kau akan melakukan banyak kesalahan, kau akan melakukan banyak kesalahan, kau memang akan melakukan banyak kesalahan. Tapi, tetap bangkitlah!
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Sesibuk apa dirimu hari ini?
Oh sibuk sekali, kata si anak lugu itu,
Kesana kemari tubuhnya,
kemari dan kesana pikirannya, tak menyatu, tak tahu menahu.
Hidup hanya mengikuti tulisan Yang Maha Kuasa
Tak ingin bertanya-tanya mengapa ini terjadi pada saya,
begitu kata si anak bau kencur yang matanya lebar terbuka.
Menjalani hari hanya menuruti Sang Pencipta Alam Raya
Ya mau gimana lagi ya,
Begitu katanya.
--- Kosong Isi Kepala ---
nsf, Surabaya, 1/12/24
0 notes
Text
Tapi aku lelah sekali
Didustakan, merasai nyeri, menjelaskan, mengeluh, memohon bantuan... aku lelah sekali, seakan tiada akhir, tiada harapan.
Semakin aku mengetahui, semakin aku ingin undur diri,
Semakin aku mengerti, semakin aku tak ingin berupaya lagi.
Namun, aku masih ingat benar dengan sajak yang dengan lugu kau tulis dulu itu, ingat tidak?
Bahwa "dengan berupaya mengerti, kau bisa bersabar. Dengan bersabar dalam berupaya, kau akhirnya akan mengerti. Dan dengan bersabar dalam mengerti, kau bisa terus berupaya"
Andai saja mereka mengerti, andai saja mereka berupaya sedikit memahami, merasai kehidupan yang kujalani, menaruh kaki di sepatu hangat yang tengah kupijak ini, andaikan ada setitik empati, andaikan... andai... dan beribu andai... maka mungkin tak akan didustai.
"Bawa segala sesuatu ke Tuanmu, itu yang selalu kau katakan",
namun aku tak ingin membawa beban dan meminta imbalan, aku tak ingin meminta sesuatu yang Tuanku tak suka melakukan. Kita tidak meminta orang yang kita sayangi melakukan apa-apa yang tidak mereka sukai, bukan?
"Ya benar, setidaknya kau belajar, ya kan, sayang?"
"Tugasmu itu, hanya di tiga tempat dalam setiap peristiwa. Satu, apa emosimu yang keluar, syukuri apapun itu karena rezeki. Mengingat dirimu tahu proses menghasilkan emosi begitu rumit. Dua, Bagaimana reaksimu terhadap emosi itu, kontrol, karena disitu Tuanmu mengajarkan. Tiga, Upayakan yang terbaik yang bisa kamu upayakan dari peristiwa itu, belajar, meski susah, lama, dan jatuh berulang, karena disitu letak senyum Tuanmu"
"ini waktu dhuhamu, ingat tidak, saat dirimu di negeri antah berantah? pelajaran yang kau tuai. Bahwa Tuanmu itu profesional. Bahwa Ia Maha Mulia, Ia tak mungkin meninggalkan. Bahwa Ia Maha Baik dan Bijaksana, Ia Baik dalam KebijaksanaanNya dan Bijaksana dalam KebaikanNya"
"Ini mendung, dan apakah bila mendung datang, atau malam tiba, kau mengira mentari tak pernah ada? Bersabarlah barang sebentar saja, berprasangka baiklah barang sedikit saja"
--- Pes Anserinus ---
Nsf, Sby 11 Mei 2024
0 notes
Text
Katamu, masih kuingat, cinta itu janji bukan.
katamu pula... bahwa Ia senang melihatmu berusaha, entah itu apakah bualan atau keyakinan yang kau pegang agar kau tetap bisa melangkah..
Katamu dulu juga, bahwa hidupmu bukanlah milikmu seorang, iya kan?
Lalu mengapa menangis? lalu mengapa berputus asa?
Lelah kan? iya, aku juga sama.
Capek kan? iya, langkah kita bersama kok, tapi aku masih ingin tetap mendampingimu.
