matapelangi
matapelangi
Selamat datang di cerita randomku
320 posts
Ga penting tapi penting
Don't wanna be here? Send us removal request.
matapelangi · 10 days ago
Text
Deja vu
Hari ini seperti deja vu dua tahun yang lalu, saat aku resign dari pekerjaan pertamaku. Rasanya pun masih sama: sakit hati, kecewa, dan membuatku kembali mempertanyakan diriku sendiri. Apakah benar aku memang tidak becus bekerja? Apakah aku memang tidak kompeten?
Padahal di organisasi, aku dipercaya. Di komunitas relawan, aku sering dimintai pendapat dan ide. Tapi entah kenapa, di dunia kerja formal, aku justru sering bertemu atasan yang suka micro-manage, memberi instruksi yang membingungkan, tapi tak mau disalahkan, kata-katanya menyakitkan. Bahkan, kadang seringnya merendahkan dan membicarakan di belakang. Aku masih di situasi yang sama dengan kantor lamaku, setiap bulan buka loker karena banyak yang keluar masuk. Situasi yang tidak sehat seperti ini membuatku makin kehilangan kepercayaan diri.
Bahkan di pekerjaan pertamaku dulu, aku sampai konsul ke psikiater dan dirujuk ke psikolog. Rasanya luka batin yang belum sembuh itu justru digores kembali di tempat yang baru. Dan kali ini, aku takut traumanya benar-benar makin dalam.
Aku resign bukan karena menyerah, tapi karena sudah berusaha sekuat tenaga untuk bertahan. Karena aku sadar, aku juga manusia biasa. Aku capek. Aku butuh ruang yang sehat. Dan meski sekarang belum punya pekerjaan tetap, hanya ada project freelance remote dua bulan ke depan, aku tetap berharap ini langkah awal menuju sesuatu yang lebih baik. Berharap lagi nanti ada perpanjangan kontrak.
Kadang aku berpikir, mungkin aku belum beruntung. Mungkin ini masih bagian dari ujian hidup. Tapi jujur, aku juga sempat bertanya: apakah aku memang belum lulus ujian itu? Atau jangan-jangan… aku memang bodoh?
Tapi di tengah semua itu, aku belajar satu hal: aku tidak bodoh. Aku hanya belum menemukan tempat yang melihatku sebagaimana aku sebenarnya.
Mungkin memang belum waktunya berada di ruang yang tepat. Tapi aku yakin, Tuhan sedang menuntunku perlahan. Aku hanya perlu terus berjalan. Pelan-pelan.
Kalaupun hari ini terasa berat, semoga besok lebih ringan. Kalaupun aku belum sampai, semoga ini bukan akhir.
Aku akan sampai. Pelan-pelan. Tapi pasti. Karena aku tahu, aku layak berada di tempat yang lebih baik dari ini semua.
25/07/2025
2 notes · View notes
matapelangi · 19 days ago
Text
Kabar Baik yang Kuterima dari Diriku Sendiri Setelah Sekian Lama
Ada kabar baik yang bisa kuberikan kepada diriku sendiri adalah "alhamdulillah aku masih bisa berpikir jernih dan bertahan dalam kondisi saat ini." Aku masih bisa melihat -meski samar- hikmah yang bisa kuambil, masih bisa kunikmati proses yang berliku-liku ini meski aku belum tahu kapan akan berakhir turbulensinya. Aku masih punya teman yang bisa diajak bercerita. Aku masih bisa melihat kebaikan meski setitik kecil aja.
Meski setiap hari aku berjibaku dengan rasa lelah dan sepi, rasa kosong tanpa arti. Hari-hariku berlalu begitu saja tanpa mengajakku beranjak ke mana-mana, ya begini-begini saja seperti biasa.
Aku masih bisa bertahan dan berpikir jernih, bahwa mengakhirnya dengan tiba-tiba adalah keputusan yang bodoh. Aku masih bisa menilai dengan logika bahwa kehidupan ini adalah bagian dari prosesku yang menjadikanku bernilai. Meski seringnya aku gagal menilai baik diriku sendiri, tapi segelintir temanku yang sedikit itu, terus menilaiku dengan baik. Orang-orang yang mengenal latar belakang hidupku, merasa sedikit terbantu dengan keberadaanku.
