Sebuah noktah kecil yang suka curhat colongan dan mencoba mencari hikmah di setiap curcolnya. Selamat bercerita!
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Sekolahan tapi Start-up
Mungkin ini ya ngga enaknya sekolahan tapi rasa start up
Kalau tentang perubahannya yang cepet dan ritmenya yang dinamis ini aku udah lumayan terbiasa sebenernya, meskipun ya hah heh hoh huh hih juga
Tapi yang bikin sedih dan overoverthinking itu, perubahan orang-orangnya, aku ngerasa tim yang ini tuh udah oke banget. Timnya udah solid dan kita saling bantulah. Tapi ya karena dinamis ini, orang-orangnya pun mulai datang dan pergi.
Yang datang belum nge-klik banget. Yang pergi menjadi missing pieces.
Akan seperti apa ke depannya? Mari kita nantikan saja
0 notes
Text
Neni
Neni, itu panggilan kami untuk adik nenek kami, nama aslinya Nenek Nani, namun kami memanggilnya Neni.
Neni ini punya keterbatasan, mungkin bisa dibilang special needs, tapi ngga yang severe, jadi masih mandiri dan bisa melakukan banyak hal pada umumnya. Hanya karena orang tuanya dulu, mungkin namanya orang dulu ya, belum paham kalau Neni bisa dilatih untuk mandiri, jadi selama hidupnya bersama orang tuanya (alias buyutku), beliau dimanja bagaikan princess. Semua keinginannya pasti dituruti. Jajan, barang-barang, semuanya dibelikan, sikap-sikap sehari-hari dibebaskan, dan bisa dibilang tidak ada filternya. Anggapan kami, ya itulah yg bikin Neni bahagia, jadi buyutku pasti mengusahakan itu.
Hanya saja, saat nenek buyutku akhirnya meninggal dan Neni harus tinggal bersama nenek dan kakekku, kehidupan seperti princess itu tidak bisa dilanjutkan. Jadilah kehidupan beliau lebih terbatas dan beberapa kali dimarahi karena memang ada hal-hal yg common tapi tidak diajari dengan baik.
Setelah nenekku juga akhirnya meninggal, beliau sempat dititipi di rumah kami sekitar 1 tahun, karena waktu itu aku masih kerja part-time dan hanya mengajar di sore sampai malam, jadilah aku yang lebih banyak mengurusi beliau.
Dan itu benar-benar luar biasa, aku seringkali merasa bersalah, karena akhirnya benar-benar sulit untuk tidak marah kepada beliau, untuk tidak ngomel, untuk tidak ngebilangin beliau. Apalagi terkadang tingkah polahnya bikin geleng-geleng kepala.
Pada saat akhirnya aku harus kerja full-time, Neni jadi tidak ada yg bisa menjaga saat siang, akhirnya beliau dipindahkan ke rumah om ku.
Saat beliau akhirnya sudah pindah, aku bertanya-tanya, apakah aku sudah maksimal, apakah kesalahanku lebih banyak dari kebaikan ku. pikiran-pikiran itu berputar.
Tapi setelah aku becerita pada adikku, ia bilang dengan santai, "yah kalau teh fida sih udah maksimal"
dan itu menenangkan sekali, meski ngga tahu penilaian Allah bagaimana...
Lalu hari ini, di usia 80 tahun, beliau meninggal dunia. Wajahnya putih sekali, dan ia dimandikan, ia diperhatikan, dicium keningnya oleh keponakannya dan cucu-cucu kakaknya. Kalau aku bisa bayangkan, ia pasti seneng banget sebegitu diperhatikannya. Wallahu'alam.
Allahumaghfirlaha warhamha wa'afiha wa'fuanha. Alfatihah
0 notes
Text
The 30 minutes
When I started working again, I avoided using the KRL as much as possible. Over the past two years, my office has changed locations three times. It was first in Soho, Pancoran, then moved to Fatmawati, then Blok M, and now it's in Setiabudi. For the first three locations, I refused to commute by KRL. The cramped conditions and the stress of being packed in with so many people during weekday mornings and evenings always made me anxious.
However, I eventually gave in when my current office moved to Setiabudi. I couldn’t avoid the KRL anymore, it’s the fastest, cheapest, and most time-efficient option compared to Transjakarta or the LRT.
And then my fears came true. The cramped train cars, jumping into swarms of people, the hijacking of personal space, the constant rushing—everything about the hectic mornings and evenings started to affect me, both emotionally and physically.
By the time I get to the office, I already feel exhausted. And when it’s time to go home, I feel lazy and unmotivated because I can already picture how crowded the commute will be.
I hate my commute experience.
But when I think about it clearly and calmly, the worst part of taking the KRL is usually just the section from Stasiun UI to Stasiun Cawang. The train is already crowded when it arrives at UI, but it gradually empties out by the time we reach Cawang. I can actually breathe easier once people start getting off the train.
