Tumgik
marwatunnisa · 4 years
Text
What we’ve done?
Tumblr media
The number of COVID 19 new cases is increasing sharply, concomitant with the number of deaths. Total cases worldwide more than 27 billion, with the number of deaths more than 800 thousand.  In our motherland, for the last few days, new cases reach more than three thousand cases, and the country's positivity rate 14% approximately. According to the chart, we can see that our spike always goes up, and hasn't reached the peak to thus go down like Germany or Italia which already passed the first wave and now suffering from the second wave. Although we knew that our country's total cases not as great as the United States or India, our testing rate was far below the WHO's recommended testing rate. We were only able to hold the PCR test about 35.6% of the testing rate recommended by WHO because of our laboratory and human resources limitation.
Maybe at the moment, most of us choose to ignore COVID-19 news, especially the number of new cases or deaths. Because of our fear to face reality, we chose to hide behind our coping mechanism which is ignorance. 
Yes, we're afraid right now. We're afraid of many things because of this pandemic. We're anxious about the end of the pandemic that is uncertain. We're worried about our beloved family condition. We're apprehensive about our future business condition. We're indecisive to take a choice related to a lot of things. We're locked up in the cave called endless fearfulness.
And because of that too, some of us would like to think that we're okay. We thought that new normal means back to life before this pandemic. We chose to go shopping like everything is alright. We chose to discuss and eat in a crowded place. We chose to go out without considering the protocol. We chose to travel to another city without pondering it before. Moreover, we already decided to watch a movie in the cinema even before it reopens. We're crazy, right?
And what the craziest thing was we blamed others for this pandemic. We blamed the government for not being able to make tight rules and suppress the new cases. We blamed doctors and healthcare providers for not take care of patients properly. We blamed some civilians who didn't obey the health protocol. We blamed them who claimed to discover a fake vaccine. We even made some theories about the conspiration of WHO and China.
Related to blame others, last midnight, I got a new lesson from a foreign lecturer. He said, on the last day when we get our decision book from Allah, if it's written that we don't enter heaven (the worst case-naudzubillah), we shouldn't blame anyone. We should blame ourselves and consider that we're guilty. My friend, according to that, even in the worst scenario, it indecent for us to blame others.
Instead of it, why don't we ask ourself,  what we've been done during this pandemic?
What we've been doing to limit the spread of the virus? What we've been doing to protect our beloved family? What we've been doing to help those who jobless? What we've been doing to help the healthcare provider take care of the patients? What we've been doing to help the poor get proper personal protective equipment? What we've been doing to inform people who can't get the latest COVID-19 news? What we've been doing to help our younger brothers/sisters/junior to get proper academic classes? 
What we've been done?
So,
I just want to remind my self, my beloved family, my friend, and all of the people who read this writing, let's stay at home, obey the health protocol, and keep physical distancing. Please choose to take food home rather than dine-in. Please stay at your home than go out, except for really necessary matters. Please choose online meetings instead of discussing them offline. Please avoid the crowded place, and obey health protocol.
Let's help the surveillance team to limit the spread of the virus. Let's help the government to suppress the number of new cases together. Let's help the healthcare provider so they won't extremely be exhausted and the facilities can cover all of the patients. Let's encourage each other to conquer this pandemic together.
Because this pandemic wouldn't be stopped only by one person role, or the president's role, but our roles, together.
30 notes · View notes
marwatunnisa · 4 years
Text
Kalimat terbaik
“Njenengan pasti akan sembuh, Bu”
Ingin sekali mengucapkan kalimat tersebut. Setelah semua faktor diperhitungkan, dari usia, faktor resiko, faktor komorbid, tatalaksana, prognosis, dan komplikasi yang mungkin timbul, seharusnya pasien tersebut bisa sembuh. Tapi, nyatanya kalimat itu hanya terhenti pada tenggorokan, dan akhirnya ikut tertelan bersama air liur. Sebab kita-para dokter, sangat memahami bahwa selalu ada faktor X. Ya, faktor yang tidak kita ketahui, yang bisa mempengaruhi kesembuhan pasien. Faktor yang tidak pernah bisa kita perhitungkan, yang merupakan bagian dari kehendakNya. Faktor yang bisa kapanpun muncul, bahkan di waktu dimana seharusnya pasien itu sembuh. 
Dan kita, selalu juga diingatkan sejak awal, bahwa yang menentukan kesembuhan pasien itu bukan dokter, tapi Dia. Sebab kita hanyalah perantara kesembuhan dariNya. Sebab kita hanya bisa mengusahakan yang terbaik agar pasien kembali sehat sesuai dengan teori dan kasus yang telah kita pelajari. Tapi semua keputusan sembuh atau tidaknya pasien, kembali kepada keputusanNya.  Sama seperti hidayah. Seberapa banyak kita mengajak orang lain untuk kembali ke jalanNya dan beribadah, tetap bukan kita yang bisa menentukan hati seseorang untuk tergerakkan. Bahkan Rasulullah SAW yang sudah mendakwahkan Islam kepada Abu Thalib sejak awal Islam hadir, tetap paman beliau SAW meninggal dalam kondisi belum mengikrarkan syahadat. Rasulullah SAW saja bukan sosok  yang bisa memberikan hidayah, apalagi kita yang manusia biasa? Pada akhirnya, pemahaman itulah yang membuat kita memilih mengganti kalimat tersebut dengan kalimat lainnya. Kalimat yang bisa lebih mempresentasikan perasaan dan pemikiran kita untuk disampaikan kepada pasien. Kalimat yang tidak berisi harapan yang mungkin tak terwujudkan di masa depan. 
