untuk mengembalikan beberapa barang. Bahkan setelah itu saya mengganti keranjang belanja saya menjadi yang lebih kecil. Kenapa? Ya karena saya kemudian berpikir, "seandainya ada capten."
Tangan saya kecil dan lemah. Saya ceroboh dan ribetan. Ditambah kondisi saya saat itu yang tidak boleh terlalu sombong bisa mengangkat segalanya. Dulu sih, saya suka sok kuat. Waktu masih kuliah dan ngekos, galon saja saya bisa angkat kok. Tapi sejak menikah, meski saya suka protes jika capten mengambil alih semua apa-apa untuk dipegang saat kami berbelanja atau berpergian, dan sebisa mungkin tidak membuat saya memegang apapun, lama-lama itu menjadi kebiasaan. Kesannya manja sih. Dan memang, saat sendirian itu, yang harusnya sebenarnya mudah saja. Tinggal menerbitkan kembali jiwa sok kuat dan sok bisa saya. Tapi saya malah berharap ada capten. Barang-barang belanjaan itu saya kurangi banyak dan sebisa mungkin mengambil yang paling penting saja. Sesuai kapasitasku. Sebenarnya bisa saja saya ngotot merasa bisa membawa semua. Tapi bayang-bayang capten yang akan menegur membuat saya tidak mencoba sok.
Itu saja, sudah sukses membuat saya ngos-ngosan saat tiba di rumah. Padahal barang belanjaannya sudah dikurangi tadi, tapi tetap saja saya merasa ribet dan keberatan. "Seandainya ada capten." Yeah, tangan saya memang kecil dan lemah. Tapi saat itu saya pertama kalinya membenarkan kelemahan itu. Apalah saya tanpa capten yang mengambil alih semuanya. Hiks. Saat menceritakan yang terjadi hari itu pada capten, dia memandangi saya sambil menggeleng khawatir. Biarlah di besok-besok dia kembali protektif dengan mempertimbangkan memberi izin boleh tidaknya saya keluar sendirian lagi.
Mungkin kebiasaan buruk saya itulah yang membuat dia berulang kali mengatakan tidak akan membiarkan saya berpergian naik pesawat sendirian. Kecerobohan yang kadang membahayakan diri sendiri dan betapa saya susah sekali ngomong kalau sedang kenapa-kenapa, bahkan tidak ingin merepotkan orang lain termasuk dia. Hingga kemarin, kami sampai harus diskusi dan berdebat berhari-hari hanya untuk satu hal. Pulang ke Makassar.
Rencana pulang ke Makassar memang sudah kami bicarakan jauh-jauh hari. Namun, selalu terbentur di kapan, bagaimana dan estimasi waktunya. Masalahnya, dia akan diklat selama dua minggu. Dilemanya adalah, dia berencana tidak akan pulang ke rumah selama diklat itu. Makanya, dia menginginkan saya pulang duluan ke Makassar tapi tidak mau saya pulang sendiri. Dia juga tidak akan membiarkan saya sendirian di rumah selama dia diklat. Sedang saya berpikir, jika saya tidak diizinkan naik pesawat sendiri, ya saya juga tidak masalah jika harus sendirian dulu di rumah sambil menunggunya selesai diklat.
Tapi bagi dia tidak boleh begitu. Saya tidak boleh sendirian di rumah. Sementara saya menolak opsi untuk memanggil teman menemani saya di rumah. Saya juga sebenarnya agak keberatan jika harus pulang duluan ke Makassar. Bukan karena apa, tapi lebih ke mengkhawatirkan dia yang sendirian disini. Saya tau kebiasaannya. Dan membiarkan dia sendiri saat dia sedang sangat sibuk adalah petaka bagi saya. Yah, anggap saja saya sudah terbiasa mengurusnya. Tau kebiasaan bangunnya, dan segala hal yang mesti saya bantu. Padahal memang jika dilihat lagi, antara saya yang dibiarkan sendirian atau dia, lebih mengkhawatirkan saya. Tapi saya berkeras. Dia juga. Jadilah kami berdebat. Hingga setelah ditemukan titik tengahnya, saya akhirnya pulang duluan ke Makassar. Ini juga karena dia tau saya akan pulang bersama kakak ipar saya (kakaknya) dan suaminya yang juga akan pulang ke Makassar dari Jambi dan transit di bandara Jakarta.
"Setidaknya ada yang bisa bantu adek urus koper di bandara." Kata capten. Nah kan. Lagi-lagi kelemahan saya dijadikan alasan. Meski itu benar. Saya akui sedang tidak bisa mengurus barang seberat itu sendirian. Saya pasti butuh bantuan. Dan saya sudah terbiasa diurus sama capten. Ya, itu kali pertama kami LDR lagi setelah punya "rumah" dan kehidupan sendiri. Dan saya sadari betapa setahunan ini, kami berdua telah terbiasa menerima dan menyesuaikan. Mungkin di pihak saya tidak terlalu terasa. Karena saat pulang di Makassar, saya banyak yang menemani.
Entah bagaimana di benak capten. Tapi saya memang banyak sadar, betapa kebiasaan saya membuat dia banyak terbiasa. Kemarin saya selalu berpikir bagaimana setahun belakangan saya mengurus bayi besar bernama laki-laki. Bagaimana seorang laki-laki saat mmenikah jadi banyak bergantung pada perempuan. Hingga pada hal-hal kecil. Semua diurus. Lelaki menjadi makhluk paling manja. Yang bahkan letak kunci motornya pun istri lebih tau.
Saat jauh kemarin, saya sadari bahwa saya pun ternyata adalah bayi besar capten. Yang selalu membuatnya khawatir. Padahal, selama ini saya tau dia itu cuek. Apalagi saat sibuk dengan kerjaan. Saya kemudian paham kenapa dia berkeras tidak akan membiarkan saya sendirian terlalu lama. Walau itu di rumah kami. Meski saya berkali-kali meyakinkan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Justru saya lebih khawatir dengan kondisinya. Yeah, saya tetap angkuh tidak akan mau merepotkan dia. Bahwa saya sangat aman meski tidak bersamanya.
Toh selama di Makassar saya juga bersama keluarganya. Tidak ada yang perlu dikhwatirkan. Sayalah yang tiap malam tidak lupa mengingatkan agar hapenya aktif terus. Biar paginya saya bisa bangunkan. Karena memang begitu. Setahun ini, sayalah yang bertugas membangunkannya. Memastikan dia tidak telat bangun atau ke kantor. Malam pun begitu. Diantara kami berdua, sayalah yang terakhir tidur. Memastikan dia tidak kedinginan dan tidak berantakan, tidak gelisah atau kesakitan karena posisi tidurnya yang kadang seperti sedang karate sambil tidur. Wkwk.
Ya, selama menunggunya menyusul ke Makassar, dan selama dia belum mulai diklat, saya selalu dikhawatirkan hal-hal itu. Dia yang suka terlupa semua termasuk makan dan minum jika sedang sangat sibuk, dia yang susah bangun, dia yang sering pegal-pegal dan lain-lain. Pakaiannya yang mungkin belum rapi. Makanya sebelum berangkat ke Makassar, semua pakaian kantornya dari senin sampai jumat sudah saya siapkan dan setrika rapi. Sudah diatur sesuai harinya. Memastikan pakaian dalamnya tersedia, dan hal-hal lainnya yang terbiasa saya siapkan. Dia bayi besar. Semua harus disiapkan. Pikirku.
Hingga saya paham, bahwa di pihaknya pun dia juga harus memastikan banyak hal tentang saya. Bahkan saya mungkin lebih merepotkan. Saya yang awalnya merasa marah karena dia menyuruh saya pulang duluan saja ke Makassar, jadi paham bagaimana dia lebih mengkhawatirkan kondisi saya. Sangat jauh berbeda dari saat kami LDR-an di awal nikah dulu. Dia yang selalu mengecek via telepon untuk memantau kondisi saya. Bahkan sampai perlu menanyakan kebenarannya ke mamanya atau kakaknya. Apa saya benar sehat-sehat saja. Dia yang akan menelepon ke nomor kakaknya agar menyuruh saya mengecek hape. Saya memang jarang pegang hape saat tiba disana. Jadi kadang teleponnya tidak saya dengar. Kadang saya kikuk juga jika kakak ipar mengingatkan saya untuk mengecek hape. "Nanti Abdul nelepon". Atau bertanya, "Abdul ya?" dengan tampang sedikit menggoda jika saya selesai menelepon. Serasa pengantin baru saja. Padahal dia dan suami lebih baru dari kami. Sekilas bagi kalian yang berumah tangga, itu biasa saja. Tapi bagi saya tentu saja luar biasa. Saya tau pola kami. Dan rajin menghubungi karena khawatir adalah sesuatu yang luar biasa tentu saja.
"Karena kalo ditanya langsung, pasti bilangnya baik-baik saja. Padahal ternyata tidak." katanya, saat saya bertanya kenapa sampai harus bertanya pada kakaknya tentang kondisi saya yang sebenarnya. Wkwk. Saya tersentuh tentu saja. Bagaimana seorang capten, suami saya, bisa menampilkan sisi yang itunya saat kami LDR-an. Padahal menurutku, saya sudah banyak mengeluh dan membuat khawatir. Terlalu sering merengek minta diperhatikan. Tapi melihat sikapnya, kok ya kesannya saya ini cuek dan santai saja jauh darinya? Padahal, hati saya sudah koyak menghitung tiap jam dan hari menunggu dia menyusul ke Makassar. Ceileh!
