Text
Little Piece of Heaven
It’s her. I may not realize it at the very first time but I know it’s her. Although professionals said it’s temporary and prone to fade away, for me, attraction is intense and not immediate. I mean, who doesn’t fall for a cute scammer like her?
Sometimes I feel urgent drive to deepen our any-kind-of-relationship but Idk. Its better to enjoy while it lasts, isn’t it?
I am a monogamist, dear. Not a narcissist. I don’t need this menye-menye thingy and I don’t need you, but I want this with you.
And as selfish as it may sound, I can do things with or without somebody but I chose to be accompanied. And it’s you as the company.
And for the things I can’t say it right away, thank you. I learned a lot from you.
0 notes
Text
Mengulang Perasaan
Empat
Beberapa minggu berikutnya, aku disibukkan dengan tugas-tugas kuliah, laporan, dan UTS, membuatku melupakan euphoria tentang Zaid. Aku jadi sibuk, sibuk beneran, bukan sok sibuk seperti biasanya. Sampai-sampai Mas Ian mengeluh kangen dan muncul di kosan ku tiba-tiba.
“Waah, aku ngga nyangka kalo aku bisa bikin kangen.” Reaksiku waktu itu spontan, aku sama sekali nggak berharap Mas Ian berubah menjadi abege alay hanya karena berpacaran dengan anak kemarin sore sepertiku.
Mas Ian terkekeh seperti biasanya. “Minggu ini datang ke pesta kawinan sepupu saya ya?”
“Aku diundang, mas?”
“iya. Saya yang undang. Tapi saya nggak bisa jemput. Nanti kamu ajak Dara sama Apuy aja.. atau bawa temen-temenmu yang lain.”
“Yakin boleh rame-rame? Kami makannya banyak loh, mas.”
“Boleh. Tapi, Ta… “ entah kenapa, hari itu, untuk pertama kalinya, aku melihat Mas Ian berbicara ragu-ragu padaku. “Kalau nanti ketemu Ibu, pakaianmu jangan cuek-cuek begini… Terus, kamu juga agak kalem sedikit… Hmm, maklum Ibu saya… Kamu ngerti kan?”
Untuk pertama kalinya juga, aku merasa, jarak antara aku dan Mas Ian begitu nyata.
*
Dara berulang kali membujukku agar mau dipakaikan make up. Aku sibuk mengumpat seharian, sudah harus pakai kebaya, make up-an pula. Sial, aku takut kelihatan kayak banci.
“Ngga sekalian dipakein konde, Ra? Biar nyinden nanti aku di sana.” Aku mengerucutkan bibir, wajahku kusut abis.
Dara masih santai dengan lipstick merah di tangannya, tertawa sambil memoles lipstick ke bibirku. “Emang kamu bisa nyinden?”
“Nggak. Nyanyi lagu batak nanti aku.”
Dara ngakak, mencubit pipiku. “Gemesin banget sih, Waaan.”
Aku yang sudah hafal tabiat Dara, hanya bisa pasrah seperti biasa. “Kita berangkat jam berapa sih?”
“Bentar lagi, Andra sama Zaid udah di jalan.”
“Hah? Gimana, gimana? Siapa tadi di jalan?” tiba-tiba saja, aku merasa seperti habis minum minuman berenergi, tersuntik semangat seketika.
“Andra sama Zaid.” Dara mengulang sekali lagi.
“Zaid yang itu?” Aku nggak bisa poker face. Jadi Dara waktu itu pasti langsung bisa melihat perubahan ekspresiku.
“Iya, Zaid yang itu. Kamu jangan keliatan banget gitu deh kalo ngefans sama dia, Wan.”
“Yah gimana dong, aku tadi grogi mampus mau ketemu sama Ibunya Mas Ian. Untung ada Zaid ntar yang bias nolongin kali aja nanti aku pingsan, kan.”
Dara tertawa lagi, kali ini sambil menoyor kepalaku. “Sa ae lu martabak!”
*
Aku mematut diri di cermin, sudah mengenakan kebaya brokat hitam dengan rok bermotif batik. Kebaya milik Dara sedikit sempit untukku, jelas saja karena tubuh Dara lebih langsing. Rambutku sudah digulung tanpa ada riasan, dengan beberapa helaian anak rambut yang dibiarkan menjuntai. Tadi aku mati-matian menolak dipakaikan pernak-pernik di rambut, aku nggak mau rambutku terlihat seperti lampu taman. Dan… untuk riasan di wajah, aku kasih nilai 8,7 buat Dara karena tidak mengubahku menjadi ondel-ondel.
Baru saja Dara memaksaku memakai heels, ketika tiba-tiba suara deru motor terdengar dari luar.
Setelah keluar, aku bingung mendapatkan Zaid yang duduk di atas motornya, dan Andra yang baru keluar dari mobilnya.
“Ini maksudnya apaan ya, Bapak-Bapak? kenapa ada satu motor lagi kalau kita bisa naik mobil berempat? Aku ngga dipaksa naik motor Zaid pake rok begini kan ya?” Perasaanku mulai nggak enak.
“Jangan GR. Aku nggak ngajak kamu pergi naik motorku.”
Iya. Itu suara emas Zaid yang bicara. Huh, dia nggak tau aja aku udah kangen banget dengerin suaranya!
“Udah, udah, belum berangkat udah ribut ni bocah bedua.” Andra datang melerai kami. “Zaid nggak mau naik mobil.”
Aku memandang Zaid, malam itu dia memakai kemeja hitam dan celana chino. Rambut ikalnya juga rapi. Dia balas menatapku seperti melamun. Entah apa yang dipikirkannya. Ah, aku sama sekali tidak bisa membacanya.