Nanti... nanti... nanti, ada waktunya sendiri ya. Saat ini masih malam, diiringi mendung tebal menjelang badai mungkin.
Namun, sayang...
Apakah bila malam tiba, atau mendung datang, kau menyangka mentari tak pernah ada...
Ada langkah-langkah mungilmu sembari kau tersenyum di luar sana, di ujung, pelosok, antah-berantah, yang mungkin hanya dirimu seorang yang bisa mengingat.
Bersabarlah barang sebentar saja... berprasangka baiklah, ... barang sedikit saja...
Pada dirimu... pada Tuhanmu...
--- Oli ---
Surabaya, 4 Mei, 2024
0 notes
Text
Membaca itu menyibakkan gerhana,
Menenangkan guruh di dalam kepala,
Mendamaikan perang ombak di samudra petaka,
Menumpulkan semua mengapa,
Mengubur dalam-dalam setiap nestapa,
Mengalihkannya dengan dunia di luar sana,
Dimana senyum selalu ada dalam jalan cerita,
Duka beberapa, tapi akan berakhir bahagia.
Kau pun berkilah,
“Namun dunia bukanlah seperti dunia disney belaka,
ketika si cantik bertemu rupawan lalu mereka hidup bahagia,
Atau si merana bertemu bijaksana lalu mereka berakhir tertawa bersama...”
Tidak, dunia memang bukan teater mancanegara,
Tapi percaya,
Dunia tak seburuk yang kau kira,
Cari celah syukur,
Selalu temukan celah syukur,
Begitu nasihatNya...
OlehNya, yang menurutmu, tak mampu berkata apa-apa..
OlehNya, yang menurutmu, hanya mampu melihatmu tersedu..
Mati rasa akhir dirimu menjadi, apakah itu kesimpulan kerangka cerita ini?
-- Sampul Buku—
(Serial Sajak “Alat dan Bahan”)
nsf, Surabaya, 23 Feb 2022
0 notes
Text
Malam berakhir begitu cepat, lekas, tanpa hambat
Pagi menerjang tanpa belas kasih, sapa, tak mengapa, yang jelas segera saja, tak boleh terlambat
Hatiku bak Laut Kaspia, begitu luasnya, ia punya arus sendiri
Begitu dalamnya, ia punya gelap dan hitamnya sendiri
Dan dirimu masih enggan beralih dari malam yang sudah lama berakhir itu,
Benakmu terus teringat, akan kata-kataku yang menyakitimu saat malamku itu,
Seakan dunia tak pernah hitam
Atau malam tak boleh datang dalam harimu
Seakan kelam bukanlah kata yang ada dalam kamusmu
Jatuh bukanlah hal yang biasa dalam sepak terjangmu
Namun bagaimanapun, malam telah berakhir, dan aku masih disini, masih mencintaimu
Dengan cinta yang sama, sebelum dan sesudah malam itu,
Dengan rindu yang sama, seperti hari-hari biasanya…
Bersediakah dirimu membuka hatimu kembali, dan menerima…
Bahwa tak semua cinta harus bertemu, tak semua asa harus terwujud,
Tak semua doa harus terkabul, tak semua garis harus menyatu,
Dan tak semua cermin dapat menimbulkan bayangan yang sempurna… seperti sedia kala.
Bahwa cintaku mungkin masih ada untukmu,
Namun tidak hatiku.
-----Layar yang Dibuka Kembali----
NSF, Surabaya, Kos Mak ICA, 20 Maret 2024.
0 notes
Text
Menata hati dan pikiran,
Menata kata dan intonasi suara,
Menata waktu dan rasa,
Itu yang selalu ia lakukan,
Bukan hanya rambutnya yang rapi, hidupnya pun pula,
Bukan hanya lisannya yang santun, senyumnya sama saja,
Bukan hanya langkahnya yang tegap, kuat hatinya selalu dapat diterka.
Ini syair kagum dan cinta,
Tertuai dalam amarah dan duka,
Dalam sesal yang tak enggan keluar dada.
Inginku, pikirmu tenang, mengalir bak sungai di kaki pegunungan.
