Text
kemalangan-kemalangan yang datang beruntun. rasa hati yang tak bisa dilampiaskan. tak ada salah tertuju. sehari dua hari bertahan. kekasih tak mampu mengurai rasa.
hari ini datang lagi rasa yang tak terjelaskan. datang lagi satu kemalangan. sudah bosankah keberuntungan? kekasih hanya bisa mendengarkan. kami tak berdaya menghadapi rasa.
5 notes
·
View notes
Text
Mei 2022
kembali lagi setelah setahun. wow
menulis jurnal jadi lebih sering analog dibanding digital. kembali punya buku diary seperti masa-masa SD. tapi, jurnal pun belum diperbarui beberapa bulan terakhir.
I don't think I need my diary~
0 notes
Text
Tuntas
Januari 2020, akhirnya pendidikan lanjutan tuntas. Setelah hilang dan kembali, malam-malam yang galau karena penelitian berjalan lambat, kadang hanya jalan di tempat, bahkan harus putar balik. Februari 2020 wisuda. Tuntas, tapi belum lunas. Saya teh punya janji sama ibu dosbing, bahwasanya akan bikin publikasi hasil penelitian dan daftarin HKI soal metode yang dipakai. Atuh da udah setahun lebih masih mangkrak aja. Maaf atuh bu, belum ada tenaga untuk nulis lagi. Semoga, ya semoga.
Tidak lama sehabis lulus, pandemi. Lalu begitu-gitu saja deh keseharian. Ga usaha cari kerja keluar, salah satu alasan ya karena pandemi, ditambah sekolah sendiri butuh bantuan, dan berbagai alasan lainnya. Setahun berjalan, mulai bosan. Karena cakupan kerja yang ‘segitu saja’. Karena sebagian pekerjaan dilakukan seorang diri dan tidak ada relasi dengan teman sebaya.
Saya tuh biasa jadi ikan kecil di kolam besar. Ketemu sosok-sosok yang lebih hebat, yang lebih kuat, dan belajar bertahan. Setahun lebih ke belakang, saya merasa kolamnya kekecilan. Masih bisa belajar? Bisa. Tapi ga ada kebutuhan untuk bisa bertahan. Ditambah lagi hidup bareng orang tua, tentu saya merasa sangat aman. Muter-muter aja disitu, tapi merasa sendirian. Penghiburan saya ya saat bertemu bocil-bocil, tapi tentu ga sebanyak di saat “normal” lalu jadi gampang bosan deh.
Dulu saya biasa dengan mudah panggil si A si B, hayuk main kesini, hayuk jalan kesana. Duh gusti, setahun-setengah terakhir teh kebanyakan bingungnya. Mau chat basa-basi juga takutnya basi. Ngehubungin orang teh dipikiiiiir, lalu ga jadi. Betapa senengnya saat ada temen yang ngehubungin. Asal bukan nagih kerjaan, da aku mah seneng tau. Padahal teh kangen ya, tapi aneh gitu chatting tuh, paling ujung-ujungnya, sehat-sehat yaa, udah. Saya tulus ko saat bilang sehat-sehat, cuma ya gitu, percakapan ga bisa panjang aja gitu. Huftinaa.
Apalagi ya? Buku, udah ga biasa baca. Cerita fiksi udah ga banyak yang menarik. Buku-buku “how to” ya lama-lama bosan juga. Buku-buku puisi, favorit saya ga terbit setiap tahun juga. Jadinya malah banyak nonton drakor dan anime. Sungguh berfaedah bukan? Oh, bukan ya? Yaudah.
Sekian rangkuman hidupku selama setahun-setengah terakhir.
0 notes
Text
Dua hari ga bisa berfungsi. Di kampus konsen paling 2 jam. Nyerah, pulang. Di kamar seakan ga ada apa-apa, nonton drama, dengerin podcast. Padahal running man terasa hambar kemarin, tapi masih belum sadar.
Jam 22 muncul Chen di timeline, kemudian ingat ‘Nosedive’ tepatnya lirik:
“When things are hard. You can just cry in pain”
Play on repeat. Sambil mencari kenapa.
Mungkin karena ekspektasi, kemudian menyadari kesalahan-kesalahan. Beberapa hal yang tak terpikirkan sebelumnya dan sekarang sadar mestinya ada beberapa hal yang tidak dilakukan.
Lalu hilang arah, lagi.
Yaah padahal pas mulai nulis ini udah tenang, tapi sekarang jadi mewek lagi.
“The answer is that there is no answer. No one really knows about this world. Believe that everything will pass by like the wind. Push those thoughts scattering the ceiling to tomorrow... Sleep well, sleep well, on this night...”
Read More at http://lyricskpop.net
0 notes
Quote
Saya dan kopi tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang lebih haus. Kopi dan saya tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang lebih pahit.
