Text
i don’t think people understand how much of life is grief. not just people dying, but losing the version of yourself you thought you’d become. grieving the city you had to leave. the friends you lost not in argument, but in silence. the summer that will never come back. the feeling that maybe you peaked at 12 when you were reading books under the covers and believing in forever
63K notes
·
View notes
Text
menuju sakinah
yang perempuan minta dari laki-laki: kepastian. yang bisa laki-laki beri kepada perempuan: kejelasan.
yang laki-laki minta dari perempuan: kepemilikan. yang bisa perempuan beri kepada laki-laki: ketaatan.
yang harus perempuan upayakan sendiri: kesiapan. yang harus laki-laki upayakan sendiri: kesetiaan.
yang perempuan dan laki-laki sama-sama dapatkan: ketenangan. sakinah.*
*syarat dan ketentuan berlaku
205 notes
·
View notes
Text
Bahu yang lebih kuat, kaki yang lebih tegak, hati yang tetap hangat, pikiran yang tetap tumbuh—maaf Tuhan inginku banyak. Dunia yang penuh dengan transaksi ini, aku butuh semua itu untuk lebih ikhlas.
257 notes
·
View notes
Text
Pohon Tumbuh Tidak Tergesa-gesa
Makin dewasa, kadang tidak sadar membandingkan diri sama orang lain. Mengukur diri dengan alat ukur yang tak seharusnya kita gunakan; persepsi orang lain.
Waktu pulang ke rumah orang tua minggu lalu, aku menyadari jika banyak pohon di sekitar rumah ini yang umurnya lebih tua dari umurku, mereka adalah pohon kelapa, mangga, rambutan, dan nangka. Bahkan, foto mereka saat masih tumbuh masih ada, menjadi latar fotoku saat masih kecil dulu.
Mereka masih berbuah hingga hari ini, memberi manfaat meski menetap tak berpindah sama sekali. Bahkan, seiring kesibukanku, aku tak menyadari pertumbuhannya.
Entah kenapa, sulit bagi kita meneladani pohon. Andai kita petani, kita pun akan sadar tidak bisa memaksa padi tumbuh hingga menghasilkan bulirnya dalam sebulan. Mangga yang baru bertunas, tak bisa kita paksa segera berbuah dalam enam bulan. Apalagi tanaman-tanaman yang lebih lama lagi seperti durian. Mereka, para petani, amat sabar merawatnya dari bibit hinga berbuah, hingga layak panen.
Entah kenapa kita nggak pernah sabar sama hal-hal yang lagi kita tanam sendiri, dari pekerjaan ingin segera punya pekerjaan yang baik dengan gaji besar, dari pendidikan ingin segera selesai dengan nilai memuaskan, dari berkeluarga ingin bergegas menikah - punya anak - hidup bahagia - punya rumah - punya apapun, dan entah apapun yang lagi kita mulai. Kita tergesa untuk segera lihat hasilnya, tidak hanya itu, tapi juga berekspektasi bahwa kita akan mendapatkan hasil yang baik.
Entah kenapa, kita terasa begitu tergesa-gesa. Seolah jika sudah sampai kepala tiga, semuanya telah terlambat. Seolah kita kalah dari perlombaan yang sebenarnya tidak pernah ada.
Dan karena begitu tergesa-gesa, kita kadang nggak sadar bahwa bisa jadi kita adalah pohon durian yang iri kepada padi. Kata terfamiliarnya adalah kita kehilangan jati diri. (c)kurniawangunadi
265 notes
·
View notes
Text
doa untukmu
jika ada, semoga Allah mengangkat semua rasa sedih, marah, kecewa, takut, curiga, dendam, dan khawatir dari dadamu. semoga Allah menggantinya dengan kelapangan dan kesabaran. semoga Allah menghapus dosa-dosamu dari datangnya perasaan-perasaan itu.
semoga Allah memberimu petunjuk hidup yang terang benderang. semoga hidayah selalu turun kepadamu. semoga kamu mendapatkan undangan dari Allah untuk senantiasa bertaubat.
semoga kamu bisa menerima kenyataan, memperoleh kemenangan. semoga kamu bisa memeluk dirimu sendiri dengan kejujuran---dan menjadi lebih kuat setiap harinya. semoga Allah menyembuhkan semua luka.
