Text
Selepas Riuhnya Panggung. Kesibukan Menjaga Dimmer.
“Lihatlah! Iblis dan setan-setan itu senantiasa hadir untuk memberi ilham dalam proses-proses kebudayaan, penciptaan seni dan keindahan …” [dipetik dari QS 15:34,40; 24:21], dalam “Agama Seni” Hamdy Salad.
Monolog setan usai, lampu dipadamkan—black out. Tepuk tangan penonton setengah-setengah. Dan aku melihat wajah aktor sumringah, termasuk dua rekan baru yang memegang kendali mixer lighting, Aji dan Zia. Aku berjalan ke belakang panggung, ada si sutradara perempuan pertama Teater Selasar di sana. Kupeluk, dan dia seolah menolak untuk menangis. Pun aku.
Di awal tahu bahwa “Bisikan Setan” akan dipentaskan pada 19 Mei—sekitar sebulan yang lalu informasi ini kudapat, ada kekhawatiran tersendiri. Mampukah teman-teman ini? Di saat banyak kelompok teater menghindari proses singkat—karena pementasan adalah pertanggungjawaban kepada khalayak, Selasar mendobraknya. Tapi apakah dobrakan ini akan berhasil? Atau justru akan bisa terjungkal karenanya? Alasan terkuat untuk tetap menyelenggarakannya tanggal 19 Mei adalah peringatan dua tahun berdirinya di Fisipol UGM. Aku tak setuju benar bila ulang tahun (yang harusnya bahagia) diperingati dengan hati yang gamang. Kesenian adalah gairah. Dan jika gairah itu dipaksakan cenderung diseret, aku ragu menyebut bahwa kesenian itu sendiri adalah wujud kemerdekaan. Ia terkungkung sistem bernama Selasar itu sendiri. Ada program kerja yang telah tersusun, tersistem rapi. Tapi mengapa ketika program kerja itu telah jauh-jauh hari disusun, malah pelaksananya terkesan kelabakan? Justru aku yang merefleksi lagi; di tengah gaduh dan riuhnya era milenial, kami bisa mendapatkan segala macamnya dengan cepat dan instan. Tapi haruskah jadi pembenaran bahwa kesenian juga harus serba cepat dan instan? Aku takut kalau-kalau itu justru mengkhianati proses humanis yang terjadi dalam kesenian. Tapi toh teman-teman tetap melanjutkan kerjanya, dan aku bangga mereka tetap ikhlas membangun ruang bernama Selasar. Jalan harus ditempuh. Pintu mundur sudah ditutup. Tanggal 19 Mei harus tetap dilewati bersama.
Sejak awal aku ingin menempatkan posisiku sebagai penonton biasa, sama yang dilakukan Mahar, Otong, Jeki, Ardha, Tyok, Arab, Asoy, dan lain-lain. Ikut merasakan berdesakan untuk menonton pementasan, juga mencacat seperti apa yang biasa kulakukan ketika menonton pementasan teater. Tapi seorang kawan, Kopong, merasakan ada masalah di tubuh Selasar kini (maaf jika harus menggunakan terma kini-dulu, hanya untuk referensi contoh saja, bukan menggurui apa lagi menyalahkan). Aku tak mengiyakan karena kupikir setiap generasi punya dinamikanya sendiri. Dan sebagai manusia yang penuh akal sehat, daya budi, dan hati nurani, aku percaya mereka bisa menyelesaikannya. Tapi ini, katanya, bukan masalah generasi, namun tentang hati bertemu hati dan kepala bertemu kepala. Aku semacam menyanggupi permintaannya untuk sekadar menengok lagi proses teman-teman. Iseng kutanyakan bagaimana jalannya proses pada Masle dan ingin bertamu di proses latihan untuk melihat mereka. Akhirnya kuputuskan untuk datang. Dan yang kurasakan? Bosan sekaligus tak merasakan kenikmatan ditempa proses pada kawan-kawanku ini. Aku merasa bingung. Apakah memang suasana humanistiknya yang sudah berubah, seperti kata Chung, atau ini bagian dari proses itu sendiri? Tapi melihat curiosity teman-teman baru ini akan keaktoran, tata artistik, lampu, dan produksi teater membuatku terharu. Keingintahuan mereka meletup, tapi dari mana bisa mendapatkan informasi jika tidak dari buku-buku dan orang-orang yang sudah lebih dulu melaksanakan? Buku-buku agak susah dilacak. Dan dengan waktu yang mepet ini, bertanya pada orang yang lebih dulu pernah melakukan adalah keputusan yang tepat. Aku merasa bersalah, ternyata terdapat kesenjangan arus informasi dari tua dan muda. Dan juga, salah bajingan-bajingan tua, termasuk aku, jika pengalaman dan informasi tak disebarkan. Oh ya, teman-teman muda juga wajib mencari, menggali, bertanya sana-sini. Jangan pasif! Itu membunuhmu! Aku yang hanya ingin mengamati proses latihan ternyata tak tahan untuk tak bergerak. Tak ada energi yang disatukan. Semua berjalan sendiri. Gaduh. Akibatnya, aktor kelimpungan mencari rel-nya. Lingkaran setan berlanjut, para pendamping latihan juga tak tertarik menonton latihan, memilih sibuk dengan gawainya sendiri. Tim penyutradaraan kebingungan harus bagaimana. Di akhir latihan aku meminta beberapa menit saja untuk menyalurkan energinya pada tim musik dan aktor, memberi respons apa pun itu. Teman-teman mengulang beberapa bagian dalam latihan. Dan kali ini berhasil! Energi yang terbuang ternyata bermanfaat. Semangat kulihat membuncah, juga Putu yang mengaku tak menikmati proses kali ini bisa menunjukkan gaya semangatnya yang khas. Bukan maksudku untuk membesarkan peranku. Tidak. Aku hanya memberi saran dan teman-teman mengikutinya. Toh, tanpa adanya aku, entah siapa pun, mereka juga pantas didengar sarannya. Aku sama manusianya dengan teman-teman sekalian.