*
2 notes
·
View notes
Text
Juna, Januari 2030.
Januari adalah bulan yang spesial untukku. Satu dari sekian banyak hal baik yang datang padaku di bulan Januari, adalah dia, sepuluh tahun yang lalu.
Dia Nina, seorang gadis manis yang kutemui pada setiap hari Senin pukul 08.00 di kelas mata kuliah umum Bahasa Indonesia. Satu-satunya gadis yang tidak pernah membalas tatapanku. Gadis berkacamata yang selalu terlihat sendu, dingin, tak tersentuh. Gadis berambut kecokelatan yang selalu dikuncir, bibir kemerahan tanpa racun, serta tubuh ramping yang disembunyikan di balik kardigan berwarna gelap atau kaos kebesaran. Hei, untuk gadis yang selalu mencoba menarik diri dari keramaian, bagaimana mungkin dia berhasil menarik perhatianku?
Aku pernah mengajaknya bicara, dua kali. Pertama, saat kami berpapasan di warung fotokopi.
"Nina, ya?"
Nina menyipitkan mata ke arahku, kemudian kembali menatap lurus ke abang-abang fotokopi. "Ada apa, ya?"
Aku bahkan bingung pertanyaan itu ditujukan ks siapa. "Kamu nanya aku, atau ke Bang Didi?"
Nina melirik jam tangannya, lalu mengetuk-ngetuk meja tak sabaran. Ngeselin nih anak.
"Kalau nanya itu lihat ke orangnya." Aku tahu, suaraku terdengar kesal waktu itu. Tapi sebentar saja, sebab setelahnya aku dibuat kaget mendengar kalimat singkat Nina.
"Aku lihat kamu kok, di kelas Bahasa Indonesia." Begitu saja, sedatar suaranya. Nina mengambil tasnya, lalu berjalan cepat meninggalkan warung. Dia bahkan tidak mau repot-repot menengok ke arahku.
Lalu, kedua kalinya, saat kami tak sengaja bertemu di mini library belakang kampus teknik. Aku memperhatikannya yang sedang membaca sinopsis Angels and Demon milik Dan Brown.
"Suka baca Dan Brown juga?"
Lagi, reaksinya masih sama. Dia menatapku hanya sepersekian detik, sebegitu cepatnya sebelum kembali menatap buku-buku tebalnya.
"Nina,"
"Saya?"
"Suaranya lembut amat kek air beras."
Aku bisa mendengar tawa tertahan milik Bang Ares, petugas perpus saat itu, yang kubalas dengan pandangan sebal.
Nina masih bergeming, menunduk, entah buku apa yang dicarinya.
"Betewe tadi manggil sayang?" Lihat kan, aku belum menyerah. Proud of me.
Nina melirik tajam, "Saya. Gak pake -ng."
"Oh."
"CRINGE BANGET, ANJERR!" Bang Ares tertawa dengan ponselnya. Seolah sedang membaca sesuatu yang lucu.
Aku memperhatikan pipi Nina memerah, lalu ia buru-buru keluar dari sana. Sialan, Bang Ares :(
"Susah mah kalau mau mencairkan Tuan Puteri yang itu, Jun." Ucap Bang Ares menyisakan senyum setelah Nina pergi.
"Aku dicuekin terus. Padahal kami sekelas."
"Heheh lihat kan tadi, buku-buku tebal itu jauh membuat candu ketimbang wajah gantengnya Bang Juna."
Aku mengedikkan bahu, mengambil buku Cinta Tak Pernah Tepat Waktu milik Puthut Ea, lantas duduk di sebuah meja.
"Kamu penasaran apa gimana, Jun?"
Kulirik Bang Ares yang tiba-tiba sudah menarik kursi untuk duduk di sebelahku.
Aku mengernyit, "Abang penasaran?"
"Kok malah nanya balik, Jun?" Salah tingkah, Bang Ares mengusap tengkuknya. "Saya kenal baik sama Nina, Jun. Dia paling rajin minjem buku di sini. Anaknya juga baik budi, gak pernah telat ngebalikin buku, gak kayak kamu, hehehe."
Hari itu, seolah paham gejolak aneh yang kurasakan, Bang Ares membuka kelas konseling gratis. Plus, aku dapat info lebih banyak tentang Nina.
Nina ternyata bukan gadis biasa. Siapa sangka gadis sekalem Nina yang ternyata meminta Bang Ares memutar lagu-lagu milik Queen atau The Beatles di mini library untuk menemaninya membaca. Padahal sebelumnya kukira Bang Ares yang punya selera musik bagus. Tapi argumen itu berbanding terbalik ketika kadang-kadang aku mendapati beliau memutar dangdut koplo. Pft. Jangan fokus ke Bang Ares. Balik ke Nina, katanya, Nina sering ngakak di sana karena buku-buku jaman old milik Hilman Hariwijaya. Itu siapa lagi? Aku bahkan harus googling untuk nyari profilnya :(
Hal lainnya yang kudapati tentang Nina adalah tulisan-tulisannya di blog. Aku menemukan sajak-sajak sendu di sana. Juga tulisan-tulisan manis bagi si penikmat rindu. Dan siapa sangka, si perempuan galau itu ternyata juga menulis beberapa cerpen konyol, random sekali -_-
Melalui tulisan, Nina seolah menceritakan siapa diri yang sebenarnya. Tak ada yang ditutup-tutupi di sana. Nina terbang bebas, bersama tulisannya.
Aku kira, aku sudah jatuh. Hm, maksudku, pada tulisannya.
*
Hey Nina, kalau kau pikir perasaanku padamu saat itu hanyalah euforia sesaat, kau salah. Maksudku, aku juga pernah berpikir seperti itu, dan aku mengaku kalah. Karena hingga di tahun-tahun berikutnya, aku tidak beranjak. Masih di sini mengulang perasaan.
