Tumgik
nurmareliana · 1 year
Text
Transformasi Gio-Metri
Tumblr media
[1] Absis
Merenung di balik kubikel, seorang laki-laki muda memakai kemeja warna biru tua dan celana bahan warna cokelat muda. Pemuda itu tengah menyesali tindakannya. 
"Kenapa nggak kutolong aja tadi?" ucap pemuda itu kesal pada dirinya sendiri sambil menepuk-nepuk kening. 
Pemuda itu kepikiran dengan kejadian yang dialaminya tadi pagi. Di perempatan lampu merah Siola, dia melihat anak kecil berbadan kurus tanpa alas kaki sedang membawa koran dan menawarkan koran itu kesana-sini. Satupun koran yang anak kecil itu bawa tidak ada yang beli. Saat anak kecil itu sampai di bibir kiri jalan hendak melangkah ke trotoar, tiba-tiba anak kecil itu tersandung oleh kakinya sendiri, entah tersandung atau keseleo, yang jelas anak itu jatuh dan koran yang dibawa berantakan. Pemuda berkemeja biru tua itu berada di sisi kanan jalan dekat dengan trotoar, dia hendak menolong tapi posisi mereka berseberangan, dipisahkan oleh motor dan mobil yang berjejer dan berdesakan menunggu usainya lampu merah. Pemuda itu hanya bisa memperhatikan anak kecil kesakitan sambil membereskan koran-koran. Sepersekian detik kemudian lampu merah berganti menjadi hijau. Motor dan mobil saling berebut jalan untuk lewat duluan dibarengi dengan suara bel saling bersahutan. Tit tit tit tit.
Motor yang dikendarai pemuda itu belok kearah kanan, menuju jalan Tunjungan. Dia sempat berpikir akan mencari jalan putar balik melewati jalan tadi lagi dengan mengambil sisi kiri agar bisa berhenti dan menolong anak kecil tadi, tapi niatnya diurungkan setelah melihat jam di pergelangan tangannya, jarum pendek menunjuk angka tujuh dan jarum panjang berada diantara angka sepuluh dan sebelas. Segera pemuda itu menarik gas lebih kencang. 
Pukul 07.58 WIB motor yang dikendarai pemuda itu memasuki parkiran. Layar di mesin fingerprint menampilkan angka 08.00 WIB tepat saat pemuda itu meletakkan jari jempolnya. "Terima kasih," diikuti suara perempuan dari dalam mesin fingerprint. Karyawan yang sangat tepat waktu. 
Pemuda itu bergegas menuju ruang kerjanya sambil memakai name tag bertuliskan Giovanno Shaka. 
"Selamat pagi Gio, mepet banget datengnya," sapa seorang rekan kerja yang ada di kubikel sampingnya.
Gio, begitulah pemuda itu biasa disapa. Sesuai dengan harapan yang diselipkan orang tua dibalik namanya, orang yang murah hati dari Tuhan yang baik hati. Gio tumbuh menjadi pemuda yang suka memberi, tidak pelit dan suka menolong. Semua orang yang ada dalam circle-nya sudah paham dengan tabiat Gio, Gio suka memberi jika ada pengamen atau pengemis datang menghampiri. Jika kebanyakan orang risih dengan datangnya pengamen dan pengemis silih berganti, lain dengan Gio, dia justru menikmati sekalipun uang yang dia beri tak seberapa jumlahnya. Namun jika ditotal bisa lumayan juga. Tak apalah, berbagi rezeki dengan sesama, katanya.
Sifat murah hati Gio rupanya semakin kuat didasari oleh sebuah pengalaman lima tahun lalu, saat Gio menjadi fresh graduate. Hampir setahun Gio mencari kerja kesana-sini. Kendati demikian, Gio tetap memegang teguh prinsip pantang pulang sebelum sukses, maklum pemuda rantau. Uang tabungannya habis untuk biaya transportasi, biaya kos, dan biaya hidup sehari-hari. Setiap tanggal lima Gio mendapat uang bulanan dari orang tua yang jumlahnya tak seberapa, kadang dua ratus ribu, kadang tiga ratus ribu, tak tentu. Ini baru tanggal sepuluh, uang bulanan dari orang tua telah raib bersamaan dengan raibnya dompet Gio. Dompet Gio jatuh entah dimana, dia tidak menyadarinya. Beruntung KTP, SIM dan STNK masih ada, karena disimpan di saku tas yang berbeda. 
Kejadian itu membuat Gio merasa sangat menderita, tak ada satupun orang yang bisa membantunya. Semua teman sudah pergi meninggalkan Surabaya, ada yang pulang kampung dan ada juga yang merantau ke Jakarta. Adik tingkat yang dia kenal juga tak ada satupun yang bisa membantu karena sama-sama dalam kondisi kekurangan. Gio terpaksa harus melahap nasi dengan kecap. Sejak saat itu, Gio bertekad tak ingin orang lain merasakan derita yang dialaminya. Dia sebisa mungkin membantu siapa saja yang sedang dalam kondisi kesusahan datang dan meminta bantuan. Dia akan dengan senang hati menawarkan bantuan kepada siapa saja yang dilihatnya tengah dalam kondisi kesusahan. Gio sangat menjaga hubungan horizontal, hubungannya dengan sesama.
[2] Ordinat
Seorang perempuan dengan outfit blazer ala korean style sedang asyik dengan laptopnya. Lelah memandangi ratusan bukti transaksi di rekening koran, mendatangkan kantuk yang tak terelakkan. 
"Guys aku mau pesen kopi, ada yang mau sekalian nggak?" terdengar suara perempuan itu menawarkan.
"Mau, aku matcha latte less ice satu ya. Maaciw kak Metri," jawab salah satu rekan kerja di ruangannya.
"Boleh, nanti kalau udah dateng tolong kamu yang ambil kebawah ya." 
"Siap kak Metri."
Metri, perempuan itu biasa disapa. Metri Mazaya, demikian nama lengkap pemberian dari orang tuanya. Kata Metri disematkan dalam nama oleh orang tuanya bukan karena cuma-cuma, melainkan ada sejarah di dalamnya. Metri lahir bertepatan dengan perayaan Metri Desa, umumnya desa-desa di Jawa melakukan ritual bersih desa setiap bulan Suro pada penanggalan Jawa Kejawen, sama halnya di desa Sumbersuko, Wagir, Malang, kampung halaman Ayah dan Ibu Metri sebelum akhirnya menetap di Surabaya. Tak hanya itu, nama Metri Mazaya juga diharapkan bisa membawa Metri menjadi perempuan yang unggul dan cerdas.
"Kak Metri, hari ini tumben kalem nggak banyak omong kayak biasanya?" tanya seorang rekan kerja.
"Lagi sariawan nih, ada rekomendasi obat yang ampuh bisa ngilangin sariawan sekali basuh nggak ya?" jawab Metri sambil memutar kursi.
"Nggak tau kak, aku nggak pernah akrab sama sariawan, tapi lebih baik gini deh kak, ruangan jadi lebih tenang," balas rekan kerjanya terkekeh.
Jam yang menggantung di dinding menunjukkan pukul 18.00 WIB, satu jam lebih dari jam pulang seharusnya. Metri masih terlihat nyaman berduaan dengan laptopnya saat satu persatu rekan kerjanya pamit pulang duluan. Pulang belakangan bukan untuk menunggu jalanan lengang karena tak mau terjebak macet di jalan. Bukan pula karena ada deadline yang harus hari ini diselesaikan, melainkan Metri terlanjur menikmati ritme kerjanya, sayang kalau lagi on fire tapi harus dipaksa berhenti dan selesai begitu saja. Sifat ambisiusnya begitu melekat karena ada target yang ingin didapat. Metri selalu ingin memberikan lebih dari yang perusahaannya harapkan. Bagi Metri, bekerja adalah dunianya. Hidup untuk bekerja, bukan bekerja untuk hidup. Jika harus memilih antara hidup tanpa bekerja atau hidup tanpa makan, bisa jadi hidup tanpa makan adalah pilihannya.
Metri bergegas pulang saat dirasa tugasnya sudah berhasil diselesaikan dengan maksimal. Jalanan Surabaya sudah lengang, motor yang dikendarai Metri melaju tanpa hambatan. Motor berhenti di sebuah minimarket untuk membeli barang titipan kakaknya. Sebagai anak ketiga, dia tak berkutik untuk menolak permintaan kakak-kakaknya. 
Alih-alih berlama-lama di dalam minimarket untuk membeli banyak barang, Metri justru berlama-lama di dalam minimarket untuk membanding-bandingkan harga barang.
"Beli yang mana ya, hmmmmm ini Rp. 6.950, ini Rp. 7.050, ini mahal banget sampe Rp. 8.000, wah ini ada paling murah Rp. 6.900, fix ini aja." 
Itu baru satu barang saja, belum lagi barang-barang lainnya. 
Sembari menunggu antrian di kasir, dari balik kaca, Metri melihat seorang laki-laki tua sedang duduk menjajakan barang dagangannya di pintu keluar parkiran minimarket, laki-laki tua itu menjual mainan anak-anak. Sebenarnya Metri merasa iba dengan kondisi laki-laki tua yang kira-kira seumuran dengan ayahnya tengah berjualan hingga larut malam. Metri berniat menolong dengan membeli barang dagangannya, tapi setelah dipikir-pikir kembali untuk apa membeli mainan anak-anak, jatah uang bulanan juga sudah menipis sedangkan tanggal gajian masih seminggu lagi. Rasanya bukan cuma laki-laki tua itu yang butuh pertolongan, Metri juga. Akhirnya niat menolongnya diurungkan lantaran banyak pertimbangan.
"Kak? …" suara mbak kasir membuyarkan lamunan Metri.
"Eh? iya, kenapa kak?" jawab Metri gelagapan.
"Total semuanya Rp. 50.000 ya kak, mungkin mau sekalian isi pulsanya kak?"
"Nggak, itu aja kak," jawab Metri sembari mengeluarkan uang kemudian melanjutkan perjalanan pulang.
[3] Koordinat Persegi
Menuju akhir pekan, sepulang kerja Metri tak langsung pulang. Motor yang dikendarainya menepi di sebuah kedai kopi di jalan Tunjungan, tempat dimana Metri biasa melepas kepenatan. Tanpa basa-basi, Metri masuk ke kedai kopi memesan kentang goreng dan single espresso. Metri berjalan mencari tempat duduk yang nyaman dan membawa nomor pesanan, kali ini Metri memilih duduk di area indoor, meja dengan dua kursi yang posisinya dekat dengan pintu menuju area outdoor. Kedai kopi ini memanjang ke belakang, paling depan adalah area indoor, kemudian area outdoor dan yang paling belakang adalah smoking room. 
