Tumgik
perempuanbanyu · 7 years
Text
Perempuan dan Teror Pernikahan
Tumblr media
Sering kita melihat , teman-teman yang mengikuti sebuah kuis di sebuah media sosial lalu membagikan hasilnya pada lini masa. Kuis bisa bermacam-macam, tentang menebak kepribadian, tentang siapa pasangan hidup kelak, dan ada pula tentang kapan akan menikah. Kuis itu seolah tuhan yang bisa menebak garis hidup seseorang. Dari mereka yang mengikuti kuis —yang tidak tahu juntrung kebenarannya— itu, ada yang meng-amini jika hasilnya baik, ada pula yang menganggap kuis itu beserta seluruh hasil yang terkandung di dalamnya hanyalah lelucon belaka, tetapi ada pula yang terlihat begitu putus asa, terlebih mengenai hal terakhir. Anehnya, yang sering mengikuti kuis itu, adalah perempuan.
Apakah begitu putus asanya seorang perempuan yang sudah menginjak usia 30 tahun tetapi belum menikah? Apakah di usia yang tidak mau dikatakan tua tetapi sudah sering pikun tersebut, belum juga menemukan jati diri? Baiklah, anggap saja orang yang mengikuti kuis itu sedang iseng, mumpung tidak ada bos di kantor. Tapi iseng kok sering?
Loh kok nyinyir?
Pernikahan memang menjadi teror bagi sebagian orang, baik perempuan maupun laki-laki yang masih melajang. Terlebih, ada anggapan bahwa perempuan kalau sudah terlalu tua tidak laku, “perawan tua” istilahnya, lalu malu jika seorang perempuan menyandang predikat “perawan tua”. Belum lagi, anggapan lain bahwa kalau terlalu lama, nanti tidak bisa punya anak. Tidak berhenti di situ, ada sebuah hukuman tanpa peradilan yang dijatuhkan kepada perempuan jika pasangan suami istri yang telah lama menikah tetapi belum juga dikaruniai anak. “Perempuan mandul.” Duh, kasihan sekali jadi perempuan.
Tidak perlu malu jika menyandang “perawan tua” di pundak. Malahan seharusnya bangga karena masih diberi kesempatan untuk menjadi “liar” dan pintar lebih leluasa. Masih bisa keluyuran sendiri tanpa harus sibuk menjawab pesan “kamu lagi di mana?”, “sedang apa?”, “bersama siapa?”, “sudah makan belum?”, “kok tidak angkat telepon?”, “kamu di mana sih?”, “kamu tahu tidak sih kalau aku… ah?”, dan blab bla bla yang panjang sekali. Di beberapa saat, mendapati diri kita dalam kesendiran itu menyenangkan. Kita juga semakin mengenali diri sendiri, jadi tidak usah menggantungkan hidup kepada kuis. Kadang kala, menjadi Rangga di film Ada Apa Dengan Cinta asyik juga.
Perihal anak, kata siapa anak itu harus lahir dari rahim sendiri? Selalu angkat kedua topi kepada perempuan-perempuan yang memutuskan untuk tidak memiliki anak, dalam hal ini, biologis. Hal itu tidaklah mudah. Tidak perlu bertanya apa alasannya, kita hanya perlu untuk menghormati.
Anak-anak di panti asuhan punya hak yang sama sebagai manusia. Mereka yang terasingkan oleh keluarga sendiri atau diasingkan oleh keadaan berhak mendapatkan kasih sayang orang tua.
Pertanyaan “kapan menikah” yang sering dilontarkan para orang tua saat hari raya juga menjadi sebuah beban mental. Bukannya kita bergembira menjalin silaturahmi, tetapi malah ada rasa ketakutan menjelang hari raya, mempersiapkan hati tebal se-tebal 25 cm seperti dinding rumah-rumah belanda, menjawab teror yang menerkam, meradang, dan menerjang bagai puisi Chairil Anwar.
Pernikahan memang sebuah legalitas awal manusia untuk ber-anak pinak, membentuk keluarga, merunut silsilah, dan menciptakan peradaban. Tetapi, pernikahan bukan sebuah prestasi. Tidak menikah pun bukan sebuah aib. Bukan berarti pernikahan itu tidak penting, malahan pandanglah pernikahan itu sesuatu yang sakral. Bayangkan, mengucap janji kepada Tuhan. Menikah satu kali saja seumur hidup, maka jangan sembarangan supaya tidak menyesal. Pernikahan juga tidak bisa menjadi ukuran kebahagiaan seseorang, tetapi jadikan pernikahan itu hal yang bisa membuat bahagia. Lagi-lagi, angkat topi untuk perempuan-perempuan yang memutuskan tidak menikah.
Ada orang bilang supaya jangan pilih-pilih cari pasangan. Mbelgedhes! (Saya sebenarnya ingin mengumpat kata lain, tapi itu jorok). Pasangan ya harus dipilih, sama seperti memilih teman. Kadang kita merasa, semakin bertambahnya usia biasanya lingkup pertemanan semakin terbatas, karena prioritas, kesibukan, dan banyak hal lain. Bisa dihitung dengan jari siapa saja teman yang masih berkomunikasi secara dekat dengan kita. Itu sangat manusiawi. Tidak perlu khawatir kehilangan banyak teman, bertemanlah dengan orang-orang yang bisa memberi energi positif.
Kita berhak memilih. Misalnya saja, sebagai perawan tua akhirnya “ditembak” juga oleh lelaki, tetapi si perawan ini merasa tidak suka, tidak cocok, dan tidak nyaman. Ya sudah, jangan diterima. Jangan karena keinginan memiliki pasangan yang begitu besar seperti bahtera Nuh lalu menerima gombalan seorang lelaki. Jangan se-putus asa itu lah. Mau garing seumur hidup?
Sebagai perempuan, seharusnya memiliki kesadaran penuh akan kulitas diri sendiri terlebih dahulu, hal yang menjadi dasar untuk mencari kualitas pasangan, harus punya kriteria. Bukan secara fisik, tetapi lebih kepada pribadi, misalnya nyaman diajak ngobrol, membahas ini-itu secara serius atau hanya guyon, atau melakukan kekonyolan bersama dan menertawakan kekonyolan itu. Bahkan, kalau sudah cocoknya mengalahkan sepasang sepatu, hanya lihat-lihatan saja bisa tertawa. Itu cocok atau gila?
Seperti yang dikatakan tadi, pernikahan itu sekali seumur hidup. Jadikan kehidupan setelah akad pernikahan itu menjadi sesuatu yang bermakna dan membuat kita menjadi pribadi yang berkembang bukan malah menurun. Saling mendukung satu sama lain, bisa memberi masukan-masukan, dan bisa berkomunikasi dengan nyaman dan nyambung, membiacarakan banyak hal, itung-itung bisa berkarya bersama. Masalah sukses, belakangan saja, biar orang lain yang menilai. Tidak sukses pun tidak apa, tidak akan gila. Yang penting jangan pernah menyesal karena pernikahan. Hapus semua pandangan bahwa seseorang dikatakan mapan jika sudah menikah. Mapan itu apa sih?
Perempuan itu dilahirkan dengan naluri dan hati yang lembut, penuh dengan pertimbangan, dan itulah yang membuat perempuan menjadi sosok yang kuat. Kalau diibaratkan sebuah bangunan rumah, perempuan itu adalah tiang-tiang kolom rumah yang bisa membuat berdiri. Kolomnya ambruk, ya rumahnya ikut luluh lantah. Perempuan itu juga harus pintar, kerena dengan pintar, kita bisa menghadapi segala sesuatu yang serba patriarki.
Jangan letih untuk belajar. Belajar bisa dari mana saja, buku, film, musik, bahkan traveling. Benar jika ada pepatah mengatakan buku adalah jendela dunia. Siapa yang bisa menyangka bahwa hanya dari buku roman kita bisa belajar sejarah yang tidak pernah diajarkan di sekolah.
Apa yang kalian ketahui soal Kartini di sekolah dulu? Dia hanyalah pahlawan emasipasi perempuan Indonesia. Itu saja. Emansipasi itu apa sih? Coba bacalah buku Pramoedya, kalian akan tahu siapa Trinil itu seseungguhnya, apa yang menjepitnya sehingga ia melawan dengan pena. Kalian akan tersadar, seorang perempuan akhirnya bisa menjadi arsitek, jurnalis, atau dokter adalah hasil perjuangnya, ada sosok-sosok seperti Susi Pudjiastuti dan Sri Mulyani. Kalian akan mengerti, bahwa Kartni adalah seorang gadis yang memiliki pemikiran lebih maju melampaui masanya. Kartini membuat perempuan punya pilihan, jika saja ada seorang perempuan menjadi ibu rumah tangga itu karena pilihan hidupnya, tidak ada satu orang pun dapat menghakimi. Buku membuat kita menjadi pribadi yang cerdas dan kuat.
Kita juga dengan mudah menangkap pengetahuan dari sebuah musik dan film. Kita bisa belajar mengenai sebuah generasi, budaya, dan pergerakannya melalui film Easy Rider atau 24 Hours Party People. Kita juga bisa belajar sejarah dengan mudah melalui film GIE atau Banda The Dark Forgotten Trail. Musik dan film, mengajarkan kita menjadi pribadi yang menghargai proses, menjadikan kita pribadi yang dinamis.
Lalu, berjalan-jalanlah. Mendatangi tempat-tempat baru di pelosok negeri, menanjak gunung, menyelam, bisa memperkaya batin kita. Bertemu dan berbincang dengan penduduk lokal yang hidup jauh dari kota bisa memberi pemahaman lain tentang manusia. Alam yang lugas dan manusia yang begitu sederhana dan jujur itu menjadikan kita manusia yang seutuhnya dan menghargai kehidupan lebih dari apa pun; humanis.
Buku, musik, dan travel, adalah hal-hal yang bisa membuat kita tersadar, begitu beruntungnya kita masih bisa menikmati itu lebih dari orang lain. Masih bisa diberi kesempatan untuk “liar” dan pintar. Cakrawala itu terlalu luas jika kita hanya diam dan tidak berbuat apa-apa menunggu pujaan hati datang dan memikirkan kapan nikah.
Dengan menjadi perempuan yang memiliki kecerdasan dinamis dan humanis, kita bisa menghadapi teror yang mengoyak sepi —lagi-lagi bagai Chairil Anwar, bisa menegakkan dagu menyambut hari raya dan menjawab dengan baik pertanyaan “kapan nikah?”, “kapan punya anak?”, “kapan gendong cucu?”, atau bahkan “kapan mati?”. Pertanyaan yang seolah tidak akan pernah habis. Bisa memutus segala mata rantai predikat negatif perempuan lajang dan tidak lagi merasa putus asa. Isi hari-hari lajang dengan hal-hal kreatif, otak bisa lumutan kalau kita tidak mendatangi pameran buku, menonton film di bioskop dan menonton konser musik, dan bisa-bisa depresi kalau tidak sering jalan-jalan. Barangkali, bisa berbuat sesuatu untuk masyarakat dan negara. Barangkali lho ya.
Jadi, santai saja, Sis, yang penting rekening.
Tidak usah iri dengan orang lain yang sudah menikah atau mapan. Belum tentu mereka lebih baik dan lebih bahagia. Setiap orang punya zona waktu sendiri-sendiri. Ada orang yang menikah di umur 25 lalu bercerai di 35, ada yang menikah di umur 45 tetapi menghabiskan seumur hidupnya bersama. Ada pula orang yang sudah mapan di usia 35 dan meninggal pada 65 tahun, tetapi ada pula orang yang baru bisa mapan di usia 55 dan meninggal pada 95. Lagi-lagi, mapan itu apa sih?
Tuhan tidak pernah salah dan selalu tepat pada waktuNya. Tidak ada kata terlalu cepat dan tidak ada pula istilah terlambat. Nikmati waktumu, nikmati tubuhmu, nikmati hidupmu. Berdamailah dengan dirimu sendiri, wahai perempuan.
1 note · View note
perempuanbanyu · 7 years
Text
Kotagede, Lorong Waktu Menuju Rahim Yogyakarta
Tumblr media
Kotagede adalah persenyawaan masa silam dan kini. Yang silam dikenang sebagai pusat Kerajaan Hindu yang disulap menjadi Kesultanan Mataram Islam, tempat singgasana Panembahan Senopati bertahta. Tidak ada batas jelas antara yang lalu dan kini. Tapi yang pasti, kota pusaka ini seolah menandakan peradaban modern terbit kemarin Legi.
Pagi ini Matahari memulas biru langit dengan bias-bias cahaya secara diam. Sinarnya membentuk bayang-bayang pada jalan, dinding bangunan, dan pepohonan yang sejak semalam tua. Saya menyusuri jalanan menuju Kotagede, menyaksikan dan merasakan, bagaimana sinar itu mengubah gelap menjadi hidup secara gaib.
Akiik… akiik… akiiiikkk…
Seruan pedagang datang lebih gempita. Ini mungkin menjadi hari besar bagi warga Kotagede. Minggu yang datang pada pasaran Legi. Pikuknya merambat ke atas, membentuk bias-bias dalam terpa sinar mentari pagi di udara. Likat manusia dan suara lantangnya yang tidak terjadi tiap hari, hanya pada pasaran kedua penanggalan Jawa. Sargedhé, begitu pasar tua itu disebut.
Saya berhenti di depan gelaran lapak pedagang cincin batu akik. “Monggo, Mbak,” sapa ibu pedagang. “Ini batu apa, Bu?” tanya saya seraya menunjuk salah satu batu berwarna kecokelatan. “Mata kucing Mbak,” jawabnya kemudian melanjutkan, “Bagus itu. Warnanya bisa berubah kalau kena sinar sepeti mata seekor kucing.”
Di sisi barat pasar, gelaran lapak pedagang dari mulai hewan unggas, tanaman hias, sampai cincin akik. “Kalau yang ini harganya berapa?” tanya saya akhirnya merujuk kepada sebuah batu berwarna kebiruan. “Tiga puluh ribu sudah sama cincinnya, Mbak.”
Tak perlu lama, si ibu pedagang dengan cekatan memasang batu biru pada sebuah cincin yang telah saya beli. Saya membeli sebuah cincin akik!
Terus berjalan dari sisi barat memutar menuju timur. Keramaian pasar semakin meluber. Pada sisi ini, mustahil kendaraan bisa melintas.
Pasar memang selalu menjadi pusat keramaian. Aktivitas ekonomi yang terbalut dalam interaksi sosial dan budaya dari pelaku-pelakunya. Tidak ada legalitas sosial antara kaya dan miskin. Semua berbaur dalam salah satu pilar Catur Gatra Tunggal.
Tumblr media
Di Kuthagedhé —dalam bahasa Jawa kota itu disebut—, ihwal dan peradaban silih berganti.
Di Alas Mentaok, pada abad XVI Kerajaan Mataram Kuno telah runtuh. Yang tersisa dari peradaban Hindu itu hanyalah dongeng yang tak lekang oleh jaman. Hutan itu adalah hadiah Kesultanan Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan karena berhasil membunuh Ario Panangsang, musuh kerajaan. Di tangannya, bekas singgasana Hindu itu menjadi sebuah desa kecil yang kemudian mulai berganti dengan kekuasaan Islam, berabad silam.
Saya memutari pasar dari sisi timur kembali menuju barat, lalu terus berjalan ke selatan. Menyusuri kios-kios pengrajin perak dan toko kelontong, sorak-sorai pedagang masih mengalun lembut di udara dan kemudian hilang ketika saya berbelok ke barat, memasuki Kawasan Ndodongan.
Di dalam Kawasan Ndodongan, ada tiga komplek bangunan: Masjid Gede Mataram, Pasareyan Raja, dan Sendang Seliran.
Pasar tidak berdiri sendirian. Panembahan Senopati, anak Ki Ageng, dalam kekuasaannya mendirikan langgar yang berjarak seratus meter di barat daya pasar. Pembangunan masjid kemudian dilanjutkan oleh Sultan Agung, cucu Panembahan Senopati. Oleh Sultan Agung, bangunan inti masjid dilengkapi dengan serambi, kuncungan, jagang, dan pagar batu bata. Pagar dengan gapura paduraksa yang berlekuk-lekuk ramping seperti tubuh seorang dewi, menjulang ke atas. Peradaban baru itu kemudian menjadi besar, mempersatukan sebagian besar tanah Jawa dan Madura.
Melewati paduraksa, saya masuk ke dalam lorong ruang dan waktu abad XVII, ketika Sultan Agung membangun pagar batu bata berciri khas arsitektur Hindu itu. Warga Alas Mentaok yang masih beragama Hindu dan Buddha bergotong-royong menyusun satu demi satu batu bata merah yang direkat dengan air aren, disusun seperti rupa candi.
Setelah melewati paduraksa, berbelok ke kanan pada dinding kelir, saya sampai di komplek masjid. Menebar pandang secara perlahan pada halaman, pada paduraksa dan pagar batu bata, pada tugu jam yang dibangun oleh Paku Buwono X, pada pohon-pohon sawo kecik nan rindang dengan suara desik dahan tertiup angin, pada bangunan masjid. Seorang bapak tua sedang menyapu halaman.
Dari hadapan paduraksa di sisi timur komplek, saya berjalan sedikit ke sisi utara. Meraba lembut batu bata merah yang menjulang ke atas setinggi dua setengah meter, mengelilingi sejenak lalu berjalan menuju pagar putih masjid.
