Photo

Setiap Detik adalah tetesan-tetesan berkah, maka sudah berapa ember yang tertampung dalam satu tahun. Tetesan ini adalah tetesan dari “Saripati Langit” yang memang ditujukan kepada “Bumi” agar ampasnya kembali memiliki fungsi. Karena saripati maka akan mengusung manfaat dan keberkahan yang khasiatnya bisa menjelma dalam berbagai wujud dan benda. Bisa menjadi ribuan wujud tetes di bumi bisa pula dianggap tidak ada. Majlis gugurgunung berupaya memahami tetesan-tetesan saripati langit ini dengan mencoba memperhatikan berbagai fenomena yang sederhana maupun yang tidak sederhana. Bukan untuk menghitung karunia Allah swt namun untuk menambah kesadaran arti penting bersyukur. Silakan hadir membersamai di Malam Minggu terakhir, pada tanggal 30 September 2017. Semoga kehadiran Panjenengan merupakan wujud tetesan dari langit yang dikirimkan untuk menambah berkah dan karuniaNya agar bisa kita serap bersama.
2 notes
·
View notes
Text
SIKAP GUGURGUNUNG
BismillahirrahmanirrahiimI
Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuhu
Majlis Gugurgunung merupakan salah satu simpul resmi Maiyah. Meskipun Maiyah bukan bentuk padatan sebuah organisasi, baik ORMAS maupun ORSOSPOL atau apapun sebutannya.
Maiyah memang bukan organisasi melainkan organisme. Oleh sebab itu posisi Majlis gugurgunung harus jelas secara mekanisme terlibat dalam gerak organisme tersebut. Bagi pandangan Gugurgunung, Maiyah merupakan organisme yang besar dan berkembang secara natural, memiliki keterhubungan yang baik antara satu dengan yang lain bukan karena jabatan politis atau posisi formal lainnya. Dengan dasar organisme pula, maka Majlis Gugurgunung menjunjung sikap untuk terintegrasi dan senyampang dengan koordinasi resmi yang disepakati secara organisme dengan tetap berpatokan pada pijakan Segitigacinta.
Mengamati fenomena belakangan ini ada kecenderungan yang membuat wadyabala Gugurgunung merasa bingung menentukan sikap. Oleh sebab itu ini ada rekomendasi untuk bersikap :
1. Anjuran apapun yang berkaitan dengan sikap, ideologi, penyebaran informasi, dlsb, Gugurgunung sebagai salah satu simpul Maiyah memiliki etos ketaatan untuk melaksanakannya jika resmi merupakan perintah dari Imam Maiyah
2. Jika ada pihak lain diluar Maiyah, yang ingin mengajak Gugurgunung untuk ikut menyebarkan ideologinya berupa apapun (meski sedekat apapun hubungan pihak tersebut dengan person-person Maiyah) maka dengan tanpa mengurangi rasa hormat, Gugurgunung bersikap pasif dan tidak ingin melibatkan diri.
3. Gugurgunung sangat menaruh simpati, apresiasi, terhadap gerakan apapun yang punya cita-cita yang sama, dan siap bekerjasama jika telah terjadi hubungan kesepahaman yang jelas dan terikat secara indah.
Hubungan komunikasi dengan jalur WA atau pesan Jalur Pribadi adalah pesan yang mewakili pribadi dan bukan mewakili antar organisasi. Sehingga tidak bisa menggerakkan dan mempengaruhi kebijakan majlis secara organisasi. Komunikasi akan lebih dihormati jika terlebih dahulu berdiskusi dan bermuwajahah, hal ini agar jelas posisi dan pengenalan masing-masing secara adil.
4. Gugurgunung sebagai simpul Maiyah hanya bermakmum kepada Imam Maiyah. Perintah, anjuran, himbauan, nasehat, jika semuanya berasal dari sang Imam maka menjadi Hak bagi Gugurgunung untuk bermakmum dan mengindahkannya. Ini adalah sikap baku untuk mempertahankan integritas dan terkoordinasi.
5. Majlis Gugurgunung menimbang bahwa sebuah sikap tanpa koordinasi resmi merupakan kebijakan yang abu-abu yang _meski tidak mendo’akan_ namun bisa menimbulkan kesimpang-siuran masal dan menambah potensi polemik wacana hingga konflik intra maupun intern dengan tidak ada satupun pihak yang diketahui bisa ditunjuk sebagai yang paling bertanggungjawab.
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuhu
Demikian sikap Majlis gugurgunung Ungaran, Senin Kliwon 24 Juli 2017
0 notes
Text
ABSTRAK JAMAN
___________
Di dunia ini terdapat dua wangsa besar yakni Wangsa Candra dan Wangsa Surya. Masing2 bersama mengkontribusi kehidupan dengan cara yang berbeda.
Wuku adalah perhitungan dalam segala sudut pertimbangan. Sudut pertimbangan jasad sebagai tanda, sudut pertimbangan jiwa sebagai khazanah pengetahuan, sudut pertimbangan ruhani sebagai satu2nya penyambung kepada segala titah
Pasaran adalah ruang berkumpul secara meriah untuk tujuan pertukaran barang kebutuhan, menimba ilmu, dan bersosialisasi antar masyarakat dari 4 penjuru mata angin. Barang yang dibawa untuk ditukarkan disebut dagang (nyuda pepegang/mengurangi bawaan). Pasaran ini sekaligus meningkatkan kualitas pengetahuan teknis, seperti mutu metalurgi, penyepuhan logam, penambangan tanpa merusak, ekstrasi tanaman menjadi makanan dan minuman, membuat kain lebih halus, pengolahan emas, perak, perunggu, tembaga. Ilmu kelautan dan perkapalan, perbintangan dan navigasi, pertahanan keamanan, seni budaya, tata bahasa dan sastra lesan maupun tulisan, dlsb.
Kawi adalah masyarakat yang memiliki ciri penyair, intektual, cerdas, cerdik, bijaksana, pintar, orang suci, hingga arti2 lain seperti : burung hantu, planet venus, dan matahari.
Sejak hasta janma menguat dan mengakar sebagai jenis identifikasi besar, maka setiap lini hampir dipimpin/dikuasai oleh orang-orang yang ahli di bidangnya. Perkembangan masyarakat menuju Nabi Nuh, pengetahuan ini sudah semakin menghujam dan mengakar. Sehingga pencapaian-pencapaian pengetahuan dan kebudayaan terbentuk dengan sangat luar biasa maju.
Kemajuan-kemajuannya bukan hanya teknologi yang bersifat jasad seperti pesawat atau bangunan arsitektural. Namun juga teknologi internal seperti berbicara jarak jauh, berpindah secara cepat dari satu tempat ke tempat lain sekejap mata, berkomunikasi dengan binatang tertentu, memodifikasi genetika tanaman, mereka genetika hewan, dan masih banyak lagi.
Kehadiran Nabi Nuh adalah tengara jaman. Masyarakat yang saat sudah merasa sangat sempurna dengan segala pemahaman menjadi tidak menyadari perubahan jaman. Masyarakat pada saat Nabi Nuh turun adalah masyarakat yang sudah sangat menghormati pilihan dan cara hidup orang lain, sehingga tabu untuk memberi nasehat atau peringatan kepada orang lain, meski dianggap salah sekalipun. Sebab masing-masing menyadari bahwa kesalahan adalah hal yang wajar dilakukan oleh seseorang, dan setiap orang pasti akan belajar dari kesalahannya. Namun kesalahan-kesalahan yang dibiarkan tanpa peringatan akan membuat seseorang merasa diijinkan untuk lebih terbuai dalam kesalahan dan tidak hendak menuju perbaikan.
Di sinilah peran yang diemban Nabi Nuh menjadi sangat kompleks. Bukan hanya memperingatkan kaumnya kepada ketauhidan, yang secara kebudayaan menentang arus. Tapi juga peringatan 'tersembunyi' yang tidak bisa dibuktikan yakni dimulainya pengurangan usia manusia seiring perkembangan peradaban. Jika di jaman Nabi Nuh, rata-rata setiap orang berumur 900 tahun maka jikapun dia menumpuk kesalahan selama 100 tahun, dia masih berkesempatan menambahnya lagi selama 100 tahun lagi, dan jika masih ingin menambahnya lagi dia bisa gunakan 100 tahun lagi usianya untuk merasakan kebosanan, sehingga di 600 tahun berikutnya dia menjadi seseorang yang punya pengalaman akurat atas kesalahan sehingga lebih teguh memegang kebaikan. Namun, cara itu tidak bisa selamanya digunakan. Ketika nanti usia manusia makin singkat maka yang harus dilatih adalah kewaspadaan, mawas diri, kesabaran, dan keikhlasan. Dan itu harus dimulai jauh-jauh hari. Sehingga ketika saat itu tiba manusia sudah punya bekal untuk menyesuaikan diri.
________________
Padepokan Hasta Janma
Janma Tani
Janma undagi
Janma ujam dudukan
Janma prajurit
Janma pangniarik
Janma baruna
Janma mitra
Janma pandito/kawi
Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu
Struktur kerajaan yang beraneka warna daulat janma memiliki muara ilmu dari ajaran resi. Resi tidak bisa dilepaskan dalam struktur kerajaan yang kemudian disebut sebagai Janma Pandito atau Janma Kawi yang bertugas memberi nasehat 'langit'.
Kedaulatan manusia disebut sebagai Empu, dan kedaulatan Raseksa disebut Denawa. Stereotip yang terbangun adalah Denawa sebagai bangsa kurang beradap dan Empu sebagai penyelaras dan mengatur dalam tatanan lebih mulia. Pada prakteknya sering terjadi kasus-kasus sebaliknya, meski demikian baik Denawa maupun Empu sepakat terhadap stereotip itu. Denawa menyetujui karena banyak golongan raseksa yang bernaluri memakan daging manusia sebagai penghangat tubuh, sehingga stereotip itu membantunya terasa legal dengan kebiasaannya. Namun secara mental spiritual, manusia janma lebih beruntung posisinya justru karena terinspirasi berbuat baik dengan bercermin pada prilaku para raseksa yang susah sekali beranjak menjadi bermartabat.
Bencana membuat perpindahan besar-besaran para empu ke berbagai penjuru.
-Banjir Besar & Warisan-
Jawa tenggelam dan tampak terpecah menjadi kepulauan kecil-kecil. Para pengungsi yang berpindah jauh di daerah-daerah (kepulauan) terpencil mengabadikan nama Jawa dalam berbagai sebutan[1].