Aku ingin bersyukur karena aku bisa bertahan sampai sejauh ini, sesuatu yang dulu sering kudoakan untuk segera berakhir saja, tapi aku sadar bahwa aku belum siap jika harus tiba-tiba menemui-Nya dengan keadaanku sekarang. Aku hanya perlu bersabar lebih panjang atas apa yang kuhadapi, sembari menikmati momen-momen baik yang kualami. Menenangkan diri dengan mencukupkan hidupku sesederhana ini, tidak muluk-muluk mencapai mimpi seperti orang lain yang kukenali. Aku cukup menjadi diriku, mencintainya, mensyukurinya, dan menjadi orang baik semampuku. Itu sudah lebih dari cukup. (c)kurniawangunadi
176 notes · View notes
matapelangi · 19 days ago
Text
Nggak apa-apa kalau hari ini terasa hambar. Kadang hidup juga butuh jeda dari rasa. Barangkali rasa hampa itu justru tanda bahwa kita sedang dilindungi dari hal yang menyakitkan✨
5 notes · View notes
matapelangi · 25 days ago
Text
Validasi di Luar, Kacau di Dalam
Ada satu hal yang sampai sekarang masih bikin hati gedeg: orang yang gak pernah mau disalahkan, tapi hobinya nyalahin orang lain. Udah gitu, selalu bela-bela orang yang jelas-jelas salah. Belum lagi kebiasaan micromanage hal-hal kecil yang sebenarnya di luar kapasitasnya. Semua mau diatur, semua dicampuri.
Padahal ini di perusahaan yang cukup besar (alias terdiri beberapa anak perusahaan), bahkan mengandeng banyak instansi, terutama lembaga pendidikan Islam. Tapi giliran dikritik, malah defensif. Ada kalimat yang sampai sekarang masih keinget:
“Kalau aku nggak baik, mana mungkin pimpinan instansi itu percaya sama aku.”
Ya ampun. Kenapa harus validasi dari luar terus? Padahal di dalam, sistem internal makin berantakan karena leader terlalu turun ke teknis. Miskom di mana-mana, dan lagi-lagi gak mau disalahkan.
“Tenang, kamu nggak salah. Emang perusahaannya aja yang gak mau maju,” kata temenku kala itu yang sebenarnya hati masih gak terima.
Satu hal yang harusnya jadi alarm besar: angka resign karyawan yang tinggi. Hampir setiap bulan ada rekrutmen baru. Apa itu tidak melelahkan? Kenapa tidak dijadikan bahan refleksi bahwa mungkin, ada yang salah dari cara kepemimpinan yang berjalan?
Sayangnya, yang disalahkan justru generasi muda. Gen Z dianggap tak mampu, lemah mental, dan hanya bisa menuntut gaji tinggi. Padahal kalau mau jujur, mungkin mereka hanya butuh didengarkan, diarahkan, dan diberi ruang tumbuh bukan dimatikan dengan label dan asumsi sepihak. Padahal mungkin, mereka cuma butuh dipimpin dengan cara yang manusiawi.
Bukan kah begitu?
13 notes · View notes
matapelangi · 1 month ago
Text
Di tahun baru Islam ini, hujan turun hampir tanpa henti di kotaku. Dingin yang menyusup perlahan mengantarkanku pada pikiran tentang masa-masa lalu, penuh liku, yang kadang hangat, kadang asing. Pun melamunkan masa depan yang belum jelas warnanya, abu-abu dan penuh kemungkinan yang tak bisa kupastikan.
Bukan karena aku menyesal atau enggan berjuang. Nyatanya, beberapa tahun terakhir telah kulewati dengan beberapa kali hijrah ; pindah tempat, berpindah hati, memperbaiki diri yang kerap naik turun.