Metri menunggu pesanan datang, sesekali dia memperhatikan orang lalu lalang, serta menikmati vibes kedai kopi tahun 90-an, lengkap dengan ubin tegel dan konsep interior yang klasik tapi menarik. Instagramable kata orang-orang. Tak lupa hp dan buku dikeluarkan dari dalam tas jinjing warna hitam, Metri kemudian tenggelam dalam bacaannya, jauh tenggelam ke dasar hingga tak sadar jika ada yang memperhatikan.
Di kedai kopi yang sama, Gio bersama dua orang temannya duduk di area outdoor, mereka terlibat perbincangan yang hangat dengan sesekali gelak tawa. Semenjak masuk kedai kopi, perhatian Gio tertuju pada seorang perempuan yang sedang asyik membaca buku sendirian. Matanya sesekali melirik perempuan itu kemudian kembali menimpali topik perbincangan teman-temannya yang sedang seru. 
"Kayaknya kenal, tapi siapa ya," dalam hati Gio bertanya-tanya, namun sesaat kemudian pikiran itu tak lagi dihiraukannya.
Semakin larut, kedai kopi itu semakin ramai. Metri melirik jam di layar hp-nya sudah menunjukkan pukul 21.45 WIB kemudian dia bergegas memasukkan buku dan hp ke dalam tas jinjing warna hitam kesayangannya. Metri segera memakai jaket dan mengeluarkan kunci motor. Kentang goreng yang dipesan tinggal sisa 2 slice dan single espresso tinggal seperempat gelas. Makanan dan minuman yang tersisa secepat kilat telah tandas dimakan, karena sayang sekali sudah beli mahal-mahal kalau tidak dihabiskan. 
Metri beranjak dari tempat duduknya, bersamaan dengan itu, Gio hendak memesan kopi lagi menuju kasir, dari area outdoor masuk ke area indoor, pintu dibuka dan brakkkkkkk!!! Mereka bertabrakan.
"Aduh maaf mbak saya nggak sengaja, maaf ya mbak." Gio dengan sedikit panik meminta maaf kepada Metri.
"Iya nggak apa-apa mas," jawab Metri menunduk mengambil tas dan kunci motor yang jatuh, belum sadar siapa yang telah menabraknya.
Gio mencoba membantu Metri meraih kunci motor yang jatuh, namun keduluan Metri bangkit dan memandang Gio.
"Eh? mas Gio!!!" sapa Metri dengan sedikit kaget.
Gio pun kaget dan membalas Metri dengan kernyitan dahi, seolah kernyitan itu bisa berbicara dan menyampaikan rangkaian kata "siapa ya? apa kita saling kenal?"
Metri bisa menangkap apa maksud kernyitan itu, dengan cepat Metri menjawab.
"Mas, aku Metri, aku dulu anak UKM Penalaran."
"Si ambis bukan sih? Dulu pernah satu kepanitiaan juga kalau nggak salah ya?"
"Waduh, sampe julukan yang malu-maluin banget, itu julukan dari temen-temen karena dulu aku emang kayak gitu modelannya, alhamdulillah kalau masih inget ya." Metri menjawab Gio dengan sedikit tawa, tersipu dan malu-malu.
"Tapi pangling aku, tadi juga sempet lihat kamu terus mikir kayak kenal tapi siapa gitu aku nggak inget, eh ternyata betulan kenal."
"Hehe iya mas."
��Biasa ngopi disini?”
“Iya aku sering ngopi disini.”
“Boleh dong kapan-kapan ngopi bareng?”
“Boleh-boleh.” 
"Eh ini udah mau balik?" tanya Gio penasaran.
"Iya mas," jawab Metri sambil merapikan jaketnya.
"Yaudah minta kontaknya ya, biar ntar bisa ngopi barengan. Aku juga udah kehilangan jejak anak-anak Penalaran sejak waktu itu nomorku ganti." 
"Boleh mas, ini nomorku 08 ….," jawab Metri menyebutkan 12 digit nomor kontaknya.
Gio segera menyimpan nomor itu di kontak hp-nya dengan nama "Metri Penalaran".
"Balik dulu ya mas," Metri pamit pulang.
"Iya hati-hati," Gio lanjut pesen kopi dan bergabung lagi dengan teman-temannya.
Komunikasi via pesan teks pertama dimulai oleh Gio yang memberitahukan bahwa itu adalah nomornya. Kemudian berlanjut nostalgia jaman masih di UKM Penalaran dan di kepanitiaan. Hingga akhirnya mereka rutin mengunjungi kedai kopi itu setiap akhir pekan. Gio yang biasa-biasa saja dalam berambisi dan lebih menjaga hubungan horizontal bertemu dengan Metri yang ambisinya tinggi, ibarat dua garis yang saling tegak lurus dan berpotongan pada sebuah titik pangkal yang membuat mereka saling bertemu.
[4] Titik Koordinat
Suasana ramai jalan Tunjungan menjadi tempat muda-mudi berkumpul dan menghabiskan malam. Ada yang nongkrong di depan salah satu tempat bersejarah di Surabaya, tempat terjadinya peristiwa perobekan warna biru pada bendera Belanda yang biasa dikenal dengan insiden hotel Yamato, sekarang hotel itu berubah nama menjadi hotel Majapahit.
Ada juga yang sekedar duduk-duduk di sepanjang trotoar dan berfoto didepan mural-mural cantik yang ada di jalan Tunjungan. Bagi para pecinta kuliner, berbelok menuju jalan Genteng Besar adalah pilihan  yang tepat, disana berjejer stand UMKM yang menyajikan berbagai makanan dan minuman. Bagi yang ingin suasana lebih privat, mereka akan menepi ke deretan kedai kopi dan rumah makan yang juga menyediakan berbagai pilihan makanan dan minuman, serta menyajikan hiburan. 
Gio dan Metri memilih duduk lesehan di trotoar jalan Genteng Besar, keduanya asyik nostalgia kejadian-kejadian konyol dan berkesan yang terjadi waktu mereka masih di UKM Penalaran. Sesekali gelak tawa mereka beradu lantaran mengingat kejadian konyol kala itu. Tawa Metri disusul dengan gerakan tepuk tangan saat mereka mengingat ulang prestasi-prestasi dari acara yang pernah Gio gagas, Gio pernah menjabat sebagai ketua umum UKM Penalaran. Gio dan Metri hanya sebatas kenal lantaran senior dan junior, belum pernah sedekat botol dan tutupnya, tapi kali ini mereka seolah teman lama yang kembali jumpa. 
Ketika obrolan mereka sedang asyik-asyiknya, datang seorang laki-laki tua dengan kencrengan dari tutup botol melantunkan lagu Iwan Fals yang berjudul Kemesraan. Gio dan Metri menikmati lantunan nada yang disajikan. Saat telah sampai di bagian akhir lagu, Gio segera mengeluarkan selembar uang lima ribuan. Metri tersenyum melihat sikap Gio. 
"Terima kasih mas, terima kasih mbak," ucap laki-laki tua itu kemudian berlalu.
Gio dan Metri kembali menyambung obrolannya. Terlalu asyik ngobrol hingga lupa belum pesan makanan.
"Eh iya, mau makan apa?" tanya Gio.
"Aku mau pesen kebab aja mas yang di depan itu, sama es coklat sebelahnya." Jawab Metri sambil menunjuk  salah satu kedai makanan..
"Kok nggak jawab terserah kayak cewek-cewek pada umumnya." Gio tersenyum heran.
"Aku eksklusif jadi nggak umum," jawab Metri terkekeh.
Tawa keduanya tak terbendung. Renyah sekali.
Semua makanan yang dipesan sudah ada ditangan. Gio dan Metri menyantap makanan dan melanjutkan obrolan. Kemudian datang seorang perempuan paruh baya dengan baju lusuh membawa kantong plastik kemasan deterjen bubuk yang berisi uang recehan.
"Nak, seikhlasnya nak, buat beli makan." Ucap perempuan itu memelas.
Gio segera mengeluarkan selembar uang lima ribuan dan memasukkannya ke dalam kantong plastik yang dibawa oleh perempuan itu. Dari sisi lain, Metri diam-diam tengah tersenyum kagum melihat sikap Gio. Sikap Gio begitu tulus, original, tanpa beban. Gio lain daripada yang lain, menurut Metri.
Malam itu mereka habiskan dengan banyak berbincang. Keduanya semakin saling mengenal. Usia yang terpaut dua tahun tidak menghalangi mereka untuk saling memberi rasa nyaman. Setiap hari jadi semakin saling mengagumi. Rasa kagum itu pelan-pelan berubah menjadi perhatian.
***
Gio dan Metri hampir setiap hari saling berkabar setelah pulang kerja, baik melalui pesan teks maupun pesan suara. Terkadang juga telepon hingga larut malam. Ditengah obrolan mereka melalui telepon, Gio melontarkan pertanyaan mengagetkan.
"... Met, kalau boleh tau, kenapa sampai sekarang masih single aja?" 
"Belum ada laki-laki yang beruntung bisa dapetin aku." Jawab Metri penuh keyakinan sembari tertawa.
Mendengar jawaban Metri yang demikian, Gio kembali melontarkan pertanyaan mengagetkan yang kedua.
"O gitu, aku mau dong jadi orang yang beruntung itu." 
"Eh… coba aja kerumah kalau berani," jawab Metri dengan berani.
"Oke tantangan diterima," jawab Gio menyanggupi.
***
Gio beserta keluarga datang kerumah Metri untuk menyampaikan niat baiknya. Semua yang dari hati akan sampai ke hati. Ketulusan niat Gio diterima dengan tangan terbuka oleh Metri beserta keluarga. Ketertarikan sudah ada, ridha orang tua juga sudah didapat keduanya. Tunggu apalagi? Berlama-lama sekedar dekat saja akan berpotensi timbul fitnah. Kedua orang tua mendesak mereka untuk segera melangsungkan akad nikah. Usia yang sudah cukup matang juga menjadi pertimbangan. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menjadi sebuah titik koordinat, menikah, menggabungkan titik absis dan ordinat pada tiap ego dan ambisi masing-masing.