Inginku, karirmu cemerlang, bak bintang di angkasa jauh dari genggaman,
Inginku, bahagiamu kerap datang, bak ombak di pesisir pantai kejauhan.
Inginku, tak menganggumu dengan lemahnya jiwa,
tak menghalangimu dari fokus masa depan,
Inginku, mencintaimu tanpa suara lantang … Tanpa perlu kau hiraukan.
Inginku, menemanimu dalam upayamu tengah malam, bila saja memungkinkan.
Inginku, detak jarum yang akan berlembut sapa, barang sedikit saja, tak apa kan?
Tapi itu hanya inginku.
Bijak kah diriku tak mendengar inginmu?
--- Diskusi Dua Pasang Iris---
0 notes
Text
Bangkit merupakan seorang dokter umum muda yang baru saja bekerja di Puskesmas Widuri. Jauh dari tempat asal, keluarga, serta keramaian kota, Bangkit mencari suatu masa ketika dia bisa pulih, entah pulih dari masalah macam apa yang ia maksud. Sehari-hari pekerjaannya terkesan biasa saja, mendengar keluhan pasiennya dan berupaya menyelesaikan semampunya. Sampai ketika Bayu, seorang penyidik utama Polsek Widuri datang dan membawa Bangkit masuk dalam kasus pembunuhan yang menyapa kembali setelah tahun lalu belum ditemukan pelakunya. Bagi Bangkit, kasus yang dibawa Bayu adalah sebuah negara api di tempat barunya. Negara api yang berbeda dengan yang menyerangnya dahulu kala.
“Aku tak terbiasa dengan kasus ini, mungkin iya dengan copet, jambret, kecelakaan lalu lintas di pertigaan sepi yang tentunya tidak ada lampu merah – yang seringkali terjadi di malam hari atau saat hujan --, kehilangan ayam sampai kemalingan sapi oleh tetangga, atau pertikaian karena cukrik di malam yang tak tentu. Akan tetapi pembunuhan? Jiwa macam apa yang tega melakukannya? Iya, bila mungkin di kota, itu merupakan hal yang dapat ditemui, tapi di desa? Sebuah konflik macam apa yang menajamkan sebilah parang bukan untuk menebas rerumputan?” --- Bayu.
Sinopsis - Heterochromia
8 notes
·
View notes
Text
“Pak Bangkit, ini tetangga jenazah,” Panggil Pak Bayu dari dalam rumah jenazah.
Aku pun beranjak masuk kembali ke dalam rumah jenazah dan disana kulihat Pak Muhith tengah berdiri dengan raut muka sedih, peluhnya masih tampak membasahi dahi dan pipinya, kedua alisnya mengernyit, kepalanya agak menunduk. Kedua tangannya dengan erat menggenggam pecinya, sesekali ia meremasnya. Aku melangkah mendekat perlahan, khawatir apa yang akan dikatakannya. Ia pun menoleh padaku. Kali ini tampak jelas kekhawatirannya, matanya lurus menatapku, kedipannya berkurang, tak berapa lama mulai berkaca-kaca dan menggumamkan sesuatu. Tak mendapat respon dariku, ia mengulangi kata-kata yang ia ucapkan dengan suara lebih keras.
“Dokter, ini Kariyan, sahabat saya…” Ujarnya.
Ia pun merentangkan tangan berusaha menggapai bahuku, lalu memelukku erat erat, samar-samar kudengarkan suaranya sesenggukan.
Selanjutnya hanya ocehan-ocehan yang sulit kuterka maksudnya, beberapa kali kudengar nama korban, Kariyan. Beberapa kali kudengar saya yang salah dokter, yang beberapa kali kucoba meyakinkan diriku bukan itu yang kudengar, tapi entah berapa kalipun kuyakinkan diriku, tetap urutan kata demi kata yang terdengar adalah saya – yang – salah – dokter.
Aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Kurasa … aku terlalu terlambat untuk hendak memeriksa pasienku bukan begitu. Tidak perlu air mata, kamu itu harus profesional! Empati, bukan simpati! Kata-kata residen penyakit dalam -- yang menjadi mentorku saat aku ko-asistensi dulu-- kembali kudengar. Kamu itu laki-laki! Tidak boleh cengeng! Teriakan ayahku menyusul.
Suasana hari itu tampak biru.
-- Jerat Tali, Heterochromia --
0 notes
Text
“Nak Bangkit, ini pengalaman saya, bagaimana cara mengatur emosi agar tidak menggebu-nggebu, atau istilahnya menjadi sabar sebenar definisi sabar. Ada yang bilang kalau sabar itu terjadi di awal menerima berita buruk atau di awal kejadian terjadi. Serta bagaimana menjadi bersabar dan tetap mampu menjalankan tugas sehari-hari dengan baik. Mungkin Nak Bangkit jelas mengetahui ini di dalam teori kedokterannya, namun izinkan saya memberi pandangan lain” Ujar Ustadz Ali pelan.
Ia kemudian menatap kopi hangat di cangkir kecilnya yang masih meniupkan asap putih ke atas. Kopi tersebut terlihat cukup menggiurkan, hangat-hangat, hitam pekat… sepekat dan sepanas isi pikiranku mungkin.
“Tuhan itu profesional. Ia jauh lebih profesional daripada makhluknya” Ujar pak ustadz kembali dengan lembut, ia kemudian melepas kopyah hitamnya dan menyisir rambutnya pelan dengan jari-jari tangan kirinya.
Ia nampak sangat tenang, pun juga sangat yakin akan keyakinannya. Sementara jauh di dalam lubuk hatiku, aku meronta, aku tak terima. Tidak… Tidak setelah banyak hal buruk yang kualami. Bukankah seseorang bila menyayangi orang lain maka secara otomatis ia tak membiarkan kejadian buruk menimpa orang yang ia sayangi? Bagaimana bisa dikatakan kalau Tuhan menyayangi makhlukNya, lebih-lebih profesional! Apa maksud profesional itu?
“Mungkin Nak Bangkit protes di dalam hati, bagaimana mungkin Tuhan bisa membiarkan suatu hal buruk terjadi pada orang baik, dan hal baik terjadi pada orang buruk?”
-- Penumbra --
0 notes
Text
Semalam daku bermimpi,
Ada dirimu diujung terowongan gelap,
Hinggap para gagak dibelakangmu, berpayung mengelilingi
Rompi! Itu mereka hendak menjelma menjadi.
Tapi kau bilang, dan kukutip dengan baik pula
“Tidak apa-apa, abaikan saja mereka”
Katamu sambil menjulurkan tangan kanan penuh darahmu.
Engkau lirih berbisik,
“Aku mencintaimu, dengan cara apapun, inginnya dirimu dicintai”
“Dan aku menyayangimu, tak mungkin tega memintamu diam disitu,
Terlalu gelap, dingin dan lembab, tidak baik buat kulit dan parumu itu”
“Tapi aku juga tidak ingin memaksamu menjadikan gagak sebagai temanmu,
Mengetahui betapa kau membenci mereka”
Tanyamu perlahan kemudian,
“Dapatkah kau mencintaiku sepertiku mencintaimu?”
Uluran tanganmu menjauh, semakin jauh, dan semakin menghilang.
Lalu aku terbangun dengan bulir-bulir keringat jagung di dahi,
Aku masih ingin engkau disini…
Dengan itu inginnya aku dicintai.
--- Cinta Punya Beribu Bahasa ---
Nsf, Surabaya 11 September 2022.
0 notes
Text
Dunia boleh berperang
Mereka boleh berseteru dan saling menghunuskan pedang
Tapi kau harus ingat dengan cita-cita yang teguh kau pegang
Harus tetap setia dengan janji-janji pada dirimu yang mengharapkan,
Harus dan harus tetap tegar di dalam.
Benang di depan matamu boleh saja bergulung dan semrawut ia menjadi,
Memusingkan bukan hanya dirinya sendiri tapi juga dirimu kini
Tapi kau harus kuat menjalani tugas sehari-hari
Ada hal-hal yang masih harus kau tekuni
Masih ada api yang ingin kau terus jaga jauh di kedalaman hati.