Dua gunung es raksasa di utara dan selatan terpapar hujan badai yang juga berkekuatan raksasa. Dua kutub ini bagai dapur air yang menunggu perintah untuk melelehkan diri. Benarlah, di saat perintah itu datang, lelehannya menciptakan arus air yang besar, ditambah hujan dan badai angin yang dahsyat. Kehadiran arus air menggulung-gulung bagai ombak dalam ukuran tidak wajar, sangat besar dan menakutkan. Langit menghitam dan kilatan-kilatan petir berpijaran dalam kejap-kejap yang menyilaukan. Gemuruh suara ombak, angin, guntur, menggetarkan bagai melepaskan sendi. Kapal Nabi Nuh tampak sangat kecil di tengah lautan gunung air. Hewan-hewan yang terbawa ikut tercekam ngeri. Tasbih, dan Takbir tanpa henti bergaung di dalam dada Nabi Nuh.
Makin lama, hujan badai kian reda. Kilatan-kilatan sesekali masih nampak dibalik mendung hitam. Laut pun mulai tenang. Tapi yang benar-benar tidak pernah disangka adalah, peristiwa itu membuat wajah bumi yang lama terendam air dari lelehan kutub. Kota-kota yang gemilang dengan segala pencapaiannya bukan dibuat untuk mampu menahan ombak setinggi gunung. Manusia-manusianya hampir tak punya tempat berlindung dan menyelamatkan diri. Mungkin ada yang dikecualikan atas nama Kasih Sayang Allah.
Kemudian air mulai surut terserap bumi. Hamparan darat mulai tampak lebih jelas. Kapal Nabi Nuh tertambat di Gunung. Hewan-hewan yang terbawa banyak yang kondisinya tidak sehat, beberapa ada yang sangat lemah. Namun banyak juga yang tetap sehat. Namun Nabi Nuh yang dianggap tidak berpengetahuan oleh umatnya ketika itu, sesungguhnya benar-benar utusan Allah yang diberikan karunia pengetahuan yang sepadan dan bahkan lebih dari pengetahuan umatnya waktu itu. Yang dilakukan Nabi Nuh kemudian salah satunya adalah kembali ke pembiakan atau pembuahan benih-benih yang telah sebelumnya disimpan. Setelah berhasil dibuahkan, binatang-binatang itu dikembalikan ke habitat aslinya meskipun banyak wilayah yang kini telah terendam lautan.
Dalam kondisi habitat yang semakin menyempit, Nabi Nuh melakukan penyesuaian dengan kondisi yang baru ini. Yakni binatang-binatang dibuat jauh lebih kecil dari ukuran aslinya. Sedangkan dalam perkembangan zaman, pasca banjir juga sebuah transisi dimana manusia pun semakin kecil ukuran tubuhnya dan semakin pendek usianya.
Para pengikut Nabi Nuh yang tersisa menggunakan hewan-hewan yang dibawa dari kapal menjadi santapan. Karena kondisi pendaratan pasca banjir besar ini tidak memungkinkan tersedianya pangan. Dari titik pendaratan ini kemudian bermukim sementara, menata diri, membangun kehidupan dan mulailah terjadi penyebaran ke beberapa penjuru Eropa dimulai dari Turki. Ada yang ke Mesir, Persia, India, China, Yunani, Irlandia, dan Amerika. Sekian lagi kembali ke tanah asal usul bersama Nabi Nuh yakni ke Jawadwipa.
Kisah serupa bisa pula dibaca di : Nabi Nuh, Bahtera & Satwa, Banjir Besar.
________________
-Era Baru, Tikar Sudah Digelar-
Smoro berbahagia karena kini kekuatan terasa tampak seimbang bahkan berpotensi lebih kuat. Peristiwa banjir Nuh ibarat perekrutan masal besar-besaran _seperti halnya Banujan yang tidak menunjukkan mutu kekhalifahan karena tertambat pada keterterikan hal-hal yang menutupi kebenaran_ sebab ruhani mereka tidak mau menguak hijabnya sendiri, dan justru terus-menerus menutupi peringatan yang benar maka mereka menjalani hukuman untuk membantu pihak-pihak positif sebagai katalisator yang bergabung di bawah pengawasan Smoro. Kekuatan gabungan ini menjadi makin 'sempurna' karena ditambah kedunguan dan kedangkalan para raseksa rakus. Mereka mudah diprovokasi dan segera melakukan tindakan brutal, bombongan, gegabah, dan merusak. Dalam beberapa hal kemunculan para raseksa efektif sebagai bentuk teror atau penciptaan disharmoni terus menerus atas upaya penyelarasan.
Smoro dan pasukannya tinggal di salah satu titik koordinat bumi yang tidak terduga oleh manusia. Tempat itu bagaikan benua kecil yang tidak mampu dideteksi dengan kemampuan teknologi jaman sekarang, yakni ketika teknologi telah makin condong ke jasad daripada batin.
Benua kecil itu tidak hanya dihuni Smoro dan pasukannya. Akan tetapi juga didiami pihak-pihak yang diselamatkan karena pencapaian pengetahuan keikhlasannya. Disana mereka tidak berseteru sebab wilayah itu wilayah netral yang telah 'diijinkan' terlepas dari permainan bumi. Mereka semacam pengawas dan penyelaras. Mengapa kondisi seperti ini bisa terjadi? Ini uraian singkatnya :
________________
Pengetahuan Hasta Jalma membuat hirarki kualitas yang dekat representasinya dengan tahapan-tahapan fitrah ruhani. Jalma - Janma - Datu - Ratu - Resi - Bagawan - Kawi. Rekaman proses ini tercatat dalam permainan Caturangga.
Jalma :
pengetahuan dasar naluriah. Yang didengar dan dilihat adalah yang berdasar perangkat indrawi.
Janma :
intensifikasi, optimalisasi sesuai jalur abiliti. Yang dilihat dan didengar adalah yang berdasar perangkat indrawi dengan pemahaman penglihatan batin.
Datu :
pengetahuan gabungan abiliti hasta Janma dalam seorang. Yang didengar dan dilihat keseimbangan anatara penglihatan indrawi dan batiniah.
Ratu :
pengetahuan gabungan paradatu dalam seorang. Penglihatan dan pendengaran adalah pandangan batiniah yang menyesuaikan dengan pandangan umum yang jasadiah
Resi/Pandito :
pengetahuan gabungan dari pararatu dalam seorang. Penglihatan batiniah dan melakukan kegiatan yang menjauh dari keputusan-keputusan jasadiah agar terjaga batiniahnya.
Bagawan/Begawan :
pengetahuan gabungan dari para resi dalam seorang. Yang didengar dan dilihat adalah seruan dan ekspresi batiniah dan menyembunyikan diri dari jalur aturan bumi yang jasadiah, tapi meranggeh informasi samawi dalam penyelarasan kehidupan bumi.
Kawi :
pengetahuan puncak manusia yang kembali menjadi manusia yang tidak mengetahui apapun tapi sekaligus mengetahui banyak hal, bisa melakukan apapun tapi sekaligus hanya boleh melakukan sedikit dalam batasan kemanusiaan. Menyangga kesabaran dan keikhlasan sehingga terlepas dari hukum dunia yang tersekat ruang dan waktu. Yang dilihat dan didengar hanyalah suara dan penglihatan batin sehingga makin nampak jelas ilusi bumi dan kasunyatan hakiki, tapi harus kembali menjadi manusia jasad bahkan tingkat jalma sebagai kodrat titah kehidupan dia turun/dilahirkan. Penyembunyian diri yang juga menahan diri ini ditempuh untuk mengkontribusi kehidupan dengan jalur bathiniah. Seorang Kawi yang terjaga ikhlasnya secara konstruktif menyambung karunia. Ibaratnya seribu orang jalma melakukan ingkar sehingga efeknya seharusnya membuat daun mengering, tanaman banyak hama, musim kering berkepanjangan, bunga-bunga gugur, sehingga membuat kekurangan pangan bisa dicegah dengan pengabdian batin seorang Kawi yang ikhlas.
Wallahu a'lam bishawab
________________
[1] A sunken land called Rutas was an immense continent far to the east of India and home to a race of sun-worshippers. Rutas was torn asunder by a volcanic upheaval and sent to the ocean depths. Fragments remained as Indonesia and the Pacific islands, and a few survivors reached India, where they allegedly became the elite Brahman caste.
0 notes
Text
WIDYAKARTIKA
Brahmana Raditya memperkenalkan diri kepada masyarakat yang tinggal di sebuah negeri yang sangat subur namun dihuni keganasan dan kebuasan. Jaman ini memasuki millemium ketiga usia bumi. Yakni ketika Bumi mulai muncul sebuah ajaran yang mengoptimalisasi atau intensifikasi ilmu batin. Awal-awal ilmu Batin digunakan untuk tujuan yang mengharapkan superioritas, namun dalam perkembangannya olah batin ini digunakan untuk menembus khazanah langit yang berguna untuk meningkatkan kualitas manusia. Maka sejak pada milenium kelima Bumi, keadaan masyarakat Bumi telah mulai terlihat form arah peradabannya. Di usia ini mulailah bermunculan beberapa orang yang menjalani upacara intensifikasi batin dengan men-sedikit-kan pemenuhan atas permintaan-permintaan raga. Puasa atau bertapa banyak dilakukan orang yang menghindari fasilitad dunia. Macam-macam cara orang memperoleh kaluwihan (kelaparan/kelebihan). Puasa ngrowot, mutih, pati geni, pendem, ngalong, ngidang, dlsb. Ketika proses ini dilakukan, suara2 alam yang tadinya tidak terdengar menjadi lebih terdengar bahkan berbisik atau berbicara. Suara2 itu sebetulnya berbicara sejak semula, namun raga telinga tidak digunakan untuk mendengar suara2 batin. Sehingga perlu telinga batin pula untuk mendengarkan hal2 yang batin.
Ketika makin banyak raga yang dibeningkan, maka fenomena-fenomena batin makin banyak terserap untuk kemudian mereka alami dan mereka bawa untuk disampaikan ke masyarakat.
Dalam fenomena yang sudah-sudah, perbuatan olah batin mereka akan bertemu dengan muslihat Smoro yang memang sakti dan kuat, atau dalam hal lain bertugas menterjemahkan secara indrawi apa2 yang seharusnya ghaib. Namun ketika ajaran-ajaran itu juga mulai disentuh oleh pihak-pihak positif, maka turunlah makhluk langit dari golongan positif yang menjadi bandul pembanding. Maka kegiatan peruhanian raga akan menjumpai fenomena yang sepadan dengan niatnya. Jika niatnya positif, maka yang positif akan membantu memberi perlindungan. Jika niatnya negatif, yang negatif akan menciptakan ilusi yang semakin menyesatkan.
