Dan semua yang muncul di Senin hingga Sabtu~ Angga Prawadika Aji ~
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text

Prinsipku dalam menjalani hidup di dunia yang semakin awut-awutan.
1 note
·
View note
Text

Exulansis /noun/ the feeling of resignation or giving up on sharing an experience because you sense that others are unable or unwilling to understand or relate to it, whether due to envy, pity, or simply a lack of shared experience. Jawaban saat ditanya kenapa nggak terlalu banyak bercerita dengan kawan sejawat.
1 note
·
View note
Text



Januari 2025. Liburan keluarga ke Semarang. Dua hal penting yang harus diingat. Pertama kalau mau liburan jangan pas holiday bersama karena bakal full manusia tumplek blek kayak nasi padang tumpah di tempat wisata. Kedua bahwa liburan sepadan dengan relaksasi dan hepi-hepi adalah mitos bagi para orang tua yang harus ngurus tiga anak kecil.
0 notes
Text


Alhamdulillah akhirnya terbit. Yang tertarik bisa dipesan di sini: http://bit.ly/infobukukami
0 notes
Text
Tentang Menjadi Dosen Muda dan Sedikit Tips Menghadapi Semua Kerumitannya
Beberapa minggu yang lalu hasil CPNS keluar dan Alhamdulillah dua (mantan) mahasiswa saya resmi diterima jadi dosen . Rasanya ikut seneng. Rasanya baru kemarin jadi dosen baru yang kikuk dan sekarang mahasiswa yang dulu saya ajar udah jadi dosen aja.
Tulisan ini adalah semacam refleksi saya selama menjadi dosen muda di FISIP. Sedikit hadiah kecil pada Hayiz dan Nimas sebelum menjalani hidup yang ajaib dan mengherankan sebagai dosen di Indonesia. Selamat ya!
Prestasi dan Kompetisi di Kampus
Dulu, ketika saya baru seminggu jadi dosen baru, seorang teman satu angkatan dosen dari jurusan Anthropologi pernah dengan berapi-api bilang bahwa ‘kita harus jadi dosen berprestasi dengan menghasilkan banyak artikel biar diakui para senior’. Saya yang waktu itu sama sekali nggak paham tentang publikasi dan semua kompleksitasnya akhirnya menerima ajakan teman tadi sebagai sebuah kewajaran. Satu-satunya jalan agar kita benar-benar ‘dianggap setara’ oleh rekan-rekan senior di fakultas adalah lewat pencapaian publikasi. Tembus scopus. Makin banyak makin baik karena artinya kita akan dianggap paling sakti. Dan saya pikir semua dosen baru selalu memiliki dorongan untuk merasa diakui oleh rekan-rekan kerjanya serta melepaskan aroma ‘mahasiswa’ yang kadang masih melekat sebagai dosen baru. Keinginan untuk kelihatan sebagai sosok ‘intelektual’ yang bisa duduk setara dengan para senior yang sialnya kebanyakan dulunya adalah dosen kita juga.
Beberapa tahun awal sebagai dosen baru agaknya akan diisi oleh upaya berapi-api untuk mendapatkan prestasi dan memenangkan kompetisi imajiner seperti itu. Sosmed dosen muda biasanya diisi oleh cuplikan artikel atau karya terbaru, screenshot video wawancara media atau kegiatan sebagai pembicara, dan berbagai pencapaian lain yang intinya merupakan upaya agar kita sebagai dosen muda bisa ‘kelihatan’ sebagai pengajar. Dan kalau saya ingat-ingat, walaupun di permukaan para dosen muda akan kelihatan dekat satu sama lain namun pada dasarnya semuanya merasakan kompetisi itu. Satu dosen muda adalah rival bagi dosen muda yang lain. Entah karena sistem kampus untuk mendorong lingkungan yang kompetitif atau memang karena hakikat ‘dosen’ yang kebanyakan memang berasal dari orang-orang pintar yang pada dasarnya memang kompetitif. Satu hal yang saya temukan menarik adalah semua minat untuk nampak ‘lebih berprestasi dan diakui’ ini pada satu waktu secara perlahan akan melempem. Saya melihatnya di banyak kawan dosen muda seangkatan saya dulu. Keinginan untuk menampilkan prestasi dan tampil sebagai dosen ‘hebat’ lama kelamaan jadi tidak sekuat dulu lagi. Mungkin semua itu karena kita sebagai dosen muda akhirnya sadar bahwa pencapaian tentang publikasi itu terkesan hanya sebagai permainan ‘saling berbangga’ yang tidak pernah punya pengaruh riil selain sebagai mata uang dalam kompetisi imajiner di grup dosen fakultas. Atau mungkin pada akhirnya kami sebagai dosen muda akhirnya merasa muak dengan dorongan dan target Universitas soal capaian publikasi tapi tidak pernah merasakan kompensasi riil dari apa yang kami capai. Kebutuhan hidup semakin lama semakin mendesak dan kami semakin sadar bahwa biaya SPP anak atau pajak kendaraan tak akan bisa dibayar oleh pujian rekan atau atasan tentang prestasi yang kita dapatkan.
Hal lain yang akhirnya juga saya sadari sebagai dosen muda adalah bahwa departemen ternyata tidak terlalu peduli dengan capaian publikasi kita selama kita bisa menjalankan tugas dengan baik. Jika kamu mau mendapatkan approval departemen/prodi, maka pastikan saja bahwa ada kebutuhan prodi yang bisa kamu penuhi, titik. Publikasi selamanya akan dilihat sebagai capaian personal oleh rekan-rekan prodi, dan walaupun capaian itu tentu akan membantu saat pengisian borang akreditasi namun dosen muda akan benar-benar diterima jika ia mampu menjadi bagian dari departemen. Berupaya mengisi hal-hal yang memang jadi kebutuhan prodi, memberi sumbangsih, dan bisa membaur dengan para senior. Dulu Mbak Nisa pernah berpesan pada saya bahwa kalau emang mau diterima oleh departemen maka saya harus punya ambil minimal satu bidang kebutuhan departemen dan berupaya ahli di bidang itu. Misalnya Mbak Nisa jago borang dan administrasi, saya pegang jurnal, dsb.
Saya nggak bermaksud mengatakan kalau bersemangat di bidang publikasi itu adalah sebuah kesalahan. Yang salah, setidaknya menurut saya, adalah saat kita sebagai dosen muda berpikir bahwa penerimaan rekan dan senior akan bergantung dari jumlah prestasi yang kita dapatkan. Pikiran semacam itu hanya akan berakhir dengan kekecewaan dan sinisme.
Senior, office politics, dan Hal-hal Memuakkan Lainnya
Saat saya mengusulkan pada pembicara di acara diklat dosen muda bahwa rasanya perlu ada arahan untuk menghadapi office politics di kampus, banyak dosen muda lain di ruangan yang sama langsung tertawa. Tawanya pahit. Kayak film romance yang awalnya penuh harapan terus di akhir malah tokoh utamanya sakit kanker terus mati menyedihkan di rumah sakit. Tawa yang sialnya sangat saya kenal. Sayangnya usul itu tidak ditanggapi serius walaupun sebenarnya jika boleh jujur office politic serta semua intrik dan drama yang dibawanya sebenarnya adalah hal masalah yang hampir selalu menjadi sumber kerumitan bagi dosen muda dimanapun mereka berada.
