Tumgik
najwahafshah · 1 year
Text
Misterius
Aku ingin menjadi sosok yang misterius. Menurut KBBI, kata “misterius” memiliki arti penuh rahasia; sulit diketahui atau dijelaskan (karena tidak jelas tanda-tandanya dan sebagainya). Keinginan untuk menjadi sosok yang misterius ini adalah sesuatu yang bersifat timbul tenggelam. Tidak setiap hari dan tidak selalu. Saat aku sedang ingin, aku selalu berasusmsi bahwa menjadi seorang gadis yang misterius merupakan hal yang keren dan elegan sebab aku mengasosiasikan kondisi misterius dengan kemampuan yang baik dalam diri seseorang untuk mengendalikan emosi yang ada di dalam dirinya. Dia tidak oversharing. Bisa memilah dan memilih hal-hal apa saja yang perlu dan apa yang tidak perlu untuk dibagikan kepada publik—dan seringnya ia terlihat seperti tidak pernah berbagi apa pun. 
Kadang-kadang aku merasa bahwa keinginanku untuk menjadi misterius tidak hanya berhenti menjadi sebuah keinginan. Keinginan tersebut dapat naik tingkat menjadi suatu obsesi. Saat keinginan sudah berubah menjadi suatu obsesi, dampak yang dihasilkan hanyalah sesuatu yang sifatnya lebih ke arah destruktif dibanding konstruktif. Aku jadi merasa bahwa aku dan berbagai aktivitasku yang tidak linier dengan bagaimana menjadi sosok yang misterius, segalanya adalah buruk. Jika sudah begitu, pada akhirnya aku akan kesulitan mencari sisi baik yang ada di dalam diriku. Lalu aku menjadi murung dan tidak bersemangat untuk melakukan aktivitas apa pun. 
Sampai di sini, pasti masih belum benar-benar tergambar seperti apa wujud dari menjadi sosok misterius yang aku inginkan. Tentu, akan sulit untuk menemukan gambarannya karena definisi operasionalnya sama sekali belum aku tuliskan. Tidak usah berharap aku akan menuliskannya sebab aku pun kebingungan menentukan bagaimana definisi operasionalnya. Adapun yang aku tuliskan di paragraf awal—tentang tidak oversharing dan bisa memiliah dan memilih hal-hal apa saja yang perlu dan apa yang tidak perlu untuk dibagikan kepada publik—bukanlah sebenar-benarnya definisi operasional yang kemudian akan bisa memberikan gambaran “misterius” dengan jelas.
Bukan Takdirku
Aku senang saat diriku sedang terlepas dari keinginan maupun obsesi untuk menjadi misterius. Untuk apa aku memaksa diriku menjadi sosok yang misterius jika ternyata aku tidak ditakdirkan untuk itu. Aku menjadi terobsesi karena selama ini aku merasa sangat kesulitan untuk menjadi sosok yang demikian. Orang-orang misterius itu terlihat begitu mudah untuk menjadi misterius. Terlihat seperti tak ada beban atau kesulitan apa pun. Tapi mengapa tidak begitu halnya dengan aku? Aku justru merasa cukup tertekan. Aneh; aku sangat ingin, namun aku tertekan. Jadi, sebenarnya ini keinginan siapa? Keinginan dari mana? Seperti hatiku tidak pernah benar-benar menginginkannya. 
Berbeda tempat, berbeda komunitas, berbeda waktu; berbeda image. Kira-kira seperti itulah yang terjadi pada diriku, pun terjadi pada sebagian manusia yang lain. Menjadi misterius sepertinya kurang cocok untuk aku paksakan menjadi image yang melekat pada diriku. Itu akan bertentangan dengan persona yang sudah aku bangun di tempat dan komunitas mana pun aku pernah berada. Bagaimana aku bisa menjadi misterius dan tersembunyi manakala aku sangat senang untuk dapat terlihat? Bagaimana bisa aku menjadi misterius dan mengindari atensi manakala aku sangat senang untuk mendapatkan atensi? Bagaimana bisa aku menjadi misterius dan mudah berpuas diri manakala aku sangat senang untuk bereksplorasi? 
Apa itu menjadi misterius? Menjadi misterius dengan diam-diam berharap bahwa aku bisa segera menjadikan akun Tumblr yang banyak menceritakan hal-hal yang sangat bersinggungan dengan masalah personal ini layak untuk diakses oleh publik? Aku melihat adanya kontradiksi di sini. Segala wacana untuk menjadi misterius hanyalah omong kosong. Aku tidak memiliki argumentasi yang logis sama sekali untuk menjalankan wacana ini. 
Sudut Pandang
Keinginan untuk menjadi sosok yang misterius ini aku simpulkan merupakan suatu wacana yang muncul dari dorongan kondisi emosional sesaat. Menjadi misterius secara sekilas terlihat menyenangkan, membuat diriku merasa aman dengan bersembunyi di balik cangkang. Aku ingin menjadi misterius karna aku takut berbuat kesalahan. Aku ingin dianggap baik lalu orang-orang akan mengatakan, “Masyaallah, Ukhty Aqid.” Motivasi yang sereceh dan sedangkal itu. Apabila diteruskan, hal itu akan menghambatku untuk bisa menebarkan kebaikan dan kebermanfaatan secara lebih luas. 
Jika sudah berbicara mengenai peran dan kebermanfaatan, aku perlu membuka pikiran dan melebarkan sudut pandang. Tidak relevan lagi bagiku untuk menilai segala sesuatunya dari sudut pandang yang bersifat individualistik semata. Ada benarnya bahwa sebagian besar orang tidak akan begitu peduli mengenai berbagai hal terkait dengan diriku, namun itu tidak bisa aku jadikan sebagai alasan untuk membiarkan diriku menjadi benar-benar tidak terlihat ketika aku bisa berupaya menjadi terlihat dengan membawa segudang kebaikan. Aku tidak perlu takut. Aku tidak perlu risau. Aku hanya perlu fokus pada kebaikan apa yang bisa aku kerjakan selanjutnya. 
11.03.2023
2 notes · View notes
najwahafshah · 1 year
Text
Libur Semester
Kuliah semester ini telah usai, libur yang belum officially kini dimulai. Gimana tuh definisi libur yang belum officially? Definisinya adalah, sudah tidak ada kelas perkuliahan, tapi masih mengerjakan revisian tugas-tugas kuliah supaya nilai akhir mata kuliah yang bersangkutan bisa optimal. Intinya, aku sudah bisa menjalani hari-hari dengan sedikit lebih santai dari biasanya. Aku sudah bisa lebih leluasa untuk menjalankan hobi-hobiku yg selama ini terlihat kurang tersalurkan. Tapi, hobiku apa, ya? Apakah aku memiliki hobi lain selain… merindukannya? Oh, tunggu, merindukannya itu sepertinya kurang cocok aku sebut sebagai sebuah hobi; aku lebih senang menyebutnya sebagai sebuah kecanduan. Rindu adalah candu.
Dia yang aku rindu adalah sosok yang hadirnya menjadikan aku merasa cukup. Cukup pada dirinya aku menambatkan hati. Cukup hadirnya untuk mengurai rasa sesak yang sering datang tanpa permisi. Sekilas, tak ada yang terlihat istimewa dari sosoknya. Semuanya serba biasa saja. Jika aku sebut namanya, aku yakin tak banyak orang yang akan mengenalnya. Sebagian akan bertanya; jika begitu adanya, mengapa rinduku padanya selalu saja membara? Itu karena aku bisa melihat keindahannya. Keindahan yang sulit terlihat oleh mata dan dirasakan oleh hati kebanyakan orang sebab ia sangat pemilih kepada siapa keindahannya akan ditampakkan. Aku mencintai indahnya; ketulusannya, lembut hatinya, loyalitasnya, kesetiaannya, kerja kerasnya, baik tuturnya, kecerdasannya, dan masih banyak yang lainnya.