Nina Sayang, kelas Bahasa Indonesia ternyata tidak membosankan selama ada kamu. Aku suka pertanyaan-pertanyaan kritismu di kelas. Aku suka caramu memperhatikan dosen berbicara. Aku suka tulisan tanganmu yang rapi. Dan, di balik suka-sukaku yang itu, kamu bahkan tidak menyadari aku ada. Benar, kan?
***
1 note
·
View note
Text
Random Talk
"Apa yg membuatmu terjaga hingga larut begini?"
"Banyak."
"Sebut satu saja."
"Kamu."
"Sekacau apa aku mengganggu waktu tidurmu?"
"Bukan. Hapus kata mengganggu itu. Hidupku sudah kacau sebelum bertemu kamu. Aku dan hidupku, gak pernah kamu rugikan. Percaya deh."
"Terus? Aku harus apa biar kamu tidur?"
"Ceritakan tentang kamu."
"Ha? Aku gak pinter cerita kayak kamu..."
":) Aku mau tau, sakitmu seperti apa. Aku ingin tau mimpi-mimpimu segila apa. Aku ingin melihat, apa kamu bisa belajar untuk tidak menyembunyikan lukamu. Aku butuh tau, apa kamu sudah tidak menggantungkan harapan kepada orang lain dan mampu bertahan dalam kesendirian. Gak masalah ceritamu jujur atau tidak. Aku hanya... ingin kamu bicara. "
0 notes
Text
Sayang
Sayang, apa tidak lelah menumpuk benang kusut di pikiranmu, hingga sakit badanmu, hingga berkurang waktu tidurmu.
Apa tidak jenuh?
Padahal, aku jauh lebih suka jokes recehmu, dibandingkan cerita-cerita sedih itu.
Padahal, tawamu lebih enak di dengar.
Sayang, sajak-sajak yang kau tulis kini bahkan tak lagi tentang bahagia.
Aku ikut patah, ingin memeluk.
Tapi khawatir pelukanku tak cukup kuat untuk menenangkan.
Hey, semoga lekas membaik ya.
Tak perlu berjanji akan saling menyembuhkan. Kamu ada, dan itu cukup. Jangan menghilang, karena masih banyak kalimat-kalimat sayang yang belum sempat kukirimkan untukmu.
1 note
·
View note
Text
Tiga
“Ngapain sendirian kayak anak ilang?”
”Ngukur jalan.”
Zaid berjalan mendekat, menatapku lagi-lagi dengan dahi berkerut. “Anak ekonomi juga ngukur jalan? Kirain kerjaan anak teknik doang.”
“Ya enggak, lah. Ini mau pulang.”
“Oh.”
Aku menghela napas, rasanya baru tadi aku bersyukur bertemu Zaid di sini. Aku sempat lupa bahwa dia ini songong setengah mampus. Percuma meladeninya, jadi kuputuskan untuk mencari ojek saja. Tapi kan, aku belum pernah naik ojek sendirian malam-malam.
“Kamu, keponakannya Pak Adrian?” Dia mengajakku bicara lagi.
Aku kembali menoleh ke arahnya. “Bukan.”
“Terus? Adeknya?” Kali ini dia sudah berdiri di sebelahku, kedua tangan dimasukkan ke saku jaketnya.
“Bukan urusanmu.”
Sudut bibir Zaid terangkat, aku ragu, itu senyum atau bukan, “Jangan bilang kamu pacaran sama Pak Adrian. Aku nggak percaya.”
Aku mendengus kesal.
“Ngapain dia ngantarin kamu kemari?”
Aku memutar bola mata, “Orang pendiam ternyata banyak nanya juga ya?”
Tanpa disangka-sangka, Zaid menarik tudung hoodie ku hingga menutup mata. “Gak sopan gitu matanya sama orang yang lebih tua!”
Aku melongo, membetulkan letak hoodie ku. Bukannya kesal karena perbuatannya barusan, aku malah takjub. Ini serius Zaidan yang itu?
“Kenapa? Jadi pulang, nggak?”
“Kok sok akrab sih? Baru kenal juga.” Sungutku.
“Kamu juga. Kemarin ngabisin makanan dari orang yang baru dikenal.” Ucapnya santai.
Oke, aku mengaku kalah, memilih melunakkan suaraku, “Ya udah, nanti kuganti.”
Kulihat Zaid mengedikkan bahu.
“Kamu ketemu Dara atau Apuy nggak?”
“Nggak.”
Padahal aku tidak berniat Zaid melihatku dengan mood mengenaskan seperti malam itu, aku pasti terlihat menyedihkan sekali sampai Zaid menatapku dengan sorot penuh iba begitu.
“Tadi Pak Adrian ngantarin aku kemari buat ketemu Dara, udah ke rumahnya nggak ada orang, whatsapp nya nggak bias dihubungi.” Aku mendongak menatapnya, entah keberanian darimana yang bisa membuatku curhat kepada orang asing begitu, “Sekarang aku nggak bisa pulang. Sebenarnya aku nggak berani naik ojek malam-malam.” Mataku sudah berkaca-kaca.
Aku bersyukur Zaid tidak menertawaiku. Aku hanya melihatnya menghela napas, kemudian berujar, “Karena udah di sini, masuk aja. Ada Andra di dalam, tanyain aja Dara dimana.”
Aku setuju, berjalan mengikutinya masuk.
“Lain kali jangan aneh-aneh. Jangan kemari sendirian malam-malam. Untung aku duluan yang nemu. Kalo ketahuan Satpol PP bisa diusir kamu, Wan.”
Aku memilih mengabaikan omelan Zaid.
