Tumgik
mstmh · 2 years
Text
Baru aja posting foto anak dan ayahnya pasca 4 melahirkan hari yang lalu. Dan hampir semua bertanya "SC atau Normal". Emang penting ya tau orang lahiran normal atau SC? 🙄
6 notes · View notes
mstmh · 2 years
Text
Sedang berusaha agar orangtua tidak menguasai bayiku nanti. Wkwk
Pelan-pelan ngasih tau apa yang boleh dan ga boleh dilakukan ke anakku. Beraaaat ngomongnya, tapi tetap diusahakan.
Untuk urusan gurita bayi sudah lolos, malam ini ngomongin asi eksklusif dan gamau nanti pas lahir anakku dikasih madu. Sebagai orang yang gaenakan agak berat ngomonginnya. 😂
0 notes
mstmh · 3 years
Text
Dalam pernikahan, bukan hanya aib pasangan yang harus berusaha --sekuat tenaga kita tutupi.
Tapi juga kebaikannya.
Saya sendiri mulai merasa "terganggu" dengan teman yang SERING (sering ya, kalau sekali2 sih saya biasa aja) mengumbar betapa baik pasangannya. Suami/istrinya.
Karena menurut saya... Meskipun kita sebagai audience TAHU yang namanya kehidupan rumah tangga pasti ada manis pahitnya, dan yang seseorang posting di sosial media adalah yang manis2nya aja, tetep saja, itu bisa membuka jalan atas kemungkinan2 buruk.
Meskipun yaaa.. Segala sesuatu memang selalu ada resikonya. Nggak mungkin bisa menyenangkan semua orang, nggak bisa mencegah seseorang untuk nggak suka sama kita.....
But come on.
Niat dan tujuannya apa sih?
Apa dengan mengucapkan terimakasih secara pribadi ke pasangan, nggak lebih baik daripada mengumumkannya di media sosial?
Apa nggak terpikir oleh kita untuk berempati pada teman/followers kita yang sedang menghadapi badai dalam rumah tangga?
Atau.. Kalau emang IYA mau berbagi kebahagiaan.. Pernah terpikir nggak sama gimana strateginya? Supaya tulisan yang kita umumkan disana diusahakan berimbang, dan sarat akan pelajaran. Semua toh ada ilmunya.
***
Saya sendiri pun jujur pernah melakukan hal yang sama. Dan ketika menyadari itu, sungguh, saya nyesel banget. Dan berdoa semoga nggak terulang.
***
Pada akhirnya... Daripada kesel2 sendiri nggak ada manfaatnya, lebih baik pikirin apa pelajaran yang bisa diambil. Dan selanjutnya, tentu, apa sikap yang kita ambil atas fenomena ini.
Kalau saya, setidaknya ada 3:
1. Mendoakan teman2 yang melakukan hal tersebut diatas
2. Memohon perlindungan dan pertolongan pada Allah
3. Nggak usah buka sosmed (atau setidaknya me-mute teman2 yang demikian.
Note: ini hanya pendapat pribadi. Ditulis khususnya untuk diri sendiri sebagai pengingat. Topiknya sangat mungkin menimbulkan perdebatan. Tapi ya gak apa-apa, cuma berniat membagi sudut pandang.. Tidak memaksa teman2 untuk menyetujuinya :)
47 notes · View notes
mstmh · 3 years
Text
Mengandung. Belajar untuk tidak egois. Kalo males makan ya kudu dipaksa makan meski seringnya ngga doyan. Ada janin yang butuh nutrisi. Ada janin yang kesehatannya bergantung pada kesehatan ibunya. I love you adik janin. Sehat-sehat ya sayang.
0 notes
mstmh · 3 years
Text
Kemarin ada di titik cuma bisa nangis.
Seharian susah makan. Apapun yang dibeliin suami (padahal requestku sendiri) ga bisa kumakan. Mental kabeh. Seharian cuma minum air putih dan makan pisang. 😥
1 note · View note
mstmh · 3 years
Text
Setiap rumah tangga akan menemui ujiannya masing-masing.
Ada yang diuji dengan harta, ada yang diuji dengan kesehatan, ada yang diuji dengan keluarga, ada juga yang diuji dengan keturunan, dan ujian-ujian lainnya.
Alhamdulillah ala kulli haal
0 notes
mstmh · 4 years
Text
Tumblr media
I love you suamiku!