Kembali ke topik mengenai hari libur, aku sudah memiliki daftar beberapa agenda yang akan aku lakukan selama libur kuliah. Libur kuliah versiku tidaklah bermakna bahwa aku akan benar-benar libur. Santai, tapi hanya sedikit. Aku masih memiliki tanggungan menyelesaikan tanggung jawab di organisasi fakultas hingga masa kepengurusan berakhir dan aku masih harus bekerja di rumah sakit setiap hari. Oleh karenanya, aku tidak bisa dengan leluasa menghabiskan libur semester sepenuhnya untuk bersantai-santai dan bersenang-senang.
Aku melewati kehidupan di semester tiga dengan cukup santai dan bahagia. Indikator dari cukup santai dan bahagia yang aku sebutkan adalah aku menjalani semester ini dengan lebih sedikit drama mengenai kondisi naiknya asam lambung akibat dari rasa khawatir yang berlebihan dibandingkan dengan semester-semester sebelumnya. Aku senang bisa mengendalikan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaanku secara lebih baik. Aku belajar mengenai kosep "tak perlu banyak dipikirkan, cukup kerjakan". Itu berlaku untuk pekerjaan apa pun. Berpikir secara matang memang penting, namun terlalu banyak berpikir hanya akan membuat pening. Prinsipnya adalah "just do it!", kerjakan saja. Kita akan menemukan jawaban dari setiap kebingungan dan ketidaktahuan seiring sejalan dengan sejauh mana kita telah menempuh upaya untuk mengerjakan dan menyelesaikan tugas-tugas yang ada. Selesai itu lebih penting dari sempurna. Tidak perlu sempurna, yang penting selesai. Akan tetapi, jika bisa keduanya, selesai dengan sempurna, mengapa tidak?
Libur tlah tiba, hatiku gembira. Badanku akhirnya naik beratnya. Kenaikan berat badan untuk mencapai target ukuran lingkar lengan atas (LILA) minimal 23,5 cm tanpa aku sangka-sangka bisa aku dapatkan dengan begitu effortless. Target menaikkan berat badan yang awalnya aku pikir akan membutuhkan perjuangan besar, di kondisiku yang sekarang, ternyata untuk mendapatkannya aku tidak perlu untuk sedikit pun merasa berjuang. Aku butuh memiliki LILA minimal 23,5 cm untuk persiapan kehamilan. Meskipun belum tahu kapan pastinya aku akan menikah, apalagi hamil, tidak ada salahnya mempersiapkan kehamilan mulai dari sekarang. Kehamilan merupakan proses yang krusial sebagai awal proses mendidik dan membesarkan seorang anak manusia. Maka alangkah baiknya apabila kehamilan itu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Persiapan fisik, mental, sekaligus finansial.
26.12.2022
0 notes
najwahafshah · 2 years
Text
Adrenalin
Kali ini, aku tidak tahu akan menuliskan tentang apa di sini. Yang aku tahu hanyalah bahwa saat ini aku sedang ingin menulis. Sesungguhnya pikiranku begitu riuh. Aku sangat berharap bisa menguraikan keriuhan ini sedikit. Meredam kadar adrenalin yang sempat begitu tinggi. Sungguh aneh, jantungku secara tiba-tiba berdebar dengan begitu kencang tanpa aku tahu pasti apa penyebabnya. Apakah ini akibat dari mendapatkan asupan Mixue sundae dan milk tea sekaligus di waktu sore tadi? Kebetulan tadi juga merupakan pengalamanku mencoba Mixue untuk yang pertama kali.
Beberapa hari terakhir, Depok hampir setiap hari diguyur hujan angin. Hujan menjadikan suasana sendu. Sendu yang menghadirkan banyak rindu. Membuatku bertanya, "Apakah sosok-sosok yang aku rindu, juga pernah mampir kepadanya kerinduan terhadapku?" Begitu mudahnya seseorang hadir di dalam hidup dan tak kalah mudah baginya untuk kemudian pergi. Kepergian yang pada akhirnya menjadikan kita terpisah satu sama lain. Kita terpisah; secara fisik, secara hati, atau bahkan keduanya.
Kita berkelana masing-masing. Memperjuangkan hidup masing-masing. Bergulat dengan masalah masing-masing. Masing-masing yang terkadang di kemudian hari mampu menjadikan kita sebagai sosok yang asing. Aku seperti tak lagi mengenalmu. Engkau pun seperti tak lagi mengenalku. Aku dengan jalan hidupku. Engkau dengan jalan hidupmu.
Hari ini tadi ada acara yang menarik di kampus. Acara itu diselenggarakan oleh teman-teman himpunan ekstensi. Aku sempat ingin hadir untuk dapat melihat secara langsung wajah dari teman-teman kelas ekstensi yang selama ini hanya aku lihat melalui layar zoom dan akun instagram mereka masing-masing. Tapi apalah daya, jiwa introvertku sedang meronta-ronta dengan kuat. Aku tak mampu melawannya. Lalu aku hanya tinggal di kos seharian dan tidak pergi ke mana-mana. Energi sosialku sudah banyak terkuras di tempat kerja.
Semenjak aku menginjakkan kaki di Jakarta, dan sekarang di Depok, aku memiliki sebuah wishlist sederhana untuk mengisi kegiatan tiap weekend, yaitu dengan jalan-jalan ke museum-museum yang ada di Jakarta, sendirian. Aku ingin mengencani diriku sendiri. Hanya ada aku dan diriku. Aku mencintai perjalanan yang sering aku lakukan sendiri. Dari sana, aku jadi lebih mengenal siapa aku karena aku berada dalam kondisi yang sangat intim dengan diriku. Perjalanan dan kesendirian, suatu kombinasi yang mampu menciptakan keintiman yang nyata, meskipun tak kasat mata.
15.10.2022
0 notes
najwahafshah · 2 years
Text
Resign
Aku kembali, hari demi hari, lagi dan lagi, memandangi warna-warni. Warna adalah cahaya. Warna adalah suatu niscaya. Dan aku selalu percaya. Proses mendewasa tak pernah mudah dan sangat berdarah-darah. Namun dengannya, berdirilah sosok diriku yang seperti sekarang. Aku yang lebih kuat. Aku yang lebih mampu untuk bersabar. Serta aku yang semakin berani untuk mengakui kekurangan dan kesalahan, baik kepada diriku sendiri maupun kepada orang lain. Aku nikmati pahit getirnya. Aku rindui asam garamnya.
Setiap tahun yang aku lalui dalam hidup memiliki episode dengan kisahnya masing-masing. Episode hidup di tahun 2022 aku buka dengan sebuah keputusan untuk resign dari tempat aku bekerja di Jakarta. Permulaan episode yang menarik, bukan? Aku resmi resign pada 7 Januari 2022 setelah mengajukan surat pengunduran diri tepat satu bulan sebelumnya, yaitu pada 7 Desember 2021. Setelahnya, pada 8 Januari 2022, aku mengucapkan selamat tinggal kepada Jakarta untuk kembali ke kampung halaman. Nampaknya, 10 bulan sudah cukup bagiku untuk merasakan dinamika bekerja di Jakarta.
Sebelum memutuskan untuk resign, ada banyak hal yang perlu untuk aku pertimbangkan serta pikirkan matang-matang. Memastikan bahwa keputusanku bukan semata-mata dilandasi oleh sikap emosional. Aku butuh untuk memiliki alasan-alasan rasional. Keputusan yang sekiranya tidak akan membuatku menyesal di masa yang akan datang. Pun aku tidak ingin mengambil suatu keputusan dengan niatan untuk membuat semua orang merasa senang karna itu hanyalah sebuah kemustahilan.
