Tumgik
minhyungify · 3 years
Text
XOXO.
Tumblr media
Mark POV
Hawa.
Dia adalah anak bungsu kakakku. Anak ini juga yang buat aku buru-buru terbang dari New York ke Seoul saat dia dilahirkan. Sekarang umurnya sudah menginjak dua tahun, tetapi tingkahnya terkadang lebih tua dari umurnya. Dia sudah pandai berbicara, jadi sering kali memerintahku maupun orang lain di sekitarnya. Kata Papa, Hawa ini cucunya yang ajaib.
“Om Minhyung,” begitu dia memanggilku.
“Kenapa, cantik?”
“Where is Auntie Sunny?” anak itu celingukan mencari-cari orang yang dia maksud.
“She's upstairs. Lagi ambil baju buat Hawa.”
“Alright.”
Mulutnya perlahan di isi dengan permen yang dibekali oleh orang tuanya. Tangannya yang menganggur diketuk-ketuk ke permukaan meja. Ini salah satu alasanku terima ketika diminta mengasuh Hawa, dia tidak rewel seperti kebanyakan temannya. Biasanya cukup diberi sepiring cemilan, air putih, juga iPad yang sudah terputar film anak sudah aman. Dia bisa mengatup sampai tertidur di meja ruang keluarga.
Biasanya.
Nyatanya sekarang anak ini tertidur di atas tubuhku dengan mulutnya yang masih berlumur gula dari permen yang dimakannya tadi. Tanganku bergerak naik dan turun secara berulang supaya dia lebih tenang dalam tidurnya. Entah berapa lama gerakan menenangkan itu bertahan karena perlahan mataku ikut terasa berat.
Tumblr media
“Sun?”
“Hey,” matanya langsung beralih dari TV kepadaku. “Sorry. Aku terlalu keras ya ketawanya?”
Padahal jawabannya tidak, tapi aku berdeham mengiyakan, lalu meregangkan tubuhku yang sedikit kaku. Entah sudah berapa lama pastinya aku ikut terlelap, yang jelas saat ini Hawa sudah tidak terlihat di pandanganku. Maksud hatiku ingin bertanya, namun apa daya kesadaranku belum sepenuhnya berkumpul.
Cahaya yang biasanya menembus masuk dari luar sudah meredup. Aku menarik kesimpulan kalau sekarang sudah memasuki waktu bulan untuk bekerja. Tanpa kusadari hari ini sudah berjalan lebih dari setengahnya dan sejauh ingatanku yang aku lakukan hari ini hanya terlelap di sofa bersama keponakanku.
“Kamu ngapain aja hari ini?” aku bertanya pada istriku. Pasalnya aku sama sekali tidak mengetahui kegiatannya — oh, tau, sih. Sedikit. Hanya kegiatan yang biasa dilakukan di pagi hari, lalu saat Hawa datang dia pergi ke ruangannya.
“I got the clothes done. Do you want to see?”
“Of course.”
Sepersekian detik setelahnya dia sudah berlari menaiki tangga. Aku hanya bisa geleng-geleng melihat tingkahnya. Belakangan dia sedang suka membuat pakaian untuk keluargaku. Dengan penuh kehomatan aku selalu menjadi yang pertama tau bentuk final dari karya-karyanya itu dan beginilah tingkahnya setiap kali dia akan menunjukkan hasilnya kepadaku. Senang rasanya bisa melihat dia dengan bangga memamerkan karyanya kepadaku. Meskipun terkadang dia terlalu larut sampai membahas teknik dan bahan pakaian yang mustahil diketahui orang awam sepertiku, tetapi senyumnya yang selalu merekah saat dia membicarakan itu membuatku senang tiada tara.
Dia sudah kembali dengan menyembunyikan kedua tangannya di belakang tubuhnya. Tersirat semu kemerahan di wajahnya saat dia jalan mendekat ke arahku. Di saat seperti ini, yang selalu kuyakini adalah dia memang benar-benar cinta dengan apa yang dilakukan dan dia puas akan itu. Hence why I am so happy for her.
“Tada!”
“Babe? It turns out really good. The color is perfect,” mulutku masih setengah menganga. “Okay, sorry aku cuma bisa puji warnanya, because I barely know anything, but this one is such a masterpiece. You are crazy.”