“Kami akan mengusahkan yang terbaik, Bu”.
Ya, sepenggal kalimat terbaik itulah yang terucap dari lisan kita.  --salah satu pelajaran dari drama Hospital Playlist
06.01.2020
7 notes · View notes
marwatunnisa · 4 years
Quote
Hal yang paling sulit, bukan mengingatkan orang yang tidak kau kenal, tapi justru menegur orang yang paling kau sayang. Sebab kau bingung memilih kata yang paling tepat agar tidak menggurui maupun menyakiti hatinya. Kalau sudah demikian, apakah kau akan tetap berusaha melakukannya?
27 notes · View notes
marwatunnisa · 5 years
Text
Sebuah kebohongan
Tumblr media
0 notes
marwatunnisa · 5 years
Text
Menyempurnakan Kebaikan
Adalah hal yang manusiawi apabila rasa khawatir menghampiri saat dunia baru akan segera dimasuki. Dunia yang katanya penuh dengan cobaan mental dan hati. Dunia yang orang bilang aku akan menjadi babu bagi orang-orang dengan daya kongkon tinggi. Dunia yang katanya akan menunjukkan padaku kerasnya kehidupan di rumah sakit. Dunia yang mungkin menjadi titik paling menantang dari semua fase tuk menyelesaikan tahapan pendidikanku kali ini.
Kegelisahan mengenai tindakan apa saja yang bisa ditangani oleh kami. Kegamangan tentang apakah teori yang telah dipelajari sesuai dengan fakta yang ditemui. Kecemasan akan staff yang suka membuat crash dan perlu dikejar-kejar kesana kemari. Kegalauan terhadap residen yang akan banyak menyuruh atau justru mengajari. Dan puncaknya, ketakutan atas ibadah-ibadah yang mungkin terabai.
Jika boleh jujur, puncak kehawatiran itulah sangat menguras perasaan. Dunia yang begitu dinamis yang kan kuhadapi, katanya tidak sehijau yang dulu pernah kubersamai. Kalau kata senior, tidak semua orang disampingmu kan menyuruhmu untuk sholat saat adzan berkumandang. Tidak semua orang disampingmu kan mengingatkanmu tuk bertilawah. Bahkan yang lebih parah, mungkin banyak disekitarmu yang akan menjama' sholatnya katanya karena alasan  pelayanan. Miris bukan?
Berbekal tekad yang kuat, sebuah nasehat seorang sahabat, serta tips dari banyak kakak tingkat, kucoba tuk tidak meninggalkan tepatnya sholat.Beberapa hari berjalan, semuanya lancar tanpa hambatan. Hingga jadwal keduaku jaga, kumendapat IGD 1, dimana jam jaga dimulai pukul tujuh malam. Adzan isya belum berkumandang, mau tak mau kujaga dengan wudhu telah terbasuhkan sebelumnya. Kekhawatiran mulai membayang, kapan aku bisa Sholat Isya? Jika IGD saja berakhir jam 9 malam, dan harus langsung lanjut program. Mungkin baru selesai jam 10 atau setengah 11 malam. Kalau IGD nya ramai, otomatis sulit untuk ijin residennya untuk sholat. Masa aku harus Sholat Isya jam 11 malam?
Saat kegalauan masih melanda, alhamdulillah IGD nya tidak ada satupun pasien tinggalan. Dan residenku pun ijin sebentar untuk sholat. Sekembalinya beliau, kuberanikan diriku  ijin padanya untuk sholat. Sholat isyaku akhirnya bisa terlaksanakan tak jauh dari waktu iqomah. Malu rasanya sudah men-su'udzoni Allah bahwa kutak bisa sholat tepat pada waktunya.
Tak hanya sekali diriku merasa tertampar dengan ketakutanku yang tak berdasar. Beberapa hari selanjutnya, masih dijadwal jaga, kegelisahan kembali melanda. Kali ini bukan karena IGD pertama, tapi karena residen jaga sudah mengapi-api untuk operan sebelum jam 7 malam. Niat untuk Sholat Isya sebelum muter operan rasanya pupus sudah. Kapan aku bisa Sholat Isya? Jika operan saja biasanya selesai beberapa menit sebelum program harus sudah dijalankan. Apakah aku harus Sholat Isya jam 11 malam?