Masuk ke dalam area masjid, melalui area kuncungan hijau tua seperti warna khas Yogyakarta, dengan ornamen keemasan kaligrafi, melewati jagang yang berada di bawahnya, kolam sebagai batas suci. Jagang itu dulunya adalah parit yang mengelilingi bangunan masjid sebagai tempat aliran air wudhu. Kali ini, ada tiga ekor ikan tampak berenang di dalam jagang.
Jagang bersilih dengan bagian serambi. Saya duduk di dalam serambi, mengamati eloknya bangunan ini. Delapan saka guru berdiri gagah, memegang kendali pada balok-balok di atasnya. Saka guru itu tertopang pada umpak batu padas berwarna hitam. Ada pula ornamen kuningan pada kaki masing-masing tiang, seperti mengenakan binggel.
Delapan saka guru itu diikat oleh dua balok dengan besar yang sama. Mereka saling tumpu. Usuk dan reng tak mau kalah berpautan di atasnya, membentuk rangka-rangka atap limasan. Ada pula kayu yang diukir kaligrafi. Lima pintu kayu yang tak kalah menawan berjajar pada dinding putih bangunan induk masjid. Bagian tengah ukurannya lebih besar dari pada lainnya.
Angin berhembus silir-semilir. Mengibarkan malai rambut pada wajah. Teduh sekali tempat ini, gumam dalam hati. Si bapak masih asyik menyapu halaman. Saya beranjak menuju bagian dalam masjid. Berdiri pada bagian belakang pawestren, mengamati dengan diam. Bagian dalam bangunan utama masjid tak kalah anggunnya dengan serambi. Malah lebih menawan. Empat saka guru yang lebih besar dari yang pertama berdiri gagah perkasa menggurui lainnya, seolah ingin menghidupi makhluk lain yang berada di bawahnya. Pada bagian tengah sisi barat, terdapat mihrab kayu dengan semarak ukiran, hadiah dari Adipati Palembang kepada Sultan Agung. Saya mengamati satu per satu bagian dengan seksama, bangunan cantik ini adalah mutiara Yogyakarta.
Selesai pada bangunan masjid, saya beranjak keluar menuju halaman. Sepintas saya melihat bapak tua sedang duduk di depan pagar putih masjid. Mengamati  gesturnya dalam diam, tubuhnya mungkin renta, tetapi tekadnya perkasa. Di matanya tampak kecintaan pada tanah kelahirannya, pada halaman yang ia sapu tiap hari.
“Mlebu nang kana, nang sendang,”¹ ucapnya lantang dengan bahasa Jawa seraya menunjuk pada paduraksa lain di sisi selatan. Saya berjalan menghampiri dan membalas ucapannya dengan bahasa Jawa yang terbatas, “Saget mlebu, njih, Pak?”²
Bapak tua itu kembali menjawab, “Saget. Nek makame mboten saget, nang halamane wae.”³
“Njih, Pak. Suwun.”⁴ jawab saya kemudian.
Mengikuti anjuran bapak tua untuk masuk menuju sendang. Melewati paduraksa kedua di sisi selatan ada taman yang cantik dengan dua bangunan rumah tradisional Jawa di sisi timur laut dan selatan. Cicitcuit burung terdengar riuh. Tentram rasanya.
Tumblr media
***
Tempat ini bagaikan labirin. Labirin batu padas dan bata. Labirin dengan taman indah dan cicitcuit burung. Labirin dengan eloknya paduraksa dengan daun pintu kayu yang tak kalah memesona.
Paduraksa ketiga ini tampak lebih megah dari lainnya. Bukan tanpa alasan, karena kali ini saya sudah masuk ke dalam halaman depan Pasareyan Raja. Ya, halaman saja.
Pada halaman ini, ada dua bangunan rumah tradisional Jawa dan dua bangsal. Dua bangunan pertama sebagai rumah tinggal dan tempat mengurus administrasi dan dua bangsal terakhir sebagai tempat istirahat para peziarah yang datang. Di sisi paling barat setelah dua bangsal, ada paduraksa putih tinggi dengan daun pintu kayu besar. Pintu tertutup. Itulah pintu masuk ke Pasareyan Raja. Sesajen ada di setiap sudut. Pohon-pohon besar berdiri menghalau panas. Halaman kali ini dijaga oleh tiga abdi dalem. Saya melepas pandang pada halaman ini, lagi-lagi seperti masuk ke dalam lorong waktu berabad silam; seperti set sebuah film kolosal!
“Monggo, Mbak. Silakan isi buku tamunya.” sapa ramah salah satu abdi dalem. Saya berjalan menghampiri bangunan di sisi selatan. Mengisi buku tamu dan memasukkan sejumlah uang untuk dana pemeliharaan.
Matahari semakin menyengat sinarnya. Saya memutar pandangan pada halaman yang sangat kental akan akuturasi budaya.
Berada di dalam Sendang Seliran, lagi-lagi saya kembali masuk ke dalam abad XVI, ketika putri dan dayang-dayang mandi di Sendang Putri dan para pangeran di Sendang Kakung. Mereka berkecipak bermain air yang keluar dari dalam sumbernya. Cipak air yang disertai derai tawa dan senda gurau. Suara-suara yang kemudian berbaur di udara. Tetapi kini, sendang itu adalah rumah bagi ikan-ikan yang sengaja dipelihara. Ikannya besar-besar. Ada ikan lele yang besarnya melebihi paha saya.
***
Tumblr media
Duduk di dalam bangsal, dinaungi pohon-pohon besar dengan semilir angin yang memburai helai rambut, berpijak pada tanah Yogyakarta dengan seribu satu catatan sejarah. Menemukan surga yang tersembunyi di sudut timur Kota Yogyakarta.
Surga di sini bukanlah putihnya pasir pantai Wonosari dengan ombak yang mengulun indah, bukan hamparan bukit hijau Pegunugan Menoreh, tetapi surga di sini adalah pasar tertua Yogyakarta yang dibangun pada abad enam belas, adalah masjid dengan struktur kayu jati yang dibawa langsung dari Blora, adalah dinding-dinding batu bata merah tua nan perkasa. Lingga peradaban yang menjadi legalitas Yogyakarta sebagai kota pusaka. Surga dalam satu fragmen sejarah Indonesia.
Jangan ragu untuk berkenalan dan becakap dengan surga sejarah itu. Singgahlah sejenak ke Kotagede pada pasaran Legi. Kalian bisa berwisata mengunjungi #SurgaTersembunyi yang berada di bekas ibukota Negara Indonesia ini. Datanglah pada pagi hari, selain sinar matahari masih hangat, lupis dan cenil dengan guyuran kuah legit gula jawa, yang dijual oleh seorang nenek di depan pintu masuk pasar masih tersedia. Boleh juga kalau ingin membeli batu akik seperti saya.
Kalian bisa memantau harga tiket pada laman Tiket.com. Tidak hanya transportasi, di Tiket.com juga bisa memesan akomodasi.
Karena bagi saya, berjalan pada gang-gang kecil dengan suasana perkampungan jaman dulu dan berujar, “Nderek langkung,”⁵, tersenyum sembari menganggukkan kepala sedikit kepada warga sekitar yang bercengekarama di depan rumah, bisa menghadirkan kebahagiaan tersendiri. Barangkali juga bisa berfoto bersama.
Sementara, Kuthagedhé adalah rahim. Tempat benih bernama Yogyakarta lahir dan berkembang, alas pertama.
Tumblr media
                                               ¹ “Masuk ke sana, ke sendang.”
² “Bisa masuk, ya, Pak?”
³ “Bisa. Kalau makamnya tidak bisa, hanya di halaman saja.”
⁴ “Baik, Pak. Terima kasih.”
⁵ “Numpang lewat,”
1 note · View note
perempuanbanyu · 7 years
Text
Memburu Saturnus di Boyong
Tumblr media
Derik lambat roda si hitam tua menggerus jalan lingkar luar Yogyakarta dari Selatan menuju ke Utara. Tigapuluhempat kilometer yang harus ditekuni dengan lambat.
15 Juni 2017, tersimpan di gawai sebelumnya, informasi mengenai posisi Saturnus yang berada satu garis lurus dengan Bumi dan Matahari. Kita bisa melihat cukup jelas kilau oranye planet dengan cincin menawan itu di langit timur, dari Bumi. Kebetulan, saya mendapat kupon menginap gratis dari Zen Rooms karena memenangi sebuah kuis tempo lalu.
Setelah saya cari-cari melalui aplikasi, akhirnya memutuskan untuk menginap di Zen Rooms Boyong, Kaliurang Barat. Ah, ini tempat yang pas untuk memburu Saturnus dengan hawa sejuk pegunungan. Toh, sekalian tamasya mencari suasana baru. Sudah beberapa hari ide menulis mentok, sedangkan saya punya kewajiban personal untuk meyelesaikan tugas tulisan tentang trip ke Nusa Tengara Barat yang telah lewat. Barangkali ide muncul dengan derasnya di tempat yang lebih segar dibanding rumah, pikir saya saat itu.
Memasuki Jalan Boyong, rintik turun dengan lembutnya. Turun bersama kabut yang juga tipis. Kami—saya dan seorang teman—berhenti sebentar, melihat peta eletronik di gawai, duasetengah kilometer lagi sampai, dan si hitam harus terus melaju dengan sabar.
Limabelas menit berselang, akhirnya kami tiba di Zen Rooms Boyong. Sempat bingung menemukan lokasi hotel, karena tidak ada papan nama Zen Rooms di hotel, hanya ada penanda nama hotel itu sendiri. Setelah memastikan melalui aplikasi, kami masuk menuju halaman hotel.
Hoopla! Kami tiba di Akasa Hotel. Turun dari motor, berjalan seraya mengelus si hitam pada gagang besi belakang sambil berujar, “Aih, terima kasih hitam.” Si Teman senyum-senyum geli melihat perlakuan saya kepada motor yang setia menemani saya sejak tahun 2003.
Setelah urusan administrasi selesai, kami masuk ke dalam kamar. Melihat keadaan kamar yang cukup baik, dua tempat tidur, satu besar yang lainnya lebih kecil; barang-barang di meja yang semua berwarna merah dan jumlahnya sepasang; kantong tas yang berisi sikat gigi beserta pasta, buku catatan kecil dan pena. Ada pula cangkir putih dengan teh dan gula kemasan, teko pemanas air, dua botol air mineral dengan tatakan gelas bulat berwana merah dengan kutipan Dalai Lama yang begitu saya suka, “Once a year, go someplace you’ve never been before.” Ya, pergilah dan berjalanlah ke tempat-tempat baru, masuk ke dalamnya, berbaur dengan masyarakatnya, karena barangkali, ada sesuatu hal yang bisa mengubah hidup kalian.
Tumblr media Tumblr media
***
Saya berjalan keluar kamar untuk melihat area luar hotel. Kamar berjajar entah berapa jumlahnya, tidak menghitung. Semua kamar menghadap ke taman tengah dengan dua pohon kamboja. Rumput-rumput semerbak hijau membuat permadani sendiri dengan dahannya. Di luar pagar, sebuah rumah tua berdiri kokoh, berusaha tak ingin lekang oleh jaman. Di ujung sana, Merapi pun tidak ingin ketinggalan untuk menjadi bagian yang bisa dipandang mata dari halaman tengah hotel.
Kembali masuk ke kamar, saya merebahkan tubuh di tempat tidur, menyalakan televisi, tidak ada acara yang menarik. Teringat saya akan tujuan ke tempat ini: mencari ide menulis. Saya bergegas menggambil komputer lipat di tas.
“Langsung menulis?” tanya si Teman. Saya mengangguk mengiyakan dan menjawab, “’Kan memang tujuannya mau menulis.”
“Bukannya ingin melihat Saturnus?” ia bertanya lagi penasaran. “Itu juga.” jawab saya kemudian.
***
Duduk di atas tempat tidur, menyalakan komputer lipat, mencari fail tulisan terakhir tentang Pulau Moyo. Saya membaca sekilas kembali tulisan yang sudah dua hari ini tidak tersentuh. Macet total. Melihat jumlah kata di sudut kiri bawah, duaratustujuhpuluhtujuh. Masih dibutuhkan lebih dari seribu kata sehingga layak disebut satu artikel. Si teman juga duduk  dan bersandar pada kepala tempat tidur seraya menonton televisi entah acara apa.
Saya mulai mengetik beberapa kata. Perjalanan dari Sumbawa menuju Pulau Moyo menjadi bahan tulisan kali ini. Cukup lancar ternyata. Benar dugaan, suasana baru membuat ide lebih mengalir.
Lalu saya beranjak dari tempat tidur dan berjalan mengelilingi kamar, mencari inspirasi kembali. Membuka tirai jendela, melihat pemandangan luar: tidak ada apa-apa. Hanya tembok tinggi dan ujung-ujung atap bangunan sekitar dan pohon-pohon bersela di antaranya. Kabut cukup tebal.
Selesai dengan jendela, saya menuju meja yang pertama tadi. Menuang air kemasan ke dalam teko pemanas dan menyalakannya. “Mau kopi?” tanya saya kepada si Teman. Ia mengangguk mengiyakan.
Menunggu air masak, saya berjalan menuju tempat tidur dan duduk di tepian. Melihat acara televisi yang sedang disaksikan si Teman. Tidak menarik.
Saya kembali berjalan ke meja, air belum masak. Duduk pada kursi di samping meja dan membuka kantong tas dan mengeluarkan isinya. Lumayan dapat buku catatan dan tatakan gelas. Omong-omong soal buku catatan, benda itu termasuk barang yang menjadi koleksi di rumah. Kalau kebetulan menemukan buku catatan dengan gambar yang lucu-lucu, saya pasti membeli. Pernah suatu saat, saya diberi buku catatan dengan gambar sampul Union Jack oleh seorang teman. Bahagia bukan kepalang.
Buku catatan menjadi penting untuk seorang pelupa seperti saya, dan selalu berada di dalam tas, kemana saja saya pergi. Saya selalu mencatat perihal apa saja di buku kecil itu. Acap kali terjadi, ketika sudah hendak tidur, lalu tiba-tiba ada ide tulisan atau apapun terbang di kepala, dan malas membuka komputer lipat, saya menuliskannya di situ. Benda penyelamat.
Setelah air masak, menyeduh kopi kemasan yang, kebetulan sekali, dibawa dan membawanya ke atas tempat tidur, menyesapnya sekali lalu melanjutkan menulis.
Seperti sulap, jemari tanpa henti mengetuk-ngetuk di setiap huruf pada komputer lipat, membentuk kata, membentuk rangkaian kata. Kafein memang selalau berhasil menjalankan tugasnya. Mengingat-ingat kembali rasa takut yang mengelayut di tengah Laut Flores kala itu. Dua jam di atas sebuah kapal nelayan menuju Pulau Moyo. Dua jam melawan ketakutan akan laut, takut tenggelam, takut mabuk, takut hanyut. Brengsek! Di laut tidak bisa hanyut, Wid! Dua jam bersumpah serapah pada hantaman ombak dua meter. Aish, sekalipun saya tidak akan bisa melupakan cerita itu.
Sesekali berhenti untuk menyesap kopi yang cepat sekali menjadi hangat, lalu jari kembali menggelitik dengan gemulai. Membentuk kalimat, membentuk rangkaian kalimat. Kopi tersesap lagi, kembali membentuk paragraf, membentuk rangkaian paragraf, sehingga hilang rasa takut dan akhirnya cerita selesai dengan seribulimaratusduapuluhempat kata, dan berlabuh di Pulau Moyo. Luar biasa.
Saya melirik arloji di gawai, waktu menunjukkan pukul limatigapuluh sore. Saya bergegas keluar kamar, katanya Saturnus bisa dilihat pada jam-jam Matahari beranjak ke ufuk Barat. Tanpa alas kaki, menapaki pekarangan tengah hotel, berjalan mengitarinya seraya melihat ke langit, mencari bintang yang, katanya, memancarkan sinar oranye itu. Tidak ada tanda-tanda. Langit masih menyisakan warna biru. Saya kembali masuk ke dalam kamar dengan perang dingin dalam hati, mungkin menungu langit lebih gelap sedikit.
“Bisa terlihat Saturnusnya?” tanya si Teman yang sedari tadi tidak berubah posisi. “Tidak. Belum mungkin.” jawab saya singkat.
Bersila kembali di depan layar, saya mencoba membuka lembaran baru untuk menulis lagi. Kopi masih ada setengah. Satu paragraf pun belum selesai, di kepala hanya gundah akan Saturnus yang belum muncul. Membuka kembali artikel di gawai tentang munculnya planet terbesar kedua itu, membaca ulang, Saturnus bisa disaksikan sampai tengah malam, begitu tulisnya. Masih ada waktu.
Saturnus adalah planet favorit saya. Pada catatan kaki surat elektronik di gawai, saya menuliskan “Sent from Saturnus”. Pernah suatu saat, seorang teman bilang, “Kalau dapat email dari Mbak Widi itu berasa lagi terbang di angkasa, sent-nya dari Saturnus,” setelah ia mendapatkan sebuah surat elektronik dari saya.