Tapi, manusia adalah makhluk yang sudah dicap sebagai sebaik-baik bentuk. Manusia juga pasti akan kembali dalam keadaan sukarela maupun terpaksa. Maka sejauh-jauh kesesatan yang dibuat untuk menjerumuskan manusia, tidak akan diberikan kesesatan jika di dalam hatinya memang untuk bertauhid.
Adalah seorang resi yang sangat tulus dan benar-benar rela mengabdikan dirinya untuk perkembangan dan kecemerlangan kualitas spiritual masyarakatnya. Dia lahir di sebuah daerah yang secara kondisi 'memaksanya' mengenal lingkungan dengan kompleksitas makhluk, habitat, dan dimensi. Maka dalam hal penempaan batin, dia melakukan cara seperti apa yang dilakukan oleh pendahulunya.
Bertapalah Resi ini di sebuah Gunung. Ketika Smoro sudah gagal menyesatkannya dengan ilusi keindahan seperti kepada orang yang sudah-sudah. Namun ternyata Resi ini ibarat ruang kosong yang tidak memungkinkan Smoro untuk mengusik. Dia tidak memperoleh benda apapun untuk bisa jadi landasan membelokkan sang Resi. Benda yang dimaksud adalah kepentingan jasadiah, misalnya ingin pandai, populer, sakti, berkuasa, dlsb yang urusannya agar dilihat dan diakui manusia. Benda-benda yang selembut apapun bisa diplintir untuk menjerumuskan, tapi kali ini Smoro berjumpa dengan manusia yang menghilangkan diri dari segala kepemilikan.
Maka turunlah makhluk luar bumi yang sudah pada kemampuan langit sap ke enam, artinya memiliki kemampuan memahami 6 kali lipat dunia. Sekedar intermeso;
Elemen/unsur dasar membawa 1 kecerdasan. Kecerdasan tauhid naluriah.
Beberapa tumbuh2an dan hewan membawa 2 kali lipat dari kecerdasan elemen. Manusia memiliki 3 kali lipat kecerdasan hewan, yakni kecerdasan jasad, jiwa, dan ruh. Arwah memiliki kecerdasan 4 kali lipat dari makhluk jasad/ruh (manusia). Begitu seterusnya hingga tingkat ke tujuh. Makhluk pada tingkat 6 setengah mewariskan seluruh pengalamannya ke makhluk di tingkat ke 6. Sehingga makhluk tingkat 6 mendekati kesempurnaan pengetahuan makhluk.
Sehingga makhluk di tingkat ke tujuh ini, berada dalam kekosongan, tanpa masa lalu, tanpa masa depan. Tapi tidak hilang. Penuh pemahaman dan sekaligus tak secuilpun ilmu dimiliki.
Kembali kepada makhluk luar bumi dari tingkat 6. Dia hanya bisa menggunakan dua metode untuk bisa ke Bumi. Pertama dia harus dilahirkan sebagai bayi, atau memasuki jasad yang sudah mampu mengembalikan kualitas jasadnya sekualitas bayi, artinya murni dan bersih dari rasa dunia. Sebab jika langsung turun, meskipun bisa secara mekanisme, tapi berbahaya bagi dirinya dan bagi makhluk bumi setempat. Dengan bentuk berbeda dan pemahaman yang tinggi, secara ironis justru bisa membuat makhluk bumi menyembahnya.
Resi tadi kemudian didatangi oleh seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai Dewa Surya, Raditya, Bagawan Radi. Sang pertapa tidak langsung percaya, maka terjadilah dialog di antara keduanya.
"Siapa Dewa Surya?" Tanya sang Resi
"Kami dari Kawi (Venus) yang kini telah bertugas melayani makhluk lain dengan tinggal di matahari"[1]
"Apakah kamu tidak terbakar berada di sana?"
"Tidak, kami memiliki jasad yang berbeda dari manusia, bahkan di matahari kami justru membantu menciptakan panas yang tenang"
"Kenapa kau di sana? Kenapa kau yakin kamu sedang melayani? Apakah kau tidak berfikir bahwa kau tengah dihukum?"
"Tidak, kami bisa keluar kapan saja kami mau, dan bisa naik tingkat ketika pengabdian kami berada dalam kualitas yang memenuhi syarat"
"Kenapa kau mengaku sebagai dewa? Apakah kau mengharapkan aku mengabdi kepadamu?"
"Tentu saja tidak. Kami tidak berani menjadi sesembahan dan tidak ingin disembah. Kami sama sepertimu menuju sesembahan sejati, satu-satunya yang pantas disembah dan diberi persembahan dengan ketulusan pelayanan kita"
"Lantas kenapa kau menamakan dirimu dengan Dewa? Bukankah kau tau bahwa dewa di bumi ini diperlakukan sebagai sesembahan?"
"Tidak bisa aku menjumpai seseorang yang berbahasa dan berbudaya bumi dengan bahasa yang kami pakai. Dewa hanya upayaku untuk mengatakan bahwa yang dimaksud oleh penduduk bumi tentang dewa, adalah kami yang memiliki tugas mengawal dan menemani perkembangan ruhani makhluk bumi"
"Kenapa kau yakin? Bagaimana jika yang mereka maksud adalah bukan kalian, tapi wujud lembut lain yang benar2 berkuasa seperti dugaan para manusia?"
"Sejarahnya tidak seperti itu. Dulu sebelum manusia menjadi pengganti. Kami telah turun dan mengajarkan kepada makhluk bumi, mereka sangat memuja matahari dan mulailah menjadi mitologi tentang makhluk berkekuatan lebih dari mereka. Struktur-strukturnya mereka rangkai sedemikian rupa sehingga menjadi kumpulan dewa-dewa. Tapi bahasa yang mereka gunakan tidak sama dengan kalian. Maka ketika manusia menjadi pengganti, pemahaman itu dibahasakan sesuai dengan lidah manusia dan mengalami sekian penambahan dan pengurangan. Hal ini bisa terjadi sebab ada punggawa pendamping manusia yang berasal dari makhluk sebelumnya. Sedangkan penambahan dan pengurangan, dilakukan oleh Smara yang sesungguhnya sangat paham mekanisme bumi dan langit. Dengan keterlibatan Smara, segala hal yang bersifat dewa semakin terletak tidak terjangkau dan unggul jauh di atas rata-rata manusia. Smara bagaikan kaki kiri, sedangkan aku bagai kaki kanan. Jika Smara menggiring manusia terbuai dalam ilusi dan imajinasi keinginan nafsunya. Maka aku bertugas memfasilitasi untuk menjadi alternatif lain menuju peningkatan ruhani yang lebih tinggi, justru dengan menepiskan keinginan2 yang menjadi ikatan pada hati yang tidak berangkat menuju hakekat. Aku mencoba hadir sebagai teman bicara dan pendapat untuk menyadarkan hati untuk tidak senantiasa tertambat pada dunia yang sementara. Tambatan yang baik adalah tambatan yang tidak goyah, tidak lekang, tidak pudar, tidak lapuk, tidak mati, dan tidak bergantung kepada apapun karena tambatan itu sudah paling kuat dari yang selainNya. Bahkan Dialah yang memberi atau membagi kekuatannya kepada segala titah makhluk"
"Baiklah, aku mulai mengerti. Dan ketahuilah, meski mungkin aku tidak sepandai kamu. Tapi aku bergantung dan tertambat hanya kepada yang kau sebut 'satu-satunya' itu. Aku bahkan pada saat ini tidak akan bertahan jika tidak disantuninya dengan kekuatan. Tidak akan aman dari keterpelesetan juga, jika bukan Dia yang memberi perlindungan. Maka aku yang bergantung kepadaNya ini mempercayaimu. Sedangkan jika kau menyalahgunakan kepercayaanku maka urusanmu bukan kepadaku, tapi kepada yang menghidupkan dan mematikanku dan kepada yang menghidupkan dan mematikanmu"
"Aku sangat mengerti saudaraku, dan begitulah memang seharusnya kita semua berpegang"
"Satu hal lagi, aku tidak mau menyebutmu dewa. Itu mengganggu jiwaku"
"Tidak mengapa, panggil aku apa saja"
"Baiklah, aku panggil kamu Raditya"
"Tentu saja saudaraku, aku akan datang kepadamu dengan nama itu jika kamu memanggilnya"
"Lantas, apa yang akan kau lakukan sekarang? Apakah kau hanya ingin memperkenalkan diri saja?"
"Saudaraku wahai resi wandkeytka (wantaka widyakartika), aku ingin menggabungkan diriku bersamamu untuk membantu saudara-saudara yang lain dalam lingkunganmu. Aku akan pergi kapan saja kau memintaku pergi, dan akan kembali datang saat kau memintaku datang"
Sang resi menyetujuinya. Kejadian itu diperkirakan pada era yang tidak berjauhan dengan peristiwa kenabian, Nabi Sis. Sehingga masyarakat terbangun dalam dua lini, yakni lini Kawi dan lini ajaran Tauhid yang dibawa oleh Nabi Sis. Meskipun keduanya sama-sama, tapi metodenya berbeda. Dalam metode kawi, diperkenankan untuk mengetahui hal-hal ruhani lebih cepat dari jamannya, sebab dicari oleh orang-orang yang sungguh-sungguh mencari dan tidak lagi terikat pada kepentingan duniawi. Sedangkan lini Nabi Sis, harus lebih berhati-hati dan menahan diri karena pertimbangan pemahaman secara general masyarakatnya. Lebih setahap-setahap dan sesuai pemahaman berfikir masyarakatnya. Dimana setiap tahap jaman akan ada utusan lain demi mengiring dan mendampingi perkembangan peradaban manusia.
Meskipun di sisi lain, ada juga garis dari lini Nabi Sis yakni Sayid Anwar yang memilih jalur khusus sebagai satu warna lagi yang melengkapi warna-warna pergaulan Bumi.
Resi pertapa bernama Wantaka ini kemudian menggunakan nama sebagai Brahmana Raditya.
_______________
Brahmana Raditya kemudian mengajarkan banyak hal-hal mendasar. Tentang bahasa dan tulisan. Perlu diketahui, bahwa sebelumnya mayoritas bahasa yang dipakai masyarakat adalah bahasa burung, yakni berupa lengkingan, teriakan, siulan, erangan, atau gerengan, ditambah isyarat bahasa tubuh dan gestur. Pemakai bahasa ini kebanyakan dari jenis manusia kera, raseksa, yaksa, kunara, kunari. Untuk jenis humanoid keturunan Nabi Adam as bahasa yang digunakan sudah berupa kalimat dan kata yang umumnya bervowel A. Tapi komunikasi batin masih lebih dominan diaplikasikan. Untuk keturunan Nabi Adam yang membangkang, mereka mengembangkan bahasa burung yang berupa siulan atau lengkingan. Karena ada beberapa pasang yang membangkang, maka bahasa burung menjadi lebih banyak pengguna daripada bahasa lumrah humanoid. Kemudian berangsur-angsur bertambahnya masa, tumbuhlah istilah dan sebutan-sebutan standar dengan intonasi seperti lagu atau menembang. Tapi jenis komunikasi ini tidak primitif, karena masing-masing paham sehingga tetap menghasilkan pencapaian-pencapaian yang baik dari sisi pemahaman maupun tidak kurang dari sisi informasinya.