Joko Pinurbo (Srimenanti, P.19-20)
0 notes
Text
Maybe you don’t need to read this, but I need to tell you this.
Siapa sangka saya memutuskan untuk mengambil pendidikan lanjutan, yang menyeberang dari pendidikan saya sebelumnya. Teknik fisika, ke psikologi terapan. Paling tidak, tidak dalam rentang usia ini. Tapi jalan terbuka begitu saja saat saya meniatkan. Poof! Voila!
Menjalaninya? Berat. Entah berapa banyak air mata yang saya habiskan sejauh ini. Sejauh ini, ya memang sudah jauh, tapi belum selesai. Belum. Dibandingkan pendidikan sebelumnya, sepanjang 4 tahun, hanya satu kali saya menangis perihal perkuliahan. Selebihnya hanya ketawa-ketiwi sembari main ping-pong. Tapi kini tak lagi sama.
Terkadang saya memang hanya butuh ada yang mengucapkan, “jangan berhenti. semua yang kau takutkan tak kan terjadi”
youtube
atau sekadar, “take it easy for a little while, you know we did everything good so far”
youtube
Situasi banyak yang berbeda, kondisinya tak pernah lagi sama. Bahkan semester ini saya memutuskan untuk PP rumah-kampus, dua kali seminggu. Pekan lalu badan hampir tumbang, tapi multivitamin did their work. Bohong kalau saya bilang ‘kuliah lagi’ seutuhnya menyenangkan, tapi kurang bersyukur juga kalau saya bilang ini berat sepenuhnya dan tak layak diselesaikan. Ya pikiran untuk berhenti saja, bahwa saya tak sanggup menuntaskan, memang berkali-kali muncul menjadi pilihan. Tapi sepertinya saya lebih tidak sanggup untuk mempertanggung-jawabkan opsi itu.
Sekian curhatan saya setelah kembali lagi bertemu tumblr.
Cheers! *sambil nyeka air mata
0 notes
Text
maaf hari ini aku ingin sembunyi berharap hujan turun sehingga batal janji tanpa ada hati tertegun
0 notes
Text
Pagi begitu bising. Padahal Nona tidur terlambat semalam, gegara guntur yang tak berhenti bersahutan. Biasa, dia memang penakut. Biasa mencari ayah dan ibunya kalau sudah gelap.
Kehidupannya tak pernah berhenti, tapi seringkali ia merasa perlu berlari. Apa faedah dari itu? Pergi, tapi pada akhirnya kembali. Kondisi tak pernah berubah jika hanya ditinggalkan, yang ada justru sang waktu menambah parah keadaan. Ia shock ketika sudah harus kembali memulai apa yang ditinggalkan, padahal tanggal mainnya sudah tertera sejak awal. Masih saja ia terkejut, sungguh tak masuk akal. Kemudian menyesali apa yang sudah dilakukan seminggu, sebulan, setahun terakhir. Itulah mengapa semua orang bilang penyesalan datang di akhir. Menurutku, ia perlu menyusun kehidupannya lagi. Ah, tapi pendapatku pasti akan diabaikannya. Angin tak berarti lagi baginya, bisikan apapun tak lagi dihiraukan.
1 note
·
View note
Photo

Separuh. Sepotong. Sebelah. . . Entah kapan bikin ini, mungkin 3 tahun lalu (?) Selalu menyenangkan untuk membuka buku catatan lama :)
0 notes
Photo

Petualangan Sherina. Tak pernah lekang :" Timnya hebat banget, lighting oke, properti kece, orchest keren, casts jagoan, salute. 🙆🏻❤️ (at Teater Jakarta TIM)
2 notes
·
View notes
Text
mantap djiwa
Cara-Cara yang Mesti Engkau Tempuh Untuk Menjadi Ayah Nomor Satu di Dunia
Saya tak tahu apa yang menjadi motif Andrea Hirata sehingga dalam novel-novelnya senantiasa muncul tokoh Ayah. Uniknya, dalam cerita orang-orang Melayu itu, gambaran ayah yang ia hadirkan jauh dari stereotip laki-laki Melayu yang kebetulan menjadi ayah. Sebagai orang Melayu Kampung, paham benar saya tabiat ayah-ayah di kehidupan orang-orang Melayu. Ayah dalam tradisi Melayu adalah sosok patriarch, pihak yang ditakuti anak ketika mereka belum berangkat mengaji. Hal ini sama sekali tak tampak pada diri Seman Said Harun ayah Ikal di Tetralogi Laskar Pelangi dan Sebelas Patriot, Zamzami ayah Enong di Dwilogi Padang Bulan, Sabari bin Insyafi di novel Ayah, hingga Sobirinudin ayah daripada Sobrinudin alias Sobri alias Hob alias Bang Ganjal Lemari di Sirkus Pohon. Ayah-ayah yang ada pada tulisan-tulisan Andrea Hirata bukanlah macam ayah kebanyakan yang dimiliki anak-anak Melayu Kampung. Jenis ayah yang tahunya cuma mencari duit lalu memberikannya duit itu kepada sang isteri setelah sebelumnya telah ia belikan beberapa bungkus rokok dan segelas kopi susu jelas jangankan hadir, menyerempet pun tidak pada ayah-ayah di cerita Andrea Hirata.