Ada banyak hal yang tidak bisa kusampaikan, banyak juga yang mengendap menjadi ketakutan yang tak berkesudahan. Tapi aku mohon, Ya Allah, biarkan prasangkaku tetap baik, meski rasanya tidak ada kemungkinan baik. Biarkan rasa berserah ini bukan berarti aku putus asa dari Rahmat-Mu, tapi justru bentuk keyakinanku bahwa Engkau tahu segala yang tak mampu aku pahami.
Perjalanan ini memang panjang, sering kali terjal dan membuatku ingin berhenti. Jika yang Kau ambil tak Kau ganti, jika jalan takdir-Mu masih membuatku tidak nyaman, aku mohon tetap rawat hatiku. Jaga prasangkaku agar tidak rusak, jaga pasrahku agar tetap tumbuh dari iman, bukan dari lelah yang menyerah. Sebab aku pun masih ingin menjadi hamba-Mu yang yakin meski remuk, yang tenang meski tak mengerti arah.
Sampai sekarang pun begitu, masih belajar menerima, masih tertatih dalam percaya, tapi tak ingin kehilangan arah pulang kepada-Mu.
Di Langit yang sendu, 2 Muharram 1447 H
6 notes · View notes
matapelangi · 1 month ago
Text
Kemarin motorku tiba-tiba mogok di tengah jalan. Ini sudah yang kedua kalinya dalam bulan ini, dan ternyata penyebabnya sama, bensin bocor. Tapi ada hal yang jauh lebih menarik dari sekadar kerusakan motor: soal bantuan.
Awalnya aku minta tolong temanku cowok, dia langsung ambil alih mendorong motorku sendirian dari kantor ke Bengkel yang dekat. Aku gak bantu, cuma jalan kaki di belakangnya. Kami menuju bengkel pertama, tapi qodarullah, ternyata tutup. Tanpa mengeluh, dia lanjut dorong lagi ke bengkel kedua yang jaraknya cukup jauh.
Saat kami berhenti sebentar karena aku mau ambil motornya biar dia bisa langsung pulang nanti, tiba-tiba ada seorang ibu yang hendak mengantar anaknya mengaji, berhenti di depan kami.
“Ayo Mba, saya mau ke masjid dekat kantormu,” katanya.
Aku gak hafal wajahnya, tapi mungkin beliau familiar denganku. Batinku Alhamdulillah banget, tawaran yang hangat, di tengah siang menuju sore yang terik ini.
Di bengkel kedua, temenku pulang dengan motornya yang ku ambil tadi, dan aku menunggu motorku sendiri. Motor dicek, dibongkar, dan ternyata kerusakannya cukup parah: injektornya rusak, dan mereka tidak punya alatnya. Aku mulai bingung harus bagaimana, apalagi rumahku jauh, dan keluarga juga baru pulang dari RS karena ibuku baru saja opname. Gak enak rasanya kalau panggil temenku lagi. Niatnya mau ku dorong sendiri ke bengkel yang lebih besar.
Nah beruntungnya di dekat bengkel kedua, ada tiga laki-laki sedang nongkrong. Agak bapak-bapak vibes, tapi satu di antaranya sepertinya masih muda, sempat bahas soal lamaran (ya, aku sedikit nguping, hehe).
Mereka mulai berdiskusi.
Satu orang bilang, “Kasihan mbaknya, yok didorongin.”
Yang lain menimpali, “Pinjam motor buat dorong, rumahnya mbaknya jauh. Kamu gak pengen anak-cucumu nanti ditolong orang juga?”
Dan itu menohok. Dalam dan hangat sekaligus. Akhirnya mereka bukan cuma bantu dorong motorku ke bengkel yang lebih besar, tapi juga kembali lagi buat jemput aku. Padahal jaraknya cukup jauh.
Kemarin motorku mogok. Tapi hatiku enggak. Ia justru belajar lagi tentang kebaikan orang asing, tentang tolong-menolong yang ikhlas, dan tentang bagaimana semesta bisa hadir lewat siapa saja. Kadang Tuhan tak langsung memperbaiki situasi kita. Tapi Dia mengirimkan orang-orang baik di sepanjang jalan pulang.