Resi Raditya memperkenalkan tembang, karena dia menganggap semua orang akan sepakat dengan keindahan kembang yakni sekar atau bunga. Jadi bahasa pitutur ibarat bunga yang harga dan hinanya tergantung wanginya makna, berwarnanya kata, mekar dan segarnya susunan kalimat, dan menarik hati karena memahami takaran, tidak terlalu menonjol tidak pula terlalu rendah. Apalagi memang budaya menembang sudah tidak asing bagi telinga. Sang Resi juga mengajarkan secara bertahap filsafat-filsafat kehidupan yang dinamakan Sangkan Paran atau lebih dikenal sebagai Sangkya.
Pengaruh dari ajaran yang dibawa Resi Wantaka atau Brahmana Raditya ini menjadi cepat menyebar. Mudah diterima karena metode tembang dan hasta janma. Dalam kurun waktu kisaran 100 tahun kemudian, ajaran Brahma Raditya menjadi pijakan dasar bagi makhluk-makhluk yang berdaulat. Selain manusia, ada Janma Raseksa, dan Janma Wanara yang mampu berdiri sebagai kerajaan. Manusia memiliki dua ciri perkembangan kedaulatan. Yakni kedaulatan yang meletakkan dasar ajaran dari Brahmana Raditya sebagai yang utama. Dan kedaulatan yang memproses diri dengan mengembangkan ajaran dari Nabi Sis. Upaya pembedaan ini dilakukan oleh Smara agar hal yang bermuara satu itu tampak berlainan dan kemudian berpontensi menciptakan permusuhan. Sedangkan ajaran 'kiri' yang dipioniri oleh Sayid Anwar, berkembang dalam dua jenis dimensi, yakni dimensi tak kasat mata dan dimensi kasat mata. Dunia makin menuju pada tatanan yang membangun dengan cara yang beragam.
Pada akhirnya muculah resi-resi yang kemudian menjadi pihak yang menurunkan raja-raja, dan juga ada resi-resi yang tetap melakukan upaya kaluwihan yang mengembangkan perbaikan Ruhani dan tata spiritual masyarakat. Salah satu serat pengangan para Resi adalah Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.
[1] KAWI :
Berbakat, dengan wawasan, tercerahkan, bijaksana, cerdas, trampil, tahu, berpengetahuan, pengetahuan, cerdik, kendali, penembang, orang bijak, rendah hati, jiwa dalam filsafat Sangkhya (filsafat Hindhu), manusia yang memiliki pekerti, penyair, pemikir, bersiasat tempur, cerdik, pemimpin, nama planet : Venus, bijak, burung hantu, peramal, pamomong, penyair, nabi, matahari, pria cerdas
23 notes
·
View notes
Photo

TIRAKAT I : MENYANTAP CAHAYA
Bukan suatu hal asing, diketahui bahwa para leluhur kita memiliki kebudayaan yang agung.
Beberapa hal yang sangat sering kita dengar adalah ; prihatin, tirakat. Puasa adalah cara Islam yang sebaris konsep dengan metode tirakat yang kita uri-uri hingga sekarang. Apalagi telah disebutkan dalam Al-Qur’an pula bahwa “ ..sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”. Para leluhur kita telah memahami bahwa dalam menjalani kehidupan akan mengalami banyak penimbunan. Sedangkan ketika timbunan itu tidak dibersihkan secara rutin dan terus-menerus akan menyebabkan terjadinya tumpukan yang makin lama makin menggunung. Apakah yang paling rugi ketika timbunan ini terjadi? Yakni cahaya diri sendiri yang makin terpuruk ke dalam karena tak mendapat kesempatan tumbuh. Demikianlah, maka para leluhur memiliki konsep dasar yang menyeluruh bahwa mereka adalah kaum cahaya yang hidangan utamanya pun harus cahaya. Ini tercermin dari istilah yang digunakan untuk urusan konsumsi, Mangan, Madhang, Dhahar, Nedhi, Bukti.
Mangan, ini bahasa kasar dari kata dasar mengo atau terbuka atau menganga, siap untuk memasukkan dan dimasuki. Meskipun ini kasar namun makna utamanya adalah ia (yang sedang makan) tengah memasukkan sesuap demi sesuap hidangan cahaya dari Tuhan untuk melanjutkan aktifitasnya. Madhang dimaksudkan bahwa makan adalah jembatan untuk bisa memberi pepadhang, bukan puncak tujuan. Madhang adalah kata kerja yang artinya bukan ‘makan’ namun ‘memberi padhang/terang’. Dhah Har, (Nadhah kraharjan) dimaksudkan untuk menengadah menerima anugrah dari Tuhan, menengadah memohon tetesan rizky dan berkah. Nedhi, dari kata dasar Tedhi/tedho satu filum dengan tadhah, yang artinya wadah, menadahi, menerima. Bukti, ini juga diartikan ‘makan’ meskipun sudah hampir tidak lagi kita dengar ungkapan ini dalam pergaulan, sebab bukti (Bahasa Melayu) yang sering kita dengar bermakna ; barang atau dokumen dasar nyata. Namun baik bahasa Melayu maupun bahasa Jawa dulunya berangkat dari induk Bahasa yang sama.
Bukti ; ‘Bhukti’ satu keluarga kata dengan ‘Bhoga’ dalam bahasa Jawa yang berarti ‘makan’, ‘kesenangan’, ‘pemuasan’, ditekankan kepada kelezatannya, yakni seseorang yang gandrung dan menjadikan makanan sebagai wisata dan kesenangan. Perilaku seperti ini meski lazim untuk jaman kita sekarang, adalah prilaku yang dianggap rendah martabatnya bagi para leluhur.
#Tuhankutidaksendesoperkiraanmu
#romadhonan
0 notes
Photo

DZIKIR
Makin hari makin manusia tetap akan memilih mekanisme yang Tuhan sudah tetapkan sebagai hukumNya. Jaman ke jaman mungkin asyik memperkaya dan memutakhirkan terus tekhnologi kebohongan, muslihat, tipu daya. Hingga seakan-akan puncak hukum yang diketahui secara umum adalah yang seperti itu. Kebudayaan jujur hanya terletak di pinggiran atau di etalase peradaban. Bahkan ada yang telah memuseumkannya akibat terlalu jauh meninggalkan kejujuran dan singgah di kamar ketidakjujuran yang dihidangkan kue-kue lezat sehingga lupa jalan pulang kembali pada kejujuran.
Namun, betatapun demikian hukum natural akan lebih tangguh menghadapi perguliran masa. Ketidakjujuran hanya akan berkarat dan rungkat. Sedangkan berbondong-bondong orang kemudian tumbuh dengan kebudayaan yang menjunjung kejujuran. Sekarang hal seperti ini tengah terjadi dan akan semakin subur. Fenomena kejujuran pada fenomena jual beli online misalnya adalah tawaran utama yang membuat pihak-pihak yang bertransaksi di dalamnya merasa aman, nyaman dan saling percaya, kemudian imbasnya akan saling memuji satu kepada yang lain sebab merasa puas dengan hasil transaksinya. Dan pula akan saling menegur mengingatkan pada hasil transaksi yang tidak sesuai.
Berapa banyak biaya yang kemudian dipangkas hanya dengan menjunjung kejujuran. Sangat banyak, hitung saja sendiri di saat senggang. Metode transaksional yang berusaha mengacu pada hukum natural yang manusiawi sesungguhnya telah dibidik sejak lama untuk menarik simpati khalayak. Ada yang sangat ramah, murah senyum, menegur pelanggan yang datang dengan greetings seperti mantra, ada yang menawarkan suasana yang homy. Yang paling banyak dengan metode promo, diskon, hadiah, surprise, door prize, karena pada dasarnya manusia secara umum menyukai hadiah dari kejadian yang tak terduga-duga. Ini apa kalau bukan naluri tunduk menjalankan hukum Tuhan yang sudah ditetapkanNya sejak semula. Namun, semua yang terjadi oleh tangan-tangan manusia itu bisa kamuflase, bisa lips service, bisa tipu daya, untuk mengecoh pelanggan yang memang sangat nyaman jika disambut dan dilayani dengan hukum Tuhan yang adil. Senyuman bisa dipalsukan, keramahan bisa disetting, diskon dan hadiah bisa dikalkulasi keuntungannya. Namun bagaimana memalsukan kejujuran? Berbeda dengan kejujuran, kejujuran bukan ungkapan, kejujuran adalah bukti. Seseorang akan langsung terbukti ketidakjujurannya ketika lancung meskipun predikat sebelumya sebagai sosok yang tak mungkin menipu. Orang terbukti jujur bukan pada seberapa besar dan banyak ia ngasih hadiah. Bukan pada seberapa ramah ia menyapa banyak orang dengan tutur yang santun. Bukan pada gesture dan wajahnya yang ndeso dan lugu, bukan semua itu. Tapi pada bukti, seseorang atau sesuatu akan terbukti bohong dan terbukti jujur pada bukti yang berkesesuaian atau tidak terhadap ucapan dan hal-hal yang ia tawarkan ataupun ia janjikan.
Maka betapa pentingnya ingat. Ingat pada hukum Tuhan yang ternyata memang selama ini terus bekerja dan berjalan dengan suci namun tersingkir oleh silau kemolekan nafsu yang saling menerkam dan berebut memperoleh terbaik dan jatah terbanyak. Cobalah mengingat ketika kamu bercermin sebagai aktifitas yang paling mungkin terjadi secara akumulatif sehingga ketika kamu bercermin menjadi ingat siapa yang membentukmu dengan akhsan. Jika kamu masih lebih terpukau pada kegantengan atau kecantikanmu saja sehingga engkau tak cukup berhasil mengingat siapa yang membentukmu maka cari metode lain. Cobalah mengingat ketika engkau minum, jika kamu tak sanggup mengingat karena kamu lebih mengingat kepentingan rasa hausmu cobalah cara lain. Ingatlah ketika makan, sehingga pada saat kamu makan kamu ingat siapa yang sesungguhnya menyuguhkan hidangan itu di depanmu. Jika kamu juga kesulitan untuk mengingat karena kamu terlanjur tertambat pada tuntutan mengenyangkan diri akibat rasa lapar dan ingatanmu dipenuhi suasana ingin menyantap segala hal di depanmu maka cobalah cari cara lain.