[5] Kurang Dari
Semenjak menikah, Gio dan Metri memulai semuanya sendiri, memutuskan untuk tinggal di rumah kontrakan di daerah Surabaya Pusat. Gio melarang Metri bekerja diluar rumah dengan alasan tidak mau jika Metri terlalu kelelahan, mengurus rumah tangga dan bekerja. Salah satunya saja sudah cukup melelahkan apalagi jika dua-duanya, menurut Gio. Sayangnya Gio tidak cukup pandai dalam menyampaikan maksud, yang tersampaikan hanya bentuk larangan. Metri yang workaholic tentu saja sulit menerima.
"Mas, kenapa seperti itu? Kerja adalah duniaku. Seharusnya nggak bolehlah seperti itu. Nggak bisa memaksa harimau menjadi kucing, biarlah aku menjadi aku ..." protes Metri dengan rentetan kalimat panjang.
Metri sempat menolak, berat melepaskan karir yang selama ini diperjuangkan. Obrolan perihal tetap bekerja atau harus dirumah saja ini tidak sempat mencapai mufakat sebelum mereka menikah. Semua mengalir saja tanpa rencana. Hingga akhirnya kini Metri dalam kebimbangan. 
Beberapa hari kondisi rumah kontrakan yang mereka huni dingin tanpa hangatnya gelak tawa pasangan muda. Gio tetap kekeh dengan kemauannya. Metri pun sama. Namun kini Metri sedikit melunak dengan mengingat lagi mimpi-mimpi yang sempat terlintas dalam angan-angannya. Metri memang bercita-cita ingin bekerja dari mana saja. Pada suatu malam di meja makan. Metri melakukan sedikit kompromi dengan Gio, suaminya. 
"Mas, besok aku akan mengajukan surat pengunduran diri." 
"Serius? Akhirnya kamu mau menuruti kemauanku?" Gio yang awalnya fokus melahap pecel lele itu kemudian mengalihkan fokusnya pada Metri, dengan sedikit wajah berbinar.
"Iya, tapi ada syaratnya supaya sama-sama untung." Metri dengan muka masam dan bibir cemberut.
"Apa itu sayangku?" Tanya Gio dengan senyum semakin lebar menatap Metri.
"Aku berhenti kerja di kantor, tapi aku mau kerja dari mana aja, aku mau kembali mengelola akun jualan yang udah lama berhenti nggak kuteruskan. Aku tetap ingin menjadi istri yang berdaya mas supaya aku tetap waras." Jawab Metri menjelaskan.
"Iya, boleh." Respon Gio dengan singkat.
Metri membalas respon Gio dengan senyuman tanpa kalimat panjang.
Sembari adaptasi dengan kehidupan rumah tangga. Metri fokus mengelola akun jualannya. Metri menjual alat-alat kebutuhan rumah tangga serta menjadi reseller alat-alat dapur. Sedangkan Gio tetap dengan pekerjaanya, menjadi karyawan swasta. 
Tiga bulan berjalan, usaha Metri sepi, hanya terjual dua set panci dan 2 ikat sapu lidi. Kini sumber dana hanya dari gaji Gio. Gaji Gio tetap dan belum ada kenaikan sedangkan biaya hidup semakin meningkat. Kondisi semakin membuat ekonomi rumah tangga ini semakin sulit. Gio dan Metri sudah waktunya membayar perpanjangan sewa rumah kontrakan, tagihan cicilan kendaraan dan harus tetap memenuhi kebutuhan dasar. Gaji Gio tetap saja tidak cukup. Mau tidak mau semua tagihan dibayar dengan mengambil uang tabungan yang kian hari kian menipis. Mereka tidak punya dana darurat. Adanya hanya uang tabungan itu saja. 
"Andai aja aku masih kerja, kondisi ekonomi rumah tangga kita nggak akan seperti ini jadinya." Metri menyalahkan keputusan Gio. 
"Ini udah jadi keputusanku sebagai kepala keluarga." Gio menjawab Metri dengan nada tingginya.
Kondisi udara di rumah kontrakan kian memanas. Seolah tak mau kalah dengan panas dan teriknya kota Surabaya.
Dua kepala dengan dua pemikirannya. Pasangan baru yang sedang dalam fase adaptasi, belum usai dengan badai saling mencocokkan sifat dan karakter yang berbeda, kini mereka dihantam oleh kesulitan ekonomi.
[6] Translasi
Kondisi ekonomi yang sulit memaksa Metri harus berhemat. Metri menjadi sangat perhitungan terhadap uang. Semua uang masuk dan keluar dicatat tanpa ada satupun yang terlewat.
Setiap malam ketika hendak tidur. Metri sibuk dengan file excel di laptopnya. Metri membuat daftar cash flow keuangan rumah tangga. 
"Mas ini tadi sehari habis seratus ribu banget ya? Buat apa aja mas?" Metri mengintrogasi.
"Buat beli makan," Gio menjawab dari atas kasur, hendak istirahat, rebahan karena lelah seharian bekerja.
"Makan apa mahal banget?"
"Makan ati," ucap Gio lirih sambil memainkan hp dan menjawab Metri dengan malas.
"APA MAS???" Metri mempertanyakan jawaban Gio dengan nada agak keras.
"Tadi ban sepeda motorku bocor, terus juga dipakai keperluan lain." Gio menjelaskan, berharap sesi interogasi ini segera berakhir.
"Keperluan lain apa?" Metri masih mencecar Gio dengan pertanyaan.
"Udahlah Metri, nggak semua aku ingat, yang jelas semua uangnya dihabiskan untuk kebaikan, lagian tidak perlu sejelas itu juga kan." Gio mulai lelah.
"Nggak bisa gitu mas, dalam keuangan semua harus jelas." Metri membantah.
Malam dihabiskan dengan Metri yang masih bertanya-tanya dan Gio yang terlelap dalam lelahnya.
Gio masih dengan sifat murah hatinya dan menganut paham hidup itu mengalir saja, rezeki sudah ditentukan yang kuasa. 
***
Hubungan Gio dan Metri semakin bergeser. Sifat Metri yang semakin perhitungan tidak membuat Gio semakin terbuka, justru sebaliknya. Gio tetap dengan tabiatnya, suka berbagi rezeki dengan pengamen dan anak jalanan, terlepas bagaimanapun kondisi keuangan keluarganya. Sedangkan Metri berbeda, Metri menginginkan agar Gio fokus dengan keuangan rumah tangga dulu saja, nanti berbagi lagi ketika keuangan sudah baik dan mencukupi untuk membayar tagihan dan memenuhi kebutuhan. Berbagi dengan porsi sewajarnya, karena tidak menjadi kewajiban kita untuk membantu semua pengamen, anak jalanan dan pengemis atau siapapun itu, menurut Metri. Gio memilih untuk melanjutkan hal yang menjadi kesenangannya, tentu dengan sembunyi-sembunyi dari Metri.
Suatu sore ketika hendak pulang kerja, Gio bertemu dengan pengamen dan anak jalanan di lampu merah. 
“Nak sini nak,” Gio melambaikan tangan kepada pengamen dan anak jalanan yang jaraknya masih sekitar dua meter dari motornya.
***
Terik kota Surabaya, membuat tenggorokan Gio merasa dahaga. Jam menunjukkan pukul 12.00 WIB, Gio segera melipir ke warung dekat kantornya, memesan es teh manis jumbo lengkap dengan gorengan. Es teh yang Gio pesan bercampur dengan bercandaan dan gelak tawa bapak-bapak di tongkrongan berhasil mendinginkan tenggorokan, hati sekaligus pikiran. Beberapa menit kemudian, Gio melihat sosok teman lamanya sedang memesan makan di warung yang sama.
“Cak Maden” sapa Gio melambaikan tangannya.
“Eh bro Gio,” Maden menoleh dan kembali menyapa Gio.
“Cak kerja di daerah sini? kok baru kali ini ketemu,” tanya Gio penasaran.
“Enggak bro, aku keliling nyari kerja, kena efisiensi dari kantor yang lama, sudah seminggu ini belum dapat juga …” Maden menjelaskan kesulitan yang sedang dialaminya.
Menurut cerita yang dituturkan Maden, dia telah kehilangan pekerjaan padahal istrinya sedang hamil anak kedua, sudah jalan menuju sembilan bulan, tinggal menunggu HPL nya. Tagihan-tagihan terus berjalan. Maden kesusahan mencari pekerjaan dan mencari uang. Maden memutuskan menjual tanahnya di kampung halaman, sudah mendapat calon pembeli, tapi uang dari hasil menjual tanah baru akan diterima dua minggu lagi. Maden takut jika keduluan hari persalinan istrinya. Maden mencoba mencari peruntungan dengan meminjam ke Gio.
“Bolehkah bro, dipinjami dulu? 10 juta atau seadanya aja, tak balikin dua minggu lagi kita ketemu di warung ini.”
“Boleh cak, bisa disebutkan nomor rekeningnya?” 
Tanpa pikir panjang dan tanpa melibatkan pasangan, Gio menggunakan tabungan keluarganya untuk membantu Maden. Gio telah mentransfer uang 10 juta ke rekening yang telah disebutkan Maden.
“Sudah Cak, bisa di cek sudah masuk atau belum. Semoga membantu ya Cak, saya tunggu dua minggu lagi di warung ini, atau bisa ditransfer lagi aja ke rekening yang sudah saya kirim di WA.” Gio menepuk-nepuk punggung Cak Maden.
“Siap bro, terima kasih banyak udah dibantu, semoga rezekinya makin lancar, kita sudah kenal lama bro, aku pasti datang dua minggu lagi.” Maden meyakinkan Gio.
Gio tersenyum sambil berjabat tangan, kemudian segera kembali ke kantor dan meninggalkan Cak Maden karena jam istirahat telah berakhir.
Dua minggu kemudian, Gio makan di warung yang sama, sesuai kesepakatannya dengan Cak Maden. Hingga jam istirahat berakhir, Cak Maden tak kunjung tiba. Gio mulai panik. Gio mencoba menanyakan kepada ibu pemilik warung, bapak tukang parkir maupun bapak-bapak yang sering nongkrong di warung, semua tak ada yang melihat sosok yang dimaksud Gio. Cak Maden dihubungi puluhan kali juga tak ada jawaban. Gio mencoba menanyakan kepada teman-temannya yang juga mengenal Cak Maden. Salah satunya memberikan keterangan yang diluar dugaan, Cak Maden sudah lama berpisah dengan istrinya, Cak Maden juga pernah terlilit hutang karena terlanjur tergiur dalam lingkaran permainan judi bola. Gio sangat kaget dan menyesali tindakannya. 