Menjelang gelaran. Ada Rafi dan Greg yang turun gunung untuk membantu perlampuan. Aji dan Zia yang ada dalam tim ini belum pernah sama sekali memegang kendali lampu pementasan teater. Kupikir ini adalah bentuk tanggung jawabnya menurunkan ilmu pada teman-teman barunya. Teman-teman yang pada pementasan sebelumnya hanya terlihat pasif, pada proses kali ini sibuk mondar-mandir. Turut memasang lampu, backdrop, atau sekadar memilin kawat. Juga salut padamu dua orang muda, Amoy dan Sakib, di antara tua-tua, semangatmu meledak. Mungkin kalian adalah dua dari sepuluh pemuda yang dicari Soekarno.
***
Selepas riuhnya panggung pasca pementasan. Evaluasi. Ucapan terima kasih mengalir dari berbagai pihak, “pengalaman baru,” kata sebagian besar. Sebentuk efek dari regenerasi. Semua hal harus dimulai dari pertama. Dan teman-teman telah menambah satu daftarnya. Tapi apa yang menarik bagiku? Panda, Masle, dan Anas menangis. Aku justru bersuka-ria. Pernah kulihat mereka tertawa terbahak, marah, bosan, dan bersemangat. Tapi ketika peluhnya menetes, aku yakin ada satu hal yang mereka pelajari dari hari pementasan itu. Ketika mereka menangis, sungguh terlihat manusiawi. Mereka menurunkan ego-nya, mengakui kesalahan. Semoga kesenian tetap membuat orang-orang begini. Tak seperti Sitok Srengenge!
Pementasan hari itu tidak jelek atau bagus, kawan. Kalian sudah melakukannya dengan maksimal. Mengesampingkan lainnya supaya pementasan tetap berjalan, dan toh proses “Bisikan Setan” tetap layak diingat dalam daftar hidupmu, bukan? Justru kami, tua-tua sialan ini, yang kadang tak mau tahu apa yang kalian hadapi dalam proses.
***
Sebagai penutup. Seingat saya Selasar didirikan dengan semangat kolektif yang tinggi. Tapi perlu kutambahi bahwa semangat individu juga penting. Pram pernah bilang kalau bangsa Indonesia tak punya semangat individual, beraninya keroyokan. Maksudnya apa? Potensi-potensi individu ini yang akan menghidupi kolektivitas Selasar. Teman-teman sama berhak dan berwajibnya untuk saling mengembangkan kualitas individu maupun kolektif. Sekarang setan itu telah pergi. Dan terlepas proses ini dibisiki setan untuk menyulut keretakan atau tidak, teman-teman telah mencapai satu pembelajaran.
Dan semoga, melalui kesenian, kita tetap menjadi manusia. Terima kasih telah turut membangun Selasar.
PS: Otong pernah berkata kalau Selasar akan hiatus satu atau dua tahun lagi. Semoga ia salah!
Yesa Utomo 23 Mei 2017
4 notes
·
View notes
Photo

Everytime I wear eyeliner, I thought I looked cool, like Mike Ness from Social Distortion, or Billie Joe from GreenDay’s frontman. Sporting eyeliner is also a great way to attract attention from the opposite sex. Hehehehe wis ngono tok :(
0 notes
Text
Episode 18: Kegamangan dalam Euforia Teater Selasar
Tulisan ini, saya buat untuk merespon pementasan Teater Selasar yang berjudul Bisikan Setan, 19 Mei 2017, di Selasar Barat Fisipol UGM.