semoga kamu bisa memaafkan orang-orang yang menurutmu jahat, yang menurutmu telah merebut kebahagiaanmu. orang-orang yang melukaimu. orang-orang yang kamu tertawakan, kasihani, benci. tolong maafkan (kami) ya.
semoga kamu segera dipertemukan Allah dengan seseorang yang baik, yang menyayangi segalamu dengan segenap jiwa dan raganya, dengan ketaatan dan keimanan yang semestinya. yang menghargaimu dan selalu cenderung kepadamu, hanya kepadamu. yang janjinya selalu ditepati. yang membawamu ke tempat-tempat jauh itu.
semoga semua mimpimu terwujud satu per satu. semoga kamu mencapai semua garis finish. semoga kamu menaklukkan semua puncak. semoga yang kamu cintai tumbuh dan mekar dengan hebat.
semoga kamu menemukan ketenangan dan kebahagiaan. di dunia. di akhirat. selamanya.
707 notes
·
View notes
Text
Surat Untukmu...
Hai, siapa pun kamu 'Calon Imamku' di masa depan.
Mungkin saat ini, kita sedang 'bersama-sama' dalam sebuah perjalanan panjang. Perjalanan untuk saling menemukan dan ditemukan. Perjalanan untuk saling mempersatukan dan dipersatukan.
Aku masih perlu banyak belajar. Diriku tidak luput dalam segala kesalahan dan kelalaian. Semoga ketika kita sampai di 'saatnya', aku sudah menjadi pribadi yang lebih baik dari diriku di hari ini.
Jika ditanya, apa yang akan menjadi pertimbangan terbesar tentang apa yang akan membuat aku memilihmu atau tidak.. jawabannya adalah aku akan menilai mu dari bagaimana kamu menilai situasi dan menyelesaikan sebuah persoalan.
Mungkin terbayang, saat ini 'bagaimana bisa aku menilaimu hingga sedalam itu' sementara pacaran bukanlah jalan yang aku inginkan..
Hei, tanpa berpacaran.. bukankah kita juga bisa melakukan obrolan? Saling bertukar pikiran?
Meskipun, jujur saja hingga di saat aku menulis semua ini Batin dan pikiranku terus mengajukan pertanyaan Bagaimana cara kita dipertemukan dan dipersatukan? Jika kita memilih untuk menghindari sebuah langkah perkenalan, bernama pacaran
Mungkin saat ini, rasanya sangat tidak mungkin Tapi aku percaya, di tangan Sang Maha Pengasih.. tiada yang tidak mungkin
Kau tahu, akhir-akhir ini aku sering merasa sendirian. Apakah kamu juga demikian?
Padahal aku tidak benar-benar sendiri Sahabat-sahabatku selalu setia menemani Rekan-rekan di tempatku bekerja saat ini, selalu membuat hariku berwarna-warni Tapi entah mengapa, makin ke sini Sepi itu sering kali menghampiri
Kebutuhanku kini melebihi dari rasa ingin 'ditemani' Aku ingin ditemani yang tak berakhir dengan berpisah Untuk pulang ke rumah masing-masing
Aku tak bilang rumahku tak nyaman Namun rasanya, aku mendambakan untuk memiliki tujuan pulang berbeda dari tempatku tinggal
Aku tumbuh dewasa di rumahku yang sekarang Mendewasa bersama tawa juga duka yang beriringan Semakin hari, aku begitu mendamba sebuah pelukan Namun rasanya, hal itu semakin berat untuk aku pinta dari ayah, ibu ataupun adik-adikku di rumah
Jika kita bertemu nanti Dan Allah telah persatukan Izinkan aku untuk menjadikan pelukan sebagai sebuah sapaan Terkhusus di antara aku dan kamu Izinkan aku menjadikannya peluruh kerinduan
Di sinilah tulisan ini berakhir Sampai bertemu di tulisan-tulisanku lainnya lagi Jika rindu dan sepi kembali menghampiri Aku akan bicara padamu melalui tulisan seperti ini ------------------ Cilandak, 13 Mei 2025
5 notes
·
View notes
Text
Kamu Telah Tumbuh Hebat
Seperti ada rasa sesal karena telah pergi, tapi juga tidak mau jika diminta untuk kembali lagi. Pernah tidak merasa demikian? Mungkin pada pekerjaan yang kamu lepaskan karena begitu toxic-nya lingkungan di sana, tapi kamu sadar di sana ada duitnya. Cuma kamu tiap bulan masuk IGD.
