Tumgik
nsf2020 · 9 days
Text
Malam berakhir begitu cepat, lekas, tanpa hambat
Pagi menerjang tanpa belas kasih, sapa, tak mengapa, yang jelas segera saja, tak boleh terlambat
Hatiku bak Laut Kaspia, begitu luasnya, ia punya arus sendiri
Begitu dalamnya, ia punya gelap dan hitamnya sendiri
Dan dirimu masih enggan beralih dari malam yang sudah lama berakhir itu,
Benakmu terus teringat, akan kata-kataku yang menyakitimu saat malamku itu,
Seakan dunia tak pernah hitam
Atau malam tak boleh datang dalam harimu
Seakan kelam bukanlah kata yang ada dalam kamusmu
Jatuh bukanlah hal yang biasa dalam sepak terjangmu
Namun bagaimanapun, malam telah berakhir, dan aku masih disini, masih mencintaimu
Dengan cinta yang sama, sebelum dan sesudah malam itu,
Dengan rindu yang sama, seperti hari-hari biasanya…
Bersediakah dirimu membuka hatimu kembali, dan menerima…
Bahwa tak semua cinta harus bertemu, tak semua asa harus terwujud,
Tak semua doa harus terkabul, tak semua garis harus menyatu,
Dan tak semua cermin dapat menimbulkan bayangan yang sempurna… seperti sedia kala.
Bahwa cintaku mungkin masih ada untukmu,
Namun tidak hatiku.
-----Layar yang Dibuka Kembali----
NSF, Surabaya, Kos Mak ICA, 20 Maret 2024.
0 notes
nsf2020 · 4 months
Text
Menata hati dan pikiran,
Menata kata dan intonasi suara,
Menata waktu dan rasa,
Itu yang selalu ia lakukan,
Bukan hanya rambutnya yang rapi, hidupnya pun pula,
Bukan hanya lisannya yang santun, senyumnya sama saja,
Bukan hanya langkahnya yang tegap, kuat hatinya selalu dapat diterka.
Ini syair kagum dan cinta,
Tertuai dalam amarah dan duka,
Dalam sesal yang tak enggan keluar dada.
Inginku, pikirmu tenang, mengalir bak sungai di kaki pegunungan.
Inginku, karirmu cemerlang, bak bintang di angkasa jauh dari genggaman,
Inginku, bahagiamu kerap datang, bak ombak di pesisir pantai kejauhan.
Inginku, tak menganggumu dengan lemahnya jiwa,
          tak menghalangimu dari fokus masa depan,
Inginku, mencintaimu tanpa suara lantang … Tanpa perlu kau hiraukan.
Inginku, menemanimu dalam upayamu tengah malam, bila saja memungkinkan.
Inginku, detak jarum yang akan berlembut sapa, barang sedikit saja, tak apa kan?
Tapi itu hanya inginku.
Bijak kah diriku tak mendengar inginmu?
--- Diskusi Dua Pasang Iris---
0 notes
nsf2020 · 1 year
Text
          Bangkit merupakan seorang dokter umum muda yang baru saja bekerja di Puskesmas Widuri. Jauh dari tempat asal, keluarga, serta keramaian kota, Bangkit mencari suatu masa ketika dia bisa pulih, entah pulih dari masalah macam apa yang ia maksud. Sehari-hari pekerjaannya terkesan biasa saja, mendengar keluhan pasiennya dan berupaya menyelesaikan semampunya. Sampai ketika Bayu, seorang penyidik utama Polsek Widuri datang dan membawa Bangkit masuk dalam kasus pembunuhan yang menyapa kembali setelah tahun lalu belum ditemukan pelakunya. Bagi Bangkit, kasus yang dibawa Bayu adalah sebuah negara api di tempat barunya. Negara api yang berbeda dengan yang menyerangnya dahulu kala.
           “Aku tak terbiasa dengan kasus ini, mungkin iya dengan copet, jambret, kecelakaan lalu lintas di pertigaan sepi yang tentunya tidak ada lampu merah – yang seringkali terjadi di malam hari atau saat hujan --, kehilangan ayam sampai kemalingan sapi oleh tetangga, atau pertikaian karena cukrik di malam yang tak tentu. Akan tetapi pembunuhan? Jiwa macam apa yang tega melakukannya? Iya, bila mungkin di kota, itu merupakan hal yang dapat ditemui, tapi di desa? Sebuah konflik macam apa yang menajamkan sebilah parang bukan untuk menebas rerumputan?” --- Bayu.
