Tumgik
molekulikan · 3 years
Photo
Tumblr media Tumblr media
Happy International Zine Month 2021, everyone!
Tim to post some zine-making illustrations!
3 notes · View notes
molekulikan · 3 years
Text
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Pertukaran Grafika | Graphics Exchange, with Gubuak Kopi (West Sumatra-based collective) as post-art-residency products. Responding issue, distributing printed alternative media not only to collective members but also to young participants who have joined Gubuak Kopi's media workshop. What a wonderful initiative!
1 note · View note
molekulikan · 4 years
Quote
But zine, is more than just drawings fold into papers, it is also how you connect with another zine makers, with the community, in a room so tangible and tiny. But sure it's fun to make and reconnect. It's when you see other people who read and receive the message in your media, feel sort of relate to the zine makers' experience. That's what's important. ❤ #ThoughtaboutZine
Annisa Rizkiana Rahmasari
1 note · View note
molekulikan · 4 years
Text
Molekulikan mewawancarai Bodhi IA dan bagaimana dirinya serta kawan-kawan membangun kolektif Ruang Gulma
oleh Annisa Rizkiana Rahmasari
Tumblr media
Terletak di Bangunjiwo - Bantul, Ruang Gulma menjadi rumah sekaligus titik temu anak-anak muda pelaku eksplorasi seni dan musik di Yogyakarta. Lebih jauh, kolektif ini berkomitmen mengajak orang-orang yang terlibat untuk juga bersolidaritas dalam gerakan sosial serta melihat kebersamaan dalam kolektif sebagai daya untuk saling mendukung kebertahanan hidup satu dan yang lainnya.
Bodhi IA adalah seniman, musisi, dan salah satu orang di balik berdirinya Ruang Gulma. Molekulikan berbincang banyak dengannya tentang perspektif Bodhi dalam praktik zine-making, tumbuh bersama rumah kolektif di Pekalongan dan Yogyakarta, serta hal-hal menyenangkan yang menyertai semua proses ini.
Simak obrolan kami di sini :
Tumblr media
“Sebelum Ruang Gulma dibentuk, aku sempat membuat komunitas juga bernama Rumah Hujan di Pekalongan. Kegiatan kami selain diskusi, adalah bikin pameran di trotoar, atau membuat panggung jalanan di alun-alun kota. Tadinya kami yang cuma berkumpul untuk main skateboard pun mulai berubah bersamaan dengan boomingnya wacana Cak Nun di generasiku. Aku baru saja lulus SMA dan awal-awal kuliah kala itu. Kami di Rumah Hujan juga membuat kelas untuk anak-anak pesisir yang tidak sekolah dikarenakan mereka harus melaut. Dan karena dulu frekuensinya cukup sering, aku sampai harus bolak-balik Jogja - Pekalongan setiap minggu.”
1. Halo Bodhi, terima kasih untuk kesempatan yang menyenangkan ini. Bolehkah sebelumnya memperkenalkan dirimu terlebih dahulu?
Halo namaku Bodhi IA, sehari-hari aku tinggal di Ruang Gulma Collective. Semoga kamu juga sehat dan dalam keadaan terbaikmu ya. :)
2. Bagaimana pertama kali kau mengenal zine? Apakah kau membuatnya secara individu atau sudah terlibat dalam kelompok?
Pertama kali mengenal zine, aku membaca sebuah zine kolektif berjudul Menggapai Utopia. Zine ini juga dibuat untuk benefit kolektif di Palembang. Kamu bisa cari tahu pembuatnya lewat blog Sangkakalam, Palembang. Dari pengalaman tersebut aku jadi tahu bagaimana media alternatif dapat berfungsi untuk menyalurkan pendapat atau ekspresi kita tanpa harus melewati birokrasi penerbitan yang panjang. Pertama kali aku membuat zine, bahan kertas yang aku pakai berasal dari pembungkus nasi! Mungkin sekitar tahun 2011-2012. Aku membuatnya secara mandiri lalu kusebar di kampus. Isinya gagasan dan berbagai macam ekspresiku di awal masa kuliah. Hahaha, kalau sekarang baca lagi pasti ketawa karena sudah nggak relevan lagi dan lucu saja rasanya.