[7] Rotasi
Gio badannya masih di kantor tapi pikirannya sedang di rumah, memikirkan alasan apa yang akan diucapkan jika nanti Metri menanyakan perihal transaksi uang keluar 10 juta dua minggu lalu, karena ini sudah memasuki akhir bulan. Gio paham betul bahwa Metri punya kebiasaan mengaudit semua laporan keuangan rumah tangga setiap akhir bulan, sebelum rekeningnya terisi kembali oleh gaji suami yang akan diterima setiap awal bulan. Betul saja, di rumah kontrakan yang menjadi tempat Metri menghabiskan waktunya setiap hari, Metri menggeser kursi dan membuka laptop, Metri akan memulai proses auditnya. 
Dalam proses mengaudit laporan keuangan rumah tangga, yang pertama kali Metri cek adalah nominal saldo rekening tabungan, apakah ada penambahan atau malah berkurang. Metri beberapa kali mengusap-usap matanya ketika melihat nominal saldo yang tertera. Rp. 500.095.25
“Sebentar sebentar, ini mataku yang salah lihat atau memang nominalnya yang berkurang,” Metri mengusap-usap matanya tak percaya.
“Ini 500 juta, atau 500 ribu?" Metri kembali membuka dan memejamkan matanya berulang kali. 
"Ya Allah, ini 500 ribu." 
Metri berkaca-kaca, panik, deg-degan tak karuan. Kemanakah hilangnya uang tabungannya. Segera dia cek rincian mutasi rekening selama sebulan.
Metri mengecek satu persatu transaksi, gerakan bola matanya berhenti saat sampai pada transaksi keluar dengan nominal yang cukup besar, 10 juta. Uang itu ditransfer ke rekening atas nama Madeni Firman tepat pada dua minggu lalu. 
Madeni Firman, nama yang asing bagi telinga Metri. Metri mulai geram. Amarahnya mulai memuncak. Ingin rasanya menelepon Gio saat itu juga atau memakinya lewat pesan suara. Tapi Metri ingin mendengar penjelasan Gio secara langsung, tatap muka. Metri ingin membaca mimik muka Gio berdusta atau berkata sejujurnya.
***
Sore tiba, Metri duduk di ruang tamu sambil memandangi jam dan menunggu Gio pulang. Beberapa menit kemudian, terdengar suara motor datang memasuki halaman rumah kontrakan.
"Assalamu'alaikum," Gio membuka pintu, memasuki rumah dan mengucapkan salam.
"Wa'alaikumsalam, kamu kenal orang yang namanya Madeni Firman mas?" Jawab Metri ketus dengan disusul oleh pertanyaan yang sedari pagi menghantui pikirannya.
"Dia teman kerjaku di perusahaan lama." Gio tertegun berhenti didepan pintu.
"Kenapa ada transaksi keluar 10 juta ke rekening atas nama dia?"
"Dia pinjam untuk jaga-jaga biaya persalinan istrinya yang sudah hamil sembilan bulan."
"Kenapa nggak diskusi dulu sama aku?"
"Dia bilang cuma pinjam sebentar."
"Lalu kalau sebentar aku tidak perlu tau? Begitu?"
"Nggak gitu sayang, dia bilang cuma pinjam dua minggu."
"Lama ataupun sebentar, keputusan besar dalam rumah tangga itu harusnya diputuskan bersama pasangan, aku merasa tidak dihargai sebagai pasanganmu, itu uang tabungan bersama, bukan cuma uang mas aja,"
"Iya, maaf aku salah."
"Mas selalu maaf maaf saja, selalu bilang kalau salah tapi nggak pernah berubah."
Gio masih berdiri di depan pintu, diam tak menjawab Metri.
"Sekarang sudah dua minggu, mana katanya akan dikembalikan?" Metri memecah hening dengan melontarkan pertanyaan.
"Aku udah datang ke tempat dimana dia akan mengembalikan sesuai kesepakatan, aku juga udah kirim nomor rekening jika saja uangnya akan dikembalikan melalui transfer ...”
“Lalu? Mana uangnya?” Metri memotong penjelasan Gio.
“Aku belum selesai menjelaskan, berhentilah menghujaniku dengan pertanyaan, mulailah untuk belajar mendengarkan.” Gio mulai kesal.
“Gimana lanjutannya?” Metri kembali mempertanyakan.
Gio lelah berdiri kemudian duduk di kursi pas di depan Metri.
“Aku udah coba menghubungi Maden dan semua teman yang kenal dengan dia, tidak ada satupun yang tau.” 
“Terus gimana kalau udah seperti ini. Apa untungnya buat kita? Yang ada kita jadi makin kesusahan. Mas pernah berfikir dulu nggak sih sebelum bertindak?” Metri semakin kesal.
“Kita coba berbaik sangka dulu aja ya, mungkin Maden masih dalam kondisi kesusahan. Walaupun nanti dia benar-benar menghilang, uang itu berarti bukan rezeki kita, tapi rezeki Maden. Kita akan diberikan ganti yang lebih besar oleh Tuhan. Percaya dan yakin aja ya sayang,” Gio mencoba menenangkan Metri. 
Gio tidak menceritakan tentang Maden yang sesungguhnya, seperti yang telah Gio dengar dari salah seorang temannya. Gio sadar telah melakukan kesalahan, tapi Gio tidak mau membuat Metri semakin marah dan menyalahkannya.
Rumah tangga seumur jagung yang sedang mereka rawat menjadi semakin hambar. Pemikiran Gio sudah tidak lagi masuk dalam logika Metri. Kehidupan mereka yang awalnya masih menghadap keatas kini berputar searah jarum jam menuju angka enam. Jatuh. Kekurangan. Hanya ada lima ratus ribu sisa uang di tabungan. Semua kebutuhan bergantung pada gaji bulan depan. Metri sempat berpikir apakah hubungan ini berakhir sampai sini, toh juga belum ada anak yang membuat dirinya berat dalam mengambil keputusan dan butuh berpikir panjang ratusan kali. 
[8] Refleksi
Tak ada lagi obrolan manis dalam rumah tangga Gio dan Metri. Metri menjalani rutinitas sebagai orang yang menyiapkan segala kebutuhan Gio. Gio menjalani peran mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Metri tak sampai hati jika harus mengucapkan kalimat pisah ketika kembali mengingat kebaikan Gio. Metri memilih tidak bicara ketika tidak ditanya. Gio selalu berusaha untuk memulai obrolan dan memperbaiki kesalahan. Berdiam diri di dalam rumah membuat Metri bosan. Membuka dan menutup hp untuk mengecek akun jualan juga tak bisa menghilangkan kebosanan. Metri berjalan menuju kamar untuk mencari kegiatan. Metri memutuskan untuk membersihkan dan menata ulang posisi lemari, meja maupun kursi. Langkahnya terhenti pada sebuah kaca besar. 
Metri memandangi wajahnya dalam cermin, tampak lesu. Metri kembali menatap cermin jauh ke dalam, tak hanya fisiknya yang dia lihat, segala perubahan dalam diri seolah semakin tampak nyata. Metri menyadari bahwa hubungan yang renggang tak serta merta semua salah Gio, Metri juga turut andil dalam permasalahan. Ini semua tentang kekhawatiran Metri akan masa depan, tentang segalanya diukur dengan angka, tentang Metri yang sangat mendewakan usaha, lupa bahwa segala usaha muaranya pada takdir dan kehendak Sang Pencipta. Tentang bergesernya nilai hidup Gio maupun Metri hingga semua saling bertentangan. 
Sementara Gio yang berada di kantor, melamun menatap dinding kaca. Memikirkan rumah tangga yang entah akan dibawa kemana muaranya. Gio juga memikirkan uang 10 juta yang telah susah payah dikumpulkan tiba-tiba hilang hanya karena sifat murah hatinya, tak memikirkan kondisi keuangan keluarga yang sedang sulit, hingga akhirnya semakin sulit dan kekurangan. Gio bercermin dari rentetan kesulitan yang timbul akibat sifatnya, hingga membuat hidup istrinya menjadi lebih menderita dari sebelum dinikahinya. Gio tampak melihat perubahan dalam diri Metri yang dulu dicintainya karena berbeda dari yang lain, perempuan yang realistis kini berubah menjadi materialistis dan menilai segala sesuatu dari nominal angka.
Badai rumah tangga yang sedang menghantam mereka membuat mereka saling bercermin, salah siapakah ini semua? Gio dan Metri sama-sama sadar bahwa mereka berdua punya andil dalam permasalahan ini. Mungkin saja semua masalah timbul lantaran mereka belum cukup mengenal satu sama lain, dan terburu usia ketika memutuskan menikah. Belum siap untuk berkompromi dan bekerja sama dalam mengambil keputusan-keputusan besar dalam keluarga. 
"Nggak bisa nih kalau sama-sama diam terus, sama-sama punya salah," ucap Gio dalam hati.
[9] Dilatasi 
Sepulang kerja, biasanya Gio akan mampir mana saja dengan alasan enggan untuk cepat pulang. Kali ini berbeda, Gio justru ingin cepat pulang lantaran ingin segera berjumpa dengan istrinya. Gio ingin mengakhiri semua suasana tidak nyaman di rumahnya. Terlepas bagaimana tanggapan Metri nantinya, Gio tetap ingin mencoba dan berusaha berdamai.
Sesampainya dirumah, Gio membuka pintu dengan hati-hati lalu mengucapkan salam dengan lirih. Tak disangka, Metri sedang duduk di ruang tamu, tempat dimana Metri pernah menghujani Gio dengan serentetan pertanyaan beberapa waktu lalu. Mata Metri dan Gio saling beradu, menatap satu sama lain dengan lekat, kali ini bukan tatapan tajam penuh amarah melainkan tatapan teduh penuh kedamaian. Seolah Metri juga tengah menunggu kedatangan Gio.
"Metri …" Gio membuka obrolan.
Metri membalas dengan senyum dan anggukan.
"Maafin mas ya, mas sadar semua ini salah mas." Gio menghampiri Metri, kemudian duduk dilantai dengan posisi mirip posisi sungkem sambil memegang tangan Metri.
"Iya mas, maafin aku juga ya," Metri juga meminta maaf.
Mengucap kata maaf rasanya sangat sulit bagi Metri, kali ini Metri memaksa diri dengan mata berkaca-kaca. Mengucap kata maaf dengan sekenanya, tak ada penjelasan salahnya apa.
Gio tak ambil pusing dengan itu semua. Gio menganggukkan kepala dan mencium tangan Metri dengan durasi yang cukup lama. Metri dengan linangan air mata yang tak terbendung, tersenyum memandangi Gio. Metri kembali mengingat alasan ia jatuh cinta, Gio pun sama. 