Satu menit, dua menit, hingga lima menit berlalu, kita masih berdiam diri di NS dan tak kunjung operan. Salah satu teman jagaku belum datang, dan residennya hanya mau operan saat semua tim jaga telah lengkap. Hampir lima belas menit berlalu, saat akhirnya kawan jagaku datang. Awalnya kukira operan akan segera dimulai, tapi kita masih berdiam saja hingga akhirnya residenku bertanya, "Kalian sudah Sholat Isya?". Spontan kujawab, "Belum, dok". "Sepuluh menit cukup?", tanyanya. "Cukup, dok", jawabku sekenanya. InsyaAllah cukup, dengan wudhu yang telah tersempurnakan, dan mushola hanya lima langkah dari tempat operan. Keyakinanku akhirnya menggiring langkahku tuk mendirikan sholat.
Dua peristiwa yang meyakinkan diriku bahwa Allah tidak akan pernah diam. Saat niat tuk berbuat kebaikan telah sepenuhnya diluruskan. Bahwa hanya keridhoannya dan keberkahannya yang kita harapkan. Dan hati telah dipenuhi tekad yang dikuatkan. Sedang upaya juga telah seluruhnya diberikan, hingga mungkin seluruh upaya tenaga, waktu, dan biaya telah terkeluarkan. Maka saat itu juga, hanya tawakkal yang bisa kita lakukan. Sebab setelah itu, Allah-lah yang pasti kan menghendaki kebaikannya tersempurnakan.
Maka kawan, jika besok lusa kau ragu dengan kebaikan yang ingin kau usahakan. Yakinlah bahwa dengan niat yang lurus, tekad yang kuat, dan upaya yang diikhtiarkan akan menjadikan kebaikanmu tersempurnakan. Sebab Allah, tidak akan pernah menyia-nyiakan setiap usaha hambaNya. Bahkan jikapun kebaikannya tak berhasil terealisasikan, percayalah bahwa niat kebaikanmu telah dihitung sebagai kebaikan yang utuh olehNya.
Tumblr media
 Surakarta, 13 April 2019
Salah satu momen tak terlupakan dari dua bulan di stase anak
6 notes · View notes
marwatunnisa · 5 years
Text
melangkah terlebih dahulu
kita tidak akan pernah bisa tinggal, sekeras apapun kita mencoba bertahan. sebab waktu akan terus berputar dan menuntut kita untuk bergerak tanpa memberikan sedikitpun kelonggaran. 
kita mungkin masih ingin berjuang bersama, tetapi waktu menarik salah satu diantara kita sehingga terpaksa berjalan lebih dulu meninggalkan lainnya. 
kita mungkin ingin melangkahkan kaki beriringan di fase selanjutnya. namun Tuhan sengaja memisahkan kita agar kita bisa lebih kuat dari sebelumnya. 
kita tahu perjuangan di depan akan jauh lebih berat dan kita berharap untuk bisa saling menguatkan. hanya saja semesta seolah menghendaki keteguhan hati masing-masing diri tanpa saling mengintervensi. 
jika memang kita harus terpisahkan, maka percayalah bahwa kita mampu untuk berjuang meski tak beriringan. jika memang aku harus melangkah terlebih dahulu, yakinlah bahwa itu tak menjadi tanda bahwa aku lebih baik darimu. jika memang pada akhirnya jalan kita berbeda, maka sungguh dariku akan tetap terlangitkan untukmu do’a-do’a.
meskipun kita tak lagi bersama, percayalah bahwa kita tetaplah kuat. meksipun bukan aku yang menguatkanmu dan sebaliknya, pasti akan ada orang lain yang menggantikan posisi itu esok lusa. meskipun perpisahan itu terlihat sangat menakutkan, yakinlah bahwa dia akan mudah tuk ditaklukkan. 
tetaplah berjuang, karena perjalanan masihlah panjang!
7 notes · View notes
marwatunnisa · 6 years
Text
Semakin berkurangnya sisa umurmu, semakin kau mengerti. Bahwa hidup ini bukan hanya tentang dirimu, tetapi juga tentang mimpi. Cita, asa, dan keinginan yang harus terus diperjuangkan hingga akhir. Meski harus terjatuh dan bangkit lagi seribu kali, maka pastikan bahwa kau berdiri tegak untuk yang keseribu satu kali. Sebab jangan sampai penyesalah hadir di akhir perjuangan mimpimu.
Semakin banyaknya waktu yang telah terlewati, semakin kau memahami. Bahwa setiap detik yang kau habiskan bersama orang tercinta begitu berharga. Bahwa setiap menit canda, tawa, dan bahagia yang kau bagi bersama keluarga tak bisa diduakan. Bahwa setiap jam cerita dan kisah yang kau ukir bersama mereka lebih baik dibanding berlian. 
