Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
The Burning Night Sky - Part 1A

Malam takbiran tahun ini terasa berbeda dan begitu istimewa bagiku. Setelah perjalanan panjang sejak pagi, akhirnya aku, bersama Andin—adik perempuanku—dan ibuku tiba di kampung halaman. Tujuan kami adalah Surabaya, kota tempat kami menghabiskan libur Lebaran kali ini.
Aku turun dari mobil yang kukendarai sendiri, hasil tabunganku dari pekerjaan dan bonus kenaikan jabatan yang kuperoleh beberapa waktu lalu. Kedatangan kami disambut hangat oleh Bi Rara, pemilik rumah, beserta keluarganya.
“Syukurlah, kalian sudah sampai, tepat menjelang waktu berbuka,” ujar Bi Rara dengan nada lembut yang penuh kehangatan.
“Mari masuk, sebentar lagi waktunya berbuka,” sambut paman dengan senyum ramah.
Kami bertiga memasuki rumah kerabat itu. Di dalam, sudah ada sepupuku, Mas Tirta, bersama keluarga kecilnya yang sedang menunggu waktu berbuka. Mas Tirta menyapaku dengan antusias.
“Wah, nggak capek, Han?” tanyanya, memperhatikan keadaanku setelah perjalanan jauh.
“Nggak, Mas Farhan mah kuat!” sahut Andin dengan nada bangga, membuat kami tersenyum.
“Baguslah, mari duduk,” ujar Mas Tirta sambil mengajak kami bergabung.
Kami duduk bersama di ruang makan. Tak lama, suara azan maghrib berkumandang, menandakan waktu berbuka setelah seharian berpuasa. Aku menikmati hidangan yang tersaji satu per satu, mulai dari kurma, kolak, hingga minuman dingin yang manis dan menyegarkan. Semuanya terasa begitu nikmat setelah perjalanan panjang.
Setelah berbuka, Mas Tirta mengajakku untuk salat maghrib berjamaah di masjid terdekat. Dalam perjalanan menuju masjid, kami mengobrol santai.
“Saya salut sama kamu, Han. Bisa nyetir sendiri sampai Surabaya. Sudah tiga tahun, ya, nggak pulang?” ujar Mas Tirta dengan nada kagum.
“Iya, Mas. Syukurlah, tahun ini akhirnya bisa pulang,” jawabku sederhana.
“Oh ya, saya dengar kamu masih jomblo?” tanyanya tiba-tiba, membuatku tersenyum kecil.
“Iya, masih. Tapi untuk saat ini, saya belum tertarik menjalin hubungan. Masih ada tanggungan untuk Andin dan kebutuhan rumah. Apalagi ibu sudah lama nggak bekerja,” jelasku panjang.
“Oh, iya, bener juga,” jawab Mas Tirta, mengangguk paham.
Kami sampai di masjid, menunaikan salat maghrib berjamaah, lalu kembali ke rumah. Sesampainya di sana, masing-masing sibuk dengan aktivitas sendiri. Ada yang mengobrol, menyiapkan keperluan malam takbiran, atau sekadar bersantai.
.
Malam itu, saat aku beristirahat di kamar tamu, aku terbangun karena hawa yang begitu panas. Kipas angin tak mampu meredakan gerah yang kurasakan. Karena tak bisa tidur lagi, aku memutuskan keluar rumah untuk mencari udara segar. Di teras, aku mendapati Mas Tirta sedang duduk sendirian, menghisap rokok dengan santai.
“Loh, belum tidur?” tanyanya, sedikit terkejut melihatku muncul.
“Sudah tadi, tapi terbangun karena panas,” jawabku sambil menghela napas.
“Iya, malam di sini emang suka gerah. Mau rokok?” tawarnya, mengulurkan sebungkus rokok ke arahku.
“Nggak, saya nggak merokok,” tolakku dengan sopan.
Kami pun mulai mengobrol, berpindah dari satu topik ke topik lain dalam suasana santai. Namun, tiba-tiba Mas Tirta menoleh ke kanan dan kiri, seolah memastikan tak ada orang lain di sekitar kami.
“Ada apa, Mas?” tanyaku, penasaran dengan gerak-geriknya.
“Dulu kamu pernah nyepong punyaku, ya?” tanyanya tiba-tiba.
Pertanyaan itu membuatku terkejut. Aku terdiam sejenak, berpikir keras bagaimana harus menjawab dengan hati-hati.
“Saya nggak marah. Saya cuma tanya… pernah, ya?” lanjutnya dengan wajah serius, tapi nada bicaranya tetap tenang.
“Iya, Mas, pernah… pas aku masih SMA,” jawabku akhirnya, pasrah.
“Kamu sering ngelakuin hal itu?” tanyanya lagi, menatapku penuh rasa ingin tahu.
“Nggak sering kok,” jawabku jujur, mencoba menjaga suasana tetap terkendali.
Mas Tirta terdiam sejenak. Ia menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu menghembuskan asap ke udara malam. Tiba-tiba, tangannya meraih tanganku dan mengarahkannya ke celananya.
“Kira-kira kamu mau melakukannya lagi?” pintanya dengan nada yang hampir seperti memohon.
Aku mematung, kaget dengan permintaannya. “Eh, maksudnya?” tanyaku, berusaha memastikan.
“Iya, aku inget apa yang kamu lakuin waktu itu. Aku sadar saat itu, tapi aku rahasiain sampe sekarang. Jadi, kira-kira kamu mau lagi nggak?” jelasnya, tatapannya intens.
“Iya, mau sih,” jawabku setelah beberapa detik hening, tak menolak.
“Oke,” ujar Mas Tirta singkat.
Ia membuang puntung rokoknya, lalu berdiri. “Ikut aku,” katanya sambil melangkah menuju halaman belakang rumah. Kami melewati sawah yang gelap dan sunyi, hanya ditemani angin malam yang berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan rerumputan. Kami berjalan cukup jauh dari rumah, hingga akhirnya tiba di sebuah bangunan kosong yang tersembunyi di balik pepohonan.
“Di sini saja,” ucapnya.
Mas Tirta masuk lebih dalam ke bangunan itu, dan aku menyusul dari belakang. Bangunan itu ternyata memiliki dua lantai dengan area luar yang luas. Cahaya samar terlihat dari dalam, memberikan sedikit penerangan di tengah kesunyian. Aku memandang sekeliling—tempat ini terasa dingin karena angin malam, namun begitu sepi.
Lalu, aku menoleh ke arah Mas Tirta. Ia menurunkan celana pendeknya, dan aku terkejut melihat ia tak mengenakan celana dalam. Ukuran yang dimilikinya—sekitar 18 cm—membuat mataku membelalak sejenak. Aku menelan ludah, tak bisa menyembunyikan keterkejutanku.
“Hisaplah,” ujarnya, menawarkan dengan nada tenang namun tegas.
Bersambung...
2 notes
·
View notes