Ayah-ayah ajaib yang lain dari pada yang lain dalam ceritera Andrea Hirata ini sedikit banyak selalu berhasil membangkitkan kenangan saya pada ayah saya sendiri. Ayah saya berbagi beberapa sifat dengan ayah Ikal, Enong, Amiru, dan tentu saja Hob. Ragam sifat itu, entah bagaimana, saya kira adalah perangai yang mestilah diadopsi oleh laki-laki manapun di dunia jika mereka ingin dianggap sebagai ayah nomor satu.
Diam itu Emas
Orang-orang Melayu memiliki beberapa kearifan tak tercatat. Salah satunya adalah jika seorang pria Melayu tak pandai berpencak silat, paling tidak ia harus mahir bersilat lidah. Dan lagi-lagi, para ayah ajaib karangan Andrea Hirata tak mahir dalam hal-ihwal silat ini. Ayah-ayah ini mungkin adalah pengikut Nabi Muhammad sejati. Mereka paham benar bagaimana menjalankan hadis yang berbunyi, barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.
Tentu pembaca Andrea masih ingat fragmen ketika Seman Said Harun bersepeda belasan kilometer lengkap dengan safari kantong empat untuk menghadiri pembagian rapor anaknya. Saat anaknya mendapat prestasi atau sebaliknya, ia tak banyak berkomentar. Ia cukup menepuk bahu anaknya lalu berucap salam ketika hendak pulang kembali ke Gantong. Akan tetapi, sedikitnya kata-kata yang mereka keluarkan dalam keseharian, membuat anak-anak mereka begitu fasih menafsirkan apa-apa makna yang tersaji dari gerak tubuh ayah mereka, dari raut wajah ayah mereka. Apakah sedang sedih. Apakah sedang merasa bangga.
Miskin Boleh, Menyerah Jangan
Ayah-ayah dalam novel Andrea tak pernah punya profesi mentereng. Pekerjaan mereka berkisar di antara pendulang timah, buruh batako, hingga penjual minuman ringan di stadion kabupaten. Meskipun demikian mereka bukanlah tipikal laki-laki Melayu yang pagi-pagi masih bersarung kemudian ketika petang menjelang berangkat ke kedai kopi untuk menumpang membaca koran dan membahas isu politik terkini lalu baru pulang ketika jamaah Isya sudah tak tersisa lagi di masjid.
Lihatlah Zamzami yang ingin membelikan Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar Kata kepada anaknya Enong. Ia bekerja jauh lebih keras di tambang, sehabis itu jika kebetulan sedang ada orkes Melayu akan tampak Zamzami berjualan nira. Hari Sabtu ketika tambang libur, ia berangkat ke laut untuk mencari kerang. Hari Minggu ketika tambang juga libur, ia menjual tebu yang ia kupas dan potong kecil-kecil lalu ditusuk dengan lidi. Bangun Pagi, Let’s Go!
Nasihat Itu Diperlihatkan Bukan Diperdengarkan
Saya tak tahu buku psikologi apa yang dibaca Andrea sehingga ia tahu saripati ajaran dari tokoh Social Cognitive Psychology, Albert Bandura, children learn by what you do, not what you say. Sobirinudin tak pernah berceramah jikalau perbuatan jujur itu adalah batas antara orang beriman dan yang bukan. Syahdan, Sobirinudin membantu seorang juragan kopra menurunkan kopra dari perahu. Entah bagaimana sang juragan berlebih membayar Sobirunudin. Sobirinudin menitipkan kelebihan uang tujuh ribu Rupiah itu kepada nelayan yang bertempat tinggal yang sama dengan juragan kopra. Lama berselang, ternyata sang juragan telah meninggal dunia. Nelayan yang dititipkan uang mengembalikan uang kepada Sobirinudin. Sobirinudin kemudian mencari-cari sanak famili dari juragan. Baru sepuluh tahun kemudian ia berhasil menemukan cucu si juragan untuk kemudian mengembalikan uang tujuh ribu tadi, meskipun lembaran uang itu tentu saja sudah tak laku lagi. Sungguh perilaku yang membuat saya berujar “mantap jiwa” ketika membaca bagian ini.