Apa pun yang melatarbelakangi keputusanku untuk resign dalam waktu kurang dari satu tahun bekerja, terdapat banyak sekali pelajaran yang pada akhirnya aku dapatkan dari sana. Pelajaran yang menurutku amat mahal nilainya dan tidak semua orang bisa dapatkan. Alhamdulillah 'ala kulli hal. Aku memiliki banyak tambahan bekal untuk menjalani hari-hari ke depan. Langkah-langkah kecilku di atas bumi jadi semakin memiliki makna.
Kepulanganku menjadikan aku merasa perlu untuk kembali menyusun ulang rencana-rencana kehidupan, terutama terkait dengan masalah karir dan pendidikan. Selama di rumah, aku masih tetap sibuk dengan aktivitas kuliah yang memasuki semester kedua. Kuliah masih dilaksanakan secara daring sehingga meskipun aku tidak lagi berada di Jakarta, aku tetap bisa mengikuti jalannya perkuliahan. Yang kemudian menjadi keresahanku adalah dengan melihat tren kasus COVID-19 di Indonesia yang sudah mulai terjadi banyak penurunan, bukan tidak mungkin sewaktu-waktu perkuliahan akan kembali menggunakan sistem luring, yaitu adanya kuliah tatap muka secara langsung di kampus UI Depok. Itu artinya, mau tidak mau suatu saat aku perlu untuk kembali memiliki pekerjaan di daerah Depok atau sekitarnya.
Apabila benar nantinya perkuliahan akan dilaksanakan secara luring, aku perlu untuk tinggal di daerah yang dekat dengan kampus. Untuk tetap bisa menyambung hidup, aku harus bekerja karna biaya hidup di sekitaran kampus tidaklah murah. Tentu aku membutuhkan pekerjaan yang dengan pekerjaan itu tetap memungkinkan bagi diriku untuk dapat menjalani aktivitas kuliah dengan baik. Gampang-gampang susah mencari tempat kerja yang memberikan dukungan bagi karyawan agar bisa menjalankan aktivitas kuliah di balik kesibukan pekerjaan, terutama bagi karyawan yang baru masuk kerja di tahun pertama.
Aku kembali menjadi seorang pencari kerja. Satu per satu lamaran pekerjaan aku kirimkan ke beberapa klinik dan rumah sakit yang berada di wilayah Depok dan Jakarta. Beberapa lamaran yang aku kirimkan berhasil membuatku mendapatkan panggilan tes dan wawancara. Aku jalani itu semua, meski kemudian aku harus dihadapkan dengan penolakan demi penolakan yang sangat menguji kesabaran, kesungguhan, dan keyakinanku akan terjawabnya doa-doa yang selama ini aku panjatkan. Aku hanya menjalankan tugasku untuk berikhtiar dengan sebaik-baiknya. Perkara hasil, Allah yang akan menentukannya. Ketentuan dan pilihan Allah pastilah itu yang terbaik.
Benar, ketentuan dan pilihan Allah adalah yang terbaik. Alhamdulillah, awal Juni aku sudah kembali mendapatkan pekerjaan di rumah sakit swasta di daerah Depok, Jawa Barat. Sekarang sudah memasuki bulan ketiga aku kembali bekerja. Aku bahagia dengan pekerjaanku dan sangat bersyukur memiliki rekan kerja yang sangat suportif dengan kondisiku yang masih berusaha menyelesaikan kuliah. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang berharga ini. Kuliah dan bekerja, keduanya akan aku jalani dengan sebaik-baiknya.
01.09.2022
1 note · View note
najwahafshah · 3 years
Text
Menabung Rindu
Sudah terhitung sembilan bulan lamanya aku menapakkan kaki di Jakarta. Sembilan bulan lamanya pula aku menabung kerinduan dengan keluarga. Ini adalah rekor terlama aku pergi merantau tanpa pulang ke rumah. Dulu semasa di Jogja, waktu terlamaku tidak pulang hanya sekitar 3 – 4 bulan. Salah satu alasan mengapa aku memutuskan untuk tidak pulang dalam kurun waktu sembilan bulan ini adalah karena aku belum mendapatkan hak cuti dari rumah sakit tempat aku bekerja. Hak mendapatkan cuti sebanyak 12 hari dalam satu tahun baru bisa didapatkan oleh mereka yang sudah bekerja lebih dari 12 bulan. Tentu aku merasakan sedih, sebab ini menjadi momen pertama pula selama 23 tahun aku hidup tidak berkumpul bersama dengan keluarga pada saat Idul Fitri. Hari raya jadi terasa sangat sepi.
Sekarang ini aktivitasku di Jakarta sudah bukan hanya sebatas bekerja. Per 20 Agustus 2021, aku sudah resmi menjadi mahasiswa S1 Ekstensi Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Tiap Senin sampai dengan Jumat, aku bekerja pukul 07.00 – 14.00, kemudian di sore harinya mulai pukul 16.00 aku kuliah. Khusus di hari Sabtu, aku kuliah pukul 10.00 – 12.30 dan bekerja pukul 14.00 – 21.00. Kuliah masih full dilaksanakan secara daring. Dengan jadwal kerja dan kuliah yang sedemikian rupa tersebut, hari-hari yang aku lalui di sini seringkali terasa sangat melelahkan. Seringkali lelahnya bukan hanya secara fisik, psikis pun ikut lelah. Dengan kesadaran yang penuh, aku memahami bahwa rasa lelah ini merupakan bagian dari konsekuensi atas keputusan yang telah aku ambil, yaitu keputusan untuk kuliah sembari bekerja.
Melanjutkan kuliah ekstensi dari D3 ke S1 di Universitas Indonesia sudah menjadi sesuatu yang aku impikan semenjak aku masih seumur jagung menjalani kuliah D3 di UGM, yaitu semenjak tahun 2016. Dari 2016 hingga 2021, aku terus menjaga agar impian itu tetap hidup. Untuk bisa sampai pada di titik ini, jalan yang aku lalui cukup terjal dan berliku, terutama ketika menjalani hari-hari perkuliahan di UGM. Aku sempat merasakan menjadi mahasiwa “kuliah segan, DO tak mau”. Ada banyak fase ketika aku ingin berhenti di tengah jalan. Aku bingung dengan kondisiku. Terlalu banyak hal yang salah dengan diriku sedari awal masuk kuliah dan dampaknya baru sangat terlihat dan terasa saat aku sudah memasuki semester akhir D3. Semuanya berdampak terhadap prosesku dalam menyelesaikan Tugas Akhir D3. Namun dengan adanya pertolongan Allah, jalan terjal dan berliku menuju menjadi mahasiswa ekstensi di UI alhamdulillah bisa terlewati. Allah izinkan aku untuk meraih salah satu impian dari banyak impian yang aku pintakan kepada-Nya.
Akibat sudah sangat disibukkan dengan aktivitas kerja serta kuliah yang menguras banyak waktu, energi dan pikiran; boleh dibilang selama berada di Jakarta aku belum pernah pergi ke mana-mana. Masih sedikit sekali aku menjelajah; aku masih merasa buta akan gemerlap ibukota yang kerap ditampilkan di layar kaca. Di hari Ahad pun, atau di hari-hari libur nasional yang notabene kerja dan kuliahku juga libur, aku lebih sering memilih untuk menikmati hari libur dengan banyak beristirahat di kos. Selain karena merasa sudah kehabisan energi untuk pergi ke luar berpetualang akibat sangat padatnya aktivitas pada hari-hari sebelumnya; semenjak kuliah, hari Ahadku tidak pernah menjadi hari yang benar-benar menenangkan. Ada beban tugas kuliah yang perlu aku selesaikan. Baik tugas itu berupa tugas kelompok maupun tugas individu. Ibarat, dalam menjalani hari-hari perkuliahan sebagai mahasiswa ekstensi di UI, tiada hari tanpa memikirkan tentang tugas-tugas kuliah. Selesai satu, tumbuh lagi seribu tugas yang lain.