Saya begitu terbuai akan cincin indahnya. Cincin yang katanya berupa kumpulan debu dan es, beterbangan, memutari planet yang, kalau dilihat dari foto-foto, berwarna kuning hampir oranye. Ingin rasanya pergi mendekat, melihat lebih jelas planet beserta cincinnya itu berotasi, bahkan kalau bisa, melewati, menembus cincin, lalu mendaratkan pesawat di Saturnus. Ah, kau, Wid, berkhayal saja kerjanya. Tidak bisa mendarat di Saturnus! Planet itu hanya berupa gumpalan gas. Yang ada kau masuk terjerembap sampai ke inti. Bodoh!
Ketika menulis ini, saya teringat akan cita-cita semasa kecil dulu: ingin menjadi astronot. Bisa pergi ke luar angkasa, menengok Bulan, Saturnus, bahkan ingin ke Pluto. Iya, Pluto!
Lalu, setelah lulus SMA, untuk menggapai cita-cita itu, saya terpaksa mengikuti SPMB, mendaftar di Institut Teknologi Bandung, memilih Program Studi Astronomi. Saya pasti tertawa kalau mengingat cerita ini, apa hubungannya ingin menjadi astronot dengan Program Studi Astronomi, Wid? Pikir saya waktu itu, masih ada hubungan antara astronomi dan astronot, sama-sama ada “astro”-nya. Tapi saya sungguh-sungguh tidak tahu harus bagaimana, pokoknya jadi astronot! Titik. Dan kalau dipikir-pikir lagi sekarang, betapa bodohnya saya dulu.
Sekarang, saya bukan seorang astronot. Cita-cita saya kandas. Bagaimana tidak, ujian SPMB saja saya tertidur. Tapi, ada bagusnya juga saya gagal menjadi Matt Damon di film Martian, karena kalau iya, Indonesia mungkin malu punya seorang astronot bodoh seperti saya.
Kembali ke tulisan, petang itu saya masih mengamati satu paragraf yang tidak beranjak banyak itu. Macet total. Lagi. Mungkin karena lapar. Menghabiskan seperempat cangkir kopi, keluar kamar lagi, menengok, barangkali Saturnus sudah muncul. Melewati si Teman yang sedang merokok di teras kamar, mengitari pekarangan dengan telanjang kaki, mencari sosok planet gas itu,
Si Teman penasaran melihat saya berputar seraya melihat langit, kemudian ikut mencari. Dia bertanya, “Yang mana Saturnus itu?” tanyanya kepada saya hendak membantu mencari Saturnus. “Kamu cari Bulan, lalu lihat sekelilingnya. Kalau ada bintang tidak berkelip berwarna oranye, itu Saturnus.” jawab saya memberi keterangan.
Tidak puas dengan satu tempat, saya yang, diikuti si Teman, menaiki anak tangga menuju bangunan restoran. Masih tanpa melihat ke bawah. Tiba-tiba saya terkejut karena merasa menyentuh sesuatu pada kaki. Astaga! Saya melompat terkejut sekenanya. Kodok besar sekali. Saya hampir menginjak kodok. Sontak kami tertawa bersama.
Saya berjalan menyisiri kolam ikan depan restoran. Kepala masih mengadah ke atas. Kemana kamu Saturnus? Ada beberapa bintang kerlap-kerlip di angkasa. Tidak, Saturnus tidak bekerlip, begitu artikel itu menulis.
Saya beralih mencari Bulan kembali, untuk mempermudah navigasi. Tidak terlihat juga. Saya terus berjalan mengitari bangunan restoran hingga sampai di halaman depan hotel, mengaba-aba di mana arah Utara, Timur, Selatan, dan Barat. Nihil! Saturnus tidak muncul. Jangankan Saturnus, Bulan pun yang tiap malam dengan gempita menemani Bumi, tiba-tiba menghilang dari peredaran. Apakah dia sudah kehilangan gravitasi? Atau, mungkin dia sudah bosan mengelilingi Bumi. Bulan mau berjalan sendiri mengitari Matahari tanpa Bumi. Kiamat sudah!
Krucuk-krucuk perut terdengar sampai telinga. Rupanya lambung sudah bosan hanya diisi air melulu, ia minta makan. Kami juga sudah berniat untuk makan di Warung Poci Astomulyo, salah satu kedai teh poci Kaliurang.
Kabut tebal bertalu. Dalam hawa dingin pegunungan, kami melaju dengan si hitam kembali. Tidak begitu jauh, hanya limaratus meter. Sebenarnya kedai teh poci ini bukan tempat yang dulu ketika jaman kuliah, ia sudah berpindah alamat, tapi masih di dalam kawasan Kaliurang.
Ciri khas–nya pun masih sama, dinding-dinding yang dipenuhi coretan cat semprot besar-besar. Memberi kesan seolah berada di dalam garasi. Tempatnya lebih luas dari yang dulu, ada area lesehan juga. Tapi saya tidak sudi duduk lesehan hanya beralaskan tikar. Bukan apa-apa. Dingin!
Kami memesan menu yang sama: mie instan rebus dengan telur dan potongan cabai. Oiya, dan tentu teh poci.
***
Kepulan asap mie instan berhasil memburamkan kaca mata yang saya pakai. Si Teman yang melihat kejadian itu tertawa ringan.
Lahap sekali saya makan. Dengan cepat, mie hangat itu lesap masuk ke dalam mulut, turun sampai lambung.
Mie rebus habis, yang tersisa adalah teh dalam poci gerabah dengan gula batu dan obrolan ringan.
Tidak begitu lama kami berada di kedai itu. Udara yang dingin membuat kami tidak bisa berlama-lama di luar ruangan hanya dengan jaket seadanya. Selepas menghabiskan satu teh poci, kami beranjak kembali menuju hotel.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Malam sunyi senyap. Kabut menggelayut girang pada udara pegunungan, tampak hanya temaram lampu kendaraan yang melintas. Sesekali saya melihat lagi ke langit, mencari sinar oranye primadona angkasa.
Nihil.
Hanya kabut tebal.
Saya masuk ke kamar dengan dengki hati. Menutup komputer lipat dengan diam. Menyimpannya kembali ke dalam tas. Masuk ke kamar mandi, membasuh tubuh dengan perasaan sebal.
Gagal sudah.
Rebah di atas tempat tidur, melihat buku Bumi Manusia yang sedari tadi didiamkan. Membaca kembali kisah Minke, Nyai Ontosoroh, dan Annelies. Melupakan Saturnus.
Sementara si Teman menonton televisi dengan diam.
Tumblr media
2 notes · View notes
perempuanbanyu · 7 years
Text
Setiap Inci Jogja Adalah Kenangan
Tumblr media
“Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan.” (Joko Pinurboyo)
Sepenggal kutipan dari seorang penulis Indonesia, Pak Joko Pinurboyo, begitu mengena di hati saya. Benar yang dikatakannya, Jogja itu adalah sepenggal rasa rindu, seberkas rencana untuk pulang, dan kehangatan perbincangan di angkringan. Setiap inci tempat di Jogja adalah kenangan.
Saya teringat suatu ketika seorang teman dari Jakarta datang berkunjung ke Jogja. Dia ingin sekali diajak ke sebuah tempat yang sangat kental dengan suasana lokal Jogja. “Kamu jangan ajak ke café ya. Di Jakarta banyak,” ucapan teman saya. Kebetulan, malam itu akan diadakan acara pembukaan pameran salah satu arsitek Jogja di sebuah galeri di Mantrijeron. Menghalau angin dingin yang selalu datang di bulan Agustus, dari tempat saya tinggal di kawasan Kasihan, kami bergegas menuju galeri tersebut dengan mengendarai sepeda motor.
Menikmati pameran dengan segelas teh hangat dan camilan yang disediakan; bertegur sapa dan berbincang dengan teman-teman Facebook; larut dalam diskusi bersama orang-orang yang bahkan tidak dikenal, adalah hal yang, barangkali, hanya dijumpai di Jogja. Udara dingin yang dirasakan malam itu, sirna oleh ramah sapa, oleh kenangan yang baru saja tercipta. Galeri yang  tidak besar tersebut berhasil menciptakan “Jogjakarta kecil” di dalam ruangannya. Padahal, galeri tersebut hanyalah satu dari banyak galeri yang bertebaran di setiap sudut mata angin kota ini. Mereka mampu dan tanpa ragu menggelar festival berskala internasional secara swadaya itu, terus bergerak dengan diam untuk menjadi rumah hangat bagi siapa saja yang singgah, menciptakan pengalaman dan kenangan sederhana.
Tumblr media
***
Seusai menikmati pameran, saya ajak teman tadi untuk mendatangi sebuah ruang publik lain di bilangan Gondomanan. “Kita nongkrong di angkringan yuk. Ngopi sambil ngemil-ngemil.” ajak saya kala itu. Di angkringan tersebut, satu-dua teman lain datang tanpa disengaja. Seketika, kami larut dalam obrolan ringan namun serius. Tentang fotografi, musik, dan tato. Tak jarang juga kami menertawakan diri sendiri yang disertai derai canda.
Angkringan, secara tidak disengaja sudah menjadi simbol Jogja. Angkringan, ya Jogja, begitu pendapat beberapa orang tentang Jogja. Sejak dahulu, angkringan bukan hanya sebagai tempat untuk mengisi perut, tetapi sudah menjadi ruang publik bagi kelompok masyarakat yang merasa memiliki ikatan sosial kuat. Membicarakan hal-hal yang terjadi di kampungnya, di kotanya, bahkan Indonesia.
Siapa yang menyangka bahwa ada sebuah angkringan di Jalan Bantul, yang tiap malamnya menjadi tempat berkumpulnya bapak-bapak yang membicarakan politik? Bapak-bapak yang rindu akan racikan teh manis hangat nan kental penjualnya itu, datang mencari kehangatan kota dalam perbicangan, dalam guyub. Bapak-bapak yang, barangkali, tidak akan pergi berkunjung ke galeri yang pertama tadi. Mereka punya ruang sendiri, punya kenangan sendiri.
Saya pun teringat ketika berkunjung ke Jepara sekitar dua tahun lalu, dan berkenalan dengan teman-teman dari komunitas Rumah Kartini. Mereka sangat ramah menerima saya yang, kala itu, datang sendiri, tidak berbekal keinginan penting, hanya ingin belajar tentang Raden Adjeng Kartini. Tidak peduli saya siapa, mereka menyambut dengan secangkir kopi hitam dan obrolan-obrolan ringan khas anak muda, sembari memperkenalkan kampung halamannya tanpa beban.
Pengalaman itu begitu membekas di hati. Pengalaman yang dengan senang hati akan saya ceritakan kembali kepada siapa saja. Pengalaman yang menjadi kenangan sederhana, diberikan mereka untuk saya. Kenangan yang menarik saya untuk kembali suatu saat nanti.
***
Berada di Jogja adalah salah satu cara untuk menertawakan kesibukan orang-orang Jakarta, begitu ucapan Sujiwo Tejo, yang lagi-lagi, saya kutip. Tetapi itu adalah pilihan. Biarlah Jakarta tetap menjadi ibukota dengan geliat deru kesibukannya pada pagi hari. Biarlah Ia menjadi kota dengan deretan café yang dipilih penduduknya untuk menghabiskan waktu secara individu, menikmati kualitas secara pribadi, malam harinya. Dan Jogja tetap menjadi Jogja dengan ruang-ruang yang digerakkan oleh manusia dalam ikatan sosial yang sama. Mereka bergerak dalam waktu yang lebih tak terbatas.
Mengapa ruang komunal begitu penting?
Tanpa disadari, ruang komunal adalah basis masyarakat yang paling mendasar. Tempat lahirnya ide-ide dengan aktivitas yang bisa saja berdampak positif. Ruang komunal yang berpegang pada filosofi gotong royong.
Jogja kaya akan ruang-ruang komunal itu. Ruang dalam galeri seni; ruang dalam angkringan; ruang dalam status seorang teman di Facebook, menceritakan sarapan pagi di sebuah warung soto dan berbincang dengan penjualnya. Ruang komunal yang menciptakan atmosfir kebersamaan dan kehangatan, menghadirkan kenangan bagi penghuninya, bagi siapa saja yang singgah dan kembali. Itu kekuatan Jogjakarta.
Menjadi Jogja menjadi Indonesia adalah menciptakan banyak ruang komunal. Geliat Jogja ini sangat bisa diterapkan pada tempat lain. Bisa saja, perempuan-perempuan penenun di pelosok Timor sana, dengan kekuatan jaringan sebuah ruang komunal, bisa mengekspresikan dan memperkaya diri lebih leluasa, membentangkan sayap lebih lebar, berkelanjutan dan dapat berbagi. Kemudian gerakannya tercatat, memanggil orang lain untuk datang. Orang-orang yang datang itu memperoleh kenangan, “Saya pernah ke sana. Bertemu ibu-ibu penenun. Mereka ramah-ramah, mengajarkan cara menenun. Saya mau datang lagi.”
Itu angan-angan saya; harapan.
Sementara, Indonesia adalah rumah dari bagi 250 juta lebih penduduk yang tersebar pada 1340 suku, di 18.306 pulau. Ia besar bukan karena keseragaman, melainkan keberagaman.
Tumblr media
0 notes
perempuanbanyu · 7 years
Text
Pulang
Tumblr media
Bahwa ada yang harus selesai. Bali selalu berhasil menjadi tempat pamungkas. Setiap sisinya mengundang cerita untuk melengkapi sebuah kisah perjalanan yang dibuat.
***
Penerbangan saya menuju Yogyakarta masih menyisakan satu jam. Kali ini saya berada di area merokok Bandara Ngurah Rai. Saya memerhatikan keadaan sekitar, mungkin ini adalah area merokok paling manusiawi yang ada di sebuah bandar udara. Area terbuka dengan pemandangan landasan pesawat dan laut lepas. Saya merasa senang berada di sini, bukan karena area merokok, tetapi ia selalu menjadi tempat penutup segala kenangan. Ia adalah koma terakhir.
Dalam angin tropis kencang, saya menggulung memori perjalanan Nusa Tenggara Barat yang baru saja selesai. Perjalanan yang banyak memberi saya pelajaran berharga, bahwa setiap orang memiliki kekuatan dan ketakutan. Kekuatan yang ternyata dimiliki ketika yakin bahwa kita mampu menggapai apa yang ingin diraih. Rinjani memberikan itu kepada saya. Pasir dengan kemiringan empatpuluhlima derajat itu, yang di atasnya dilintasi meteor-meteor, membuat saya tidak henti untuk menggapai puncak.
Sedangkan, ketakutan itu harus dilawan. Berada di laut lepas dengan seribu kekhawatiran, takut tenggelam, takut hayut. Tetapi akhirnya, laut itu sendiri yang membuat saya berani melawan.
“Kata orang, kehilangan dompet itu tandanya orang tersebut sedang dalam masa transisi. Jiwanya sedang labil, Mbak.” kata teman Tomo, adik saya, yang saya lupa namanya. Sore itu, sesampainya saya dari Lovina, saya menuju rumah sewa mereka di kawasan Canggu, untuk menumpang beberapa hari. Kami bertiga berbincang santai dalam gelas-gelas kopi.
Dia melanjutkan, “Dompet itu ‘kan isinya segala sesuatu tentang identitas diri. KTP, SIM dan semua kartu-kartu berharga.”
“Masa sih?” saya bertanya sambil menyerngitkan dahi, sedikit bingung.  “Kata orang sih begitu.” jawabnya singkat. Lalu buru-buru melanjutkan, “Tapi akan dapat yang lebih besar, kok Mbak.”
“Amin!” kontan saya menjawab yan disertai derai senyum tawa kami bertiga.
Saya sebenarnya percaya bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan hati yang baik, bukan menjadi pencuri. Kejadian ini memberi pelajaran untuk saya lebih hati-hati dan menjaga apa yang dimiliki. Memang benar, dompet hanyalah “seonggok barang”, tetapi isi di balik “seonggok barang” itu berisi segala sesuatu identitas diri. Uang bisa dicari, dompet bisa dibeli lagi. Hanya yang paling membuat repot adalah mengurus surat-surat yang ikut hilang. Mengurus KTP, SIM, STNK, kartu ATM. Ah! Sampai menulis ini pun, saya belum mendapatkan ganti KTP karena kehabisan blangko. Sungguh, kehilangan dompet adalah pengalaman sial yang luar biasa, karena seperti yang dikatakan  Anthony Bourdain:
“Travel isn’t always pretty. It isn’t always comfortable. Sometimes it hurts, it even break your heart. But that’s okay. The journey changes you; it should change you. It leaves marks on your memory, on your consciousness, on your heart, and your body. You take something with you. Hopefully, you leave something good behind.”
***
Tumblr media
Saya beranjak dari duduk dan menuju tepian, melihat pesawa-pesawat yang lalu lalang di hadapan. Ada yang baru saja mendarat, satu lainnya bersiap lepas landai di sisi pinggir landasar. Di belakang yang kedua, turut mengantre. Di sudut kanan, tepat di hadapan saya, ada satu lagi juga menunggu. Begitu saja terus kesibukan si burung-burung besi.
Bandara ini memang luar biasa megahnya. Bayangkan, landasannya berada tepat di pinggir laut. Ada senyum merekah ketika baru saja mendarat dan harapan untu kembali ketika siap lepas landas pergi meninggalkan tempat ini.