Mencintai Bukanlah Perkara Basa-Basi
Jika anakmu berprestasi tentu mudah bagimu berkoar-koar ke semua teman-temanmu, handai taulanmu, karib kerabatmu, “itu anak saya!” Lalu bagaimana jika anakmu ternyata sebaliknya? Ia memilih berkarir di bidang yang tak engkau harapkan. Ia menekuni pendidikan yang tak engkau rekomendasikan. Ia mencintai orang yang tak engkau sukai. Pendek kata, ia melakukan hal-hal yang tak akan mungkin engkau bisa banggakan. Itulah yang harus dihadapi Sobirinudin terhadap anak nomor empatnya Hob. Anak laki-laki pertama dan keduanya adalah pejabat di PN Timah. Yang ketiga PNS di kantor Syahbandar. Anak bungsunya, Azizah SD hingga SMA selalu peringkat satu. Sementara Hob, lulus SMP pun TIDAK. Astagfirullah.
Lalu apa pandangan Sobirinudin? Ia tak mengutuk anaknya. Ia tak mengatakan, “itu salah isteriku.” Ia malah selalu menganggap Hob sebagai pemain cadangan andalan alias super sub yang disimpannya untuk satu pertandingan final yang menentukan nanti. Mirip-mirip bagaimana Sir Alex memperlakukan Ole Gunnar Solskjær di Manchester United. Sobirinudin adalah pelatih yang sabar. Ia tabah menunggu sepuluh, lima belas, hingga dua puluh tahun untuk kemudian membiarkan anaknya masuk ke lapangan sebagai pemain pengganti, lalu membuat satu keajaiban. Mencintai bagi orang-orang macam begini berarti mempercayai. Dan anak-anak yang dibesarkan dengan cara seperti ini selalu tahu bahwa setiap kepercayaan tak bisa tidak harus dibayar, bisa lunas segera, bisa pula dicicil selagi nyawa masih di raga.
Jika kamu, masih berminat untuk menjadi ayah nomor satu, semoga catatan ini bisa membantumu mewujudkan impianmu itu. Ojeh?
331 notes
·
View notes
Text
Yah pas sabtu ga ada kajian bang :/
Surat Terbuka untuk Orang-Orang yang Memutuskan Akan Menikah Tanpa Berpacaran
Dulu sekali, menikah tanpa berpacaran hanyalah milik komunitas yang sungguh spesifik. Biasanya alasan yang menyertainya sungguh ideologis sekaligus politis. Tentu saja saya tak membicarakan model pernikahan ala Siti Nurbaya dalam perkara ini. Karena pernikahan dengan cara perjodohan, baik paksa ataupun lembut, juga biasanya tak diawali dengan berpacaran. Belakangan, konsep menikah tanpa pacaran merebak layaknya berudu di musim penghujan. Tak peduli lebarnya cuma lima enam jengkal, asalkan lubang itu memiliki cekungan yang cukup untuk menampung hujan, hilir-mudiklah kita lihat para kecebong di sana. Tak harus sudah malang-melintang di dunia per-liqo-an sekian tahun, tak juga perlu sudah lintang-pukang menempel-nempel poster dakwah (baik yang sifatnya politis atau apolitis), beberapa orang enteng saja berujar, “saya gak mau pacaran. Taaruf aja.” Terserahlah apa yang orang ini maksud dengan “taaruf”, entahkah benar-benar menggunakan perantara dalam segenap komunikasi para calon yang hendak menikah, atau hanya sekadar eufimisme untuk “pacaran-yang-jangka-waktunya-lebih-pendek-dan-memiliki-tujuan-pernikahan-yang-lebih-jelas-dari-pacaran-konvensional” saya haturkan “surat terbuka” ini.
Surat terbuka ini tentu saja bukan seperti surat terbuka pada umumnya. Tak ada pihak yang ingin saya persalahkan. Tak ada juga pihak yang ingin saya benarkan. Saya memilih term “surat terbuka” biar kekinian saja kok. Gak ada maksud lainnya.
Nah, di surat terbuka ini saya hanya ingin menyampaikan arahan-arahan yang akhir pekan kemarin saya telah sampaikan kepada beberapa Kakak Guru Sekolah Bermain Matahari. Yah, mereka memang sering meminta “fatwa” saya untuk urusan-urusan hidup mereka. Padahal mereka pun sebenarnya sudah tahu, hidup saya saja tak lurus-lurus amat. Akan tetapi tentu tak elok jika makan siang bersama setelah selesai mengajar di @sbmatahari , hanya diisi dengan senyap dan sesekali melihat lini masa sosial media. Suara kemerosok dari seseorang yang sok bijak dan memiliki selera humor kelas atas, tentu lebih menarik didengar sembari mengunyah nasi sebanyak 30 kali, sebagaimana sunah Nabi.