Sinopsis - Heterochromia 
8 notes · View notes
nsf2020 · 1 year
Text
          “Pak Bangkit, ini tetangga jenazah,” Panggil Pak Bayu dari dalam rumah jenazah.
             Aku pun beranjak masuk kembali ke dalam rumah jenazah dan disana kulihat Pak Muhith tengah berdiri dengan raut muka sedih, peluhnya masih tampak membasahi dahi dan pipinya, kedua alisnya mengernyit, kepalanya agak menunduk. Kedua tangannya dengan erat menggenggam pecinya, sesekali ia meremasnya. Aku melangkah mendekat perlahan, khawatir apa yang akan dikatakannya. Ia pun menoleh padaku. Kali ini tampak jelas kekhawatirannya, matanya lurus menatapku, kedipannya berkurang, tak berapa lama mulai berkaca-kaca dan menggumamkan sesuatu. Tak mendapat respon dariku, ia mengulangi kata-kata yang ia ucapkan dengan suara lebih keras.
             “Dokter, ini Kariyan, sahabat saya…” Ujarnya. 
           Ia pun merentangkan tangan berusaha menggapai bahuku, lalu memelukku erat erat, samar-samar kudengarkan suaranya sesenggukan.
            Selanjutnya hanya ocehan-ocehan yang sulit kuterka maksudnya, beberapa kali kudengar nama korban, Kariyan. Beberapa kali kudengar saya yang salah dokter, yang beberapa kali kucoba meyakinkan diriku bukan itu yang kudengar, tapi entah berapa kalipun kuyakinkan diriku, tetap urutan kata demi kata yang terdengar adalah saya – yang – salah – dokter.           
            Aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Kurasa … aku terlalu terlambat untuk hendak memeriksa pasienku bukan begitu. Tidak perlu air mata, kamu itu harus profesional! Empati, bukan simpati! Kata-kata residen penyakit dalam -- yang menjadi mentorku saat aku ko-asistensi dulu-- kembali kudengar. Kamu itu laki-laki! Tidak boleh cengeng! Teriakan ayahku menyusul. 
          Suasana hari itu tampak biru. 
-- Jerat Tali, Heterochromia --
0 notes
nsf2020 · 1 year
Text
“Nak Bangkit, ini pengalaman saya, bagaimana cara mengatur emosi agar tidak menggebu-nggebu, atau istilahnya menjadi sabar sebenar definisi sabar. Ada yang bilang kalau sabar itu terjadi di awal menerima berita buruk atau di awal kejadian terjadi. Serta bagaimana menjadi bersabar dan tetap mampu menjalankan tugas sehari-hari dengan baik.  Mungkin Nak Bangkit jelas mengetahui ini di dalam teori kedokterannya, namun izinkan saya memberi pandangan lain” Ujar Ustadz Ali pelan.
Ia kemudian menatap kopi hangat di cangkir kecilnya yang masih meniupkan asap putih ke atas. Kopi tersebut terlihat cukup menggiurkan, hangat-hangat, hitam pekat… sepekat dan sepanas isi pikiranku mungkin.
“Tuhan itu profesional. Ia jauh lebih profesional daripada makhluknya” Ujar pak ustadz kembali dengan lembut, ia kemudian melepas kopyah hitamnya dan menyisir rambutnya pelan dengan jari-jari tangan kirinya.
Ia nampak sangat tenang, pun juga sangat yakin akan keyakinannya. Sementara jauh di dalam lubuk hatiku, aku meronta, aku tak terima. Tidak… Tidak setelah banyak hal buruk yang kualami. Bukankah seseorang bila menyayangi orang lain maka secara otomatis ia tak membiarkan kejadian buruk menimpa orang yang ia sayangi? Bagaimana bisa dikatakan kalau Tuhan menyayangi makhlukNya, lebih-lebih profesional! Apa maksud profesional itu?
“Mungkin Nak Bangkit protes di dalam hati, bagaimana mungkin Tuhan bisa membiarkan suatu hal buruk terjadi pada orang baik, dan hal baik terjadi pada orang buruk?”
-- Penumbra --
0 notes
nsf2020 · 1 year
Text
Semalam daku bermimpi,
Ada dirimu diujung terowongan gelap,
Hinggap para gagak dibelakangmu, berpayung mengelilingi
Rompi! Itu mereka hendak menjelma menjadi.
Tapi kau bilang, dan kukutip dengan baik pula
“Tidak apa-apa, abaikan saja mereka”
Katamu sambil menjulurkan tangan kanan penuh darahmu.