1 note · View note
mstmh · 4 years
Text
Tumblr media
Amanah.
Waktu mau ikut kursus dan diwajibkan mengisi surat pertanyaan benar-benar berat. Suami sampai tanya berkali-kali, memastikan aku amanah dengan apa yang kunyatakan.
Sampai konfirmasi berkali-kali ke dapurumma, apa saja yg bisa infokan dan yang tidak. Karena suami takut aku keceplosan membocorkan resep a.k.a gak enakan gitu kalo ada yang nanya resep.
0 notes
mstmh · 4 years
Text
Aku : Yang, belum berhasil.
Suami : Gapapa. Kita usaha lagi ya sayang. Allah tahu yang terbaik. (Ngusap-ngusap kepala. Eaa)
Manusia. Tugasnya berusaha, berikhtiar semampu diri. Bukan memaksa Tuhan mengikuti mau diri. Kalau memang sudah takdirnya, maka dengan caraNya akan menjadi hak kita.
Kayak kejadian semalam, sorenya aku bilang ke suami pengen makan daging. Minta temenin beli kalo suami luang. Malamnya, qadarullah dipanggil keluarga Bu Anny, ternyata diajak Bbq-an. Belum beli eh udah dikasih Allah melalui bu Anny. Apapun, kalau Allah mau ngasih ya bakal ada jalanNya. Kalau belum dikasih, berarti diminta ikhtiar terus dan sabar dalam meminta. Buat urusan remeh kayak minta garam aja Allah anjurkan kita berdoa padaNya apalagi untuk urusan yang lebih dari itu.
Lagi hujan nih, ayo berdoa. (:
Cimahi, 8 Maret 2020.
0 notes
mstmh · 4 years
Text
Tumblr media
Just blubbering : cerita Amplop.
Jauh sebelum menikah, kami memang merencanakan acara pernikahan kami hanya untuk bentuk syukur semata. Tidak ingin mengundang banyak orang, hanya yang memang kami kenal dan berkomunikasi baik dengan kami. Waktu nikah, pasti dapat amplop dong ya. Tentu, aku orang yang senang menghitung uang apalagi halal meskipun kami tidak mengambil uangnya untuk keperluan kami. Bukan hak kita, kata suamiku.
Kami senang menerima hadiah benda apapun, tapi bingung ketika ada yang tiba-tiba mengirimkan uang ke rekening kami atau menitipkan sejumlah uang pada teman lainnya. Bukan kami tak butuh uang, bukan. Wong kami belum setajir sultan Andara. Wkwk. Tapi ya memang dari awal meniatkan tak menerima amplop. Waktu akad, kami lupa berpesan tidak usah diletakkan kotak di buku tamu. Terus kami pas mau balik ke rumah dipanggil dong sama pihak resto buat ambil isi kotak amplopnya. Ngiranya ya emang ga naruh kotak. 😂
Oh iya, omong-omong amplop nikahan. Aku baru pertama kali menyaksikan langsung adegan tolak-menolak amplop di acara ngunduh mantu kami. Wkwk lucu dilihatnya, ibu mertua selalu menolak amplop orang-orang yang datang dan mereka rebutan kayak adegan traktiran "udah aku aja yang bayarin makannya". Kalau tamu yang ekstrem ya, amplop ditolak ibu mertua ngasihnya main masukin aja ke kantong baju suami atau ke aku, padahal tangan kami sudah disikapkan ke belakang setiap terlihat gelagat pembawa amplop. Kelihatan sama mertua, dibalikin. Ada juga yang melemparnya di kursi tempat duduk kami. Dan paling lucu waktu suami mau shalat dzuhur itu ada puluhan amplop yg dikumpulin terus pas suami mau ke kamar diserang ibu-ibu. Kasihan dan lucu lihatnya sampai kewalahan dan harus wudhu ulang. 😁
Aku sendiri bukan tipe orang yang mencatat sudah kondangan ke siapa saja. Bagiku, bisa datang atau sekadar berkirim hadiah ke orang lain adalah bentuk aku turut berbahagia atas kebahagiaan mereka (kalau situasi dan kondisi mendukung). Apalagi sekarang, udah di luar Tangerang dan pandemi ya benar-benar datang jika memang memungkinkan.