Satu hal yang seringkali tidak disadari oleh mahasiswa atau dosen baru adalah bahwa relasi diantara para dosen yang setiap hari mengajar itu sebenarnya tidak sesederhana dan seindah kelihatannya. Di balik foto jalan-jalan departemen yang nampak bahagia selalu ada gesekan soal power, intrik, pertikaian yang sebenarnya berangkat dari kesalahpahaman atau hati yang baper namun akhirnya terlalu berlarut-larut sehingga menjadi konflik, dan isu-isu personal lain yang akhirnya mewarnai dinding ruang departemen. Para dosen muda akan menghabiskan dua tahun awal mereka untuk menyesuaikan diri dengan semua kerumitan itu. Wajar bagi dosen muda untuk menghabiskan waktu dengan terkaget-kaget saat mendengar berbagai gosip dan cerita-cerita personal mengenai kompleksitas hubungan di kampus. Dan percayalah hal itu akan menjadi hal yang amat menjemukan dan memusingkan. Upaya kita untuk sekedar membina hubungan baik dengan salah satu rekan kerja bisa dimaknai lebih atau berbeda oleh rekan yang lain. Dosen baru yang naif pasti akan mengalami banyak masalah sepele di awal karirnya karena ia masih amatir dengan cara untuk menghadapi dinamika para seniornya. Dosen yang lebih tua akan lebih paham cara untuk ‘menavigasi’ situasi di dalam departemen. Tahu cara berjalan di ladang ranjau. Memahami cara untuk tetap menjalin hubungan baik dengan satu senior tanpa harus nampak ‘condong’ ke senior yang satu dan menyinggung senior yang lain. Atau paham topik-topik apa saja yang bisa atau tidak bisa dibicarakan dengan berbagai karakter di fakultas.
Tapi bagaimanapun juga posisi dosen baru itu ya dilematis. Dosen baru selalu menjadi fokus dari tarik-ulur kekuasaan di departemen. Seperti mahasiswa baru yang akan jadi rebutan di kegiatan perkenalan klub, dosen baru-pun biasanya akan menjadi fokus dari dinamika antar ‘faksi’ yang ada di departemen atau fakultas. Beberapa dosen muda dengan senang hati memposisikan diri dalam tarik ulur tersebut dengan menempatkan diri di salah satu faksi yang berseberangan karena alasan adanya insentif power dan patronase yang bisa didapatkan. Namun beberapa dosen baru yang lain akan merasa tidak nyaman dengan dinamika semacam ini. Hubungan antar rekan kerja di kantor menjadi terlalu kompleks dan memuakkan. Apapun pilihannya, dosen baru sebaiknya harus memahami dinamika yang terjadi di departemen dan berupaya untuk menempatkan diri di posisi yang tepat. Saran saya adalah jangan mau terlibat drama yang sebenarnya tidak penting atau sebenarnya ada hubungannya dengan kita. Jangan mau terlibat dalam obrolan penuh gosip yang nantinya bisa menarik diri kita ke dalam pertengkaran atau konflik personal yang sebenarnya kita sendiri tidak tahu asal muasalnya. Hidup udah susah, jadi dosen udah susah, jadi nggak perlu dibuat tambah susah dengan konflik personal yang nggak perlu.
Relasi dengan para senior di departemen juga ternyata jadi sumber kerumitan yang akan selalu membayangi. Apalagi kalau senior kita dulunya adalah dosen yang mengajar kita atau bahkan dosen pembimbing kita. Situasinya kadang ewuh-pakewuh. Walaupun secara profesional bisa dikatakan posisi kita setara dengan para senior, dalam banyak kasus mau tidak mau kita tetap akan dipandang terus sebagai ‘mahasiswa’ atau ‘anak kemarin sore’. Saya sendiri mungkin beruntung karena tidak berasal dari kampus dimana saya mengajar. Dilematis juga sih sebenarnya. Di satu sisi saya jadi lebih bisa bersikap independen karena tidak pernah merasa ‘berhutang’ dengan senior di departemen namun di sisi lain selamanya saya akan dilihat sebagai ‘outsider’. Hal yang sama juga saya rasa akan terjadi buat kalian berdua, Hayiz dan Nimas. Dan soal menghadapi senior itu ternyata juga ada strateginya. Kalau ada hal yang bisa saya simpulkan dari hubungan junior-senior di perguruan tinggi sepertinya cuma satu: kita dituntut untuk bersinar tapi jangan sampai sinar kita mengalahkan sinar senior. Paham maksud saya kan? Artinya, kita harus bisa memenuhi tuntutan dan ekspektasi departemen tapi kita musti berhati-hati saat kita terlalu ‘bersinar’ (atau dipersepsikan begitu) dan menutupi sinarnya senior. Berprestasi sebagai dosen tentu bukan hal yang salah tapi kita perlu siap untuk dipandang ‘berbeda’ oleh beberapa senior yang merasa ‘terganggu’ dengan sinar kita. Beberapa kawan mengatakan bahwa kita harus bersikap masa bodoh dengan persoalan iri dengki semacam itu namun kusarankan untuk bersikap humble. Betapapun hebat kalian, ada baiknya untuk tidak terlalu terperdaya spotlight dan mampu ‘memainkan situasi’ agar senior tidak ‘bermasalah’ dengan apa yang kita capai. You need to play dumb and play it low once a while. Menjaga hati, dan perasaan serta meminimalisir konflik dan attention rekan kerja adalah strategi jangka panjang yang penting kalau mau hidup nyaman dan menghindari konflik di departemen.
Stagnansi dan Arogansi
Guys, ati-ati ya. Menurutku ada dua hal yang rasanya menjadi penyakit banyak dosen dan akademisi di luar sana setelah beberapa waktu mengajar. Kedua penyakit ini berkaitan dan mungkin akan menjadi jawaban kalian atas pertanyaan kenapa beberapa dosenmu pas kuliah dulu (mungkin termasuk saya, Wallahu’alam) punya kualitas mengajar yang tidak sesuai dengan harapanmu. Penyakit pertama adalah arogansi. Bayangkan saja begini. Nanti, setelah kamu mendapat SK jabatan fungsional serta pertama kali mendapat pengalaman mengajar di kelas, kamu bakal merasakan kebanggaan yang luar biasa. Kamu sudah resmi menjadi dosen/akademisi. Semua mata di kelas menatapmu dan berpikir kamu adalah orang paling pintar di kelas. Dari situ rasa minder atau ragu yang dulu sempat ada waktu kuliah S2 atau pas bimbingan sama dosen lama kelamaan menghilang. Kamu akhirnya teryakinkan bahwa kamu memang pintar dan pantas untuk didengarkan. Selamat, kamu akhirnya merasakan sendiri bibit arogansi khas intelektual.