 Engkau lirih berbisik,
“Aku mencintaimu, dengan cara apapun, inginnya dirimu dicintai”
“Dan aku menyayangimu, tak mungkin tega memintamu diam disitu,
Terlalu gelap, dingin dan lembab, tidak baik buat kulit dan parumu itu”
 “Tapi aku juga tidak ingin memaksamu menjadikan gagak sebagai temanmu,
Mengetahui betapa kau membenci mereka”
 Tanyamu perlahan kemudian,
“Dapatkah kau mencintaiku sepertiku mencintaimu?”
 Uluran tanganmu menjauh, semakin jauh, dan semakin menghilang.
Lalu aku terbangun dengan bulir-bulir keringat jagung di dahi,
Aku masih ingin engkau disini…
Dengan itu inginnya aku dicintai.
 --- Cinta Punya Beribu Bahasa ---
Nsf, Surabaya 11 September 2022.
0 notes
nsf2020 · 2 years
Text
Tumblr media
Dunia boleh berperang
Mereka boleh berseteru dan saling menghunuskan pedang
Tapi kau harus ingat dengan cita-cita yang teguh kau pegang
Harus tetap setia dengan janji-janji pada dirimu yang mengharapkan,
Harus dan harus tetap tegar di dalam.
Benang di depan matamu boleh saja bergulung dan semrawut ia menjadi,
Memusingkan bukan hanya dirinya sendiri tapi juga dirimu kini
Tapi kau harus kuat menjalani tugas sehari-hari
Ada hal-hal yang masih harus kau tekuni
Masih ada api yang ingin kau terus jaga jauh di kedalaman hati.
Petaka di luar itu, jangan kau biarkan membanjiri bilik yang lain,
Huru hara di depan itu, jangan sampai membuatmu lupa pada amanahmu yang lain,
Dan geger di sekelilingmu itu, …
Jangan kau biarkan menumbangkan benih yang telah kau tanam.
Kuatlah dirimu menjadi, tegaslah pada apa yang kau hadapi, teguhlah dengan pendirian yang kau yakini, pelajarilah agar lebih baik kau dapati nanti, ubahlah apa yang bisa kau lakui, melangkahlah dengan tetap berhati-hati. Aku disini akan terus mendampingi … dan tentunya mengawasi agar kau selalu mawas diri. Bahwa hidup ini akan berakhir menjadi mati, denganNya dirimu akan mempertanggung jawabkan tindak tandukmu ini, sementara Ia tak pernah berhenti mengamati maka jangan sampai dirimu mendzolimi. Namun waktu tak mau hanya menungguimu hingga ia diam berhenti, ia akan terus berlari meski dirimu berdiam diri, maka tetap melangkahlah dengan berhati-hati.
---Sabar Itu Bukan Berpangku Tangan---
0 notes
nsf2020 · 2 years
Text
Tumblr media
Alhamdulillah…
Bagaimana bisa aku mengeluh…
Dari 5 ban yang ada...
Baru satu yang meletus...
 Alhamdulillah…
Bagaimana bisa aku mencela…
Dari 100% luas area tubuh…
Hanya 1% yang hangus berubah rupa…
 Alhamdulillah …
Bagaimana bisa aku kecewa…
Dari 35 hari yang ada…
Hanya 2 hari ku bertarung dengan perut merana…
 Alhamdulillah …
Bagaimana bisa aku menuntut lebih…
Sementara amal penuh cacat …
Niat penuh riya’ dan sum’ah …
Langkah baik penuh bimbang …
Sedekah penuh ragu dan eman …
Janji temu sering terlambat bahkan mungkin terlewat…
Pembicaraan sering berlalu tanpa upaya berkontak mata …
Seakan Tuhan itu apa?
Sementara, … aku hanya hamba…
 ---Doa Yang Terlambat---
Nsf, Surabaya 31 Januari 2021
0 notes
nsf2020 · 2 years
Text
Jika aku harus melebur,
maka izinkan diriku sendiri yang terkubur,
bukannya menyebar kerusakan ke dulur,
bukan pula menyisakan pesan kalau hidup membabak belur.
 dan bila aku harus tiada,
hingga terputuslah masa usia,
maka izinkan baktiku tetap ada,
meski barang beberapa lama saja.
 -- Wasiat --
Nsf, 2 Mei 2022.