Also, instead of transferring at Manggarai to get to Setiabudi, I choose to get off at the station after Manggarai and just take a Gojek. I know it’s more expensive, but I really can’t deal with the packed crowds heading toward Setiabudi.
So, if I do the math, the worst part of my day is only about 20 to 30 minutes, just from Stasiun UI to Cawang in the morning, and then again during the crowded exit in the evening. Roughly 30 minutes total. Hah!
Then I had an epiphany: Why am I letting just 30 minutes of discomfort decide the mood of my entire day? Why do I focus so much on that short time, when I still have 23 hours and 30 minutes left to enjoy and be grateful for? It doesn’t make sense, and I don’t want to let those 30 minutes control my whole day.
So now, I’m training my mind to stop dwelling on those 30 minutes, so they won’t affect how I feel for the rest of the day and night. Please wish me luck.
Bismillah!
0 notes
Text
Nostalgia
Tahun 2023, bulan Agustus, aku memulai pekerjaan di tempat yang baru. Corporat yang masih berkembang, start up, tapi sekolahan. SMP dan SMA. Anehnya bukan main kala itu.
Sistemnya ngga kebaca, instruksi pekerjaan ngga jelas, semua orang bawaannya emosian, komplain keras setiap hari, pekerjaannya penuh dengan ketidakjelasan. Hatiku ngga tenang, aku tahu atau aku ngerasa ada yang salah dengan tempat kerjaku ini. Tapi aku ngga punya kuasa juga untuk memperbaiki, bahkan untuk kasih masukan.
Manager aku membangun tembok yang tinggi, yang susah untuk di reach out. Partner aku, galak dan lidahnya setajam sembilu. Di awal-awal aku berusaha keras menjaga moodnya agar selalu baik terus. Setengah berhasil, setengah tidak. Layaknya berjalan di atas paku, suasana waktu itu.
Sebagai orang yang menyukai rutinitas, sesuatu yang sistematis, perlu kejelasan, dan ngga suka hal-hal yang berubah tanpa ada sebab, aku stress banget sih. Tapi udah terlanjur masuk. Jadi aku kerjakan apa yang bisa aku kerjakan, meski tetap saja tidak sesuai dengan apa mereka ekspektasikan, yang mana mereka juga ngga pernah bilang dengan detail, apa sih yang mereka ekspektasikan?
Sekitar 3 bulan setelah aku merasa dunia pekerjaanku jungkir balik, aku dipanggil HR. Mengkonfirmasi kondisiku. Curigaku, partnerku yang berlidah tajam itu melaporkan performaku yang baginya buruk (ngga ngerjain apa-apa) langsung ke HR. (kalau dipikir-pikir mestinya at least manajerku dulu lah ya ngajak 1 on 1, ngapaian sampe ke HR dulu? entah apa maksud dan tujuannya). Intinya di situ hatiku mencelus, seburuk itu kah aku.
Di pekerjaanku yang sebelumnya aku bisa dibilang anak yang cukup diandalkan, manajer-manajerku yang dulu bisa dibilang puas sama kinerjaku, meski bukannya ngga ada kekurangan, tapi mereka ngga pernah sampe bilang kalau aku ini, kasarnya, ngga becus.
Gara-gara itu aku merasa super sedih dan merasa super payah. Aku akhirnya untuk pertama kali ke psikolog, hanya untuk mendiskusikan, sebenarnya kenapa aku sepayah ini?
Konsultasiku dengan psikolog, Alhamdulillah, berjalan lancar. Aku mendapat pencerahan dan punya semangat baru. Yah salahnya ga di aku aja, partner aku yang ngga ngejelasin dengan jelas, ngga ada transfer knowledge yang transparan, dan ngga ada diskusi yang membangun. Manajerku juga cuek sekali, aku nih orang baru loh, ya masa ngga ada bimbingannya dsb dsb
(Oh tapi FYI di akhir-akhir masa bekerja mereka, manajer dan partnerku, aku rasa hubungan kita berakhir dengan baik.)
Lalu, yang paling bikin aku bingung sampai sekarang, adalah saat penilaian performa pekerjaan dari HR. Perforama appraisal istilahnya ya.
Di Desember akhir kalau ga salah, partnerku resign, manajerku juga resign, dan yang menilaiku hanya temen-temenku yg lain, yg mereka juga ga tau kerjaanku apa. Ah elah, sebel banget kalau diinget.
Dan tau aku dapet hasil apa? PIP! Pengen gua banting juga wkwkwk, emosi bener. Aku baru tau akhir-akhir ini (gara-gara follow ecommurz) kalau dapet PIP tuh parahbet ya? kayak lo bisa diputus kontrak kerja gara-gara itu. Hahahahahahahahahahaha ngga adil sumpah! Tapi ya udah lah, blessed my clueless past self.