Sama seperti dua pementasan sebelumnya, saya memutuskan untuk menikmati sajian karya Selasar sebagai penonton umum dan senormal-normalnya penonton. Datang tanpa gagasan, duduk di tengah kerumunan orang, lalu membiarkan panca indera saya menikmatinya.
Tulisan ini akan saya arahkan pada dua sudut pandang: subjektif dan objektif. Pertama, saya menempatkan diri sebagai penonton merdeka: tidak tahu prosesnya, berkomentar, memuji, menghujat, dan sok menganalisis jalannya pentas. Saya pikir, semua orang sah-sah saja berlaku menjadi penonton merdeka. Toh, salah satu bentuk apresiasi paling sederhana adalah dengan ‘menyacati’. Jadi, sampai di sini, teman-teman Teater Selasar tidak perlu terbebani dengan komentar atau kritik penonton. Itu adalah salah satu bukti ekspresi cinta dari apa yang teman-teman tampilkan.
Kedua, saya menempatkan diri saya sebagai orang yang pernah menjadi bagian dari tubuh Selasar. Bagaimanapun, mau dibilang apapun, saya pernah ada di posisi teman-teman, berproses, bersusah, bersenang, dan berfoto dengan bunga yang dikasih penonton. Nikmatilah, teman-teman pantas mendapatkannya. Tapi, ingat, jangan larut dalam kegamangan euforia tepuk tangan penonton.
Pertama
Sebagai penonton merdeka, saya melihat ada beberapa hal yang cukup mengganjal perasaan nyaman dalam menonton.
Saya akan memulainya dari yang paling awal: opening acara. Menurut saya, MC adalah bagian dari pertunjukkan. Dan Selasar malam itu tidak siap dengan setlist opening. Berantakan. Seremonial potong tumpeng yang seharusnya sakral, tidak dibarengi dengan konsep yang niat. Terkesan asal-asalan dan, yasudah, sing penting mlaku, ben ndang bar.
Saya percaya, teman-teman Selasar masih sangat bisa mengolah konsep opening MC menjadi lebih rapi lagi, lebih cetho lagi, lebih enak lagi.
MC memiliki beban awal yang sangat berat. MC bertanggung jawab untuk membangun mood penonton, menyiapkan serta mengantarkan fokus penonton melalui rangkaian acara pembukaan yg sudah diatur, seperti potong tumpeng contohnya. Tolong dicatat ya, saya tidak sedang membicarakan individu MC nya. Tetapi, konsep opening yang terkesan asal-asalan.
Lanjut ke hal-hal teknis. Tata cahaya yang tidak sempurna pada beberapa spot panggung. Idealnya, tokoh yang bicara di atas panggung, ya harus terkena spot lighting. Kalau gelap, penonton lihat apa? Cahaya panggung adalah bahasa komunikasi. Lampu yang menyala, adalah sebuah tanda kehidupan di atas panggung.
Lanjut ke tata suara. Sound terdengar sangat keras dan tidak nyaman untuk didengar dalam ruang Selasar yang minimalis. Saya pikir suara sound malam itu, ideal jika digunakan untuk konser musik di San Siro Night Festival. Saya tidak mengatakan kualitas soundnya jelek. Justru sebaliknya, suara sound sangat jernih. Sangat sedikit dentuman mic yang error atau feedback ngang-nging yang memekakkan telinga. Sound systemnya hanya terlalu keras saja. Jadi tidak imbang antara musik dan suara pemainnya. Saling berkejar. Tidak enak didengar.
Untuk para pemain, selamat datang di rangkaian pentas sakral Teater Selasar: Akhirnya Pentas Juga. Karena saya dengar, semua pemain berasal dari angkatan 2016 ya? Semuanya, lho!
Lupi sebagai Setan, apresiasi saya untuk vocal yang relatif stabil meski clip on tidak terpasang dengan baik. Sebagai Setan yang dituntut bergerak sangat aktif, Lupi tetap bisa menselaraskan nafasnya dengan lumayan teratur. Hanya saja, menurut saya, karakter setan akan lebih 'hidup’ lagi jika ditambahkan suara ketawa-ketiwi khas setan yang melengking. Intonasi vocal yang cenderung datar dan ada di nada dasar yang itu-itu saja, rawan membuat bosan. Pun juga dengan gestur setan yang sangat bisa di-push lagi.
Chaisar sebagai Filsuf. Saya percaya. Secara basik individual, mungkin bakat akting Chaisar memang bagus. Tetapi sayangnya, bermain teater bukan bermain bersama dirinya sendiri. Saya melihat energi chaisar belum sepenuhnya tersalur kepada lawan mainnya. Pun dengan penonton. Dan sayangnya, Afif juga melakukan hal yang sama. Hanya saja, Afif mengambil porsi waktu yang relatif lebih singkat. Jadi tidak terlalu terlihat.