2 notes · View notes
matapelangi · 2 months ago
Text
Di tengah hidup yang kadang lucu ini. Semoga Allah menyandingkanku dengan jiwa yang serius dalam niatnya, baik dalam iman, hangat dalam keluarga, luas dalam pikir, dan terus tumbuh bersama.
12 notes · View notes
matapelangi · 2 months ago
Text
Ujian memang tidak pernah pandai memilih waktu.
Ia datang begitu saja, tidak peduli apakah kemarin baru saja selesai, tidak menunggu sampai tubuh sempat menghela napas, atau sekadar menutup mata sejenak. Seringkali, ia datang bertumpukan.
Dan meski kita sering mendengar kalimat, “Allah tidak akan menguji hamba-Nya di luar batas kemampuannya”, nyatanya tidak semudah itu untuk langsung percaya.
Tidak serta-merta hati tenang hanya karena kata “sabar” atau janji pahala besar. Karena yang datang lebih dulu justru kecewa, marah, dan lelah yang tak sempat tertata. Tapi kali ini, aku hanya bisa tersenyum getir.
Minggu lalu aku opname 4 hari. Minggu ini, Ibu yang harus dirawat untuk operasi tumor jinak di mulut. Rasanya baru Rabu kemarin aku angkut alat tidur dari kamar rumah sakit. Hari ini sudah menggelar lagi perlengkapan yang sama, di rumah sakit.
Tidak ada yang pernah meminta semua ini terjadi. Tapi mungkin Allah sedang menguji sejauh mana kedekatan kami. Bagaimana rasanya ketika satu sama lain saling tak berdaya. Dan ternyata, keluarga kami tak jauh berbeda dari keluarga lain.
Dalam keadaan genting, hal-hal paling manusiawi mulai tampak, kepedulian yang tumbuh diam-diam, kasih sayang yang akhirnya berani menyapa, kesabaran yang diuji dalam diam, doa-doa lirih yang tulus, dan uluran tangan yang tak hanya menyuapi tapi juga menenangkan. Perlahan, semua itu mencairkan dingin yang lama membungkus keluarga kami, seolah sakit adalah cara Tuhan mempertemukan hati yang sempat jauh.
13 notes · View notes
matapelangi · 2 months ago
Text
Satu minggu meninggalkan pekerjaan. Meninggalkan aktivitas yang biasa kulakukan demi menjaga tubuh tetap sehat. Tapi nyatanya, aku justru terbaring lemah, hanya bisa memandangi langit-langit kamar rumah sakit, berpindah posisi dari sisi kanan ke kiri—berulang-ulang.
Entah ini tamparan keberapa dari semesta. Bukan tamparan fisik, bukan pula bentakan, tapi rasanya menohok. Menyelinap diam-diam, menyakitkan sampai ke ulu hati.
“Dok, kapan saya bisa pulang?”
“Mbak, kapan boleh pulang?”
Pertanyaan itu akhirnya terlontar, dengan sisa tenaga dan harap. Tapi yang kudapat adalah tatapan tajam, mata dokter Ernes membulat sempurna, diiringi nada suara tegas yang sedikit meninggi.
“Lain kali, tolong makan yang teratur. Asupan gizinya diperhatikan. Anda belum menikah, saya harus bantu memperbaiki pola hidup Anda dari sekarang. Saya nggak mau Anda kekurangan gizi yang nanti berdampak ke kehamilan dan kondisi bayi.”
Aku terdiam. Tak tahu harus merasa apa. Malu? Sedih? Marah pada diri sendiri? Semua bercampur jadi satu. Setiap kali teman atau keluarga bertanya, “Kamu sakit apa?”, jawabanku selalu sederhana:
“Sakit gigi… nggak bisa makan, terus maag.”
Padahal sebenarnya, aku sempat demam tinggi beberapa hari. Tubuhku muncul bercak merah, seperti gejala DBD. Tapi aku pun belum tahu pasti, karena hasil lab-nya belum disampaikan kepadaku. Yang jelas, rasa nyeri di perut ini luar biasa. Mual, lemas, dan tubuhku terasa seperti memprotes semua hal yang selama ini kuabaikan.