Makanya suka heran kalo ada yang bilang "aku kondangan loh ke ini, kok dia ngga dateng sih ke aku". Aku ya mikirnya kalo kita udah dateng, yaudah itu emang kita lagi dikasih kesempatan bisa datang memenuhi undangan. Yang aku tahu memenuhi undangan memang termasuk 6 hak muslim terhadap muslim lainnya. Tetapi bila ada udzur syar'i, boleh tidak memenuhinya. Hihi.
0 notes
mstmh · 4 years
Text
Tentang penantian
Kadang kita menginginkan segala sesuatu segera terwujud saat itu juga, tetapi ternyata Allah meminta kita untuk menunggu, kita bersedih. Padahal boleh jadi kita memang belum pantas menerimanya atau memang Allah ingin kita belajar sabar lagi.
0 notes
mstmh · 4 years
Text
Seorang perempuan brokenhome menikah dengan lelaki dari keluarga yang super hangat. Adaptasi.
Luar biasa.
Bersyukur. Alhamdulillah. Senang.
Di sisi lain kadang takut luka terhadap keluarga di masa lalu tiba-tiba muncul.
Mas yang family oriented, sedang aku mengakui diriku lebih mengutamakan teman yang rasa keluarga.
Masih belajar menjadi seperti yang mas Arif harapkan, aku menjadi dekat dengan keluargaku terutama istri bapak.
Semoga aku dimampukan untuk menerima keluargaku secara utuh.
0 notes
mstmh · 4 years
Text
Tumblr media
Ceritanya gladiresik bridal shower
0 notes
mstmh · 4 years
Text
Kadang merasa emang seketat itu? Apa cuma aku aja yang ga boleh ketemu. Atau emang gamau ketemu aku.
1 note · View note
mstmh · 4 years
Text
Ingin sekali bilang, "hai aku rindu kamu. Mau bertemu segera tidak?" Wkwk
Ingin sekali bertanya, "bagaimana kabarmu? Kamu baik-baik saja, kan?"
Tetapi berakhir diurungkan.
23 notes · View notes
mstmh · 4 years
Text
Misqueen
Beberapa kali di TL saya berseliweran pembahasan tentang hutang. Bahas hutang tuh emang gampang-gampang susah. Dulu, saya nggak terlalu aware sama hal ini soalnya mungkin belum ada temen yang ngutang dan saya sendiri tidak dalam posisi berhutang.
Saya jadi balik lagi cerita, emang pas ibu sakit tuh ada banyak banget pelajaran yang bisa saya dapat. Pas ibu sakit, kami nggak punya asuransi. Tabungan keluarga habis dan kami berhutang banyak. Ada hutang yang ke koperasi. Ada juga yang ke temen dan keluarga besar.
Saya nggak ngomong jumlah eksak ya. Nggak enakan. Yang ke temen sama keluarga besar tuh di atas 100 juta yang pasti. Sekarang alhamdulillah udah lunas. Tinggal yang di koperasi. Rasanya kayak gimana?
Hutang ke temen itu tanpa bunga tapi rasanya sungkaaan banget. Saya bahkan kalo capek kerja dan butuh makan enak dikit, nggak berani ngajak orang. Soalnya pernah ketahuan temen dan dikasih nasihat:
“Kamu tuh punya hutang, Dek. Mbok ya hidup prihatin dikit”
“Yha ini udah nyoba hidup prihatin mbak. Aku capek banget. Butuh hiburan”
Padahal itu juga cuma makan Yoshinoya yang nggak sampe 100k. Tapi makannya rasa hutang. Sambil mewek dan keselek-selek pastinya. Hahaha.
Yang ke koperasi tuh bunganya 1% per bulan. Jadi kalo misal kamu berhutang 10 juta, per bulannya kamu harus bayar 100 ribu untuk bunga. Jadi misalnya kamu mencicil Rp 1.100.000 per bulan, maka yang masuk cicilan hutang tuh yang sejuta. Yang 100k masuk ke bunga. So, misalnya ini dicicil jadi 10x, maka kamu bayar total 11 juta.
Nah, kalo misal 100 juta jadi 50 bulan berapa? Tinggal ngitung aja 100 juta + (1 jt * 50) = 150 jt. Makin lama lunas, makin banyak bunganya.
Ngutang ke koperasi tuh nggak ngerasain nggak enak ke temen. Tapi beban bunganya lumayan.
Menjadi orang Indonesia itu berat sekali. Dengan jaminan kesehatan dan pendidikan yang tidak memadai, hidup kita akan sangat kesulitan.