Bali memang selalu membuat saya ingin kembali. Menyusuri tiap sanggah di muka rumah, yang tiap pagi diletakkan canang oleh para penghuninya. Canang dengan aroma sajen yang menenteramkan. Canang yang, menurut saya, bukan hanya sebagai simbol agama. Karena Hindu yang saya tahu, mengajarkan budaya dan adat-istiadat bagaimana seharusnya merespon apa yang sudah diberikan alam. Canang dipersembahkan untuk semesta, sebagai ucapan syukur kepada Sang Pencipta.
***
Saya duduk kembali ke tempat semula. Teringat malam tadi saya dan Tomo menikmati akhir hari di Bali. “Mbak, makan gulai ayam mau?” ajaknya ketika kami sedang merencanakan bepergian. “Mau. Di mana?” jawab saya singkat. “Di Petitenget. Enak.” ucapnya kemudian
Tak lama kami bergegas menuju tempat yang dimaksud. Warung itu tak sepenuhnya berupa warung, hanya gerobak dengan atap terpal warna biru, tapi cukup ramai. Dan benar, gulai ayamnya enak. Kami bercengerama santai sambil menikmati suap demi suap panas nasi dengan siraman hangat gulai ayam. Bali yang, —sama seperti Yogya pada bulan-bulan pertengahan tahun sedang dilanda angin dari Australia—, memang sedang dingin.
Selepas makan, Tomo mengajak saya ke sebuah tempat yang sedang mengadakan acara musik di Denpasar. Kebetulan, acara itu digagas oleh seorang kawan lama yang pernah tinggal di Yogya. Saya larut dalam acara itu, berbincang bersama teman sambil menikmati musik. Saya merasa bukan menjadi turis.
Ini yang membuat saya mencintai Bali. Beruntung sekali mempunyai saudara atau teman yang bermukim di Bali, bisa makan di warung biasa dan mengunjungi tempat-tempat yang bukan destinasi wisata pada umumnya, menikmati hari dan malam seperti biasa, menjadikan Bali sebagai rumah. Karena perjalanan itu tidak selalu mewah.
***
Melalui pengeras suara, penerbangan saya pun diumumkan. Meninggalkan area merokok Bandara Ngurah Rai, berjalan menyusuri koridor menuju pintu gerbang menuju pesawat, saya lepas semua kenangan baru yang lewat. Melupakan kenangan buruk dan bergegas kembali ke rumah, Yogyakarta.
Satu jam berada di udara, di dalam badan burung besi, saya memandang laut lepas di bawah sana.
Biru.
Hanya ada carik-carik tipis putih awan.
Dan BOOM!!
Selamat datang di Yogyakarta. Selamat kembali ke rumah.
***
Sementara, Yogyakarta adalah rumah sesuangguhnya. Tempat semua kenangan yang diciptakan di tempat lain, dikumpulkan dan dituliskan. Tempat untuk berhenti. Titik.
Tumblr media
0 notes
perempuanbanyu · 7 years
Text
Cerita Tentang Rumah di Seribu Ombak
Tumblr media
Tahukah kau mengapa Tuhan menciptakan langit dan laut? Semata agar kita tahu, dalam perbedaan, ada batas yang membuat mereka tampak indah dipandang. (Erwin Arnada – Rumah di Seribu Ombak)
Kejadian kehilangan dompet di Sumbawa tempo hari, sebenarnya membuat saya sedikit enggan melanjutkan trip. Sempat berpikir untuk membatalkan perjalanan menuju Lovina dan akan hanya menumpang beberapa hari di rumah adik, Tomo, sambil menunggu jadwal kembali ke Yogyakarta. Tetapi, Bulan melarang saya melakukan itu, “Jangan karena dompet hilang, terus berhenti travelingnya. Dilajutkan saja. Sudah lama juga ‘kan ingin ke Lovina?” ucapnya memberi semangat dan berharap saya terus melanjutkan perjalanan. Dia pun meminjamkan uangnya supaya rencana ke Lovina bisa berjalan sesuai rencana. Maka, jadilah saya di sini, berada di sembilanpuluh kilometer Utara Kuta; Lovina, tempat yang sudah lama ingin dikunjungi.
Selesai dengan wisata lumba-lumba pagi tadi, hari ini saya berencana berkeliling Lovina, mendatangi satu persatu tempat-tempat yang tercatat di dalam buku Rumah di Seribu Ombak karya Erwin Arnada. Buku yang begitu merasuk ke dalam hati sehingga ingin sekali mengunjungi Lovina. Buku yang menceritakan tentang persahabatan dua bocah dengan segala perbedaannya yang bagai bagai langit dan laut. Buku yang berisi bagaimana toleransi itu indah dipandang.
Saya sangat suka bepergian mengunjungi tempa-tempat yang ditulis di dalam sebuah buku. Pernah, suatu kala, melakukan napak tilas buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels milik Pramoedya Ananta Toer, beberapa tahun lalu. Saya datangi satu persatu, tempat-tempat yang dikisahkan Pram, yang menarik perhatian, yang begitu mengena di hati, serta keingin-tahuan apakah tempat yang ditulis tersebut masih bertahan atau tidak. Keberhasilan penulis menceritakan kisah itulah yang membuat saya ingin sekali merasakan ruh sebuah buku, sebuah tempat, ruh cerita.
Begitu pula yang saya rasakan ketika membaca Rumah di Seribu Ombak. Siang ini, dalam panas tropis Lovina, saya akan menyusup ke setiap kata yang ditulis pada buku ini, mencari apakah bisa menemukan Yanik dan Samihi walau hanya dalam bayangan. Berhubung tidak bisa menyewa kendaraan karena tidak ada kartu identitas sebagai jaminan, saya hanya menyusuri tempat-tempat yang bisa dijangkau dengan berjalan kaki.
Siang yang menyengat, sinar matahari terasa menusuk kulit, saya berjalan menyusuri trotoar Jalan Raya Seririt, Singaraja. Lovina memang bukan destinasi utama Bali, belum barangkali. Di sepanjang jalan, etalase-etalase toko atau resto atau café tidak semeriah Legian, Ubud, atau Seminyak. Lovina berhasil membuat saya memiliki kisah lain Bali yang, bisa jadi, begitu banal. Banal yang, kali ini, istimewa.
Saya terus berjalan sembari sesekali melihat peta digital pada gawai, mengeja satu persatu canang yang selalu diletakkan di area paling utama; mencium tiap aroma sesajen pada sanggah-sanggah. Sayang, kali ini saya tidak melihat lengkung-lengkung cantik penjor yang menghiasi langit-langit jalan raya, belum Galungan.
Saya terus berjalan sampai akhirnya tiba di sebuah simpang empat dengan deretan warung, toko sovenir khas Singaraja. Simpang tempat Samihi mengayuh si perak menuju pantai untuk mencari kerang dan binatang laut. Saya berhenti sejenak di simpang itu, melihat peta digital pada gawai dan mencocokkan dengan rute yang terpampang pada papan penunjuk arah, Pasar Besar Singaraja: lurus.
Saya berjalan lurus dan kemudian berbelok ke kanan menuju Pasar Besar Singaraja. Pasar yang mengingatkan Samihi tentang sahabatnya itu lebih mirip pedagang sayur ketika Yanik mengenakan kopiah yang kebesaran. Pasar dengan cerita Idul Fitri yang lucu namun penuh arti.
Saya menyusuri tenda-tenda luar para pedagang pasar yang sedang tidak ramai itu. Buah dan sayur yang memerah, menguning, dan menghijau sesuka hati, sedap dipandang.
Sepintas saja saya menyusuri luar pasar. Pada simpang pasar, saya kemudian berbelok ke Utara, berjalan menuju pantai.
Tak jauh setelah berbelok, saya menghampiri tukang sate yang menjajakan dagangannya dengan sepeda motor. Ia sedang berhenti di pinggir jalan. Masih di area pasar, saya berhenti sejenak untuk makan. Makan dengan lahap. Lapar ternyata.
“Waduh, air terjunnya sudah kering, Mbak.” ucap tukang sate ketika saya bertanya tentang Air Terjun Sing-sing. “Kalau saja naik kendaraan, lebih baik pergi ke Air terjun Git-git. Bagus. Saya pernah ke sana. Hanya saja jauh, Mbak. Tidak mungkin jalan kaki.” sambungnya kemudian.
***
Lepas makan sate di pinggir jalan dan obrolan ringan dengan si tukang sate, saya melanjutkan berjalan menuju arah pantai, melupakan keinginan mengunjungi Air Terjun Sing-sing—tempat Samihi belajar berenang—yang ternyata sudah mengering dan juga Air terjun Git-git yang katanya sangat bagus itu. Saya lupakan dan terus berjalan menuju pantai.
Mendekati pantai, tampak hamparan kebun kelapa yang berdiri berjajar. Kebun kelapa tempat Yanik dan Samihi ikut ngulah semal: tradisi mengusir tupai yang menjadi hama pohon kelapa. Pohon yang batangnya terukir nama Yanik dan Samihi. Pohon yang malai-malainya gemulai merayu bersamaan datangnya angin. Saya berjalan mendekat dan terus mendekat hingga akhirnya sampai di bibir pantai. Panas bukan kepalang.
Berdiri di pinggir pantai, kembali melihat peta di gawai, saya berada agak jauh di sisi Barat area wisata bekas pelabuhan Buleleng. Mengarahkan pandangan ke area wisata itu, tidak dirasa menarik hati, saya berjalan menuju Barat, kembali ke arah awal.
Memasuki area pantai dengan sisa pohon kelapa yang masih hadir di setiap lautan, saya lepaskan alas kaki karena dirasa sangat berat berjalan dengan pasir yang kering dan lepas. Beberapa orang bapak sedang asyik duduk di sebuah kursi kayu di bawah pohon kelapa. Saya berjalan menghampiri, bertanya apakah ada jalan tembus menuju Pantai Lovina. “Jalan terus saja, Mbak.” jawab mereka ramah.
Setelah mengucapkan terima kasih, saya kembali berjalan menyusuri pantai. Tapi tak disangka, pasir hitam yang lembut itu begitu panasnya, menusuk-nusuk telapak kaki. Langkah yang lambat pada awalnya itu berubah menjadi jinjit kaki yang pendek nan cepat. Sial! Serba salah, menggerutu sendirian. Tak kuat karena panas, dengan sigap kemudian berjalan mendekati bibir pantai dengan pasir yang basah terkena ombak. Ah, ini lebih baik, sedikit hangat, saya bercakap dengan diri sendiri.
Melambatkan langkah kembali, berjalan pada bibir pantai dengan pasir basah, menyapu pandangan pada lautan dan segala sudut pantai. Masih bisa dirasai udara yang sama dengan kemarin sore, pantai dengan seribu ombak yang mengalun damai; pantai dengan cerita persahabatan, toleransi, dan perjuangan melawan ketakutan. Saya punguti kerang-kerang yang dirasa menarik dan memasukkannya ke dalam kantong kanan tas.
Pada setengah perjalanan, saya berada di sebuah kampung nelayan. Kampung yang, barangkali, di dalamnya ada rumah Yanik. Pada jalan setapak beton-beton pra cetak, saya kembali mengenakan alas kaki; beberapa orang tampak sedang bercengkerama di sebuah pondok kayu sederhana. Melewati mereka sembari mengucap permisi yang disusul oleh sungging senyum merekah dari bibir-bibir sederhana, sesederhana lantai rumah dari tanah dengan lepa tahi sapi, rumah dengan canang di bagian utama, sesederhana aroma sajen yang tersisa pada sanggah-sanggah yang telah lewat. Lalu setelah tapak beton pra cetak kampung nelayan tersebut habis, yang tersisa adalah pura dalem tempat segala larik sajak doa terlantunkan.
Tumblr media
***
Mengamati setiap bekas tapak kaki yang tertinggal di pantai yang kemudian menghilang disapu ombak; menghayati gemuruh ribuan ombak yang mengulun damai; menghirup udara laut dalam-dalam, saya tiba di dermaga yang sama dengan kemarin sore.
Matahari yang selalu sama kali ini bersinar lebih redup dari sebelumnya. Memberi bayangan pada riak-riak gelombang lautan sana. Menembus sampai ke dasar tempat lumba-lumba bergerombol berenang memangsa plangton-plangton. Lumba-lumba idaman Yanik yang juga menyelam tak pernah kembali.
Berjalan menyusuri tempat yang belum pernah didatangi, bertegur-sapa dengan penduduk setempat barang sepintas lalu, merupakan perjalanan yang, sebenarnya, bukan untuk mengenal orang lain, tetapi sebuah perkenalan terhadap diri sendiri, berdamai dengan riuh ketakutan. Ada pepatah yang mengatakan bahwa, segala sesuatu yang diinginkan berada di balik sebuah ketakutan. Dan saya ingin berdamai dengan itu, berdamai dengan sebuah ketakutan yang kali ini, dengan seribu ombak.
Sementara, rumah adalah sebuah tempat untuk kembali ketika rasa takut sudah berhasil diusir, tempat untuk menyimpan rasa bahagia yang kemudian sirna berganti duka, tempat pamungkas.
Tumblr media
0 notes
perempuanbanyu · 7 years
Text
Tarian Lumba di Nadir Lovina
Tumblr media
Pagi masih pekat. Matahari belum menggeliat. Saya beranjak dari penginapan, dijemput oleh seorang pemandu, diantar ke sebuah pantai yang lain dari sebelumnya. Pantai yang, kali ini, masih lenggang, hanya perahu jukung yang terlihat berjajar. Beberapa melepas tali yang tertambat, siap mengantarkan orang-orang yang ingin melihat lumba-lumba menari. Enam pagi yang pekat.
Lovina memang terkenal dengan wisata lumba-lumba. Hampir semua tempat di Lovina menawarkan atraksi yang menjadi andalan ini. Pagi hari adalah waktu yang tepat, karena pada jam itulah lumba-lumba akan muncul ke permukaan air laut, melompat dan menari, mancari perhatian bagi khalayak ramai yang menantikannya.
Rasa takut akan laut itu bagai setan gentayangan. Ia mengganggu sampai titik nadir. Sama seperti Samihi yang juga takut pada laut karena kenangan yang buruk. Trauma. Tetapi, ketika memikirkan kesempatan melihat lumba-lumba di tengah lautan, saya harus menghadapi setan itu.
Dengan rasa yang konstan mengikuti itu, saya menaiki perahu ramping yang memiliki sayap di kanan dan kiri. Duduk di baris keempat dan berpegangan erat, dua paling depan, sepasang muda-mudi duduk santai tanpa rasa apa-apa; baris ketiga dan kelima kosong; paling belakang duduk pemandu sekaligus pemegang kemudi. Saya duduk dengan berpegangan erat pada bibir perahu sembari berdoa semoga selamat.
Banyak alasan saya ragu mengikuti wisata lumba-lumba ini. Selain karena rasa takut, juga karena pada dasarnya, saya tidak begitu menyukai segala macam sirkus, apalagi binatang. Tetapi saya berpikir, toh atraksi ini dilakukan di laut, tempat asal lumba-lumba. Jadilah saya sekarang berada di perahu ini dengan rasa takut akan laut. Rasa takut yang terus menggelayut seperti kanker akut. Bah! Tadi bagai setan, sekarang seperti kanker.
***
Tumblr media
Saya menghela nepas dalam-dalam ketika perahu melaju ke tengah laut dengan perlahan dan lalu semakin cepat. Matahari yang semula bersembunyi di balik cakrawala sudah mulai tampak geliatnya. Hantaman ombak pada punggung dan tangan perahu jungkung itu mengeluarkan bunyi kecipak air dan membuat perahu mengalun gempita, menari di atas riaknya. Semakin erat jemari saya berpegangan papda bibir perahu, sama eratnya dengan angin pagi yang menyapu wajah dengan malai-malainya. Malai angin yang sedikit membuat damai. Malai angin yang berusaha membuat saya tampak tanpa gentar.
Saya tidak yakin berapa jumlah perahu yang mengikuti wisata lumba-lumba pagi ini, mungkin duapuluh, atau tigapuluh, atau limapuluh, tidak menghitung. Siapa pula yang hendak menghitung perahu?
Matahari terus beranjak dan terus membulat ketika derik mesin perahu yang semakin banyak berada di tengah laut. Derik sembrebet yang beradu dengan siulan dari mulut para pemandu. Derik yang bersentuhan dengan ombak, mengeluarkan bunyi kecipak.
Tumblr media
Kemana lumba-lumba itu? Apakah mereka mendengar siulan? Apakah siulan dan bunyi kecipak air, siulan yang merambat pada angin laut yang membelai lembut wajah itu benar-benar memanggil lumba-lumba? Saya bertanya entah kepada siapa. Bertanya tanpa berharap sebuah jawaban. Pertanyaan yang tidak dipedulikan oleh perahu yang terus berputar tak tentu arah. Satu membalap lainnya, seolah ingin menjadi yang pertama atau paling depan melihat lumba-lumba, sama seperti sinar matahari yang berlomba dengan angin untuk menjadi siapa yang lebih dipilih manusia untuk mengadu nasip.