Makan tak teratur. Tidur tak cukup. Sibuk mengejar semua hal di luar sana, tapi lupa menjaga rumah utama: tubuh ini. Kadang tubuh tak berbicara dengan kata. Ia hanya diam, lalu runtuh tiba-tiba.
Barangkali ini bukan hanya tentang sakit, tapi tentang pelajaran. Tentang batas. Tentang betapa kita bisa sangat keras kepada diri sendiri, sampai lupa bahwa tubuh juga punya hak untuk dipedulikan.
Hari ini, aku belajar. Bahwa menjaga diri bukan egois. Bahwa sehat bukan hanya untuk hari ini, tapi untuk hari-hari yang akan datang. Untuk impian. Untuk masa depan. Untuk orang-orang yang mungkin belum hadir, tapi kelak akan sangat berarti.
Opname hari ke 4
4 notes · View notes
matapelangi · 2 months ago
Text
Tumblr media
Mungkin di permukaan terdengar seperti keluhan. Tapi sejatinya, itu adalah caraku merilis apa yang selama ini hanya berkutik di dalam kepala. Bukan untuk mencari simpati, tapi sebagai bentuk keberanian kecil untuk jujur pada diri sendiri. Kadang malah seperti curcol, tapi nyatanya itu journaling.
Alhamdulillahnya ada yang berubah dari aku yang dulu dan sekarang. Bukan soal pencapaian besar yang bisa dipamerkan ke media sosial atau tetangga. Tapi lebih ke pencapaian batin yang diam-diam tumbuh. Misalnya: tidak lagi merasa perlu menjelaskan diri kepada orang yang sudah salah paham. Atau memilih menepi dari perdebatan yang bikin runyam kepala (baik dengan orang tua, teman, rekan kerja, dan siapapun)
Sekarang, aku belajar bahwa diam bukan berarti kalah. Mundur bukan berarti lemah. Kadang, itu adalah cara terbaik menjaga waras dan menyisakan ruang untuk hal-hal yang lebih penting : ketenangan, kesadaran, dan keberanian untuk tetap jadi versi terbaik dari diri sendiri, meski tak selalu dipahami semua orang. Gapapa :))
3 notes · View notes
matapelangi · 3 months ago
Text
Jumat Selepas Ashar
Ya Rabb bimbing hamba menjadi perempuan elegan yang damai dalam tutur kata, teduh dalam langkah, dan kuat dalam menghadapi dunia. Berikan kemudahan untuk terus belajar, menambah ilmu, dan menjadi lebih cerdas dari hari ke hari.
Dan bila hamba merasa lelah, Ya Rabb, peluklah hati ini dengan kasih sayang-Mu yang tak pernah habis. Jangan biarkan hamba merasa sendiri, karena Engkaulah sebaik-baik tempat kembali. Ampuni hamba Ya Rabb :")
7 notes · View notes
matapelangi · 3 months ago
Text
Cerpen : Jatuh Cinta di Umur Matang
Lebih rasional.