Presentism
Gaya bukan main kan sub judul di atas? Kalau kamu penasaran, tentu kamu sudah langsung meng-google-nya sebelum sampai ke kalimat ini. Kalau kamu meng-google-nya dengan benar, yaitu tentu saja mengetik kata “presentism” di lama Google, bukannya di Bing apalagi Yahoo, kamu akan menemukan bahwa istilah itu berarti bahwa kita, manusia yang fana lagi tempatnya khilaf ini, punya kecenderungan melihat masa lalu dan masa depan sebagaimana keadaan saat ini.
Contoh sederhananya kira-kira begini.
Dulu waktu saya masih SD, keinginan saya sungguh sederhana, sumber kebahagiaan saya juga, saya tak ingin ada yang mengusik keberadaan saya di depan televisi dari jam enam pagi hingga sebelas siang pada hari Minggu, tak peduli orang itu adalah ayah, ibu, bahkan Pak Harto (waktu itu blio yang jadi presidennya, jika kamu bertanya). Waktu itu saya bahkan berpikir, kenapa ya ayah dan ibu saya tak ikut menonton film-film yang saya ikuti. Ayah saya malah asyik membantu ibu membilas pakaian yang telah dicuci. Ibu saya apalagi, asyik sekali menyuruh-nyuruh saya membeli telur-lah, minyak lampu-lah, ke warung yang jaraknya dari rumah bisa menghabiskan satu sesi film dan satu sesi iklan. Melihat ketidaktertarikan mereka ini, saya berjanji dalam hati, meskipun saya setua mereka nanti, saya akan tetap melestarikan perilaku Minggu saya ini. Hasilnya? Waktu saya SMA, saya sudah muak dengan segala macam rollerblade dan semua anak yang berambut warna-warni itu.
Kembali ke urusan pernikahan. Beberapa perempuan entah karena terlalu banyak menonton film Bang Haji Rhoma, menginginkan suami yang memberikannya kata-kata romantis setiap pagi. Ia berpikir pasti hidup yang diawali dengan puisi adalah hidup yang sungguh layak dijalani. Padahal nanti, ketimbang puisi, perempuan-perempuan ini akan lebih membutuhkan jenis laki-laki yang tak malu bertanya kepada mbak-mbak Alfamart (serius saya lebih suka dengan Alfamart ketimbang Indomaret. Pertama, Alfamart berbagi huruf pertama “A” sebagaimana nama saya. Kedua, pada Indomaret ada kata “maret” yang tak sesuai dengan bulan lahir saya “Agustus” yang lebih patriotik dan juga berawalan “A”.) di mana letak Laurier ukuran 1 milimeter. Lagi, ketimbang puisi, perempuan-perempuan ini akan lebih membutuhkan jenis laki-laki yang bernapas panjang. Meskipun sudah letih bekerja seharian masih kuat mengajak anaknya yang baru pandai berlari, berkejar-kejaran dari blok A hingga Z kompleks mereka.
Beberapa semua pria memimpikan isteri yang jika pun tak secantik Raisa, paling tidak sebelas(tiga perempat)-dua belas dengan Maudy Ayunda. Jauh di hatinya ia merasa, jika menikah berarti menyelesaikan separuh agama, menikah dengan perempuan cantik berarti menyelesaikan tujuh perdelapan agama (kalau kamu sudah bosan dengan becandaan bilangan pecahan ini, sama kok, saya juga berpikir “apa matematika memang tak pernah bisa dibawa ke urusan tak serius ya?”). Laki-laki model begini, pastilah tak pernah tahu untuk mencapai wajah se-flawless Raisa, berapa banyak botol skin care yang harus dibeli. Jangankan tahu harganya, istilah toner, essence, lip mask, atau sleeping mask, saja insya Allah tak pernah mampir ke gendang telinga mereka. Saya tak bilang Raisa tak mampu membeli sendiri semua itu ketika ia menikah nanti, saya cuma mau bilang, “memangnya mukamu macam Hamish Daud heh, pengen isteri macam Raisa?”
Begitulah. Apa-apa yang kita pikir kita butuhkan nanti ketika menikah ternyata itu hanyalah keinginan sepele hari ini. Sungguh otak kita tak bisa diajak bekerja sama dalam perkara-perkara memprediksi masa depan model begini. Apalagi jika kita telah disekap dengan kuatnya kebiasaan orang-orang di sekitar dan bumbu-bumbu yang ditawarkan sinetron dari tipi yang suka menyetel mars partai yang mirip nama BUMN itu. Kita kekeuh membeli beberapa bungkus Indoemie mi goreng hanya karena terpana melihat betapa seorang Al (El dan Dul, tak lengkap rasanya jika tak disebut ketiganya.) saja memulai harinya dengan mi goreng instan. Kita lupa kebiasaan kita membeli mi tek-tek yang lewat di depan kos setiap pukul 21.13 WIB itu dikarenakan di kamar kos kita tak tersedia panci, apalagi kompor.