Lalu tiba-tiba terdengar sorak orang-orang dari kejauhan. Lumba-lumba muncul sepintas. Dengan sigap, perahu lain yang tidak berada di lokasi tempat lumba-lumba itu tadi muncul, bergegas menyusul. Termasuk perahu yang saya tumpangi ini. Lebih erat saya berpegangan. Tetapi si lumba dengan cepat menghilang ke dalam lautan kembali. Mereka malu-malu.
Tumblr media
Perahu terus berputar tak tentu arah. Berputar sembari berharap lumba-lumba keluar kembali. Siulan para pemandu pun terus dibunyikan, siulan panggilan. Siulan yang bunyinya seperti suara pekik lumba-lumba yang sedang berbicara dengan sesamanya. Siulan yang suaranya seperti lagu pantun Bali dalam geguritan.
Lalu riuh kembali menggelegar ke udara, lumba-lumba muncul lagi. Perahu-perahu berburu menuju pusat atraksi. Sadar sedang ditonton, lumba-lumba yang selalu hadir bergelombol itu, berenang timbul tenggelam memamerkan siripnya yang cantik. Lalu sekejap menghilang di dalam lautan. Saya menghembus napas lepas.
Di atas, perahu-perahu jungkung terus terombang-ambing oleh ombak dengan kecipak air. Terombang-ambing oleh nasip yang ditentukan oleh tarian lumba-lumba. Tarian yang menjadi nadir di Lovina. Tarian yang mengalahkan Matahari dalam hal mengadu nasip. Saya bergeming dalam hati, apakah ini sudah benar? Apakah wisata ini, puluhan perahu yang berburu mengeluarkan derik mesin sembrebet itu benar-benar tidak mengganggu habitat lumba-lumba? Ah, semoga saja benar. Toh dilakukan di lautan, di rumah lumba-lumba. Mereka, lumba-lumba itu, menari dengan kemauan sendiri. Muncul atas kehendak sendiri, bukan karena paksaan atau pancingan makanan atau apapun, saya menjawab pertanyaan sendiri.
Pegangan saya semakin erat ketika tiba-tiba perahu berbalik haluan seratusdelapanpuluh derajat menuju tempat lumba-lumba kembali muncul ke permukaan. Terasa sekali gelombang laut menggoyang perahu dengan seenaknya. Mengobrak-abrik rasa takut seperti hantaman keras ombak pada dinding perahu.
Tetapi kali ini, lumba-lumba itu membayar kegelisahan saya. Mereka melompat tinggi ke udara, menari memutarkan tubuhnya lalu kembali masuk ke dalam laut. Aih, cantik sekali. Gemuruh orang sorak-sorai yang terkesima, termasuk saya. Pandai sekali mereka mencari perhatian.
Lalu ada lagi. Kali ini tepat di depan mata. Mereka melompat dan menari singkat di udara. Memutarkan tubuh bulat panjangnya ke udara. Tampak jelas moncong, sirip, sayap, dan ekornya, berlomba ingin menjadi bagian tubuh yang paling cantik dilihat. Lalu mereka tenggelam lagi.
Laut hening lagi. Takut lagi.
Kemudian sekejab muncul tepat di samping, berenang mengiringi perahu. Lalu kembali hilang. Begitu saja terus. Saya tersenyum, mereka benar-benar pandai mencari perhatian dan mengalihkan ketakutan.
Perahu terus berputar seturut dengan mentari yang merambat naik. Angin laut semakin terasa menyapu wajah, menyapu dengan lembut, seperti malai ilalang yang tersentuh tangan. Malai angin yang, kali ini, berhasil membuat saya tampak tanpa gentar berada di lautan, membantu saya mengusir setan gentayangan.
Saya menebarkan pandang ke segala penjuru lautan; merasakan sapuan angin; menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya lepas; mendengarkan siulan-siulan yang suaranya bak geguritan, saya sebarkan pandangan ke laut lepas. Berharap melihat kembali lumba-lumba yang berhasil mengaburkan rasa takut akan laut. Rasa takut yang konstan menggurui. Entah sampai kapan takut itu hadir. Mungkin sampai saya bisa berenang. Dan menyelam, mungkin. Melihat keindahan dari dalam lautan.
Tumblr media
***
Satu jam berlalu, tidak ada tanda-tanda lumba-lumba muncul kembali. Mungkin Matahari sudah begitu tinggi dan lumba-lumba itu enggan beranjak menari. Punggung bukit di ujung Selatan sana yang sebelumnya remang-remang berkabut, kini tampak jelas oleh cahaya. Perahu pun akhirnya kembali ke peraduan, kembali ke bibir pantai. Wisata usai.
Saya diantar kembali oleh pemandu menuju penginapan. Pagi masih semarak. Suara ombak di balik pagar bambu terdengar ringan. Saya melirik arloji di lengan, setengahdelapan pagi. Menyeduh segelas kopi rasanya belum terlambat, batin saya kala itu.
Menikmati pagi seperti sedia kala. Duduk di kursi kayu, di samping tenda tidur, menyesap kopi yang masih panas, meletakkan kaki di atas meja; beberapa orang lalu lalang. Dalam lantunan kopi yang merasuk ke dalam tenggorokan, saya memikirkan tentang hal yang baru saja dialami, melawan rasa takut untuk melihat lumba-lumba menari. Saya teringat pepatah yang mengatakan, cara terbaik mengalahkan rasa takut adalah dengan cara melakukan yang ditakutkan itu. Saya kembali menyesap kopi sembari memikirkan tentang sebuah rasa takut yang dibayar lunas oleh gerombolan ikan penguasa lautan Lovina. Menyenangkan.
Masih dalam pagi yang biasa dengan secangkir kopi, saya menyesap sekali lagi, sembari tersenyum tipis, mengingat-ingat kembali tarian lumba-lumba, lucu sekali mereka. Pada mulanya, moncongnya keluar dari permukaan air, lalu sirip, dan kemudian ekornya. Lincah melompat tinggi ke udara, memperlihat gemulai tubuhnya, berputar di udara, lalu kembali masuk ke dalam laut. BYURR!!
Wisata yang menarik, geming saya dalam hati sembari kembali menyesap kopi. Tarian lumba-lumba yang diburu orang. Tarian yang pertama kali saya saksikan dan mungkin menjadi yang terakhir. Saya berharap, semoga wisata ini bergeliat pada tempatnya, secara benar. Para penggiat wisata tahu akan kadar batasnya, tidak berlebihan, sehingga habitan lumba-lumba selalu lestari di Lovina.
Sementara, Lovina adalah rumah mereka. Tempat di mana lumba-lumba hidup di bawah titik nadir ribuan ombak yang mengalun lembut.
Tumblr media
1 note · View note
perempuanbanyu · 7 years
Text
Sisi Lain Itu Bernama Lovina
Tumblr media
Pagi selalu menjadi waktu yang menyenangkan untuk memulai segala sesuatu. Matahari yang tiap hari bersinar itu tak pernah enggan menghidupkan kehidupan. Padahal ia tidak pernah merasa berbuat sesuatu dalam urusannya memberi kehidupan. Dia selalu merekah tanpa diminta, sinarnya menyusup di setiap inci pori-pori ruang, membentuk lari-larik bayangan. Dia selalu hadir memberikan napas.
Sembilan pagi waktu Bali, saya meninggalkan penginapan, berjalan di gang menuju jalan utama Legian. Sebagian toko mulai berbenah, para pelayan membuka pintu-pintu lipat siap menanti penjaja. Sebagian lagi masih larut dalam tidur, tidak sadar Matahari datang berbarengan dengan rejeki.
Tiba di mulut gang, Legian tidak jauh berbeda dengan Jalan Raya Kuta, selalu bergerak memunculkan hal baru. Dalam kurun beberapa waktu, toko ini berganti dengan toko itu, restoran ini berganti dengan pub itu. Pembangunan hotel ini, pembangunan hotel itu. Tidak ada yang hendak mengelak.
Kendaraan pun melaju dengan ritme yang lumayan kencang. Di atas kendaraan-kendaraan itu, mungkin orang berburu menuju kantor, atau toko, atau hanya lewat saja.
Di trotoar saya berjalan menyusur sambil memperhatikan itu semua.
Dalam tigapuluh menit berjalan kaki, akhirnya sampai juga di kantor Perama Tour, agen perjalanan yang akan membawa saya ke Lovina, sembilanpuluhlima kilometer dari Kuta, menuju Utara. Masih harus menunggu keberangkatan bus pada pukul sepuluh.
Saya cukup mengenal tempat ini, acap kali menggunakan armada Perama untuk menuju ke tempat-tempat di Bali yang jaraknya cukup jauh, termasuk Lovina. Sebagian besar penggunanya adalah turis mancanegara, jarang atau hampir tidak ada wisatawan domestik yang menggunakan fasilitas ini kecuali saya, saat itu. Mereka, turis domestik itu, lebih memilih menyewa kendaraan dari pada menggunakan transportasi publik, begitu ucap seorang teman. Ya, seperti yang terjadi saat ini, dari sembilan kursi yang disediakan, hanya saya wisatawan domestik dan sisanya orang bule. Mungkin kalau tidak ada saya, seluruh penumpang di bus ini adalah bule.
***
Ketika melintasi jalan-jalan sempit yang berkelok, saya sadar bus sudah memasuki daerah Gianyar. Ketiga kalinya saya melewati jalan menuju Ubud ini. Pertama, ketika hendak mengikuti acara Ubud Writers and Readers Festival. Kedua, ketika bersama si Teman Dekat tiga tahun lau. Dan ketiga, ya sekarang ini.
Ubud, selalu menjadi tempat kenangan yang menyenangkan bagi siapa saja yang pernah berkunjung, termasuk saya. Jalanan yang naik turun membuat kaki pegal ketika menyusurinya dengan sepeda, menghadiri acara ini itu pada festival internasional tersebut, lima tahun lalu. Berjalan kaki, memasuki satu per satu toko yang menarik hati, menikmati es krim di pinggir jalan, dan meyusuri petak bertingkat sawah dengan suara gemericik air subak bersama si Teman Dekat tiga tahun lalu. Amboy!
Kembali teringat kenangan tiga tahun lalu itu. Sore itu, di teras kamar penginapan, saya duduk menghadap sawah yang terbentang di depan mata; bebek-bebek berjalan di tengah seraya mengeluarkan suara kwek kwek kwek. Sore itu, dengan secangkir kopi yang terletak di sisi kanan serta gawai di sebelah kiri yang memutarkan lagu-lagu, saya menulis. Menulis asyik sekali. Sangking asyiknya, saya tidak sadar telah disketsa dari belakang oleh si Teman Dekat. Saat itu, dia yang saya kira masih tertidur, mendekati saya duduk, mengambi cangkir kopi milik saya dan menyesapnya sambil mengulurkan buku sketsanya kepada saya. Kaget sekaligus senang bukan kepalang, “Kok ga ada suaranya sih gambar-gambar orang dari belakang?” ucap saya kepadanya. Dia hanya merespon dengan menjulurkan lidah dengan sekali lagi menyesap kopi milik saya itu. Saya sempat meminta sketsanya itu, tapi tidak boleh, bahkan mengambil foto pun tidak pula sempat.
***
Setelah berhenti kurang lebih lima menit di Ubud, untuk menaikkan dan menurunkan penumpang, bus terus melaju menuju Utara. Jalan semakin berkelok, mananjak dan menurun lalu menajak lagi. Begitu saja terus sampai akhirnya tiba di Bedugul.
Di kawasan yang berada 1500 meter di atas permukaan air laut itu, Bali menawarkan sisi menarik yang lain: udara sejuk pegunungan dengan pemandangan danau dengan hawa sejuk pegunungan, bukan pantai. Hanya saja, saya hanya bisa menyaksikannya sepintas di balik kaca bus. Mungkin lain kali saya akan datang untuk menikmati dan membuat cerita.
Lima jam berselang dari yang pertama, akhirnya tiba juga di Lovina. Supir bertanya di mana saya akan menginap, bus bisa mengantarkan dengan uang tambahan sebesar limabelas ribu. Ia pun bisa menjemput kembali ketika saya hendak pulang esok. Jadilah saya beri uang sebesar tigapuluribu rupiah untuk dua jasa tambahan itu.
***
Tumblr media
Siapa sangka akhirnya saya bisa sampai di sini, jauh dari riuh Bali Selatan. Setelah beberapa kali merencanakan, kali ini saya tidak gagal berkunjung. Rumah di Seribu Ombak, buku yang dibeli pada tahun 2012 itulah yang membuat saya ingin sekali datang ke Lovina, masuk ke dalam cerita yang dibuat.
Sore ini, saya menyisir pantai sendirian. Pasir hitam Lovina terasa lembut dan basah. Ombaknya tenang tidak saling memburu walau masih terdengar mangalun sopan. Kerang-kerang bertebaran di sepanjang bibir pantai. Laut di seberang sana, Matahari memancar puas, mengganti biru menjadi emas, disaksikan lumba-lumba yang berenang bebas.
Saya pungut kerang-kerang yang tampak menarik tersapu pandang mata, sembari terus berjalan menyusuri pantai menuju dermaga yang tampak di ujung Timur. Sebenarnya ada satu rencana yang ingin saya lakukan di Pantai Lovina, seperti yang dilakukan Yanik dan Samihi, yaitu mendewa: menulis surat dan memasukkannya ke dalam batang bambu, menguburkannya di dalam pasir pantai lalu menunggu ombak menghanyutkan ke tengah samudera, seperti message in the bottle, dongeng dari dunia Barat itu. Tapi tidak jadi dilakukan, kesulitan menemukan bilah bambu. Jadi, surat yang sudah disiapkan, saya simpan kembali.
Saya terus berjalan menyusuri bibir pantai dengan pasir hitam mengkilap itu. Kaki yang telanjang terus dihantam busa putih ombak yang memecah pantai dengan diam. Sesekali saya berhenti ketika melihat adanya batu pipih lalu memungut batu itu dan melemparkannya ke laut dengan kemiringan tertentu untuk menghasilkan beberapa pantulan batu di permukaan air. Selalu gagal.
Tumblr media
Langkah saya melambat ketika sampai pada pusat area Pantai Lovina. Cukup ramai keadaan pantai sore ini, anak-anak bermain layang-layang; ada juga yang berenang bebas di pantai; beberapa pasang bule berjemur, menunggu Matahari senja. Yang pertama, berhasil membuat saya masuk ke dalam cerita Yanik dan Samihi yang bermain di pantai. Saya mengamati dengan diam sambil bertanya dalam hati, di mana pohon kelapa dengan goresan nama Yanik dan Samihi itu?
Mengamati setiap bekas tapak kaki yang tertinggal di pantai yang kemudian menghilang disapu ombak; menghayati gemuruh ribuan ombak yang mengulun damai; menghirup udara laut dalam-dalam, saya melanjutkan berjalan dengan langkah yang lambat.
Jajaran pohon kelapa yang selalu setia pada laut itu berdiri dengan gagahnya. Pohon kelapa yang mungkin batangnya terukir nama Yanik dan Samihi. Dua pemudi sedang asyik bermain di bibir pantai.
Tumblr media
Terus berjalan mendekati dermaga di ujung Timur, perahu jukung mungkin milik nelayan atau tur lumba-lumba berjajar di bibir pantai. Perahu dengan tulisan-tulisan menghiasi punggungnya, berusaha menarik hati dengan tubuhnya yang berwarna putih. Perahu yang, barangkali, salah satunya kepunyaan Pande Klana, orang yang sering dibantu Yanik mengantar turis melihat lumba-lumba di tengah laut.
Tumblr media
Melewati jembatan bambu lalu mendekat pada dermaga, menapaki balok-balok kayu, saya menuju ujung dermaga. Duduk di tepian, mengayunkan kaki ke bawah, menghadap ke sinar Barat yang sebentar lagi sirna. Seorang perempuan asing duduk di tepian sedang membaca sebuah buku, tersenyum kepada saya yang memang sedang mengarahkan pandangan kepadanya.
Di tepian dermaga kayu dengan kaki menjulur ke bawah, saya duduk dengan diam. Memandang Matahari yang beranjak turun, dengan sesekali mengambil foto dari gawai.
Saya mengeluarkan catatan kecil yang selalu dibawa dan buku Rumah di Seribu Ombak. Berusaha menulis tentang apa yang saya saksikan hari ini. Lancar sekali saya menulis. Menulis dengan sesekali membuka laman-laman buku. Aish, menulis di alam terbuka memang selalu menenteramkan.
Membuka laman-laman buku, sepintas membaca kembali cerita Yanik dan Samihi tentang suara yang tidak bisa didengar, tentang ucapan Yanik kepada Samihi, “Pejamkan mata dan kosongkan pikiranmu, baru kau bisa mendengar suara-suara yang biasanya tidak bisa kau tangkap.”¹ Saya pun lalu menutup mata. Menutup mata agar bisa mendengar suara yang biasanya tidak bisa didengar: alunan gelombang; sepoi angin; sapuan malai nyiur; bahkan suara napas. Damai sekali suasana ini; suasana sunya.
Tumblr media
Selesai dengan suasana damai, saya membuka mata dan kembali menulis. Tiba-tiba perempuan di samping menyapa, cukup mengejutkan saya yang sedang terlena pada buku dan tulisan. Dia bertanya, sedang menulis apa? Dengan gempita saya menjawab pertanyaan perempuan yang ternyata juga suka menulis itu, Marie namanya. Ah, ternyata karena melihat saya menulis dan bermeditasi sebentar, dia tertarik untuk berbincang.