0 notes
nsf2020 · 2 years
Text
Tumblr media
“Ini benar-benar menjemukan”
“Ini sungguh-sungguh melelahkan”
Ujarmu lirih dalam malammu itu,
Kemudian kau bersimpuh,
Mengucap malu pada Sang Pemilik Asa,
Kau berkata ingin berhenti saja
Dalam setiap letih dan langkahmu hingga tertatih-tatih itu.
 Senyum Sang Pemilik Asa tak pernah pudar,
Ada sebuah rahasia yang belum pernah dirimu dengar,
Kalau Ia senang sekali melihat dirimu berupaya,
Bangga sekali menyaksikan jatuh bangunmu setiap masa,
Mendengar keyakinanmu yang lamat-lamat kau tumpuk dan tata,
Sehingga kini menjadikanmu lebih percaya pada luasnya Asa Yang DimilikiNya.
 “Jangan menyerah ya”
Ia yakin kamu bisa,
Kamu yakin dirimu bisa,
Jangan menyerah ya,
Nanti… benar-benar nanti,
Kau juga akan tersenyum ketika mengamati,
Dan kau juga akan mengerti arti hari ini,
Ketika dirimu memutuskan untuk tidak berhenti,
Untuk terus lanjut lagi.
 ---Menenggak Obat Malam Hari—
Nsf, Surabaya, 21 Februari 2022.
0 notes
nsf2020 · 2 years
Text
Kematian,
Apakah bagimu ia sudah menjadi fenomena biasa saja?
Tidak menarik dari sisi apapun jua?
 Ah, mungkin, bagimu.. mereka bukan siapa-siapa.
Hanya sebuah nama diatas kertas,
Atau resep tertera di dalam layar.
 Tak tahukah dirimu?
Bahwa, boleh jadi mereka adalah Ia
Seorang ibu yang amat disayang oleh keluarganya,
Atau Ia,
Seorang ayah yang merupakan tulang punggung satu-satunya,
Atau Ia,
seorang anak yang menjadi tumpuan harapan ayah bundanya,
Atau Ia,
Seorang nenek yang selalu tersenyum tanpa kau minta,
Atau Ia,
Seorang kakek yang menjawab pertanyaan bodohmu sembari menahan sesaknya,
Atau Ia,
Seorang teman seperjalanan yang masih ingin kau tegur sapa.
 Tak hendakkah dirimu?
Bermurah hati barang sedikit saja,
Semurah hati Tuhanmu, saat kau datang meminta.
 Bagaimanapun juga,
Bukankah mereka juga hamba,
Dari Tuhan yang kau puja,
Yang datang kepadamu sebagai upayanya
Untuk sedikit saja meringankan bebannya.
 Maka, bagaimana jawabmu?
Bila Ia – Ia ini mengadu.
Pada Tuannya,
Ya… Tuan semesta alam.
Yang kepadaNyalah engkau bersujud dan mengucap doa.
 ---Tertimpa Beban Berat---
Nsf, Kab. Mojokerto, 2 Maret 2021.
0 notes
nsf2020 · 2 years
Text
Aku hanya bisa berdoa,
“Semoga bukan kegelapan yang akan kutemui di akhir ku menutup mata,
Terutama setelah berbagai upaya,
Satu pintu dicoba”
Kucoba
Pintu selanjutnya tertutup juga,
Jendela pun tak mengapa,
Lubang buaya pun tiba di akhirnya,
“Semoga saja bukan gerhana”
Aku tak suka gerhana,
Itu mengingatkan cinta mengapa,
Betul! Si mengapa yang seringkali menyapa,
Merayap merasuk saat gagal bertatap muka,
Entah nyata atau bualan dalam hati saja,
Tetap saja rasanya lebih sakit dari sakit kepala,
Sakit kepala yang berdenyut saja sampai mengangkat putih bendera.
Gegara kalah sama mengapa yang suka datang tiba-tiba.
Betul! Dasar aku yang cuma bisa berdoa,
Kalau bulan punya mata ia pasti memaki pula,
Betapa tidak! Ia tak punya mengapa di belakang kepala,
Yang suka sembunyi kalau aku bahagia,
Yang suka mengusik kalau aku diam saja,
Yang suka menjadi ketiga saat aku mencinta,
Terus juga suka kalau memberi nasihat membalut duka,
Eh, tiba-tiba menjelmalah si mengapa menjadi duka.
 Betul! Duka yang tidak mau pergi meski sudah kau usir, kau tendang, kau tandai sifatnya, kau siasati kehadirannya, kau perangi dengan “kata positif” yang kata para penasihat dunia maya bisa membentuk tembok antara dirimu dan duka. Duka masih ingin menyapa, seperti semua mengapa mengapa yang terus memenuhi isi kepala.