Cobalah ketika hendak tidur, cobalah ketika bangun. Ingatlah sebelum masuk kamar mandi. Ingatlah ketika terasa mau pipis, semua punya siklus yang bisa menjadi remindermu. Kalau itu semua masih menyusahkan, ingatlah ketika susah, ia punya masa putarnya sendiri pula. Ingatlah ketika sakit, ingatlah ketika sehat, ingatlah ketika hidup dan ingatlah akan ada kematian memungkasi hidupmu. Jangan mati dalam keadaan susah karena hidupnya susah. Ingatlah apa saja salah satu yang paling mudah yang menjadi rutinitasmu sebagai butiran dzikir (indikator mengingat), pilihan itu niscaya tetap menuntun pada perilaku yang makin ikhsan, mukhsin.
.
0 notes
Photo

MAWAS DIRI PADA GELAP TERANG
Ada panas ada dingin : panas mengembangkan, dingin membekukan. Ada terang ada gelap : terang menguakkan, gelap meyembunyikan, ada keras ada lunak : keras untuk menegaskan, lunak untuk kasih sayang. Ada laki-laki ada perempuan : laki-laki ibarat wajah (yang ternyatakan) bertemu keramaian dengan membawa kehormatan, perempuan ibarat aurat (yang tersimpan terhormat) dan terjaga pada 'persembunyiannya' yang sunyi. Semuanya seimbang dan mengandung resiko ketidakseimbangan jika mulai dibalik.
Wallahu a'lam
PETUAH GELAP-TERANG KEPADA RAGU Tak perlu kau risau jika ‘Tinggi’ memandang rendah kemampuanmu ‘Besar’ memandang kecil keberadaanmu ‘Curam’ meremehkan daya jelajahmu ‘Dalam’ mentertawakan dangkalmu ‘Luas’ meminderkan sempitmu Jika itu merisaukanmu Itulah pikiranmu yang banyak tuduhan Alih-alih Kau merupa menjadi ‘Tinggi’ Untuk bisa merendahkan Menjadi ‘besar’ untuk mengecilkan Menjadi ‘curam’ untuk mencemooh takut Menjadi ‘luas’ untuk dikagumi kesempitan Itulah gelap! Sebab Segala upayamu itu kau wajahkan untuk merundukkan orang Namun jika, Segala prosesmu tersembunyi sebagai aurat Tidak ada yang merasa tertindas pada Keagungan dan keluhuran yang tak terjangkau kekerdilan Karena, justru kau makin tak ditemukan di ballroom keagungan ataupun di pentas keluhuran Itulah cahaya! Sebab rundukkan dirimu sendiri demi menjunjung martabat pengabdian Tak perlu kau ragu jika kau tak nampak dan tak dipandang Sesungguhnya itu bayaran murah untuk Mendapati dirimu disaksikanNya
.
0 notes
Photo

MAWAS DIRI PADA MALAM
Malam memberikan keterbatasan penglihatan namun, meluaskan pandangan. Menyebarkan cakrawala ilmu dan membentangkan langit-langit pengetahuan yang digelantungi bintang-bintang pemahaman dan dirembulani pancaran cahaya nasehat, wasiat, dan fatwa.
Pada waktu datangnya malam, bolehlah kita melewatkannya karena tertidur. Namun berarti sekaligus ketinggalan menyimak petuah malam yang disampaikan di waktu yang sengaja memilih kesunyian sebagai ruang. Maka jikapun tak bisa menyimak setiap hari, sempatkanlah menyimaknya sekali dalam seminggu, atau sebulan sekali, atau setahun sekali, atau paling tidak sekali dalam umur hidup. Mawas diri terhadap malam adalah juga melakukan evaluasi apakah sejak pagi bangun tidur hingga sekarang hendak kembali tidur, diri terawasi? Terpantau? sudah terjaga dengan baik? sudah melewati dengan baik ujian-ujian? Jikapun belum, maka evaluasi ini akan menjadi bekal perbaikan kita dalam menghadapi hari esok dengan peranti ilmu lebih matang.
Malam mengajarkan tentang sunyi, bercerita tanpa lelah tentang cahaya yang sangat ia selalu rindu, mengajarkan tentang tiada, mengenalkan tentang hakekat bersama dan kesendirian. Memperlihatkan makna kemenangan dan kekalahan yang tak pernah menjadi ide semesta kebersamaan kecuali oleh pihak yang masih perlu belajar pada jurang dan ruang.
PETUAH MALAM KEPADA DIRI Setelah kau tak jumpai perempuan cantikmu itu Setelah tak kau dengarkan kicau burung-burung Setelah tak utuh lagi kau lihat warna-warna Setelah kau langkahkan kaki Setelah kau pergunakan telinga dan mata pada rupa dunia Setelah kau libatkan hati untuk ikut berfatwa Setelah kau belajar banyak pada sendunya terang Setelah kau banyak belajar pada kelamnya benderang Setelah kau mengalami sempit dan sesaknya ruang lapang Kini duduk dan berbincanglah kepadaku Akan aku kisahkan tentang tarian Yang melenggang berselendang awang-awang Dan melenggok dengan irama kendang Sang Maha Pawang
0 notes
Photo

MAWAS DIRI PADA PETANG
Sore memungkasi diri dan peran pengawal waktu berikutnya diambil alih oleh petang. Petang diserap dari kata ‘peteng’ yang artinya gelap. Belum malam bukan lagi sore namun sudah gelap. Inilah awal waktu perpindahan dari siang menuju malam, dari terang menuju gelap. Kondisi perpindahan ini dianjurkan untuk berada di rumah, memagari hidup. Rumah disini tidak selalu bermakna harafiah sebab, dimana disitu ada fenomena perlindungan, kasih sayang, saling menjaga, saling membantu, saling mengingatkan dan wasiat mewasiati dalam kebaikan dan sabar, maka itulah rumah. Hunilah rumah yang seperti ini dan pagari dari invasi tradisi rumah yang lain, yang senang bersolek, berhias, dan memajang kekayaan, inilah tradisi rumah jahiliyah.
Perbedaan tradisi Jahiliyah dan bukan terletak pada niat dan tujuan akhir. Keduanya sama-sama saling melindungi, saling menyayangi pula, saling mengingatkan juga, namun bukan dalam hal kebaikan dan sabar melainkan dalam hal penguasaan dan membumbungnya pamor di mata manusia. Maka tradisi ini gemar sekali memperlihatkan kehebatan dan sangat berkepentingan membuat oranglain tersingkir, kalah, ataupun tersisih, karena memang tolak ukurnya dari nasib oranglain. Sangat wajar jika kemudian disebut sebagai kegelapan dan kebodohan.
Mawas diri kepada pada petang adalah mempertahankan tradisi keluarga rumah cahaya yang justru mulai makin menyeruak dan bekerja ketika malam mulai datang. Saat petang adalah saat mewaspadai diri, mempersiapkan diri agar tidak melewati malam dengan terhasut untuk menambahi kegelapannya.
PETUAH PETANG KEPADA HATI Jikalah kau susah sekali menemukan cara Untuk melihat hatimu Maka temukanlah pada perempuan Yang kau anggap layak dicintai Dimana kau tak peduli jarak dan terjal mendaki Kau mampu temukan keindahannya Kepedulianmu hanya satu, tak rela membuatnya kecewa Tak minat membuatnya terluka Dan nikmat merasakan derita untuk memastikan ia bahagia Begitulah hatimu mencintai Namun ia sering bertengkar dengan syahwat dan logika Untuk menghitung tinggi rendah dan imbal balik Jika syahwat yang menang, perempuanmu kau nodai Jika logika yang menang, cintamu menjadi transaksi Jika hatimu yang menang, mungkin kamu sedikit menangis Tapi semua yang kau sayangi tersenyum bahagia dan tentram bersemayam dalam keteduhan
0 notes
Photo

MAWAS DIRI PADA SORE
Mereduplah hari yang benderang menuju keteduhan. Sikap sikap yang membumbung mulai mereda dan berubah menjadi sikap sikap penuh harap. Pada jam-jam ini banyak yang sudah lelah, ada yang mengalah, ada yang menyerah, ada yang berserah. Pada sore manusia diingatkan lagi kepada kesungguhan memahami makna keindahan. Yakni keindahan yang dibawa dengan ketenangan, keteduhan, kegembiraan berbagi. Lembah manah andhap asor. Sore membawa nasehat untuk meneduhkan diri.
PETUAH SORE KEPADA MATA Jika kau kesulitan melihat indahnya hari, Lihatlah perempuan yang kau anggap cantik. Ia menampakkan kepadamu membawa keindahan yang sempurna Tak perlu bernyanyi namun gerak-geriknya berirama Tak harus penuh hiasan, kehadirannya menghiasi Juga tak perlu senjata, keindahannya menundukkan Sebab ia membawa keindahan yang sempurna, maka Ia membagikan kepada matamu, kecantikannya namun ia juga menyuguhkan kepada hatimu, kekecewaan Ia membahagiakanmu dengan senyuman, namun juga Senyuman itu yang paling melukaimu suatu ketika Ia membawamu pada ketakjuban dan dorongan rela berperang Namun sekaligus ia juga menjebakmu untuk terlena bahwa kau diam-diam menjelma menjadi prajurit yang lupa peperangan sesungguhnya
1 note
·
View note
Photo

MAWAS DIRI PADA SIANG
Ketika benderang mengungkap aneka benda dan munculah selaksa warna, sianglah menjadi petugas utamanya. Siang menganjurkan pandangan luas dan penuh keanekaan. Seiring dengan banyak yang terungkap semakin banyak pula pihak (yang terbiasa menggelapkan) merasa dirugikan.
Pergesekan kutup gelap dan terang pun terhampar sebagai tema utama. Pergesekan yang menimbulkan panas, membuat orang menjadi beringas, buas, mangas. Manusia mewarnai hari penuh warna dengan kegelapan demi kegelapan pula.
Setiap diungkap satu benda dengan cahaya agar terlihat warna, letak, dan bentuknya, agar jika ia berbahaya bisa disingkirkan dan jika ia bermanfaat bisa dinikmati bersama. Namun seiring itu pula selalu ada yang mencoba mengaburkannya karena ia hidup dengan pengaburan benda-benda agar banyak sangka bahwa benda merupakan hakekat utama. Semakin terungkap keburukan semakin justru ingin menutupnya dengan kepalsuan berlapis-lapis. Ia perlu pengaburan itu agar gelap tetap disangka cahaya dan benda tetap disangka karib utama kehidupan baka. Siang mengajarkan keluhuran budi pekerti. Melihat segala hamparan dari atas dan pandai memetakan diri.