Pernah di satu pagi, dia menelepon dan menanyakan saya ada dimana, apa saya baik-baik saja. Kenapa saya tidak menelepon. Yang membuat saya heran karena bukannya kemarin saya sudah lengkap memberi info tentang kegiatan saya? Kenapa sepagi ini malah dia menelepon dan bertanya saya dimana dan apa saya baik saja? Dan kemudian saya menyadari, bahwa subuh itu memang saya tidak telepon dia seperti kemarin-kemarin. Tidak membangunkannya. Rupanya, kebiasaan itu membuat dia terbiasa. Makanya dia bingung kenapa pagi itu tidak ada telepon dari saya. Takut terjadi apa-apa. Hebat bukan dampak dari keterbiasaan itu?
Hingga kami pulang kembali ke perantauan, setelah tentu saja diskusi dan kesepakatan panjang. Dia sebenarnya masih ada diklat seminggu lagi saat kami kembali. Makanya, saya sempat disuruh tinggal dulu di Makassar. Atau kalaupun harus ikut kembali, saya harus ada teman di rumah. Namun, karena ternyata kakaknya lebih duluan balik ke Jambi, yang berarti saya bakal sendirian naik pesawat jika tidak ikut pulang bersamanya. Makanya saya diperbolehkan ikut kembali ke rumah kami. Saya meyakinkan dia bahwa saya akan baik-baik saja sendiri. Kan cuma lima hari. Tapi kemudian saya bersyukur juga karena dia menyempatkan satu dua hari nginap di rumah menemani saya.
Padahal, saya kadang terbiasa ditinggal sendiri kalau dia piket malam. Tapi memang cuma semalam. Malam dia berangkat, paginya dia sudah di rumah. Beda saat diklat. Ditinggal pagi, dan baru pulang di besok malamnya. Karena sudah sepakat dan saya meyakinkan dia agar tidak khawatir, tentu saja sebisa mungkin saya menyembunyikan rasa rindu. Berusaha tidak menghubunginya. Karena mulai paham bagaimana meski keliatannya cuek, rasa khawatirnya bisa sampai mengganggu kerjaan atau aktifitasnya. Katanya bisa sampai tidak konsen. Ya, makanya rindunya diredam. Tidak seperti saat di Makassar kemarin, yang kadang saya chat dia hanya untuk bermanja-manja sedikit, mengeluh sedikit, bertanya kabarnya. Tapi selama kembali disini, saya berusaha untuk membuatnya berpikir saya bisa mandiri. Padahal ketahuilah, hati ini rapuh. Wkwk.
Bahkan kebiasaannya yang kadang membuat saya kesal setengah mati, justru dirasa hilang dan dirindukan. Tidak ada yang dibangunkan di subuh hari, tempat tidur jadi sangat rapi sepanjang hari. Karena hanya dia yang membuat tempat tidur berantakan dengan tidurnya yang macam sedang karate. Tidak ada yang menaruh sembarangan tusuk telinga setelah dipakai. Tidak ada jejak-jejak basah kakinya yang keluar dari kamar mandi. Handuk basah yang digantung di pintu lemari pakaian. Tidak ada yang kelabakan ke kamar mandi sambil minta tolong tas kerjanya dibereskan. Yang dulunya paling malas memperhatikan baju kantor meski kusut, tapi sekarang selalu minta disetrika rapi. Wkwk. Ya, dia jadi terbiasa ikutan rapi juga. Terbukti saat kembali dari Makassar, saya mendapati rumah lebih rapi. Padahal sebelum pulang memang saya sudah beberes besar-besaran. Biar tidak ada pekerjaan rumah yang bakal membebaninya selama saya tidak ada. Tapi tidak menyangka dia menyempurnakannya dengan sangat apik. Sampai saya senyum-senyum sendiri mendapati rumah yang sangat rapi meski ditinggal dua minggu. Cucian bahkan beres semua. Sudah dia lipat dan rapikan di lemari. Sampah pun tidak ada sedikitpun. Isi kulkas bahkan benar-benar beres dan kosong.
Padahal cuma sepuluh hari kami LDR dan ditambah lima hari dia diklat dimana dua hari diantaranya dia nginap kok di rumah. Tapi tetap saja saya kehilangan banyak kebiasaan. Bahkan kebiasaan paling menyebalkan sekalipun. Entah karena terbiasa atau karena kami memang masih kategori pengantin baru. Jadi saya mellow galau begini pas harus LDR lagi. Atau sekali lagi, ini karena hormon? Wkwk.
Entahlah, apapun alasannya. Saya yakin masing-masing rumah tangga juga akan merasakan hal yang sama. Belajar hal yang sama. Membiasakan dan menerima semua kebiasaan pasangan. Terus-terus menyesuaikan. Kadang kala pasti ada rasa jengkel, dan ego yang terlalu meluap, merasa tidak cocok dengan kebiasaan itu. Tapi di satu waktu saat tidak bersama karena keadaan, yakin saja bahwa kita justru kehilangan. Rumah seperti ada yang kurang. Dan demi apapun, saya merindukannya. Meski di besok-besok semua akan normal lagi. Dan segala hal yang biasa kami perdebatkan akan kembali berputar, bahkan akan lebih banyak lagi hal lain yang akan membuat kami saling terbiasa dan belajar lebih keras menerima.
Tidak apa. Kadang, momen-momen berpisah sementara seperti ini akan membuat kita banyak sadar. Bahwa sekesal dan semenyebalkan apapun kebiasaan pasangan, seberapa besar mengkhawatirkannya itu, tetap saja karena terbiasa kita akan mencarinya. Akan merasa janggal jika itu tidak terjadi. Merasa lain dan sepi. Di besok-besok, mungkin tulisan-tulisan ini akan meredam rasa kesal saya jika merasa mulai tidak bisa menghadapinya. Ya, karena perempuan begitu kan? Selalu melupakan semua hal baik yang ada pada suaminya hanya karena kemarahan atau kekesalan kecil.
Jadi pengingat, bahwa capten pun selalu berusaha terbiasa dengan saya. Yang hanya dia yang tau seberapa menyebalkan dan mengkhawatirkannya wanita yang mendampinginya ini. Seberapa ceroboh dan merepotkannya istrinya ini. Dan seberapa sangat tidak sempurnanya dia sebagai pendampingnya. Capt, terimakasih ya karena sudah mau belajar terbiasa. Terimakasih telah menerima saya yang banyak kurang ini. Maaf kalau sewaktu-waktu saya terlalu menyebalkan dan sok perfeksionis mengatur dan mengurus rumah tangga kita. Hihi. Selamat tanggal enam. Sampai berjumpa sebentar malam.
0 notes
Text
Apa Lagi?
Apa lagi yang saya harapkan dari menjadi ibu yang fakir ilmu seperti saya?
Apalagi yang saya harapkan dari menjadi orangtua yang imannya sering turun seperti saya?
Apalagi?
Nak, maafkan kami. Yang masih jadi pendosa dan pengabdi dunia. Maafkan kami yang masih banyak kurang untuk mengajarkanmu kelak.
Apalagi yang kami harapkan?
Padahal, inginnya kami kelak kamu menjadi amal jariyah kami.
Inginnya kami kelak menjadikanmu penolong di akhirat nanti.
Tapi apa lagi yang diharapkan dari orangtua yang jauuh dari sempurna?
Nak, maaf. Bahkan jika kami memang bukan yang terbaik. Semoga kami tetap berusaha menanamkan semua yang dasar padamu.
Tentang mencintai Allah melebihi apapun.
Mengutarakannya melebihi apapun.
Mengingatnya melebihi apapun.
Nak, semoga kami kelak bisa menanamkan ini. Bahwa tak ada urusan dunia yang lebih penting dari adzan.
Tak ada, nak! Kau harus tau, bahwa ketika adzan berkumandang, hentikan semua apa yang kau kerja. Hentikan semua! Penuhi panggilan-Nya.
Shalatlah dulu!
Nak, jika hanya itu yang bisa kami tanamkan. Biarlah! Setidaknya dengan membuatmu menjaga shalatmu, kau akan paham bahwa tak ada di dunia ini yang layak dipentingkan dibanding Allah.
Tak ada satupun aktifitas dunia yang boleh merebut penghambaan kita pada Allah. Karena hanya dengan begitu, kau akan mencapai akhiratmu, namun sukses juga duniamu.
Karena bukankah kau di duniapun karena kehendak-Nya?
Nak, kumohon. Untuk ibumu yang masih miskin ilmu ini, ingatlah ini! Jaga shalatmu! Jaga! Agar Allah juga selalu menjagamu.
Jaga shalatmu! Jaga! Karena itulah penolongmu kelak.