Ini saya cerita konteksnya bukan ngeluh ya. Cuman sebagai gambaran aja. Sebelum ada BPJS, saya sendiri juga kerja keras buat terapi ke psikiater. Rasanya pernah capek banget sih. Soalnya kita udah kerja keras tapi duitnya nggak bisa ditabung karena buat nyicil dan buat ngobatin diri kita sendiri.
Tapi again, badai bisa dibilang udah lumayan mereda. Makanya mood saya akhir-akhir ini jauh lebih membaik karena saya mulai bisa pelan-pelan mengatur keuangan. Saya sendiri sudah tidak ke psikiater dan cicilan hutang tinggal yang di koperasi. Rencananya saya lunasi akhir tahun ini biar tahun depan bisa mengumpulkan bekal buat S3. Tapi karena ada Covid-19, saya memundurkan pelunasan sambil tetep nabung.
Struggle-nya masya Allah.
Saya pas tahun 2018 itu udah kayak gimana ya, mau gila tuh kasihan keluarga saya wkwk.
Bayangin yak, dalam kondisi didiagnosa depresi, insomnia berhari-hari, tau bahwa ibu sakit kanker stadium 4 yang sewaktu-waktu bisa berpulang, kudu mikir biaya kemo yang sekalipun ditanggung BPJS tetep aja masih ada obat yang di luar tanggungan, mikir bayar perawat di rumah, mikir kamar rumah sakit yang ga selalu ada dan mikir ngelunasin hutang. Makanya dulu saya berdoa banget biar punya temen bicara yang bisa menjaga kewarasan soalnya saya sendiri kadang kalo ngobrol juga udah mulai melantur. Asli cerita kayak gini tuh rasanya surreal banget. Semacam lihat diri saya hari ini lihat diri saya zaman dulu sambil senyum:
“Gwenchanaa…..semua terlewati”.
Teman kita, kalau diajakin ngobrol perkara patah hati tuh masih banyak yang available. Tapi kalo diajak ngobrol perkara uang, nggak semuanya bisa. Entah karena mereka juga nggak punya ilmu dalam hal itu, atau juga nggak bisa ngasih hutang makanya sungkan.
Saya waktu itu sebenernya butuh banget curhat perkara saya harus ngurusin hutang ini. Jawaban dari teman saya bervariasi:
1. Kalo buat orang tua, pasti urusan dimudahkan.
2. Sorry ya, aku ga bisa bantu kamu, aku punya duit segini kalau kamu nggak keberatan nerima.
3. Kamu mau pinjem duit ke aku?
4. Sabar yaaa…..
5. Duit itu bisa dipikir nanti
Saya sendiri nggak nyalahin mereka sih. Malah bersyukur waktu itu ada yang nawari pinjeman banyak banget. Saya yang malah takut nerima karena nggak kepikiran cara ngelunasinnya. Cuman saya sendiri juga kaget bisa dapet pinjeman langsung banyak banget dari beberapa orang tanpa jaminan apapun.
Saya pengen nangis atas kebaikan mereka sekaligus semakin clueless, kudu gimana.
Untungnya, ada temen lama saya yang kebetulan tugas ke Surabaya. Pas kami ketemu, dia nawarin pinjeman juga sebenernya. Cuman waktu itu, saya udah nggak pengen nambahin hutang. Saya cuma bilang:
“Kalo kamu nggak keberatan, bantuin aku mikir”
Di situ kami pelan-pelan bikin coretan tentang apa yang terlebih dahulu diurusin termasuk perkara konsultasi ke psikiater dan kawan-kawan.
Alhamdulillah,
Kami sekeluarga kerja keras banget. Tahun 2018, seluruh hutang ke teman-teman lunas. Hutang ke koperasi, saya cicil dengan santai karena beban mentalnya beda dibanding ngutang ke temen.
Saya ngerasa hutang ke temen dan keluarga harus dilunasi dulu. Sekalipun tidak berbunga, mereka mungkin butuh.
Hutang ke temen ini saya selesaikan bertiga bareng Bapak sama Mas. Kami sendiri juga terkejut, ini bisa diselesaikan di 2018 dengan kondisi psikis yang stress banget.
Pas saya cerita pelunasan ini, ada temen yang bilang ke saya:
“Kamu harusnya menyelesaikan yang riba dulu. Yang ke temenmu belakangan. Kalo kamu nggak menyelesaikan yang riba dulu, nanti hartamu nggak berkah. Lunasnya lebih lama”
Saya sendiri pas ngelunasin itu sebenarnya nggak berpikir ke arah sana sih. Saya cuma nggak enak kalau misal ada temen yang butuh tapi nggak berani nagih karena tau saya kesulitan.