*
“Dara lagi sama Tante Nika, Wan. Minta ditemenin belanja tadi katanya. Mungkin hp nya lowbat.” Jelas Andra saat aku sudah berdiri di depannya, Zaid menghilang entah kemana.
Aku mengangguk-ngangguk. Berpura-pura baik-baik saja. Padahal dalam hati sibuk merutuki kesialanku malam itu.
“Duduk dulu, Wan. Mau minum apa?” Andra menawariku dengan senyum malaikatnya.
“Apa aja deh.” Ucapku tak berselera.
“Susu hangat aja, ya? Tunggu bentar, ya?” Masih dengan senyum manis madu, Andra beranjak meninggalkanku. Hmm, Andra ini bisa diangkat jadi Ayahku enggak sih? Manis bener.
Tak lama, Zaid muncul dengan nampan berisi segelas susu hangat dan secangkir kopi. Setelah meletakkan nampan di atas meja, dia duduk di depanku. Tidak bicara, hanya duduk diam menyesap kopinya. Kami kembali canggung beberapa saat hingga akhirnya Andra bergabung duduk di sebelah Zaid.
“Diem amat, kayak kuburan.” Andra tertawa pelan, memulai obrolan. “Tadi ke sini sama siapa, Wan?”
“Dianterin Mas Ian.” Jawabku pelan, sambil memainkan gelas yang masih penuh.
“Udah makan belum?” Tanya Andra lagi.
Aku menggeleng.
Andra kembali tertawa, “Pantesan lemes gini. Masakin apa gitu, Za.” Dia menoleh ke Zaid, “Kasian anak orang ini belum makan.”
Zaid mendengus. Tapi dia beranjak juga, meninggalkanku berdua dengan Andra.
“Kok? Zaid yang masak?” Tanyaku setelah punggung Zaid menghilang.
“Iya, dia nyambi masak di sini kalau malam. Pinter loh Si Zaid ini. Enak masakannya.”
Check, fakta baru tentang Zaid. Itu anak ternyata kerja di sini. Nggak heran kalau aku sering melihatnya di sini.
“Zaid kuliah dimana sih?” Aku bahkan tidak bias menyembunyikan rasa penasaranku.
“Dulu dia kuliah manajemen, tapi nggak selesai.”
“Oh ya? Emang angkatan berapa?”
“2014.”
“Oh…” Aku terdiam sebentar. Zaid ternyata seniorku. “Kenapa dia nggak ngelanjutin kuliahnya?”
“Ayahnya meninggal satu tahun yang lalu, dan dia masih punya adik cewek yang masih sekolah. Mungkin itu yang bikin Zaid berhenti kuliah dan memilih bekerja.”
“Ibunya?”
“Ibu rumah tangga, Wan. Sekarang buka katering sama jasa laundry di rumah, dibantuin Zaid juga.”
Aku terdiam lagi. Sebenarnya masih banyak hal tentang Zaid yang ingin ku tanyakan, tapi aku tidak tahan melihat ekspresi Andra sekarang.
“Abang Zaid misterius ya? Bikin gregetan ya?” Andra cengar-cengir menggodaku.
Aku mencebikkan bibir, melipat tanganku.
Andra tertawa pelan, “Tanyain aja langsung sama orangnya,” dia berbisik setelah melihat Zaid kembali muncul dengan nampan berisi dua piring nasi goreng.
“Ya udah, makan aja dulu ya, Wan.” Andra menepuk bahuku pelan, “Nanti saya antarin pulang.” Ucapnya lalu pamit turun ke lantai dasar.
Setelah Andra pergi, aku menatap piring di depanku. Nasi goreng dengan potongan cumi goreng tepung, udang, dan telur ceplok.
"Kamu gak alergi seafood, kan?"
Good, akhirnya dia bicara.
Aku menggeleng, menyuap satu sendok, kemudian sibuk mengunyah.
Zaid mengedikkan bahu. Juga memilih sibuk dengan piringnya.
“Eh, tapi aku alergi,” Ucapku tiba-tiba yang langsung membuat Zaid menghentikan kegiatan makannya. Rahangnya terlihat tegang.
“Aku alergi masakan enak. Jadi pengin makan banyak.” Lanjutku tanpa rasa bersalah.
Aku melihat Zaid meletakkan sendoknya, mengangkat tangan seolah ingin menjitak kepalaku. Tapi detik berikutnya yang kurasakan hanya elusan lembut di puncak kepala. Juga wajah Zaid yang terlihat menahan kesal, “Makanlah. Makan yang banyak. Gua masih banyak kerjaan.”
*
Andra mengantarku pulang jam sepuluh, setelah aku bersusah payah menghabiskan makan malamku di depan Zaid. Aneh, aku yang biasanya paling gampang kalau disuruh makan, tadi sempat terbersit untuk minta dibungkus saja makanannya, jaim sama Zaid. Sialnya, lelaki itu sama sekali tidak sadar efek apa yang dia berikan kepadaku setelah tragedi elus-elus kepala itu. Dia makan dengan cepat lalu meninggalkanku melanga-melongo sendirian.
Tapi aku tidak mau kalah. Sesaat sebelum pulang, aku meminta Andra mengantarku ke pantry untuk berpamitan pada Zaid.
Zaid yang sedang menata cake di piring, terkejut melihatku masuk, “Ada apa?”
“Mau bilang makasih, masakannya enak.”
Zaid terlihat tidak berniat menjawabku. Dia berdeham sebentar, lalu kembali sibuk dengan kegiatannya.
“Sama mau minta whatsapp kamu.” Ucapku lagi.
“Buat apa?”
“Kita teman kan? Aku biasanya nyimpan nomer temanku.” Ampun, Wan.. alasan macam apa itu?