Mungkin pada hubungan yang kamu akhiri karena nggak jelas kemana arahnya, tapi kamu sadar bahwa di sana kamu bukan tujuannya, bahkan kalian tidak satu tujuan dan satu cara untuk mencapai tujuan. Cuma sayang aja karena kamu udah menjalani ini bertahun-tahun. Tapi kalau suruh balik lagi dengan ketidakjelasan itu, nggak mau juga.
Mungkin pada hal-hal lain yang akhirnya kamu sadar bahwa kamu memang harus melepaskannya, meski ada prasangka bahwa mungkin kamu bisa mengubah keadaannya, hanya perasaanmu saja. Kamu menyadari masih ada hal baik di sana, atau hal yang masih bisa diperjuangkan. Tapi kamu pernah mencobanya.
Akhirnya, kamu berangsur-angsur sadar bahwa kamu, dirimu, kesehatan jiwamu, kesehatan badanmu, masa depanmu, impianmu, valuemu, jauh lebih besar dan lebih penting daripada apapun yang ada di sana.
Artinya, kamu hebat!
(c)kurniawangunadi
117 notes
·
View notes
Text
"Apa bagian tersulit dalam menyadari diri sendiri?"
"Mempertahankannya lebih dari sesaat."
Coba deh pas lagi ngumpul sama orang-orang, iseng tanya, “Kamu sadar nggak sama diri kamu sekarang?”
Hampir pasti mereka jawab, “Sadar.” Karena ya, berkat pertanyaan kita, saat itu juga mereka benar-benar sadar. Tapi itu cuma sebentar. Beberapa detik kemudian, mereka balik lagi ke mode autopilot: ngobrol, ketawa, mikirin hal lain. Sadar dirinya cuma lewat.
Hal yang sama juga terjadi di diri sendiri. Coba deh sadari betapa lemahnya cengkeraman kita pada kesadaran diri kita, betapa singkatnya kontak itu, dan seberapa cepat kita (khususnya perhatian kita) tersapu kembali ke arus pikiran. Bahkan saat kita berpikir, "aku menyadari diriku sendiri," pada kenyataannya kita hanya menyadari pikiran itu, bukan keseluruhan diri kita.
Setelah bertahun-tahun melakukan perjalanan ke dalam diri sendiri, aku tiba pada satu kesimpulan bahwa bagian tersulit dari menyadari diri bukanlah kembali atau menemukannya, melainkan bertahan di sana lebih lama, tetap tinggal, dan tidak langsung pergi ketika dunia mengetuk pintu dengan segala distraksinya.
Mungkin itulah kenapa, kita diminta buat terus berdzikir. Zikir di sini bukan dalam konteks ucapan, melainkan zikir sebagai cara buat kembali. Kembali ke kesadaran, ke momen ini, ke keberadaan yang sering banget kita tinggalkan tanpa sadar.
Karena kesadaran itu gampang banget lepas. Kita bisa niat hadir penuh, lalu satu notifikasi saja cukup buat menculik perhatian kita entah ke mana. Zikir bisa jadi adalah jangkar mindfulness. Satu cara buat kembali ke sini, ke sekarang, ke tubuh ini yang sedang duduk, yang sedang bernapas, yang sedang hidup.
Aku juga jadi ngerti, kenapa zikir dan khusyuk tuh nggak betah. Yang bikin nggak betahnya bukan karena mengingat Allahnya, melainkan karena ketika pertama mengucap kalimat zikir, kita malah dihadapkan langsung pada diri sendiri. Dan ternyata, kita belum siap menemui Allah dalam kondisi menyadari diri yang banyak kurangnya.
Kita jadi sadar: "Oh, ternyata aku belum benar-benar jujur hari ini. Belum sabar. Belum ikhlas. Belum utuh," dan belum belum lainnya. Dan itu berat soalnya nggak ada tempat buat sembunyi. Semua yang biasanya bisa ditutupi sama sibuk dan suara, jadi muncul ke permukaan.