Hari-hari yang aku lalui di Jakarta bukanlah hari-hari yang mudah. Orang lain kadang melihat bahwa aku sangat beruntung bisa bekerja di ibukota sekaligus kuliah di salah satu kampus bergengsi di Indonesia (lagi). Dan tidak bisa dipungkiri, aku pun merasa beruntung dengan berbagai rizki yang Allah percayakan padaku saat ini, termasuk rizki mendapatkan pekerjaan dan rizki untuk melanjutkan pendidikan. Tapi mari kita kembali ke konsep bahwa setiap hamba Allah pasti akan diuji. Untuk apa sih ujian-ujian itu? Yaitu untuk mengetahui bagaimana keimanan seorang hamba kepada Rabb-Nya, juga sebagai tanda kasih sayang Rabb kepada hamba-Nya. Di Jakarta kota sejuta harapan bagi jutaan umat manusia ini, aku diuji dengan bermacam-macam ujian yang membuatku merasa benar-benar ditempa oleh kehidupan. Ditempa oleh berbagai realita hidup yang disajikan di depan mata. Dan ternyata benar, masa-masa sekolah dan masa-masa kuliah adalah sebahagia-bahagianya masa dalam hidup. Inilah barangkali yang disebut dengan naik level. Makin ke sini, Allah tambah level masalah. Allah tambah level ujian kesabaran. Allah ingin tahu sampai sejauh mana kita bisa berbaik sangka akan ketetapan-ketetapan-Nya manakala ujian yang Ia berikan kadang terasa berada di luar nalar untuk bisa dilalui.
Menjelang akhir tahun 2021 ini, aku sangat bersyukur atas progress yang telah aku peroleh di tahun ini. Aku sangat berterima kasih kepada diriku yang sudah bersedia untuk keluar dari zona nyaman, berjuang, bersabar, belajar dari kesalahan-kesalahan, dan berdamai dengan masa lalu. Aku sadar, PRku sekarang masih banyak; utamanya PR untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kapasitas diri. Insyallah ke depan aku masih akan terus memperbaiki apa yang kurang satu per satu dan terus belajar tentang hal apa pun yang bermanfaat bagi diriku. Aku berkeinginan untuk berusaha mengembangkan kemampuanku dalam menulis. Aku akan menyusun strategi agar kemampuan menulisku dapat berkembang dengan baik. Tujuan utamanya adalah supaya aku bisa memberikan kebermanfaatan  yang lebih luas bagi orang lain melalui tulisan-tulisanku. Sesuatu yang dari dulu selalu menjadi ingin, namun masih selalu berakhir dengan sekadar menjadi angan.
0 notes
najwahafshah · 3 years
Text
Cerita Baru
Welcome, Agustus!
Sangat terasa ya, 2021 sudah berjalan lebih dari separuh waktu. Aku merasa perlu untuk sedikit mendokumentasikan jungkir-balik yang terjadi dalam tahun manakala usiaku menginjak angka 23. Sudah bukan lagi remaja, namun dewasa pun rasanya juga belum pantas untuk dikatakan begitu. Usia tanggung. Aku telah mendapatkan sebuah inspirasi mengenai berdoa sebelum membuat sebuah tulisan, yaitu agar tulisan yang dibuat nantinya bisa sampai kepada orang yang membutuhkan. Dari sana, aku pun berharap apa yang aku tulis sekarang bisa berguna bagi orang lain. Setidaknya untuk mengobati rindu akan kabar bagi orang-orang yang merindukan kabar dari diriku. Tentu, jika ada yang rindu. Jika tidak ada, itu lain urusan. Akan tetapi di sisi lain, aku ingin menulis dengan seolah-olah tidak akan ada seorang pun yang akan membacanya selain aku seorang karna aku ingin menulis dengan bebas dan tanpa beban.
Di tahun ini, kakiku baru saja menginjak pada sebuah fase hidup sebagai seorang karyawan di sebuah rumah sakit swasta di daerah Jakarta Pusat. Benar, sekarang aku sudah bekerja. Sebagai sebuah awal dalam meniti karir, aku senang karena Allah memberikan kekuatan agar tangan dan kakiku mampu untuk benar-benar berupaya dan berjuang. Allah memberikan banyak kemudahan. Allah berikan kepadaku keberanian untuk keluar dari zona nyaman. Semuanya berawal dari hasil suatu perenungan, bagaimana aku tahu ukuran kemampuan dan kepantasanku untuk Allah berikan kesempatan merasakan dunia kerja yang sesungguhnya jika aku tidak terlebih dahulu memberanikan diri untuk memulai sebuah langkah? Hasil perenungan itu membawaku pada sebuah aksi untuk terus secara aktif berusaha mencari lowongan pekerjaan mulai awal Februari. Menjelang Februari akhir, pencarianku mulai membuahkan hasil. Aku mendapat panggilan untuk psikotest dari HRD di rumah sakit tempat aku sekarang bekerja. Sesuai dengan latar belakang pendidikan, aku melamar untuk menempati posisi sebagai seorang perekam medis.
Saat mendapatkan telfon panggilan untuk melaksanakan psikotest, kondisiku pada saat itu adalah sedang berada di luar rumah. Sekitar pukul tiga sore, aku pergi keluar untuk membeli frame kacamata sekaligus lensa yang baru karna frame kacamataku yang sebelumnya patah tertindih badan. Usai membeli kacamata, aku mampir ke sebuah warung sate. Telfon berdering manakala aku sedang asik menikmati setusuk demi setusuk sate bersamaan dengan nasi gule dan es teh. Setelah selesai mengangkat telfon dan mendapatkan kabar yang membuat perasaanku tak karuan itu, sontak nafsu makanku hilang begitu saja. Aku sudah tidak bisa menelan nasi. Sate yang tinggal tiga tusuk dari sepuluh tusuk sate yang disajikan akhirnya aku minta untuk dibungku saja, lalu aku bawa pulang. Sepertinya aku terlalu bahagia. Masih tidak menyangka, padahal aku baru mengirim lamaran pukul 04.00 subuh. Betapa kaget diriku ketika pukul 16.00 HRD sudah menelfon dan memintaku untuk hadir psikotest yang akan dilaksanakan 4 hari semenjak hari itu di Jakarta.
Aku bolak-balik dua kali Ngawi-Jakarta sebelum akhirnya mendapat pemberitahuan bahwa aku dinyatakan diterima sebagai karyawan. Kali pertama adalah untuk psikotest, kali keduanya untuk medical check up. Dua kali bolak-balik tersebut terjadi dalam kurun waktu kurang lebih dua minggu. Rasanya sungguh mantap. Pulang-pergi sendirian. Bermodalkan bismillah, sing penting yakin, dan doa dari kedua orangtua. Ajuin lamaran sendiri, datang tes ini itu sendiri; murni tanpa orang dalam. Kekuatan terbesar yang membuat aku yakin untuk kembali merantau setelah sebelas bulan lamanya tinggal di rumah adalah support dari orangtua dan orang-orang tersayang. Bahkan aku sepertinya tidak akan seberani ini pergi sendirian ke Jakarta jika bukan karna ibuk yang memberikan aku saran. Iya, ibuklah yang menyarankan aku agar mencari kerja di wilayah Jakarta. Lebih detailnya lagi, Jakarta Pusat. Biar aman dari banjir, kata beliau.