Balya sebagai Istri. Saya kira dia yang menjadi idola penonton, karena energi Balya mampu ditransferkan ke kami jauh lebih halus. Vocal dan pengucapan yang jelas, intonasi yang dinamis, dan mimik muka yang tidak terkesan dibuat-buat, membuat chemistry Istri dengan Suami bisa dinikmati. Saya merasakan mereka berdua sedang berkomunikasi dan bertukar energi.
Berterima-kasihlah kepada pemusik. Tanpa mereka, mungkin pentas Bisikan Setan akan sangat tidak menarik untuk dilihat sampai akhir. Meski masih belum sepenuhnya menyatu dengan permainan, tetapi kehadiran musik sudah cukup mampu menjadi pengantar dalam adegan. Oiya. Salut untuk setiap soundtrack yang dibuat original oleh teman-teman pemusik.
Overall, secara naskah dan outline cerita, Bisikan Setan menarik untuk dipentaskan. Hanya saja, saya sebagai penonton awam yang tidak melihat teman-teman berproses, hanya bisa berkomentar seperti yg sudah saya sebutkan di atas. Santai saja, saya hanya mengungkapkan yang sejujurnya saya rasakan. Sudut pandang saya bisa saja sangat subjektif dan mungkin juga objektif. Lantas, ngapain saya menulis panjang-panjang kalau tidak peduli dengan proses berkaryanya Selasar?
Kedua
Tolong jangan repot-repot membaca tulisan saya ini, jika tidak tertarik dengan Teater Selasar. Saya berbicara dalam konteks Teater Selasar, bukan Pentas Teater Selasar. Karena tulisan selanjutnya, saya akan bicara tentang Teater Selasar, bukan pementasannya.
Saya merasa ada ketidakberesan dengan tubuh Selasar. Entah apa dan bagaimana itu. Contoh paling sederhana saja: gojekan. Sebagian teman-teman yang tua, akan bertukar tawa pada lingkaran yang sama-sama tua, termasuk saya. Sedangkan sebagian teman-teman lainnya lagi, merasa sungkan untuk ikut berbagi tawa pada lingkaran yang lainnya.
Saya melihat, sebagian teman-teman datang hanya untuk membantu agar Selasar bisa pentas. Bukan untuk Teater Selasar. Simpelnya begini deh: Teman-teman datang ke Selasar agar jadi pentas. Bukan datang ke Selasar agar Selasar ada. Kalau masih bingung, yasudah.
Semoga ini hanya perasaan saya saja, sih. Semoga saya salah. Semoga, saya, salah.
Tetapi jika benar, bisa jadi bahan refleksi bagi kita semua. Siapa, apa, bagaimana, dan untuk apa kita dan Selasar ada. Untuk sekadar menyajikan pentas di setiap waktunya, atau tempat belajar dan berkarya kolektif?
Pada paragraf ini, saya menyesali keputusan saya untuk tidak berproses bersama teman-teman. Bukan bermaksud sombong, tetapi saya merasa punya tanggung jawab untuk menyalurkan apa yang saya bisa, setidaknya dari segi keaktoran, atau sekadar berbagi tawa, kepada teman-teman Selasar.
Saya terus menyalahkan diri saya sendiri, bagaimana bisa saya tidak senyaman ini ketika berproses bersama teman-teman Teater Selasar. Padahal saya suka teater, dan ingin menyalurkan apa yg saya bisa kepada teman-teman. Lantas, mengapa, begini, ya?
Sama seperti judul yang saya tulis di atas, semoga teman-teman tidak terjebak dalam kegamangan euforia Teater Selasar.
Setidaknya, melalui tulisan ini, kita sudah membuktikan satu hal: bahwa Teater Selasar pernah se'hidup’ ini. . Pilihannya cuma dua: terus bersama menghidupi, atau memilih tidak peduli. Cheers!