Dalam fase ini, Gio dan Metri melihat permasalahan dalam rumah tangga dengan ukuran yang berbeda. Permasalahan yang sebelumnya terlihat seperti lingkaran api yang sangat besar dan siap menghantam mereka serta membakar mereka dengan api amarah. Kini menjadi bola api kecil yang tak lebih besar dari ukuran jempol kaki Gio. Bola api kecil itu bisa dipadamkan dengan mudah hanya dengan menutupnya dengan kain basah. Tak ada potensi untuk membakar dan menghancurkan apa saja yang ada disekitar.
Terlarut dengan hal yang sudah terjadi adalah basi. Gio dan Metri mencoba memperbaiki hubungan dengan menyeimbangkan situasi, memperkecil ego dan memperbesar toleransi. Tentu dalam praktiknya tidak mudah, sesekali kesal dan amarah datang lagi, tapi kesal dan amarah itu disampaikan dengan jelas tanpa ada yang ditutup-tutupi.
Gio semakin hari semakin setuju dengan pembukuan keuangan yang dilakukan Metri setelah Gio mencoba mempelajari dan memahami tujuan dari pembukuan itu dibuat oleh Metri. Gio menjadi terbuka perihal untuk apa uang digunakan setiap harinya sekalipun itu nilainya hanya seribu rupiah, semua tercatat dengan jelas, dengan begitu mereka jadi tau di pos-pos mana uang mereka habis tak terbendung, di pos-pos mana pengeluaran bisa ditekan. Keuangan keluarga berangsur membaik seiring dengan membaiknya hubungan Gio dan Metri. Perubahan keduanya sangat terasa. Sekalipun perubahan itu tidak terlihat jelas oleh mata, tapi sangat bisa dirasa oleh hati keduanya. 
"Metri, besok kan hari Jumat, hari yang baik untuk berbagi. Apa boleh kalau mas ingin berbagi rezeki dengan anak-anak jalanan yang biasa mas temui di lampu merah jalan menuju kantor?" Gio meminta izin kepada Metri dengan sangat hati-hati. 
"Boleh mas, apa sekalian besok aku masakin? jadi mas berbagi makanan aja supaya anak-anak bisa langsung makan." Jawab Metri tak hanya mengizinkan tapi juga menawarkan bantuan untuk membuatkan makanan.
"Wah terima kasih sayangku." Gio mendekat dan mencium kening Metri.
[10] Tidak Sama Dengan
Pagi-pagi sekali Metri sudah sibuk di dapur, menyiapkan makanan yang akan dibawa Gio dan akan dibagikan untuk anak-anak jalanan. 
“Wah, aromanya wangi sekali, enak banget ini kelihatannya, perutku jadi keroncongan.” Gio masuk ke dapur dan memuji masakan Metri.
“Ini mas bisa dicoba, sudah matang semua kok, mas bisa sarapan sekarang juga.” Metri menoleh ke arah Gio dengan tangan yang sibuk membungkus makanan.
“Siaaap,” Gio segera mengambil piring dan melahap makanan.
“Gimana mas?”
“Mantaaap,” Gio mengacungkan jari jempolnya.
Setelah sarapan dihabiskan, Gio bergegas bersiap dan Metri melanjutkan membungkus makanan.
***
Sekitar 25 bungkus nasi dibawa oleh Gio, dibagikan untuk anak jalanan dan bapak-bapak tukang becak yang ditemui di sepanjang jalan menuju kantor. Jumat itu Gio merasa sangat bahagia, bisa kembali berbagi rezeki dan kali ini dengan dukungan penuh istrinya, Metri.
Memulai pagi dengan melihat wajah anak-anak jalanan yang sumringah membuat seharian bekerja terasa menyenangkan, tak ada lelah yang berarti. Gio ingin segera pulang untuk menceritakan pengalaman hari ini kepada Metri. 
Jam sudah menunjukkan pukul lima petang. Semua karyawan bergegas mematikan komputer dan meninggalkan kubikel. 
Gio semangat berjalan menuju parkiran dan bersiap untuk menancap gas. Gio dengan motor yang dikendarainya keluar dari halaman kantor tanpa melihat ke arah kanan apakah ada kendaraan, Gio langsung saja berbelok ke arah kiri.
“BRAAAKKKKKKKKK!!!” 
Dari arah kanan datang sebuah bus dengan kecepatan tinggi, bersamaan dengan Gio yang dengan spontan berbelok kiri. Sopir bus kewalahan dan tidak bisa lagi mengendalikan kemudi. Kecelakaan hebat terjadi tanpa kompromi. 
***
Metri yang masih dalam balutan busana hitam terisak memandangi potret dirinya dan suami tengah tersenyum dengan pose jempol yang terpasang di dinding kamar. Ditemani sang Ibu yang sedari tadi duduk disampingnya, mengusap-usap punggung sembari berkata “Sabar ya nak, Ibu tau ini sangat berat, tapi Ibu sangat percaya bahwa anak Ibu orang yang kuat”
Semua barang-barang milik Gio masih tertata rapi, tak ada satupun yang berubah, memandangi barang-barang milik Gio memantik Metri untuk mengingat kembali kenangan-kenangan bersama Gio. Kenangan manis maupun pahitnya. Metri juga kembali mengingat saat suasana rumah yang sempat panas menjadi dingin hingga akhirnya kembali sejuk karena keduanya kembali bertemu dalam sebuah titik kedamaian, saat ego diturunkan dan toleransi ditinggikan. Semua memori terputar kembali dalam benak Metri. Ada rasa sesal yang menghampiri, sesal mengapa dulu begitu keras dan tidak cukup baik sebagai istri dalam membersamai Gio melakukan usahanya dalam mencapai kehidupan yang bahagia di dunia maupun kehidupan selepasnya.
Tangis Metri kembali pecah memeluk sang Ibu dengan erat. Segala pertimbangan untuk mempertahankan hubungan menjadi tidak berarti, Tuhan sendiri yang menunjukkan bahwa Gio dan Metri sudah tidak sejalan lagi. 
Selesai.
3 notes · View notes
nurmareliana · 1 year
Text
Bia 1/4 Baya - Episode Terakhir [Limit]
Tumblr media
Sementara Bia mencoba mencerna apa yang ibunya katakan. 
Bia telah sampai pada limitnya dalam memikul tekanan sosial. Dalam matematika, limit adalah nilai yang didekati fungsi saat suatu titik mendekati nilai tertentu. Titik tertentu itu adalah Bia sedangkan nilai tertentu itu adalah rasa lelah dan cemas yang dirasakannya.
Bia kembali mengingat ulang apa yang ibunya katakan. Kata demi kata dia tulis dan dia renungkan. Bia mulai mengevaluasi hidupnya. Dari yang sebelumnya terombang-ambing tanpa tujuan, kini Bia mulai berbicara dengan dirinya sendiri, mencoba memahami apa yang dirinya mau dan apa yang dirinya suka. Bia juga mulai berbicara dengan orang tua dari hati ke hati, mulai belajar mendengarkan dengan baik, tidak hanya ingin didengar seperti sebelumnya. 
Untuk Dzakira, Bia mungkin tidak memberikan contoh yang baik, tapi Bia memberikan sebuah gambaran realita hidup, bahwa tidak semua jalan hidup itu semulus jalan hidup kak Qudwah, hidup itu terkadang tidak sesuai rencana dan suka bercanda dengan kita, pastikan dalam setiap pilihan yang diambil dalam hidup adalah pilihan yang diambil dengan sadar dan dengan kesiapan atas semua kemungkinan risikonya. 
Perlahan merasakan perubahan dari anaknya, orang tua Bia juga mulai mengubah cara pandangnya, menjadi lebih mau mendengar dan mendukung anak-anaknya, selama keputusan anak-anaknya bukan keputusan yang melanggar norma dan aturan.
Waktu terus berjalan, pagi sampai sore Bia bekerja, malam Bia menghabiskan waktunya belajar python dan SQL, mengikuti kursus online dan membuat portofolio untuk mempersiapkan diri melamar pekerjaan impiannya, Data Analis. Asmara tanpa kejelasan sudah tidak lagi ada dalam pikirannya. "Sudah ah yang pasti-pasti saja," kata Bia. Pencapaian teman-temannya juga sudah tidak lagi menjadi kecemasan, Bia termotivasi dari pencapaian mereka. Bia fokus mengendalikan apa yang dia bisa kendalikan, yaitu diri dan pikirannya sendiri.
23 Maret 2023, hari dimana Bia menginjak usia ke 25, bertepatan juga Bia mendapat kesempatan interview dari perusahaan incarannya. Jika kabar baik yang diterima, ini akan menjadi kado yang indah untuk Bia. Bia bergegas berdandan rapi, dengan bismillah dia membuka laptop dan standby di room aplikasi meeting online sesuai link interview yang Bia terima, Bia deg-degan luar biasa.
30 menit berlalu, Bia menutup laptopnya kemudian Bia meraih ponsel dan menelepon ayah dan ibunya.
"Yah, bu, maafkan Bia, Bia masih harus merantau, karena Bia diterima"
Selesai.
@nurmareliana​ | 23 Maret 2023
1 note · View note
nurmareliana · 1 year
Text
Bia 1/4 Baya - Episode 4 [Positif Negatif]
Tumblr media
Hubungan mereka tanpa kejelasan, antara dihentikan atau dipertahankan. Setiap membuka mata dipagi hari, Bia buru-buru meraih ponselnya dan mengecek pesan masuk, berharap ada pesan masuk dari kontak bernama "Jo <3", namun lagi-lagi itu hanya harapan, yang didapatinya hanya pesan masuk seputar pekerjaan. 
Orang yang setiap hari selalu ada, tiba-tiba tidak pernah berkabar. Bia menjadi kelimpungan. Waktu luangnya hanya diisi untuk scroll-scroll timeline media sosial. Bukannya mendapat ketenangan atau hiburan, Bia justru semakin mendapat kecemasan. Teman-temannya mulai banyak yang memperjelas hubungan, ada yang bertunangan, ada yang menikah, ada juga yang memposting kehidupan rumah tangga bahagia dengan anak-anak yang cantik, tampan dan sedang lucu-lucunya. Sedangkan Bia? Bia dengan kisah cinta tanpa kejelasan, sialnya dia tetap menunggu sekalipun tidak diminta menunggu.
Bia melalui hari-harinya dengan setengah hati. Kehidupan asmara mempengaruhi kinerjanya.