1 note
·
View note
Text
Cerita Tanggal Enam (13) *Lagi-lagi, Komunikasi (berkabar) itu penting
Sampai disini, saya sudah cukup sadar bagaimana salah satu hal yang akan melatih kesabaran wanita saat berumah tangga adalah mengulang-ulang saat mengingatkan sesuatu. Sementara di sisi lain, pria itu umumnya ingatannya berumur pendek. Atau memang mereka kadang menganggap sepele saja hal yang diingatkan itu. Padahal, versi wanita itu sudah sangat penting. Dan, di tahap ini juga saya sadar betapa slogan "komunikasi itu penting dalam berumah tangga" itu bukan slogan remeh. Bukan slogan yang sekedar slogan. Cara kita kemudian mengaplikasikannya akan benar-benar berdampak. Dan demi apapun, ketahuilah hai kalian yang akan berumah tangga. KOMUNIKASI ITU PENTING. Bukan sekedar ngobrol yah. Keterbukaan. Semua harus dibicarakan. Apalagi wanita yang kadang banyak minta. Sedang pria yang kadang ingatannya payah. Jadi mengulang-ulang sesuatu hal yang dirasa penting memang mau tidak mau harus dilakukan. Biar tidak terjadi 'miss communication' atau 'miss understanding'. Baiklah, saya dan capten memang baru seumur jagung berumah tangga. Tidak bisa dengan sok bijaknya memberi nasehat. Tapi, anggap saja ini berbagi pengalaman. Di awal-awal cerita tanggal enam, saya sempat bercerita betapa saya dan capten tidak terlalu mempermasalahkan komunikasi yang tidak intens saat kami masih jarak jauh. Tidak harus sering berkabar. Meski saya juga bilang, bahwa itu tidak menjamin kalau itu terus akan tidak jadi masalah jika kami hidup bersama. Tidak jarak jauh lagi. Dan memang, di cerita tanggal enam selanjutnya ketika kami sudah tinggal bersama, saya kemudian mulai merasakan betapa pentingnya berkabar. Betapa banyak hal dan kebiasaan yang harus berubah sejak kami tinggal bersama. Saya juga sebenarnya sadar. Bukan sepenuhnya kesalahan capten jika dia kadang lupa mengabari. Atau tepatnya memang tidak berencana mengabari. Lagi-lagi, ini masalah keterbiasaan. Saya memang jarang komplain tentang hal-hal begini. Apalagi, kami memang bukan pasangan penganut berkabar pagi, siang, sore, malam. Jika dia di kantor, kami nyaris tak pernah komunikasi. Kecuali ada hal yang sangat penting. Saya tidak pernah mengingatkan dia untuk makan, atau bertanya sedang apa, dan pertanyaan remeh lainnya. Dia juga begitu. Saat jarak jauh pun begitu. Jika salah satu dari kami melakukan hal itu, berarti ada yang terjadi sebelumnya. Entah ada yang habis sakit atau kejadian lain yang membuat kami besoknya akan bertanya kabar jika salah satu atau keduanya sedang tidak bersama. Selebihnya, ya kami saling membiarkan. Bahkan saya tidak punya satupun kontak teman kantornya yang dijadikan cadangan jika suatu saat saya tidak bisa menghubunginya untuk sesuatu yang penting. Yang lebih parah, kami berdua memang tidak saling mengingat nomor telepon masing-masing. Untuk beberapa saat, ini tidak jadi masalah. Kami bisa hidup baik-baik saja meski tak intens berkabar. Saya juga tak pernah khawatir berlebih kalau dia telat pulang. Karena memang jam pulangnya susah diprediksi. Dan percayalah, ini tidak keren atau bisa dibilang kami hebat dalam hal mempercayai satu sama lain. Ini masalah. Dan ini adalah bom waktu. Saya pernah sekali berbicara serius tentang masalah jam pulang dan berkabarnya ini. Lebih karena terjadi sesuatu. Dan saya luar biasa ngambek saat itu. Jadilah saya kemudian menerapkan aturan, dia harus memberi kabar kalau pulang telat. Meski memang, untuk jam kerja capten, pulang telat itu tidak ada patokannya alias tidak di tau. Di besok-besok dia memang mulai membiasakan diri. Memberi kabar kalau pulang telat. Kadang juga terlupa dan mesti saya duluan yang menanyakannya. Hingga waktu berjalan, memberi kabar dan lupa memberi kabar sudah seperti tidak jadi masalah lagi. Atau tepatnya, saya yang menahan diri. Lebih seringnya dia akan menghubungi jika sedang dalam perjalanan pulang. Entah di jam berapa itu. Telat atau tidak telat. Sekali dua kali juga dia tiba-tiba pulang cepat tanpa mengabari. Begitupun saat pulang telat. Dia tak ada kabar. Sesekali saya prote. Tapi dijawab santai saja olehnya. Hape lowbat. Oke. Masalah pertama menurut saya. Kemudian saya mulai menyinggung betapa pentingnya mungkin bagi kami menghafal nomor atau minimal mencatatnya. Tujuannya ya untuk mengatasi masalah lowbat hape itu jika akan berkabar. Dia mungkin menganggapnya angin lalu. Cuma candaan saya. Karena saya juga mengingatkannya tidak dalam serius. Padahal, jujur saja, betapa tiap malam di saat mendekati jam pulang normalnya, saya tidak henti-hentinya stand by dengan hape. Menunggu kabar. Apa dia pulang telat atau cepat. Apa dia akan makan di rumah atau sudah makan di kantor. Saya kadang sudah menyusun sedemikian rupa apa yang hendak saya 'muntahkan' padanya. Keluhan saya, mengulang kembali aturan berkabar dan hal-hal penegasan lainnya biar dia tau saya serius tentang masalah berkabar ini. Karena disaat dia tak berkabar, disitu segala macam perasaan bercampur. Khawatir, panik, marah, kesal, jengkel. Heii, saya wanita juga. Kadang saya memang sengaja tidak bertanya duluan. Pertama, karena ingin dia yang ingat duluan, kedua karena tidak mau dibilang rewel *meski capten tidak pernah mengatai rewel kalau saya menghubungi dia*, ketiga, karena saya kapok kalo menghubungi dia terus hapenya tidak aktif. Bikin paniknya jadi bertambah-tambah. Meski tetap saja saya selalu pasang mode TENANG saat dia akhirnya menghubungi atau ketika dia pulang. Apalagi, beberapa bulan ini memang jam pulangnya sungguh tidak teratur. Hingga kemudian sampi berminggu-minggu, tiap malam saya sudah menyusun rencana untuk kembali mengadakan pembicaraan serius tentang ini. Ya, sayang sekali saya memang tipikal orang yang bisa reda tiba-tiba marahnya jika ada jeda atau pengalihan. Misal, jika dia tiba-tiba menelepon kalau sudah dalam perjalanan pulang, atau bertanya apa saya mau titip sesuatu untuk dimakan (yeah, kadang wanita mudah saja luluh dengan pertanyaan, "ada yang mau dititip"?), atau karena melihat raut mukanya yang sudah sangat kelelahan saat tiba di rumah. Jadi malah tidak tega. Pikir saya, besok saja jika sudah tenang dan dia tidak capek, baru ajak bicara. Tapi besoknya ya marahnya sudah reda. Atau saya bingung mau mulai darimana. Canggung mau tiba-tiba ngobrol serius. Inilah yang saya katakan bahwa sungguh membangun keterbukaan komunikasi dalam rumah tangga itu tidak mudah. Memulai pembicaraan yang serius di saat kondisi tenang itu sulit loh. Makanya, saya akhirnya sadar kenapa banyak rumah tangga yang memilih mengungkap semua masalah dengan marah-marah. Utamanya di pihak wanita. Ya karena memang manusia selalu tak berbatas mengungkap apapun saat emosinya memuncak. Semua akan terbuka. Dan tentu tidak akan menyelesaikan masalah. Justru memperparah. Karena cara menyampaikannya pun sudah tidak dipikir lagi apa itu melukai hati atau tidak. Tapi, meski saya belum punya banyak jam terbang, saya berani mengatakan ini. Bahwa wanita memang harus banyak belajar untuk menyampaikan sesuatu jika ada yang mengganjal. Belajar membuka komunikasi. Karena memang, yang selalu bermasalah itu kita. Ditanya kenapa, jawabnya tidak kenapa-kenapa, padahal sudah kenapa-kenapa. Karena pria memang minim perasaan. Susah peka. Jadi jangan terlalu berlebih berharap pria akan menangkap masalahnya jika kita tidak ngomong. Bahkan jika menurutmu, suamimu adalah laki-laki peka. Seperti saya dan capte Di salah satu malam, bom waktu saya meledak. Saya diambang batas membiarkan. Mungkin karena memang saya sedang masuk pada fase sangat sensitif. Sudah beberapa bulan memang capten tidak teratur jam pulangnya. Meski kadang saya inisiatif menghubungi duluan, kebanyakkan saya ingin dia yang sadar duluan. Tiap malam dan saya selalu batal membicarakan pola memberi kabar ini. Ya karena