Semakin bertambahnya usia yang kau toreh, semakin kau tersadar. Bahwa bahagia itu dicipta bukan terus dikejar. Menciptakannya dengan sesederhana memberi senyuman dan sedikit yang kau punya kepada yang sekitar. Membuatnya dengan mengaplikasikan ilmu yang telah kau pelajari sehingga seseorang terselamatkan. Melahirkannya dengan membantu semampumu meski sejatinya itu bernilai segalanya bagi orang lain. 
Sebab Kawan, 
Hidup itu selalu
tentang cinta dan pengorbanan
terhadap mimpimu, orang yang kau cintai, dan orang yang akan kau abdikan dirimu kepadanya
2 notes · View notes
marwatunnisa · 6 years
Text
Menduga Jalan Kebaikan
Tumblr media
1 note · View note
marwatunnisa · 6 years
Text
Terkadang, kita terlalu sering menyalahkan diri kita. Merasa tak berusaha dengan seluruh yang dipunya. Juga merasa bahwa perjuangan kita belum optimal. Bahkan parahnya mungkin merasa bahwa kita belum memberikan apa-apa. 
Seringkali, kita memberi pemakluman terlalu banyak pada diri sendiri. Memaklumi usaha yang tak maksimal karena adanya kesibukan lain. Membenarkan perjuangan yang sedikit karena waktu kita telah habis pada amanah organisasi. Bahkan, berpikir bahwa nilai akademik tak sedikitpun mempengaruhi hidup ini. Tidak sepantasnya kita berbuat demikian, kawan.  kita harus menyeimbangkan keduanya sesuai situasi dan kondisi. sebab, ada kalanya menyalahkan diri diperlukan agar kesalahan tak lagi terulang. karena, tak jarang pemakluman dibutuhkan agar depresi tak mengganggu pikiran. semuanya harus sesuai kadar kebutuhan, tak lebih dan kurang.  karena jika berlebihan, ditakutkan akan menjadi penyakit hati yang tak kunjung hilang. 
2 notes · View notes
marwatunnisa · 6 years
Text
Terkadang, kita menemukan orang-orang hebat, yang pedulinya pada diri sendiri kurang dibanding pedulinya tuk sahabat. Sering, kita berjumpa dengan manusia, yang rasa syukurnya tetap ada bahkan ketika musibah tak kunjung meninggalkannya. Tak jarang, kita mengenal kawan, yang bahkan setiap kejadian bisa dimaknainya sebagai pelajaran.
Alangkah senangnya jika kita bisa menjadi mereka. Yang percayanya pada Allah melebihi segala yang dia punya. Yang senyuman di wajahnya seakan tak pernah sirna. Yang cerita hidupnya selalu menginsipirasi siapa saja. Yang sakitnya justru terkonversi menjadi peduli kepada saudara. Yang duka justru memicu untuk lebih bekerja dan berkarya.
Yang perlu kau pahami, jika kau berteman dengan mereka, jangan lupa untuk belajar menjadi lebih peka. Sekedar menyapa dan menanyakan kabar diri serta keluarganya. Sejenak memastikan bahwa dia sedang baik-baik saja Semata-mata mengurangi darinya sedikit lara dan nestapa Sekedar menyemangatinya via segala bentuk sosial media
Karena kawan, sungguh mereka mengharapkan semua itu jauh di lubuk hatinya Sebab bahkan seorang Muhammad butuh untuk dikuatkan oleh Khodijah. Sebab bahkan seorang Musa butuh Harun sebagai sahabat seperjuangan. Sebab bahkan seorang Ibrahim perlu Ismail untuk mengingatkan. Apalagi mereka, bukan?
3 notes · View notes
marwatunnisa · 7 years
Text
KEBERANIAN?
Kawan,
Berani itu bukan hanya meminta dia dari orang tuanya. Bukan pula hanya memohon dosen untuk menjadi pembimbing tugas akhir. Atau bukan juga melobby rektor terkait transparasi ukt. Tidak hanya tentang itu saja.
Keberanian tidak sesederhana itu.
Tapi keberanian juga tentang memulai. Berani untuk memulai hal-hal kecil yang bernilai kebaikan. Berani mengubah diri menjadi sosok  yang lebih baik dengan keluar dari zona nyaman. Berani mencoba menjemput kesempatan yang entah hadirnya kapan.
Kawan,
Terkadang kita malu dan takut, untuk sekedar berhenti dan menyapa seorang ibu tua di pinggir jalan menuju kampus. Sejenak mengobrol untuk mengetahui kondisi keluarganya dan memberi sedikit dari apa yang kita punya. Untuk melakukan itu saja, kita berpikir berulang kali dengan pertimbangan yang bahkan tak cukup penting untuk dipusingkan. Seperti dimana aku harus memarkir motor, bagaimana memulai pembicaraan, bagaimana jika temanku melihat, bagaimana jika aku riya, dan pertanyaan-pertanyaan serta ketakutan lain.
Bukankah jika harus jujur, jauh di lubuk hati sebenarnya kita butuh keberanian  yang besar untuk melakukannya? Berani melawan semua rasa malu dan pemikiran-pemikiran itu. Berani untuk memulai mencobanya dengan semua resiko yang mungkin muncul. Dan yang terpenting, berani melawan ketakutan yang diciptakan oleh diri sendiri.