Zaid menghela napas, terlihat lelah. “Kamu beneran nggak punya temen ya? Cuma dua manusia itu?”
Aku mengangguk cepat.
Kulihat Zaid mengeluarkan ponsel dari saku celananya, lalu menyerahkan padaku. “Simpan nomermu.”
***
1 note
·
View note
Text
Mengulang Perasaan
2. Mas Ian
Setelah perkenalanku dengan Zaid malam itu, aku mendadak melihat sosok mirip Zaid dimana-mana. Di kantin, di mushola kampus, aku bahkan tidak tahu dia kuliah di fakultas apa. Tapi Zaid juga mendadak terlihat di warung fotokopi dekat departemenku, di mini market, bahkan di lampu merah.
Seperti saat itu, aku sedang bersama Mas Adrian, pacarku, pulang dari kampus. Dari jauh mataku menangkap gerakan motor besar Zaid. Aku menurunkan kaca, sudah bersiap-siap menyapanya ketika mobil Mas Ian berhenti di lampu merah, persis di sebelah Zaid. Seolah mendengar telepatiku, Zaid menoleh dan… hei, dia mengabaikanku! Ajaib, apa dia berpura-pura tidak mengenalku?
Aku uring-uringan.
“Kamu kenapa, Ta?” Panggilan manis itu berasal dari mulut Mas Ian. Hanya dia yang waras memanggilku Nita.
“I am not father.” Aku membuka pintu kos-kosan, tapi tidak bersemangat untuk masuk.
“Hah?” Mas Ian ku itu ganteng-ganteng kadang gagal paham.
“Aku nggak papa.”
“Hei… Kenapa sih? Kayak gagal beli mainan aja.”
“Ga papa, Mas. Makasih ya.”
“Bentar, bentar. Kamu masih laper?” Mas Ian menatapku dengan sorot khawatir.
Sialan kamu, Waaan. Punya pacar begini baik ngapain juga mikirin Si Songong itu.
Aku menghela nafas. “Aku kebanyakan makan, Mas. Sampe nggak kuat jalan, pengen menggelinding aja ni ke kamar.”
Mas Ian tertawa, tawa yang menjalar hingga ke matanya. Ah, ini yang selalu membuatku jatuh cinta. Dia banyak sekali tertawa untukku. Rasanya begini saja cukup untuk mengobatiku.
Aku ingin bercerita sedikit tentang pacarku, Mas Adrian, dosen Bahasa Inggris Dasar di kelas mata kuliah umum yang kuambil di semester 3. Kaget? Aku juga.
Mas Ian tidak tua, ia hanya selisih 6 tahun denganku. Oke… hmm.
Awalnya, aku hanya mengaguminya sebagai dosen muda ganteng yang mendadak membuatku rajin berbahasa Inggris. Hal yang aku suka darinya saat itu adalah dia sama sekali tidak keberatan meladeni mahasiswi yang tiba-tiba caper ini. Dia baik. Baiiiiiiik banget. Mau-maunya merespon pesan-pesan maha tidak penting yang kukirim. Aku terharu. Sesungguhnya kalau diingat-ingat semua kebaikannya itu bikin aku merasa berdosa karena sudah mengganggu hidupnya, membuatnya kepikiran, hingga akhirnya dia mengaku naksir padaku.
Mas Ian itu bukan tipe cowok kaku, juga tidak songong seperti Zaid. Dia cukup fleksibel saat bersamaku. Tipikal cowok yang tidak banyak menuntut, enggak posesif, santai tapi ngemong, pinter masak pula. Hal lain yang membuatku terkaget-kaget tentu saja karena dia satu-satunya cowok yang enggak risih bersamaku meski aku enggak punya rok, meski bajuku monokrom, meski aku enggak pernah pakai heels, meski aku enggak pinter make up, meski otakku pas-pasan, meski aku enggak tahu diri berani-beraninya mengklaim Mas Ian jatuh cinta padaku.
Intinya, Mas Ian dan aku berbeda 180°. Walaupun kami bertemu di kampus, kami hidup di dunia berbeda. Mas Ian tidak pernah mau diajak nongkrong dengan teman-temanku. Aku pun tidak pernah ikut bergaul dengan teman-temannya. Ya kali aku mau diajak duduk-duduk sama dosen-dosenku yang lain. Mau ngapain? Entar malah dikira mau sidang skripsi.
***
“Kamu sama siapa di kosan?” Tanya Mas Ian saat kami tengah telponan malam-malam.
“Sendiri.”
“Kok enggak jalan sama Dara Apuy?”
“Ini kan malam minggu, Mas. Masa aku ngintilin mereka pacaran mulu.”
“Tapi kompleks kosan kamu kan lagi rawan perampokan. Baru kemarin kejadian. Jangan sendirian ah.”
“Trus mau gimana?”
“Bentar, bentar.”
Suara-suara gaduh itu terdengar lagi. Spatula bertemu panci, air yang mengalir dari keran, hingga keran dimatikan, sesuatu ditepuk-tepuk, denting piring, lalu suara Mas Ian terdengar lagi, “Saya lagi bikin ayam kecap. Kamu udah makan?”
“Belum. Mau, Mas.”
Terdengar suara kekehan pelan, “Cepet amat jawabnya. Jual mahal dikit, kek.”
“Aku murah, Mas, kalau udah bahas makanan.”
Mas Ian tertawa lagi. “Ya udah, bentar lagi saya ke sana.”
Ketika melihat Mas Ian datang, aku buru-buru menghampirinya dengan wajah bersalah, “Aku udah masak nasi, Mas. Tapi lupa ceklok rice cookernya.”