Yah intinya, itu yang aku pikiran, aneh bin ajaib dulu tuh. Alhamdulillah Allah kasih kekuatan dan tidak mengikuti emosiku sesaat aja. Masih mikirin tanggung jawabku
Alhamdulillah sekarang sudah jauh lebih baik lagi sekolahnya. Semakin besar, timnya juga semakin tumbuh. Banyak perubahan, banyak yang bisa dipelajari. Diambil positifnya aja dulu ahahah meski sambil haduh-haduh dan berdoa " Ya Allah tempatkan aku di tempat yang terbaik, kalau di sini bukan tempat terbaikku, tolong pindahkan aku ke tempat yang terbaik"
Begitulah, Bismillah setelah liburan kita akan berpacu kembali dalam melodiywwwww
0 notes
Text
Kerja
Kaget juga, ternyata ada ya pekerjaan yang sesibuk ini. Yang selesai 1, mengantri 1000. Belum suprise-suprise yang datang dan menambah antrian yang sudah mengular
Kerja depan laptop dari pagi sampe sore, break sholat atau makan, kadang karena keteteran sampai sabtu minggu dan malem juga jadi kepake kerja.. kayak eh ternyata aku ngerasain juga meme mem qerja qeras bagai quda. Rasanya capek ya haha
Tapi ada senengnya kok, kalau ini misal dibidang lain, udah pergi dari awal tahun kali ya. Tapi aku seneng di sini, tapi stress, tapi butuh duid juga nyahaha
Ya sudah mari syukuri dan sabari
1 note
·
View note
Text
Looking at animes nowadays, there are so many inappropriate animes based on their posters or genre or synopsis
I just want to watch some ordinary, modest, with a lil bit of simple romance, but have deep stories animes. Without isekai, exploiting women, dirty jokes, same love relationship, or adult romance. I miss anime in the old days
I think there will be some point in the future where i stop watching anime completely
1 note
·
View note
Text










Displaced Palestinian children. Despite the bombardment, they still try to smile. Are these children less deserving of what children in the west have? Because they’re Palestinian!? Being Palestinian isn’t a crime. They do have names, and they have dreams. THEY TOO ARE HUMAN.❤️🩹
1K notes
·
View notes
Text
Simpang Jalan
Aku berada di simpang jalan. Ada dua jalan dihadapanku, jalan A dan B. Aku sebenernya pengeeeen banget ke jalan A. Jalannya lebih mulus, supir busnya aku lebih sreg, dan teman-temannya udah kenal dengan dekat. Perjalanannya juga pernah aku lalui sebelumnya, jadi semestinya akan lebih nyaman. Tapi aku ngga bisa egois, mesti realistis, dan perlu mempertimbangkan berbagai pihak. Maka Jalan B lah yang akan kupilih nantinya, dengan menurunkan segala ego-egoku.
Tapi itu pilihanku, aku serahin semuanya sama Allah dan ngikut aja apa yang Allah mau tentukan buatku. Karena aku mah ngga bisa bahkan mengatur hidupku sendiri, maka aku belajar terus ikhlas menerima semua takdir yang Allah gariskan buatku.
Bismillah 2 minggu lagi, in sya Allah udah tahu jawabannya.
Tolong tempatkan aku di jalan yang terbaik ya Allah
0 notes
Text
Dikasih hapalan sama Allah, tapi ngga bersyukur dengan menjaganya
2 notes
·
View notes
Text
There is still hope. Say it out loud. Palestine will be free. The Palestinian people will celebrate their culture and heritage with each other. We will love and be loved. Do not fall into the trap of despair.
173K notes
·
View notes
Text
Barangkali di situ kesempatan jihadmu. Melawan dingin. Melawan kantuk. Melawan malas. Bangun dan berwudhu. Tahajud dan mendoakan saudaramu yang dizalimi dan dianiaya.
127 notes
·
View notes
Text
Subang
When arrived at Subang Me: Hey, do you guys have already told your parents that you have arrived? Nak SMP: HAHH? ALIVE? Me: arrrrrrived Me to myself: (is my pronunciation that bad??) wkwk
0 notes
Text
Nak SMP
NS: Ms, did you understand about what we're talking? M:sometimes I understand, sometimes I don't understand, sometimes I don't care NS: wkwkwk
0 notes
Text
30
Begitu banyak hal yang ingin diceritakan
Ingin sekali didengarkan
Diskusi dalem dan penemuan insight-insight baru udah lama banget ngga dilakuin
Aku jadi merasa gamang
Gerbang kepala tiga sudah terbuka, jalan terpampang di depan, akan seperti apa pengalaman yang akan aku hadapi?
0 notes