Yang di koperasi mungkin lunasnya lama. Tapi saya bisa jalani sambil bernafas lebih lega. Ini sesuai yang saya hitung bareng temen saya di awal 2018. Dia bilang:
“Utamakan hal-hal yang bikin hati kamu sedikit tenang dulu. Orang kalo depresi tuh juga kadang suka belanja tak terkendali”
Itu advice yang brilian sekali 😅
Apa yang saya dapat di sini?
Kadang saya berpikir bagaimana kalau saya di posisi orang yang nggak ada akses ke temen yang bisa minjemin duit tanpa bunga? Bagaimana kalau Bapak saya nggak punya temen yang bantuin saya buat gantian nyari kamar? Bagaimana kalau pas ibu sakit, saya nggak ketemu mantan tetangga yang akhirnya ngerawat ibu di rumah dengan biaya yang lebih murah? Bagaimana kalau kami tidak mampu melunasi hutang?
Memang semua kembali ke Allah yang ngasih jatah rezeki.
Tapi balik lagi, di sekitar saya ada banyak orang yang nggak punya jaminan kesehatan. Clueless sama rumah sakit. Ada dua tetangga saya yang meninggal karena Leukemia dan satu tetangga saya meninggal karena sakit Kanker Getah Bening.
Ketiganya, nggak bisa ditangani dengan proper di rumah sakit. Saya tahu, mati itu lagi-lagi urusan Allah. Tapi bayangin ya, kanker itu pasti sakit sekali. Ibu saya tuh orangnya hampir nggak pernah ngeluh. Tapi tanpa morfin tempel, beliau nggak bisa berhenti merintih ngerasain sakit. Tetangga yang saya ceritain berakhir tanpa pain killer, tanpa sempat masuk kamar rumah sakit. Semua berakhir di bangsal dan saya menangisi itu.
Ibu sebenernya bisa dioperasi di rumah sakit negeri kalau mau ngantri. Tapi waktu itu, antriannya sampai sekian bulan. Sementara kalau nunggu, stadium 4 udah nggak bisa nunggu. Saya keinget pas waktu itu dokter Tomi menjanjikan operasi sepulang beliau dari Thailand. Kurang lebih sepekan. Tapi beberapa malam harinya, beliau bilang bahwa ibu sebaiknya dioperasi segera. Ibu masuk rumah sakit hari kamis. Dioperasi hari jumat. Alhamdulillah operasi berhasil. Mungkin itu jalan Allah buat ngasih tambahan waktu 6 bulan.
Nah, habis itu, masih ada temen saya yang bilang:
“Sebenernya kamu kalo nggak mau ngutang, pilih BPJS aja. Nggak apa-apa nunggu agak lama”
Saya tahu, dalam kondisi tertentu, saya tuh tone deaf. Kalo ngomong suka ga paham sikon. Tapi dalam kondisi demikian, saya berjanji untuk tidak sembarang berkomentar atas keputusan yang diambil orang lain.
Saya bersyukur waktu itu ada Arum yang nemenin saya dan bisa ngebawa saya stay sane sampai ke Husada Utama. Bayangin kalau saya tetep clueless dan mengantri di poli bedah RSUD Dr Soetomo. Saya nggak pernah menyesali keputusan itu meskipun konsekuensinya berat sekali.
Pas saya nunggu ibu di ruang ICU, saya bermalam dengan beberapa keluarga pasien. Kami pun mengobrol dan bicara tentang biaya operasi. Semua orang yang saya ajak ngobrol bilang bahwa biaya operasi dan ICUnya ditanggung asuransi perusahaan.
Saya terdiam.
Di sini, saya mulai ngerasa bahwa drama-drama medis itu sangat-sangat tidak real ~XD Yaiyalah yaaa. I mean, dalam drama, operasi-operasi sulit bisa gampang aja jalan. Kalo di dunia nyata mah, keluarga pasien kudu pusing duluan mikir biaya operasi dan ICU kecuali kalau semuanya ditanggung asuransi seperti keluarga yang ngobrol sama saya tadi.
Biaya operasi itu banyak. Biaya ICU lebih banyak lagi. Pada saat itu, alih-alih iri, saya cuma kepikiran kalau misal yang sakit miskin banget, bagaimana rasanya?