Langsung menganalisa, apa tujuan dari jatuh cinta ini. Kalau hanya sekedar bermain rasa, lebih baik bekerja aja mencari uang buat membeli kesenangan. Karena jika jatuh cinta hanya untuk menerka-nerka mau ke mana ujungnya, lebih baik beli tiket kereta dan pergi berkelana sendirian, lebih minim risiko daripada jatuh cinta. Langsung mengkonfirmasi, apa aja yang kamu miliki dan aku miliki serta apa yang tidak. Untuk hal-hal yang tidak kamu miliki, bagaimana kamu mengupayakannya? Apakah kamu termasuk orang yang tidak peduli dengan harta halal dan haram selama bisa mendapatkannya atau orang yang hati-hati? Sebab aku sangat hati-hati. Untuk hal yang sudah kamu miliki, apakah kamu bersedia untuk berbagi? Langsung menyaksikan, bagaimana tabiatmu yang terbentuk selama puluhan tahun. Karena aku tidak bersedia jika aku menjadi alasanmu untuk berubah menjadi lebih baik, apalagi jika kamu berharap aku bisa menjadikanmu lebih baik. Bagiku sejak awal sangat realistis, aku ingin jatuh cinta pada orang yang baik. Karena tidak ada jaminan aku bisa mengubahmu yang telah hidup dengan caramu selama puluhan tahun dalam sehari semalam apalagi beberapa hari saja. Aku memang tidak cukup sabar untuk menemanimu berubah, silakan berubah dulu menjadi baik kalau kamu memang berniat. Langsung pada intinya, tidak perlu terlalu banyak seremoni yang uangnya bisa kita pakai untuk pergi umroh atau membeli rumah. Daripada harus lelah menyiapkan banyak ritual, bagaimana kalau kita beramal saja, misal berbagi kebahagiaan dengan mengundang keluarga dan juga berbagi ke orang-orang fakir dan miskin. Biar doa-doanya buat kita, tidak ada penghalang untuk sampai kepadaNya.
Tidak perlu banyak basa basi, kalau kamu memang berniat untuk jatuh cinta. Jelaskanlah tujuanmu hingga sejauh mana, kalau kamu tidak ada tujuan, lebih baik hilang.
Karena aku tidak punya banyak waktu untuk mengulang-ulang kesedihan yang serupa. Karena aku pun sekarang lebih rasional, bukan lagi rupa menawan yang membuatku terpesona dan berkata "iya". (c)kurniawangunadi
678 notes · View notes
matapelangi · 3 months ago
Text
Yang paling aku takutkan setiap kali menulis adalah...
Allah mengujiku lagi lewat tulisanku sendiri. Padahal niatku sederhana: ingin berbagi, menyimpan hikmah yang kutemukan, menyampaikan kebaikan yang semoga bisa menular, walau sedikit.
Tapi entah kenapa, setiap kata yang kutulis, seolah ditagih oleh semesta. Seolah Allah berkata, “Sudahkah kamu hidup dalam apa yang kamu tulis?”Dan aku jadi ragu...
Bukan karena tidak yakin dengan nilai-nilai yang kupegang, tapi karena aku tahu, aku manusia biasa, yang kadang kuat menyuarakan, tapi lemah dalam menjaga. Dan jujur saja, kadang aku tak sanggup. Kadang aku lebih memilih diam. Mungkin itu juga sebabnya aku menunda-nunda menulis lagi. Takut dicoba, takut kecewa lagi, takut merasa gagal di pelajaran yang sama.
Ada bisikan: “Nanti diuji lagi lho, siap?”
Dan kadang aku kalah. Diam. Tak jadi menulis. Padahal aku tahu, itu cara halus setan agar aku tak menyuarakan cahaya. Lalu aku membaca satu kalimat dari seseorang: "Kenapa untuk bertumbuh, seperti harus dihukum terlebih dahulu?" Kalimat itu menusuk.
Mungkin memang, pertumbuhan datang lewat luka. Lewat ujian yang tak selalu kita suka. Dan kadang aku lelah, benar-benar lelah. Karena yang diulang adalah ujian yang sama, pada luka yang sama, dan aku bertanya-tanya...
“Apakah aku belum juga lulus?”
Atau mungkin ini bukan tentang lulus, melainkan tentang sejauh mana aku mampu bersabar, dan tetap menulis, walau sambil menangis.
3 Mei 2025
12 notes · View notes
matapelangi · 3 months ago
Text
Hehe, konyol banget yaa...
Hari ini aku off dari Instagram. Lagi pengen ngasih ruang buat diri sendiri—terutama dari kebiasaan iseng ngintip story dan aktivitasmu.
Sayangnya, di WhatsApp kamu masih jadi satu-satunya orang yang bisa lihat storyku. Iya, aku bikin story itu cuma buat kamu hahaha
Bukan karena pengen cari perhatian, tapi karena aku pengen kamu tahu... aku sedang pamit, dengan cara yang paling diam. Kayak buku yang ku tulis kemarin, itu adalah caraku berbicara padamu. Konyol kan?