6 notes
·
View notes
Text
Full Disclaimer: Ketika meminta saya untuk menjadi penulis tamu di 31 Hari Menulis, Derry memberi sebuah tema: New York yang Gemilang. Oke… Saat mulai menulis, saya kesulitan menemukan point of view yang tepat, sampai akhirnya saya sadar bahwa saya tidak akan sampai di sini kalau saya tidak mengalahkan kemalasan saya untuk mengerjakan bagian terpenting: menulis statement of purpose (SOP). SOP, bagi yang kurang familiar, adalah jenis esai yang biasanya harus kita tulis ketika ingin mendaftar kuliah atau beasiswa, beberapa perusahaan juga terkadang meminta hal serupa. Saya tidak akan menulis tips menulis SOP konvensional dimana saya akan menerangkan “cara terbaik menulis SOP". Here’s quick tips: that’s what Google is for. (Dan sejujurnya, sampai saat ini saya pun nggak pernah yakin bahwa esai saya cukup bagus.) Saya akan bicara tentang satu-satunya tips yang saya punya: just fucking start writing the damn thing. You’ve been warned. “How do you see yourself in five years?” “What are you going to do in the future?” “Why this program is suitable for you?” . . . Trust me, the list can go on a lot longer. Sebagai seseorang yang tidak suka pertanyaan eksistensialis dalam setting formal (albeit like to talk about it for hours with my friends), saya selalu terdiam sejenak ketika harus menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Sayangnya, jawaban “mbuh!” bukanlah jawaban yang diinginkan. Walaupun sering kali itu adalah satu-satunya jawaban yang saya punya. Dari lebih dari sepuluh essay yang terpaksa saya tulis untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya hanya punya satu tips: It’s ok. Just start writing the damn thing. I know, I know. Menulis esai bukanlah hal yang glamorous atau seksi untuk dibahas. Tapi New York City dan Columbia University tidak akan terjadi jika saya tidak memulai menulis esai. Menulis SOP terdengar sangar dan menegangkan. Not going to lie, it is. Rasanya cukup kesal karena masa depan saya ditentukan dari susunan 500 kata yang saya tulis. Lebih kesal lagi ketika saya, sering kali, genuinely tidak tahu apa yang saya inginkan. Let’s just agree on one thing: we are all confused about the purpose of our life. I am and you’re lying if you say you’re not. We’re not here to talk about that. Butuh waktu panjang untuk saya mengetahui apa yang saya “inginkan dalam hidup”, dan saya makin menyadari dan kombinasi deadline itulah yang membantu saya memetakan apa yang saya inginkan dan perlahan-lahan mewujudkannya. Butuh waktu panjang untuk mengetahui apa sebenarnya yang kita ‘inginkan dalam hidup’ (and I begin to believe there’s no such thing as ultimate purpose, anyway…) dan kebingungan ini sering kali membuat kita menunda menulis. Deadline, sayangnya, tidak menunggu. We’re all confused. That’s perfectly normal. It’s ok. Just start writing the damn thing. Ini yang bisa saya bagi: inspirasi datangnya bisa dari mana saja. Di sepanjang perjalanan hidup saya, saya selalu beruntung bisa bertemu dengan orang-orang pintar dan bijaksana yang menginspirasi saya untuk selalu punya mimpi-mimpi baru. Saya tidak pernah bermimpi saya ingin tinggal di NYC sampai masa saya kuliah S1—I literally stole the dream from a friend. Tapi saya tau mimpi ini… is for me. Daripada malu mengakui bahwa saya menjiplak mimpinya, saya berterima kasih pada teman saya karena dia adalah orang yang menginspirasi saya untuk bisa sampai di sini. I look around, then I find my way out! And you can do that too!It’s ok. Just start writing the damn thing. Lastly, ini satu rahasia hidup sederhana yang menurut saya penting—tapi perlu waktu lama untuk saya menyadarinya: mimpi boleh berubah. My dreams do change overtime. Saya bahkan cukup yakin esai yang saya tulis empat tahun yang lalu untuk mendapatkan sebuah pekerjaan di sebuah perusahaan multinasional sudah tidak cocok dengan saya yang sekarang. Saya tahu bahwa saya bukanlah satu-satunya orang yang merasa kecil hati ketika saya harus mengakui bahwa saya tidak lagi mengejar mimpi ideal yang saya punya dari kecil. Masalahnya, saya tidak punya mimpi masa kecil. Romansa mengejar mimpi masa muda tidak terciptakan untuk semua orang, termasuk saya. Mengutip Sheena Iyengar, salah satu dosen di Columbia University (shameless promotion, haha), “As Stephen Colbert will tell you, it’s not inconsistent to say one thing on Monday and another on Wednesday if you gained new knowledge on Tuesday or if the situation itself changed." We don’t have to have it all figured out. It’s not fun that way anyway. It’s ok. Just start writing the damn thing. You’ll be amazed by the new things you found about yourself. And here’s the news. You will get rejection at best, no respond at worst. Maybe when you’re lucky, once in a while, you may get what you wanted. Just remember: It’s ok. Just start writing the damn thing. Good luck! Ditulis oleh Binar Septiani, dalam 31harimenulis.
1 note
·
View note
Text
Episode 17: Orang-Orang yang Bersemayam dalam Keabadian
Kalau saja diberikan kesempatan untuk bisa hidup dalam keabadian, saya akan memprioritaskan 3 orang yang harus ada di setlist kehidupan yang kekal; Mahar, Keluarga, dan Ryma.