hal-hal itu. Anggapannya mungkin besok-besok dia sadar. Tapi ternyata tidak. Saat itu setengah delapan malam, saya chat dia via bbm. Menginfokan tentang makan malam. Tapi chat saya tidak terkirim. Saya telepon tidak aktif. Oke. Hapenya lowbat. Setelah sebelumnya saya pernah menyinggung untuk tetap berusaha mengabari saya meski hapenya lowbat dengan cara meminjam hape temannya, saya berharap dia ingat itu. Makanya saya menunggu. Tapi pukul setengah sembilan lewat, dia akhirnya membalas chat saya. Meminta maaf karena hapenya lowbat jadi baru balas chat, da menginfokan bahwa dia sudah makan malam. Sudah? Itu saja? Ini sudah mau jam sembilan loh, dia tidak berencana mengabari kalau pulang telat? Saya gengsi bertanya. Karena sebelum-sebelumnya kan saya sudah mulai rewel lagi tentang memberi kabar ini. Harusnya dia ingat dong. Masa mesti diulang lagi. Saya kesal. Resah juga. Ini sebenarnya dia sudah akan pulang atau belum yah. Padahal untuk diketahui wahai pria. Wanita itu sebenarnya mudah jika mau ikut aturan mainnya. Err, mungkin dipersempit wanita yang mungkin setipikal dengan saya. Kami ini tidak ribet. Karena kami memang bukan wanita rewel yang harus tiap saat dikabari. Yang penting diberitahu. Utamanya tentang jam pulang ini yah. Akan beda rasanya kami menunggu saat sudah dikabari dengan tidak. Bagi saya sederhana saja. Jika dari awal sudah diberitau bahwa akan pulang telat, diberitau alasannya, saya akan santai saja menunggu. Meski jika dia pulang telat karena ngobrol dengan teman dulu. Tidak masalah. Tidak akan banyak tanya lagi. Sama jika akan pulang cepat. Karena capten kan sedang tidak teratur jam pulangnya, jadi penting bagi saya untuk tau kalau dia akan pulang cepat. Biar bisa segera menyiapkan makan malam. Kecuali jika dia pulang cepat dengan embel-embel bawa makan makan malam. Ya tidak apa-apa tidak dikabari. Wkwk. Maka malam itu, dengan kombinasi kesal dan segala tuntutan yang tertahan sejak beberapa minggu, saya mendongkol lagi. Bertanya sendiri, ini sebenarnya sudah akan pulang atau belum? Setengah sepuluh, saya sudah tidak tahan. Maka saya chat lagi, apa dia belum pulang? Dia balasnya sudah nyaris jam sepuluh. Katanya sudah akan pulang. Saya tidak membalasnya lagi. Sebenarnya kasih tanda kalau saya ngambek. Karena saya biasa menutup percakapan dengan bilang, hati-hati di jalan. Tapi kali itu tidak. Dan sepertinya dia tidak peka. Kepala saya penuh dengan hal-hal yang ingin saya sampaikan dan keluhkan. Tapi disisi lain juga menahan diri. Kan kasihan, capten capek baru pulang. Pasti lelah. Masa saya marah-marah. Kata sebagian diriku. Sebagian lagi marah, merasa tidak penting. Merasa bukan prioritas bagi capten. Merasa cuma jadi pengganggu. Karena hormon memang sedang sangat sensitif, jadinya saya cuma menangis dengan segala pikiran itu. Biarlah, kali aja pas dia pulang, marah saya bisa reda. Jadi tak perlu marah-marah. Bisa kacau jadinya. Apalagi dia pasti lelah. Besok-besok saja lagi dibicarakan. Saya akhirnya memutuskan. Meski masih menangis. Biar reda emosinya. Ya maklum, lagi super sensitif. Jadi mudah sekali air matanya keluar. Wkwk. Sayangnya, saat dia tiba, emosi saya belum sepenuhnya reda. Mungkin karena memang bom waktunya meledak di malam itu. Jika sebelum-sebelumnya saya selalu bisa menyambut dia pulang denngan baik meski sebelumnya saya kesal, kali ini tidak. Khawatirnya jika saya sambut, kentara kalau saya sedang marah. Makanya saya memilih diam saja dan tidak banyak ngomong saat dia pulang. Bahkan tidak menyambutnya di pintu depan. Cuma menunggu di kamar sambil berbaring. Sebenarnya karena takut ketahuan mata saya sembab. Tapi justru karena diam-diam itu lah yang membuat dia sadar kalo ada yang tidak beres. Dia bertanya ada apa. Saya, seperti biasa menjawab tidak apa-apa. Dia kemudian lanjut bertanya lagi. Mengabsen segala keluhan sakit dan rasa tidak enak yang belakangan memang menimpa saya sehubungan dengan hormon sensitif ini. Saya menggeleng semua. Dia mencari mata saya. Kemudian menebak kalau saya baru bangun. Karena mataku katanya beda. Seperti orang baru bangun. Heuuh, dia memang belum pernah bisa menandai mata yang habis menangis. -_- Karena saya terus menjawab tidak apa-apa dan tidak. Makanya dia berhenti. Teralih dengan notifikasi hapenya. Ya karena emang saya bilang gak apa-apa kan? Bukan salah dia sih. Apalagi saya yang cuma memilih diam terus. Tapi karena pengalihan itu, saya justru sedih. Makanya saya membalikkan badan. Diam tapi pikiran penuh. Dramatis. Sebegitu tidak berartinya kah saya? Weew, kalau dipikir-pikir saya berlebihan sekali malam itu. Padahal, di malam-malam sebelumnya meski kadang kesal karena masalah tidak berkabar ini, saya selalu sukses merasa tersanjung dengan segala perlakuan dam kebaikannya. Yah, wanita! Sekali kau berbuat kesalahan, maka terlupalah semua kebaikanmu. Capten akhirnya benar-benar sadar bahwa ada yang tidak beres dengan saya. Makanya, dia kemudian memburu lagi. Mencoba mencari mata saya dan mengisyaratkan bahwa dia siap terima keluhan apapun. "Kenapa lama pulang?" Itu pertanyaan yang keluar dari saya. Tapi belum berani menatapnya. Dia agak bingung tapi tetap menjawab, "Tadi ada dikerja dulu dek, sama teman-teman." Jelas saja dia bingung. Toh kemarin-kemarin ada hari dimana dia lebih telat pulang dari itu. Dan saya tidak bertanya. "Kenapa ndak dikabarika'?" Saya bertanya lagi. "Kan tadi sudah ja chat ki, bilang lowbat hapeku." Jawabnya. "Iye, tapi ndak bilangki kalau bakal pulang telatki. Cuma bilang lowbat hape ta. Baru sudah. Ndak kita kasitauka kalo mau pulang telat." Kataku lagi. Kali ini saya benar-benar menangis. Lebih karena menyesal telah memulai masalah di malam yang harusnya bisa buat dia tenang istirahat. Meski masih sedikit bingung, capten mulai mengambil sikap. Berusaha tenang meski sebenarnya ingin membela diri juga. Wkwk. Saya pun memulai berkeluh kesah. Dengan menangis tentunya. Tentang kenapa dia tidak bilang kalau akan pulang telat padahal kami tadi sudah saling chat. Dia yang tidak berusaha mengabari lewat cara lain jika hapenya lowbat, padahal kemarin-kemarin saya sudah mulai mengingatkan dia tentang hal ini. Kemudian dibumbui dengan kata-kata, betapa saya merasa jadi tidak penting bagi dia. Merasa tidak dihargai rasa khawatirnya. Capten diam, sambil mengelus kepala saya dan menepuk-menepuk pundak saya. "Kabarika' kak. Karena beda itu rasanya menunggu tanpa kejelasan. Ndak pernahja minta haruski berkabar tiap saat toh? Ndak pernah ja juga gangguki kalo di kantor. Atau telepon ki untuk hal yang ndak penting. Cuma mintaka kabarika kalo telat ki pulang. Meskipun itu karena ngobrol ki sama temanta." Kataku sambil sesenggukan. "Ndak dek. Ada kukerja tadi. Ndak mungkinka sengaja ndak kabariki hanya karena ngobrol ka dengan temanku. Qt tau ji ndak begituka. Lagian, biasa lebih telatka dari ini. Dan kukira tau jeki kalo lama ka pulang akhir-akhir ini." Dia menyela. Nah kan! Satu lagi pembedanya. Dia mengira saya protesnya hanya untuk kejadian malam itu. Padahal kan ini sudah hasil tumpuk-tumpuk yang kemarin-kemarin. Pelajaran, jangan suka menyimpan masalah wahai wanita. Atau bersikap semua baik-baik saja padahal tidak. Karena jika suatu saat kau akan meledak, yang kau singgung itu sebenarnya kejadian berulang-ulang yang sudah tidak bisa kau toleransi, tapi umumnya pria beranggapan beda. "Kan kemarin gak masalah, kok sekarang masalah?" Begitu fikir mereka. Padahal, kemarin itu ceritanya kita menahan diri. Maka karena sudah terlanjur dibahas, maka saya pun membeberkan semua hal yang saya permasalahkan. Termasuk mengingatkan bahwa ini sudah pernah kami bahas. Cuma dianya saja yang kemudian lupa lagi mengenai aturan mengabari itu. Tentang saya yang menahan diri untuk tidak protes, sengaja tidak mengingatkan biar dia ingat sendiri tapi ternyata