Petaka di luar itu, jangan kau biarkan membanjiri bilik yang lain,
Huru hara di depan itu, jangan sampai membuatmu lupa pada amanahmu yang lain,
Dan geger di sekelilingmu itu, …
Jangan kau biarkan menumbangkan benih yang telah kau tanam.
Kuatlah dirimu menjadi, tegaslah pada apa yang kau hadapi, teguhlah dengan pendirian yang kau yakini, pelajarilah agar lebih baik kau dapati nanti, ubahlah apa yang bisa kau lakui, melangkahlah dengan tetap berhati-hati. Aku disini akan terus mendampingi … dan tentunya mengawasi agar kau selalu mawas diri. Bahwa hidup ini akan berakhir menjadi mati, denganNya dirimu akan mempertanggung jawabkan tindak tandukmu ini, sementara Ia tak pernah berhenti mengamati maka jangan sampai dirimu mendzolimi. Namun waktu tak mau hanya menungguimu hingga ia diam berhenti, ia akan terus berlari meski dirimu berdiam diri, maka tetap melangkahlah dengan berhati-hati.
---Sabar Itu Bukan Berpangku Tangan---
0 notes
Text

Alhamdulillah…
Bagaimana bisa aku mengeluh…
Dari 5 ban yang ada...
Baru satu yang meletus...
Alhamdulillah…
Bagaimana bisa aku mencela…
Dari 100% luas area tubuh…
Hanya 1% yang hangus berubah rupa…
Alhamdulillah …
Bagaimana bisa aku kecewa…
Dari 35 hari yang ada…
Hanya 2 hari ku bertarung dengan perut merana…
Alhamdulillah …
Bagaimana bisa aku menuntut lebih…
Sementara amal penuh cacat …
Niat penuh riya’ dan sum’ah …
Langkah baik penuh bimbang …
Sedekah penuh ragu dan eman …
Janji temu sering terlambat bahkan mungkin terlewat…
Pembicaraan sering berlalu tanpa upaya berkontak mata …
Seakan Tuhan itu apa?
Sementara, … aku hanya hamba…
---Doa Yang Terlambat---
Nsf, 31 Januari 2021
0 notes
Text
Jika aku harus melebur,
maka izinkan diriku sendiri yang terkubur,
bukannya menyebar kerusakan ke dulur,
bukan pula menyisakan pesan kalau hidup membabak belur.
dan bila aku harus tiada,
hingga terputuslah masa usia,
maka izinkan baktiku tetap ada,
meski barang beberapa lama saja.
-- Wasiat --
Nsf, 2 Mei 2022.
0 notes
Text

“Ini benar-benar menjemukan”
“Ini sungguh-sungguh melelahkan”
Ujarmu lirih dalam malammu itu,
Kemudian kau bersimpuh,
Mengucap malu pada Sang Pemilik Asa,
Kau berkata ingin berhenti saja
Dalam setiap letih dan langkahmu hingga tertatih-tatih itu.
Senyum Sang Pemilik Asa tak pernah pudar,
Ada sebuah rahasia yang belum pernah dirimu dengar,
Kalau Ia senang sekali melihat dirimu berupaya,
Bangga sekali menyaksikan jatuh bangunmu setiap masa,
Mendengar keyakinanmu yang lamat-lamat kau tumpuk dan tata,
Sehingga kini menjadikanmu lebih percaya pada luasnya Asa Yang DimilikiNya.
“Jangan menyerah ya”
Ia yakin kamu bisa,
Kamu yakin dirimu bisa,
Jangan menyerah ya,
Nanti… benar-benar nanti,
Kau juga akan tersenyum ketika mengamati,
Dan kau juga akan mengerti arti hari ini,
Ketika dirimu memutuskan untuk tidak berhenti,
Untuk terus lanjut lagi.
---Menenggak Obat Malam Hari—
Nsf, 21 Februari 2022.
0 notes
Text
Kematian,
Apakah bagimu ia sudah menjadi fenomena biasa saja?