Kenyataan bahwa di masyarakat Indonesia posisi dosen itu punya nilai yang tinggi serta posisi sebagai pengajar yang terus menerus diperhatikan mahasiswa tanpa ada yang mempertanyakan kebenaran materi yang kamu berikan bakal mendorong adanya keyakinan bahwa sebagai dosen kamu emang pinter dan jago. Illusion of expertise. Hati-hati ya rek. Itu adalah bibit arogansi. Kamu sendiri sudah sering merasakannya sebagai mahasiswa. Saat ada dosen yang bicara panjang lebar tentang sebuah topik yang sebenarnya berada di luar kapabilitasnya. Ada juga dosen lain yang rasanya sok mengatur pilihan-pilihan mahasiswa seakan-akan sarannya itu adalah saran yang paling benar dan tepat. Lama kelamaan kita merasa bahwa dihormati dan diajeni orang lain itu adalah hak melekat karena kita dosen dan bukan karena kita memang pantas mendapatkan hak tersebut. Pernah dengar Dunning-Kruger Effect? Itu adalah istilah untuk menyebut bias kognisi dimana ada kecenderungan orang untuk overestimate his/her skills and knowledge alias keminter. Rasanya ironis kalau ingat bahwa dosen adalah pihak yang paling sering terjebak bias ini. Dan semakin kita merasa terlalu pede dengan ilusi-ilusi prestasi dan pujian di kantor, kita bakal sampai di fase stagnansi. Kita enggan belajar. Untuk apa membaca lebih banyak kalau sudah pintar? Untuk apa mengembangkan diri kalau sudah dianggap ahli? Akhirnya secara keilmuan dosen menjadi tumpul. Hanya bertopang pada reputasi untuk meyakinkan publik bahwa yang ia sampaikan memang benar-benar berbobot. Kukira ini juga banyak kalian temukan. Jangan sampe kayak gitu ya. Jangan mau diperdaya pujian dan sorotan. Berpeganglah terus dengan perkembangan keilmuan karena sejatinya itulah inti menjadi dosen. Jangan berhenti belajar
Selamat Mengajar
Bagaimanapun juga aku seneng lihat ada mahasiswaku yang ternyata udah jadi dosen juga. Ada sedihnya juga. Sedih karena aku tahu kalian itu pinter dan rasanya bisa dapat pekerjaan yang lebih menghasilkan daripada jadi dosen di Indonesia haha.. But anyway, selamat buat Hayiz dan Nimas yow. Kuharap kalian tetap berpegang sama prinsip dan semangat baik yang dulu pernah kalian pegang selama kuliah.
Kalau soal prinsip, sampai hari ini saya masih pegang tiga pesan yang terus menjadi panduan menjadi dosen. Pesan pertama saya dapatkan dari seorang teman yang sekarang juga jadi dosen di Poliwangi. Kata teman saya itu, jadi dosen itu barokahnya ya dari ngajar. Memberi ilmu dan berupaya agar anak didiknya paham dan jadi orang yang lebih baik. Makanya kalau ngajar ya harus serius karena InsyaaAllah rejeki dan berkahnya menjadi dosen (betapapun sulit dan tidak dihargainya hehe) itu ya dari niat kita untuk mengajar. Dua prinsip lainnya adalah pesan ibu sebelum saya berangkat ke Surabaya. Kata Ibu sebagai dosen muda itu harus ingat dua hal: kamu harus kerja sebaik mungkin dan jangan ribet atau terus mempertanyakan soal uang. Mungkin yang bagian akhir ini agak beda dari kebanyakan orang karena bagaimanapun katanya rejeki harus diperjuangkan. Sedikit bocoran: atasanmu akan banyak mencari orang yang (meminjam kata-kata Mas Irfan) gampangan soal duit. Orang yang kerjanya bagus tapi nggak kelihatan ‘serakah’ atau terus bertanya soal honor dll. Bagaimanapun kalau memang sudah rejeki kita ya nanti pasti akan kita dapat kok InsyaaAllah.
Sekali lagi aku Cuma pengen sharing aja. Soalnya kupikir posisi dosen itu rasanya sudah terlalu kental dengan kompetisi dan rivalitas sehingga kadang rasanya susah sekali bagi dosen muda kalau mau tanya atau ngobrol sama seniornya. Semoga sedikit pengalamanku ini bisa membantu kalian memulai karir sebagai dosen.
Good luck!
1 note
·
View note
Text
Tentang Menjadi Bapak-bapak di Usia 35 Tahun
Maret nanti usia saya InsyaaAllah akan mencapai 35 tahun. Menulis kalimat itu saja sudah membuat perut mules. Serasa ditendang tepat sasaran di selangkangan. Oh man. Waktu berjalan terlalu cepat. Wajah dan fisik saya memang sangat pas disebut bapak-bapak tapi apa yang ada di otak situasinya berbeda. Hingga saat ini masih terus berupaya untuk memahami hidup dan rasanya secara pribadi tidak terlalu banyak berbeda dari saya sepuluh tahun yang lalu. Dunia dan semua kehidupannya kadang terasa masih mbulet dan membingungkan sehingga sampai saat ini saya masih mencari terus apa makna menjadi dewasa bapak-bapak.
Sedikit tulisan ini saya persembahkan untuk saya sendiri di usia 35 tahun ini. Selamat menua bapak-bapak di luar sana!
Prioritas dan Minat yang Berubah
Salah satu hal paling lucu dari hidup manusia itu, saya pikir, adalah bahwa kita tidak pernah-benar sadar dengan berbagai perubahan yang kita alami sepanjang berjalannya usia. Maksud saya, orang mungkin bisa menyadari usia yang menua dari rambut yang tiba-tiba muncul uban atau pinggang yang semakin lama nggak bisa diajak kompromi kalau berjalan jauh. Tapi sialnya kita sebagai manusia jarang menyadari bahwa ada banyak hal dari dalam diri kita yang berubah seiring bertambahnya usia. Perubahan soal selera, soal gaya bicara, soal minat, soal cara berpikir, soal lingkaran pertemanan, dan berbagai hal samar lain yang kita terima sebagai bagian hidup keseharian. Dan voila! Saya baru sadar bahwa semua stereotip bapak-bapak sekarang bisa ditemukan setiap kali saya lihat cermin di rumah. Bersin keras banget sampe ngagetin tetangga sebelah? Check. Mandi dengan suara gebyur airnya kenceng banget kayak lagi ngemandiin kebo? Check. Milih menu masakan rumahan kayak lodeh atau ikan goreng kalau acara makan keluarga? Check. Tiba-tiba suka berkebun dan pengen punya peliharaan reptil? Check. Mulai nge-jokes jayus di depan mahasiswa? Double check. Ini rasanya kayak tidur siang sebentar terus bangun tiba-tiba udah jadi bapak-bapak njir.
Kalau dipikir-pikir sebagai bapak-bapak yang berubah ternyata tidak hanya soal kebiasaan keseharian atau selera aja. Salah satunya adalah soal minat. Banyak hal-hal yang dulu kita nikmati sekarang secara perlahan mulai kehilangan rasa asyiknya. Kayak maen video game misalnya. Beberapa teman yang usianya jauh lebih muda plus mahasiswa sampe sekarang masih semangat untuk ngejak mabar atau ngobrolin tentang game terbaru. Lha ternyata sayanya yang sudah kehilangan minat. Kalau nggak karena alasan bidang expertise saya di kampus mungkin saya sekarang sudah nyaman dengan sesekali main game strategi keluaran 20 tahun yang lalu. Nge-game jadi nggak seasyik yang saya bayangkan. Padahal kalau dipikir justru di usia ini saya pas punya hardware untuk maen game edisi terbaru dengan waktu bermain sebebas yang saya mau. Tapi mau gimana lagi, feelingnya ternyata udah nggak sama. Mungkin bapak-bapak yang lain pun juga mengalami hal yang sama. Bukan hanya soal maen game tapi minat lain yang dulu sangat disenangi, seperti nonton anime/series, maen futsal, dan berbagai hobi yang dulu pernah jadi kegiatan favorit kita. Secara tidak kita sadari minat dan prioritas kita berubah. Entahlah. Mungkin itu juga bagian dari menjadi dewasa tua. Beberapa kawan agaknya terus berupaya dengan sia-sia untuk meyakinkan diri sendiri bahwa hobi yang dulu sangat mereka sukai masih memiliki greget yang sama walaupun mereka tidak bisa membohongi bahwa pada titik tertentu semua hal yang dulu pernah sangat kita kejar dan puja semakin lama akan terasa hambar dan useless. Mungkin itu adalah tanda kalau kita menginginkan sesuatu yang lebih bermakna atau genuine dalam hidup? Atau mungkin seiring berjalannya usia kita jadi semakin sinis dan sulit untuk mendapatkan kesenangan dari hal-hal sederhana? Who knows.