PETUAH SIANG UNTUK KEPALA Kau mungkin tengah menyangka menjadi kesatria kau ingin tunjukkan pada seluruh dunia bahwa kau Pangeran Berkuda Kepalamu menyangka, kaulah yang berhak dicinta dan dipuja oleh deretan putri raja Namun kau lupa! Kuda yang kau tunggangi juga punya kepala Sama seperti punyamu, namun ia melayanimu membangun kegagahan Sedang kaupun percaya bahwa kau gagah perkasa Adalah hanya ringkik yang senantiasa tak bisa bersembunyi Ia mentertawakan keringkihanmu
0 notes
Photo

MAWAS DIRI PADA PAGI
Pagi tidak bosan mengajarkan kebeningan. Kembali menyuguhkan kesejukan dan kesegaran. Ia ibarat sebuah bayi yang suci. Pada kedatangannya tidak banyak makhluk melakukan perbuatan maksiat, hampir semuanya bermanfaat. Orang bangun mencuci muka, menyucikan diri, menjalankan peribadatan, menyapu halaman, menuju sawah, mempersiapkan diri pada hari yang memerlukan kesiapan. Pagi mengantar dengan begitu indah setiap hari. Jika cerah, cahaya merekah, kicau burung bersahutan meriah. Inilah keindahan yang bisa dirasakan hampir pada semua makhluk. Jika pagi dihantar dengan mendung, kesenduan tak terbendung, rasa malas merundung, inilah ketidak-indahan pagi yang bisa dirasakan hampir oleh semua insan. Namun, jangankan mendung jikapun rerintik hujan, atau bahkan hujan sekalipun, sesungguhnya pun keindahan. Ialah, keindahan yang hampir tidak bisa ditemukan oleh yang sudah memuncaki pada satu bilah keindahan saja. Keindahan yang tersembunyi hanya akan bisa dikuak oleh pihak yang tidak berpihak, keindahan yang sunyi hanya bisa dijumpai oleh pihak yang tak hanya ingin kenal kepada ramai dan tetap asing kepada sunyi. Ia akan merangkul kawan sunyinya untuk menerangkan rahasia keheningan. Pagi menerangkan tentang makna teruji dan terpuji.
PETUAH PAGI KEPADA KAKI
Tidurmu adalah tudung, tahukah engkau tudung itu?
Jika kau kesulitan memahami tudung pahamilah ia merupakan kain
Yang menutupi perempuan yang kau anggap cantik.
Tatkala tudung itu terbuka, kakimu tak terasa melangkah mendekatinya
Tapi kau bukan mendekati tudung
Kau mendekati rupa yang memakai tudung itu
Kau terkesima akan cantiknya dan kamu bisa lupa bahwa
Yang kau ingin dekati sesungguhnya bukan rupa.
Tapi cinta.
1 note
·
View note
Photo

ISLAM
Islam adalah berserah diri, damai, pasrah, menghamba. Berbicara Islam adalah berbicara kesemestaan, di dalam Islam tersusun kumpulan prilaku-prilaku Silmi. Dimana Silmi adalah prilaku yang berkarakter menebarkan Salam. Menebarkan salam ialah memastikan kehadirannya tidak mengganggu oranglain, tidak mengusik, tidak mencederai, menjamin dirinya tidak akan mengganggu martabat, harta, dan darah pihak lain. Penebar salam memastikan keselamatan atas lingkungannya, berkontribusi dan konstruktif, produktif, kooperatif, jika ia sebagai warga. Memastikan keselamatan tanah air, nafkah, mata pencaharian, logistik, kebutuhan peribadatan, pendidikan, kesehatan, sandang, papan, kreatifitas, dlsb bagi warganya jika ia sebagai pemimpin. Memastikan keselamatan moral dan menyempurnakan akhlak negara, pemerintah, dan warganya jika ia seorang ulama.
Dalam kondisi sekarang, ternyata hanya warga yang masih berusaha menjalankan fungsinya dengan baik meski tertatih-tatih. Ia tetap berusaha membayar pajak, ikut BPJS, tidak ada lapangan kerja bikin lapangan kerja sendiri. Tetap ada Nyadran, tetap ada Idul Fitri, Idul Adha, dan hari besar lain yang tidak perlu disubsidi pemerintah. Ada sekolahan reyot tidak menuntut, tetap digunakan tetap buat belajar. Ada sawah yang disita, mengalah. Ada rumah yang digusur, memilih mundur. Terus seperti itu, hingga ternyata warga berada dalam posisi yang terus mengalah dan mundur dan makin tergusur dari sisi dan segi apapun. Sebagai warga hukum, ia tergusur. Sebagai warga negara ia merana. Sebagai warga ekonomi, ia pasar dan sapi perah. Sebagai warga pendidikan, ia bodoh.
Sesungguhnya jika pemimpin lebih mau bekerja, yang diprioritaskan bukan melulu jalan tol atau pembangungan infrastruktur yang diimajinasikan sebagai ukuran sebuah keberhasilan dan bukti adanya pembangunan. Ranah kesenian telah banyak yang ambruk karena warga makin terhimpit untuk terus mempertahankannya. Grup-grup kesenian meredup dan padam. Ranah kebudayaan makin tak terurus sedangkan warga yang mengurusi itu sering memakai biaya pribadi untuk mempertahankannya. Bidang olahraga makin tak terbina. Di bidang sastra dan literasi makin tak digemari dan dianggap basi. Rakyat teriak dicap subversif, rakyat diam dianggap mengijinkan. Ulama yang berusaha memberi masukan dicap sebagai pihak yang bersebrangan. Ulama yang mendukung, akan diangkat dan dijunjung meski tanpa kualitas dan abilitas. Urusan-urusan yang berkaitan dengan kemudahan oranglain untuk berbuat baik dengan makin mudah adalah "jalan-jalan tol" yang sangat jembar. Hamparan-hamparan untuk membangun keselamatan di segala bidang Itu semua adalah bulir-bulir Silmi yang bisa diambil oleh setiap warga, pemimpin, ulama untuk membangun masyarakat yang Rahmatan Lil ‘Alamiin.
Orang tidak perlu menjadi Islam, tapi setiap orang bisa menelurkan bulir-bulir Silmi yang dikontribusikan dan dikumpulkan demi kemaslahatan bersama. Wallahu a’lam.
0 notes
Photo

SYAHID JIHAD
Syahid, seakar kata dengan syahadah; Bersaksi dari sejak dilahirkan hingga dimatikan. Berperang mempertahankan kesaksian tidak mudah, ia butuh perjuangan. Siapa saja yg berjuang mempertahankan kesaksiannya adalah seorang Mujahid, ketika mati dengan kondisi istiqomah berjuang menjunjung kesaksian ia mati syahid dlm jihad. Ia dihitung terus berperang dimanapun tempatnya, sebab musuh utama adalah dirinya sendiri yang senantiasa dikuasai nafsu mengalahkan dan memenangkan atas oranglain.
Mungkin ini baru berlaku di maiyah, kalau pun belum menyeluruh paling tidak lebih berpotensi untuk terjadi. Yakni : jika kau temui sesuatu yang tak membuatmu sepakat 100 % ada hal-hal yang mengganjal bahkan kontradiktif sebaiknya jgn membahas kedangkalannya, hormati dan serap ketinggiannya kemudian pada kedangkalan itu mungkin tugasmu untuk menambah kedalamannya. Ingat selalu pesan Sahan, ada perbedaan ikhtilafiah dan ada perbedaan khilafiah.
Sebab pada ketinggian, bisa terjadi sebab Ia Al A'la yang berkenan menitipkan ketinggianNya. Sedangkan pada kedangkalan adalah sebab manusia yang membawanya. Setiap insan diperkenankan mencicipi ketinggian dalam ukuran masing-masing yang berbeda, pada ukuran ini terkadang yang diberi ketinggian lebih menterjemahkan ketinggian yang lain sebagai kedangkalan. Maka, jika setiap orang menyadari kebodohan, kedangkalannya, setiap orang pula bersedia menggali lebih dalam agar kedangkalan menjadi kedalaman dan tergenangi air pengertian lebih tinggi. Tidak ada kalah menang dalam urusan mengemban amanat Tuhan. Semuanya berjuang dan menambah kesaksian dari deret pengalamannya bersamaan dengan kegigihannya menjalankan tugas kemanusiaan sebagai amanat dari Tuhan.
Perhatikan ilustrasi berikut :
Ada dua orang yang sama-sama mengerjakan suatu pekerjaan bersama. Mereka berdua menggali sumur. Yang satu berada di atas dan yang satu berada di bawah. Yang dibawah mengerjakan perkejaannya di bawah, dan yang dia atas menariknya. Yang di bawah berposisi sering minta dilayani untuk mengambilkan beberapa alat dan peranti untuk mempermudah pekerjannya di bawah sana. Sedangkan yang di atas tetep setia dan menuruti apa-apa yang diinginkan oleh yang di bawah. Maka pekerjaan mereka cepat selesai. Mereka semua menjunjung ketinggian, yang di atas memuliakan yang di bawah dan yang di bawah memuliakan yang di atas.
Bayangkan jika kekerdilan dan kedangkalan yang menghinggapi benak mereka, mereka terus memperbandingakan fungsi dan kedudukannya padahal tak ada yang lebih baik dari keduanya soal kedudukan, mereka ribut membela diri kelebihan masing-masing di bawah versus kelebihan di atas. Mereka yang sesungguhnya sedang dalam kedudukan membawa amanat yang sama menjadi tak merampungkan pekerjannya karena sibut mempertengkarkan hal yang sia-sia.
Tugas Kemanusiaan
Pertama, jangan menghitung kualitas lombok pada beratnya tapi pada pedasnya, artinya jangan menyangka semakin banyak lombok = pasti makin pedas. Apalagi jika lombok yang ditimbang lombok-lombok muda yang seharusnya masih berproses, artinya banyaknya model ‘ini’ dan ‘itu’ sesungguhnya masih dalam proses pendewasaan dan pematangan sehingga makin presisi dan makin “pedes”.
Kedua, tugas kemanusiaan itu bukan tugas yayasan atau departemen, melainkan tugas manusia. Selama masih menjadi manusia perlu menjalankan tugas kemanusiaan dengan ukuran sewajarnya. Bahwa salah satu caranya ada yang bikin yayasan dan lain sebagainya, biarkan saja nggak apa-apa. Setiap orang tidak lantas kehilangan tugas kemanusiaannya secara pribadi.