Dalam sekejap, kami berbicang akrap. Saya bercerita tentang perjalanan ke Lovina karena buku Rumah di Seribu Ombak, dan juga menceritakan tentang perjalanan sebelumnya ke Rinjani dan Pulau Moyo. Dia berkisah mengetahui tentang buku itu tetapi belum pernah membacanya. “Oke, saya akan membaca buku itu,” jawabnya dengan Bahasa Indonesia terbata.
Dia sempat kaget dan tidak percaya saya bisa berhasil mendaki puncak Rinjani dengan tubuh saya yang mungil, sampai akhirnya saya menunjukkan foto-foto. Ketika dia melihat foto saya di puncak pun, dia masih belum sepenuhnya percaya lalu berceloteh canda, “It’s not you.” Kemudian kami tertawa bersama.
Dia berceloteh tentang lima tahun lamanya ia tinggal di Ubud, dan acap kali mengunjungi Singaraja untuk menikmati Pantai Lovina yang dicintainya. Dia bilang, walau tidak seindah dengan yang banyak terdapat di Selatan, tetapi pantai ini cukup tenang, tidak riuh ramai. Saya sepakat.
Memang benar, pantai di sini bukan Pantai Pendawa dengan pasir putih memukau; bukan air laut biru Nusa Lembongan yang gemerlap; bukan sinar megah oranye Matahari tenggelam Uluwatu, tetapi pantai dengan hening lautan yang dipilih oleh banyak Marie untuk sedikit menyingkir dan menepi. Pantai dengan pasir hitam dan kerang bertebaran di sepanjang bibir; lautan dengan geliat lumba-lumba di laut lepas sana. Pantai dengan seribu ombak yang mengalun damai. Pantai dengan cerita persahabatan Yanik dan Samihi. Pantai dengan cerita lain tentang Bali yang lembut untuk ditulis.
Sementara, sore berubah senja. Garis cakrawala telah memudar bersamaan dengan menghilangnya Matahari dari peredaran. Hari berganti malam.
Tumblr media
0 notes
perempuanbanyu · 7 years
Text
Kami Berpisah di Lombok dan Memori Bali Tiga Tahun Lalu
Tumblr media
Alkisah, ihwal pagi terakhir di Pulau Moyo, enamtigaputuh pagi:
Kapal yang akan membawa kami ke Sumbawa sudah menunggu di dermaga. Derik jarum jam bergerak cepat. Mbak Dini dan Jeff cekatan menyiapkan sarapan untuk kami bawa sebagai bekal perjalanan; panekuk dengan taburan gula aren dan buah pepaya.
Tujuh lebih sedikit, kapal akhirnya menarik jangkar dari dalam laut lalu bergerak meninggalkan dermaga. Pasir putih dengan gugusan hijau di atasnya itu menjadi jauh dan menghilang. Tersisa hanya Laut Flores yang, kali ini, begitu ramah.
Nahkoda kali ini bukan nahkoda yang lalu, dia lebih muda. Tapi tangannya tetap lihai memutar kemudi. Pasangan suami istri dari Malaysia pun juga kembali ke Sumbawa. Mereka menawarkan kami untuk ikut serta menuju penginapan dengan mobil yang sudah disewa kemarin. Jarak penginapan kami berdekatan.
Penumpang kapal hari ini tidak seriuh kemarin. Hanya ada beberapa warga yang hendak berbelanja kebutuhan di Sumbawa. Tidak ada rombongan pernikahan. Tidak ada kasur di tengah kapal. Keadaan kapal menjadi tenang. Yang terdengar hanyalah mesin dengan bunyi sembrebet dan suara pecahan ombak yang menghantam dinding; putih.
Menjadi biru dan semakin pekat di dasar lautan, bagian Bumi yang belum bisa saya saksikan, entah sampai kapan.
Sampai bisa berenang.
Pulau Medang terlewat dengan jarak tidak sedekat kemarin, berlalu dan hilang dengan cepat.
Lalu kembali ke biru. Hanya biru.
***
Cerita bersilih;
Peristiwa masih berkelanjutan; kembali pada hingar Sumbawa Besar dengan listrik yang duapuluhempat jam tidak pernah berhenti menyala, tidak seperti di Pulau Moyo. Beranda hotel yang sama, hanya berbeda kamar saja. Susu cokelat dengan gelas kertas yang dibeli dari minimarket ikut menyaksikan rembulan yang tidak merona. Beberapa orang lalu lalang tanpa senyum sapa.
Dan berkelanjutan;
Bandar Udara Sultan Muhammad Kaharuddin III, Sumbawa Besar, masih kosong ketika kami masuk. Ruang tunggu yang tidak lebih besar dari lapangan bola kampung itu hanya berisikan dua orang saja; saya dan Bulan. Di balik dinding-dinding kaca bandara hanyalah partisi séng, menutup semua pemandangan yang biasa dihadirkan banyak bandara; pesawat terbang parkir.
Saya tidak memiliki rasa apa-apa dengan Sumbawa, mungkin belum, karena hanya singgah di Sumbawa Besar. Lagipula, kejadian buruk menimpa saya kemarin. Dompet saya hilang ketika kami sedang berada di Sentra Tenun Semawa, Moyo Hilir. Ini memang sebuah kelalaian, dompet tersebut saya letakkan di kantong motor sisi kiri, dan kami asyik bercengkerama bersama penenun di salah satu rumah. Apes bukan kepalang.
Lalu lambat laun, satu per satu orang akhirnya berdatangan dan ruang tunggu yang tidak lebih dari lapangan bola kampung itu menjadi penuh.
***
Waktu menunjukkan pukul duabelastigapuluh siang waktu setempat. Bandara Lombok cukup ramai siang ini. Poster iklan Rinjani Trail Run yang terselenggara waktu silam masih terpampang di banyak titik, bersama iklan pariwisata lainnya. Sepertinya Lombok sedang bergiat meningkatkan pariwisatanya, menyaingi Bali barangkali. Beberapa kelompok pendaki tampak berkerumun dan duduk di area tunggu bandara, telah selesai mendaki. Dua tiga kelompok turis lain juga hilir mudik. Cukup sibuk.
Saya dan Bulan memutuskan untuk makan siang di salah satu kedai makan di dalam area bandara. Jeda waktu yang cukup lama untuk melanjutkan penerbangan selanjutnya—saya akan ke Bali pada pukul setengahenam sore, sedangkan Bulan akan menuju Jakarta pada tujuhtigapuluh malam—, membuat kami mencari tempat yang cukup nyaman untuk melakukan aktivitas paling menjemukan, menunggu.
Ya, kami berpisah di tempat pertama bertemu dalam trip Nusa Tenggara Barat ini; Lombok.
Saya teringat ketika malam itu, sepuluh hari yang lalu, siang yang cerah di Yogyakarta, secerah perasaan saya untuk memulai trip ini. 2 Mei 2017, saya terbang menuju Lombok untuk mendaki Rinjani keesokan harinya. Gunung yang banyak diimpikan pendaki untuk dijejaki savananya, untuk digeluti hutannya, untuk diterjang pasirnya, dan untuk dibelah batunya.
Ketika menulis ini, saya teringat kejadian siang itu di Bandar Udara Adi Sutjipto, di sebuah kedai kopi ruang tunggu. Obrolan di What’sApp Group Rinjani begitu ramai. Becanda tak tentu arah. Satu orang mencela lainnya. Lucu sekali. Mungkin bahagia karena sebentar lagi kami akan berjumpa, dan esok akan mendaki Rinjani. Mungkin.
Dalam kedai kopi itu hanya berisi tiga orang saja; saya dan dua orang bapak yang duduk di dua sudut berbeda. Kedai itupun sangat kecil, jadi tampak sekali gerak-gerik kami masing-masing. Saya tidak berani tertawa, hanya senyum-senyum tipis menahan tawa. Itu adalah hal paling menyebalkan, dan saya harus melakukannya.
Di meja ada dua cangkir kopi; cappuccino dan kopi hitam. Seraya asyik dengan obrolan, saya mengambil cangkir cappuccino, menyesapnya sedikit, lalu meletakkan cangkirnya kembali ke atas meja. Sejenak saya tersadar, saya salah ambil cangkir. Saya ingat, saya pesan kopi hitam.
Tiba di Lombok pada pukul setengahsembilan malam. Keluar dari bandara, Bulan melambai-lambai dari suatu jarak. Dia sudah tiba sejak sore tadi. Ya, kami bertemu malam itu.
Sesuai dengan perjanjian, kami diharuskan menunggu dua orang lagi yang juga akan mendaki Rinjani. Kami dijemput oleh supir yang sudah disediakan oleh pemandu, Pak Cip namanya. Kata adik saya, “Pak Cip itu seperti bli-bli Bali yang biasa ada di film televisi, Mbak,” ketika Bulan bertanya seperti apa ciri-ciri fisik supir kami itu.
Anehnya, Pak Cip maupun Angga—pemandu kami yang sudah berada di Desa Senaru—, tidak ada yang mengetahui tentang hal apapaun mengenai dua orang yang harus ditunggu itu. Dari mana asalnya, menggunakan maskapai apa atau jadwal penerbangannya. Tidak ada informasi sama sekali. Nomor yang diberikan ke Pak Cip juga tidak bisa dihubungi. Jadi, dua jam lebih kami tidak tahu menunggu siapa? Hantu bisa jadi.
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas. Hampir tengah malam. Sedangkan perjalanan menuju Senaru akan memakan waktu selam tiga jam. Cukan waktu yang singkat dan bukan pula perjalanan yang dekat. Akhirnya, kami memutuskan untuk meninggalkan bandara dan bergegas menuju Desa Senaru, setelah Pak Cip meminta tolong kepada rekan supir lain untuk menunggu dua orang atau hantu itu.
Saya tidak bisa menuliskan sesuatu hal tentang perjalanan tengah malam itu. Tertidur pulas. Tersadar dibangunkan Pak Cip karena sudah sampai. Setengahtiga pagi. Senaru yang dingin. Pagi itu, 3 Mei 2017.
***
Penerbangan saya akhirnya diumumkan juga melalui pengeras suara. Kami berpisah di kedai makan bandara itu. Kami selesaikan perjalanan Nusa Tenggara Barat ini, bersama menembus kabut Rinjani dan sepoi angin pantai tropis Pulau Moyo. Kami tinggalkan jejak langkah di anugerah alam yang diletakkan Tuhan di negeri ini.
Satu jam berselang;
BOOM!! Gegar Budaya.
Saya tiba di Bali.
Menyusuri jalanan Kuta dengan ojek online, tempat yang tak pernar tidur ini, benar-benar tidak pernah tidur. Selalu bergerak. Jalan yang dihiasi deretan tanpa henti etalase toko, dan pub serta restoran, berbaris sejajar dengan kendaraa di jalan. Macet. Berbeda dengan tempat yang sebelumnya saya datangi.
Tempat ini dijajah oleh benda kasat mata bernama pariwisata. Entah siapa yang salah? Tidak pula bermaksud mencari kesalahan. Kambing hitam pun tidak. Lagipula di sini tidak ada kambing.
Pariwisata memang bagai pisau bermata ganda. Sisi satu berdampak baik untuk ekonomi lokal tapi di sisi lain, sisi-sisi yang mungkin negatif berhasil masuk tanpa saringan melalui turis-turis yang datang. Kondisi fisik dan perilaku masyarakat yang berubah, barangkali, hanya untuk memenuhi komoditi pasar pariwisata. Berharap, semoga tidak terjadi di Lombok, atau Pulau Moyo, atau di tempat lainnya.
Memasuki gang, orang harus berjalan dengan hati-hati. Berlomba dengan motor yang, kerap kali, melaju luar biasa kencangnya, tidak peduli jalanan kecil sekalipun. Mereka tidak mau kalah, tidak mau salah.
Jujur saja, saya tidak suka Kuta dan tidak akan ke Kuta selain terpaksa. Besok pagi, saya harus melanjutkan perjalanan menuju Lovina. Untuk menuju Lovina, saya akan naik bus dari sebuah agen perjalanan yang terletak di Jalan Legian. Ya, Kuta sebagai tempat persinggahan semetara.
“Sampai, Mbak,” ucap Bapak Ojek memecah keheningan perihal Kuta. “Oiya, benar, Pak.” jawab saya kemudian. “Mbak kalau mau makan di situ saja,” ucap Bapak Ojek sambil menunjuk warung makan yang berada di samping penginapan. “Banyak orang makan di situ karena enak dan murah, termasuk saya.” lanjutnya kemudian. “Terima kasih, Pak.” jawab saya kemudian meninggalkannya dan berjalan masuk ke penginapan.
Selesai meletakkan barang-barang di kamar, saya mengikuti anjuran si Bapak Ojek untuk makan di warung yang tadi disebut. Benar apa yang dikatakannya, murah dan enak. Selesai makan, saya berjalan menuju minimarket di depan penginapan, membeli cokelat panas lalu kembali menuju penginapan dan masuk kamar.
***
Di balkon atas depan kamar, menikmati segelas cokelat panas, saya kembali pada memori tiga tahun lalu tentang perjalanan di pulau ini bersama seorang teman dekat, yang kebetulan, sudah tiada.
Teringat malam itu, saya dan si Teman Dekat, menghabiskan malam di salah satu kedai kopi yang terletak di Jalan Legian. Saya menulis, dia melukis, sembari berbincang. Intim.
Berbincang tentang kagetnya kami atas geliat Kuta setelah beberapa hari berada di Ubud. Dua tempat dengan atmosfir yang berbeda. Ubud yang tenang dan Kuta yang tiap waktunya adalah uang tanpa pernah berhenti berputar. Ubud yang sejuk dan Kuta yang membuat kulit lelaki itu kembali memerah dengan ruam-ruam di sekujur tubuh.
Aih, mungkin saya rindu. Rindu percakapan-percakapan kami yang selalu menyenangkan.
Sebagian orang beranggapan bahwa Bali adalah sebuah tempat liburan yang sudah sangat umum, tidak spesial, dan begitu-begitu saja, menurut saya itu adalah kesalahan besar. Berani bertaruh, orang itu hanya pergi ke Kuta, tidak tempat lain. Dia tidak pernah berjalan masuk ke gang-gang sempit di pinggir Kuta, dia tidak menyapa ramah penduduk yang sedang membuat canang, atau menyaksikan mereka memasang penjor karena besok Galungan, bakan menyusuri petak sawah, mengikuti perempuan-perempuan yang berbusana tradisional seraya menyunggi sesajen di kepala, lalu terperosok ke dalam sawah karena berpapasan dengan bebek-bebek?  
Bali selalu menarik perhatian saya. Bali selalu menjadi tempat singgah terakhir setelah melakukan perjalanan, sebelum kembali ke kota asal. Setiap sisinya mengundang cerita berbeda, yang selalu menarik untuk dikulik dan ditulis. Bali sebagai masa transisi dari sebuah proses pejalanan itu sendiri.
Keindahan alam Bali mungkin saja sudah terkalahkan dengan tempat lain di Indonesia, tapi tempat di mana dua sisi yang bertentangan—moderenitas barat dan kultur tradisional—berdiri sejajar dan tidak saling usik, hanya dapat dijumpai di Bali. Jadi, semua bergantung di mana meletakkan Bali pada posisi sebalah mana?
Tumblr media
***
Sementara, temaram Bulan sudah tak nampak wujudnya. Yang tersisa hanyalah dentuman musik yang merayap naik ke udara Kuta dan lampu-lampu dari pub sekitar yang tampak gemerlap berubah warna merah hijau biru sesuka hati, di ujung sana. Dua orang sedang asyik bermain gitar dan bernyanyi di pinggir kolam renang. Sisa cokelat panas habis dalam satu sesap. Saya masuk ke kamar, mengunci pintu lalu rebah pada kasur.
Esok hari berkas rencana memanggil untuk menyusuri sisi Bali lainnya, menuju Lovina.
Tumblr media
0 notes
perempuanbanyu · 7 years
Text
Hari Tanpa Rencana di Pulau Moyo
Tumblr media
Laut Flores pagi ini berbeda dari sebelumnya, debur ombak mengalun keras, sahut menyahut. Air yang semula biru bermetamorfosa menjadi buih putih, menghantam, memecah, dan menghanyutkan butiran pasir di pantai menuju lautan dan lalu membawa yang lain kembali ke kumpulannya. Begitu seterusnya. Suaranya seperti guntur tiada pernah berhenti. Berebut rebut dengan sesamanya. Pagi yang pasang.
Saya dan Bulan duduk di kursi kayu halaman depan penginapan. Menghadap pantai. Pagi ini, hari kedua di Pulau Moyo.
“Snorkeling di pinggir saja, Wid,” ucap Bulan yang sedang menunggu seorang pemandu selam. Saya menggeleng kepala tanda penolakkan, “Ombaknya besar.” jawab saya. “Kalau nanti Om Freddy bisa antar ke Bat Cave, ya berangkat. Kalau tidak, ya mau santai aja di pantai. Tidak ada rencana apa-apa.” saya melanjutkan lalu menyesap sisa kopi terakhir.