Kawan,
Sesekali kita terinspirasi oleh orang hebat dan ingin mengikuti jejaknya agar berhasil. Mulai membuat peta hidup, merencanakan banyak hal, bertanya kepada kawan dan sahabat, membuat time line bahkan reward dan punishment untuk diri sendiri. Tapi semuanya berakhir pada tulisan saja tanpa aksi yang nyata.
Bagiamana bisa? Padahal sudah sebegitu matangnya rencana kita.
Bersebab kita takut untuk keluar dari zona nyaman yang kita ciptakan. Karena kita tak memiliki nyali sekedar untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang sejatinya melenakan. Lantaran kita tak cukup jantan untuk mengonversikan energi menjadi sebuah kebermanfaatan.
Kawan,
Kita sering berkelut dan bertengkar dengan pikiran kita, memperdebatkan tentang memilih untuk memperjuangkan mimpi kita atau tidak. Bukan masalah idealisme atau rasionalisasi, tapi kegagalan yang menghantui itulah yang menjadi ketakutan terbesar. Bukan masalah keterbatasan dana atau tekad, namun bayang-bayang cemooh dan sindiran yang berputar di otak yang menghentikan langkah kita. Bukan masalah kesempatan yang tak kunjung datang, akan tetapi resiko besar yang mungkin hadir-lah yang tak pernah berani kita ambil.
Momentum adalah gabungan dari keberanian dan kesempatan. Keberanian untuk memulai melangkah meski ketidakjelasan menanti di ujung jalan. Keberanian mengambil resiko yang datang dan pergi entah kapan. Keberanian untuk melawan kemalasan dan ketakutan yang diri sendiri ciptakan.
Tidak menunggu momentum itu hadir, kawan.
Tetapi seyogyanya mencoba menciptakan momentum adalah pilihan yang benar. Setidaknya, kita sudah melahirkan satu dari dua faktor yang mempengaruhi keberadaannya. Sedikitnya kita telah mempersiapkan diri jika sewaktu-waktu peluang itu datang. Tetap berusaha mencoba dengan tekad dan keberanian penuh, meski kita tak akan pernah tahu kapan kemungkinan itu tiba. Walaupun kita harus berulang kali kecewa hingga bosan, tapi berjuang itu tetap lebih baik daripada sekedar diam, bukan?
Ini arti berani versi aku.
Jadi, sudah beranikah kita untuk memulai, kawan?
3 notes · View notes
marwatunnisa · 7 years
Text
Nasehat yang Terlupakan
Alhamdulilah, suatu nikmat yang luar biasa atas kesempatan yang diberi Allah untuk bertemu dengan Ramadhan tahun ini. Segala euforia, kabar di media masa, dan segudang semarak menyambut bulan penuh berkah telah terjadi sejak beberapa hari yang lalu. Tetapi bukan itu yang ingin kuceritakan. Yaitu tentang sebuah pesan yang sering terlupakan, oleh kita para penuntut ilmu.
Aku adalah mahasiswi kedokteran, dan kuyakin kalian percaya bahwa semua mahasiswi disini sangatlah kompetitif dalam urusan nilai dan akademik. Baik itu nilai yang berhubungan dengan ujian blok, osce, responsi, atau bahkan sekedar pretest dan post test praktikum merupakan sesuatu yang sangat diperhatikan dan penting bagi kami. Jika mengalami remidi atau inhal, tentu sedih serta kecewa melanda hati kami.
Tapi kata-kata seorang profesor di kajian malam itu menamparku cukup keras. Beliau menasehati kami, mahasiswa yang terkadang lupa dengan nasehat lama yang begitu penting kiranya.
“pengetahuan yang tidak menghantarkan seseorang pada hal yang baik bukanlah pengetahuan yang sesungguhnya”.
Saat mendengarnya, aku termenung. Lama. Berusaha mengingat tentang semua blok yang telah kulalui dan ilmu yang kudapat selama dua tahun berada disini. Mencoba menemukan dan mencari-mencari, adakah banyak atau beberapa atau bahkan satu dari ilmu itu yang mendekatkanku pada sebuah kebaikan? Adakah sedikit dari ilmu itu yang menjadikanku sedikit lebih bertakwa dari sebelumnya? Atau pernahkah suatu materi benar-benar menyadarkanku akan betapa berkuasaNya Sang Pencipta?
Aku diam. Ingin menjawab pertanyaan dari hatiku itu, tapi tak mampu, atau lebih tepatnya takut. Takut jika menjawab iya, tetapi sejatinya belum pernah ada yang demikian. Pula takut, apabila menjawab tidak, seolah membenarkan bahwa diri ini hanya mengejar nilai saja hingga kini.