Lingkaran Pertemanan yang Menyempit
Saya punya sedikit pengakuan. Sebenarnya setiap kali saya melihat foto-foto wisuda mahasiswa di sosmed sejujurnya saya selalu sedikit tertawa sinis. Bukan karena saya mikir ‘ha-ha-ha rasakanlah realita hidup setelah lulus wahai anak muda’ atau semacamnya, tapi lebih pada saya yang menyadari tentang betapa rapuhnya ternyata ikatan pertemanan di usia dewasa itu. Betapapun dekatnya kita dengan kawan sekolah, pada satu titik kawan-kawan akrab akan menjadi orang asing dan (mengutip Baskara Hindia) hanya jadi sebatas nama di kontak ponsel kita. Seiring berjalannya waktu dan jalannya kehidupan, ikatan-ikatan yang dulu kita pegang erat saat kuliah itu secara perlahan akan terurai. Semua orang akan memiliki kehidupannya masing-masing. Entah berapa kali saya harus terjebak dalam sebuah situasi canggung dimana saya bertemu teman lama di supermarket atau mall. Kami saling menatap untuk sekilas dan saya tahu bahwa dia-pun juga tahu saya, tapi tidak ada dari kami yang benar-benar mau menyapa duluan. Padahal dulu saat SMA atau kuliah kami adalah teman baik (dan saya pernah beberapa kali maen ke rumahnya!) namun di posisi sekarang rasanya canggung untuk benar-benar menyapa kawan lama. Grup Whatsapp SMA atau kuliah akan ramai sampai sekitar setahun setelah kelulusan. Setelah itu semuanya bakal sepi. Anyep kayak kopi dingin. Grup itu hanya sesekali akan diisi oleh tawaran loker, undangan pernikahan, dan di usia 35 tahun seperti saya ini grup reuni hanya ramai oleh ucapan belasungkawa jika ada kawan yang orang tuanya telah tiada.
Tapi mungkin hal itu adalah sebuah kewajaran. Sebuah proses transisi yang harus dilalui dalam perjalanan hidup, terutama bapak-bapak. Sebagai laki-laki yang dulunya hidup dengan lingkaran pertemanan yang luas, yang kesehariannya diisi dengan ngopi atau maen PS sampe malem bareng teman atau touring naek motor lintas kota, menjadi bapak-bapak berarti beralih ke lingkaran pertemanan yang lebih kecil: keluarga. And that’s perfectly okay. Lingkaran pertemanan kita lama kelamaan akan mengkerut. Istilah ‘teman’, ‘sahabat’, ‘kenalan’, dan ‘rekan kerja’ lama-kelamaan akan menjadi lebih jelas dengan batas yang lebih tegas. Mungkin itu karena kita sudah tidak memiliki cukup waktu lagi untuk me-maintain relasi dengan cukup banyak orang. Pertemanan di usia dewasa ini rasanya kjuga semakin kompleks dan merepotkan karena harus dipertahankan dengan pertemuan rutin di kafe, lewat acara futsal bareng, staycation bersama, playdate, dan berbagai kegiatan yang seringkali rasa capek dan biayanya jauh lebih tinggi dari keasyikan bertemannya. Belum lagi ‘pertemanan’ di kantor yang ternyata terlalu banyak dipenuhi drama, intrik, dan rivalitas yang memuakkan sehingga saya sendiri tidak yakin apakah rekan kerja di kantor memang bisa dikategorikan murni ke dalam kelompok ‘teman’. Berteman di usia bapak-bapak ini menjadi terlalu kompleks dan meletihkan sehingga yang diinginkan sekarang sebenarnya adalah jenis teman yang memiliki ikatan kuat dengan kita tanpa harus melakukan kegiatan-kegiatan repot semacam itu. Teman yang gampang diajak ngobrol hal-hal sederhana dan yang nggak terlalu membahas pekerjaan atau masa depan.
Menikmati Melamun di Depan Rumah
Hal lain yang saya sadari sejak menjadi bapak-bapak adalah kadang antara apa yang kita rasakan dan pikirkan dengan penampilan umur kita itu ternyata tidak selalu ‘klop’ alias nyambung. Apa yang kelihatan dari luar alias wajah tidak selalu merepresentasikan apa yang ada di dalam alias otak. Katanya umur itu ada yang sifatnya kronologis alias umur yang ditentukan oleh waktu, bulan, tahun, bla bla bla dan ada umur yang sifatnya psikologis, yang berarti umur yang ditentukan dari tingkat psikologis seseorang. Dulu saya berpikir kalau semua bapak-bapak itu selalu punya pikiran yang stabil walaupun kadang cenderung sederhana. Isi otaknya kalau nggak mikirin kerjaan ya ngopi atau nonton sepak bola atau nge-jokes porno atau ndengerin musik keceng-kenceng pas hari minggu. Maksud saya, bapak-bapak itu nampak selalu bisa diandalkan walaupun kesannya hidupnya membosankan. Setidaknya Bapak saya selalu nampak seperti itu. Sejak saya kecil saya berpikir bahwa laki-laki matang itu ya seperti Bapak. Dia seperti tahu semua hal. Bapak seakan bisa selalu diandalkan, nggak pernah kelihatan bingung soal hidup mau dibawa kemana (nggak seperti saya), dan bisa menenangkan semua orang. Makanya dulu saya sempat berpikir bahwa kalau saya nanti jadi bapak-bapak maka secara otomatis maka saya akan jadi pribadi ‘bapak-bapak yang ideal’. Jadi orang yang tahu segalanya, bisa diandalkan, tenang, dan sifat hebat yang lain. Tapi setelah saya masuk di usia 35 tahun ini dan resmi mendapat predikat ‘bapak-bapak’ ternyata apa yang ada di pikiran saya juga sama ribet dan kompleksnya dengan apa yang saya rasakan saat masih kuliah dulu. Setiap hari ada seribu satu hal dan pikiran yang berdesakan untuk masuk di sela-sela sel otak saya yang sialnya jumlahnya kelewat sedikit. Soal sekolah dan masa depan anak, soal tuntutan sekolah keluar negeri, soal AC mobil yang rusak, soal ide menulis yang sampai hari ini belum terwujud karena males, soal janji mau beliin Arsya sepeda baru tapi belum ada duit, dan beragam hal lain. Tapi di sisi lain saya juga sadar bahwa mungkin apa yang saya alami ini adalah esensi menjadi seorang bapak. Menjadi bapak berarti harus terbiasa untuk menjalani sulitnya hidup dalam diam. We suffer in silence because we won’t let ourselves share that burden to our loved ones. Salah satu pesan Bapak yang terus saya pegang sampai sekarang adalah jangan sampai keluargamu tahu soal beratnya perjuanganmu setiap hari. Seperti kata Gus Fring dari serial Breaking Bad, a man provides for his family. And he does it even when he's not appreciated, or respected, or even loved. He simply bears up and he does it. Because he's a man.”
