Text
No Longer Human Review
Suatu novel yang menarik. Mungkin tulisan ini juga tidak tepat untuk disebut sebagai review. Tetapi setidaknya aku ingin berbagi dari apa yang kudapat selepas membaca novel ini.
No Longer Human menceritakan tentang seorang tokoh bernama Oba Yozo, yang hidupnya dari kecil sudah penuh kepalsuan. Perasaannya teralienasi selama hidupnya, yang membuatnya tidak mampu untuk menunjukkan sifat aslinya kepada orang lain. Yozo bertingkah layaknya seorang badut, memasang banyak topeng untuk memuaskan orang-orang di sekelilingnya. Yozo selalu ngikut bermain, menuruti apa saja yang diminta orang lain terhadapnya, dengan mengutuk diri sendiri, dan nge_gerundel_ dalam batin. Merasakan suatu bentuk penderitaan dalam dirinya, dan merasa takut kepada manusia. Ketidakautentikan dirinya yang dibawa hingga dia dewasa.
“I find it difficult to understand the kind of human being who lives, or who is sure he can live, purely, happily, serenely while engaged in deceit. Human beings never did teach me that abstruse secret.”
Kita mulai melihat sang protagonist, Yozo, sewaktu berkuliah di Tokyo, ia bergabung dengan klub studi yang juga gerakan komunis bawah tanah, serta mulai berkenalan dengan aktivitas yang nantinya akan menghancurkan dirinya sendiri.
“I soon came to understand that drink, tobacco, and prostitutes were all excellent means of dissipating (even for a few moments) my dreads of human beings.”
Semua dilakukan dengan masih berpura-pura. Masih memasang façade. Di sini ia mulai kesulitan untuk mengatur dirinya sendiri. Yozo juga memiliki beberapa kekasih yang ia pikir ia dapat mendapatkan kebahagiaan bersama mereka, namun tidak berhasil, beberapa ia tinggalkan, bahwa dengan salah satu kekasihnya ia pernah melakukan percobaan bunuh diri, namun gagal. Mulai dari sini, hidupnya semakin kacau balau tak karuan. Akibat percobaan bunuh diri tersebut, dia dikeluarkan dari universitas tempatnya belajar. Koneksi dengan keluarganya pun diputus, dan kini dia ditanggung oleh seseorang bernama Flatfish, pedagang barang antic.
Yozo diawasi dengan ketat oleh Flatfish, bahkan beberapa kali diceramahi, dan ditanya mau seperti apa hidupmu kedepannya, namun Yozo pun tidak mengetahui ingin seperti apa dia nantinya. Merasa begah, dia pergi untuk menemui Horiki, temannya masa kuliah dulu, meninggalkan sepucuk surat di kamar yang ia tinggali.
“I did not run away because I was mortified at having been lectured by Flatfish. I was, exactly as Flatfish described, a man whose feelings were up in the air, and I had absolutely no idea about future plans and anything else.”
Yozo, setelah bertandang ke rumah Horiki, lagi-lagi bertemu seorang perempuan yang pada akhirnya memberikan dia pekerjaan sebagai kartunis majalah anak-anak dan tempat tinggal di rumahnya, yang pada akhirnya ia tinggalkan karena Yozo merasa tidak pantas bersama mereka. Setelah lompat sana-sini dengan beberapa perempuan, Yozo menikah dengan seseorang perempuan polos, yang selalu percaya dengan Yozo.
Yozo beberapa kali disambangi Horiki di rumahnya, untuk minum-minum atau bermain lawan kata atau permainan kata tragic-comic yang dibuat olehnya sendiri. Di suatu malam, Yozo melihat suatu pemandangan tidak enak, istrinya yang polos dan mudah percaya sedang bercinta dengan orang lain. Dari situ, ia merasa ketakutan, suatu rasa takut yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.
“Horiki noisily cleared his throat. I ran back up to the roof to escape and collapsed there. The feelings which assailed me as I looked up at the summer night sky heavy with rain were not of fury or hatred, nor even of sadness. They were of overpowering fear, not the terror the sight of ghosts in a graveyard might arouse, but rather a fierce ancestral dread that could not be expressed in four or five words, something perhaps like encountering in the sacred grove of a Shinto shrine the white-clothed body of the god. My hair turned prematurely grey from that night. I had now lost all confidence in myself, doubted all men immeasurably, and abandoned all hopes for the things of this world, all joy, all sympathy, eternally. This was truly the decisive incident of my life. I had been split through the forehead between the eyebrows, a wound that was to throb with pain whenever I came in contact with a human being.”