Mengapa Mahar? Karena saya meyakini, sebenarnya kita ini tidak pernah hidup sendiri meski dalam keadaan seorang diri. Mahar selalu hidup bersama Mahar yang lain. Jatuh cinta, patah hati, dan tumbuh bersama Mahar yang lain. Saya ada di antara Mahar dan Mahar yang lain. Saya percaya itu.
Saya pasti punya waktu untuk bicara dengan diri saya sendiri. Saya selalu memberi ruang yang lain, untuk mengobrolkan hal-hal remeh-temeh dengan Mahar yang lain. Bahagia dan menangis karena jatuh bangun dengan hidup yang nano-nano. Begitulah. Saya mengarungi kisah nyata yang fana bersama diri saya sendiri, dialah Maharsitama Anindita.

Mengapa keluarga? Tahu sendirilah ya. Alasannya tidak menarik untuk dijabarkan. Bapak, ibuk, Hernan, Pram, dan Joyce, saya akan melakukan semuanya untuk mereka. Termasuk bekerja dan berkeringat untuk membantu nafas keluarga. Ingat ya, kami adalah keluarga super sederhana yang masih mendapat jatah beras miskin dari kantor kelurahan.

Mengapa Ryma? Daftar orang “anyaran”, yang sebenarnya baru genap 2,5 tahun ada di kehidupan saya. Jika ibarat Angel and Demon, mungkin kamilah manifestasinya. Saya super cangkeman, Ryma cenderung pendiam. Saya banci tampil, bernafas saja Ryma masih malu-malu. Saya kadang minum jahat bersama teman, Ryma lumayan rutin Nyenin-Kemisan. Saya terpancing berbuat padu, Ryma menyuruhku lebih bersabar. Entah sudah berapa banyak penyelamatan yang Ryma persembahkan untuk kehidupan Mahar yang nakal.
Saya masih ingat betapa panik, stress, bingung, dan ga tahu harus gimana ketika Ryma jatuh sakit terserang demam berdarah. Hampir tiap hari bolak-balik rumah sakit yang jaraknya enggak deket. Untung saya punya bapak yang pinter cangkeman juga. Bisa membujuk ibuknya Ryma untuk lebih sabar, tawakal, dan menyemangati beliau agar jangan nyerah dalam mencoba segala cara. Tiap ke rumah sakit ga kuat buat menahan tangis. Pun juga saat saya kembali menulis di paragraf ini. Saya rasa, kami berdua bukan sedang menjalin cinta, tapi menghidupi.
Saya sering membicarakan tentang rencana-rencana hidup dalam bingkai rumah tangga, bersama mbak Ryma. Apa dan bagaimana semestinya hidup kami dalam tiga atau lima tahun ke depan. Sampai ke hitung-hitungan biaya menikah dan ongkos bangun rumah. Dengan segala kemungkinan yang digariskan oleh Tuhan dan semesta, semoga kita berdua masih sehat saat mencapainya, ya, sayang.
Manusia dianugerahi hidup dengan rasa, cipta, dan karsa. Salah satu bentuk syukur yang paling mendasar dari diciptakannya kita sebagai manusia, adalah dengan berkontemplasi. Berpikir dan merenungi kembali, apa yang sudah dan yang sejatinya kita cari. Saya bersyukur masih bisa menulis hasil kontemplasi saya sebagai manusia, seraya membagikannya kepada teman-teman yang membaca tulisan ini.
Oiya. Jangan lupa labeli saya karena tulisan ini ya! Toh, memang enak jadi manusia yang judgemental. Xoxo
5 notes
·
View notes
Text
Episode 16: Saya dan Sensitivitas Yogyakarta

Memang enak jadi wedhus daripada manusia. Bila mati dikubur di gundukan tanah. Kepalanya dikencingi wedhus yang merumput. Nasib manusia hanya sengsara. Sampai akhirnya, mengapa kita mesti bersusah?
Penggalan lirik yang saya dengarkan di panggung kesenian di Plasa Ngasem semalam. Setelah dua bulan lamanya tidak mendapat asupan rohani semacam ini, saya kembali melihat hiburan rakyat yang diadakan oleh basis massa komunitas. Dan tepat pada lantunan Cintamu Sepahit Topi Miring milik Jogja Hip-hop Foundation, saya menitikan air mata.
Begitulah. Saya kadang merasa ada di titik paling sensitif dari seorang laki-laki. Saya kadang menangis di konser-konser kecil, saya kadang menangis di kerumunan lalu-lalang penumpang bis, saya kadang menangis di pentas-pentas teater, dan kadang menangis melihat daun-daun yang berjatuh ditiup angin. Begitulah. Silakan labeli saya norak, lebay, alay, cengeng, dan cap apapun yang tidak mentolelir laki-laki untuk menangis.