Dia hanya terus terkekeh sambil menyelipkan dirinya di lenganku yang terbuka lebar. “I was sooo excited for this one and glad it’s meet my expectation. So happy!”
Aku merengkuhnya lebih erat. Di dalam rengkuhanku dia masih memandangi pakaian yang aku percayai bernama one-piece itu. Dia memutuskan untuk mempersembahkan itu pada Hawa sesaat setelah kawan lamanya mengirim segulung kain dengan paduan warna putih dan biru sekitar dua minggu lalu. Dia sempat mengatakan satu atau dua alasan kenapa yang kali ini dibuat untuk Hawa, tetapi lagi lagi aku tidak terlalu paham — aku orang awam.
“Hawa suka gak, ya?”
“Suka, dong. Hawa mana pernah gak suka sama Auntie Sunny,” balasku dengan nada meledek.
Yang kuledek barusan balas menyikutku pelan. Bicara tentang kesukaan Hawa, memang dia tidak ada tandingannya. Mau kapanpun, dimanapun, dalam kondisi apapun pasti Hawa selalu bersedia membela Askara alih-alih aku yang juga pamannya. Bahkan Hawa lebih dulu bisa menyebut ‘Auntie’ daripada ‘Papi’. Kasihan sekali wajah Kakak saat itu.
“Kamu tau gak sih Kak Jane pernah telepon aku buat kasih tau waktu Hawa ganti nama kontakku di HP dia?” dia bertanya setengah menahan tawa. Barangkali kalian bertanya-tanya, Kak Jane itu kakak iparku.
Aku menggeleng sebagai jawaban. “Emang diganti jadi apa?”
“Onty Lee.”
“What?” tawaku ikut pecah.
Mungkin memang tidak lucu untuk orang lain, tetapi untukku yang jelas punya hubungan dengan anak itu jadi merasa itu sangat menggemaskan. Dia pun sama tergelaknya denganku. Kami terus tertawa sambil saling mengeratkan jarak satu sama lain. Perkara nama kontak yang diberikan keponakanku saja kami memakan beberapa waktu untuk meredakan tawa.
“Nama kontakku di kamu masih ‘Marky’?”
“Masih. Nama kamu masih Mark, kan?”
Aku mendecak. “Yaaa, tapi masa gak ada heart or flowers or something reminds you of me gitu? Aku kan suami kamu.”
“Kalo gitu aku ganti jadi ‘Suami’?”
“Nooo, but anything lovelier than ‘Marky’. C’mon!”
Yang dia lakukan setelahnya adalah memaku fokusnya pada layar ponsel saat kerutan kecil di alisnya terang sekali menjelaskan dia sedang berpikir.
“Alright,” serunya, kemudian mengalihkan layar ponselnya kepadaku.
Tumblr media Tumblr media
Aku seratus persen yakin saat ini wajahku terlihat pasrah. Aku tidak ingin memaksanya untuk berpikir keras hanyaa untuk sebuah nama kontak, namun keinginanku untuk mendapat nama yang unik jauh lebih besar dari itu. Kuyakin helaan nafasku bisa menggambarkan itu.
Bibirnya mengerucut kecil. “Aku gak biasa namain kontak orang selain pake nama mereka.”
“How about the very first name you got me back then?”
“The first name?” dia berdeham sejenak, kemudian jari-jarinya kembali bekerja di atas layar ponsel.
Tumblr media
“Askara, you must be kidding me…”
Mulutku hampir membulat saking kagetnya — sama sekali tidak menyangka kalau namanya sebegitu asingnya. Padahal kalau diingat lagi, waktu itu kami sudah bertukar banyak harmless flirting. Nyatanya dia menganggapku sekedar orang asing yang ditemuinya di suatu bus. Ini fakta baru yang berhasil mencubit hatiku.
“Oh, but then I changed it to this,” dia menyambungkan. Lagi, dia menunjukkan layar ponselnya padaku.
Tumblr media
“Pain,” hanya itu komentarku.
Terang saja aku menganggap yang sebelumnya lebih baik dari yang baru saja kulihat. 156 Mark. Astaga, membacanya saja membuatku terkesan seperti supir bus bernomor seratus lima puluh enam yang berusaha mendapat perhatian dari salah satu penumpangku.