Makanya sekarang kalau pas malam di jalan ngelihat ada bapak-bapak yang pake singlet doang duduk di depan teras rumah sambil ngelamun atau ngerokok sambil matanya menerawang ke depan, rasanya itu jadi salah satu momen yang paling relate dengan apa yang saya rasakan ini. Itu adalah momen spesial dimana kita sebagai laki-laki bisa ‘bernafas sejenak’. Bernafas dari ekspektasi dan kewajiban yang kami panggul tiap hari. Bernafas dari semua hal yang harus kami pikirkan dan kami perjuangkan. Ibu-ibu masa kini menyebutnya sebagai ‘me time’, tapi kami sebagai bapak-bapak tidak punya kemewahan untuk menyebut waktu kosong kami dengan istilah kekinian semacam itu. Di momen ‘ngelamun’ itu kami jadi punya waktu sejenak untuk mengurai pikiran. Momen tenang dimana kita bisa sejenak lepas dari panggilan untuk mengganti galon air atau lampu, mandiin anak, beliin martabak, dan berbagai tugas keseharian. Mungkin para bapak-bapak yang uangnya segudang nggak punya pengalaman yang sama, tapi toh saya bicara dari sudut pandang orang biasa. Sebagai bapak-bapak yang kami inginkan sebenarnya sangat sederhana: peace and quite time. Saya sendiri sekarang juga paham kenapa bapak-bapak jadi beralih suka berkebun, maen sepeda, atau melihara burung sebagai hobi. Di usia ini saya menginginkan sebuah hobi yang ‘menenangkan’. Dunia di luar sana, dimana kami harus berjuang dan bergelut setiap harinya, semakin lama menjadi nampak rumit dan melelahkan. Dan seiring berjalannya waktu sebagai bapak-bapak saya jadi sadar akan dua hal. Yang pertama kami sadar bahwa kami ternyata tidak sehebat yang dulu kami pikirkan. Kepercayaan diri dan semangat laki-laki usia 20 tahunan yang baru lulus kuliah untuk ‘sukses’ atau ‘menaklukkan dunia’ lama-kelamaan juga bakal terkikis seiring perjalanan hidup. Musnah perlahan dihajar realita hidup yang seringkali nggak sesuai dengan harapan. Tapi itu tidak mengapa selama kami memiliki tempat untuk pulang. Tempat untuk bernafas dan bersandar. Yang kedua kami akhirnya menjadi sadar bahwa hal yang benar-benar memberi kebahagiaan sebenarnya bukan capaian-capaian tinggi seperti prestasi tapi hal-hal sederhana yang bisa kami temukan dalam keseharian di rumah. Semakin dewasa saya menyadari bahwa manusia sebenarnya ingin membuat hidup lebih sederhana. Simplify things, dan fokus pada hal-hal yang matters dalam hidup seperti keluarga. Kayak kemarin misalnya. Saya baru sadar kalau saya lebih hepi saat Arsya dengan bangga bisa menyelesaikan membaca komik pertamanya dibandingkan saat saya dapat prestasi di kampus.
Malang, 31 Januari 2025. Sedikit tulisan dari saya yang mencoba untuk memahami Bapak. Terima kasih sudah menjadi contoh terbaik untuk keluarga.
Ngomong-omong di luar anginnya kenceng sekali sampai seng di atas dapur jatuh. Ditulis sambil ndengerin For Revenge - Jentaka
1 note
·
View note
Text
Desember 2024. Angkatan 2021 sudah pada lulus. Datang ke kampus buat konsultasi revisi tapi berakhir ngopi dan rame-rame nyoba photobooth di kantin. Uripku pancen nganggur tenan. Wajahnya pas foto pada ketawa tapi langsung berubah ekspresi waktu ngobrolin rencana pasca kelulusan. Tapi toh itu wajar. Itu pertanyaan yang sulit dijawab dan sialnya harus dipahami jawabannya secara personal. Sampe sekarang-pun sering kepikiran, anak-anak ini nanti bakal gimana hidupnya. Apa Azra bakal bisa mengejar mimpinya di dunia foto. Atau Akmal bisa sukses di Jakarta dan membuktikan kalau dia juga setara dengan kakaknya. Atau Fathia bakal tetep jadi fans Korea garis keras (arek ini mirip plek karo Titi model e) sampe sepuluh tahun lagi. Dan entah berapa nama lain yang kadang muncul di pikiran ini saat nyetir motor dari Surabaya ke Malang. Seluruh doa baik tertuju untuk kalian angkatan 2021. Semoga kalian bisa mencapai apa yang kalian impikan dan menjalani hidup dengan berbahagia. Kapan-kapan kita foto-foto dan nanggap Ali/Salma lagi~
2 notes
·
View notes
Text


November 2024. Terjebak dalam tim risetnya Prof. Henri. Akhirnya ikut melanglang buana ke Kupang dan Tambolaka, NTT. Ternyata asyik juga. Hasil risetnya juga surprisingly memuaskan (walaupun diselesaikan dengan berdarah-darah). Sampai hari ini-pun pikiran ini masih terbelah antara idealisme menjalani hidup dengan prinsip atau menyerah saja pada kebutuhan dan keinginan lewat menghamba pada jalan karir. Tercabik antara 'hidup sebagai dosen yang seharusnya fokus pada pendidikan dan berbuat sesuatu untuk anak didiknya' di satu sisi dengan 'ya sudah fokus publikasi dan self-branding biar bisa lebih banyak dapat project' di sisi lain. Dan sialnya sepertinya yang punya pikiran seperti ini ya cuma diri ini sendiri.
Hidup sebagai INFJ emang ribet dan memuakkan.
0 notes
Text

September 2024. Nyetir ke Boyolali buat aqiqoh Raska. Mobilnya butut jadi kalau nyetir di atas 90 km/h langsung mesinnya panas sama AC-nya mati ~
Kemarin menemani Ibu ke Tulungagung untuk takziah. Ngobrol panjang tentang hidup. Tentang politik kantor dan sistem universitas yang kadang memuakkan, soal pertemanan di usia dewasa yang ternyata lebih banyak dramanya timbang hepinya, tentang masa pensiun, tentang mimpi-mimpi yang belum selesai, dan yang utama soal makna merelakan. Ndak tahu siapa yang akan dipanggil lebih dulu oleh Allah SWT. Wallahu 'alam. Tapi yang jelas rasanya pasti bakal merindukan momen obrolan dengan Ibu, suatu saat nanti.
1 note
·
View note
Text
Tentang Menulis


Novel kedua saya yang berjudul Sanggrahan, 1990 akhirnya terbit. Alhamdulillah. Self-publish, but still. Yang tertarik bukunya bisa dibeli di link ini. ---
Bersamaan dengan terbitnya novel ini, kali ini saya ingin menulis sedikit sebagai bentuk terima kasih untuk kawan lama saya, Ditta Aprillia.
Sebenarnya menerbitkan novel sudah jadi mimpi saya sejak kuliah. Dulu, saat saya masih bekerja part-time di agensi iklan dan menunda-nunda menyelesaikan skripsi, iseng-iseng saya mencoba menulis novel. Sejak lama saya memang tertarik dengan misteri dan horor. Ada satu penulis yang karyanya benar-benar saya sukai. Namanya H.P. Lovecraft dan lewat karyanya saya mengenal tentang bentuk horor yang ‘berbeda’ dari cerita mistis khas Indonesia. Begitu sukanya saya dengan tulisan Lovecraft hingga saya memutuskan untuk membuka file word dan mulai menyusun plot dan karakter tentang cerita Lovecraftian yang settingnya di Indonesia.
Seiring dengan perjalanan waktu lama kelamaan saya menyadari beberapa hal. Yang pertama, ternyata saya punya selera dan gaya menulis yang berbeda dari kebanyakan orang. Nggak ada satupun teman (atau bahkan orang Indonesia lain) yang menyukai horor dan misteri khususnya tulisan Lovecraft seperti saya. Sampai hari ini pun kalau melihat cerita horor Indonesia selalu berputar di topik supranatural khas seperti pocong atau kuntilanak. Yang kedua, saya akhirnya sadar kalau hal yang paling sulit dari menulis novel itu bergelut dengan perasaan negatif yang terus keluar di kepala bahwa tulisan saya ini aneh, jelek, dan nggak pantas diterbitkan. Entah berapa kali saya berupaya mengakhiri proyek novel itu karena merasa tulisan saya itu nggak sebagus yang saya harapkan. Sampai saya berpikir bahwa memang menulis itu memang bukan bakat saya dan keputusan untuk menulis novel itu ya cuma semangat sesaat yang sebenarnya tidak ada juntrungannya.