"Eh Bi, dua tahun kerja bareng baru kali ini aku lihat kerjaanmu nggak beres gini, hati-hati sama 0, kebanyakan satu aja angka 0 bisa berabe itu." Tegur supervisor-nya.
"Oh iya saya teliti lagi pak, sorry lagi kurang fokus." Jawab Bia sambil bergegas membuka lagi file report-nya.
Tidak terasa sudah dua tahun Bia menjalani pekerjaan pertamanya. Dua tahun dengan status masih karyawan kontrak, tidak ada kenaikan jabatan, yang ada hanya kenaikan gaji yang tidak seberapa jika dibanding teman-teman angkatannya. 
"Wah dia lanjut magister ternyata." ucap Bia melihat postingan temannya yang dalam postingan itu terlihat tersenyum bangga memakai toga dan selempang bertuliskan "M.Mat." 
Dipostingan temannya yang lain, Bia melihat temannya itu dengan pekerjaan yang diimpikan Bia, "kereeeen si ini, ini kan posisi yang aku mau," ucap Bia dalam hatinya. 
Lagi-lagi Bia cemas dengan hidupnya dan semakin mempertanyakan pilihan karirnya.
Pada suatu kesempatan Bia libur kerja, dia menyempatkan untuk pulang ke kampung halaman. 
Pulang dengan harapan bisa mengurai kecemasan yang dirasakan, namun tidak itu yang Bia dapatkan. Dzakira, adik Bia sedang ada dalam fase akhir sekolah menengah atas dan hendak melanjutkan ke jenjang perkuliahan. Dzakira enggan menuruti nasihat orang tua terkait pilihan jurusan yang akan diambilnya nanti. Dengan sikap Dzakira yang demikian, Bia jadi dipersalahkan oleh ayah dan ibunya, lantaran Dzakira dinilai mengikuti jejak Bia, tidak menghiraukan orang tua. 
"Bi, sikap Bia sekarang dicontoh sama adek, Bia menjadi kakak bukannya ngasih contoh yang positif tapi malah ngasih contoh negatif, sekarang coba lihat pilihan Bia, apakah Bia puas dengan pilihan itu? Bia nggak bisa jawab kan? … " Bia dihujani pertanyaan dan pernyataan oleh ibunya yang semakin menyudutkan.
Bia kembali ke perantauan dengan bertambahnya beban pikiran.
"Positif dan negatif itu kan sebetulnya tergantung persepsi, dari sudut pandang siapa yang melihat." Dalam hati Bia yang enggan dia ungkapkan.
Ketika positif bertemu positif, sudah pasti dia akan menjadi positif. Kalau positif bertemu negatif, belum tentu dia menjadi positif maupun negatif, tergantung siapa yang lebih banyak kuantitasnya. Lalu untuk negatif bertemu negatif dia akan menjadi positif ketika bisa mengambil hikmah dari kenegatifan itu. Sementara Bia …
Bersambung …
@nurmareliana​ | 22 Maret 2023
1 note · View note
nurmareliana · 1 year
Text
Bia 1/4 Baya - Episode 3 [Barisan]
Tumblr media
Suara Bia meninggi dengan mata menatap tajam ke arah Jo. Bia semakin kesal dengan sikap Jo yang tidak mempedulikannya dan malah menunjukkan meme yang membuat Jo senyum-senyum sendiri sedari tadi.
Apakah perang dunia akan terjadi? 
Tidak.
Kedai pecel lele yang ramai sore itu membuat Bia menahan amarahnya. Seporsi lele yang digoreng kering ditemani sambal pedas telah tandas dilahapnya, rupanya amarah Bia dilampiaskan ke makanan, sedangkan Jo tetap asyik dengan ponsel dan makanannya sendiri. 
Semakin hari, Jo semakin berjarak dengan Bia. Jo menjadi tidak antusias mendengarkan cerita-cerita Bia dan bersikap seperlunya saja. Intensitas komunikasi menjadi berkurang. Intensitas bertemu juga demikian. Hubungan hampir empat tahun itu menjadi hambar, tanpa konflik, nyaman-nyaman saja, begitu-begitu saja, tidak ada lagi tantangan, rasa penasaran maupun rasa deg-degan, tidak dirasakan lagi butterflies in the stomach. Daripada disebut hubungan sepasang kekasih, hubungan mereka lebih tepat disebut sebagai sahabat dekat. Itu bagi Jo, lain dengan Bia. Jo adalah dunia bagi Bia, tidak ada tempat nyaman lain yang bisa menjadi tempat Bia bercerita dan mengungkapkan keluh kesahnya. Bia juga tidak lagi dekat dengan teman-temannya, apalagi sejak dia menjalin hubungan dengan Jo. 
Dalam ilmu yang dipelajari Bia, hubungan yang mereka jalani ibarat sebuah barisan, daftar bilangan yang mempunyai pola tertentu, semakin dispesifikkan menjadi barisan aritmatika, daftar bilangan yang memiliki beda atau selisih yang tetap antara dua suku yang berurutan, beda atau selisih yang tetap itu membuat Jo merasa kurang tantangan dan tidak lagi penasaran dalam hubungan itu atau dengan kata lain bisa disebut bosan. Kini Jo memilih beda atau selisih yang tidak sesuai pola, sehingga Jo keluar dari barisan.
Pada saat bersamaan, Jo mendapat perintah mutasi dari tempat kerjanya, kini mereka sudah tidak lagi satu kota, mereka dipisahkan oleh Selat Sunda. Semesta seolah merestui Jo untuk menghilang dan tanpa kabar. Hubungan mereka … 
Bersambung …
@nurmareliana​ | 21 Maret 2023
2 notes · View notes
nurmareliana · 1 year
Text
Bia 1/4 Baya - Episode 2 [Bangun Ruang]
Tumblr media
Bia mencoba menyikapi sikap biasa ayah dan ibunya dengan biasa juga. 
"Doakan Bia ya Yah, Bu. Semoga pekerjaan pertama Bia ini bisa berkah untuk kehidupan Bia kedepan." Ucap Bia sebelum telepon dimatikan.
Tidak begitu memperdulikan respon ayah dan ibunya. Bia tetap berbahagia.
"Yeayyyyyy…" 
Teriak Bia dengan mengangkat kedua tangan keatas dan menghadapkan wajahnya ke langit-langit kamar bak selebrasi Lionel Messi saat berhasil mencetak gol. Sungguh hari yang bersejarah untuk Bia. Kemudian diraihnya handuk yang menggantung di belakang pintu, berangkat mandi dengan hati riang gembira sambil menyanyikan lagu favoritnya. Roar - Katy Perry.
I got the eye of the tiger, a fighter
Dancing through the fire
'Cause I am a champion, 
And you're gonna hear me roar
Louder, louder than a lion
'Cause I am a champion, 
And you're gonna hear me roar
Oh-oh-oh-oh-oh
Oh-oh-oh-oh-oh
Oh-oh-oh-oh-oh
You're gonna hear me roar
Bulan demi bulan berlalu, hingga tak terasa sudah satu tahun Bia menjalani pekerjaan itu.
Tiba-tiba terdengar suara Katy Perry dengan Roar-nya keluar dari ponsel Bia, suara panggilan masuk, membuyarkan fokus Bia yang sedang memandangi angka di layar monitor. Diliriknya ponsel yang tergeletak di meja. Terlihat panggilan masuk itu dari kontak bernama "Jo <3", kekasihnya.
"Halo Bia."
"Halo. Lagi longgar ya kerjanya? Kok tumben telpon jam segini?"
"Enggak, cuma mau bilang aja, nanti sore ku jemput ya, mau ku ajak makan enak. Bye Bia."
"Eh, oke, siap." 
Singkat, padat dan jelas. Begitulah gaya komunikasi Jo dan Bia. 
"Jo tau nggak." Bia memulai obrolan dengan Jo sembari menunggu makanan datang. 
"Enggak." Jawab Jo spontan.
"Eh belum ngomong aku."
"Ya lagian pake nanya tau nggak, kalo kamu belum cerita ya aku belum tau." Jawab Jo sambil tertawa.
"Iya iya, jadi ayah dan ibuku sepertinya masih kurang suka sama pekerjaanku. Mereka pengennya aku pulang kampung aja, ngajar di sekolah dekat rumah, nyalonin diri jadi sekretaris desa yang kebetulan kursinya lagi kosong atau kalo merantau itu setidaknya kayak kak Qudwah, karena menurut mereka, kerja di swasta itu nggak menjamin hidup kita kedepan, apalagi masih karyawan kontrak."
"Terus terus." Respon Jo menanggapi cerita Bia.
"Ya kan kamu tau, siapa coba yang bisa menjamin hidup. Ayah dan ibuku juga selalu cerita tentang kakakku, dia itu terbaik dimata ayah dan ibu, nggak ada satupun celah yang bikin mereka nggak suka, udah pinter, cantik, manut, kakakku itu selalu hoki hidupnya dari dulu, kayak mulus aja jalannya, masuk kuliah dulu nggak pake tes karena lewat jalur prestasi, kerja juga sekali usaha langsung dapat, suaminya juga sama itu sebelas dua belas, mereka itu sesuai sama keinginan ayah dan ibu, nggak kayak aku, aku jadi sering ngerasa dibanding-bandingkan Jo, mbuk ojo dibanding-bandingke, tapi aku juga nggak mau jika harus menjalani hidup seperti yang ayah dan ibuku mau, kehidupan seperti di dalam bangun ruang, dibatasi sisi-sisi, iya sih emang bisa dihitung volumenya, maksudnya ada kapasitas untuk bisa dibanggakan ke tetangga atau sanak saudara, tapi nggak bebas Jo. Aku nggak ..." Bia menoleh ke arah Jo yang asyik main hp dan senyum-senyum sendiri.
"Eh, dengerin aku nggak sih." 
Bersambung …
@nurmareliana​ | 20 Maret 2023
1 note · View note
nurmareliana · 1 year
Text
Bia 1/4 Baya - Episode 1 [Bangun Datar]
Tumblr media
Semenjak wisuda enam bulan lalu, Sabia Maharani memutuskan untuk tidak pulang ke kampung halaman. Perempuan yang biasa disapa Bia itu berusaha untuk mencari pekerjaan. Keliling kota berseragam hitam putih dan membawa amplop coklat adalah aktivitas Bia setiap harinya, kecuali akhir pekan dan hari libur nasional. Bia menitipkan amplop coklat di pos satpam dari kantor satu ke kantor lainnya, dari pabrik satu ke pabrik lainnya. Seringkali disambut baik, namun tak jarang juga disambut dengan penolakan yang kasar. Tak hanya itu, Bia juga mengirim lamaran pekerjaan dan curriculum vitae melalui surat elektronik ke banyak perusahaan incarannya. Namun satu pun tidak ada yang lolos, sedangkan uang di dompetnya sudah menipis.