--Rupa Gerhana Dalam Kepala—Nsf, sby 28 Januari 2022. Sajak Kedua Dalam Trilogi “Gerhana”
0 notes
nsf2020 · 2 years
Text
(3) Lingkaran Setan
Tapi ia tahu, … ia hanya hamba. Suatu kata yang selalu ia coba dalami, ia coba pukul dan patrikan keras-keras, yang ia harapkan suatu hari nanti tak perlu lagi ada perdebatan, tak perlu lagi ada argumentasi yang membahana dalam tempurung kepala, atau denyutan yang bersautan tanpa komando meraung-raung di dasar dada, hingga .. tak perlu lagi ada … air mata. Ia hanya harus menerima, setidaknya itu yang ia pilih untuk lakukan.
6 September 2021
 --- Trilogi Sunyi ---
Nsf, Surabaya.
0 notes
nsf2020 · 2 years
Text
Ingatkah dirimu?
Katamu kau ingin terus merajut asa,
Berenang keluar dari palung derita,
Katamu,
kau ingin terus berupaya,
Dan tetap bahagia,
Lalu mengapa berputus asa?
Menjadi sayu pandangan mata,
Tertunduk lesu dan ingin menyerah saja.
 Ingatkah dirimu?
Saat belajar berbaik sangka,
Belajar memahami berbagai peristiwa,
Belajar mengalahkan duka..
Lalu mengapa berputus asa?
Menganggap semua upaya sia-sia saja,
Tersenyum tertawa pun tak bisa.
 Ingat-ingat Ad-Dhuha ya?
Ada ayatnya,
Ma wadda aka Robbuka wa ma qola..
Walal akhirotu khoirul laka minal ula...
 Tenang saja..
Yang ini akan belalu
Seperti semua dahulu
Nantinya kau akan lupa,
dan semoga saja tak sisakan luka,
Kalaupun iya,
Maka Insya Allah bisa sembuh juga.
Berdoa dan berupaya,
Semua akan baik baik saja.
 --Putaran Anak Panah--
Nsf, Sby 6 Jan 2022
1 note · View note
nsf2020 · 2 years
Text
“Gur pinter ndongeng, nulis lan moco,  Tembe mburine bakal sangsoro” Hati-hati ya Sil! Bukan berhenti... tapi hati-hati. 
0 notes
nsf2020 · 2 years
Text
(2) Pelik Derita
Karena dalam aksara, kau katakan kau pandai menyembunyikan pelik derita. Tak ada yang perlu mendengar, tak perlu ada yang membaca, begitu yang kau kerap katakan diam-diam. Bukankah peledak telah terkubur tanpa harap terinjak masalah serupa?
 Apakah beda antara memendam dan membuang?
Meniadakan dan melepas diam diam?
Apa bagusnya memilih yang selamanya ketimbang sementara?
Akankah kiranya langkah ini selalu menjadi permata?
 Pelita di nurani kian padam, menyentuh palung trauma terdalam, bukan semakin menimbunnya dengan pasir daratan, lebih ke mengikis agar tebing kian curam.
 Ada apakah gerangan?
 Ego enggan menerima alasan, Id tak perlu lagi pembelaan, hanya ingin mengungkap kekesalan, tanpa ada cerca, tanpa perlu mengkiaskan, tanpa ada prasangka, tanpa perlu memaafkan.
 Bukan begitu hamba bertindak! Perintah Sang Maha Penyayang.
Bukan begitu abdi dalem menapaki kehidupan! Seru Sang Maha Mendengarkan.
 Ia tak ingin diam, setidaknya itu yang ia pilih untuk rasakan.
21 Agustus 2021
(Trilogi Kedua Dalam “Sunyi”)
1 note · View note
nsf2020 · 2 years
Text
Darah ibunda masih bercucuran,
Merembes, membasahi seprei putih,
Bibirnya pucat pasi,
Nafasnya tersengal-sengal menatap orang sekeliling,
           Darah ibunda masih mengalir deras,
         Merah menyala dari tempatku keluar,
         Sorot matanya letih melihat,
         Jemarinya menggenggam erat apa yang mampu dicapainya.
 Darah ibunda enggan surut,
Meski yang semula dibawah telah ditinggikan,
Meski tetes demi tetes telah dimasukkan,
Meski berbagai doa, … telah dibisikkan.
 --- Terpatri Kuat ---
Nsf, Kab. Mojokerto, 13 Maret 2021
0 notes