Selain dalam rangka mencari pekerjaan, kepergianku ke Jakarta dilatarbelakangi oleh cita-cita untuk kembali melanjutkan studi di Universitas Indonesia. Aku masih ingin kuliah. Aku masih ingin menikmati perjuangan belajar di universitas. Menjalani ekstensi pendidikan dari D3 ke S1 yang memakan waktu tidak sebentar. Aku ingin mencoba peruntunganku di tahun ini. Sekarang sedang dalam proses menunggu pengumuman kelulusan SIMAK UI tanggal 12 Agustus nanti. Semoga Allah beri hasil yang terbaik. Jika tahun ini belum berhasil, insyaallah aku akan mencoba mendaftar lagi di tahun depan. Mumpung masih muda. Mumpung belum berkeluarga. Kejar apa yang ingin dikejar. Raih apa yang ingin diraih. Hal itu bukan berarti ketika usia sudah tidak bisa dikatakan muda atau ketika sudah berkeluarga aku tidak akan bisa lagi untuk memperjuangkan cita-citaku selama ini, hanya saja proses eksekusinya akan sangat berbeda. Ketika sudah tidak hidup seorang diri alias sudah berkeluarga, akan ada lebih banyak hal yang perlu dipertimbangkan ketika akan mengambil keputusan-keputusan. Tanggung jawab akan lebih banyak, sehingga harus jauh lebih pandai lagi dalam mengatur skala prioritas.
3 notes · View notes
najwahafshah · 3 years
Text
Akan aku cukupkan. Terima kasih banyak, ya.
0 notes
najwahafshah · 3 years
Text
Rapuh
Suatu sore di 2019, aku mengendarai motor sendirian menuju arah selatan. Aku ingin pergi ke pantai. Sendirian. Menikmati deburan ombak. Menelanjangi dengan mataku sang mentari yang mulai malu-malu menyembunyikan diri di ufuk barat. Aku pergi menuju daerah jajaran pantai-pantai Goa Cemara di Bantul. Perjalanan yang dihiasi oleh rasa sedih dan sesak itu membawaku untuk berhenti di salah satu pantai, yaitu Pantai Cangkringan. Sebuah destinasi yang aku pilih secara random. Terpilih karena aku merasa belum pernah singgah ke sana sebelumnya. Pantai kecil yang indah. Terlihat baru saja dibuka bagi wisatawan. Aku bukan satu-satunya yang berada di sana. Ada juga beberapa orang yang lain turut menikmati suasana pantai di sana. Sejenak aku tersenyum, merasa bahagia bisa sampai di sana seorang diri dengan selamat. Bangga karena tidak berputus asa sehingga putar balik di tengah jalan. Bagiku, pantai yang kakiku sedang berpijak di atasnya itu cukup jauh dari tempat aku tinggal di Jogja.
Dengan antusias, aku segera berjalan menuju bibir pantai. Hembusan angin semakin kuat. Suara deburan ombak pantai selatan terdengar semakin keras. Uap air laut mulai membasahi kacamata. Di bibir pantai, aku terduduk. Kupandangi ombak. Kupandangi lautan yang begitu luas hingga batas cakrawala. Disaksikan oleh butiran-butiran pasir pantai, aku mulai menangis. Sudah tak kuat lagi aku menahan bendungan air mata yang tertahan sepanjang perjalanan. Aku merasa benar-benar rapuh. Aku kasihan atas diriku yang saat itu tidak benar-benar merdeka atas kebahagiaanku. Bahagiaku masih tersandar atas makhluk lain yang sama-sama serba memiliki keterbatasan layaknya diriku. Aku terlalu berharap dia bisa ada di setiap saat untuk menghiburku. Mewarnai hari-hariku yang terasa suram. Memantik senyum yang jarang sekali aku nampakkan. Namun semakin aku bergantung, semakin aku berharap, apa yang aku rasakan adalah sakit yang semakin menjadi-jadi, pun kecewa berulang kali. Terlambat aku menyadari bahwa bahagiaku adalah tanggung jawab diriku sendiri, bukan orang lain.
Manakala hidup merupakan perjalanan dari satu titik menuju titik yang lain, bolehkah aku mengatakan bahwa titik-titik tersebut adalah titik kerapuhan satu menuju titik kerapuhan yang lain? Perasaan rapuh itu akan terus terulang sampai kapan pun. Lemah sekaligus rapuh, itulah manusia. Begitulah fitrahnya. Begitulah yang aku rasakan. Rasa rapuh yang muncul, terkadang aku abadikan dalam tulisan-tulisan. Tulisan tentang aku dan kerapuhanku. Dengan sengaja aku menunjukkan kerapuhan-kerapuhanku kepada dunia. Selain sebagai bentuk healing dan caraku mengalirkan emosi, aku ingin menemani siapa pun yang membaca tulisan-tulisanku dalam keadaan rapuh dan mengingatkan mereka bahwa mereka tidaklah rapuh sendirian. Ada aku di sini yang juga rapuh.
Menjadikannya merasa rapuh, itulah cara Allah menghalangi seorang anak manusia untuk bersikap angkuh dan jumawa. Saat seolah semua kenikmatan dunia sudah berada dalam genggaman tangan, Allah ingin kita tetap ingat bahwa itu semua bukan hasil dari upaya kita semata. Ada campur tangan Allah pastinya di sana. Allahlah yang memberi kita kekuatan dan pertolongan sehingga mampu berupaya untuk memperolehnya. Juga, Allah ingin kita menyandarkan kebahagiaan hanya atas ridho-Nya, bukan atas makhluk yang lain atau apa pun. Rasa sedih, lemah, sakit, sesak, kecewa, dan tak berdaya itu sesungguhnya hanya sementara. Allah hanya meminta kita untuk bersabar sebentar. Setelahnya, Ia akan mengizinan kita lagi untuk kembali memiliki kekuatan dan merasakan kebahagiaan. Allah amat senang memberikan kejutan-kejutan indah dalam hidup seseorang. Hanya tinggal menunggu giliran kita untuk mendapatkan kejutan indah dari Allah di waktu yang tepat yang dipilih-Nya.
Menjadi rapuh bukanlah aib. Seluruh dunia memang tidak perlu selalu tahu apa saja yang sedang kita rasakan termasuk perasaan mengenai kerapuhan yang tiba-tiba datang, namun tidak ada salahnya untuk menceritakan apa yang sedang kita rasakan itu kepada orang-orang terdekat. Siapa pun itu yang kita bisa percaya dan merasa secure dengannya. Menjadi terbuka dan jujur atas perasaan-perasaan kita. Laki-laki maupun perempuan, menangislah jika ingin menangis. Your feeling is valid. Tidak usah peduli dengan pernyataan-pernyataan semacam yang ada pada salah satu penggalan lirik di lagu ciptaan Ahmad Dani yang cukup terkenal, “Ayahku selalu berkata padaku, laki-laki tak boleh nangis. Harus slalu kuat, harus slalu tangguh, harus bisa jadi tahan banting.” Boleh kok laki-laki menangis. Bukankah dengan menangis, itu akan semakin melembutkan hati? Lagipula, selalu berusaha menekan perasaan itu akibatnya kurang baik. Kadang bisa menimbulkan munculnya penyakit-penyakit.