dia gak sadar-sadar. Harapan saya agar dia kembali mengingat aturan mengabari itu. Memberikan gambaran bedanya dia mengabari dan tidak dengan suasana hati saya dan kekhawatiran saya. Menegaskan kembali bahwa saya serius menyuruh dia menghafal atau setidaknya mencatat nomor saya. Jadi, jika hapenya lowbat, dia harus menggunakan cara apapun untuk tetap bisa mengabari saya. Entah dengan pinjam hape teman atau pakai apalah terserah dia. Yang penting saya dikabari. Bertanya ulang dan membuat dia mikir kembali, apa saya pernah rewel dan minta dikabari tiap saat. Apa saya selalu mengganggunya kalau sedang bekerja. Dan meminta dia chat tiap saat dan mengabari tiap saat. Dia menggeleng. Tentu saja dia sangat tau tipikal cewek seperti apa saya. Bahkan terkesan tidak ingin merepotkan katanya disatu waktu. Yang kadang bikin dia kesal karena saya bahkan tidak ingin merepotkan dia juga. Padahal dia bersedia direpotkan. "Kenapa pade diamki? Keberatan ki? Bilangki kalo ada yang kita ndak setujui dari permintaanku." Saya memburu karena sedari tadi dia terdiam mendengarkan saya. Dia menggeleng. Katanya, tidak ada yang salah dengan permintaanku. Dia hanya merasa bersalah. Dan dia cuma kaget karena saya baru ngomong sekarang. Nah kaan, pelajaran lagi. Memang pria harus selalu diingatkan. -_- Saya pandangi mukanya. Merasa bersalah juga saya. Karena nampak sekali dia lelah. Tapi malah menghadapi saya yang sedang emosional begitu. Saya kemudian minta maaf. Yah, sudah jadi kebiasaan kami untuk kemudian minta maaf jika merasa telah berkata atau berbuat yang mungkin dirasa telah menyakiti pihak satunya. Meski sekalipun kita merasa bukan jadi pihak yang salah. Anggap saja permintaan maaf itu karena telah membuat kondisi jadi tidak nyaman. Alias harus berada dalam situasi tidak enak. Seperti malam itu. Tentu pihak yang dinyatakan bersalah juga sudah meminta maaf duluan. Saya kembali minta maaf karena sudah membuat kondisi yang tidak nyaman dan jika permintaan saya cukup berat. Dia menggeleng. Katanya dia yang salah. Dia yang merasa tidak enak. Tapi mukanya masih agak murung. Makanya saya bertanya lagi, apa ada yang masih mengganjal? Dia menggeleng. "Ngantukki?" Saya bertanya lagi. Dia mengangguk. Doeeeeng! Itu tanda adegan dramatis melankolis malam itu berakhir. Saya tertawa sambil sesekali menarik ingus karena habis menangis. Saya menarik nafas lega. Dan yeah, sebenarnya mudah saja kan? Cukup di komunikasikan. Dengan baik-baik tentu saja. Ya bakal lega. Gak disimpan-simpan jadi bom waktu. Tapi percayalah, menyampaikan sesuatu pun kadang memang sulit. Apalagi jika berkaitan dengan hal yang tidak enak. Meski itu dengan pasangan sendiri. Yah, sulit. Makanya, slogan "KOMUNIKASI ITU PENTING DALAM BERUMAH TANGGA" adalah slogan yang takkan pernah basi dan mati. Memang penting. Dan tidak mudah. Gak percaya? Coba deh berumah tangga. Dan rasakan sensasinya. Lalu, apa setelah adegan dramatis malam itu si capten berubah? Oh, tentu saja. Di besoknya dia mulai berusaha mengabari jika pulang telat pun pulang cepat. di jam yang kami tentukan untuk memberi kabar. Tapi, karena tidak mau terulang seperti dulu, yang sekali diingatkan, cuma beberapa hari dilaksanakan setelah itu lupa lagi, saya juga berinisiatif. Tidak merasa gengsi lagi untuk bertanya jika di jam yang sudah ditentukan itu, capten belum mengabari. Daripada kesal sendiri menunggu. Karena pria kan begitu. Ingatannya pendek. Mesti sering diingatkan biar tidak lupa. Biar dia terbiasa. Karena saya sadar, saya juga yang salah. Karena memang sejak awal nikah saya jarang mempersoalkan tentang masalah berkabar itu. Sekalipun protes, ya kayak cuma bercanda saja. Karena jika terulang di besok-besoknya, saya tidak mempermasalahkan alias berusaha keliatan tidak mempermasalahkan. Padahal aslinya sudah sangat kesal. Wkwk. Kita lihat saja, sampai kapan ini akan bertahan dan tidak menjadi masalah berulang lagi di kemudian hari. Dan yaah, begitulah. Keliatan remeh memang. Tapi kadang rumah tangga justru bermasalah karena hal-hal remeh seperti itu. Yang berulang-ulang dan dianggap sepele dan tidak sadar malah jadi bom waktu. Hingga pas meledak, hal remeh itu kok ya jadi rumit sekali? Tidak akan pernah bisa menyamakan cara berpikir antara wanita dan pria. Sekalipun dalam rumah tangga. Karena memang kita diciptakan untuk saling melengkapi meski dengan cara yang berbeda. Bukan menyamakan. Jangan memaksa. Tapi menerima. Jangan terpaksa tapi sama-sama berusaha. Makanya, kenapa komunikasi akan selalu penting dan bukan hal remeh dijadikan nasehat dalam rumah tangga. Karena keterbukaan dalam komunikasi itu sekali lagi PENTING. Dan tidak gampang. Selamat tanggal enam. Selamat saling berkomunikasi bagi kalian yang berumah tangga. *nurlail
0 notes
Quote
Another Way Ini bukan saya tak cinta Indonesia. Tapi ada kenangan yang harus diselamatkan. Seandainya sosial media bisa diibaratkan tempat pulang, maka dari sekian banyak sosmed, tumblr adalah tempat pulang saya yang ternyaman. Terdamai. Bukan karena followers yang banyak. Karena toh saat dulu memutuskan pakai tumblr saya tidak berhasrat memiliki follower banyak. Saya murni ingin menulis. Meski sesekali saya mendapat pesan pribadi dari beberapa orang yang ternyata menikmati tulisan saya. Dan kebanyakkan mereka justru tidak menggunakan tumblr. Disini, diri saya tercermin. Dan disini, saya juga membuat seseorang tidak bisa melepas saya begitu saja. Hingga kemudian, dia memilih mengikat saya lewat ijab kabul. *ecieeh. Welcome back tumblr. Terimakasih vpn. Terimakasih saran teman2 untuk menggunakan vpn biar bisa akses tumblr kembali.. Semoga indonesia segera membuka blokir untuk tumblr yah. Saya benar-benar menikmati tulisan-tulisan orang hebat nan bijak lewat tumblr ini.
0 notes
Text
Gaje (11)
M: *Lagi meluk-meluk*
C: . . . Dek, bahagia gak?
M: Kenapa tanyanya begitu?
C: Sering saya bikin nangis.
M: Sudah begitu rumah tangga. Kadang bahagia kadang tidak kan?
C: Berarti gak bahagia?
M: Iih, bukan. Masa saya tidak bahagia. Lagian kalo nangis itu kan efek saya yang lagi sensi, efek hormon. Harusnya saya yang nanya begitu. Bahagia gak kakak sama saya? Sama istri yang gak tau masak?
C: *Ketawa*. Saya kan makan gak pilih-pilih dek. Yang penting hangat saja. Maaf ya, jadi malah susah menyesuaikan. Karena makannya tempe terus. Adek nanti kalo sudah ada anak, masak terserah adek saja. Gak usah ikut selera saya yang monoton.
M: *geleng-geleng*. Justru karena monoton, saya jadi gak enak karena gak bisa cari selanya biar kakak bisa dan mau makan yang lain. Kak, masalah bahagia, bukannya itu kita yang ciptain sendiri yah? Gak peduli kita sudah lewati masalah apa. *Meluk-meluk lagi*.
C: Dek, bahagia yah. Jangan sering-sering nangis. Maaf kalo saya banyak salah.
M: Nahan air mata.
Tangerang, Sabtu, 17 Februari 2018 memasuki waktu shalat maghrib
1 note
·
View note
Text
Yang Katanya Bulan Madu #2
*Masalah pra keberangkatan*
Surabaya menjadi kota pertama yang kami kunjungi. Sebelum tiba di kota ini, sudah ada drama yang terjadi. Tiket pesawat yang mesti terbeli dua kali. Semua bermula saat minggu malam selepas shalat isya, saya dan capten tengah rehat di kamar. Setelah sabtu kemarin acara resepsi di rumahnya selesai digelar, dan kami masih menyambut tamu yang sesekali datang. Kami membicarakan rencana keberangkatan ke Surabaya. Melihat jadwal penerbangan dan tiket murah melalu travel*ka. Setelah mempertimbangkan estimasi waktu di masing-masing kota yang akan kami kunjungi, dan juga melihat situasi di rumahnya yang masih ramai keluarganya, kedatangan tamu atau juga mengantar keluarga yang hendak pulang, diputuskanlah kami akan berangkat di senin malam. Saya ingat waktu itu booking yang jam 21.40 WITA. Sekalian di sorenya kami akan mengantar orangtua dan adik-adim saya yang akan kembali ke Kendari.