3. Bagaimana kamu melihat ekosistem penciptaan zine di kota tempat tinggalmu? Apa keseruan dan hambatannya di sana?
Kebetulan kini aku tinggal di Yogyakarta (sejak tahun 2011) yang mana sebelum aku datang pun kultur zine di sini sudah cukup dikenal melalui berbagai festival zine bawah tanah. Serunya adalah ketika membawa semangat tersebut ke kota kelahiranku di Pekalongan. Beberapa orang justru menyebutku sebagai provokator sampai mencibir dibelakang dan menjauhiku karena aku dianggap sebagai pengaruh buruk hahaha. Kalau sekarang, serunya aku bertemu dengan banyak pegiat zine dan bisa melakukan banyak eksplorasi dalam konteks penciptaan, distribusi, serta berbagi wacana antar zine maker.
4. Membawa identitas dua kota, apakah Bodhi menemukan similaritas dari gerakan-gerakan kolektif di Pekalongan dan Yogyakarta?
Kalau di Jogja aku pikir teman-teman banyak melakukan kegiatan dengan semangat ekplorasi di garda depan. Sedang di Pekalongan, anak-anak muda seusiaku lebih banyak fokus pada bagaimana caranya membangun basis ekonomi sebagai support system keluarga. Meski di Jogja beberapa aktivitas serupa memiliki motivasi ekonomi, namun hal itu tidak jadi yang utama. Aku pun mengalami bagaimana ketika masih tinggal di kota kelahiranku jadi seniman itu seperti pekerjaan yang mudah jadi bahan cibiran. Saudara-sadaraku masih melihat apa yang kulakukan itu main-main, dibandingkan anak tetangga yang bekerja di kantor, jadi polisi atau tentara. Dianggap sebagai pengangguran saja itu cukup membuat mentalku down. Padahal yang kami lakukan dalam kolektif itu sebenarnya "menanam" banyak hal, yang tentu hasilnya tidak akan instant. Ketika tinggal di Jogja banyak teman-teman rantau bisa memiliki kebebasan untuk membuat apapun dari bangun tidur sampai tidur lagi. Kultur kesenian di Jogja juga sudah terbentuk sejak lama. Sehingga orang-orang di sekitar Ruang Gulma pun cukup mengerti dengan apa yang kami lakukan. Warga juga sangat paham, maka beberapa kali kami beraktifitas bersama tetangga di Bangunjiwo pun oke-oke saja. Setiap hari anak-anak tetangga pasti main ke Ruang Gulma. Entah sekedar main musik, menggambar, baca buku, atau nongkrong cari Wi-Fi. Tapi pada akhirnya baik di Pekalongan ataupun di Jogja, kami yang berkomitmen dengan apa yang kami lakukan di kolektif memilih untuk tidak ambil pusing dengan omongan orang hahaha. Persamaannya juga kalau saat ini, banyak teman mulai yakin apa yang mereka lakukan itu penting. Setidaknya untuk kesehatan mental mereka sendiri di tengah menjalani realitas yang menjenuhkan. Selain itu karena dinamika sosial media yang begitu masif juga, dua kota tersebut punya selera dan wacana yang agak mirip. Mungkin di Pekalongan pelakunya tidak banyak dan peristiwa kesenian masih terbatas. Tapi beruntung kini aku dan teman-teman mulai membangun kembali sesuatu yang baik di Pekalongan bernama Ruang Tengah. Harapannya ini bisa jadi titik baru di kota kelahiranku untuk melakukan ekplorasi maupun membuka banyak kemungkinan baru.
5. Bagaimana kamu mengartikan kota sebagai rumah di sini?
Entahlah, aku lebih sepakat bahwa “rumah” itu bukanlah lanskap fisik namun lebih berupa “akal”. Sehingga dimana saja aku berada, aku bisa membuat tempat itu sebagai rumah. Kota bisa didefinisikan sebagai latar belakang tempatku meletakkan jangkar. Dan sebagai kreator aku berusaha sekali untuk tidak berjarak dari karakter lanskap kota/desa yang aku singgahi. Tujuannya, supaya bisa mengerti bagaimana kita sebagai manusia harus berkomunikasi entah menyapa atau membicarakan wacana yang lebih penting dan tepat guna. 
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
“Tujuan utama kami di Ruang Gulma adalah bagaimana kami sebagai kolektif dapat menjaga interaksi antar manusia itu sendiri sehingga definisi kami tidak berhenti sebagai kelompok seni saja. Embrio awalnya dibuat untuk sama-sama membangun ruang hidup yang kami sepakati, dimana aku dan teman-teman mengusahakan suatu ruang hidup yang suportif. Saling menguatkan satu sama lain. Filosofi nama "gulma" juga dapat diartikan seperti demikian : Kalau sendiri ia hanya dianggap tanaman pengganggu, namun jika semua lahan ditanami gulma kita akan dapat menemukan padang lamun hijau yang mirip lanskap film Teletubbies! Hahaha. Intinya kami ingin dapat membuat gerakan dimana seni dan solidaritas dapat bersinergi.”