Dari sini, hidup Yozo makin turun ke bawah, dia menjadi seorang alcoholic, oleh seorang perempuan petugas apotek (yang lagi-lagi ia rayu) memberikannya berbagai macam obat untuknya, salah satunya adalah morfin. Ia mulai kecanduan, semakin parah sehingga dia harus dikirim ke tempat rehabilitasi. Setelah direhab beberapa bulan, dia dijemput oleh Flatfish, dan abang kandungnya, dan memberi kabar bahwa ayahnya sudah mati. Mengetahui ini, Yozo shock, kehadiran yang menakutkan dirinya kini telah tiada. Ia kini bahkan tidak bisa lagi merasa menderita.
“Now
I have neither happiness nor unhappiness
Everyting
passes.
That
is the one and only thing I have thought resembled a truth in the society of human beings where I have dwelled up to now as in a burning hell.
Everything
passes.”
…
No Longer Human adalah cerita tentang seseorang yang seringkali dimanfaatkan oleh teman-temannya, ditolak oleh ayahnya sendiri, dan berlaku kejam terhadap para perempuan yang pernah mencintai Yozo. Bahkan nampaknya dia hanya menggunakan perempuan hanya untuk sex, uang, atau apapun yang dia perlukan.
Novel ini terbagi di dalam tiga bagian, First Notebook, yang menceritakan masa kecil Yozo, Second Notebook, menceritakan Yozo ketika dia kuliah jurusan seni di Tokyo, dan Third Notebook, bagian akhir yang menjadi klimaks cerita, narasi yang dituliskan di bagian akhir terkesan sangat intens.
Yozo di dalam novel ini dapat dikatakan tidak memiliki rasa kepercayaan sama sekali, terutama terhadap orang lain, mungkin ini yang membuatnya tidak bisa memiliki hubungan yang positif dengan sesame manusia. Perasaan ini, membuat Yozo merasa terasingkan dari dunia, yang dalam novel ini Yozo mengeluhkan, bahkan mempertanyakan, bagaimana masyarakat itu. Apakah masyrakat itu seorang individu? Atau individu yang tercecer dan kebetulan kumpul di suatu tempat disebut sebagai masyarakat?
Meskipun begitu, sebagaimanapun dia bencinya kepada manusia, kepada dirinya sendiri, Yozo tidak mau memaksa bahwa, dari pengalamannya, ia tidak men-judge orang lain salah, dan hanya dirinya saja yang benar. Sebuah cerita tentang seseorang yang selalu memendam perasaannya, yang hampir tidak bisa berempati dengan orang lain.
Meski jalan cerita dan pembawaan ini bisa dibilang “tidak menyenangkan”, dan buat diriku sendiri, novel ini sungguh jujur, dan membaca ini memberikanku suatu bentuk rasa “sakit” yang tidak bisa kubandingkan dengan perasaan sakit-sakit lain yang pernah kurasakan.
Setelah mencari tahu lebih lanjut tentang penulis, nampaknya novel ini adalah bentuk autobiografi penulis sendiri, Shuji Tsushima (beliau menggunakan nama pena Osamu Dazai ketika menulis novel ini). Dari mulai latar belakang keluarga tokoh Yozo, keterlibatannya dengan Partai Komunis Jepang, percobaan bunuh diri, tokoh-tokoh perempuan yang ada di dalam novel ini pun mirip-mirip dengan perempuan yang dulu pernah bersama dengan Osamu Dazai. Tentu dengan penyesuaian dan perubahan sana-sini. Osamu Dazai tinggal dengan Tomie Miyazaki, seorang janda yang ditinggal mati suaminya, dan mereka berdua melakukan bunuh diri dengan dengan menenggelamkan diri di kanal Tamagawa pada 13 Juni 1948, dan tubuhnya ditemukan pada tanggal 19 Juni, bertepatan dengan tanggal lahirnya.
0 notes
Text
Akan mendedikasikan blog ini untuk segala macam pikiran-pikiran yang melintas di dalam benak kepala, baik itu puisi, esai, review, and probably pictures. :)
0 notes