Oleh karenanya saya sangat berhutang budi pada April.
Dari sekian banyak teman yang saya minta untuk setidaknya melihat bab 1 draft saya, hanya April yang berkenan untuk meluangkan waktunya untuk membaca draft novel yang saya tulis. April juga dengan baik hati mengatakan kalau tulisan saya bagus dan dia menunggu saya menyelesaikan novel yang saya tulis. April tidak pernah tahu bahwa kebaikan sederhananya saat itu menjadi api yang mendorong saya untuk terus menulis. Kata-katanya saat itu seakan meruntuhkan semua insekuritas dan keraguan yang saya rasakan tentang menulis. Setiap kali ada perasaan negatif yang berbisik bahwa karya tulis saya itu jelek, saya selalu kembali ke ingatan kata-kata April setelah membaca draft novel saya. Betapapun tidak populernya karya saya nanti, bagi saya rasanya cukup jika saya bisa membuat seseorang menikmati novel saya seperti yang April bilang.
Pril, setelah menunggu 8 tahun dan ditolak 13 penerbit, draft novelku yang pertama akhirnya dibeli hak adaptasi filmnya oleh Falcon Pictures tahun 2022. Aku nggak tahu kapan bakal difilmkan (atau jadi difilmkan atau nggak), tapi yang jelas aku sangat berterima kasih. Kalau bukan karena kebaikan hatimu saat itu mungkin aku akan berhenti menulis. Setiap kali aku mikir kalau aku nggak punya bakat nulis, seakan-akan selalu ada yang bilang di kepalaku “... tapi kata April novelku bagus kok”. Aku sekarang sudah menulis empat naskah buku Pril. Dua novel dan dua buku non-fiksi (salah satunya yang soal selebriti kemarin). Itu semua karena kebaikan sederhanamu saat itu.
Terima kasih sudah menjadi pembaca pertamaku. Terima kasih karena sudah membuatku terus menulis.
2 notes
·
View notes
Text

Ambil data wawancara dan FGD sendirian ke Atambua, tahun 2022. Ngobrol panjang dengan biarawati, pastur, dan warga Belo tentang isu human trafficking. Sebuah pengalaman yang membuka mata. Berharap kembali ke sana dan bertemu Mas Roby lagi, suatu saat nanti.
1 note
·
View note
Text

Parangtritis pada suatu ketika. Omong-omong, tiba-tiba ingat kalau dulu pas SMA pernah buat 77 puisi di buku catatan untuk diberikan ke seseorang. I wonder what happen to that book in the end ...
0 notes
Text



desain-desain tentang Titi waktu masih belum nikah~ Titi sekarang di ruangan sebelah, lagi rebutan buat maen komputer sama Arsya soalnya ada game baru. Raska tidur pules di kamar soalnya diajak jalan-jalan seharian. Mili sama Miko udah anteng di singgasananya masing-masing. Bahagia soalnya dibelikan makanan kucing baru. Dulu, di akhir masa kuliah, pernah ada teman yang tanya soal apa mimpi masa depanmu. Agak lama mikir soal itu. Dulu mikirnya pengen jadi creative director terkemuka. Jadi terkenal dan diakui. Kerja di company luar negeri dengan gaji tinggi biar bisa hepi-hepi untuk diri sendiri. Tapi lama-lama kok mimpi semacam itu jadi sama sekali nggak menarik ya. Jadi lembek kayak tempe mendoan kemarin. Selalu aja muncul pertanyaan "Lha kalau udah terkenal terus mau apa? Apa ya kerja kerasmu itu cuma buat mencari approval dari orang lain? Terus sampai mana akhirnya?".
Setelah dipikir-pikir, yang saya inginkan itu ya cuma punya rumah kecil, terus tiap hari bisa antar jemput anak sekolah dan pulang kerja disambut istri. Sesekali keluar jalan-jalan sore naek motor. Beli bakso di warung langganan atau cuma beli teh kotak di Indomaret. Cerita bareng sama anak soal dinosaurus atau binatang favoritnya sambil baca buku bagus di kamar. Udah. Gitu aja. Sempet diketawain juga sama teman lain waktu denger jawaban itu. Kok sederhana banget. Mimpi itu ya mestinya tinggi, katanya. Tapi pada titik itu rasanya saya sudah pada fase menerima bahwa apa yang dianggap sebagai 'kesuksesan' mungkin tidak selalu berjalan paralel dengan kebahagiaan. Dan akhirnya saya memilih untuk bahagia dan hidup dengan tenang. Walaupun pilihan hidup semacam itu terdengar seperti seorang pecundang atau orang kalah di dunia seperti sekarang ini. Dunia yang seakan mengharuskan orang untuk tampil bersinar dan selalu jadi pemenang. Tapi ya mau bagaimana lagi. Kalau ada hal yang saya sadari di usia 34 tahun itu ya kenyataan bahwa saya itu ternyata ya orang biasa. Dan itu nggak apa-apa. Saya sudah menerima bahwa saya tidak perlu membuktikan pada dunia di luar sana tentang apapun karena saya sudah memiliki tempat di dunia kecil milik saya sendiri. Dan Alhamdulillah ternyata jawaban saya itu ternyata dikabulkan Gusti Allah. Semuanya.
4 notes
·
View notes
Text
Tentang Koneksi di Usia Dewasa

Menulis di tumblr seperti ini sepertinya bukan hal yang umum dilakukan seorang dosen. Sepanjang saya memperhatikan rekan-rekan di kantor, rasanya nggak ada yang mau repot-repot menulis soal keresahan pribadi dan harapan naifnya dalam tulisan panjang di blog seperti saya. Kalaupun harus menulis ya harusnya menulis soal riset atau buku atau opini atau hal-hal besar dan berkaitan dengan keilmuan. Sepertinya semua orang di kantor rasanya tahu apa yang mereka inginkan dan apa yang akan mereka lakukan. Apa emang saya aja yang lemah dan cupu hingga butuh ruang ini untuk mengurai pikiran keseharian? Rasanya menulis dengan jujur seperti ini malah kayak men-sabotase reputasi dosen yang nampak tahu segalanya dan bisa diandalkan.
Mungkin karena alasan itu juga yang membuat saya kadang lebih memilih ngobrol dengan mahasiswa. Bukan karena saya nggak bisa nyambung dengan kolega atau semacamnya. Mungkin lebih ke saya yang nggak tahan dengan ‘small talk’ di acara-acara pertemuan rapat, meeting, dan pertemuan sosial lainnya. Mahasiswa, dengan semua persoalan dan perasaan insecure yang mereka miliki, rasanya lebih jujur dan genuine. Setidaknya mereka tidak berupaya membuktikan apapun saat saya mengobrol dengan mereka. Lebih mudah buat saya untuk terkoneksi dengan hal-hal innocence seperti itu. Entahlah. Mungkin itu adalah bagian dari kehidupan akademisi, terutama dosen muda. Selalu ada tabir ‘rivalitas’ yang membayangi. Nggak kentara di pembicaraan tapi ada dalam pikiran semua orang. Tentang siapa yang berhasil publikasi paling banyak, bisa diundang jadi pembicara paling sering, siapa yang paling terkenal dan diakui, dan semacamnya. Belum lagi perasaan bahwa berbicara di lingkungan kampus kadang rasanya seperti berjalan di padang ranjau. Harus ekstra hati-hati agar tidak menyinggung siapapun atau membuat orang lain baper. Sungguh terlalu kompleks dan memuakkan. Kehidupan pergaulan pasangan dewasa yang sudah menikah juga seringkali sama. Relasi yang dibentuk kebanyakan dipoles bentuk persaingan yang dibungkus pita. Soal siapa anaknya yang paling oke di sekolah, soal siapa yang kehidupannya paling menarik dan sophisticated, yang paling asik liburannya atau paling hebat pencapaiannya, hal-hal semacam itu. Lingkaran sosial orang dewasa adalah medan tempur rahasia yang dihiasi tawa dan perayaan dimana masing-masing berupaya membuktikan bahwa keluarga mereka adalah yang terbaik.