6. Bagaimana kamu melihat relasi zine dan anak-anak muda sekarang? Apakah kamu pernah terlibat dalam sebuah kegiatan maupun lokakarya yang secara khusus berbicara tentang ini?
Menurutku zine merupakan salah satu sumber wacana alternatif dimana anak muda dapat membicarakan apapun dengan bebas. Keliaran inilah yang melatih kita untuk menghargai perspektif orang lain. Dan ya, aku pernah terlibat beberapa kali dalam acara yang berkaitan dengan zine. Salah satu yang kuingat adalah bagaimana zine bisa menjadi medium yang efektif untuk teman-teman komunitas LGBTQ membicarakan keresahan akan diskriminasi yang mereka alami. Tak hanya itu, zine juga berfungsi sebagai media informasi atas peristiwa sosial politik yang jarang diberitakan di media masa arus utama.
Tumblr media
7. Menurut kamu, seberapa pentingkah sebuah rumah kolektif memiliki perpustakaan yang juga menyimpan arsip-arsip zine?
Penting sekali. Meskipun banyak orang berkilah bahwa belajar tak harus dari membaca tapi menurutku dengan membaca apapun, termasuk zine, membuat kita tak menjadi angkuh maupun merasa paling benar, atau paling parahnya menjadi megalomania yang mengira bahwa kebenarannya adalah satu-satunya yang harus diyakini semua orang.
7. Bagaimana Bodhi sebagai seniman melihat irisan Ruang Gulma dengan praktik zine yang dilakukan olehmu dan teman-teman di dalamnya?
Zine dalam pengalamanku sangat berfungsi sebagai pintu awal keingintahuan kita tentang sesuatu terlebih pengetahuan yang sifatnya subkultur dan alternatif itu tadi. Namun setelahnya kita juga tetap perlu memiliki pembanding wacana dengan mencari tahu sudut pandang lebih banyak lagi entah dengan membaca atau diskusi dengan teman. Sebagai seniman, media ini membuka peluang arena apresiasi. Salah satu zine berisi ilustrasi-ilustrasi yang sangat layak dikoleksi yang pernah kubaca dulu adalah Penahitam. Kita juga jadi tahu siapa membuat apa, siapa dimana, siapa ngomongin apa. Dia membuka jalur pertemanan dan turut serta melebarkan jaringan. Zine jugalah yang membuatku kenal kamu! irisan zine dengan teman-teman Ruang Gulma juga cukup jelas. Karena sebelum bergabung dengan kolektif ini pun, banyak teman-teman anggota yang sudah aktif membuat zine terlebih dahulu. So, kami sering menggunakan zine sebagai awal mulai mendiskusikan sesuatu. Kami juga menmakainya sebagai alat kami menyebar gagasan dan ruang apresiasi sebesar-besarnya dalam format cetak. Di rumah kami saat housemeeting, ide-ide seru bisa muncul dari zine-zine yang kami dapatkan. Jadi wahai teman-teman semua, jangan ragu untuk menitipkan zine kamu dirumah kami ya! It means a lot to us!
7. Ruang Gulma berdiri pada tahun 2014 yang mana sudah berjalan tahun ke-tujuh betul yah?
Yup. Kami mulai pindah dan menciptakan Ruang Gulma dari tahun 2014. Aku nggak pintar berhitung, tapi rasanya betul! Enam tahun (artinya kami sudah bayar kontrakan rumah sebesar 120 juta hahahaha). Melihat angka itu bisa dilewati, membuat kami yakin juga bahwa banyak hal dapat diselesaikan dengan cara kekolektifan, patungan, gotong-royong.
8. Apakah kamu pernah memiliki keresahan/kebingungan dalam konteks penciptaan zine di sini? Apabila ada maukah kamu berbicara tentang itu lebih jauh?
Tidak. Selama ini aku kembali pada prinsip: Ciptakan apapun yang ingin kau ciptakan.
Tumblr media
9. Apa yang membuat kamu menyukai zine secara khusus?
Kebebasannya membicarakan apapun. Kalau dianalogikan, keasyikan zine making buatku seperti membangun istana dari pasir pantai! Setiap orang bisa punya kuasa atas apa yang ingin ia sampaikan.
10. Apakah kamu memiliki harapan akan ekosistem penciptaan media alternatif (secara spesifik zine) di Indonesia kedepannya?