Pengennya kan menemui-Nya dalam kondisi terbaik, tapi sehari-hari kita ternyata memang belum kasih yang terbaik. Zikirnya sih nggak salah. Kitanya yang kurang berani. Karena kita sedang digiring pelan-pelan untuk melihat diri sendiri apa adanya. Dan ternyata, melihat diri sendiri juga butuh keberanian.
Yang perlu di-reframe adalah bahwa kita nggak harus menunggu sempurna dulu untuk hadir. Dalam proses kembali ke kesadaran itu, pelan-pelan kita dibentuk untuk menjadi lebih layak. So, datanglah meski dengan rasa malu, meski dengan diri yang masih compang-camping. Kita sedang belajar pulang sebelum kepulangan sebenarnya. Siapa tahu di tengah perjalanan itu, kita akhirnya bisa betah.
Tapi ya, mari kita jujur. Kemungkinan besar setelah baca ini, kamu juga akan langsung balik ke mode default: mikirin notifikasi, doomscrolling, dan tersapu ke rutinitas harian. Hahaha, aku juga begitu. Memang begitu siklusnya: sadar sebentar, hilang lagi, sadar lagi, hilang lagi. Yang penting jangan lupa sholat untuk reconnect.
— Giza, bahkan pas nulis ini aja nggak sadar telah melewatkan tukang sayur yang sebelumnya lagi ditunggu.
119 notes
·
View notes
Text
Kita sering merasa perlu menjelaskan diri, membela posisi, atau memastikan orang lain mengerti. Padahal, beberapa hal lebih baik dibiarkan berlalu. Tidak semua hal butuh respons. Tidak semua orang layak mendapat jawaban. Dan diam, juga adalah bentuk keberanian untuk tidak ikut bermain dalam dinamika yang melelahkan. Pilah mana yang penting, mana yang hanya sekadar bising.
702 notes
·
View notes
Text
Memaknai Proses
memahami bahwa ada hal yang kita tidak perlu ikut campur. tugas kita itu berikhtiar, bukan mengendalikan hasil. percaya aja, semuanya itu Allah yang atur.
menata pandangan hidup dengan tepat selama berproses. kalau pandangan hidup clear, proses decision making juga bisa lebih singkat.
misal: kalau sudah punya pandangan hidup tentang pernikahan seperti apa, maka memutuskan dengan siapa itu akan menjadi lebih singkat.
cek pandangan hidup kita. perlu cek objeknya apa, pandangan hidup terhadap objek itu seperti apa, dan asalnya dari mana? ini di evaluasi. barangkali ada pandangan hidup yang eror dan justru mempersulit proses kita.
setiap perubahan hanya mengubah keadaanmu, bukan mengubah rezekimu. salah satu hal yang membuat kita takut mengambil keputusan adalah takut rezekinya berkurang. padahal rezeki itu sudah ada yang mengatur, sudah ditentukan.
keadaan yang dijalani hanya tak sesuai dengan ekspektasimu, bukan tak sesuai dengan rencana-Nya. apa yang kita jalani sekarang, ini udah yang terbaik, sesuai dengan rencana Allah.
belajar untuk memahami bahwa proses kitalah yang akan dinilai. hasil akhirnya itu tidak perlu kita kontrol.
kadang kepekaan kita terhadap jawaban dari doa-doa itu, eror. maka dari itu kita butuh kepekaan untuk melihat tanda.
_____________
ini adalah pelajaran setelah melewati proses. exercise value-value ini ke dalam proses masing-masing. dan untuk menginternalisasi satu value, kita harus melewati banyak hal terlebih dahulu.
62 notes
·
View notes
Text
Allah, apapun gemuruh dalam dada ini, semoga lillaah tetap Engkau semayamkan pada diri ini..
Bukan kerja-kerja kita yang diingat orang, tapi kerja-kerja karenaNya yang 'kan selalu terngiang pada diri dan dada setiap kita. Biarkan menjadi cerita dan kenangan indah.. bonus menjadi inspirasi bagi semesta.. karena ridhaNya yang kita tuju sedari awal hingga titik akhir nanti..