1 note · View note
najwahafshah · 3 years
Text
Having More Self-Respect
Tahun 2020 terlalui dengan meninggalkan banyak refleksi. Overall, aku sangat menikmati bagaimana hari-hariku di 2020 berjalan. 2020 membawaku pada sebuah fase perjalanan hidup yang sangat berbeda dari apa yang sudah aku lalui di tahun-tahun sebelumnya. Aku menemukan banyak hal yang hari ini sangat ingin aku ceritakan dalam tulisan-tulisan. Aku ingin mengenang. Pun mengabadikan berbagai pelajaran baik yang pernah aku dapatkan. Sangat sayang jika aku hanya menyimpan ini semua untuk diriku seorang manakala aku bisa membagikan kisahku yang berharga dan memberikan pelajaran-pelajaran hidup kepada orang-orang. Aku akan menyebutnya sebagai “kisah hidup sederhana dari manusia yang biasa-biasa saja”. Dari sana aku memaknai bahwa tidak ada halangan apa pun bagi manusia yang merasa dirinya biasa-biasa saja untuk tetap bisa berbagi dengan banyak orang. Sebagaimana aku yang saat ini sedang menikmati hidup sebagai manusia yang biasa-biasa saja. Aku sudah pernah berada dalam fase ketika aku selalu ingin menjadi yang terbaik, terdepan, teristimewa, tertakterkalahkan, serta ter-ter yang lain. And you know what, semua itu sangat melelahkan.
Aku rasa, 2020 adalah tahun yang begitu istimewa sehingga menjadikanku pada detik ini tetap ingin mengenang hari-hari tentangnya. Peristiwa yang paling menjadikan 2020 istimewa adalah manakala aku memutuskan untuk kembali pulang ke rumah. Bagiku, itu adalah keputusan yang besar. Sesuatu yang sama sekali belum pernah aku banyangkan atau rencanakan akan terjadi sepanjang empat tahun aku menjalani hidup sebagai seorang mahasiswa rantau di Jogja. Namun begitulah kemudian skenario hidup berjalan. Dan karena sesuatu yang sebelumnya sama sekali tidak pernah terpikirkan olehku tersebut bisa terjadi tidak lain adalah atas pilihan yang aku ambil dari berbagai macam pilihan yang ada di depan mata, aku harus berusaha mindful untuk menjalaninya. I can say that it was full of struggle. Aku dipaksa membuat banyak sekali penyesuaian diri. Berusaha untuk benar-benar memahami bahwa setelah aku pulang ke rumah dan tinggal bersama ibuk, bapak, serta adik-adik; aktivitas yang aku jalani dalam keseharian tidak lagi semata-mata untuk aku. Hidupku tidak lagi disibukkan dengan hanya mengurus tentang diriku. Namun pulang adalah pilihan terbaik yang bisa aku ambil. Aku tidak pernah menyesali keputusan itu semenjak awal aku memutuskannya hingga saat ini.
Being at home, jauh dari hiruk-pikuk keramaian kota, jauh dari cafe-cafe tempat aku biasa menjadikannya tempat pelarian kala aku kesepian, dan jauh dari teman-teman baik yang biasanya aku bisa dengan mudah reaching them out kapan pun aku mau adalah suatu kondisi baru yang menuntut diriku bisa terbiasa dengan itu. Aku meninggalkan Jogja dalam kondisi penuh kesunyian. April 2020, pandemi yang baru saja berkunjung ke Indonesia membuat orang-orang masih sangat aware untuk menjaga diri mereka jauh dari keramaian dan kerumunan. Mereka masih kuat untuk tetap merasa aman senantiasa bertahan di dalam kamar-kamar kos atau rumah-rumah mereka. Jalan-jalan cukup sepi. Bahkan beberapa masjid di sekitar UGM meniadakan sholat wajib berjamaah untuk sementara waktu. Awalnya aku pikir aku tidak akan terlalu lama berada di rumah. Berharap untuk bisa segera menyelesaikan pengerjaan laporan Tugas Akhir, segera sidang, segera yudisum dan wisuda. Setelahnya aku ingin segera melanjutkan ekstensi ke S1 dan mencari pekerjaan. But I was wrong, ternyata lagi-lagi jalan yang aku lalui tidaklah semulus itu. Karna satu dan lain hal, hingga hari ini, 20 Januari 2021, terhitung aku sudah berada di rumah selama sembilan bulan lamanya.
Berada di rumah selama sembilan bulan terakhir sangat memberikan kesempatan padaku untuk memperbaiki kondisi mental dan spiritual yang rasa-rasanya sudah sangat berantakan sebelumnya. Untuk kondisi mental yang lebih baik, aku memutuskan untuk berusaha having more self-respect. Aku perlu untuk lebih menghargai diriku sendiri. Aku memulainya dari berusaha mengapresiasi sekecil apa pun capaian yang sudah aku raih, berterima kasih kepada diri atas sekecil apa pun kebaikan yang sudah aku lakukan, berusaha melakukan aktivitas-aktivitas yang bisa terus memupuk rasa berhargaku atas diriku, dan masih banyak hal yang lain. Apa yang aku lakukan tersebut cukup membantuku untuk tetap memiliki kontrol atas diri, merasa tenang, dan tidak lagi menggantungkan kebahagiaanku kepada orang lain. Membangun self-respect yang masih terus-menerus aku upayakan hingga sekarang, telah memudahkanku melaui masa-masa ketika aku harus menghadapi proses-proses penerimaan atas berbagai macam hal.
Aku tidak bisa mengontrol semua hal yang terjadi di dalam hidupku. Sebagian hal berada di wilayah yang bisa aku kuasai, sebagian lagi tidak. Ketika aku dihadapkan pada kondisi yang berada di luar kendaliku atau hal-hal yang telah terjadi dan tentu aku sama sekali tidak bisa mengubah itu, apa lagi upaya yang bisa aku lakukan selain menerima itu semua dengan kelapangan hati? Bersikap denial tidak akan mengubah apa pun. Terus-menerus bersikap denial itu menyakiti diri sendiri. I tried being honest to myself about my feelings and accepted them.
Aku pun berusaha menjaga mentalku tetap baik dengan mengurangi membanding-bandingkan kondisi diriku dengan orang lain, terutama teman-teman kuliah atau teman-teman organisasi dengan berbagai capaian hidup mereka masing-masing. Tak pernah lelah aku mengingatkan diriku, lagi dan lagi, bahwa aku tidak perlu merasa berkecil hati dengan bagaimana pun kondisiku saat ini. Hidupku bukanlah untuk berkompetisi dengan siapa pun. Hari ini aku memang berada di titik ini; masih di rumah, belum bekerja, belum punya penghasilan sendiri, belum berkesempatan melanjutkan kuliah lagi, masih dengan kualitas diri yang begini. Iya, aku tidak perlu berkecil hati sebab aku tahu pasti bagaimana aku masih memelihara mimpi-mimpiku untuk terus hidup dan bagaimana aku masih terus berusaha meningkatkan kualitas diri from time to time. Aku tidak pasrah dengan keadaan. Aku masih berupaya. Aku masih berjuang. Aku masih punya kedua orangtua yang aku yakin selalu mendoakanku siang dan malam. Insecurity memang kadang masih sesekali menghampiri, kemudian membuatku mempertanyakan kembali, ”Mengapa aku tidak begini? Mengapa aku tidak begitu? Mengapa aku tidak bisa seperti si A, si B, atau si C?” Itulah mengapa aku perlu terus mengingatkan diriku berulang kali untuk tidak berkecil hati. I’m good and I’m worth it.  