Mungkin yang saya rindukan adalah obrolan sederhana saat masih ‘muda’ dulu. Saat semua kawan berbicara tanpa berupaya membuktikan apapun. A simpler time. Saat hidup tidak dibutakan oleh adiksi validasi dan pengakuan. Saat yang dibicarakan sesederhana soal kelucuan hidup sehari-hari. Hal-hal remeh-temeh semacam itu. Mungkin itu juga alasan kenapa rasanya hidup sebagai seorang yang dewasa itu kadang kenyang oleh sepi. Setiap hari dihajar oleh tuntutan dan ekspektasi tapi jarang ada tempat untuk menuangkan isi kepala dan kemelut hati.
3 notes
·
View notes
Text
Tentang Obrolan Selasa Malam dan Kehidupan Setelah Wisuda
Dayen, Azham, dan beberapa mahasiswa yang baru lulus Maret kemarin tiba-tiba ngajak ngopi beberapa hari yang lalu. “Pengen ngobrol soal hidup setelah lulus, Mas. Pengen sharing bareng”, katanya. Datang di kafe tempat ketemuan dengan ekspektasi bahwa malam itu akan berjalan sebagaimana acara ngopi lainnya: guyon nggak jelas sambil mentertawakan konyolnya kehidupan. Ternyata saya salah besar. Hasilnya adalah obrolan deep talk yang sisa keraknya masih tertinggal di kepala sampai hari ini. Dan tulisan ini adalah hasil refleksi saya berdasarkan obrolan hari itu. Soal kehidupan setelah kelulusan yang nampak begitu luas dan dingin serta harus dihadapi dengan kesendirian. Dan mungkin posisi saya yang hingga saat ini masih belum bisa mengerti kenapa otak ini mau-maunya memikirkan rumitnya kehidupan mahasiswa.
Ngomong-omong, pada suatu ketika saya pernah membaca sebuah quote di Instagram yang berbunyi “ Hidup Itu dijalani ke depan tapi hanya bisa dimaknai dengan melihat ke belakang”. Tulisan itu rasanya nampol banget bagi saya yang tahun ini masuk usia 34 tahun. Sejak lebaran kemarin saya jadi banyak menghabiskan sore dengan siram-siram tanaman atau bengong di teras sarungan (udah fix jadi bapak-bapak) sambil nglamun mikir macem-macem. Dan banyak dari lamunan itu sebenarnya adalah upaya saya untuk memaknai hidup yang sudah berjalan sejauh ini. Ngelamun soal jalan hidup yang membawa saya pada detik ini, juga memikirkan kawan lain yang saya yakin juga sibuk berjibaku dengan hidup keseharian. Dan dalam lamunan itu saya jadi sadar akan beberapa hal soal kehidupan sebagai orang dewasa. Hal-hal yang kemudian saya bayangkan juga agaknya akan menjadi bagian kehidupan mahasiswa saya nanti setelah lulus.
Sendiri di Lautan Tuntutan dan Ekspektasi
Sesaat kita lulus, rasanya hampir semua orang di sekitar saya bicara bersemangat soal masa depan yang harus berhasil diraih. Soal janji kesuksesan yang ditiupkan dalam ubun-ubun kita selama panjangnya proses pendidikan tinggi. Rektor bicara panjang lebar di acara wisuda soal opportunity, kesempatan untuk meraih mimpi, potensi diri yang harus diwujudkan, dan kata-kata motivasi yang nyaring memekakakkan telinga. Tapi di balik hiruk pikuk suara itu, yang jarang dibahas adalah perasaan sendiri dan kesepian yang kita alami saat tubuh ini tiba di stasiun sunyi bernama kehidupan nyata. Yang saya sadari setelah kelulusan dan menjadi dewasa adalah ini: perasaan kesendirian dan sepi di tengah luasnya realita hidup beserta semua kemungkinan dan percabangan jalannya. Walaupun raga kita ada di dalam sebuah acara ngopi atau kumpul-kumpul bersama teman yang lain, meskipun kita tertawa pada lelucon yang sama, tapi sejatinya semuanya hidup dalam dunianya masing-masing. Selamat datang di realita hidup, guys.
Kalau dipikir-pikir, menjadi dewasa berarti harus siap menerima semua ekspektasi yang diberikan dunia di pundak kita. Menjadi dewasa berarti pribadi yang kuat, kompetititf, dan mampu bertahan dari apapun yang diberikan hidup. Dan kita semua berupaya berupaya berlari mengejar imaji itu. Salut dan puja-puji diberikan pada sosok-sosok yang berhasil mencapai puncak setelah kelulusan, yang pialanya ditampilkan dengan foto di kantor perusahaan multinasional dengan lanyard keanggotaan mengkilat, foto mobil baru atau keluarga kecil yang tertawa lepas di depan rumah, atau foto diri di depan kampus luar negeri. Sementara itu sosok lain yang masih kesulitan berjuang dan terseok dalam hidup kan menatap foto-foto itu dengan nyeri di ulu hati dan memutuskan untuk mundur dan menarik diri.
Dunia setelah kelulusan adalah kompetisi tanpa henti yang harus dihadapi sendiri.
Mungkin itu alasannya kenapa rasanya semakin sulit untuk bisa mencapai kebahagiaan sejati di dunia ini. Di dunia yang rasanya semakin menekankan pada persaingan dan ekspektasi untuk ‘tampil dan bersinar’, semua orang sejatinya merasa sendirian serta tidak memiliki tempat untuk bercerita dan didengarkan. Semua upaya untuk keluar dari lintasan kompetisi ini akan dianggap sebagai tanda kelemahan, termasuk meminta pertolongan pada orang lain atau memilih untuk hidup sederhana. Orang yang menolak untuk ikut dalam balapan imajiner akan dianggap sebagai orang yang menyerah kalah. Dan di dunia dimana cerita di media sosial telah menjadi penanda kesuksesan utama, tidak ada satu orang pun yang mau kelihatan lemah atau kalah. Padahal sejatinya semua orang dipenuhi dengan pertanyaan dan keraguan soal hidup, tanpa terkecuali. Sebagai akibatnya hidup sebagai orang dewasa terasa kering dan dingin, dimana satu-satunya sumber kebahagiaan yang paling populer adalah perasaan superior jika merasa kehidupan kita lebih dari orang lain.