Makanya pas tetangga saya sakit, saya berusa nyari bantuan ke lembaga zakat dan yayasan kanker. Tapi dua lembaga tersebut juga udah menanggung beban banyak orang. Jadi tetangga saya nggak masuk prioritas. Email saya tentang permohonan bantuan baru dibalas waktu tetangga saya sudah pergi.
Ini bikin saya nyeri banget.
Saya jadi berpikir bahwa kedermawanan banyak orang tidak akan menyelesaikan semua masalah kemiskinan. Karena bagaimanapun, kemampuan individu itu sangat terbatas.
Kalaupun kita bisa ngasih hutang ke temen atau tetangga, berapa jumlah uangnya? Seberapa sabar kita bisa nunggu hutang itu lunas?
Kalau dengan filantropi, sebesar apa uang yang bisa kita kumpulkan jika dibandingkan dengan jumlah orang yang membutuhkan?
Saya kadang suka sesek aja ketika membayangkan berada di posisi terbawah piramida. Nggak punya hp untuk mengakses internet dengan proper. Nggak jadi prioritas dalam layanan masyarakat. Nggak eligible untuk mengajukan peminjaman dengan bunga rendah dan tidak bisa meminjam uang ke orang lain karena hutang yang udah banyak. Orang-orang semacam ini tuh banyak banget dan mereka biasa di sebut kelas menengah ngehe sebagai orang yang tidak punya wawasan untuk mengelola keuangan.
Tiap denger orang ngomong soal mental miskin, saya mah udah ketawa aja. Apa yang dikelola kalo duitnya nggak ada?
Sewaktu saya membaca paper tentang UI/UX yang ditulis oleh pegawai-pegawai google, saya semacam mendapat doktrin:
“Rancanglah UI/UX dengan sudut pandang orang yang paling lemah. Dengan sudut pandang orang yang paling susah mengakses layanan kamu. Dengan begitu, kamu bisa pelan-pelan memastikan hak-hak orang dhuafa terpenuhi”
Ini juga yang kadang-kadang membuat saya sedih hidup di Indonesia. Jangankan bicara tentang sistem kesehatan dan pendidikan yang menjamin kebutuhan semua penduduknya, orang naik kursi roda aja kesulitan mobilitasnya karena di Indonesia masih banyak jalan berbatu dan tidak ada kendaraan umum yang ramah difabel.
Di Singapura, saya beberapa kali lihat supir membantu pengguna kursi roda buat masuk bis.
Kapan kita bisa punya solusi yang baik buat semua orang untuk memastikan kesehatan dan pendidikan mereka terjamin, makanan bergizi murah, hunian yang layak bisa terkondisikan, lingkungan yang ramah difabel dan seterusnya sehingga temen-temen difabel punya ruang berkembang yang lebih luas dan dhuafa tidak perlu terlalu memikirkan hutang saat membutuhkan.
Ya kalo mereka mampu bayar? Kalo enggak gimana?
Permasalahan kayak gini itu bukan permasalahan yang bisa kita selesaikan secara individu dengan mengumpulkan sebanyak mungkin uang. Karena kalo solusi kita kayak gitu, kita juga sangat rawan mengambil hak orang lain saat berusaha nyari duit banyak dalam waktu singkat.
Permasalahan kayak gini tuh perlu pemikiran bersama. Seharusnya, kalau kita ada pemilu, kita mengangkat isu-isu demikian daripada sekedar bicara tentang persona calon yang yhaaaa dari dulu sampai sekarang tetap gitu-gitu aja.  
Yhaaa malah jatohnya ke pemilu wkwkwk.
~XD
Demikianlah,
Hidup di Indonesia itu ladang amalnya luas. Kalo kamu mampu, jadilah dermawan semampu kamu. Kalau punya kemampuan dari itu, suarakan kebutuhan orang-orang yang lebih lemah.
Bukan karena kita baik. Tapi yhaaa anggep aja ini pemenuhan kewajiban kita sebagai manusia. Kalau indonesia punya jaminan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik, seenggaknya kamu bisa sedikit tenang kalau mendadak miskin -__-”
73 notes · View notes
mstmh · 4 years
Text
Kamis, 22 Oktober 2020 pukul 22.01 WIB.
Sedari siang kamu ngga ada kabar. Aku khawatir.
0 notes