Berharap Indonesia bisa memiliki ruang digital yang sifatnya kepemilikan publik dan secara khusus mengumpulkan arsip zine dari siapapun di sini sehingga semua zine-makers dapat mengunduh + mengunggah zine mereka.
11. Bagaimana kamu melihat kemungkinan Indonesia Zine Festival?
Sangat mungkin terjadi apabila ada orang yang mau meluangkan waktu untuk mengorganisir para zine maker di sini.
Terima kasih, Melampaui Mata!
_______________________________________________________________________
Simak juga arsip karya Bodhi dan Ruang Gulma di :
https://www.instagram.com/melampaui_mata/
https://www.instagram.com/ruang.gulma/
Tumblr media
0 notes
molekulikan · 4 years
Link
Siasat Partikelir, kanal berita yang fokus pada perkembangan subkultur hari ini dan Indra Menus berbincang dengan Nica tentang zine, buku Jingga Jenaka, serta proyek komik stripnya. Simak lebih lengkap wawancara mereka dalam tautan berikut.
5 notes · View notes
molekulikan · 4 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Mewawancarai Gembira Putra Agam.
Pada tahun 2018, Au Revoir zine #6 berkesempatan menginterview salah satu tokoh --- kami lantas menyebut semangat ini dengan nama Imutisme --- yang banyak dikenal melalui karyanya dalam bidang musik, tulis menulis, dan gambar-gambar kartun aneh nan manis. Perjalanan persahabatan Nica dengan Gembi dimulai dari lingkar pertemanan jurnalisme musik Semarang - Jakarta, dan festival-festival zine, serta ilustrator favorit yang memiliki karakter berwarna cerah terang. Simak wawancara yang juga dimuat dan diatur tata letaknya secara kolase ini di Au Revoir zine #6 | 2018 dalam sesi Do It With Friends dari Molekulikan kali ini.
0 notes
molekulikan · 4 years
Photo
Tumblr media Tumblr media
Cerita tentang Molekulikan berawal dari keinginan untuk membuat independent publishing pada tahun 2014 yang kemudian lebih mengerucut pada bentuk-bentuk riset mandiri. Ide untuk melakukan hal yang sifatnya lebih kolaboratif dan di luar praktik zine personal ini menguat terlebih sejak tiga tahun terakhir.
Molekulikan juga mencoba menjadi ruang bagi irisan identitas Nica sebagai zinester, seniman visual, dan penulis, serta bagaimana zine sebagai produk karya seni cetak mampu membekukan narasi sosial yang tak putus dari kisah sehari-hari. Semoga arsip digital ini juga dapat menjadi penghubung molekul-molekul pengetahuan alternatif yang senantiasa menyusun sesuatu yang lebih besar ke depannya.
Salam kehangatan karya cetak zine dari masa ke masa! - Molekulikan.
0 notes
molekulikan · 4 years
Text
Melihat Kolektif Bekerja. Pengamatan Kecil yang Dimulai dari Tenggara Street Art Festival.
Oleh Annisa Rizkiana Rahmasari (Nico)
Tumblr media
I. Perjalanan Sampai Rumah Tamera
Ketika menulis ini, ada semacam keraguan saya tidak akan cukup bisa merangkum pengalaman saya selama residensi di Solok, Sumatera Barat. Perasaan tersebut muncul sebab, ini jadi kali pertama saya berkunjung ke sana dimana pambacaan-pembacaan yang saya lakukan akan menjadi hal yang baru juga bagi saya sebagai seniman. Meski demikian, ada kekuatan dalam hati saya yang menganggap pengalaman dan petualangan adalah bagian-bagian penting dalam sebuah pembelajaran. Dan sesungguhnya residensi ini juga menjadi agenda penutup tahun yang luar biasa.
Semuanya dimulai ketika Albert Rahman Putra, selaku penanggung jawab komunitas Gubuak Kopi menghubungi lewat Whatsapp dan bertanya akan kesediaan saya mengikuti program Tenggara Street Art Festival 2020 yang berlangsung dari tanggal 18 - 28 November yang lalu. TSAF sendiri merupkan festival seni jalanan yang bermula dari kompetisi mural se-kota yang lantas digarap lebih jauh agar dapat menghubungkan seniman seni jalanan dan seniman mural dari berbagai kota untuk melakukan respon visual terhadap dinding-dinding kota Solok. Sedari awal dilaksanakan, terbukti juga bahwa acara ini cukup menjadi pemantik kekaryaan yang baik bagi anak-anak muda di sana. Terbukti dengan banyaknya peserta yang kemudian terlibat dalam festival.