Pengetahuan yang menghantarkan pada hal yang baik. Entah kepada ketakwaan terhadap Yang Maha Kuasa, atau menyadarkan akan ketidakmampuan kita sebagai makhluk, pun justru pada kebermanfaatan terhadap sekitar yang terkadang terlalaikan. Apakah ilmu yang kudapat selama ini sudah seperti demikian?
Atau justru sekedar hanya ada egoisme, kesombongan, dan arogansi disana? Egoisme agar mendapat pengetahuan dan informasi lebih dibanding teman-teman lainnya. Kesombongan ketika nilai ujian yang didapat paling tinggi seangkatan. Bahkan arogansi kepada kawan yang mungkin sedikit tidak lebih paham dibanding diri ini.
“Menuntut ilmu itu ada pertanggung jawabannya, baik tujuannya, niatnya, bahkan kebermanfaatan darinya”, ujar profesor tersebut.  
Ya, memang semua hal akan dimintai pertanggungjawabannya. Aku tahu itu. Namun, mengapa selama ini aku tidak pernah berpikir hingga kesana? Mengapa selama ini aku hanya terpusat mengenai pertangungjawaban terhadap amanah-amanahku di organisasi dan kepanitiaan saja? Mengapa aku tidak menyadari bahwa ilmu yang kucari ini juga akan ditanyai di Hari Akhir nanti?
Aku tersadar, atau lebih tepatnya-akhirnya disadarkan. Bahwa mungkin, selama ini, aku belum benar-benar menyadari hakikat sebenarnya dari menuntut ilmu. Bahwa mungkin, aku hanya sekedar memenuhi kewajibanku tanpa tahu bagaimana peran yang selayaknya kumainkan disini. Bahwa mungkin, selama ini aku hanya berjalan tanpa mengingat apa yang sejatinya ingin kudapat di akhir perjalanan nanti.
Tapi kini kuyakini, bahwa aku akan selalu berusaha memegang nasehat ini dalam setiap fase kehidupanku. Agar aku bisa menuntut ilmu selamanya sesuai dengan hakikatnya
5 Ramadhan, 1438 H
#BismillahMenginspirasi
#SemarakRamadhanBismillah
2 notes · View notes
marwatunnisa · 7 years
Quote
Kita dulu bersama Allah. Lalu, meninggalkanNya melalui kelahiran, dan sekarang sedang berjalan pulang. Kelak, kita kembali kepadaNya melalui sebuah kematian.
Muhammad, Sang Pewaris Hujan
1 note · View note
marwatunnisa · 7 years
Text
This Town
Sama seperti judul lagu Niall Horan, This Town. aku ingin sedikit bercerita tentang kota ini. kota yang kutinggali hampir selama 2 tahun terakhir.
kota ini adalah kota yang awalnya tak kusukai. bagaimana tidak? aku tidak pernah membayangkan terdampar di kota yang tidak terlalu besar ini. kota yang sebelumnya tidak ada dalam peta kehidupanku, kota yang bahkan tak sekalipun masuk ke dalam mimpiku. bagiku, berada di kota ini seperti sebuah mimpi buruk. mimpi berada di tempat yang mengasingkanku dari asa ku yang tak terwujudkan dengan benar. tak terkenal, membingungkan namanya, dan pembagian wilayah dengan daerah sekitarnya juga tak begitu jelas pada kota ini sempurna membuatkan ingin melarikan diri.
semuanya terasa tidak ada yang spesial selama setengah tahun awal aku berada disini. meskipun semua kerabat terdekatku mengatakan berbagai kelebihan dari kota ini, tetap saja tidak mempengaruhi opiniku tentang kota ini. selama waktu itu, aku berusaha memikirkan berbagai cara yang memungkinkanku untuk meninggalkan kota ini. semua kemungkinan kupertimbangkan dengan baik, dari tingkat kesuksesan, presentase kegagalan, derajat kekecewaan orang yang terdekatku, dan banyak lainnya.
waktu bergulir dengan cepat, dan kenyataannya aku masih bertahan hingga saat ini disini. jika kau bertanya mengapa, maka aku akan menjawab satu hal. bahwa aku telah menemukan alasanku untuk tetap berada disini. entah kau mempercayainya atau tidak, tapi alasannya bukan sekedar karena tak mau membuang-buang uang orang tuaku, sebab seyogyanya jika aku pergi, pun uang yang dihabiskan akan menjadi lebih sedikit. juga bukan karena waktu yang mungkin terlewati percuma, karena aku juga mengerti pasti ada banyak orang yang berjuang melarikan diri sama sepertiku dengan usia yang lebih berkurang dibanding diriku.
alasanku mengurungkan niat untuk pergi adalah karena mereka.
mereka yang menemukanku dalam lautan manusia di kampus kita. mereka yang secara tak langsung menghentikan dari usaha berlariku. perjuangan melarikan diri yang begitu sulit dan menghabiskan energiku. energi fisik maupun hatiku yang berkurang dengan sangat drastis setiap menitnya. mereka menarik tanganku dan menghentikan langkah kakiku pada jalan ini.