Saat itu bookingnya melalui handphone saya. Dan seingatku, jamnya sudah tepat. Meski sempat ragu mau pilih yang penerbangan siang atau malam. Saya juga ingat capten bahkan menanyakan ulang jadwal penerbangan yang tertera di tiket sebelum ia membayar melalui internert bankingnya. Meski dia tak melihat langsung. Cuma mendengar saya mendiktekan jamnya. Duapuluh satu empat puluh. Sebut saya. Oke. Tiket terbeli.
Hingga esoknya, saat kami ke bandara di sore hari untuk mengantar keluarga saya, ada notifikasi dari travel*ka. Tidak saya buka sebenarnya. Kupikir cuma pengingat bahwa kami ada penerbangan di senin malam itu. Hingga saat kami sedang duduk bersama dengan keluarga, karena masih terlalu cepat jika mereka masuk terminal keberangkatan, saya membuka notifikasi itu untuk memastikan lagi. Kebetulan mama saya sebelumnya menanyakan jam penerbangan kami. Saat itu juga ada keluarga saya yang lainnya yang tinggal di Makassar dan ikut serta mengantar ke bandara. Juga ada adik dan tante capten yang tadi mengantar keluarga capten untuk bertolak kembali ke Jawa.
Seketika saya pucat. Tertegun membaca berulang-ulang pemberitahuan itu. Capten yang memang peka langsung menangkap ekspresi saya dan tau bahwa ada yang tidak beres. Dia mendekat. Tapi saya refleks melangkah mundur. Memastikan ulang tidak salah baca dengan notifikasi itu. Saya juga kemudian memeriksa tiket elektronik kami yang kali ini ada tulisan merah di keterangannya. "Expired".
Capten mendekat lagi. Kali ini langsung melihat apa yang sedang saya perhatikan di handphone. Yakin sekali ada yang tidak beres. "Kenapa dek?" Tanyanya. Belum paham sepenuhnya kenapa tiket bisa expired. "Padahal semalam sudah benar 21.40 kan? Kok berubah?" Tanyaku parau. Lebih ke diri sendiri. Muka saya sudah benar-benar mengekspresikan ada sesuatu hal yang terjadi. Mama mulai menangkap itu. Capten mengangkat bahu sedikit. "Saya ndak lihat dek. Karena qt yang booking. Saya cuma tinggal bayar."
Di tiket kami, jadwal penerbangan berubah menjadi 09.40 WITA. Yang artinya pesawat kami sudah berangkat tadi pagi. "Sudahki cek baik-baik tadi malam kah? Sapatau memang salah booking ki." Kata capten. Kali ini dia sudah memegang handphone saya untuk membaca kembali email pemberitahuan travel*ka yang isinya kurang lebih memberitahukan bahwa kami tidak melakukan check in keberangkatan dan tiket dinyatakan hangus. Saya diam. Ragu menjawab. Meski hingga sekarang saat menuliskan ini, saya sangat yakin sudah melakukan pemeriksaan jam penerbangan berkali-kali sebelum mem-booking tiket, bahkan sangat ingat bagaimana capten menanyakan ulang jam penerbangan sebelum ia membayarnya, yang membuat saya kembali memeriksa jamnya, tapi kala itu saya diam saja. Entahlah. *Belakangan, adik saya memberitau pernah ada pengalaman seperti itu. Tiba-tiba jam di tiket elektronik berubah tanpa pemberitahuan. Dengan penerbangan maskapai yang sama. L*on air. Bukti bahwa memang bukan saya yang salah booking. Tapi maskpainya yang "nakal".
Semua yang ada disitu mulai memerhatikan kami. Mulai sadar kami sedang terlibat pembahasan serius. Capten masih santai. Saya yang diam karena merasa telah membuat kesalahan, tapi tidak ingin ditau siapapun. Maka dari itu ketika mama menanyakan ada apa, dan capten dengan ramah dan santai menjawab bahwa saya salah beli tiket, saya mencengkram tangannya hingga jawaban capten ke mama tidak selesai sepenuhnya. Maksud saya, tak perlu mama tau. Karena menjawab pertanyaan mama berarti membuat semua yang ada disitu tau masalah kami. Saya terlalu gengsi untuk jadi pusat perhatian saat saya sedang panik karena membuat kesalahan.
Oh ya, saya tipikal orang yang akan banyak diam dan tidak suka ditanya, diberi saran bahkan dihibur ketika sedang dalam situasi seperti itu. Saya lebih suka menyelesaikannya sendiri dulu baru memberitahukan permasalahannya jika sudah beres atau saya benar-benar buntu mencari jalan keluar. Ya, saya gengsi untuk mengakui di depan orang banyak kalau telah melakukan kesalahan. Gengsi minta tolong. Makanya ketika capten dengan gamblang menjawab pertanyaan mama, saya marah sebenarnya. Menimpali dengan mengatakan, "Ndak ji mam" sambil memandang marah ke capten. Hanya saja siapapun disitu sudah menangkap inti permasalahannya. Dan karena mama itu tipikal mama-mama pada umumnya, yang selalu akan memburu lagi untuk mendapatkan penjelasan lengkap, jadilah dia kembali menanyakan ulang kronologisnya. Kali ini ke saya langsung. Saya tidak menjawab. Atau tepatnya memasang ekspresi tidak mau menjawab. Malah menjauh dari kerumunan mereka. Pura-pura sibuk dengan handphone.
Capten yang memang mudah peka, mengambil alih situasi. Membiarkan saya menjauh. Dan karena berusaha menghargai pertanyaan mama, dia kembali menjelaskan dengan suara pelan agar saya tak dengar. Tapi tentu saja saya tau apa yang ia jelaskan. Dia masih terlihat santai saat menerangkan ke mama. Tidak kelihatan panik. Menganggap itu masalah kecil saja. Saya anggap itu masalah besar. Meski dia sekarang sudah sah menjadi suami, saya masih belum terbiasa menganggapnya begitu. Hingga yang terpikir bagi saya adalah, saya telah membuat kesalahan fatal karena telah MEMBUANG UANG ORANG LAIN secara cuma-cuma senilai hampir satu juta rupiah.
Hingga kami melepas keluarga saya berangkat dan akan balik pulang, saya masih diam dengan ekspresi datar. Capten seperti bingung menghadapi sikap saya. Karena memang baru pertama kali kami saling menghadapi prilaku masing-masing. Oh ya, sebenarnya sejak malam resepsi di rumahnya, dia sudah berapa kali menghadapi sikap dingin saya. Tiba-tiba ketus dengannya dan malas ngomong. Pokoknya mood saya buruk sekali. Yang saya sadari belakangan bahwa memang sejak Jumat, tamu bulanan sedang mengunjungi saya. Pantas saya lebih sensitif.
Berkali-kali dia mengatakan tidak apa-apa. Nanti dibeli lagi. Tapi saya diam seperti es tidak menanggapi. Bahkan saat adiknya menawarkan untuk tukaran kendaraan, karena saat itu saya dan capten naik motor sementara dia dan tantenya naik mobil, saya menggeleng datar. Tidak mau. Padahal capten juga merayu adiknya agar kami saja yang bawa mobil mereka yang naik motor. Niatnya baik. Biar saya lebih rileks dan mau ngomong. Dia juga bisa lebih bebas melihat saya. Tapi saya tidak sampai berpikir begitu. Saya menatap capten ketus. "Gak usah. Memang apa salahnya naik motor. Tidak enak dengan tante ta." Adik dan tante capten kompak membantah saya dan mengatakan lebih suka naik motor. Tidak terjebak macet terlalu lama katanya. Jadi tidak apa tukaran. Saya kekeuh tidak mau sambil menatap capten bahwa kita tidak usah tukaran kendaraan. Menurut saya, tidak sopan saja.
Capten akhirnya menjelaskan bahwa kami tidak langsung pulang. Mau jalan-jalan dulu. Takut mobil mau dipake, jadi mending naik motor. Mereka pun pulang duluan. Kami juga mulai berkendara karena sudah dekat magrib. Sepanjang jalan saya diam. Meski tau berkali-kali capten menatap saya dari kaca spion. Menepuk paha saya menenangkan. Dia ingin bicara tapi tidak berani karena melihat ekspresi saya yang begitu dingin.
Begitulah saya kalau sedang merasa bersalah. Diam. Sebenarnya memikirkan cara untuk menebus kesalahan dan meminta maaf. Tapi ya begitulah. Jadinya malah kelihatan saya yang sedang marah.
Adzan magrib berkumandang. Capten membelokkan motornya menuju pintu 2 UNHAS. "Shalat di meskam saja yah dek." Katanya. "Kenapa gak lewat pintu 1? Lebih dekat." Tanyaku akhirnya bersuara. "Biar bisaki lebih lama sedikiiiit. Sapatau mau jalan-jalan hirup udara segar. Sukaki jalan-jalan malam kalau di unhas toh?" Tukasnya. Dia ingat salah satu percakapan kami dulu yang menyinggung tentang saya yang suka suasana unhas yang rindang dan dingin menjelang malam.