0 notes
najwahafshah · 3 years
Text
Just A Kind of Blessing in Disguise
Siapa yang akan pernah menyangka bahwa tahun ini akan menjadi tahun-tahun yang penuh ujian bagi banyak orang? Pandemi datang begitu saja tanpa sedikit pun meminta izin atau membuat pemberitahuan. Virus Covid-19 yang pada awalnya muncul di Wuhan, sebuah kota kecil di negara China, kini sudah menyebar ke hampir seluruh negeri. Pandemi menyebabkan pola hidup manusia dipaksa untuk cukup banyak berubah. Mau tidak mau, setiap orang harus berusaha melakukan penyesuaian-penyesuaian agar jiwa dan raga bisa terselamatkan. Pandemi tidak hanya menyebabkan munculnya masalah kesehatan yang menyerang fisik, namun juga masalah-masalah lain yang menyerang psikis atau kejiwaan seseorang.
Jika mau melihat dengan kacamata syukur, merupakan sebuah kenikmatan yang besar dari Allah SWT ketika pada tahun 2020 ini kita bisa survive hingga akhir tahun. Tahun 2020 menjadi tahun penuh kehilangan bagi tidak sedikit orang, mulai dari kehilangan anggota keluarga atau orang-orang tersayang lainnya, hingga kehilangan sumber mata pencaharian. Sehingga, ketika hingga akhir tahun 2020 kita masih memiliki anggota keluarga yang utuh, hidup dengan dikelilingi orang-orang tersayang, tidak kehilangan sumber mata pencaharian untuk menghidupi diri sendiri maupun keluarga, senantiasa berada dalam keadaan sehat secara lahir dan batin; maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Tahun ini aku merasa menjadi seseorang yang masih mendapatkan banyak sekali keberuntungan hidup. Bahkan aku tidak menyangka bahwa saat aku menuliskan baris-baris kata ini, aku bisa merasa setenang dan sebaik-baik saja ini. Tubuhku masih sehat. Pikiranku masih waras. Meskipun harus diakui kalau akhir-akhir ini mulai muncul kembali perasaan tertekan akan suatu hal, namun alhamdulillah aku masih bisa mengatasi perasaan itu dengan baik. Tidak sampai harus membuatku merasakan naiknya asam lambung yang menjadikan area perut sakit dan membuat sulit tidur di malam hari.
Hal paling membahagiakan yang aku rasakan di tahun ini adalah manakala aku berhasil menyelesaikan studiku di D3 Rekam Medis dan Informasi Kesehatan UGM. Sekarang aku sudah resmi lulus. Alhamdulillah, lulus jalur Corona. Tidak ada acara wisuda meriah yang dilaksanakan di gedung Graha Sabha Pramana. Wisuda dilaksanakan secara daring menggunakan Zoom. Kini aku hidup dengan predikat baru sebagai seorang alumni UGM. Sayangnya, aku saat ini adalah alumni UGM yang masih berstatus sebagai pegangguran. Beban keluarga. Tapi tidak apa-apa, aku sangat bersyukur karena masih diberi banyak waktu untuk merasakan hangatnya rumah tempat bapak dan ibuk yang selalu menyayangiku berada.
Karena hari ini adalah tanggal 16 Desember, aku ingin flashback tentang peristiwa yang terjadi satu tahun yang lalu pada tanggal yang sama. Ketika itu, terjadi suatu peristiwa yang aku rasa cukup menyakitkan bagi diriku. Aku merasa sangat buruk. Membuatku dihantui rasa bersalah serta ketakutan apakah aku masih akan mampu kuat bertahan menjalani hari-hari yang akan datang. 16 Desember 2019 sekitar pukul tiga pagi, perasaan dan pikiran yang sedang kacau membuatku menghubungi beberapa teman dalam rangka mencari support dan bantuan. Aku khawatir diriku akan melakukan hal-hal yang membahayakan bagi diriku sendiri maupun orang lain ketika aku hanya memendam perasaan-perasaan itu sendirian. Aku takut kembali melakukan perbuatan nekat sebagaimana yang sudah pernah aku lakukan sebelumnya. Perbuatan nekat yang pernah aku lakukan tersebut berakhir dengan aku menjadi mempermalukan diriku sendiri di hadapan banyak orang. Aku jera.
Pada pagi hari yang buta itu, dalam ingatanku, aku menghubungi empat orang melalui pesan WhatsApp dengan isi pesan yang sama. Begini isi pesan yang aku kirimkan kepada mereka:
“Kalau aku kehilangan kontrol atas diriku gimana? Gimana kalau aku udah terlalu malu hidup sebagai manusia? Gimana ketika rasa percaya diriku hilang seketika. Menjadi sakit. Tak berdaya. Lemah. Bagaimana agar tidak sesak? Bisa beraktivitas dengan bahagia. Ringan. Menjadi manusia yang bisa memandang dengan jernih hidup ke depan. Mungkin aku sudah tahu sebagian jawaban, tapi aku nggak kuat. Bantu aku menjawab.”
Kemudian beginilah tanggapan salah satu teman atas pesan yang aku kirim di atas dan percakapan yang terjadi setelahnya antara aku dan dirinya:
“Aku mau nemenin kamu cari jawaban, Qid. Karena jawabanku belum tentu jawabanmu juga. Jadi, aku mau nemenin proses kamu mencari jawaban. Aku mau nemenin kamu. Aku mau dengerin kamu cerita. Dengerin kamu nangis. Dengerin kamu seneng.” “Makasih… Aku sering banget ngerasa nggak punya temen. Nggak punya siapa-siapa. Nggak pantes buat disayang. Padahal sebetulnya temen yang mau ada buat aku banyak. Yang sayang sama aku juga banyak. Aku terlalu sering ngelihat diriku sendiri dengan persepsi yang negatif.” “Iyaa, belajar bertahap untuk membuka diri, Qiddd.. banyak orang yang sayang sama kamu, termasuk aku. hihihi… Kamu di Ngawi sekarang?” “Lagi perjalanan ke Jogja. Iya, aku ke mana-mana sendiri. Kek nggak butuh orang lain. Ngapa-ngapain sendiri. Padahal sebetulnya aku sedih. Aku malu.” “Kenapa sedih dan malunya?” “Aku sedih sering terjebak sama perasaan. Akalku sering kalah. Ngapa-ngapain berdasarkan perasaan. Aku sedih ketika aku sering kalah sama hawa nafsuku. Aku malu sama orang-orang  yang sering nasehatin aku, tapi nasehat-nasehat mereka kadang kaya nggak berbekas sama sekali di diriku. Aku malu dengan aku yang takut untuk segera melangkah, bergerak mengerjakan sesuatu.” “Kenapa kamu merasa kamu kalah sama hawa nafsumu, Qid? Aku yakin kamu sudah berproses begitu panjang. Melawan perasaan-perasaanmu itu, mungkin memang kadang berhasil dan kadang juga nggak, ya itu manusiawi, tapi setiap proses itu pasti membawa hasil Insyaallah. Insyaallah tidak ada yang sia-sia. Sering terjebak itu bukan selalu terjebak, bukan? Sering kalah juga bukan berarti selalu kalah. Kamu pernah tidak terjebak dan kamu pernah menang, itu tandanya kamu bisa tidak sering terjebak dan juga tidak sering kalah. Kamu bisa menang, Qid, Insyallah…” “Iya, bismillah ya. Selesain satu-satu apa yang bisa aku selesain. Pelan-pelan perbaiki apa yang bisa diperbaiki. Makasih yaa.”
Apa yang terjadi pada 16 Desember 2019 silam memang menyakitkan, namun ia merupakan rasa sakit yang sesunggunya sangat aku syukuri. Sesuatu yang sudah aku sadari pasti akan terjadi akhirnya terjadi. Akhir yang menyakitkan bagi suatu awal yang baik selanjutnya. Aku bahagia dalam kesedihan dan rasa sakit yang masih aku rasakan hingga berbulan-bulan selanjutnya. So many people tried to cheer me up and gave me so much love. Menjadikanku benar-benar yakin bahwa masih ada banyak orang yang bersedia dengan tulus menyayangiku even in my worst.