adalah mereka yang membuatku merasa dihargai dan dibutuhkan. sebab mereka menyadarkaku, bahwa berada disini tak lantas membuatku berhenti memimpikan dan menginginkan banyak hal dalam hidup. sebab dengan mereka, aku bisa berkarya sesuai passion-ku yang telah tenggelam dan hanyut selama beberapa waktu. sebab dengan mereka, aku yakin aku bisa kembali menciptakan mimpi-mimpi baru yang tak terduga dan mewujudkannya. sebab mereka meyakinkanku bahwa aku pasti bisa tumbuh dan mengembangkan diriku hingga pada akhirnya mekar. sebab mereka menginspirasiku untuk menjadi sosok yang lebih mengesampingkan egoku.sebab mereka membuatku lebih menghargai diriku dengan semua kurang dan lebihnya.
karena bagiku, membersamai mereka adalah salah satu paling luar biasa dalam hidupku.
#BismillahMendunia #Medstud #LoveYourLife #StayYoungandAwesome
4 notes · View notes
marwatunnisa · 7 years
Text
Kembali ke rutinitas
Bismillahirrahmanirrahim
Kita akan kembali pada rutinitas itu lagi. Berangkat pagi buta ke kampus dan pulang larut ke kosan saat malam mulai hening dan sunyi. Mendengarkan asistensian, dosen mengajar, tutorial, skills lab, praktikum, responsi, serta kegiatan diluar akademik seperti rapat dan banyak lainnya akan menemani kita esok hari. Beberapa hal sama dan lainnya berubah, dengan tempat yang sama,juga berinteraksi baik dengan orang-orang yang sama maupun berbeda. Berputar lagi lah kita pada roda yang entah kapan berhentinya.
Seiring kita kembali melangkah memasuki rutinitas itu lagi, sejatinya ada banyak hal baru yang menanti. Mimpi baru, target baru, materi baru, agenda baru, pula amanah baru. Mungkin beberapa darinya lebih berat dari sebelumnya, atau justru jauh lebih ringan dari biasanya. Terlepas dari itu semua, kita pasti tetap akan bahagia untuk melewatinya juga.
Bersebab niat yang baru yang telah kita perbaiki, kita berani mengambil satu langkah baru disini. Bukan baru sebenarnya, lebih tepatnya langkah melanjutkan perjalanan lama kita. Tentunya dengan pertimbangan terhadap banyak hal sehingga hilanglah keraguan hati untuk berjalan lagi. Serta petunjuk dari Illahi yang menguatkan raga dan jiwa untuk bersama-sama menjalani esok hari. Keyakinan itu akhirnya menuntun kita untuk mencoba kembali melalui jalan panjang ini.
Kawan, esok hari tidak akan menjadi lebih mudah meski niat telah diperbaharui. Hambatan tidak akan hilang seraya keyakinan telah kita pupuk sedemikian rupa. Lika-liku perjalanan tak serta merta menjadi jalan tol bahkan disaat keberanian sebesar sang surya. Juga badai akan tetap ada walau hati suasana hati telah kita jadikan selalu bahagia. Sebab itu semua adalah keniscayaan yang nyata.
Maka, tetaplah saling menggenggam saat ada yang ingin tak melanjutkan dan hanya diam. Seragamkanlah langkah agar tidak pernah ada yang tertinggal dan menyerah. Rangkullah bahu kawan sebelah yang mulai menunduk serta tak lagi siaga. Tak lupa hadapkan wajah ke depan agar kau bisa persiapkan rencana terbaik melawan halangan di depan. Hingga akhirnya tak terasa kita mencapai ujung perjalanan dengan senyuman terbaik yang mampu kita persembahkan. Untuk orang-orang yang kita cintai, orang tua, keluarga, guru, dan teman yang tak pernah terganti.
3 notes · View notes
marwatunnisa · 7 years
Text
KEYAKINAN
kita melangkah pada jalan yang tidak tentu. dimana terkadang persimpangan memaksa kita berhenti sejenak tuk berpikir ulang jalan mana yang akan kita pilih. sedangkan biasanya hambatan menjadikan kita memperlambat langkah kita agar energi kita terpakai efektif dalam melewatinya. jua lika-liku jalannya begitu tajam sering menekan keberanian kita untuk maju sehingga kita memikirkan strategi yang tepat dulu sebelum kembali melangkah.
perjalanan kehidupan memang demikian kawan. namun kenyataannya kita tetap akan bisa menyelesaikannya hingga akhir dengan tetap tergantung pilihan kita. apakah kita menjalankannya dengan kebahagiaan atau keterpaksaan. apakah kita melaluinya dengan keikhlasan atau umpatan kepada Yang Kuasa. begitulah kondisi yang terjadi seyogyanya.