Tetapi saya selalu bahagia dengan air mata di saat-saat seperti itu, seperti semalam, melihat teman-teman merapalkan Jogja Istimewa bersama laju komando empat personil JHF. Lalu tentang anak-anak kecil yang ikut larut dalam hangatnya moshpit, bernyanyi dan menari tanpa terintimidasi, dari awal sampai bubarnya setlist.
Jogja Hip-hop Foundation bisa dikatakan ikon musik hip-hop yang hidup mewakili identitas Yogyakarta. Mereka konsisten memberikan nyawa sastra pada setiap lirik lagu-lagunya. Kelompok hip-hop yang tidak berhenti pada tataran kritis, tapi juga dinamis dalam memadukan lirik berfalsafah kejawen dengan beat-beat rapping yang ritmis.
Jika ada tiga kata yang bisa mewakili JHF, maka saya memberinya padanan: jawa, sastra, dan paseduluran. Ketiga kata tersebut termaktub pada lirik lagu yang mereka tulis di nomor Jogja Istimewa berikut ini:
“Tambur wis ditabuh suling wis muni.
Holopis kuntul baris ayo dadi siji.
Bareng para prajurit lan senopati.
Mukti utawa mati manunggal kawula Gusti”
Sebagai manusia yang lahir, besar, dan terkungkung di negara ngayogyakarta hadiningrat, air mata saya tumpah saat melihat lalu mendengar mereka konser, membawakan lagu-lagu yang mewakili sebagian besar memori tentang Jogja dan manusianya.
:: Salah satu ungkapan yang saya kagumi dari Sultan HB 9:
“ik ben een blijf in de allereerste plaats javaav”
,bahwa:
“setinggi-tingginya aku belajar ilmu barat, aku adalah dan bagaimanapun jua tetap Jawa”.
Tapi itu dulu. Coba Sultan HB 9 hidup di Jogja masa sekarang. Pasti ingin mati lagi.
Ora nding. Ngapunten :(

Foto di atas adalah adik saya bersama teman-teman kampungnya yang seneng banget bisa foto sama JHF yang konser di kampung halaman mereka, Pasar Ngasem, Yogyakarta
2 notes
·
View notes
Text
Episode 15: Jogja dan Party Selalu

Hari pertama sampai Jogja, saya masih sepenuhnya mencret, tapi ngeyel, tapi seneng, tapi dolan, tapi party selalu.
Sehabis sholat Jum'at, misi pertama yg harus dilakukan adalah menengok anak saya yg pertama, castlekaoslukis. Tentunya bersama mbak Ryma Aulia Praharsiwi yang sekarang jadi pintar dandan huft. Sejak dua bulan ditinggal ke Jakarta, skill macaknya Ryma kok malah semakin lihai ya. Dia mulai coba-coba pakai eyeshadow meski pakai bantuan lipstik, bcos belum ada uang buat beli eyeshadow beneran hehehe. Ryma juga sok-sokan pakai eyeliner, meski garisnya bengkong kurang rapet sama bulu matanya hahaha, tapi usahanya sip patut disemangati. Yang paling top sih tentu ya gincunya. Saya pulang dan disambut bibir merah muda yang merona penuh marabahaya.
Semakin hari semakin gemay kalau liat kebebasannya mbak Ryma. Dandan sepuasnya, belanja secukupnya, menabung sepunyanya, dan bahagia selamanya.
Oiya, hari pertama di Jogja, saya nggopek jambu biji sama Ryma di kebun samping gubug castle. Konon, jambu biji berkhasiat untuk memampetkan mencret. Hore!
Puas ngobrol sama mbok wedok, target selanjutnya adalah kampus fisipol. Karena malam nanti ada komkustik di pelataran sansiro. Rencananya, saya mau ngisi satu dua lagu, sama Ilma Kinasih.
Kami bertemu satu jam sebelum acaranya dimulai. Latian dikit-dikit, ngobrol, haha-hihi, dan akhirnya kami memutuskan untuk menyanyikan dua lagu: Rindu milik Banda Neira, dan On The Night Like This dari band kesukaan kami berdua, Mocca. Tapi celakanya, kami ga jadi tampil. Tau kenapa? Karena Ilma sedang patah hati dan pulang meninggalkan aku sendirian. SAD!

Untungnya, saya punya teman-teman bajingan yang jumlahnya ga sedikit. Jadilah, saya tampil punk-punkan sama Awik, Baruna, dan Ade. Namanya juga cah mendem campur punk. Chord gitar yang satu dan lainnya ga sinkron. Apalagi penyanyinya. Yasudah. Punk adalah tentang berteriak paling keras dan bermoshing paling njepat. Saya melakukannya di panggung seorang diri. SAD!