Habis ini aku bakal hapus nomormu. Bukan karena aku benci. Tapi karena aku ingin tenang. Aku tahu ini nggak akan berpengaruh apa-apa buatmu. Dan aku pun nggak berharap apa-apa darimu.
Aku cuma ingin kamu tahu, ada seseorang yang pernah sangat menghargai dan mendoakanmu dalam diam. Dan sekarang, dia sedang belajar untuk melepaskan, dengan cara yang paling lembut dan sederhana.
Kalau suatu saat kamu sadar aku udah nggak ada, mungkin itu tandanya aku berhasil menjaga hatiku. Terima kasih ya, sudah hadir dan memantik semangat berproses jadi seperti kamu. Tenang saja, aku nggak akan ganggu. Aku cuma sedang berpamitan... pelan-pelan.
Aku pun mulai sadar, beberapa kali menolak yang datang dan nunggu kamu kayaknya cuma bikin aku capek sendiri. Mungkin memang nggak ada yang ditunggu dari awal. Jadi daripada hatiku terus bertahan di tempat yang kosong, lebih baik aku belajar melepaskan dan membuka ruang untuk yang baru.
Semoga kamu bahagia di jalanmu, dan semoga aku segera bertemu dengan seseorang yang juga memilihku, tanpa ragu. Bye bye
30 Mei 2025
6 notes · View notes
matapelangi · 3 months ago
Text
Tempat Pulang yang Tak Tergantikan
Hari ini aku benar-benar menonaktifkan semua media sosial. Menghapus beberapa nomor. Rasanya ada sedikit lega… bukan karena semuanya jadi lebih baik, tapi karena akhirnya aku berhenti pura-pura kuat di tengah kebisingan yang terus menuntut. Tapi sejujurnya aku sudah di titik pasrah.
Entah kenapa, ada hal-hal yang memang nggak bisa diucapkan dengan kata-kata. Bahkan untuk sekadar bercerita panjang pun rasanya tak sanggup. Sudah buntu. Otakku tak bisa lagi memikirkan ke mana arah langkah selanjutnya. Sebagai manusia dengan segala keterbatasan, aku pasrah. Biarlah Allah saja yang memperjalankan semuanya. Aku lelah menebak-nebak jalan keluar yang tak kunjung terlihat.
Hatiku belum cukup kuat untuk mengambil keputusan besar dengan segala risikonya. Ada ketakutan, ada ragu, dan kenyataannya… memang seperti tidak ada cahaya. Semuanya terasa gelap dan menyesakkan. Aku berusaha kuat, tapi kali ini, rasanya tak ada tenaga tersisa.
Di masa-masa seperti ini, satu-satunya tempat pulang yang selalu menenangkan adalah nenekku. Tapi ia sudah berpulang satu setengah tahun yang lalu. Sejak itu, tak ada lagi tempat yang terasa seaman itu. Sekarang, aku hanya bisa memandangi fotonya sambil menangis diam-diam.
Dulu, setiap ada masalah dengan orang tua, aku selalu minta diantar ke rumah nenek. Saat pusing dengan tugas kuliah, aku naik bus sendiri ke sana. Bahkan saat sudah sumpek dengan pekerjaan, hatiku selalu tahu: aku harus pulang. Sejauh apa pun aku berada, nenek adalah tujuan pulangku
Padahal selama hidupnya, aku hampir tak pernah bercerita banyak padanya. Kami hanya sering berbagi cerita lucu, duduk berdua sambil minum es. Tapi anehnya, justru dia yang paling bisa mengerti tanpa perlu penjelasan. Ia tak pernah memaksa untuk tahu, tapi selalu hadir dengan ketenangan yang tak bisa kutemukan di tempat lain. Sentuhan lembutnya yang sering mengusap kepalaku, tatapannya, humornya, semuanya membuatku merasa cukup… bahkan saat aku tak mengatakan apa-apa.