Tumblr media
Saya berangkat dari Yogyakarta berbekal segulung zine, sepatu ringan, koper kecil, serta jaket yang longgar. Sepanjang perjalanan saya tak henti mengamati bagaimana pandemi Covid-19 mengubah banyak kebiasaan masyarakat kini. Toko-toko ditutup dan berganti, orang-orang tak terlalu banyak bicara, petugas bandara akan memeriksa kita dengan cepat sedangkan antrian pagi itu juga tak begitu banyak. Masker saya kencangkan, dan hasil tes Rapid Antigen saya pastikan agar tak lolos dari tangan.
Total waktu yang saya tempuh untuk dapat sampai ke Solok adalah 12 jam. Perjalanan udara, waktu transit, lantas dilanjut naik mobil dari kota Padang.
Saya sampai di Bandar Udara Internasional Minangkabau dijemput oleh Volta Joneva dan Biki Wabihamdika. Keduanya adalah anggota komunitas Gubuak Kopi. Perjalanan darat itu cukup padat dan ketika mobil mulai memasuki jalur Sitinjau Lauik, Volta mewanti-wanti saya agar bersiap kalau-kalau akan merasa mual di jalan. Saya jadi ingat, perjalanan residensi saya yang sebelumnya di Bengkulu pada tahun 2018. Program yang berbeda dengan perasaan yang sama. Kami naik mobil dari Bandar Udara Fatmawati Soekarno menuju Yayasan Sekolah Tenera di kawasan Bengkulu Utara yang memakan waktu kurang lebih 3 jam perjalanan. Sebagai informasi dalam residensi di Bengkulu ini, saya akan membuat lokakarya zine untuk anak-anak di Yayasan Tenera dan melakukan mural bersama di sekolah. Mobil kami berkelok setiap 5 menit sembari pak supir terlihat tetap tenang membawa saya, serta kawan saya Bekti yang merupakan pengurus perpustakaan Tenera. Bekti adalah perempuan berperawakan ceria lagi rajin, yang membuat orang-orang di dekatnya merasakan keriangan yang sama. Pak supir kami yang membawa mobil tersebut lantas berceletuk pada suatu waktu di perjalanan itu, “Mbak, tahu nggak kalau salah lahan sawit yang kita lihat selama satu jam terakhir ini dimiliki oleh orang yang sama?” Saya antara kaget, lantas tertegun mencoba menjawab dengan tetap biasa, “Ah, betulkah pak!?” Sayang saya tak ingat ia menjawab apa. Pria berusia 50 tahunan itu lantas tertawa kecil dan tak lama kemudian membawa kami memasuki kawasan sekolah Tenera. Saya ingat malam itu hujan deras dan tanah yang saya pijak dipenuhi batuan-batuan kali yang halus seukuran telapak tangan. Di perkebunan sekolah, terlihat sapi-sapi Bali yang sengaja didatangkan untuk merumput di sana. Saya kemudian bertemu dengan pimpinan yayasan, mbak Agriani Novita yang lantas saya akrab panggil dengan sebutan mbak Opi. Mbak Opi berperawakan manis lagi hangat. Ia menyambut dengan ramah dan memastikan saya beristirahat dengan baik untuk mengikuti kegiatan lokakarya zine di sekolah keesokan harinya dengan anak-anak Yayasan Tenera dari yang masih kecil (SD), hingga remaja (SMP/SMA).
Ingatan perjalanan residensi di Bengkulu dua tahun yang lalu itu muncul lagi ketika mobil bang Aulia (kakak kandung Albert) yang membawa saya, Volta, dan Biki mulai berjalan menanjak usai mengakhiri waktu singgah kami di rumah makan kecil yang bernama “Mintuo”. Ah ya, di belakang rumah makan Mintuo ini terdapat gugusan pohon pinus yang megah dimana tak jauh dari tempat kami berdiri, suara gemericik air dengan di sekelilingnya dihiasai ragam vegetasi yang belum pernah saya temui di tanah Jawa, mengisi ruang pendengaran saya dengan merdunya. Memisahkan saya beberapa saat dari bisingnya derum truk berbeban berat dan mobil-mobil yang melaju cepat.
Saya ingat cuaca di luar mobil cukup dingin ketika saya mulai mengancingkan jaket sampai leher. Volta tertawa kecil, ia menyalakan rokok dan tak lama kemudian kami memasuki mobil kembali. Tanjakan Sitinjau Lauik yang tajam baru merupakan pertengahan perjalanan saya menuju Solok. Kira-kira dua jam kemudian, mendekati waktu Magrib dataran di depan mata saya merendah dan seolah membuka pemandangan rumah-rumah kecil dengan lampu berwarna bercampur kabut-kabut yang separuhnya menutup barisan bukit. Langit berubah ungu dan merah muda. Saya terpana. Kelelahan, namun merasa ada sesuatu yang hangat memenuhi hati saya. Kata Volta, “Sebentar lagi kita sampai Solok, Nisa!” 