Wajah Mas terlihat kusut, sudah tidak tertawa-tawa seperti terdengar di telepon tadi, “Saya buru-buru, Ta. Barusan dapat telepon dari Pak Ilham, ini mau ke rumahnya. Kamu saya antar ke tempat Dara aja ya?”
Aku menghela napas. Baik amat kan Mas ku ini?
*
Karena kebaikan Mas Ian malam itu, aku terdampar di parkiran warkop milik Andra, sendirian. Aku sudah berkali-kali menghubungi Dara, tapi nomor hpnya nggak aktif. Percuma menghubungi Apuy, pesanku baru akan diresponnya berjam-jam kemudian. Apuy dan ponsel bagaikan minyak panas dan ayam yang dilempar dari jarak satu setengah meter, iya, pokoknya nggak nyambung aja. Di saat orang-orang pada sibuk dengan smartphone, Apuy setia dengan nokia jadul yang nyala hampir setahun sekali. Susah amat dihubungi. Hanya Apuy dan Rio yang tahu bagaimana mereka pacaran tanpa gadget.
Entah apa yang kupikirkan hingga berakhir di warkop Andra, padahal jelas-jelas mereka tidak mungkin ada di sana. Mungkin saat itu aku hanya menghindari berdebat dengan Mas Ian yang ngotot nggak mau meninggalkanku sendirian. Daripada aku dibawa ikut bersamanya ke rumah Pak Ilham? Lebih nggak masuk akal, kan.
Setelah Mas Ian pergi, aku sibuk menimang-nimang, kembali ke kosan, atau duduk menggembel sendirian di warkop. Baru saja kuputuskan untuk mencari ojek ketika tiba-tiba suara itu terdengar.
“Ngapain sendirian kayak anak ilang?”
Aku menoleh cepat. Entah kenapa, aku sibuk merapal syukur saat menemukan Zaid di sana.
***
1 note
·
View note
Text
Mengulang Perasaan
1. Manusia Favorit
Hai, aku menulis ini karena rindu. Namanya Zaid. Tepatnya Zaidan Akbar, manusia pecinta kopi favoritku. Aku tidak ingin berlebihan mendeskripsikan bagaimana Zaid bisa menjadi favoritku. Jadi, biarkan kuceritakan pelan-pelan, ya. Lagipula, aku selalu dibuat kesulitan bagaimana menjelaskan Zaid yang kukenal dulu, bagaimana spesialnya dia, bagaimana dia membuatku bergantung dengan eksistensinya.
Zaid adalah salah satu sahabatku. Sahabatku tidak banyak, dan beruntungnya, Zaid adalah orang ketiga yang kupaksa agar mau.
Aku mengenalnya lima tahun yang lalu. Saat itu aku masih menjadi mahasiswa yang hobi minta tebengan sana-sini. Jadi, yang paling sering kurepotkan adalah dua orang sahabatku, Dara dan Apuy. Mereka juga mengadopsiku sebagai anak. Kalau lagi masak enak, aku diundang buat makan. Kalau mau makan enak, aku diajak, ditraktir pula. Belum lagi diantarin kemana-mana. Mereka juga favoritku by the way. Hmm, biar adil saja.
Oke, semua berawal dari ajakan nongkrong malam minggu. Dara mengajak kami melakukan triple dates. Ya, karena waktu itu aku punya pacar. Dan seperti biasanya, pacarku yang super sibuk itu tidak bisa ikut. Setelah membalas pesan Dara dan bersiap menggulung diri di bawah selimut, aku dikagetkan dengan suara klakson motor, disusul suara cempreng Dara yang menyuruhku keluar.
“Ya ampuuun! Masih berantakan anak gadis iniii?” Dara menarik pipi kananku begitu melihatku muncul.
“Aku kan udah bales chatnya. Enggak bisa ikut.”
“Terus mau ngapain di kamar? Kosan sepi begini. Ntar diculik, aku nggak tega.”
Aku meringis, menggaruk-garuk tengkuk.”Enggak ada penculik yang mau repot sama aku.”
“Dasaaar. Siap-siap, sana. Kita tungguin.”
“Sama siapa?” aku melongok ke depan. Hanya tampak dua motor di luar pagar, tak terlihat jelas pengemudinya karena pencahayaan yang kurang terang dari lampu taman.
“Andra, sama Zaid. Apuy nggak bisa jemput, motornya masuk bengkel.”
“Hah? Siapa tuh?”
“Temen Andra. Temenku juga.”
“Andra sama kamu?”
“Ya iya dong, Waaan. Andra kan pacarku.” Dara mulai terlihat tidak sabar, tangannya seperti hendak menarik pipiku lagi.
Ah iya, sebelum semua salah paham. Aku bukan laki-laki dan namaku bukan Wawan atau Iwan. Mamaku tersayang menamaiku Wanita Senja. Aku enggak paham filosofinya, mungkin karena mama ingin aku menjadi sebenar-benarnya “Wanita”.
“Ayo, Waaan.” Dara mendorong-dorong bahuku.
“Aku sama Andra aja, plis?” Aku memohon-mohon, masih tak tahu diri.
“Sialan amat sih Waaan jadi temen!” Sekarang Dara tak bisa menahan diri, dia mencubit pipiku kuat-kuat sambil tertawa.
Lagi-lagi aku pasrah, memegang pipiku yang merah-merah.
Dara belum menghentikan tawanya, mendorong-dorongku masuk. “Ya udah, siap-siap sana! Andra enggak bakal mau bawa cewek pakai piyama kucel gitu.”
Setelah pontang-panting mengganti piyama kesayanganku dengan kaos hitam gombrong, cardigan rajut hitam, celana jogger hitam, boots hitam, aku sekarang kerepotan mencari topi hitamku. Apa masuk ke keranjang baju kotor? Kusempatkan diri mengais-ngais isi keranjang ketika tiba-tiba Dara menerobos masuk.