“Waaait, wait. I’ll look up for some cute names,” jarinya Kembali sibuk dengan ponsel. Menggulir, lalu berpindah dari satu laman ke laman lainnya untuk menemukan yang dicari.
“Oh my God. This one is perfect for you,” jarinya berhenti di salah satu pilihan. “Hottie.”
“Sounds nasty.”
“Yes. Because we’re talking about you, and you are nasty, Mark Lee.”
Helaan nafas kedua keluar dariku. “Babe…”
“Okay, so how about …” kalimatnya menggantung dengan layer ponsel ditunjukkan kepadaku — lagi.
Tumblr media
“XOXO?”
“Because you always shower me with hugs and kisses. Kiss, hug, kiss, hug,” dia menjawab sekenanya yang sebenarnya aku juga setuju. “Plus, you like EXO. So…”
Aku mengangguk dan tertawa. “Okay, babe. Let’s go with XOXO.”
“Emang namaku di kamu apa, sih?” dia bertanya sambil menyelesaikan proses penggantian nama di ponsel.
“이선희.”
Dia langsung menatapku. “Mark?”
“No, it’s 이선희. Lee Sunhee.”
“Namaku di HP kamu itu?” dia langsung menghembuskan nafas lega setelah mendapat anggukan dariku. “Aku kira kamu kenapa, soalnya kamu manggil begitu kalo udah marah.”
Aku tertawa kecil melihat reaksinya. “Enggak, sayang.”
Setelah selesai semua urusan nama kontak, dia menyimpan kembali ponselnya di meja. Aku langsung menariknya ke pelukanku begitu dia mendekat. Aku tidak bisa menahan tawaku saat sadar beberapa waktu lalu kami terlalu larut membahas hal yang tidak sepenting itu. I couldn’t stop think that we are cute — or maybe wouldn’t.
Aku meninggalkan satu kecupan di bibirnya, tidak lupa melemparkan senyuman setelahnya. Di dalam hatiku memanjatkan rasa syukur yang tanpa henti kupanjatkan siang dan malam. Semua yang terjadi denganku sampai saat ini tentu saja ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Atas itu aku selalu mengucap syukur.
“Auntie…”
“Yaaa?” perempuan itu langsung meloloskan diri dari pelukanku, lalu berlari kecil ke arah datangnya panggilan.
Itu pasti Hawa yang baru saja bangun dari tidurnya. Jam dinding hampir menunjukkan waktu makan malam. Harusnya hari ini jadi harinya Hawa, tetapi anak itu tertidur cukup lama, jadi kami tidak bisa banyak bermain seperti biasanya.
Sesaat kemudian aku bangit dari dudukku. Karena aku masih menjadi pemegang setia titel ‘Best Husband’, maka aku berinisiatif untuk meringankan pekerjaan istriku malam ini. Aku akan menyiapkan makan malam.
“Babe, I’ll cook for dinner. Kamu temenin Hawa dulu, ya,” aku berteriak supaya dia bisa mendengarku.
Dia berjalan keluar kamar dengan Hawa di dekapannya. “Mau buat apa? Aku bantuin aja, ya.”
“Hmm,” mataku berpencar untuk mencari bahan yang kubutuhkan. “Steak. Is that okay?”
“Hawa, how about steak for dinner?” tambahku untuk bertanya pada keponakanku.
Yang kutanya pun mengangguk. “Medium rare, please.”
Aku bertukar pandang dengan istriku karena terkejut dengan apa yang baru saja diucapkan anak berumur dua tahun itu. Hawa jelas bukan anak biasa, aku setuju dengan Papa.
“Alright, princess. I’ll make it medium rare for you.”
Aku bergerak memeluk keduanya sesaat, lalu mengecupnya bergantian. “Aku bisa sendiri. Kamu tunggu aja, ya.”
“Makasih, ya.”
“Sama sama, sayang.”
Tumblr media
CuriousCat Twitter #MMDaily
9 notes · View notes
minhyungify · 3 years
Text
Hai! Ini Akira.
Aku mau kasih tau aja kalau buat ke depannya narasi-narasiku bakal aku posting via Tumblr karena platform yang biasa aku pake itu entah kenapa error terus — jadi missing page gitu, huhuhu.
Walaupun aku udah jarang banget nulis dan enggak tau juga sampai kapan bakal nulis, but please come here often ya! Hihi.
Also, a quick masterlist for my stories:
0 notes