149 notes
·
View notes
Text
Manusia Bisa Berencana, tapi Allah yang Menetapkan
Kabar itu datang di siang tenang di hari kedua Ramadhan. Bukan, ini bukan kabar duka atau pun kabar bahagia. Hanya sebuah kabar tentang 'tugas tambahan' untuk seorang individu di bulan ini.
Rasanya baru Jumat kemarin, aku berjalan pulang bersama temanku. Aku berkata tentang, apakah mungkin kebiasaan jalan kaki yang sedang kami biasakan ini dijalani di bulan Ramadhan nanti?
Ketika itu, ada sedikit harap tenang.. bahwa rencana ini akan berjalan mulus. Tapi kembali, Allah yang Maha Menetapkan. Qadarullah, rencana berjalan kaki pulang-pergi menuju stasiun harus diurungkan selama Ramadhan ini.
Tak bisa dipungkiri ada sedikit kecewa dan tidak nyaman. Namun, semoga apa yang telah ditetapkan akan membawa kebaikan. Bisa jadi 'kebaikan' itu belum nampak sekarang. ---- Kebayoran Ahad, 2 Ramadhan 1446 H
1 note
·
View note
Text
Bertambah dewasa juga berarti belajar memahami, bahwa meminta tolong dan menerima pertolongan adalah bagian dari kekuatan.
karena diciptakannya manusia lain untuk menyadarkan kita bahwa hakikatnya, kita tidak pernah sendirian di dunia ini. Kehadiran orang-orang yang dengan tulus memberikan dan menawarkan bantuan barangkali merupakan jawaban dari doa-doa yang selama ini kita pinta untuk diberikan kemudahan dalam hidup.
Maka jangan menghindar dari jawaban doa yang selama ini telah kamu tunggu-tunggu.
@milaalkhansah
184 notes
·
View notes
Text
There is khair behind everything.
Kukira menjadi dokter itu banyak mengajarkan pasien. Ternyata, justru dokter yang seringkali lebih banyaak belajar dari pasien.
-
Selama 6 bulan terakhir di US sebagai clinical research fellow, alhamdulillah aku berkesempatan bertemu banyak pasien, yang jadi perantara pesan-pesan dari Allah.
2 bulan lalu misalnya: keluarga muslim dari Scotland itu.
Pasien ini seorang anak ini usia belasan tahun, di kursi roda karena spastisitas pada kakinya. Iya, anak ini didiagnosis penyakit langka, ia satu dari lima pasien yang sama di dunia. Ia sering tertawa. Walau mungkin tawanya bagian dari penyakitnya: stereotypical laughter.
Ibunya teduh sekali, dalam hijab putihnya. Ayahnya tampak sederhana, masih muda dan aksennya Scottish-nya begitu kental sehingga sulit dipahami. Haha. Adiknya juga ikut menemani, kalem dan malu-malu duduk di sebelahku sepanjang klinik.
Selepas konsultasi 1,5 jam hari itu, kami saling mengucap salam, beliau memberikan tim kami hadiah cokelat dan kue.
Kami berpisah, keluarga beliau menuju lab untuk sampling darah. Setelah mengurus berkas dan lainnya, aku bersiap ke rehat pekananku: shalat Jum’at, yang biasa diadakan di hall dari dormitory building-nya Harvard Medical School. Letaknya di seberang Boston Children’s.
Hari itu suhu sudah negatif, menjelang musim salju. Aku berjalan dalam dingin, walau alhamdulillah ada matahari! Masih pukul 12 lewat, aku mampir beli makan dulu deh, batinku.
Dan di momen itu lah aku berpapasan dengan keluarga itu lagi.
“Assalamualaikum! Do you want me to help you take the pictures?”
Aku menyapa dan menawarkan untuk mengambil foto mereka sekeluarga yang sedang berfoto di depan gedung kedokteran kami.
“Waalaikumussalam! No worries it’s fine! Thank you.”
Ibunya menjawab dengan senyum dan hangat.
“MashaAllah it is so nice to see you. There is going to be a Jummah prayer here, if you’d like to join.”
“We are heading to the masjid actually, we heard it’s pretty close.”