Performance Paradox
Lagi-lagi istilah asing. Biar keliatan intelek, saya memang suka mengutip istilah-istilah keren macam ini. Padahal yah gak ngerti-ngerti amat jugak. Namun, jika mau diringkas performance paradox berarti gak nyambungnya nilai indikator suatu performa dengan nilai performa yang sebenarnya.
Ringkasnya kita langsung masuk ke contoh saja.
Semua orang tentu ingin pasangan yang saleh atau salihah. Biasanya jika ia adalah laki-laki, ia menginginkan yang salihah, jika ia menginginkan pasangan yang saleh, ya tidak apa-apa juga. Mungkin ia memiliki pengetahuan bahasa Arab yang lebih baik dari saya. Bukankah muslim itu berarti orang Islam baik laki-laki ataupun perempuan. Bisa jadi saleh ya laki-laki, ya perempuan juga. Sungguh kesotoyan yang bercampur dengan kebencian dan dibumbui sedikit prejudice adalah sumber segala macam peperangan yang pernah terjadi baik di dunia ini ataupun di dunia Tyrion Lannister sana.
Balik lagi ke laptop. Saya ulangi lagi, semua orang tentu ingin pasangan yang saleh atau salihah. Masalahnya muncul adalah bagaimana menentuka seseorang itu saleh atau tidak. Pada titik inilah muncul indikator. Entah karena malas untuk atau terlampau percaya dengan “kata orang” beberapa orang perempuan yang saya kenal menjadikan “ngaji” sebagai indikator dari performa kesalehan yang ia ingin dapatkan. Di otaknya yang cuma sejengkal itu, jika seseorang sudah “ngaji” berarti ia saleh semata. Ia tak pernah berpikir bagaimana orang tersebut menjalani aktivitas “ngaji” itu. Keinginan sendiri, dipaksa, atau sekadar ikut-ikutan. Proaktif atau pasif belaka ketika “ngaji”. Rajin datang atau jika waktunya benar-benar kosong baru hadir ke forum “ngaji”. Astagfirullah.
Ada pula laki-laki yang saya kenal membuat keinginan (alhamdulillah-nya) lebih spesifik: memiliki pemahaman agama yang baik. Ndilalahnya, indikator yang dibuat begitu buruk: ukuran jilbab yang digunakan. Semakin panjang jilbab yang digunakan, semakin baik pemahaman agamanya. Jika dililit di leher, mungkin baru bisa Iqra jilid satu. Jika terjulur ke dada dengan pinggir samping jilbab menutup setengah bahu, mungkin mau tamat Iqra jilid enam. Jika pinggir samping kiri-kanan telah sempurna menutup hingga siku, mungkin telah lulus program tahsin. Jika ujung jilbabnya sudah menutup hingga hampir mencapai lutut, sudah pasti ia telah hafal minimal tujuh surat panjang dalam Al Quran. Sungguh perkiraan-perkiraan yang berpotensi besar akan membawa kekecewaan nan panjang.
Nah, pada sesi ceramah saya biasanya ada sesi tanya jawab biar kesannya lebih demokratis dan bukan ajang indoktrinasi. Ada Kakak Guru Sekolah Bermain Matahari yang bertanya, “untuk menunjukkan bahwa ia adalah pria yang bertanggung jawab, bisa tidak kita melihatnya dengan apakah ia bertanggung jawab dengan pekerjaannya saat ini?”
Sungguh pertanyaan yang sangat brilian bukan? Bukankah indikator yang dinilai dengan performa yang mau disasar sudah cukup dekat: bertanggung jawab sebagai pria, bertanggung jawab sebagai pekerja. Jawaban saya sederhana saja, “betapa banyak keluarga yang hancur karena tak becus mengurus rumah tangga, padahal di lingkungan kerjanya dikenal sebagai pria atau perempuan yang sungguh berprestasi lagi dihormati”.
Persoalan pada performance paradox sebenarnya ada dua. Pertama, performa yang disasar begitu subtil. “Memiliki agama yang baik” memang jika dibaca baik-baik, sungguhlah romantis, dengan sedikit suasana spritualis. Akan tetapi, mau tidak mau, “baik” yang disandingkan pada “agama” itu musti kita definisikan lebih konkrit. Agar kekecewaan tak datang di kemudian hari. Ingatlah selalu peribahasan yang menyatakan bahwa, penyesalan selalu datang di akhir, jika ia datang di awal kita sebut itu perencanaan. Kedua, indikator yang digunakan untuk mengukur performa tak boleh sedikit apalagi tunggal. Mana mungkin kita bisa mengetahui baik tidaknya bacaan Quran seseorang dengan melihat panjang jilbabnya. Jika kita mau tahu, silahkan langsung minta ia membaca beberapa ayat di depan kita. Kalau tak mau langsung ya minta direkam. (Kalau ia tidak mau dengan alasan suara perempuan adalah aurat, yah kamu pikir saja sendiri, kamu sebenarnya mau mencari isteri atau sedang melakukan seleksi musabaqah tilawatil quran tingkat kabupaten?)