“Allahu akbar! Ngapain, Wan?”
“Nyari topi.”
Dara berkacak pinggang, satu tangannya kemudian naik memijit pelipis. “Kawan awak kapan sembuhnya iniii. Enggak usah pake topi! Sini, rambutnya digerai aja.” Dara menjulurkan tangan bersiap melepas gulungan rambutku.
Dengan cepat aku mengelak, “Eits, jangan, jangan! Dikuncir aja deh, enggak usah lepas.”
“Ya udah, sini aku rapiin.”
Dengan telaten, persis emak-emak, Dara menyisir rambutku, kemudian menguncirnya menjadi satu. Bahkan setelah dikuncir pun, rambutku hampir mencapai pinggang. itu lah kenapa aku lebih suka mencepol rambut.
“Gini lebih enak dilihat. Senyum dikit, Wan. Ntar Zaid takut sama kamu. Udah bajunya item semua.”
“Bagus deh.”
Aku mengikuti Dara keluar, kemudian mendapati wajah ramah-menawan-baik budi milik Andra, seperti yang biasa kulihat, duduk dengan sabar di atas motornya.
Aku melambaikan tangan dengan semangat, yang lagi-lagi disambut Andra dengan senyum malaikatnya. Jangan-jangan, Dara memang seorang peri di kehidupan sebelumnya, makanya sekarang punya pacar sebaik Andra. Kumantapkan langkahku menuju motornya. Tapi kok? Ekspresi di wajah Andra beru…bah?
“Wawan mau bareng… saya?” Tanya nya hati-hati.
Aku mengangguk, sedikit mengurangi antusiasku.
“Eh?” Andra kini terlihat gelisah. Matanya bergerak-gerak menatap ke belakangku.
Andra kenapa? :(
“Drama apa ini?”
Aku menoleh ke sumber suara. Ah iya, ini dia Si Zaid-Zaid yang disebut tadi. Kuperhatikan lelaki jangkung yang sedang merapatkan jaket kulit yang dipakainya. Aku mendapatinya terang-terangan menatapku bosan. “Ayo, buru! Gua mau nonton bola.” Bahkan aku bisa mendengar nada kesal dalam suaranya.
Aku menatap Dara, meminta pertolongan pada Ibu periku.
“Hmm, gini, Wan. kamu sama Zaid aja ya… aku sama Andra mau mampir ke apotek bentar. Ya?”
Karena tidak diberikan pilihan, aku berjalan terseok-seok menuju motor sport milik Zaid. Aku benci motor itu. Bahkan sebelum duduk aku sudah sakit pinggang duluan.
Zaid menyerahkan helm untukku. Setelah memasang helm, aku susah payah naik ke motornya, dan dia sama sekali tidak terlihat untuk membantuku. Baru kemudian ketika aku berhasil duduk, suara datar itu terdengar, “Aku baru tahu Wawan nama perempuan.”
“Namaku bukan Wawan.”
Kulihat dia buru-buru mengangkat sebelah tangannya, “Enggak usah dibahas. Dan jangan ajak bicara, aku pendiam.”
Sial.
***
Kami tiba lebih dulu di warkop, Zaid masih belum bicara. Dia hanya mengajakku masuk dengan gesturnya. Karena tidak ingin terlihat canggung, kubilang saja aku menunggu Dara dulu.
Setelah dia melepas helmnya, aku baru tahu Zaid punya rambut ikal yang tebal. Kuberanikan diri menatap wajahnya. Kulitnya kecokelatan. Dahi yang mengernyit saat menatapku, alis tebalnya berantakan seperti rambutnya, sepasang mata hitam pekat, tidak terlihat ramah, anehnya juga tidak menakutkan, hidungnya mancung, tapi tak terlihat seperti perosotan. Sialnya, selain sebuah tahi lalat di atas bibir, aku sama sekali tidak menemukan satu jerawat pun di wajahnya. Pfft, jiwa insecure ku terpanggil.
Mungkin karena jengah diperhatikan, Zaid memilih masuk dan meninggalkanku sendiri di parkiran.
***
Aku sama sekali tidak paham konsep triple dates yang dimaksud Dara. Faktanya, setelah masuk, aku menemukan Apuy dan segerombolan lelaki yang kuanggap spesies Zaid. Hmm, Zaid memang lebih enak dilihat, walaupun rambut ikalnya enggak rapi, dan jaket kulitnya yang hanya dia dan Tuhan yang tahu sudah berapa lama tidak dicuci. Begitu melihatku, Apuy dengan semangat memperkenalkan dan menjorok-jorokkan ku untuk duduk di antara mereka. Apa-apaan ini?
Aku memilih duduk di pojokan setelah memesan segelas susu hangat. Sungguh kesialan yang hakiki terjebak di antara geombolan yang berisik ini. Mereka sibuk melemparkan jokes yang anehnya tak mampu membuatku tertawa. Tapi, kucoba juga sesekali tertawa garing.
“Kok lu bisa sih ngajak Roma ngedate malam minggu, Za? Roma, punya pacar kan lu?”
Itu, omongan si botak yang kulihat paling hiperaktif di antara mereka.
Kulirik Zaid yang duduk di seberangku, dari tadi dia memang terlihat asyik ngobrol berdua dengan laki-laki keriting manis di sebelahnya yang kuanggap bernama Roma. Lihat itu, pakai rangkul-rangkul segala.
Zaid dengan santai melepas rangkulannya, lalu membalikkan badannya menatap Roma, sambil bilang, “Karena gua lebih bisa memenuhi kebutuhannya, daripada ceweknya.”