“Ahh yes, it is walking distance, it’s a beautiful masjid, and with this beautiful weather you should definitely go there.”
Kami akhirnya mengobrol sebentar di courtyard Harvard yang hijauuu dan cantik itu.
Mereka bercerita, mereka dari keluarga Pakistan, walau sudah lama menetap di Inggris.
Aku bercerita lebih detail background-ku dokter dari Indonesia dan sekarang sedang melakukan penelitian tentang kasus-kasus penyakit neurogenetik langka.
“I am always inspired by my patients and their family. You guys are the reason we are doing research.”
“Thank you! Thank you for doing this.”
Tiap keluarga pasien berkata demikian, selalu membuatku merinding. Research di penyakit langka itu kadang sangaaat membuat frustrasi haha, tapi di saat yang bersamaan: sangat mengisi ruang hati. Fulfilling and rewarding.
“InshaAllah, may Allah give you strength and may Allah make it easy.” Aku mendoakan mereka.
Tapi jawaban sang ibu, membuatku berkaca-kaca:
“Aamiin. It’s okay! We believe that there is always khair in everything.”
Deg. Iya ya, selalu ada kebaikan dalam setiap skenario Allah. Beliau mengatakan itu sambil tersenyum lebar dan muka berseri-seri. Bagiku, mereka telah diuji dengan penyakit yang merenggut masa muda anaknya. Telah mengubah hidup keluarga ini, berobat kesana kemari, mencari jawaban hingga 7000 kilometer dari rumah.
"We have eeman, we'll be okay.”
Dan kalian tau apa? Beliau dengan senyumnya berkata:
"The dunya is temporary anyways.”
Kata-kata itu menghujam dalam.
Aku merasa iba pada mereka, padahal mereka sedang menabung banyak amal shalih untuk akhirat mereka. Aku harusnya iba pada diriku sendiri.
Aku merasa kasihan, padahal justruuu Allah sedang meninggikan derajat mereka dengan ujian tersebut. Aku harusnya mengasihani diriku sendiri.
Aku merasa simpati berlebih, padahal Allah hadiahkan mereka sarana penggugur dosa yang terus menerus dengan sakitnya itu. Aku harusnya bersimpati pada diriku sendiri.
Aku tersenyum, malu. Mereka keluarga yang ketaqwaannya begitu terpancar, pesona iman yang menghibur hatiku yang terlalu sering terlena ini.
Kami berpamitan, saling mengucap salam dan doa, dan sang ibu memberi pelukan hangat.
Hari itu aku banyak terdiam, ya Allah, semoga kami bisa menjadi perantara-Mu dalam kesembuhan untuk mereka. Sebagaimana mereka memberi kesembuhan untuk hatiku.
-h.a.
Boston, Desember 2024
164 notes
·
View notes
Text

Terkadang, satu pertemuan berisi obrolan singkat sudah cukup. Cukup untuk meredam segala pikiran liar dari berbagai kekhawatiran. Sebentar... Menertawakan nasib yang berputar-putar dalam lintas rotasi yang sama berulang kali.
Usia 30-3 ini cukup menarik. Berada di tengah-tengah antara 25 dan 30. Antara merasa 'ahh rasanya baru kemarin masuk 25' hingga masuk ke perasaan 'yaampun, sedikit lagi aku 30 😭'
So far, sejauh ini... Pukulan paling telak itu di usia 26. Ada aja ujiannya.
1 note
·
View note
Text
Mungkin yang lebih menyedihkan bukan lagi menangis, tetapi malah tidak lagi pernah menangis. karena menangis ataupun tidak, keadaan tidak lantas menjadi lebih baik.
semakin hari, semakin terlatih juga kita untuk merasa biasa-biasa saja saat kita sebenarnya tak lagi baik-baik saja.
246 notes
·
View notes
Text
Mungkin yang lebih menyedihkan bukan lagi menangis, tetapi malah tidak lagi pernah menangis. karena menangis ataupun tidak, keadaan tidak lantas menjadi lebih baik.
semakin hari, semakin terlatih juga kita untuk merasa biasa-biasa saja saat kita sebenarnya tak lagi baik-baik saja.
246 notes
·
View notes