Lakukan saja terus apa yang terbaik menurutmu sendiri, agar menjadi lebih baik. Lebih baik tidak untuk dijadikan perbandingan dengan yang lain tapi jadi perbandingan diri sendiri. Semoga apa yang kamu pilih menjadi pilihan yang tertuntun dan senantiasa membawa berkah. Tidak perlu menyalahkan apapun termasuk diri sendiri, jika menemui kesalahan segera saja diperbaiki tidak perlu meratap dan menyesali, jangan sampai prilaku yang baik malah menjadi prilaku kurang syukur dikarenakan sesal apalagi putus asa. Kita semua masih terus belajar hal yang sama sebab hidup sungguh penuh ilusi. Seakan kita sudah berbuat baik padahal kelak kita justru menjadi sombong dengan kebaikan itu. Inilah guna mawas diri.
Ilusi adalah bungkus dari suatu isi / hakiki. Seseorang tak akan dangkal selamanya dan tak akan benar-benar tinggi. Sempit dan dan dangkal bisa jadi terjebak pada bungkus tidak melihat kedalam. Dihadapkan pada sebuah peristiwa yang menghimpit dan menekan, sedangkan Tuhan yang melapangkan dada manusia, yang menyertakan kemudahan bersama kesulitan. Poin utama dari rasa sempit adalah kita terlanjur merasa hebat dan kuat, sehingga susah untuk mengecil dan pasrah. Hal yang sama terjadi pula pada ilusi ketinggian, seaeorang yang tahu diri, paham peta dan posisi makhluk di hadapan Tuhan, ibarat ia bisa terbang, bisa menggandakan diri, mudah untuk berpindah tempat, itu semua akan diterima sebagai pinjamanNya bukan sebagai pencapaian dan miliknya. Kedua ilusi bernasehat pada proporsi dan rasa pengabdian yang hakiki.
Fenomena keterjebakan pada bungkus itu lumrah, menyadari dan kemudian menambah kesadaran dan ingat adalah karunia berharga, seakan hadiah tunai dari upaya menguak isi di balik kemasan. Dalam Islam dianjurkan berdzikir, supaya tetep terjaga. Coba ditelusur melalui kecenderungan. Apa yg paling menakjubkan dalam hidup. Setiap orang, masing-masing akan punya versi dan kecenderungan tentang ketakjubannya. Misal, takjub pada kesucian, tunduk pada kesucian, memuliakan orang (yang dianggap) suci, lalu menemukan kesucian-kesucian yang tersembunyi dari suatu hal sebelumnya tidak dianggap suci. Dengan cara itu mungkin membantu mengingat kepada Allah Yang Maha Suci ( Al Quddus). Maka dalam hidupnya yang telah secara fitrah berkecenderungan pada fenomena kesucian senantiasa berjuang menemukan hakiki kesucian. Yang sejak ia berjuang menemukan dari level paling padat hingga cair tetap dihitung dalam rangka berjuang menjaga kesaksiannya pada kesucian. Kecenderungan ini akan menggiringnya untuk mendapat perkenan mengenal, mengenal Tuhan Yang Maha Suci. Jika Tuhan sudah mengenalmu yang gigih dan elok menjaga fitrah, hati menjadi tenang, jiwa menjadi tentram, ketidaknyamanan bisa sebera dikonversi, ketidak-indahan bisa segera mekar keindahannya. Ia pun seorang mujahid dengan perjuangannya. Jika seseorang yang dari dilahirkan hingga dimatikan tetap menjaga kecenderunganya untuk mengabdi dan bersaksi kepada Al Quddus, maka ia seorang yang mati dalam keadaan bersaksi, bersyahadah, syahid. Suci (Al Quddus) bisa diganti dengan, Adil (Al Adlu), Ilmu (Al Alim), Sabar (As shobar), Bijaksana (Al Hakiim), Perkasa (Al Jabbar), Raja (Al Malik), dlsb.
2 notes
·
View notes
Photo

ARAB
Oleh sebab itu jangan dikira Tuhanku hanya akan mengakui seseorang sebagai hambanya dengan syarat bisa berbahasa Arab atau tidak, fasih atau tidak, dlsb. Tuhanku lah yang menciptakan segala bangsa dan bahasa, yang membuatnya bersuku-suku dan berbeda-beda. Sebab Tuhanku meletakkan kepercayaan pada yang memiliki akal bahwa pada sekian perbedaan itu masing-masing orang akan mencoba menemukan kesamaannya dan menunjukkan ketaqwaannya untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Maka, Tuhan tidak menuntut kesaksianmu, hidupmu, matimu, pengabdianmu, dengan berbagai bekal yang telah Ia anugrahkan kepadamu. Kamu tetap mampu menjadi orang baik dan bermanfaat sebagai orang Jepang, sebagai orang India, sebagai orang Batak, sebagai orang Bali, sebagai orang Jawa, sebagai orang Arab.
Persyaratan sebagai orang baik itu tidak terletak pada kebisaannya pada bahasa tertentu, namun pada memahami bahasa kemanusiaan kemudian ia berdialektika dengan bahasa situ. Kamu tak perlu fasih bahasa Arabnya untuk paham kondisi lingkunganmmu. Bahkan sebuah kondisi tak harus dibahasakan dengan kata-kata. Kamu liat nenek-nenek berjalan kaki sendirian dengan tertatih-tatih di pinggiran jalan hendak menyebrang di jalanan yang ramai pasti akan merasa iba. Kamu melihat seorang anak kecil menangis meronta karena terlepas dari gandengan tangan ibunya yang dibawa paksa satuan tertentu pasti akan merasa ikut meronta. Itu semua bahasa untukmu yang kamu diminta untuk bersikap dan mengulurkan bantuan. Jika kamu tergerak dan kemudian mengulurkan tangan memberikan bantuan atas nama Tuhan, kamu berprilaku Silmi. Jika kamu tergerak dan kemudian mengulurkan hape dengan kamera yang menyala untuk kau harapkan jadi viral di sosmed, maka kamu tidak tersentuh dan menunggangi derita orang lain untuk kepentinganmu sendiri yang sia-sia. Justru masih lebih baik kamu diam daripada seakan berbuat namun tak bermanfaat. Maka berbuatlah jika kamu bisa berbuat, dan diamlah jika kamu tak memiliki keberanian berbuat apapun, kemudian berdoalah agar derita oranglain yang tak mampu kau tolong diamankan dan dilindungi oleh Allah. Juga mohon ampunlah atas kelemahanmu yang dengan kelemahan itu kau tak cukup sanggup menjalankan ‘tugas’ kemanusiaan. Mintalah petunjuk dan tambahan keberanian untuk di kemudian hari engkau lebih berani dan bisa menjalankan tugas dengan lebih baik, lebih memiliki daya juang dan tak menyesali diri.
0 notes
Photo

SYAR’I, THARIQ, SIROTH,
Dalam Agama Islam, bahwa seluruh alam semesta ini sudah Islam. Artinya telah tunduk dan berserah pada sebuah sistem Maha Tunggal. Manusia yang diberikan akal justru yang perlu memproses diri dengan kesadaran mengabdi untuk menjadi bagian dari semesta yang tunduk dan pasrah. Akal diberikan kepada manusia sebagai karunia istimewa untuk menjadi makhkuk yang memiliki kesadaran dan memiliki hak pilih. Ia bisa tetap ingkar dan bisa juga kembali kepada kesadaran.
Manusia pertama yang diturunkan oleh Tuhan ke Bumi adalah Nabi Adam. Manusia pertama yang juga Nabi ini sangat dimuliakan dalam Agama Islam. Lalu kenapa ummat Islam menghormatinya? Jika Ia orang pertama bukankah itu berarti Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah Islam belum dilahirkan? Kenapa tidak kita lupakan atau bahkan kita tuduhkan bahwa Nabi ini masih Kafir karena belum memeluk Agama Islam?
Cara berfikir seperti inilah yang sedang menjamur menjadi sebuah perspektif kebenaran baru. Meskipun bukan kepada Nabi Adam, namun kecenderungan beberapa pihak untuk menegaskan bahwa yang sudah meninggal tidak ada kaitan dengan yang masih hidup. Yang tidak menjalankan syariah sesuai kategori dan ukuran-ukuran yang ia buat disebut bukan penjalan syariat yang kaffah dan masih najis. Orangtua yang mati tidak bisa menerima pahala lagi dari kegiatan yang ada di dunia, dan ia juga tak bisa mendengar do’a siapapun yang mendo’akannya. Pandangan-pandangan penuh heroisme kesucian itu seharusnya cukup memenuhi syarat untuk juga memasukkan Nabi Adam hingga Nabi Isa sebagi pihak yang tak perlu dikenang apalagi dimuliakan.
Demikiankah Islam? Tuhanku tidak sendeso itu. Ia yang Maha menciptakan sistem semua dari Purwa hingga Purna tanpa cela. Ia telah mengatur dan menebarkan bermilyar-milyar petugas-petugas untuk menjaga dan menjalankan operating system Agung buatanNya. Nabi adalah utusan yang mendapat Wahyu, Ia adalah orang terpilih dan juga dipilih oleh Tuhan sebagai utusan untuk menata perikehidupan manusia yang ia mulai. Seorang utusan pastilah tunduk dan pasrah kepada Tuhannya, Nabi Adam adalah Islam dan seluruh sistem setelahnya yang merujuk pada ajaran Nabi Adam sesungguhnya pun adalah Islam. Bahkan Tuhanku menyatakan bahwa ayat-ayatNya akan dijaga olehNya sendiri. Ia akan bertahan dan tetap bisa dibaca hingga kapanpun meski telah melewati sekian abad sekian jaman.
Bacaan itu dihamparkan dengan berbagai rupa, ada yang berupa keaneka-ragaman manusia sebagai aksaranya. Ada yang berupa keaneka-ragaman tumbuhan, binatang, musim, iklim, temperatur, suhu, dan lain sebagainya sebagai tanda bacanya. Ada pula berupa keaneka-ragaman keyakinan, kebenaran, ideologi, faham, aliran, anutan, dan lain sebagainya sebagai tema-tema bacaannya. Semuanya berkisah tentang satu hal yakni tentang Tuhan yang Maha Besar dengan syariah/cara tutur dan bahasanya masing-masing. Masing-masing cara itupun bercabang-cabang arah penulisannya (Route/Thoriq), ada yang dari kiri ada pula yang dari kanan, ada yang mulai dari bawah ada yang mulai dari atas. Semuanya bisa terhambat dan kisruh pada sebuah simpangan sebelum sampai titik tuju, ketika masing-masing tulisan ini saling meributkan, mendikte, dan menyalahkan rute yang ditempuh yang lain. Karena rute perjalanan yang berlainan adalah kepustakaan alam untuk menegakkan sebuah jalur (Shiroth) pengabdian yang sama, yakni jalur yang senantiasa menegakkan (mustaqim).