“Aaaaakkkhhhhh.” 
Teriak Bia sambil melempar amplop-amplop coklat ke pojok kamar kosan dan merebahkan badan di kasur tipis dengan sprei yang belum dicuci selama sebulan. 
Memandangi langit-langit kosan dengan mata berkaca-kaca meratapi nasib yang tidak tau akan kemana arahnya. Sarjana matematika tak kunjung dapat kerja. Apa harus pulang kampung? tapi apa kata orang tua? Apa kata teman-temannya? Apa kata orang di kampungnya? Hingga tak disadari Bia terlelap dalam tanya.
07.45 WIB
“Klunting.” Suara notifikasi masuk di ponsel Bia. 
“Siapa sih pagi-pagi ngirim pesan.” 
Gerutu Bia yang masih rebahan dan malas-malasan. Sekedar menggerakkan tangan meraih ponsel di meja yang jaraknya tidak sampai satu meter itu saja dia tidak berdaya. Dengan malas, Bia memaksa tangannya untuk meraih ponsel itu dan perlahan membaca pesan. Matanya terbelalak, seketika senyum merekah terlihat di bibir Bia. Semua rasa malasnya runtuh entah jatuh kemana. Rupanya dia tengah berbahagia lantaran diterima di salah satu dari ratusan lowongan pekerjaan yang telah dilamarnya. Akhirnya usaha yang dilakukan berbuah juga. Meskipun bukan pekerjaan impiannya, setidaknya dia bekerja dan bisa mewujudkan keinginannya untuk hidup mandiri di perantauan dan tidak merepotkan orang tua dikampung halaman.
Bia menyampaikan kabar bahagia itu kepada Jo, kekasihnya. Jo pun turut bahagia dan memberikan ucapan selamat kepada Bia.
Tak lupa, Bia juga menyampaikan kabar baik itu kepada ayah dan ibunya. 
“Alhamdulillah.” 
Terdengar suara di ujung telpon. Suara itu tidak terdengar bahagia, datar-datar saja. Ayah dan ibu Bia menganggap pekerjaan Bia seperti bangun datar, memiliki keliling dan luas, tetapi tidak memiliki volume. Bia mendapat pekerjaan di perusahaan besar yang memungkinkan Bia untuk banyak belajar, namun hal itu tidak membuat ayah dan ibunya merasa bangga, karena pekerjaan Bia dinilai tidak menaikkan harga diri orang tua, tidak seperti kakaknya, kak Qudwah, yang bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara.
Bersambung …
@nurmareliana​ | 19 Maret 2023
3 notes · View notes
nurmareliana · 1 year
Text
Kapan?
Kata tanya yang bisa memantik keresahan. Tokoh kali ini masih sama, perempuan itu. Dia menjadi resah karena dia pun tidak tahu jawaban atas pertanyaan itu. Dari resah kemudian menjadi takut. Iya, takut. Takut menghadapi orang-orang yang bertanya kapan. Takut karena dia tidak punya cukup jawaban dan dia juga tidak pandai beralasan. Jika ada pilihan menghindar, pilihan itu yang dipilihnya. Namun jika terpojok, tidak ada celah menghindar, dia akan merespon dengan senyum dan berkata "doakan saja". Kurang baik memang jika menghadapi ketakutan dengan menghindar, hal itu malah membuat dia fokus pada rasa takutnya. Capek bukan kalau terus menghindar? Betul. Terlihat perempuan itu sedang capek-capeknya. Dia memilih memalingkan diri ke arah lain.
Padahal kalau dipikir-pikir, pertanyaan kapan itu akan selalu ada pada setiap fase hidup. Masa iya mau menghindar seumur hidup? Coba dipikirkan lagi. Barangkali bisa berubah pikiran. Menjadi lebih fokus sama apa yang menjadi tujuan. Bukan fokus pada rasa takut atau rasa-rasa lain yang tercipta karena perlakuan orang. Memang butuh proses yang panjang.
Mengutip jawaban dari salah satu pertanyaan pada q&a instagram mas @kurniawangunadi beberapa hari lalu, segala sesuatu diluar diri kita itu sifatnya netral, yang menjadikannya positif atau negatif adalah diri kita sendiri. Sebetulnya dalam hati yang terdalam perempuan itu juga bertanya-tanya. Seperti orang-orang itu. Namun kepastian jawaban untuk pertanyaan itu belum ditemukan.
"Tenang. Kendalikan. Tidak perlu terlalu resah. Tidak perlu takut. Ada Allah yang tidak pernah meninggalkanmu, Dia sudah mengatur semua dengan sempurna. Yakin & percaya. Ini bukan cuma tentang keberanian, tapi juga kelapangan hatimu." perempuan itu memeluk dan menasehati dirinya sendiri.
"Jadi, kapan?"
"Lho kok kapan lagi sih," perempuan itu pun berlalu, memalingkan wajahnya, kesal.
@nurmareliana | 9 Maret 2023
0 notes
nurmareliana · 1 year
Text
Kehilangan
"Sebentar lagi gajian, jangan lupa nabung" ucap seorang teman setiap akhir bulan, dia tidak pernah bosan untuk selalu mengingatkan perempuan itu.
"Siap!" jawab perempuan itu.
"Sebelum tanggal gajian, aku selalu punya banyak daftar belanjaan, yang niatnya akan aku beli setelah gajian nanti. Tapi setiap uang sudah ditangan, daftar belanjaan yang banyak itu tereliminasi satu per satu. Kenapa bisa begitu?" Tanya teman itu sambil tertawa.
"Kamu membuat daftar barang yang kamu inginkan, bukan yang kamu butuhkan. Kamu sudah tahu skala prioritas, dan memang uangnya pas-pasan" jawab perempuan itu sambil tertawa juga.
Mereka berdua pun tertawa.
Salah satu topik obrolan yang menarik dalam pertemanan itu. Kadang serius dan berbobot. Kadang receh dan tidak penting. Mereka juga sering mengirim pesan sekedar panggil nama dan bilang "ngantuk", atau sekedar mengirim koleksi stiker kocak, sudah begitu saja. Mereka juga saling tanya "hari ini masak apa?" untuk mencari inspirasi memasak, sampai akhirnya jadi saling berbagi resep makanan dan berbagi makanan dalam bentuk foto.
Tanpa disadari, hal-hal sederhana itu membuat mereka semakin dekat. Jarak antara Jakarta dan Surabaya menjadi seolah tidak ada. Kapanpun butuh, mereka selalu ada untuk satu sama lainnya. Berawal dari teman kuliah, kemudian menjadi teman kos. Hingga akhirnya menjadi teman rasa saudara. Semakin didekatkan lagi oleh latar belakang keluarga yang hampir sama. Saling mengerti dan saling menyemangati.
"Kita beli rumah satu kompleks saja deh kayaknya, biar enak kalau mau cerita dan berbagi makanan kapan saja sampai tua" ucap teman itu.
"Kalau kita mau berangkat haji tahun sekian, kita harus mulai nabung sekian dari sekarang, aku sudah menghitungnya, supaya investasi yang dilakukan ada tujuan dan tidak sia-sia, ayo semangat" teman itu menjelaskan. Selain sederhana dan realistis, teman itu juga seorang pribadi yang terencana dan sesekali usil juga.
Kemudian dunia berubah. Kabar duka itu datang pada suatu pagi. Allah begitu sayang sama teman dari perempuan itu. Sudah tak terbilang betapa sedihnya dia. Namun dia cuma manusia, yang tidak punya kekuatan untuk mengetahui kapan jodoh, rezeki dan kematian yang sudah ditentukan oleh Sang Pencipta itu datang. Nyatanya memang tidak ada yang benar-benar siap untuk kehilangan. Harinya menjadi kosong. Tidak ada lagi tempat cerita untuk kapan saja dan hal apa saja. Tidak ada lagi pesan masuk di gawainya untuk mengatasi kantuk yang tak tertahankan pada jam kerja. Perempuan itu ditinggalkan bersama mimpi dan rencana-rencana yang pernah mereka obrolkan.
Alfatihah untuk teman si perempuan itu 🤍
@nurmareliana | 8 Maret 2023
1 note · View note
nurmareliana · 1 year
Text
Kita Usahakan Rumah itu
Rumah.
Bangunan sederhana di sebuah desa yang menjadi saksi pertumbuhan dan perkembangan. Mulai dari membuka mata untuk yang pertama, perempuan itu ada di dalam sana. Disana dia pernah menangis kencang dan itu dinilai pintar, namun dilain kesempatan, tangisnya dinilai nakal. Dia ingat dulu semasa kecil pernah menangis berjam-jam hanya karena hal sepele, namun dia tidak ingat hal sepele itu, yang dia ingat ibunya membiarkan dia menangis begitu saja, sampai dia merasa lega.
Beberapa tahun kemudian, adiknya lahir, perempuan. Dia jadi punya teman main dibangunan itu. Kontras sifat antara mereka berdua seringkali membuat mereka adu argumen dan saling kesal. Seperti halnya hubungan kakak beradik pada umumnya. 
Kini mereka jauh dari bangunan itu, merantau ke sebuah kota untuk bekerja dan menuntut ilmu. Semenjak merantau, hangatnya suasana didalam sana seringkali dirindukan. Semenjak merantau, aktivitas pulang menjadi aktivitas yang dinantikan.
Bangunan sederhana itu selalu berhasil menjadi tempat yang nyaman untuk pulang. Namun beberapa waktu terakhir, diamatinya ada hal yang perlu diperbaiki dari bangunan itu, seperti engsel jendela yang mulai rapuh, atap yang mulai bocor dan lain-lain. Hingga terbesit dalam pikiran perempuan itu untuk menjadikan bangunan itu semakin nyaman untuk bapak dan ibu. Memperbaiki yang perlu diperbaiki. Begitu harapannya. 
Namun rasanya masih sangat jauh, karena bekalnya belum ada. Rezeki yang didapat hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan. Tapi bukan berarti tidak mungkin, jika terus diusahakan. 
Meskipun begitu, tak mengurangi kehangatan di dalam bangunan. Tempat itu masih selalu menjadi tempat yang paling bisa menerima perempuan-perempuan itu apa adanya.