Tumblr media
Kami tiba di Rumah Tamera kira-kira pukul 20.00 malam. Saya disambut oleh Albert, Biahlil Badri, dan Veronika Kirana. Kami duduk bersama di ruang tamu kantor Tamera yang terdiri dari sebuah sofa pendek berwarna anggur, sebuah meja panjang, dan dua buah kursi berwana senada. Ruangan tersebut separuhnya terisi oleh buku-buku koleksi Gubuak Kopi. Saya mengeluarkan buku Jingga Jenaka dari tas dan memberikannya ke Albert sebagai hadiah. Kami berbincang-bincang sebentar, kata Albert saya adalah peserta residensi yang pertama datang. Akan menyusul, teman-teman seniman lainnya dari berbagai kota yaitu, Padang, Medan, dan Jakarta. Malam itu juga, saya tak sengaja berkenalan dengan kucing belang penjaga rumah Tamera yang dipanggil “Ayang Pus” oleh anak-anak di sana. Tak lama setelah itu, Vero mengantar saya ke rumah kontrakan yang telah disiapkan untuk partisipan festival ini. Rumah tersebut terletak hanya beberapa puluh meter dari rumah Tamera. Temboknya hijau terang dan di depan rumah kontrakan tumbuh pohon rambutan yang melindungi rumah dari hujan. Kadang, saya dapati beberapa anjing kecil ikut berteduh di situ sembari tertidur, dan satu, dua, anak kecil akan meletakkan sisa bakwan sebagai cemilan mereka.
II. Karya Mural
Dalam festival ini, saya membuat dua buah karya mural yang berjudul “Siasat Baru Anak-Anak Lauik” di GOR Tanjungpaku sebagai rangkaian karya TSAF dan “Starbabynico & Ayang Pus” yang sifatnya lebih spontan guna merespon kegiatan pembacaan studi seni dan media di rumah Tamera.
Tumblr media
Sebagai tambahan, untuk alasan yang tidak saya mengerti, saya menyukai sekali kata ini - Lauik, yang berarti lautan. Impresi visual yang saya tangkap mulai ketika melintasi Sitinjau, sampai kemudian beberapa hari setelahnya saya dan teman-teman mampir untuk membuat sketsa di salah satu kawasan rekreasi yang juga perbukitan tak jauh dari Rumah Tamera, bernama Angin Berembus. Solok seperti titik tengah yang mempertemukan barisan bukit-bukit, perairan yang besar, sawah-sawah, dan langit yang lapang. Ketika sore hari tiba, anak-anak rumah Tamera akan bergiliran membeli makan malam maupun sekadar membawa pulang es kopi dari kafe “Mamanda”. Tak lain dan tak bukan  adalah agar turut bisa menikmati awan cerah sejauh mata memandang. Baliho-baliho iklan nampak jarang, anjing-anjing liar akan keluar beriringan sepanjang aspal kosong di jalan baru. Muda-mudi naik motor bergantian senyum, dan salah satu anggota Gubuak Kopi entah Volta, Badri, maupun Badik (Dika Adrian) — akan menginisiasi menu makan malam untuk seluruh orang yang datang. Kami suka minum teh bersama. Layo (Riski) lantas akan mengambil gitar dan berkelakar. Anggra (Anggraeni Dwi Widhiasih) dan Bodana akan duduk bersebelahan di bangku kayu berbarengan dengan Teko (Teguh) yang baru saja datang. Sedang saya sendiri akan mencermati semua hal itu sambil merekamnya dalam hati.
Tumblr media Tumblr media
Kegiatan kami sebetulnya cukup padat. Singkat kata mural pertama saya telah usai. Saya harus bercerita pada kalian bagaimana prosesnya. Siang itu di minggu-minggu mengerjakan mural cukup panas. Badri membawa saya berkeliling kota Solok menggunakan motor untuk memilih spot yang akan digambar sebelum kami akhirnya menemukan tembok kosong yang besar sekali di GOR Tanjung Paku dimana di sebelahnya nanti, akan terpasang karya dari Bujanganurban yang legendaris itu! Volta sebagai penanggung jawab art handling bersama tim Gubuak Kopi mulai menyusun lantai pertama scaffolding untuk dinding saya dari total 4 lantai agar bisa sampai ke ujung dinding setinggi 9 meter tersebut. Sebagai bocoran, saya selalu takut ketinggian. Sungguh hati ini mudah sekali mencelos ketika melihat objek yang tinggi. Namun, ada satu perasaan yang kuat sekali juga yaitu rasa penasaran akan bagaimana kalau dinding ini ternyata bisa kami taklukkan?