Tambahan : “Sabil”
Sabil merupakan ketetapan membingkai langkah dari serapan atau bacaan yang ia alami, yang paling baik fi Sabilillah, berketetapan hati dan perilaku pada Allah. Bingkai ini bisa berlaku pada semua cara, semua rute, karena ini berangkat sebagai niat awal hingga tujuan, sejak awal hingga akhir. Tidak terbelok cabang yang menciptakan frame atau bingkai baru yang melalaikan frame atau bingkai utama.
Ibaratnya gini ; seseorang hanya mampu membaca aksara yang arahnya dari kiri kanan, berkawan dengan yang hanya mampu membaca dari kanan ke kiri. Namun bacaan mereka menyampaikan tema yang sama, katakanlah terjemahan dari sebuah sastra yang ditulis dengan aksara yang bukan ke kiri maupun ke kanan. Bacaan ini bisa membuat 2 orang yang berbeda cara dan operator bacaannya namun punya rute yang sama dengan koordinat awal yang berbeda. Kemudian bacaan itu mampu mempertemukan secara lebih intim tatkala ia disatukan dalam satu tujuan titik pandang. Mereka telah dalam satu jalan yang sama, sebab keduanya ingin menggunakan hasil bacaannya sebagai peranti menegakkan kebaikan dan keindahan. Bingkai dari itu semua, sejak mulai membaca hingga sampai pada tujuan adalah Sabil dimana dalam Sabil ada perjuangan, ada kesulitan kemudahan, ada kondisi sempit ada lapang, ada turun ada menanjak, ada landai ada mendaki, ada curam ada julang, dlsb. Karena ia bingkai, maka telah tumerap (terterapkan/berlaku) sejak latihan mengenal aksara, latihan membaca, latihan memahami makna, latihan mengimplementasikan dalam hidup. Ada yang gagal mencapai makna sebab terlanjur putus asa sejak berlatih membaca. Ada yang terhambat mencapai peningkatan karena terlanjur memuncaki kebenaran dari hasil pemaknaannya sendiri yang ia kagumi sendiri.
Ada pula yang tetap istiqomah, paham langkah dan tahapan, paham alur dan keterbatasan, sadar pada kebodohan dan kedangkalan diri, rela belajar dan berlatih sabar, juga paham mengelaborasi hasil bacaannya untuk diimplementasikan dalam hidup sebagai bukti positif bahwa apa yang dibacanya berimplikasi positif terhadap dirinya. Yang terakhir inilah yang mengakurasi hidupnya dalam bingkai fi sabilillah, ia bukan tak lagi menjumpai kesulitan tapi ia menemukan kemudahan lebih besar, maka ia bersyukur bukan mengeluh. Ia bukan tak lagi menjumpai keterbatasan namun ia lebih akrab pada keluasan, maka ia menghaturkan puji bukan mencaci. Ia bukan tak diuji dengan rupa2 keburukan namun Ia lebih menyaksikan Wajah Tuhan yang Agung dan Luhur maka ia tersenyum dan gembira hati untuk kemudian tidak melukai dan iri dengki.
Demikian wallahu a'lam
0 notes
Photo

PAWANG & DUKUN
Dengan sangat penuh rasa iba, hari ini tengah terjadi pengulangan besar-besaran penggerusan kualitas akhlak hingga manusia sangat menjadi-jadi. Bukan hanya mengulang peristiwa Nabi Nuh yang akan menuai banjir, namun peristiwa kesalahan umat manusia semua Nabi sekaligus diramut jadi satu dan dirayakan dengan sukacita. Bisa dihitung sendiri kira-kira apa azab apa yang akan diturunkan kepada manusia hari ini untuk menyeimbangkan kembali keadaan alam sesuai fitrah. Namun, Tuhanku memang Maha. Ia yang Maha Memiliki Kasih Sayang dan Maha Adil, jaman ini mendapat dispensasi besar karena memang manusianya memiliki kadar kepekatan hijab 7 lapis. Oleh karenanya sang Nabi, sang Rasul, sang Noto, sang Pawang pada zaman ini dimuliakan oleh Allah dengan julukan Habibullah, Kekasih Allah. Betapa terasa sangat pelan dan lambat untuk menyebarkan cahaya di sekitar benda-benda yang menyerap dan menelan cahaya bukan menerima dan memantulkannya kembali untuk berlanjut menerangi yang lain. Betapa harus dengan kasih sayang berlipat dan kesabaran berlapis-lapis untuk menunggu ruangan menjadi benderang. Zaman ini disebut sebagai zaman yang dihuni oleh manusia dengan hijab 7 lapis ialah ibarat hidup di dalam sebuah batu. Gelap gulita, peteng ndhedhet.
Hidup di zaman dengan hijab hanya satu lapis, ibarat hidup di sebuah taman, melihat luas, indah dan terang benderang. Jaman dengan hijab 2 lapis ibarat hidup dalam samudra, melihat lebih buram namun tetap mengenal keluasan dan kedalaman. Hijab 3 lapis ibarat hidup dalam aliran sungai, masih mampu melihat namun mulai banyak terhambat dan memiliki daya jangkau yang pendek. Hijab 4 lapis ibarat hidup di pertemuan aliran air kepada batu, hanya memandang sekilat, sangat singkat dan penuh benturan. Hijab 5 lapis ibarat hidup di atas batu, mampu melihat keluasan, gelap terang, namun tak kuasa beranjak. Hijab 6 lapis ibarat hidup membatu, pandangan lebih pendek dan makin tidak peduli sehingga pandangan-pandangan sekilat ditegaskan sebagai batu sesembahan kebenaran, perang kebenaran makin menjadi pilihan utama. Hijab 7 lapis ibarat hidup di dalam kegelapan sebuah batu, bukan hanya sangat pendek namun dinuansai kegelapan.
Namun, jaman manakah yang lebih baik? Sesungguhnya setiap jaman sama baiknya dan berpotensi sama buruknya. Jaman per jaman itu adalah ilusi saja, sedangkan hakikinya adalah proses setiap insan mengenali kegelapan dan menyadari pentingnya ia menemukan cahaya. Sesuluh kehidupan yang mampu membuatnya tidak terjebak ilusi kesempitan, kedangkalan, ataupun ilusi keluasan dan kedalaman. Tak terjebak ilusi kepicikan dan kerendahan, ataupun ilusi kepandaian dan ketinggian. Karena ilusi-itu itu hanya akan menjadi tak berguna dan tak tampak ada cahaya yang membuatnya tampak lebih jelas letak dan fungsinya. Semua level-level hijab itu semata adalah complong-complong permainan yang menginginkan konsentrasi keterlibatan akal dan hati agar tak terjebak ataupun tertipu dengan persepsi yang kita pasti-pastikan sendiri.
Suluh kecil hingga Suluh besar
Sesuluh sebagai sistem pranatan masyarakat yang dibangun leluhur kita benar-benar memprioritaskan konsentrasi akal dan hati tersebut. Sehingga sistem kita sangat ruhani dan tidak serampangan. Dahulu, setiap daerah terkecil selalu ada seorang Pawang yang dipilih sebagai pihak yang mampu mangku dan mengarahkan segenap perbedaan menjadi sebuah persepsi yang sama. Perbedaan ibarat kaki-kaki sedangkan tujuan adalah persepsi. Kaki-kaki ini akan digunakan untuk melangkah menuju tujuan dengan saling menjaga irama langkah dan harmoni.
Seorang Pawang kampung sering kali pula disebut sebagai ‘DHUKUN’ yakni bermakna ; Ingkang Madhu lan Mirukun, Yang memadukan dan merukunkan. ‘DHUSUN’ yang bermakna ; Ingkang memadhu lan sinusun, Yang memadukan dan ter/menyusun. ‘DHUKUH’ yang bermakna ; Ingkang memadhu lan hangarengkuh, yang memadukan dan merengkuh. Semua istilah-istilah tersebut memuliakan kedudukan seorang berjiwa Pawang. Sebab ia bukan seseorang yang dipilih dengan lotre namun dengan dasar kebijakan dan kualitas sepuh yang dimilikinya. Sehingga perilakunya menundukkan hati banyak orang. Seorang Pawang terpilih sebagai akibat dari kebeningan hatinya yang seakan memiliki kelebihan dalam hal membaca dan menyampaikan. Lebih memiliki kemampuan bahasa sehingga lebih memiliki dasar pula untuk menyampaikan. Bahasa ini adalah bahasanya musim, bahasanya siang malam, bahasanya gejala alam dlsb. Seorang Pawang kampung atau Dukun sering tidak hanya mengurusi persoalan administratif tapi juga mengurusi kebijakan kapan masa tanam, benih apa yang ditebar, hingga mengobati orang sakit terutamanya sakit akibat dari gangguan tak kasat mata, seperti sawan, kesurupan, dlsb. Sedangkan untuk hal-hal kasat mata masyarakat telah mengenal dan menggunakan daun dan akar-akaran untuk pengobatan.
Kelak ‘dhukun’ diambil alih permaknaannya hanya sebagai manusia dengan kemampuan supra dan dekat dengan perklenikan. Orang makin tidak mengenal dan tidak mengkonfirmasi fungsi suluh dalam kehidupannya. Si dukun jaman sekarang pun tak lagi punya wilayah penataan, sangat berbeda dengan konsep awalnya. Konsep dukun yang memadukan dan merukunkan, bagaikan seekor Kunang-kunang yang mampu mengumpulkan dan diikuti bersama-sama Kunang yang lain untuk hidup benderang dan terbang menemukan keluarga Kunang-kunang berikutnya atau telah menjadi bagian dari keluarga Kunang yang lebih besar yang membawahi rombongan-rombongan Kunang. Itulah mengapa leluhur menggunakan sistem penataan model kerajaan atau keratuan, karena sistem ini sesungguhnya diintegrasikan dengan sistem langit agar tetap terjaga akhlak dan hidup tertuntun oleh pemangku kebijakan yang terpilih secara natural akibat dari kualitas ruhani seseorang tersebut. Dari Dukun hingga Ratu harus memiliki kemampuan Pawang, yang memadukan, merukunkan dan menundukkan hati banyak orang dengan pengasuhan dan kasih sayang.
0 notes