0 notes
najwahafshah · 4 years
Text
Perempuan merupakan hamba Allah yang istimewa. Berbicara tentangnya, tidak akan pernah ada habisnya.
Perempuan adalah kita. Kita dicipta dengan peran yang amat mulia. Kita dicipta untuk menjadi hamba Allah yang peranannya sama sekali tak boleh di sia-sia. Nasib peradaban manusia berada di tangan kita.
Semenjak kedatangannya, Islam telah mengangkat derajat kaum perempuan dengan setinggi-tingginya. Menyamakan kedudukannya dengan para lelaki. Menjadikannya sebagai sosok yang harus dididik dengan sebaik-baik pendidikan sebagaimana halnya yang para lelaki dapatkan.
Melihat bagaimana dahulu Rasulullah dan para sahabat memperlakukan perempuan dengan perlakuan yang sangat baik, berbeda sekali dengan kondisi yang kita lihat dewasa ini. Kondisi-kondisi perempuan saat ini, banyak yang membuat miris hati. Seperti kembali ke zaman jahiliyah, bahkan lebih parah lagi.
Karna kondisi ekonomi, sebagian perempuan menempuh berbagai cara untuk mencari penghidupan yang layak dan baik. Urusan halal-haram menjadi nomor ke-sekian. Yang penting perut kenyang. Yang penting bisa membeli barang-barang yang menjadi keinginan.
Perempuan banyak yang menjadi korban perbuatan kriminal. Mulai dari korban pelecehan seksual, KDRT, hingga perdagangan manusia.
Atas nama pemberdayaan perempuan, para perempuan dipaksa keluar rumah untuk bekerja meninggalkan anak-anak mereka. Melupakan kewajiban mereka sebagai seorang istri dan ibu di dalam keluarga. Akhirnya anak-anak dan keutuhan rumah tangga menjadi korban.
Kondisi negara dan sistem yang ada sekarang memang sulit untuk menjadikan perempuan mendapatkan peran dan kedudukan yang semestinya sebagaimana yang Islam ajarkan. Menjadikan perempuan bisa mengoptimalkan peranannya sebagai ibu generasi penakluk, penggerak opini, sekaligus intelektual peradaban sangatlah membutuhkan dukungan yang baik dari masyarakat dan negara. Tidak bisa jika hanya mengandalkan upaya individu dari para perempuan.
Ditulis untuk dibacakan di akhir acara Muslimah UptoDate. Lupa vol. yg ke berapa.
0 notes
najwahafshah · 4 years
Text
31 Maret 2020
Wahai Aqid, aku ingin mengucapkan banyak terima kasih kepadamu. Kamu sudah begitu kuat. Aku senang melihatmu hari ini masih bisa tersenyum dengan tulus dan mensyukuri hidup. Tolong pertahankan itu, ya! Aku tidak rela senyum itu hilang. Aku tidak ingin rasa syukurmu lenyap.
Aqid, aku tahu kamu sudah banyak menjalani hari-hari yang berat. Aku melihat ketika pada suatu waktu, kamu hampir setiap hari menangis. Aku menjadi saksi manakala hatimu hancur berkeping-keping berulang kali. Aku bisa merasakan kecewa, sedih, dan marahmu yang tak banyak orang tahu. Aku paham betapa kamu sering kesulitan untuk menjelaskan ke orang-orang tentang kondisimu dan tentang apa-apa yang kamu rasakan. Pada saat itu, kamu merasakan dirimu seperti menjelma menjadi sosok yang egois dan menyebalkan. Kamu melihat reaksi orang-orang terhadapmu yang terlihat marah dan tak suka. Bahkan ada yg dengan sengaja mengejekmu, mempermalukanmu.
Meskipun begitu, aku kagum terhadapmu, Qid. Dalam kondisi seterpuruk apa pun, kamu selalu bisa kembali menjadi sosok Aqid yang charming, baik hati, dan mengerjakan berbagai amanah yang ada dengan sepenuh hati. Kamu bisa kembali menyikapi berbagai macam hal dengan sikap yg benar. Yang sesuai dengan bagaimana kamu semestinya bersikap. Rasa malumu karna kesalahan di masa lalu tidak mampu menghentikanmu untuk terus berbuat baik. Kamu malah menjadikan kesalahan-kesalahanmu sebagai sebuah lecutan semangat untuk terus melangkah ke depan.
Ditulis oleh Aqid sendiri, sebagai bentuk apresiasi pada diri.
0 notes
najwahafshah · 4 years
Text
Deg-degan mau pulang.
0 notes
najwahafshah · 4 years
Text
"Aku ngga kuat. Pengen cepet pulang ke rumah."
"Pengen pulang ya pulang aja. Ngapain masih Jogja?"
"Aku belum bisa pulang."
0 notes
najwahafshah · 4 years
Text
Apa. Aku butuh break. Aku sudah sakit. Sangat. Aku akan kembali. Mulai membaca. Aku ingin sembuh.
Tumblr media
Apa pun. Sama-sama melelahkan. Memulai hari baru. Aku yang baru. Lelah untuk baik. Menjadi buruk juga lelah.
Energiku terkuras. Habis. Ingin ku urai. Semua yang kusut. Kembali. Melangkah jauh. Mengejar mimpi.
Aku mengerti. Sinarnya lembut menyapa. Menarik diriku menuju asa. Semakin cepat. Melompat. Dapat.
Di atas bumi. Dua kotak telah merampas pandangan. Ingin sekali. Hujan turun membasahi. Dingin. Manis.
Aku. Apakah benar sakit. Nyatanya iya. Bisa pulih. Jadilah tiga hari yang cantik. Cepat. Jam dinding menatap. Aku diam penuh harap.
1 note · View note
najwahafshah · 4 years
Text
Kadang aku tiba-tiba sedih yang bener-bener sedih,
"Dia emang nggak peduli sama aku dan nggak akan pernah peduli. Nggak ada guna emang ngurusin perempuan freak ngga jelas kayak aku ini."
Padahal ya, ngga gitu. Aku terlalu mendramatisasi kesedihan wk. Seolah nggak inget gimana baiknya dia sama aku. Gimana dia selalu peduli kalau aku nyariin dia. Aku butuh bantuan, biasanya dia akan bantu kalau dia bisa bantu.
Pas udah inget baik-baiknya dia pun, masih aja netes air mata, malah makin deres nangisnya.
And then, I asked to myself, "Aqid, kamu kenapa?"
------
Aqid punya banyak sisi. Ketika melihat dan mendengar ada sisi Aqid yg lagi sedih—sedihnya begitu itu, sisi Aqid yg lain jadi ngomel-ngomel tak karuan,
"Heh, Aqid! Mau kamu apa sih, hah? Nggak dipeduliin, nangis-nangis. Giliran ada yang mau peduli, dijutek-jutekin. Diomelin, 'Iki iti risih yi kili ngirisi idi yg tirlili midiliin iki tiip hiri.' Dasar ya kamu, Qid! Bikin orang kesel aja."
------
Lalu kedua sisi Aqid saling bertengkar. Aqid jadi lelah dan pusing. Aqid terheran-heran, "Kok aku main drama dalam pikiran ya?" Kemudian Aqid memilih membuka Youtube untuk menghentikan drama. Drama selesai. Aqid menonton video Bapau atau Rans atau Aurel atau Raden Rauf hingga tertidur.
0 notes
najwahafshah · 4 years
Text
Tumblr media Tumblr media
0 notes