Tumblr media
Hujan dan panasnya matahari siang membuat rencana mural yang harusnya selesai dalam 4 hari memanjang jadi 8 hari. Beruntungnya, anak-anak sangat suportif sehingga saya merasa tidak terlalu sendirian mengerjakan mural ini. Saya ingat juga setiap sore untuk menghibur hati, anak-anak akan membawakan kami semua tuak (minuman fermentasi nira) dan air sirsak dingin untuk menghalau lelah dan cuaca malam yang tak tentu. Usai istirahat, kami akan akan senyum-senyum sambil bergantian membuat garis di sini dan di situ. Tahu-tahu, gambar itu selesai persis sebelum penutupan acara. Senang sekali rasanya!
Tumblr media Tumblr media
Kami mengikuti camping bersama di taman Pramuka dan mural jamming selama 3 hari sebelum seluruh rangkaian acara selesai. Saya sangat menikmati waktu-waktu ini, sampai-sampai pipi saya tak henti tersenyum rekah setiap bertemu siapa saja yang datang. Teman-teman bersusulan dari Bukittinggi, Batusangkar, Padangpanjang, Bengkulu, membawa keriangan yang berbeda. Langit berbintang di atas pohon-pohon cemara taman Pramuka merekam memori yang gempita ini. Sembari saya tak henti bercanda, “Gue lagi dimana sih?!” Atau, “Sero banaaaa.” Saya ingat kawan-kawan akan menirukan kelakar itu sambil tertawa terbahak-bahak.
III. Bagaimana Kolektif-Kolektif di Sini Terhubung
Saya melanjutkan pengamatan kekaryaan teman-teman di Sumatera Barat paska acara TSAF sampai di kota Padang dan berkunjung ke salah satu rumah kolektif yang telah cukup lama berdiri yaitu Komunitas Seni Belanak. Di sana saya bertemu Ben (salah satu anggota kolektif Belanak), ditemani Layo, Zekal (Zekallver Muharam - Gubuak Kopi), dan Reynaldi Andrean (Ruang Bangkit). Ben menunjukkan pada saya koleksi zine yang mereka punya di ruang kecil yang juga merupakan kedai rumah kolektif yang mereka beri nama Zalero. Kami duduk-duduk berempat sambil minum es kopi yang enak sekali buatan bang Bel atau air lemon soda yang menghibur hati kala angin pantai sedang gerah-gerahnya. Saya mendengar banyak cerita dari Ben bagaimana rumah kolektif ini kemudian mengantarkan berbagai individunya memiliki bermacam karir namun tak pernah putus dari rumah berkesenian mereka. “Alumni-alumni” rumah Belanak lantas menjadi guru, dosen, peneliti, dan ada yang tetap menjadi seniman yang kemudian besar seiring waktu dan pengalaman, sembari rumah kolektif tersebut tetap melahirkan generasi-generasi baru seperti Ben dan kawan-kawan yang kelak meneruskan narasi besar seni dan kekolektifan di Sumatera Barat. Remaja ini juga bercerita bagaimana kawan-kawan dari berbagai daerah di Sumatera Barat terhubung lantas menjadi bagian dari rumah-rumah kolektif di sini. Agar lebih mudah dipahami begini caranya. Pertama, kalau Layo dan Zekal yang merupakan anggota Gubuak Kopi datang ke rumah Belanak dengan keinginan mereka sendiri, dan terlibat program yang diadakan di sana atas kemauan mereka sendiri, maka secara tak langsung Layo dan Zekal sudah menjadi anggota komunitas Belanak! Begitu pula kalau Ben pergi ke Gubuak Kopi dan terlibat aktivitas di sana atas kemauan Ben sendiri, maka Ben adalah juga anggota kolektif Gubuak Kopi!