***
“Selamat menyelam,” ucap saya pada Bulan ketika ia berjalan menuju dermaga tempat kapal putih yang akan mengantarkannya menuju tengah lautan. Dia membalas dengan lambaian tangan dan mata saya kembali tertuju pada laut lepas yang sedang ganas itu.
Hari ini tidak ada berkas rencana yang terlintas di kepala. Seperti yang sudah dikatakan tadi, jika Om Freddy—lelaki setengah baya yang membantu mengurus penginapan— tidak berhalangan dan mau mengantarkan ke Bat Cave, saya akan berangkat ke gua yang, katanya, tidak kalah bagusnya itu.
Kata orang yang saya temui semalam, gua itu bagus dikunjungi sebelum sore. Sinar matahari akan masuk melalui celah gua dan membuat gempita di dalamnya. Di sana juga banyak ular. Ya, ular-ular pemangsa kelelawar, dan hanya Om Freddy yang cocok menjadi pemandu tempat itu.
Tetapi lagi-lagi, hari ini tidak ada berkas rencana di kepala untuk bergegas ke utara, atau selatan, atau barat, bahkan timur sekalipun. Mungkin saja seharian saya akan membaca buku sembari menunggu Bulan pulang menyelam. Atau tidur siang.
Tetapi kerumunan orang di bawah pohon dekat dermaga mengetuk kaki saya untuk berjalan menghampiri. Sebuah kapal putih ditambatkan pada pohon dengan tali tambang besar. Satu dua tiga orang silih berganti mengangkat kantung-kantung semèn, atau pasir, atau batu, memindahkan dari atas kapal menuju penginapan baru yang sedang dibangun. Pemilik penginapan itu juga yang mengundang saya dan Bulan makan bersama semalam, bersama dua orang tamunya dari Jepang, dan Bang Erwin, seorang pemandu selam. Menikmati ikan bakar hasil menyelam sore harinya. Makan malam yang sederhana namun melekat.
Tumblr media
Saya berjalan mendekat. Ibu-ibu memberikan senyum ramah kepada saya yang baru saja bergabung. Dua di antaranya sedang pètanan; mencari kutu, aktivitas yang lekat pada masyarakat Indonesia dari abad lalu. Anak-anak bermain gelayutan di tali tambang kapal itu. Kelakar tawa bergema ketika salah satu ada yang terjatuh dari tali. Sepertinya ia memang sengaja menjatuhkan diri. Pemuda-pemuda hilir berganti mengangkat kantung-kantung material. Ada satu kantung, semèn mungkin, luput dari tangan dan tercebur ke laut. Lagi-lagi, tawa menggema seolah ingin bersaing dengan bebur ombak. Aih, pandai sekali mencari perhatian, pikir saya dalam hati.
“Jadi bikin pendopo Pak?” tanya saya pemilik yang datang menghampiri, menegaskan percakapan semalam sewaktu makan bersama. “Iya, Mbak,” jawabnya dengan senyum ramah.
“Semèn dari Sumbawa, Pak? tanya saya kemudian. Ia mengiyakan lalu bercerita bahwa masyarakat Pulau Moyo berbelanja semua kebutuhan di Sumbawa, bahan makanan, pakaian, bahkan material juga dibeli dari pulau seberang. “Boro-boro ada pasar, listrik saja di sini hanya dari jam enam sore sampai enam pagi, Mbak.” Ia mengeluh ringan. Saya hanya tersenyum sembari bergeming dalam hati, manusia terlalu sering bertepuk sebelah tangan.¹
Tumblr media
Selesai dengan mereka, saya kembali berjalan menyusuri pantai putih dengan butiran pasir besar-besar. Pasir yang kali ini, terasa panas sekali menyengat di kaki. Tapi tak mengapa, saya rasakan sakit itu. Saya nikmati sensasi bertelanjang kaki.
Mendekati dermaga, pemuda si Agak Tinggi yang sedang duduk-duduk di sebuah pondokan menyapa, menanyakan apakah saya sedang mencari sesuatu, “Mungkin saya bisa bantu, Mbak?” katanya ramah. “Oh, hanya jalan-jalan saja sebenarnya. Sambil cari kartu perdana untuk gawai. Di sini ada yang jual, Bang?” jawab saya sambil bertanya. Ia kemudian memberi unjuk sebuah warung yang mungkin menjual barang yang saya cari.
Saya berjalan memasuki kampung, menuju warung yang ditunjuk tadi. Jalanan kampung dari beton pracetak tak kalah dahsyat menyusup pada telapak kaki. Saya berjalan sambil berjinjit, melangkah pendek nan cepat.
Sesampainya di warung, saya tidak mendapatkan kartu perdana dari satu-satunya provider yang bisa aktif di pulau ini.
Saya kembali berjalan keluar kampung, menuju dermaga. Bertemu dengan si Agak Tinggi yang masih bersantai di pendopo dekat dermaga. “Dapat, Mbak?” tanyanya kemudian.
“Tidak, Bang.”
“Di sini susah, Mbak, cari kartu perdana.”
“Tidak apa-apa, Bang. Toh saya hanya jalan-jalan.” Saya menjawab tidak kalah ramah.
Kemudian ia bertanya mengapa berjalan sendirian, di mana teman saya? “Oh, Bulan sedang menyelam.” jawab saya sambil kemudian berpamitan untuk terus berjalan.
Menuju dermaga, menapaki lantai kayunya yang terpasang di atas air laut, berjalan menuju ujung, tempat di mana kapal merapat dengan tali tertambat tanpa sambat. Saya mengambil beberapa foto dari gawai, rumah-rumah kayu penduduk berbaris serempak menghadap pantai. Hijau, cokelat, biru, mereka berlomba membikin semarak warna catnya. Kapal-kapan nelayan berjajar di kiri dermaga, berhadapan dengan yang pertama. Ada pula yang menjulur sedikit ke tengah dengan bendera Merah Putih berkibar dengan perkasa. Di ujung sana, setelah garis biru cakrawala, gunung-gemunung entah apa namanya, juga berlomba untuk bisa dipandang mata.
Tumblr media
Lepas dari dermaga, saya kembali ke penginapan. Melewati kembali kerumunan orang-orang yang masih pètanan, masih bermain dengan tali kapal, material bangunan pun belum sepenuhnya terangkut. Berjalan dengan pasir yang masih panas, saya melihat Louie dan Adam yang sedang berenang di pantai, berebut sebuah balok kayu. Dasar anak pantai, laut sedang pasang begini, mereka tetap saja berenang-renang, gerutu saya entah pada siapa.
Tumblr media
Saya melewati mereka dengan diam. Masuk ke dalam kamar, mengambil buku, lalu kembali ke pantai, rebah di bean bag. Adam dan Louie masih asyik dengan balok kayu, tak peduli seruan Om Freddy yang berkali-kali menyuruh mereka segera mentas. Gunung-gemunung masih sibuk bergemulai, sedikit mengeluarkan gumpalan awan putih ke atas. Sebuah kapal berdiam diri di tengah lautan. Gawai tetap tanpa signal. Tanpa berita dan cuitan orang-orang yang sibuk dan merasa paling penting di dunia. Saya memandang dengan diam itu semua, alangkah indah kehidupan tanpa drama maya.
Tumblr media
Membuka satu halaman buku lalu meletakkan buku itu di atas pangkuan, tanpa dibaca. Kembali menatap hampa pemandangan sunyi namun cerah yang ada di depan mata. Memikirkan penduduk-penduduk yang tadi dijumpai, manusia dengan sungging ramah bibirnya. Mendengar seruan ombak yang masih saja menderu ganas. Mengarahkan pandangan menuju Adam dan Louie yang akhirnya mentas, dengan pampers menggelayut basah. Saya tertawa geli.
Tak pernah terbayangkan oleh saya bisa berada di tempat ini. Tempat di mana semua berjalan tentram, jauh dari hiruk pikuk Jawa yang congkak dan bising. Tempat inilah saya bisa melihat Indonesia sebenar-benarnya. Tempat saya bisa mencintai negeri ini. Negeri yang takkan pernah habis ditulis. Ketika menulis ini, saya membuka kembali satu halaman pada buku Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer, dan mengutip satu kalimat, “Sekali tuan menggauli bangsa Tuan sendiri, Tuan akan menemukan sumber tulisan yang takkan kering-keringnya. Sumber tulisan abadi.”
Tak sadar saya telah tertidur entah berapa lama, siang itu.
Tumblr media
***
“Tidak pergi kemana-mana hari ini?” sapa Om Freddy menyadarkan saya dari lamunan setelah tertidur. Ia  sedang memunguti daun-daun yang berguguran.
“Sebenarnya mau minta Om untuk ajak ke Bat Cave, tapi sepertinya tidak usah.” jawab saya seraya membenarkan posisi duduk.
“Ah, mengapa tidak bilang semalam?” sautnya sembari berhenti memungut daun dan memandang ke arah saya, terasa sedikit kaget.
“Tak apa, Om. Tidak terpikirkan semalam dan memang tidak ada rencana apa-apa hari ini.” jawab saya sambil menutup buku yang ternyata sedari tadi terbuka tanpa dibaca.
“Sudah agak sore juga, tidak bagus ke gua kalau sore.” timpalnya dengan kembali memungut daun.
***
Dari kejauhan Bulan tampak berjalan dari dermaga menuju penginapan. Sudah selesai menyelam. Dia berjalan mendekat dan semakin dekat, menghampiri saya dan Om Freddy yang sedang bercakap ringan.
“Bagaimana menyelamnya? Bagus? tanya saya pada Bulan yang sudah bergabung bersama di halaman depan penginapan. Dia bercerita melihat ikan ini, ikan itu, koral ini koral itu. Dia bercerita dengan lahap. Saya mendengarkan sambil senyum-senyum, seraya bergeming dalam hati, senangnya bisa melihat Indonesia dari kedalaman.
Siang menjelang sore kami semakin larut. Om Freddy berkelakar tentang dirinya yang sudah duapuluh tahun tinggal di Pulau Moyo. Selama itu pulalah ia bekerja di penginapan mahal tempat Lady Diana dan Mick Jagger pernah menginap.
“Om Freddy asli mana?” tanya saya ringan.
“Flores. Labuan Bajo.” Jawab lelaki setengah baya itu, kemudian melanjutkan, “Pernah ke sana?”
“Pernah ke Larantuka, Maumere, dan Ende, Om. Di Bajo hanya transit.” jawab saya bersemangat. “Saya datang ketika Paskah di Larantuka, Semana Santa, Om. Bagus sekali. Saya ingin ke sana lagi.” saya terus berbicara tanpa mau berhenti. Yang diajak bicara manggut-manggut dengan tertawa renyah.
Pemuda setempat—saya lupa namanya— yang kemarin itu, pun sudah datang lagi. Mengulurkan sebotol bir kepada saya, dan ikut berbincang.
“Penduduk sini kebanyakan bekas pekerja hotel itu ya?” tanya saya kepada pemuda setempat itu. Pertanyaan saya merujuk ke penginapan mahal di ujung sana.
“Sembilanpuluhsembilan persen pegawai hotel adalah warga lokal. Memang perjanjiannya seperti itu.” timpal pemuda yang juga mantan pegawai.
Tumblr media
Kali ini saya yang manggut-manggut. Kalimat demi kalimat saling timpal satu sama lain. Sesekali menyesap bir. Adam dan Louie berkejar-kejaran di pantai entah berebut apa. Sesekali kami tertawa, lalu kembali menyesap bir dari botol. Jeff mendirikan batang kayu di pinggir pantai, sepertinya hendak membuat ayunan. Lalu kami tertawa lagi. Kalimat satu masih saling tertimpal dengan lainnya. Terus begitu saja.
Perbincangan di sore hari. Perbincangan santai dan sesekali juga serius. Perbincangan yang tersamar bersama rinai angin pantai yang memberikan desik pada ranting pohon, bersiul Fu. Perbincangan dengan ombak yang sudah tidak seganas pagi tadi.
Tumblr media Tumblr media Tumblr media
***
Sementara, sejauh mata memandang, hanya ada semburat emas di cakrawala. Gunung Rinjani kali ini tampak lebih jelas dari sebelumnya. Puncaknya mencuat ke angkasa paling tinggi dari gunung-gemunung lainnya. Dua kapal berenang diam di tengah laut sana, mempercantik lukisan Tuhan yang dibuatnya di Indonesia.
Tumblr media Tumblr media
¹ . Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia.
1 note · View note
perempuanbanyu · 7 years
Text
Veni, Vidi, Vici—Datang, Lihat, Menang. Moyo, Kami Datang
Tumblr media
Garis putih bernama pantai yang segera ditindas oleh lapisan berat kehijauan bukit dengan warna-warni gradasinya itu akhirnya hadir secara dekat. Perlahan kaki menapak pada dermaga kayu yang menjorok ke lautan kemudian berseling menginjak butiran-butiran besar pasir putih. Pulau Moyo.
Dalam langkah berat menginjak butiran pasir yang besar-besar, saya menghirup udara tropis pantai dalam-dalam. Selamat tinggal laut, selamat tinggal kapal. Selamat tinggal, kau, ketakutan. Walaupun hanya sementara. Selamat tinggal!
Kami berjalan menuju pondok penginapan yang sudah dipesan sebelumnya, ada di sisi kiri dermaga, mungkin sekitar limapuluh meter. Tampak lelaki bule tinggi, sedikit kurus, mungkin Jeff, dan memang Jeff, pemilik pondok berdiri menyambut kami. “Welcome to Sunset Moyo Bungalows!” serunya dengan Inggris dengan ramah. “Sorry, I didn’t know that’s your boat. I can borrow you stuff.” sambungnya kemudian. Saya tidak keberatan. Di belakangnya berdiri Mbak Dini, sang istri dan dua anak lelaki mereka; Adam dan Louie, yang sedang berari-lari entah mengejar apa.
Kami masuk ke area penginapan itu. Halaman depan diisi dengan perabot meja kursi kayu dan pula ada beberapa bean bag di barisan depan. Menghadap pantai. Beberapa pohon besar berdiri kokoh membikin rimbun halaman depan itu. Halaman dengan butiran pasir pantai yang besar-besar.
Tumblr media
Melewati pagar kayu, bangunan tingkat dua yang juga terbuat dari kayu berdiri di depan sebagai café dengan pantry sederhana dengan kursi-kursi dan bantal warna-warni. Dekorasi-dekorasi kerang buatan sendiri tergantung, menjulur dari rangka atap, mengeluarkan rinai suara terapi diterpa angin.
Tumblr media
Kamar-kamar yang berupa pondokan kecil juga terbuat dari kayu dan atap rumbai. Berdiri dua-dua dengan jalan setapak di sisi samping. Kerang-kerang laut yang disebar acak nan padat menjadi lantai jalan setapak tadi. Menginjaknya, seperti pijat refleksi. Dua kamar mandi mungil berada di kanan dan kiri bagian belakang yang kemudian disambut dengan halaman luas, mungkin disiapkan untuk bangunan baru.
Semua menghadap ke pantai. Indah.
Setelah meletakkan barang bawaan, saya dan Bulan keluar kamar menuju pantry. Bercengkerama bersama Jeff dan Mbak Dini. Adam dan Louie masih berlari kejar-kejaran layaknya bocah. Mereka tuan rumah yang sangat ramah. Diberinya kami segelas minuman selamat datang, sederhana juga, air sirup sari kelapa buatan sendiri. “Di sini kami buat sendiri semuanya,” ujar perempuan asli Sumba itu lembut. “Tidak ada pasar.” lanjutnya kemudian.
Sekejap kami habiskan minuman segar itu. Haus ternyata, gumam saya dalam hati. Ditambah udara yang panas layaknya daerah pantai pada umumnya. Angin sepoy-sepoy beriringan menembus pagar kayu rendah, terbang menuju arah kami, menghilangkan panas dan mengubahnya menjadi lembutnya udara tropis. Suara ombak di luaran sana mewarnai obrolan ringan kami.
Mbak Dini berkata bahwa di sini, listrik menyala hanya pada pukul enam sore sampai enam pagi. Dan itu bukan menjadi masalah. Kami tidak butuh listrik di siang hari. Laut dan pantai terlalau indah jika kami masih saja sibuk dengan listrik.
Mereka juga menceritakan tempat-tempat yang patut dikunjungi. Oiya, hampir saja kami lupa, bahwa ada dua pemuda —saya lupa namanya—, yang berada satu kapal, bersedia mengantarkan kami berkeliling. “Kami mau ke Air Terjun Mata Jitu dan Diwu Mba’i.” ucap saya bersemangat. “Ya, di sana bagus sekali. Masih bersih.” Jeff menambahkan.
Bulan juga berceloteh tentang keinginannya menyelam.
***
Waktu berselang, salah satu dari pemuda itu menghampiri kami, mengajak kami berpetualan menuju dua air terjun yang berada di Pulau Moyo ini. Oke, sebuat saja Pemuda Kecil dan Pemuda Agak Tinggi ya. Setelah pamit dengan tuan rumah, saya dan Bulan berjalan mengikuti si Kecil. Di dekat dermaga, si Agak Tinggi sudah menunggu.