tetapi, akan selalu ada jalan keluar tak terduga yang hadir dalam sebuah kesungguhan dan perjuangan. dari arah yang tak pernah disangka bahkan dimimpikan. dia datang sebagai jawaban atas usaha dan do’a-do’a panjang yang tak kenal lelah dipanjatkan. maka jika rasanya melelahkan untuk sekedar melanjutkan langkahmu, yakinlah akan satu hal. bahwa Ia akan selalu menyelamatkan siapa saja yang meminta pertolonganNya. percaya akan hal itu bahkan ketika kita berada di titik pengharapan paling akhir dari perjuangan hidup kita. sirami dan tumbuhkan keyakinan tersebut agar ia tidak hilang disaat untuk berharap saja rasanya kau tidak lagi sanggup melakukannya.
cerita indah dan tak menyenangkan memang selalu ada dalam kehidupan manusia siapapun. pula seiring dengan kepribadian dan karakter orang yang terbentuk diakibatkan kisah hidup mereka. keyakinan itulah yang menjadi sumber kekuatan terbaik yang mereka miliki untuk menyelesaikan langkah ini. hingga akhirnya mereka menemukan ujung perjalanan ini dengan senyuman di pipi.
3 notes · View notes
marwatunnisa · 7 years
Text
Aku, Masa Lalu, dan Tuhanku
Dia selalu mengingatkanku akan Engkau, Tuhan. Tentang bagaimana berkuasanya engkau dalam membolak-balikkan kuasaMu di dunia ini. Bagaimana Engkau mengirimkan banyak petunjuk padanya untuk kembali kepadaMu. Entah karena Engkau sangat menyayanginya atau memang dia mudah membaca segala sesuatu sebagai hikmah dan pelajaran dariMu,Allah.
Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap atas apa yang dia tunjukkan. Sungguh, ia menunjukkannya bukan hanya padaku seorang. Tapi mengapa aku merasa Engaku mengirimnya untukku agar daku kembali ke jalan yang benar? Bukan untuk menjadi sosok yang sebaik dirinya dalam bersikap dan bertingkah laku, bahkan dalam menyebarkan kebaikan tentang ajaran yang dianutnya. Namun hanya sekedar untuk kembali mengingat akan kuasaMu yang membuatku berada disini.
Bahkan ketika dia belum muncul dengan seluruh ceritanya, aku telah menemukan hal lain yang membuatku kembali teringat pada apa yang sebenarnya ingin aku capai. Tentang rasa sakit di masa lalu yang seharusnya telah aku lupakan. Supposed to be. But, why? It was too difficult to do. Itu terlalu susah untuk melakukannya, melupakan rasa sakit yang membuatku ingin memutar waktu dan kembali ke masa lalu. Menghilangkan rasa sakit itu dengan tidak memunculkannya, bukankah itu cara yang paling benar. Tapi, apa dayaku?
Kata-kata itu menusukku berulang kali. Bahwa rasa sakit itu tidak akan pernah hilang jika kita tidak berdamai dengannya. Sebab kebahagiaan tidak akan pernah menyertai caraku melupakan kenangan akan rasa sakit itu. Karena jika aku tidak mengibarkan bendera putih, maka aku akan tetap kalah meski aku telah mengerahkan semuaa yang aku punya. Segalanya.
Dan saat ini, langkahku benar-benar berhenti. Seolah menungu hatiku untuk mengiringnya bergerak ke jalan dimana ia seharusnya melangkah. Menanti diri ini menerima semua yang telah terjadi dengan lapang dada atau dalam bahasa agamaku dengan ikhlas. Berdamai dengan rasa sakit yang selama ini membuatku terlalu tinggi hati hingga lupa dimana ia berada saat ini. Berhenti mencaci pada Tuhan yang skenarioNya pasti lebih baik dari rencana-rencana yang kutulis. Dan yang pasti, berhenti mengatakan seandainya aku bisa kembali ke masa itu dan bisa memperbaiki semua yang rusak ini.
Tapi detik ini aku menyadari satu hal, ketika kita meminta sesuatu dan tak mendapatkannya, akan ada cerita dan perjuangan yang lebih indah yang menanti kita. Meskipun itu terasa sangat sakit dari yang sebelumnya pernah aku rasakan, itu tidak berarti aku tidak bisa mencoba untuk berdamai kan? Karena jika aku tidak berhenti pada tempat ini, aku tidak akan berjumpa pada engkau, sosok yang selalu mengingatkanku akan Tuhanku. Aku tidak akan bertemu dengan orang-orang hebat lain yang begitu mencintai Engkau, Allah. Dan mereka semua membuatku iri untuk mencintaiMu lebih dari mereka mencintaiMu, duhai Tuhanku.
Terima kasih untuk semua pelajaran yang tak langsung kau berikan padaku. Pelajaran tentang berbagi kebaikan meski itu tak kasat mata, tentang memberi yang tak pernah berharap lebih, tentang menjadikan semua kejadian yang kita alami sebagai sebuah pelajaran dalam hidup ini. Dan pastinya tentang mencintaiNya lebih daripada mencintai dunia dan seisinya.
Terima kasih telah menjadi sosok yang mengingatkanku akan betapa Maha KuasaNya Tuhanku.
1 note · View note