"Percepat saja kak, sudah adzan. Mauki shalat itu. Saya kan ndak shalat ji." Kataku berusaha tidak kelihatan ketus. "Dapat ji, dek." Katanya tetap menjaga laju kendaraan pelan. Ya tuhan. Sikapnya membuat saya semakin merasa bersalah karena telah 'membakar' uangnya.
Saat itulah, saat menunggu capten selesai shalat, sahabat saya sejak SD yang tinggal di surabaya menghubungi. Menanyakan apa saya sudah bersiap ke bandara. Memang sehari sebelumnya dia menelepon, mengucapkan selamat, berkenalan dengan capten dan menanyakan rencana kedatangan kami ke surabaya. Karena dia menawarkan menjemput di bandara. Dia laki-laki. Makanya dia merasa berkewajiban mengenalkan diri pada capten agar tidak salah paham dengannya dan niatnya menjemput kami.
Karena dia sahabat saya, jadi saya enteng saja menceritakan semua. Emosi dan panik yang sedari tadi tertahan saya tumpahkan kepadanya. Menceritakan kepanikan saat ini dan betapa tidak enaknya saya pada capten. Dia tertawa mendengar saya. Tau bahwa saya sangat merasa bersalah. "Kasih solusi, bukan diketawai!" Saya berkata sambil mendengus padanya. "Kau lucu. Sama suami sendiri ndak enak. Justru begituko jadi kesannya ko anggap dia orang lain! Yang ada nanti dia tersinggung lah!" Kata sahabat saya. "Ya kan saya belum terbiasa ah! Baru kenal! Lagian masa baru jadi istri sudah kasih bangkrut suami!" Tukasku. Okra, nama sahabat saya itu, tertawa lagi.
"Begini, saya belikan ko saja lagi tiket. Nanti bilang saja Okra yang mau. Hadiah pernikahan." Dia mulai serius. "Ndak mau ah. Na tambah ndak enak ka lagi itu sama dia karena kenapa sama kau saya malah curhat. Kan dia tau ji kalo ko tau kita mau berangkat senin malam. Jadi pasti dia duga ji kalo kau sengaja ganti tiketnya. Lagian saya ndak mau juga dibayarkan kau. Mauko nikah itu bulan juli. Simpan uangmu! Carikanka solusi lain biar bisaka ganti uangnya tanpa dia marah. Karena daritadi bilang nanti dia beli lagi tiketnya." Kataku panjang lebar.
Okra tertawa lagi. "Ya sudah, saya bookingkan memang saja tiketmu. Nanti saya kasih kode bookingnya. Ko bayar. Atau nanti saya bayarkan dulu, kau ganti nanti. Bilang sama suamimu terlanjur dibayar okra. Jadi harus ko ganti. Jadinya ada alasanmu toh untuk ganti uangnya. Haha. Lucumu deh. Suami sendiri ko mau ganti uangnya."
"Ndak mau ja. Nanti saya bayar. Jangan kau yang bayar duluan. Sebentar ko ndak mau digantikan. Bookingkan ma saja. Ambil penerbangan besok pagi. Ingat! Kasih saja sebentar nominal sama noreknya. Sudahmi dulu. Selesaimi dia shalat." Kataku sambil menutup telepon karena capten mendekat.
"Siapa?" Capten bertanya. Saya jawab jujur bahwa okra menanyakan jam tiba kami sebentar malam. Dan menjelaskan bahwa karena itu, saya jadi memberitahu kalau kita batal berangkat dan okra menawarkan solusi untuk membookingkan memang tiket baru. Saya juga menjelaskan rencana saya untuk membayar tiket itu sendiri dengan uang pribadi saya. Untuk menjaga agar okra tidak membayarkan kami. Begitu alasan saya. Capten diam. Tidak bisa saya menebak responnya. Tapi dia diam saja. Mengajak saya pulang. Di perjalanan dia juga diam. Kali ini saya yang merasa canggung. Ada apa. Laju motor dia pelankan. Membuat saya rileks sedikit dan memandangi langit. Saya memang selalu suka suasana jalanan saat malam. Tapi dia tidak mengajak saya berbicara.
Hingga hampir tiba di rumah, dia bersuara, "Sudah agak tenang dek? Tadi sengaja pelan-pelan biar bisaki lihat malam. Suka toh?" Katanya meski tak memandang saya lagi dari kaca spion. Saya tertegun. Tersentuh tepatnya.
Sampai di rumah, dia mengajak saya masuk kamar. Rehat sejenak dan menghindari keluarganya yang hendak bertanya kenapa kami batal berangkat malam itu. Tau dari adiknya pasti. Saya memang malu dan merasa terselamatkan saat dia menyuruh masuk kamar. Saya berusaha melihatnya. Kemudian memberanikan diri membahas kembali masalah yang tadi. Dia masih diam. Saya mulai membujuk agar diperbolehkan mengganti uangnya. Atau diijinkan membayar tiket pengganti. Dia masih diam. Saya membujuk lagi. Menambahkan bahwa betapa saya tidak enak telah membuatnya repot dan membuang uangnya percuma yang hampir sejuta itu. Memberitahu alasan saya berdiam diri daritadi lebih karena perasaan bersalah kepadanya. Bukan karena marah. Dia masih diam. Saya mulai mendesak. Dengan alasan, harga tiketnya lagi turun. Tadi saya mengecek kalau ada potongan sampai dua ratus ribu dari harga sebelumnya. Dan saya tinggal bayar hasil bookingan okra. Memilih penerbangan paling pagi besok. Karena penerbangan malam ini di jam yang sama dengan tiket sebelumnya sudah habis. Dia kemudian menatap saya. Menghela nafas. Adzan isya mulai berkumandang.
"Dek, saya ini suami ta. Jangan merasa ndak enak begitu sama saya. Masa lebih beraniki cerita ke temanta. Meskipun dia sahabat ta. Tapi kan sekarang saya suami ta. Saya bertanggung jawab atas kita. Termasuk kesalahan ta. Haruski bisa terbiasa terbuka sama saya. Kalo ada masalah juga haruski mau diskusikan dulu sama saya. Saya harus duluan tau dibanding siapapun itu. Karena sekarang saya suami ta. Saya pendengar ta. Janganki biarkanka bingung kayak tadi. Karena jujur, ndak tauka mesti hadapi dan tenangkanki bagaimana. Justru takutka dengan sikap ta yang dingin sekali. Saya pikir saya sudah buat salah. Ternyata malah kita yang takut dan ndak enak sama saya."
Saya tertunduk. Menggigit bibir. Merasa sangat bersalah mendengarnya. Tapi tetap kekeuh untuk mengganti uangnya. Tapi kali ini ekspresi saya benar-benar seperti kucing yang kedapatan mengambil ikan. Nyaris menangis malah. Karena capten seperti kasihan dan kemudian memeluk saya.
"Ndak papa dek. Janganmi lagi dipikir tiket yang hangus. Beli saja lagi. Sekarang mauka ke mesjid shalat isya. Booking baru mi dulu tiketnya. Ambil jam paling pagi, sebentar pulangka dari mesjid baru telepon lagi okra. Beritau kalau kita booking ulang. Yang tadi bilang saja sudah kadaluarsa. Tunggu ma saja baru bayarki. Atau kalau mau, bayar meki duluan. Pastikan saja jamnya ndak salah. Ingatki saja password internet bankingku. Ingat! Janganki pakai uangta. Saya ke mesjid dulu." Katanya, melepas pelukan.
Setelah berkali-kali mendikte password ibankingnya, dia meninggalkan saya ke mesjid. Sebenarnya dia menyuruh saya mencatatnya biar tidak lupa. Tapi saya pede bilang sudah ingat. Saya kemudian membooking ulang tiket. Berkali-kali memastikan jamnya sudah tidak salah. Karena lama mengecek jam, dan tidak mencatat password capten, saya jadi beneran lupa. Berkali-kali memasukkan passwordnya, saya selalu salah. Sampai karena takut terblokir, saya memutuskan menunggu capten pulang saja.
Namun, saya ini tidak sabaran. Selalu mau menyelesaikan masalah dengan segera. Agar dianggap becus mengurus sesuatu. Saya tidak ingin capten pulang dan urusan tiket belum selesai. Apalagi time limit pembayarannya tinggal sepuluh menit. Saya ingat menggunakan sms banking. Dan mendapat kembali peluang untuk mengganti uang capten. Maka tanpa pikir panjang saya membayarnya melalui sms banking saya. Yes! Semua beres. Saya sepenuhnya lega. Masalah tiket beres. Dan tujuan saya mengganti uang capten juga terpenuhi. Ya, saya memang hanya benar-benar bisa lega dengan cara itu. Terserah dia menganggap apa. Tapi memang saat itu saya masih merasa tidak pantas 'membakar' uangnya seperti itu. Satu-satunya cara ya saya harus ganti. Biar impas dan rasa tidak enak saya bisa hilang.