Availability Heuristics
Sebenarnya saya ingin membuat sub judulnya, “Manusia Boleh Berencana, Tuhanlah yang Menentukan”. Setelah saya baca-baca lagi, kok ya terlalu dangdut, terlalu sesuai dengan diri saya, tulisan yang baik gak boleh terlalu mengumbar preferensi personal nanti gak obyektif lagi.
Saya langsung berikan contoh saja ya, sementara kamu googling dulu sana arti availability heuristics.
Seorang pria dengan niat tulus ikhlas ingin segera menikah. Ia tulis berderet-deret daftar yang harus dipenuhi seorang perempuan sehingga secara objektif perempuan ini memang adalah isteri yang tepat untuknya. Ia letakkan di posisi paling atas “restu ibu” karena ia tahu meskipun perempuan yang ia pilih baik jika ibunya tak merestui tak akan ia bisa melanjutkan ikhtiarnya itu. Di posisi berikutnya ia tulis berbaris rapi, “seakidah”, “satu manhaj”, “satu ustadz”, “satu almamater”, “satu suku”, “satu nusa”, “satu bangsa”, “satu bahasa”, “kita”, “iya, kita, kan sudah gak ada aku dan kamu lagi.” List macam apa ini?
Mulailah ia lakukan usahanya. Ia bergerilya masuk dari satu pengajian ke pengajian yang lain. Bertanya dari satu teman ke teman yang lain. Dari satu ustad ke ustad yang lain. Sampai akhirnya ia bertemu dengan perempuan yang masuk ke semua kriterianya. Ia bahkan telah memperkenalkan perempuan itu ke ibunya. Ibunya setuju. Pertemuan berikutnya perempuan itu bercerita hal yang begitu personal. Dulu sekali, kisah durjana itu datang padanya. Ada seorang pria entah dari mana datangnya. Tiba-tiba menghalangi jalannya menuju sekolah. Hal itu terjadi. Perempuan butuh bertahun-tahun untuk menghilangkan traumanya. Demi mendengar cerita perempuan tadi, sang pria terkulai. Ia bingung, bagaimana mungkin kriteria macam begini bisa terlewat olehnya. Ia juga bingung pada dirinya sendiri, bagaimana mungkin satu kriteria yang bahkan tak ada di kepalanya ini bisa menggoyang belasan kriteria yang dipenuhi perempuan yang ada di depannya itu.
Begitulah. Kita hanya memikirkan hal-hal yang sedang dekat dengan kita, yang baru saja kita alami, yang baru saja kita baca, yang baru saja kita bicarakan, yang baru saja kita dengar. Hal-hal yang jauh dari itu, kita anggap seolah-olah tak ada. sehingga tak layak dijadikan pertimbangan untuk memutuskan sesuatu.
Oleh karena itu, banyak-banyaklah berbincang dengan orang-orang yang telah menjalani. Meskipun hidup kita dan hidup orang-orang itu tak benar-benar sama, paling tidak kita akan mendapat sedikit masukan, hal-hal apa sebenarnya yang akan terjadi pada orang-orang tersebut.
Akhirul kalam, semoga surat terbuka ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Salam.
973 notes
·
View notes
Photo

"Merdeka bagi tiap anak Indonesia berarti tidak takut bermimpi untuk menjadi apapun, untuk melakukan apapun." Selamat Hari Kemerdekaan Indonesia🇮🇩
1 note
·
View note
Photo

Halo kakak-kakak 🙋🏼 Sekolah Bermain Matahari mengajak kakak-kakak untuk ikut menemani para matahari kecil bermain dan belajar serta menangkap keceriaan mereka melalui lensa kamera. Daftarkan segera dirimu sebagai kakak guru dan fotografer melalui Bit.ly/oprecsbm2017 Pendaftaran: 27 Juli - 3 Agustus 2017 Contact us: Ade 0878-8322-2314 Aina 0856-1300-246 FB Sekolah Bermain Matahari Twitter @SBMatahari IG sbmatahari Tumblr sbmatahari.tumblr.com
0 notes
Text
Bantu Sekolah Bermain Matahari untuk Terus Bermain

Sudah lima tahun ini SBMatahari menemani adik-adik di Pinggir Kali Ciliwung Depok bermain dan belajar. Bantu kami agar terus bisa menemani mereka bermain dan bersinar lebih lama lagi.