@nurmareliana | 7 Maret 2023
1 note · View note
nurmareliana · 1 year
Photo
Tumblr media
Kring kringgg kringgggg. Suara alarm memecah keheningan. Memaksa perempuan itu untuk bangun dan bergegas menunaikan kewajiban. Entah semalam pukul berapa dia terlelap. Terlihat badannya segar dan matanya berbinar.
"Selamat pagi" sapanya pada sosok dalam cermin.
Terlihat sosok dengan perawakan mungil sedang tersenyum malu-malu. Diperlihatkan separuh karena merasa kurang percaya diri, tidak cukup baik dan juga tidak cukup pantas. Merasa lemah hingga rasanya susah diterima dimana saja. Begitulah dia dan asumsinya. Asumsi itu semakin lekat dengan adanya pengalaman kurang mengenakkan yang dialaminya. Sulit diterima oleh lingkungan yang diharapkan. Sepertinya dia terlalu memaksakan.
Pada sebuah sesi yang membahas tentang self-compassion, dia merasa tertampar habis-habisan, babak belur. Betapa jahatnya dia pada dirinya sendiri selama ini. Alih-alih berbuat baik demi mementingkan orang lain, dia menjadi lupa untuk memikirkan dirinya sendiri. Mencoba menjadi sosok lain untuk diterima. Menjadi tidak enakan sama orang, tapi seenaknya sendiri sama diri sendiri.
Kemudian pelan-pelan dia berproses, berusaha berbuat baik kepada diri sendiri. Belajar mengenal dan percaya pada diri dan kemampuan, "Kalau aku sendiri tidak percaya diri, bagaimana aku bisa meyakinkan orang lain untuk mempercayaiku? Kalau aku sendiri tidak sayang sama diri sendiri, lantas siapa yang mengambil peran itu?" tanya perempuan itu pada dirinya sendiri.
Dan aku turut berbahagia karena dia berhasil melawan banyak alasan dan rasa takutnya. Kini dia berani membuka diri dan menantang diri. "Tak masalah jika belum sempurna, namanya juga belajar" ucapnya sembari mengingatkan dirinya sendiri.
Mari kita doakan semoga proses belajarnya dilancarkan, meskipun terasa berat, semoga dia tetap kuat 🌱
@nurmareliana | 6 Maret 2023
1 note · View note
nurmareliana · 1 year
Text
Perempuan pada suatu Malam
Ada riuh yang belum ketemu tenangnya.
Ada ragu yang belum datang yakinnya. 
Ada tanya yang belum ada jawabnya. 
Dan …
Ada tunggu yang belum tau siapa yang ditunggu.
Isi kepalanya begitu penuh dan bising, seperti jalanan ibu kota. Tatapannya kosong menatap layar laptop di depannya. Terbuka belasan halaman yang berisi tugas dan tanggung jawab yang seolah melambai-lambai ingin segera diberikan perhatian dan segera diselesaikan. Namun tak kunjung dilakukan. Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam, tapi matanya masih berbinar tak seperti biasanya yang bahkan sudah mematikan lampu pada pukul sembilan malam. Kali ini dia masih duduk dengan sikap sempurna orang bekerja.
"Ayolah tidur saja, kamu sudah bekerja keras sampai hari ini, sekarang waktunya kamu beristirahat" ucap badannya. 
"Apa kamu yakin bisa tidur dengan tenang setelah apa yang sudah kamu lihat dan kamu dengar?" ucap pikirannya. 
Usut punya usut, perempuan ini baru saja mendapat kabar yang sangat ditakutkan sebelumnya. Kali kedua orang yang dipercaya kembali menghancurkan kepercayaannya. 
Bergegas bangkitlah dia dari duduknya, membuyarkan percakapan antara badan dan pikiran. Diambilnya wudhu lalu bersujud dan mengadu. "Tuhan, aku percaya di dunia ini tidak ada yang kebetulan, semua terjadi supaya aku belajar, tapi sering kali aku keras kepala dan mengulangi hal yg sama. Titip semua yang tidak bisa aku kendalikan" bisik lirih seorang perempuan.
@nurmareliana | 5 Maret 2023
2 notes · View notes
nurmareliana · 3 years
Text
Puasa Hari 2
Saya ingin berbagi sedikit pandangan soal konsep rezeki yang saya dan istri sering saling mengingatkan. Bahwa, rezeki adalah sesuatu yang telah kita konsumsi/pakai. Pada akhirnya, konsep ini membawa pada sebuah fakta bahwa banyaknya simpanan dan tabungan kami, itu belum menjadi rezeki ketika itu masih di sana, belum dipakai. Barangkali harta itu nanti akan menjadi rezeki anak-anak sebagai waris kalau kami meninggal, atau menjadi rezeki orang lain. Kami sering berucap,”Alhamdulillah, sudah menjadi rezeki.” setelah kami melakukan pembayaran di kasir atau pembelian sesuatu di marketplace. Ada harta yang kami belanjakan untuk mendapatkan sesuatu yang akhirnya kami makan, minum, atau digunakan. Dari konsep ini juga. Membuat kami sadar bahwa, rezeki yang Allah berikan itu memang pada kadar cukup.
“Lawan dari kaya adalah cukup, bukan miskin. Jadi sebetulnya ketika Allah menciptakan kita, rizki kita cukup, tidak ada yang miskin. Yang menjadikan kita miskin itu perasaan kita yang tidak pernah cukup". ujar Ustad Adi Hidayat.
Kita cukup makan sepiring untuk membuat kita kenyang sekalipun semua jenis makanan tersaji di atas meja seperti pada waktu kita datang ke resepsi pernikahan. Kita tidak akan bisa menghabiskan semuanya sekaligus. Pakaian pun, sekali kita pakai hanya bisa sepasang. Tidak bisa kita kenakan sekaligus sepuluh pasang. Dan banyak hal lainnya yang kalau kita merasa cukup, kita benar-benar akan paham bahwa konsep rezeki itu sesederhana itu. Kita cukup makan sepiring, tidak mungkin bisa menghabiskan 100 piring sekaligus untuk diri kita sendiri. Tapi, ketika kita berhadapan pada konsep berbagi. Itu unlimited, tak terbatas. Kita mau membagikan 100 piring, 1000 piring, 1.000.000 piring makanan sekaligus pun bisa. Dan itu semuanya menjadi bagian dari rezeki kita. Makanya, kita sering mendengar bahwa rezeki yang sesungguhnya adalah harta yang kita belanjakan di jalanNya. Seperti rezeki yang telah kita belanjakan untuk membantu orang lain, dan makanan itu menjadi rezeki orang lain melalui perantara kita.  Makanya, saya selalu berdoa memohon kepada Allah agar keluarga kami bisa diberikan kepercayaan untuk menjadi perantara manfaat, maslahat, rezeki, dan kebaikan untuk semakin banyak orang. Kita membuat kapasitas diri kita seperti tandon air yang bisa menampung air dalam jumlah besar untuk kemudian dialirkan ke banyak tempat. Kalau kita mau memiliki rezeki yang tak terbatas, maka berbagilah. Itu adalah pesan dari guruku yang selalu teringat hingga saat ini. ©kurniawangunadi | 14 April 2021
524 notes · View notes
nurmareliana · 3 years
Text
Alhamdulillah, mengawali bulan Ramadhan dengan berkunjung ke embah, sholat tarawih berjamaah dimushola dekat rumah, dan sahur bareng bapak dan ibu. Kemudian selepas shubuh balik lagi ke Surabaya untuk kembali bekerja. Semoga sehat selalu ya kita semua, lancar-lancar ibadahnya 😇
Selasa, 13 April 2021
1 Ramadhan 1442, ditulis diatas kereta jurusan Cepu-Surabaya
0 notes
nurmareliana · 3 years
Text
Bersegera
Ketika sebuah niat baik terbesit, segera lakukan. Jangan menundanya, sekali-kali, jangan. Niat itu, sedemikian mahal harganya. Jika ditunda, akan muncul celah dan bisikan - yang berujung pada akhir yang kita sesali. Niat baik itu, tidak pernah terlaksana.
Ketika sebuah niat baik terbesit, lakukan saja. Sesegera mungkin, tanpa menunggu harus sempurna. Kelak, kamu akan tahu bahwa kebaikan tidak pernah menunggu kesempurnaan ataupun kepantasan. Berbuat baik itu sendiri, yang akan menyempurnakan dan memantaskan.
Ketika sebuah niat baik terbesit, lakukan sembari meminta Allah untuk menguatkan. Karena Allah yang membolak-balikkan hati, pantaslah kalau kita berdoa untuk selalu diberi keteguhan menjaga niat baik itu sampai kita benar-benar menunaikannya. Berikhtiarlah, sekalipun hanya dengan langkah-langkah kecil. Bukankah banyak hal besar berawal dari sesuatu yang kecil?
Ada momentum dan kesempatan yang begitu berharga, dan tidak pernah bisa terulang. Sekalipun berulang, mungkin tidak akan pernah sama persis. Ketika melewatkannya, cukup sesali dan berhenti meratap. Dan bersiaplah menghadapi momentum yang akan datang.
Maka setiap pagi, bangun dan renungkan. Mungkin, ada niat-niat baik yang menanti di balik lelap tidur panjang kita. Barangkali, niat-niat baik itu yang nanti juga akan memudahkan jalan sampai ke tujuan akhir nanti.
Bersegeralah.
Cirebon, 19 Maret 2021
479 notes · View notes
nurmareliana · 3 years
Text
Siapa yang mengira???
Alhamdulillah teman baikku hari ini menikah, alhamdulillah juga untuk semua kejadian yang terjadi hari ini. Let it flow, biar Allah yang atur semuanya, bismillah 😇
Lamongan, 11 Maret 2021
0 notes
nurmareliana · 3 years
Text
Bagaimana?
Oh capek ya? Iya ini mumpung weekend dibuat istirahat aja. Enakin badannya. Enakin juga suasana hatinya. Berhari-hari bergejolak naik turun perasaanya, sebel kesana, sebel kesini, tuntutan begini dan begitu, dateline ini dan itu. Alhamdulillah sudah mereda ya, jangan lupa minta maaf sama orang yang tanpa tau apa-apa kena dampaknya. Minta maaf juga sama diri sendiri karena masih belum bisa sabar, belum bisa tenang menghadapi. Wajib jadi lebih baik lagi. Pelan pelan aja prosesnya tidak apa-apa, asal jelas progresnya. Mata sayu jadi makin sayu nih, fresh lagi yuk, semangat yuk!
Surabaya, 7 Maret 2021
0 notes
nurmareliana · 3 years
Text
Ya Rabb :")
0 notes