Sekarang, semua itu hanya tinggal dalam ingatan. Kenangan tentangnya masih jadi pelukan hangat yang sebenarnya tak pernah benar-benar pergi. Ia tetap jadi satu-satunya tempat pulang yang tak tergantikan. Al fatihah 🥹
3 notes · View notes
matapelangi · 3 months ago
Text
Sebuah Catatan Kecil di Penghujung Syawal. (Tentang harapan, usaha, dan penerimaan)
Ada doa yang belum sempat utuh. Ada usaha yang terhenti bukan karena menyerah, tapi karena kehendak-Nya.
Hari ini, di penghujung Syawal, aku baru benar-benar merasa….. argh ini untuk pertama kalinya setelah belasan tahun, aku tidak berhasil menyelesaikan puasa Syawal.
Biasanya, aku bisa lunas bayar hutang puasa Ramadhan + enam hari puasa sunnah, semua selesai di bulan syawal. Tapi kali ini, masih ada 2 hari yang belum terbayar karena beberapa hal yang tidak bisa ku kendalikan.
Padahal, dari awal aku sudah berniat, "Ya Allah, aku niat bayar hutang puasa dan puasa syawal. Tapi kalau ada halangan, anggaplah enam hari pertama untuk puasa syawal, sisanya untuk hutang."
Ramadhan kemarin juga banyak kulewati di rumah, bukan di masjid. Dua bulan ini berat badanku turun 4 kg. Maagku kambuh berkali-kali, sempat demam beberapa hari, dan batuk yang tak kunjung sembuh. Rasanya rapuh, jatuh bangun bertahan di tengah ibadah yang menawarkan pahala berlipat.
Sampai akhirnya, aku benar-benar harus menyerah sebelum garis akhir. Aku sempat bertanya dalam hati, "Kenapa? Apa dosaku sampai Allah tidak mengizinkan aku menyempurnakan Syawal kali ini? sampai sekarang masih sunnah ini yang rutin ku lakukan, tapi ga sampai juga"
Tapi mungkin, ini bukan tentang dosa. Ini tentang belajar menerima. Tentang mengerti bahwa “semoga” niat baik sudah tercatat oleh-Nya. Bahwa Allah lebih tahu batas kemampuan hamba-Nya. Ini bentuk ujian sekaligus pembelajaran untuk tetap menjaga makanan yang masuk ke tubuh, menjaga sesuatu yang tak perlu di masukkan ke hati, dan menjaga hal yang tidak boleh berlebihan dalam pikiran.
Hari ini, aku juga belajar bahwa terkadang. Berjuang itu bukan tentang sempurna. Tapi tentang terus melangkah, meski tak sampai di tempat yang kita inginkan.
Penghujung Syawal, 28 April 2025
15 notes · View notes
matapelangi · 4 months ago
Text
Ya Allah...
Jika aku harus menunggu, maka izinkan aku menunggu dalam iman, bukan dalam gundah, bukan dalam putus asa. Jika aku harus menahan rindu, maka biarkan rindu ini menjadi doa, bukan luka yang menggerogoti keyakinan.
Jika orang-orang yang aku harap tak Kau takdirkan untukku, maka tolong Ya Rabb, hilangkan perlahan bayang mereka dari hatiku. Gantilah dengan sesuatu yang lebih baik—yang tak hanya menetap di dunia, tapi menuntunku sampai ke surga.
Aku tak ingin cinta yang sebatas nyaman, aku ingin cinta yang membuatku lebih dekat kepada-Mu. Tak harus tampan, tak harus kaya, cukup dia yang takut kehilangan-Mu—sehingga tak akan mungkin menyia-nyiakanku.
Ya Allah…
Lelah ini makin nyata, tapi aku tahu Kau selalu melihat. Sepi ini makin dalam, tapi aku tahu Kau selalu dekat.Bila tiba saatnya, cukup buat aku yakin tanpa keraguan. Dan bila belum waktunya, cukup buat aku kuat tanpa mengeluh.
Karena aku tahu…
Engkau sedang menyiapkan dia, seperti Engkau sedang membentukku. Biar kami bertemu di waktu terbaik, dengan hati yang paling siap.
Aamiin.
43 notes · View notes