Tidak menarik dari sisi apapun jua?
Ah, mungkin, bagimu.. mereka bukan siapa-siapa.
Hanya sebuah nama diatas kertas,
Atau resep tertera di dalam layar.
Tak tahukah dirimu?
Bahwa, boleh jadi mereka adalah Ia
Seorang ibu yang amat disayang oleh keluarganya,
Atau Ia,
Seorang ayah yang merupakan tulang punggung satu-satunya,
Atau Ia,
seorang anak yang menjadi tumpuan harapan ayah bundanya,
Atau Ia,
Seorang nenek yang selalu tersenyum tanpa kau minta,
Atau Ia,
Seorang kakek yang menjawab pertanyaan bodohmu sembari menahan sesaknya,
Atau Ia,
Seorang teman seperjalanan yang masih ingin kau tegur sapa.
Tak hendakkah dirimu?
Bermurah hati barang sedikit saja,
Semurah hati Tuhanmu, saat kau datang meminta.
Bagaimanapun juga,
Bukankah mereka juga hamba,
Dari Tuhan yang kau puja,
Yang datang kepadamu sebagai upayanya
Untuk sedikit saja meringankan bebannya.
Maka, bagaimana jawabmu?
Bila Ia – Ia ini mengadu.
Pada Tuannya,
Ya… Tuan semesta alam.
Yang kepadaNyalah engkau bersujud dan mengucap doa.
---Tertimpa Beban Berat---
Nsf, Kab. Mojokerto, 2 Maret 2021.
0 notes
Text
Aku hanya bisa berdoa,
“Semoga bukan kegelapan yang akan kutemui di akhir ku menutup mata,
Terutama setelah berbagai upaya,
Satu pintu dicoba”
Kucoba
Pintu selanjutnya tertutup juga,
Jendela pun tak mengapa,
Lubang buaya pun tiba di akhirnya,
“Semoga saja bukan gerhana”
Aku tak suka gerhana,
Itu mengingatkan cinta mengapa,
Betul! Si mengapa yang seringkali menyapa,
Merayap merasuk saat gagal bertatap muka,
Entah nyata atau bualan dalam hati saja,
Tetap saja rasanya lebih sakit dari sakit kepala,
Sakit kepala yang berdenyut saja sampai mengangkat putih bendera.
Gegara kalah sama mengapa yang suka datang tiba-tiba.
Betul! Dasar aku yang cuma bisa berdoa,
Kalau bulan punya mata ia pasti memaki pula,
Betapa tidak! Ia tak punya mengapa di belakang kepala,
Yang suka sembunyi kalau aku bahagia,
Yang suka mengusik kalau aku diam saja,
Yang suka menjadi ketiga saat aku mencinta,
Terus juga suka kalau memberi nasihat membalut duka,
Eh, tiba-tiba menjelmalah si mengapa menjadi duka.
Betul! Duka yang tidak mau pergi meski sudah kau usir, kau tendang, kau tandai sifatnya, kau siasati kehadirannya, kau perangi dengan “kata positif” yang kata para penasihat dunia maya bisa membentuk tembok antara dirimu dan duka. Duka masih ingin menyapa, seperti semua mengapa mengapa yang terus memenuhi isi kepala.
--Rupa Gerhana Dalam Kepala—Nsf, 28 Januari 2022. Sajak Kedua Dalam Trilogi “Gerhana”
0 notes
Text
(3) Lingkaran Setan
Tapi ia tahu, … ia hanya hamba. Suatu kata yang selalu ia coba dalami, ia coba pukul dan patrikan keras-keras, yang ia harapkan suatu hari nanti tak perlu lagi ada perdebatan, tak perlu lagi ada argumentasi yang membahana dalam tempurung kepala, atau denyutan yang bersautan tanpa komando meraung-raung di dasar dada, hingga .. tak perlu lagi ada … air mata. Ia hanya harus menerima, setidaknya itu yang ia pilih untuk lakukan.
6 September 2021
--- Trilogi Sunyi ---
Nsf
0 notes