Saya bayangkan hidup mahasiswa sekarang kok rasanya akan lebih rumit lagi setelah lulus. Atau seenggaknya jauh lebih rumit dari pas jaman saya lulus 2013 dulu. Dimana-mana sekarang banyak konten yang bicara soal ‘sukses di usia muda’ terus dilanjutkan ke cerita anak-anak muda yang udah mapan banget padahal usianya dua puluh tahunan. Belum lagi hidup di medsos rasanya kalau nggak update hidup yang sok sibuk atau ikut kegiatan tertentu pasti rasanya kayak ketinggalan sama temen-temen yang lain. Padahal realitanya sangat berbeda dan kompleks. Kebanyakan anak-anak muda yang sukses dan sok jadi motivator itu punya privilege yang nggak dimiliki orang banyak, tapi mereka sengaja tidak mengakuinya dengan tujuan agar kesuksesan yang mereka punya sekarang nampak lebih heroik dan dramatis. Ekonomi cenderung mengkerut sehingga membuat cari kerja nggak segampang dulu. Seorang alumni angkatan 2019 yang terkenal pinter banget dengan pandangan pahit bahwa ia menghabiskan sisa waktu enam bulan terakhir untuk datang ke berbagai wawancara kerja dan berakhir dengan penolakan. Apalagi inflasi nggak setara dengan peningkatan upah (pernahkan kamu nyoba lihat harga rumah sekarang?). Di dunia yang semakin menghimpit dan keras, orang-orang malah saling sikut-menyikut dan membandingkan diri lewat imaji-imaji palsu serta tidak bisa melepaskan diri dari adiksi validasi media sosial.
“Kenapa Kok Mau Repot Gitu Mas?”
Pertanyaan Rista soal kenapa kok diri ini mau repot-repot peduli sama kehidupan mahasiswa ternyata saya bawa terus sampai pulang ke rumah. Pertanyaan itu nggak pernah saya pikirkan sebelumnya. Lha, kenapa ya? Kok saya mau repot-repot mikir hidup anak orang? Kayak nulis di blog ini misalnya. Sepanjang perjalanan pulang otak ini rasanya diputer-puter, tapi sampai pas di rumah pun rasanya nggak ketemu jawaban yang memuaskan. Satu sisi otak mengatakan kalau semua yang saya lakukan itu hanyalah bagian dari idealisme sebagai dosen muda. Semacam sebuah upaya untuk mempertahankan keinginan masa lalu untuk bisa jadi seorang dosen yang ‘baik dan berpengaruh ke anak didiknya’. Mungkin juga sebenarnya yang saya lakukan ini hanyalah sebuah upaya ‘pemberontakan sunyi’ bagi dosen senior yang (di mata saya) hidup materialis dan melihat segala upaya untuk memahami hidup mahasiswa sebagai tindakan sia-sia dan konyol karena toh kan nggak ada honornya. Sisi otak yang lain berupaya menjelaskan kalau mungkin apa yang saya lakukan ini adalah upaya untuk membalas pengalaman saat kuliah S1, dimana dosen pembimbing saya nggak pernah membimbing sama sekali. Boro-boro mbimbing, pas tahun lalu ada acara di UNAIR beliau datang aja nggak inget kalau pernah ngajar saya di kelas S1 atau S2. Jadi mungkin yang saya lakukan ini semacam cara untuk berkompensasi dengan trauma masa lalu.
Setelah dipikir-pikir lagi, mungkin jawaban dari pertanyaan Rista itu lebih sederhana. Dalam dunia yang rasanya semakin rumit dan menekan seperti sekarang, saya hanya ingin membantu kalian sedikit. Nggak ngerti juga ya. Mungkin karena di wajahmu saya melihat diri saya sendiri 10 tahun lalu. Selain itu mungkin semua yang saya lakukan ini adalah janji pribadi yang saya ucapkan beberapa tahun yang lalu. Ada satu kejadian penting saat saya jadi dosen sekitar empat tahun yang lalu. Saat itu saya mengajar mata kuliah periklanan pada angkatan 2017, dan kebetulan saya memberikan tugas in-depth interview pada kating kalian. Tugas itu juga yang akhirnya menjadi inspirasi saya untuk membuat tugas akhir komunikasi filsafat (yang entah bagaimana reaksi dan efeknya jauh lebih besar dari yang saya bayangkan sebelumnya). Dalam tugas in-depth interview itu, saya meminta mahasiswa untuk bertanya pada mahasiswa lain soal ‘apa hal paling buruk yang pernah dikatakan orang padamu’ atau ‘hal paling penting dan membahagiakan yang pernah dikatakan seseorang padamu’. Dalam satu tugas yang dikumpulkan dan rasanya tak akan pernah saya lupakan, saya membaca hasil wawancara dari seorang mahasiswi yang luar biasa depresif, menolak menikah dan menjalin hubungan, dan berpandangan sangat minim soal masa depan hanya karena sebuah satu ucapan jahat yang tanpa sengaja dilontarkan ibunya pada waktu ia masih kecil. Dan cerita dengan nada yang mirip saya temukan di beberapa hasil tugas yang lain. Tugas itu mungkin nampak sederhana dan remeh-temeh untuk mahasiswa, tapi itu adalah pengalaman yang sangat berpengaruh buat saya. Saya menyadari bahwa kata-kata yang dilontarkan bisa menentukan seluruh hidup seseorang. Dan sepanjang tahun-tahun berikutnya, saya semakin sadar bahwa kadang yang diinginkan oleh mahasiswa kadang hanyalah sebuah kalimat afirmatif sederhana. Yang mereka butuhkan adalah seseorang yang berupaya untuk memahami mereka seutuhnya, dan dengan tulus mengatakan bahwa ada seseorang yang percaya dan menghargai apa yang mereka lakukan, betapapun kecil dan tidak signifikan prestasi yang mereka tunjukkan. Seseorang yang mau mengajukan pertanyaan yang tepat, seperti "Kamu nggak papa ta?" atau "Apa sih yang kamu dapatkan selama empat tahun terakhir? Apa kamu punya penyesalan? Adakah yang ingin kamu sampaikan dalam soal hidup?". Seperti yang sudah sering saya tuliskan sebelumnya, dunia ini nggak kekurangan suara dan teriakan. Yang sulit didapatkan adalah seseorang yang mau mendengarkan. Kalau memang kalian nggak punya orang yang mau mencoba memahami hal terdalam yang ingin kalian ceritakan atau sampaikan, maka biarkan dosenmu ini aja yang mencoba mendengarkan dan memahamimu. Sama seperti yang berupaya saya lakukan dengan membaca cerita-ceritamu di tugas akhir komfil. Rasanya cuma itu yang bisa saya lakukan untuk membantumu. Sebagai dosen walimu, dan lebih dari itu, sebagai seseorang yang pernah merasakan berada di posisimu sekarang.
Dalam tulisan kali ini, saya izin buat sekalian ngepost beberapa potongan tulisan yang pernah kalian tulis soal saya. Tulisan-tulisan yang rasanya terlalu besar dan agung untuk orang yang kayak saya. Sebenarnya sampe sekarangpun saya merasa nggak sehebat seperti yang kalian tulis. Aku yo mek ngene iki tok rek, ndak yoi atau hebat atau kerenseperti yang kalian tuliskan. Tapi lewat blog ini saya mau berterima kasih karena tulisan-tulisan kind yang sudah kalian tulis itu sudah ‘menyelamatkan’ saya dalam banyak hal, terutama saat saya berjibaku dengan pertanyaan apakah memang apa yang saya lakukan sebagai dosen selama ini memang sudah benar. I hope so.
Suwun, rek. Semoga kita bisa bertemu dan bicara soal hidup lagi di pada saat kamu sudah bisa menjawab hal-hal penting dalam hidup. *6 Mei 2024 - Ditulis sambil mendengarkan Waiting For The End-nya Linkin Park".
------------------------------------------------------------------------------
~~~
~~~
6 notes
·
View notes