Jawaban santai Zaid disambut gelak tawa oleh gerombolan itu. Yang ditatap mesem-mesem.
“Gua kasih dia tumpangan buat tidur, gua masakin, beliin rokok, ngasih jajan pas akhir bulan, gua isiin bensin lagi buat jalan sama pacarnya. Gua kurang apa coba?”
Lagi-lagi tawa mereka meledak. Roma yang masih mesem-mesem, akhirnya mengeluarkan suara, “Iya, apa jadinya aku kalau gak ada kau ya, Za? Nikahi aku sekarang, Bang.”
“Anjaaay!” Zaid meraup wajah Roma dengan tangan besarnya.
Eh, kok lucu?
***
Mereka mulai berhenti membully Roma ketika pertandingan live bola dimulai. Aku memang tidak ikut teriak-teriak heboh seperti pria-pria kesepian yang kutemui malam itu. Aku akan mendukung siapapun yang menang!
Tapi, perutku sedang tidak bersahabat. Aku memang belum makan malam, ternyata segelas susu tidak cukup membantu malam itu. Aku baru saja hendak memanggil Dara, ketika dia tiba-tiba bangkit lalu mendekat ke arahku, “Wan, aku keluar sebentar ya sama Andra, masih harus nyari obat lagi.” Bisiknya.
Kenapa mereka tiba-tiba jadi tukang obat malam ini?
Baru saja mau protes, Dara sudah melangkah pergi sambil melambai. “Puy, nanti antarin Wawan pulang yaa. Bye semuaaa!”
Kulirik Apuy, dia hanya mengacungkan dua jempol kepada Dara kemudian kembali larut dalam bisik-bisik manja bersama Rio, pacarnya. Sambil sesekali tertawa ngakak sampai memukul-mukul meja. Ah, Apuy itu sebelas dua belas denganku. Sama sama tidak peka. Susah menghubungkan radar. Iya, susah sekali melakukan telepati dengannya.
Ah iya, sebelum pada salah paham lagi. Apuy dan Rio itu bukan pasangan gay. Apuy sahabatku adalah perempuan tulen, aku juga tidak paham kenapa nama manisnya Puteri bisa dipanggil Apuy begitu. Sama seperti orang-orang memanggilku Wawan.
Aku pasrah. Dengan gontai, kukeluarkan laptop dari ransel, lalu membuka game favoritku, mencoba menikmati jam-jam kosong dengan perut yang meledak-ledak minta diisi. Sibuk merapal do’a dalam hati, semoga Apuy membawaku pulang secepatnya.
Jariku berhenti bergerak-gerak ketika menangkap sepiring roti bakar disodorkan ke arahku. Aku menoleh. Mendapati Zaid yang entah sejak kapan sudah duduk di sampingku. Dagunya menunjuk ke arah piring, “Dimakan. Rotinya pakai cokelat, enggak pakai racun.”
“Hah?” aku kembali mélanga-melongo seperti biasa. “Enggak usah.”
“Aku perhatikan kamu belum makan apa-apa dari tadi.” Sekarang dia meluruskan kakinya, mencari posisi duduk yang nyaman, sudah tidak menatapku. “Kalau masih mau nunggu Apuy pulang, bisa sakit perut entar. Mereka paling balik jam 10.”
Wah. Aku terkagum-kagum. Terheran-heran. Do’aku malam ini dikabulkan Tuhan.
Ku comot sepotong roti, lalu mengunyah cepat. Enak. Aku lapar. Dengan cepat potongan ke dua masuk ke mulutku.
Baru ketika hendak mengambil potongan ketiga, aku menimbang-nimbang, mengajak Zaid mengobrol atau jangan. Rasanya tidak sopan kalau aku tidak mencoba berbasa-basi dengannya setelah diselamatkan dari badai kelaparan begini. Jadi kuputuskan untuk bersikap baik padanya. Aku menoleh, bersiap membuka mulut, tapi yang kutemukan adalah wajah serius Zaid yang sedang menatap layar. Oke, ternyata memang tidak mudah. Zaid sama sekali tidak tertarik untuk memulai obrolan. Tapi aku merasa lebih baik, dengan Zaid di sana, duduk di sampingku, hingga akhirnya Apuy mengajakku pulang.
***
4 notes
·
View notes
Text
Perempuan itu sudah tak bisa menulis. Setiap kali ia mencoba, rasanya yang keluar hanya kalimat-kalimat sampah saja. Seperti luka basah yang ditutup paksa dengan kasa yang tak kunjung diganti, yang walaupun disembunyikan, tetap saja menguarkan bau busuk. Amis. Bangsai. Apak. Basi.
Ia bukan lagi lautan dengan riak yang tenang, bukan lagi rintik hujan dengan petikan gitar dan semangkuk cokelat, bukan movie maraton dengan kulkas penuh icecream di malam-malam yang rindu, bukan lagi sajak sajak manis yang menimbulkan rona merah muda bagi siapa saja yang membacanya, bukan...
Sudah tak ada harap di antara semoga-semoganya. Tak ada lagi jawab untuk segala tanyanya. Sudah tak ada genap dari segala ganjil yang ia punya. Tak ada lagi percaya. Empati. Dan segala hal baik lainnya.
Dan di antara semua kekacauan itu, ia menemukan dirinya. Memeluk diri dengan nyaman. Sudah tak ingin beranjak. Tak ingin kehilangan dirinya lagi. Tak lagi berpura-pura menjadi manusia yang paling kuat. Tak apa mengakui diri sedang tidak baik-baik saja, bukan? Karena tak ada yang salah dengan menjadi kalah.

1 note
·
View note
Text
i don't feel like writing right now but i have to write :(
and hello, this is my first post.
2 notes
·
View notes