Saat dia pulang dari mesjid, saya berusaha sebaik mungkin menjelaskan tindakan saya. Mulai dari lupa password, takut terblokir sambil memperlihatkan bukti peringatan dari internet bankingnya bahwa sudah beberapa kali memasukkan password yang salah, time limit pembayaran tiket, takut kalau ditunda lagi malah harga tiketnya naik atau tidak dapat jam yang sama karena sepertinya penerbangan ke surabaya lagi padat karena promo potongan harga itu, hingga penjelasan tentang agar saya tidak lagi merasa bersalah dan tidak sungkan padanya. Saya berjanji itu adalah kali pertama dan terakhir berbuat begitu. Dan tidak bermaksud untuk tidak menghargainya. Anggap saja agar saya merasa nyaman dalam perjalanan besok. Jadi dianggap impas. Tidak lupa saya memeluk dan mencium berkali-kali pipinya. Agar dia tidak marah. Memasang senyum terpolos saya.
Dia hanya menggeleng. Mengusap kepala saya sambil berkata, "Dasar keras kepala! Istriku ini ternyata orang paling keras kepala."
Saya memeluknya lagi. Meminta maaf dan kembali berjanji bahwa itu pertama dan terakhir bertindak tanpa mendengar sarannya. Dia mengangguk pasrah sambil terus mengusap kepala saya. Mungkin dalam hatinya, dia merasa harus berusaha keras terus melembutkan kepala itu di besok-besok kami hidup bersama.
*Bersambung*
0 notes
Text
Yang Katanya Bulan Madu #1
*Pengantar*
Tadi iseng buka Path. Ada notifikasi kalau saya punya memori setahun lalu. Foto berdua dengan capten di Bromo. Saya senyum. Oh iya, tahun lalu setelah rangkaian acara nikah Kendari-Makassar, kita kemudian melakukan perjalanan selama seminggu di lima kota. Perjalanan yang memang sudah direncanakan kami berdua.
Bermula ketika di salah satu percakapan kami membahas persiapan acara nikah di Kendari sebagai acara inti. Karena akadnya disana. Berhubung Capten kerja di Jakarta, keluarga utamanya di Makassar, maka komunikasi tentu jarak jauh. Ditambah keluarganya dan keluargaku baru ketemu sekali saat pelamaran di Kendari, dan merasa saya dan capten sering berkomunikasi, jadilah kami diberi mandat sebagai penghubung untuk memberitahu segala perkembangan persiapan.
Jangan ditanya bagaimana kami bercakap via chat. Meski sejak pertengahan 2015, kami mulai akrab, kemudian sempat putus komunikasi sekitar tujuh bulan (karena hal-hal yang salah satunya itu karena terungkapnya niat dia mendekat), dan kemudian komunikasi lagi itu karena dia melamar, tetap saja resiko bawa perasaan itu ada.
Ya, meski kami benar-benar menahan diri dan memberi batas, tentu saja kadang ada percakapan yang bikin senyum-senyum sendiri, salah satunya ketika capten membahas rencana bulan madu.
Heiii, saya malah sempat mikir ini gak bakalan ada. Atau dia bukan penganut "bulan madu" sambil jalan-jalan. Wkwk. Atau kalaupun ada, mungkin dia memilih akan membahasnya setelah nikah. Tapi, karena sekarang tau watak capten yang "perencana matang-matang", saya jadi paham kenapa dia membahasnya di awal. Waktu itu sebulan sebelum akad. Apalagi dengan kondisi ada dua acara nikah di beda kota, kami yang akan ldr dulu setelah nikah karena sama-sama kerja, dan tentu saja, menyamakan estimasi waktu cuti dan kebijakkan kantor masing-masing.
Saat bertanya, dia sempat nambahin dengan bilang, "masih lain-lainka' kurasa bertanya begini". Laah, situ. Apalagi saya, capt???
Dia nanya, apa ada tempat yang ingin dikunjungi? Karena memang saya gak kepikiran masalah bulan madu ini, saya balik nanya, apa dia ada rencana? Sambil ingatin dia kalo setelah akad tanggal enam februari itu, kita bakal beberapa hari dulu di kendari terus bertolak ke makassar karena acara di tanggal sebelas di rumahnya. Mungkin sebaiknya disekitaran makassar saja.
Saya juga sempat mikir dia ini ngajak jalan-jalannya di satu tempat saja yang kalo bukan di sekitaran kendari, ya makassar. Terus saya nambahin kalo penasaran lihat Toraja, utamanya negeri di atas awan. Sebenarnya tempat-tempat keren juga ada banyak di sulawesi tenggara. Dan belum dan sangat mau saya kunjungi. Saya mikir efektifitasnya sih. Daripada bolak balik kan.
Dia balas lama. Karena memang chat balasannya panjang yang kemudian bikin saya terkejut girang, berdebar dan sangat bersemangat. Bahkan kemudian bingung memilih. Karena saya menyebut-nyebut Toraja, jadilah dia bikin dua rencana. Awalnya cuma satu yang memang bakal dia sodorin ke saya. Cuma karena memang awalnya dia nanya tempat yang ingin saya kunjungi itu Toraja, jadilah dia memasukkan itu sebagai rencana A. Sedang perjalanan yang sudah dia buat itu jadi rencana B. Yang kedua-duanya, ditutup dengan kami ke Bandung buat menghadiri acara nikahan temannya
Jadi di rencana A, setelah acara di Makassar selesai dan beberapa hari menemani keluarganya dulu, kami akan bertolak ke Toraja naik bus kemudian mengunjungi tempat-tempat wisata disana. Rencana B, kami akan bertolak ke Bromo. Katanya, disana sunrisenya keren dari atas puncak. Dia juga ingat kalau saya pernah bilang ingin sekali naik gunung.
Ya, saya bingung. Toraja dan Bromo sama-sama menggoda. Saya disuruh memilih yang mana dimaui. Tapi saya tau, Capten condong kemana. Dilihat dari caranya yang dengan halus membuat saya untuk lebih condong ke satu rencana. Dia menambahkan, kedua tempat yang jadi rencana kami pergi sama-sama belum pernah dikunjungi. Kita murni akan jalan memanfaatkan google map dan prinsip "malu bertanya sesat di Jalan". Jadi memang tidak ada pengalaman. Tapi untuk Bromo, dia sudah mulai nanya-nanya.
Dia juga kembali mengingatkan tentang rencananya mengajak saya ke Bandung menghadiri acara kawinan temannya. Jadi sekalian katanya. Seperti dia memang ingin saya memilih rencana B kan?
Saya kemudian menanyakan kelanjutan rencana Bnya. Karena kalo rencana A, sebenarnya jelas, kita hanya perlu bertanya-tanya sama teman yang orang sana. Mengenai tempat keren disana, penginapan dan lain-lain. Sementara rencana B, selain petunjuk Bromo dan Bandung, kita beneran blank.
Dia kemudian menjelaskan rencananya. Tentang akan bertolak dulu ke Surabaya karena tiket pesawat murah kesana. Terus ke Malang, kemudian ke Bromo sebagai puncak jalan-jalannya, terakhir Bandung yang kemudian akan ditutup dengan mengunjungi kosannya di Jakarta. Dan semua itu, kata dia akan kami lakukan dengan naik bus, dan kereta dari Bromo ke Bandung!!!!
"Adek pernah bilang belum pernah naik kereta kan? Jadi sekalian. Perjalanan Bromo-Bandung lumayan jauh. Tapi kita akan jalan malam kok. Jadi gak berasa." Katanya waktu itu.
Saya kemudian tanpa ragu memilih rencana B. Yap, semata-mata karena dia nyebut-nyebut kereta dan perjalanan di malam hari. Gak masalah kalau jauh. Malah bagus. Saya memang sejak dulu sukaaaa sekali dengan perjalanan lama dan panjang di malam hari. Naik apapun itu. Apalagi ini. Kereta. Yang sejak dulu ingin sekali saya coba.
Kami pun sepakat memilih rencana B sebagai rute bulan madu kami.
Yap, malam itu, saya sukses tidur sambil senyum-senyum memikirkan kejutan awal yang diberikan capten untuk jalan-jalan nanti. Meski diikuti dengan memperbanyak istigfar agar khayalan yang berlebih tidak menghantui. Karena sungguh, salah satu ujian terberat dengan membahas hal seperti ini selalu di wanita. Tau kan, imajinasinya kalau lagi senang dan dijanjikan sesuatu itu sudah bisa kemana-mana. Padahal, kejadian saja belum. Wkwk.
Dan benar, hari-hari setelah itu terasa berat untuk tidak membayangkan dan tidak sabaran menanti waktu "bulan madu" itu. Hanya karena diiming-imingi sunrise di Bromo dan naik kereta. Imajinasi sudah berputar-putar saja di bagian berdiri di puncak sambil liat sunrise dan naik keretanya.
Untung saya waktu itu kerja dan lagi padat-padatnya. Belum lagi persiapan nikah yang sudah semakin dekat. Jadi bisa teralihkan.
Dan itu beneran ngefek untuk kemudian tau realita saat jalan-jalannya kelak. Memang, janganlah terlalu berekspektasi lebih dan kelewat senang akan satu hal. Tak semua yang indah itu akan indah dari awal sampai akhir. Wkwk.
Sungguh, hari-hari menuju akad, saya perbanyak istigfar untuk perasaan senang yang kadang saya rasa mulai tidak terkontrol.
*bersambung*
0 notes