Donasi dapat melalui: https://kitabisa.com/sbmatahari
Info dan Kegiatan Sekolah Bermain Matahari dapat dilihat di: 📱FB : Sekolah Bermain Matahari 📱Twitter : @SBMatahari 📱Instagram : @sbmatahari 📰Tumblr : sbmatahari.tumblr.com
18 notes
·
View notes
Photo

Sedikit bukti jumpaku dengan The Sam Willows ❤️
0 notes
Text
#spotifyfansfirst
Kemarin saya memenuhi undangan dari spotify dalam acara #spotifyfansfirst yang menghadirkan The Sam Willows. The Sam Willows ini adalah band yang awalnya berdiri secara independen di Singapura. Awal “pertemuan” saya dengan The Sam Willows ini juga agak panjang, karena bisa dibilang baru kali ini saya “ketemu” musisi bukan dari teman atau televisi.
Waktu itu saya lagi demam, ga bisa berangkat kuliah hingga akhirnya cuma gegoleran di kamar nonton banyak hal di youtube atau sekadar main game. Saya biasa cari webseries karena emang lebih gampang ditemukan di youtube daripada sinetron. Singkat cerita saya suka dengan karakter utama dari “Can’t You Not?” dan ternyata ketemu dia lagi di “The Breakup List”. Usut punya usut ternyata namanya Benjamin Kheng. Saya mulai kepoin lah si Ben, kan lagi demam jadi emang punya banyak banget waktu buat kepoin orang, wkwk. Akhirnya saya tahu kalau dia mengalami sinestesia (dalam kasus Ben, dia bisa melihat nada) dan itu menarik karena baru seminggu sebelumnya saya belajar mengenai itu di kelas psikologi umum. Singkat cerita, intinya, Bang Ben ini menarik banget sih, ganteng pula, wkwk. Ternyata doi punya group band bareng adiknya, nah dari situ saya baru ngikutin musiknya dan dengerin di spotify, yeay.
Balik ke masa-masa ngepoin Ben, saya tau kalau ternyata hidup dia ga yang “lancar-lancar” aja. Bahkan dia mengakui kalau dia sempat mengalami depresi. Tapi bagaimana dia bangkit dan maju itu emang ga bisa dibilang cemen, dia keren. Nah, lagu-lagu The Sam Willows ini liriknya dalem sih, sentimentil. Cukup tahu aja lagunya begitu emosional karena memang personilnya (Ben dan adiknya, Narelle) punya background kehidupan yang ga mudah.
Saya tuh dateng dengerin musik dan ngobrol langsung sama The Sam Willows. Musik yang diputar dan kami dengar kemarin itu beberapa lagu yang belum rilis untuk album 2017 mereka, semacam bocoran lagu gitu. Nah tapi pulang-pulang teh bukan kaya abis pulang nonton konser, justru panjang renungannya, haha.
Renungan pertama, lirik lagu mereka kan maknanya dalem (menurut saya lah minimal) dan mereka ga ragu mengangkat topik seperti depresi dalam liriknya. Bukan sekadar depresi ditinggal kekasih dan pengen move on tapi ga bisa. Tapi hal mengenai makna cinta yang lebih dalam dan universal; dan bagaimana kita menghadapi depresi dan orang lain yang sedang depresi. Misalnya di lagu “Save Myself” (ini udah rilis beberapa hari yg lalu, lagu yg dari sudut pandang lain ga mau ngasih tau ah kan belum rilis :p ) ini kan cerita bagaimana kita harus bisa minta tolong kalau memang merasa depresi. Secara di Indonesia nih depresi masih tabu banget ya, jadi menurut saya memang perlu loh mengaku kalau memang lagi depresi, dan minta bantuan orang lain.
Renungan ke dua, mereka ada lagu yang intinya bagaimana mereka masih berjuang (belum rilis juga tapi liriknya TOP kok, percaya deh). Musiknya sih kayak yang ceria, tapi maknanyaaa dalem sih kalau mau dipikirin dan dirasain. Pada akhirnya, saya teh merasa malu karena santai-santai sekarang, mentang-mentang lagi libur kuliah. Mereka tuh artist berjuang untuk karir dan kehidupan mereka, tapi saya teh kaya yang santai weh, padahal kan saya juga harusnya berjuang lebih ya. Jadi kayak merasa ditampar gitu lah, I can relate banget sih ke lagu yang itu. Tema lagu yang saya maksud ini masih senada sama lagu “Keep Me Jealous” yang baru liris akhir-akhir ini. Sekilas denger judulnya mikir ke relationship antara muda-mudi gitu kaaan? Tapi yah sebenarnya lagunya bukan sekadar tentang itu, check it out!
Bersyukur banget sih kemarin dapat undangan untuk ketemu The Sam Willows, jadi bisa tahu lebih banyak kisah dan cerita mereka di balik lagu-lagunya. Dan yang pasti karena dapet bocoran lagu yang belum rilis dong, membanggakan, wkwk. Thanks spotify! Goodluck The Sam Willows!
2 notes
·
View notes