Untungnya lagi, ada Bondan dan Sadesya yang nyanyi entah lagu apa. Semuanya jadi maju dan ikut njoget. Saya pogo lalu crowdsurfing dong! hehe.
Selanjutnya, kami merayakan malam jahanam dengan mata dan anggur yang sama-sama merah, senggol tipis-tipis, dan ketawa-ketiwi meski tidak ada yang lucu. Meninggalkan Ade yang hangover dan sepertinya dia sudah sampai surga duluan. SAD!
2 notes
·
View notes
Text
Sebelum kehabisan paket internet, ayo kita pulang.
0 notes
Text
Episode 14: Melepas Belenggu Ibukota
Hari ini, saya dinobatkan sebagai manusia paling bahagia dan paling mencret se-antero Jakarta. Siapa yang menobatkan? Saya sendiri.

Yoi, today is my last day in sejasa.com! Meski seharusnya internship saya berakhir di bulan Juni, saya memutuskan untuk mempercepat masa magang karena berbagai pertimbangan rahasia negara yang umat Islam tidak boleh tahu. Namun, sebelum dibolehkan keluar, saya diharuskan untuk melewati tahap terakhir berupa exit interview bersama Marketing Manager perusahaan.
Dan justru, exit interview ini menjadi penutup cerita yang paling mengharukan dan lebih berkesan daripada saat pertama kali tes interview agar bisa diterima di sejasa.com.
Oleh Marketing Manager, tentu saya dicecar banyak pertanyaan mengenai alasan kenapa saya resign. Lalu apa saja yang sudah dan yang belum didapat, serta saran saya untuk perusahaan.
Saya sampaikan sejujurnya, bahwa saya merasa hanya sebagai mesin dan robot saat bekerja di perusahaan bapak. Pola kerja yang mengetik mengetik dan mengetik, membuat rasa saya sebagai manusia hilang. Saya pikir tidak perlu menjadi ahli untuk bisa jadi seorang juru ketik. Asalkan terbiasa, toh nanti juga lo paham.
Next
Lewat exit interview tersebut, saya juga diberikan kritik dan apresiasi kerja dengan porsi yang seimbang. Entah hanya gimik atau rayuan gombal, Bapak Manager memberi kesan positif dengan kerja saya selama di sejasa.com. Terutama pada bagian pekerjaan saya yang banyak menulis untuk konten blog dan backlink optimize SEO.
“Kalau boleh dibilang, kamu ini intern terbaik yang pernah ada di sejasa.com. Kerjaanmu fokus, tulisan SEOmu terstruktur, datangnya juga rajin, dan kami merasa kehilangan jika kamu pergi terlalu cepat.”
Setelah penggalan pidato kenegaraan tersebut, beliau seraya menawarkan saya untuk tetap tinggal di sejasa, minimal sampai batas kontrak yang sudah disepakati.
“Saya dengar kamu sudah pesen tiket untuk pulang. Tapi, begini saja. Kamu maunya apa, kamu pengen pegang apa di sejasa, kami akan berikan, silakan kembangkan apa yang mau kamu ambil, asalkan kamu tetap tinggal di sejasa minimal sampai batas waktu magang selesai. Kami akan ganti tiket pulang kamu.”
Namun, sayangnya saya ingat pepatah yg pernah saya baca di Album Kuta Rock City dari Superman Is Dead, bahwa: “punk rock is about being 18 and saying NO!”
Berbekal quote dari hadist cover album, saya memutuskan untuk tetap kembali ke Jogja dan bercinta sampai mati.
Maka, dengan ini, selesailah misi ibukota yang belum sepenuhnya tuntas. Saya pulang dengan membawa obat diare di kantong kanan, sembari teriak:
LAWAN!
*iya, saya sedang melawan mencret sejak 3 hari terakhir, huft*
5 notes
·
View notes
Text
Saya jadi tau, atau mungkin sedikit sok tau. Mengapa orang yang akan meninggal, biasanya memaksa dan atau lebih memilih pulang, daripada harus opname berhari-hari di rumah sakit. Toh betapapun sakit dan menyiksanya, takdir terbaik adalah mati di rumah. Kalau masih belum paham, tunggu saja waktu yang tepat. Nanti juga lo paham.
1 note
·
View note
Text
Manusia butuh makan dan bernafas sebagai syarat hidup. Sedangkan aku cuma butuh pulang. Aku manusia bukan?
0 notes
Text
Untuk bernafas saja susah, lalu kau paksa aku menulis? Jangan dikira aku takut sama ajian 212 mu, ya! Kalau aku mau, bunuh diri pun sudah kulakukan dua atau lima hari yang lalu.
0 notes