Tumblr media
Dan adalah hal yang lumrah untuk menempuh 3 hingga 5 jam perjalanan untuk sampai dari satu rumah ke rumah yang lainnya. Uniknya lagi , kolektif-kolektif yang saya temui cukup beragam, selain Gubuak Kopi dan komunitas seni Belanak, ada pula Rumah Ada Seni (Padang), Ladang Rupa (Bukittinggi), Menace Space (Padang), yang juga berkontribusi besar dalam perkembangan seni kontemporer di Sumatera Barat. Lanjut Ben lagi, “Nah sekarang Nico sudah ke sini sendirian kan? Maka kamu juga adalah bagian dari kita semua di sini.” — Senyum mengembang di pipi saya. Ah, menarik sekali semua pengalaman ini! Di akhir diskusi, saya dan Ben bersepakat bahwa tentu kesenian yang kita kenal sekarang memiliki banyak cara dan banyak jalan untuk menunjukkan eksistensinya, namun di luar hiruk pikuk pencarian “kedudukan” ini, sejatinya ada yang lebih besar dari itu semua yaitu persahabatan dan keterhubungan kami. Bagaimana pengetahuan dapat dibagi secara adil dan berarti, bagaimana kita duduk untuk makan dari piring yang sama, dan tentunya bagaimana kita bisa memelihara tawa, yang kaya.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Sayang sekali, perjalanan saya ternyata tak cukup lama untuk dapat mampir ke rumah-rumah kolektif yang lain. Tiket terburu dibeli setelah bersusah payah menemukan jadwal pulang yang tepat ke Yogyakarta. Pada hari terakhir saya di Solok, Albert dan Badri mengantar saya sampai ke Minangkabau International Airport dimana pesawat dan waktu transit akan menanti saya selama 10 jam kedepan.
Saya ingat melihat kota Yogyakarta yang manis dari jendela pesawat sebelum mendarat. Perasaan pulang itu mengalir di sekujur tubuh saya dengan teratur. Pipi saya menghangat, buku-buku hadiah memenuhi ransel saya yang kecil. Sandal saya yang ringan berwarna kuning menyala menandakan tlah bergantinya petualangan. Saya menghubungi orang-orang dekat dan tertidur di mobil yang mengantar saya sampai tujuan terakhir di Condong Catur, Sleman.
Tumblr media
Ah, terima kasih, semuanya. Tunggu saya kembali ya!
7 notes · View notes
molekulikan · 4 years
Photo
Tumblr media Tumblr media
#Groundunder, seri komik patah hati #nicacomica serta koleksi cetak zinkom (zine komik) 2019 | Yogyakarta Komik Weeks, Gedung eks KONI, Sonobudoyo.
0 notes
molekulikan · 4 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
✿ "Everything is Personal" Collector Series | 20 pieces selected zines and framed handwriting work inside wooden box | 2020. ✿
0 notes
molekulikan · 4 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Arsip-arsip zine, 2014. 💖
Ada juga disini, Au Revoir Mobile Version zine tahun 2015 (yang bisa secara khusus baca di hp -- dibuat memakai aplikasi notes maker random yang namanya : Zine, juga!) Hari-hari menyenangkan dgn hewan sahabat, membuat puisi ringan, dan kertas berwarna. #imakezine ☺
1 note · View note
molekulikan · 4 years
Photo
Tumblr media Tumblr media
Koleksi zine Bundle Rumble yang terbit tahun lalu dan terbagi menjadi dua paket berisi masing-masing 10 buah zine, poster, kartu pos, dan sticker. Sedang berpikir untuk menerbitkannya kembali! ♥
0 notes
molekulikan · 4 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Arsip-arsip zine untuk dipamerkan pada helatan Indonesian Contemporary Art and Design 9, bertema #KISAH dengan kurator Hafiz Rancajale, Grand Kemang Jakarta, 18-30 Oktober 2018.
1 note · View note
molekulikan · 4 years
Text
The ever growing zine culture in Indonesia. | Report from 2018.
2018 is marked by various zine events happening around. From exhibition, workshop, tabling, discussion, club, and emerging zine store. 
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Surabaya, Bandung, Padang, Semarang, Yogya, Jakarta, Gresik, Bali, and more cities in Indonesia to celebrate zine festival. I mean, look at these raddd posters. From collective building, to preserving alternative literatures, individuals and communals here are crazy over #zines.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
As my perzine project in 2018 I finished making Au Revoir 6 after a long hiatus due to moving here & there. #Zine is like a compass to reconnect with what's inside my head and the world outside me. It's liberating, mind enriching, fun, crazy, full of love, comforting, kind, & cute.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
May our discoveries through DIY literatures, leads us to ourselves!
0 notes
molekulikan · 4 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Bourbon zine semi comic diary | 2018
0 notes
molekulikan · 4 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Artwork for Happy International Zine Month, July 15 2019.
0 notes
molekulikan · 4 years
Photo
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
Making zine, from time to time.
0 notes