Dengan sepeda motor, kami melewati menembus jalan desa, masuk ke hutan, menuju tempat pertama; Air Terjun Mata Jitu. Jalanan itu rusak parah. Pelur semen tidak beraturan, pecah-pecah ditelan jaman, membuat saya berpegangan kencang sekali pada batang besi belakang motor. Berdoa dalam hati, berharap supaya tidak jatuh. Tapi rupayanya dua pemuda itu sudah sangat lihai. Mereka ahli meliuk-liukkan kemudi motor, mencari jalan yang, dianggapnya aman untuk dilewati. Tapi tetap saja, bagi saya tidak ada jalanan yang patut dilewati. Jantung ini seperti mau copot saja.
“Maaf, Mbak, jalanannya rusak.” ucap si Agak Tinggi, yang kebetulan memboncengi saya.
“Tidak apa, Bang. Beruntung masih bisa dilalui.” jawab saya sekenanya.
“Masih ada binatang apa, Bang, di sini?” tanya saya kemudian membuyarkan ketegangan.
“Masih ada kera, Mbak,” ujarnya singkat seraya terus fokus mengendari motor.
Aih, paripurna sekali habitat kera di propinsi Nusa Tenggara Barat ini, geming saya dalam hati. Anoman begitu sakti berkuasa dan beranak-pinak. Tapi kera-kera itu tidak mengganggu, tidak mencuri barang-barang yang dibawa orang, seperti yang terjadi di Sangeh. Ya, karena perilaku mengambil barang itu karena ulah manusia sendiri, yang sering mengulurkan tangan, memberi makan kepada kera. Jadi kera-kera itu menjadi manja, tidak mau mencari makan sendiri. Itu yang dikatakan seorang pemandu wisata Hutan Konservasi Pangandaran, ketika saya berkunjung beberapa tahun lalu. Biarlah kera hidup dalam hukum alamnya, mencari makan sendiri.
***
Motor berhenti di sebuah tanah yang sedikit lapang di dalam hutan dengan sebuah pondok kayu. Kayunya masih bagus, mungkin belum lama dibuat. Suara air terjun sudah terdengar dari tempat itu, tapi belum tampak juga wujudnya. “Di mana air terjunnya, Bang?” Bulan penasaran. “Masih jalan kaki sedikit. Lima menit saja.”
Mengulur jarak di belakang si Agak Tinggi, saya berjalan pelan, masih tersisa ngilu di kaki sehabis turun Rinjani lalu. Jalan setepak tanah itu memang sangat landai, tapi agak menurun sedikit. Untungnya, guguran daun yang menutupi tanah berhasil melembutkan tapak kami.
Tumblr media
Kami terus berjalan sampai air terjun yang katanya pernah didatangin Lady Diana itu cukup jelas dari sebuah ketinggian. Busa putih yang jatuh menjadi hijau di permukaan. Pohon belantara menjadi rimbanya. Kami terus berjalan turun menuju pusat air terjun, sampai semuanya tampak jelas.
Tumblr media
Anugerah alam itu seperti terasering sawah. Dari tempat yang paling tinggi pertama tadi, air terus mengalir pada kolam batu yang tersusun bertingkat. Buih putih bergumul ketika turun pada batu dan menjadi hijau kembali pada kolam. Hijau yang berbeda dari belantara pepohonan yang menjadi dinding alamnya.
Tumblr media Tumblr media
Saya dan Bulan berjalan ke tengah kolam. Si Kecil dan Agak Tinggi dengan sigap membawakan tas dan bayak memotret kami bermain air di kolam-kolam. Mereka biarkan kami bermain air seperti anak kecil. Membiarkan kami sibuk dengan keindahan alam yang dilemparkan Tuhan di pulau ini.
Tak lama, si Kecil menyuruh kami menyudahi bermain di kolam pertama dan mengajak kami ke kolam lain. Masih di tempat yang sama, hanya berada di tempat yang lebih tinggi.
Tumblr media Tumblr media
Di tempat kedua, berjalan menembus air berjalan pada batu, Bulan menggandeng tangan saya, tidak membiarkan saya terpeleset. Ya, ketika di Rinjani, saya berjalan di depan, acap kali menengok ke belakang, mencari sosok Bulan, memastikan ia baik-baik saja. Di sini, di tempat yang dipenuhi banyak air, kali ini, ia berusaha menjaga saya, agar saya juga baik-baik saja, tidak tercebur ke dalam kolam. Tidak bisa berenang.
Dan dua pemuda berdiri di tepian, tetap memotret banyak-banyak tingkah polah kami bermain air.
Pada tingkatan batu yang lebih banyak, saya duduk merebahkan diri pada sebuah mangkuk batu yang berada di tengah-tengah. Meletakkan kepala pada dasar batu, agar air mengalir membasahi rambut, memijat lembut seluruh tubuh tanpa kecuali. Dan tangan tetap berpegangan pada dasar yang lain, mengikat tubuh agar tidak terbawa arus yang cukup deras, membiarkan Bulan berenang lincah seperti ikan.
Tumblr media
Aih, damai sekali tempat ini. Tidak ada orang selain kami, seolah kolam pribadi. Sejuknya air yang memijat lembut tubuh, gemericiknya seperti terapi. Ranting pohon diterpa angin sepoy berlomba bersama cicitcuit burung menciptakan suara-suara alam yang aduhai. Tidak mau beranjak.
Di sudut lain, ada gua batu dengan stalaktit bersembunyi di balik tirai air yang terjun ke kolam di bawahnya. Kata si Kecil, “Tidak boleh berenang di kolam ini, Mbak.” Kami mengiyakan tanpa bertanya lebih lanjut.
***
Tumblr media
Selesai dengan Mata Jitu, kami menuju ke air terjun lain; Diwu Mba’i. Ya, yang pertama memang lebih indah, tapi air terjun kedua ini airnya lebih dingin. Lebih sejuk. Hanya ada satu tingkat batu dengan tinggi mencapai lima meter, kurang lebih. Kami bermain-main di kolam atas, yang lebih dangkal dan tenang.
Seutas akar menjuntai dari atas pohon besar di tengah-tengah kolam. Katanya, orang yang datang ke sini, pasti melompat ke kolam dengan bergelayutan pada akar terlebih dahulu. Kali ini, si Agak Tinggi ikut bermain air bersama kami. Dia memperagakan gaya itu. Menggapai ujung akar, mengayun tubuhnya, bermain-main dengan akar itu, dan BYUR! Dia melompat.
Saya dan Bulan sontak berteriak kegirangan. Benar-benar seperti anak kecil sedang menonton sirkus. Mungkin Bulan penasaran, bagaimana sensasinya melompat ke kolam dari ketinggian lima meter. “Tapi tidak usah gelayutan di akar ya?” ucap Bulan sebelum mencoba.
Dengan aba-aba yang dihitung beberapa kali, akhirnya Bulan melompat. Kami bersorak lagi. Lebih gempita kali ini.
***
Tumblr media
Saya, Bulan, Jeff, Mbak Dini, dan seorang pemuda setempat—lagi-lagi saya lupa namanya—,bercakap hangat di halaman depan. Duduk pada bangku-bangku kayu menghadap pantai. Ditemani bir untuk menyaksikan biru langit berubah menjadi senja keemasan. Adam dan Louie masih asyik bermain di pantai, tanpa takut akan gelombang. Gelombang yang, kali ini, mengalun sederhana tanpa banyak irama.
Saya beranjak dari bangku kayu dan merebahkan diri pada bean bag, mendekati pantai. Matahari sudah tanpa segan memancarkan sinar oranye, lalu memantulkannya pada permukaan laut yang berubah menjadi emas.
Tumblr media
Sejenak saya berpikir, hari ini saya dihadapkan pada air. Menyeberangi laut, memecah ombak, bermain di air terjun, mungkin saya sudah tidak takut air. Ah, yang terakhir itu hanya usaha saya membahagiakann diri sendiri saja. Tapi yang pasti, saya sudah berani melawan ketakutan. Apakah semboyan Veni, Vidi, Vici berhasil dilakukan? Lagi-lagi, saya berusaha meyakinkan diri sendiri. Sama seperti meyakinkan diri “Pasti bisa!” ketika mendaki puncak RInjani kemarin.
Tumblr media Tumblr media
Mentari terus beranjak turun, menghilang di cakrawala. Yang tersisa hanyalah bias emas yang semakin sempurana, serta nyamuk-nyamuk yang dengan ramai mengerubungi tubuh. Saya beranjak dari pantai dan masuk ke dalam penginapan. Aha! Listrik sudah menyala. Waktunya mengisi baterai gawai.
Dan mungkin mandi.
Tumblr media
0 notes
perempuanbanyu · 7 years
Text
Dua Jam di Laut Flores
Tumblr media
Tiktok waktu terus berputar ke kanan. Seperi roda sepeda yang terus berputar, bergerak agar seimbang. Saya dan Bulan beranjak meninggalkan Sumbawa, menyeberang duapuluhsatu mil menuju utara, Pulau Moyo.
Pagi itu, sekitar pukul delapan, dari hotel kami diantar oleh dua pegawai menuju Pelabuhan Muara Kali dengan menggunakan sepeda motor. Tidak begitu jauh, sekitar limabelas menit saja. Kami diboncengi tidak pakai helm, “Tidak apa-apa, Mbak. Tidak ada polisi.” jawab mereka ketika kami bertanya helm buat kami. Seketika kami tertawa sekaligus agak kesal, kepala kami dihargai sangat murah dan mudah. “Pakai helm bukan karena ada polisi atau tidak, Mas. Tapi untuk keamanan,” jawab Bulan saat itu.
Untuk menuju ke Pulau Moyo, ada dua pelabuhan yang melayani penyeberangan. Labuan Badas dan Muara Kali. Untuk yang pertama, hanya melayani penyeberangan privat. Harganya pun cukup mahal, satusetengah juta untuk kapal biasa dan tiga juta untuk speed boat. Gila! Kami tidak sanggup. Sedangkan dari Muara Kali, kami naik kapal nelayan yang memang tiap harinya hilir mudik, mengatarkan warga Moyo untuk berbelanja atau melakukan aktivitas apa saja di Sumbawa. Di Moyo tidak ada pasar, apalagi mall. Di Moyo hanya ada listrik yang menyala dari pukul enam sore sampai enam pagi. Di Moyo, hanya ada pasir putih dan laut biru serta Matahari senja yang mengubahnya menjadi semburat emas.
Keadaan Muara Kali pagi itu cukup ramai, banyak orang –penduduk setempat- menawarkan transportasi menuju Pulau Moyo, kebanyakan menggunakan speed boat. Ahoy! Tiga juta. Kami mau naik kapal nelayan saja yang murah meriah. Cukup limapuluh ribu untuk satu orang.
Kami bertanya kepada Bang Darto, salah satu pemuda setempat yang memberi tahu kami soal kapal nelayan itu, “Di sini, di mana bisa beli nasi bungkus? Kami lapar sekali.”
“Ada, Mbak. Di warung sebelah. Saya bisa belikan. Sepuluh ribu satunya.”
Kami menyetujuinya lalu memberikan uang duapuluh ribu kepadanya. Tak lama, dia kembali dengan membawa dua nasi bungkus.
Kami dipersilakan duduk olehnya di sebuah pondok kayu. Duduk bersama beberapa penduduk setempat. Ada bapak tua sedang memarut kelapa entah untuk apa. Ada pula seorang pemuda yang sedikit lebih tua dari Bang Darto, saya lupa namanya, bercerita banyak hal tentang Pulau Moyo. Sepertnya dia seorang pemandu lokal yang sering megantarkan tamu menuju pulau seberang. Bang Darto pun sepertinya juga seorang pemandu, bahkan dari ceritanya dia bisa menyelam. Saya menyimpan malu dalam hati. Tidak bisa berenang.
Panas sekali pagi itu, jam sembilan seperti duabelas. Terik dan keringat berhasil mengucur. Tapi di pondok kecil ini, segalanya sangat sederhana.
Menikmati nasi bungkus di sebuah pondokan kayu, berbicang bersama penduduk yang sangat ramah, seraya menunggu kapal berangkat. Di depan, laut membentang sampai ke biru. Aih, inilah Indonesia sesungguhnya.
***
Kapal yang kami naiki kali ini adalah perahu kayu dengan mesin di bagian bawah. Mesin dengan bunyi sembrebet yang memekakkan telinga. Kala itu, bersama kami dalam satu kapal, satu keluarga dari Pulau Moyo yang habis saja mengadakan hajat nikahan di Sumbawa. Mereka membawa serta kasur dan motor dalam satu kapal. Menguasai duapertiga geladak kapal. Kami diberi tempat di buritan, bersama si Nahkoda. Nahkoda dengan rokok yang tidak pernah lepas dari mulutnya. Terus mengeluarkan asap dari mulut dan hidungnya, tak mau kalah dengan asap hitam kapal. Luar biasa.
Selain kami, sebagai pejalan, ada sepasang suami istri dari Malaysia yang juga hendak menuju Moyo. Si Suami, gelagatnya seorang fotografer, sedangkan si Istri seperti sedang melakukan riset mengenai Moyo atau Sumbawa atau bahkan Nusa Tenggara Barat.
***
Tumblr media
Pada akhirnya kapal mulai menjauh dari dermaga, yang tersisa adalah asap rokok si Nahkoda yang berbaur dengan kepulan sisa pembakaran kapal. Kapal dengan bunyi mesin sembrebet yang memekakkan telinga. Dengan alun ombak yang tenang, Sumbawa semakin pudar untuk hilang sementara.
Jujur, saya gelisah bukan kepalang. Ketika di gunung, saya seolah mendapat kekuatan, sedangkan di laut, saya merasakan sebuah ketakutan. Entah mengapa saya merasa begitu takut dengan laut. Mungkin karena saya tidak bisa berenang. Takut tenggalam. Atau takut mabuk. Atau takut hanyut. Sontoloyo! Di laut tidak bisa hanyut.
Tapi di Indonesia, negeri yang duapertiganya adalah lautan, tidak ada alasan untuk takut menjelajahinya. Sekali lagi, tidak ada! Bakalan rugi besar. Yang ada hanya berdiam diri di Jawa yang angkuh itu. Mati kutu jadi batu. Jadi, saya di sini, enamratus mil dari Pulau Jawa, di dalam kapal yang diombang-ambingkan ombak, melawan ketakutan itu. Tentu saja, sudah berbekal obat anti mabuk.
Baling besi roda kapal di bawah itu gemeretak menggiling air suatu sudut Laut Flores. Di kejauhan sana samar-samar napak gunung, barangkali Rinjani, atau Tambora, atau entah apa, berdiri tenang dalam keangkuhan, seperti petapa berbaring membatu.
Saya pun duduk membatu. Tidak kalah stress dari sebelumnya, bahkan lebih. Di dalam kapal kayu dengan mesin sembrebet, ayunan ombak lebih terasa ketimbang kapal ferry. Berbicang dengan dua pejalan Malaysia itupun tidak seratus persen menutup ketakutan dalam hati.
Saya perhatikan si Nahkoda dari suatu jarak. Rokok selalu menempel di sela mulutnya. Tangannya gemulai memutar kemudi, yang sekali-kali ia lepaskan untuk memegang barang lain, rokok, botol minum, atau hanya membetulkan duduknya. Bah! Santai sekali dia. Saya di sini merundung gelisah, berharap cepat sampai. Tak bisakah dia mempercepat laju kapalnya? Lama sekali kapal ini berjalan.
Dhaarr!! Segala pikiran berkecambuk di pikiran.
“Pusing tidak?” tanya Bulan tiba-tiba menghapus lamunan yan sedari tadi meninju otak.
“Tidak. Belum. Jangan sampai.” jawab saya pendek-pendek penuh harap.
***
Pulau Sumbawa semakin tidak tampak wujudnya, Moyo pun belum juga. Yang ada hanyalah sebuah kapal di tengah lautan. Melaju dengan kecepatan yang segitu-segitu juga. Saya melirik si Istri yang sedang membuka tasnya, melihat perlengkapan yang dibawa, jas hujan, pelampung portable, serta memasukkan semua isi tas ke dalam plastik. Seolah, ia sudah mempersiapkan segala sesuatunya jika terjadi hal buruk di atas laut. Semakin kecut saya dibuatnya. Tapi ya sudahlah, yang terjadi, terjadilah. Mau mati di mana saja, kalau memang sudah umur, siapa yang berhak mengatur hidup?
Tumblr media
Si Suami, yang sebelumnya sibuk mengambil foto para penumpang kapal yang sedang merebahkan badan mereka di atas kasur, dengan kameranya, kali ini ia sudah menggantinya dengan buku kecil dan pena. Sibuk membuat sketsa si Nahkoda yang duduk mengemudikan kapal di hadapannya. Si Nahkoda yang sadar penuh sedang digambar, duduk dengan wibawa di balik kemudi. Semakin giat menghembuskan asap ke udara. Saya masih perhatikan dari suatu jarak, mengabadikan mereka berdua dengan gawai, berusaha mengaburkan katakutan.
Tumblr media
Tak lama, saya terlena oleh sebuah pulau yang sedang kami lintasi; Pulau Medang. Dari kejauhan tampak seperti perahu terbalik. Tapi ketika melintasinya dari dekat, seperti sekarang ini, tampaklah tebing karang putih yang kilau kemilau itu, dengan air di tepian yang menjadi toska sesuka hati. Saya amati benar pulau itu. Benar-benar indah.  
Lalu tiba-tiba ombak yang semula cukup tenang, berubah menjadi sedikit ganas. Si Nahkoda tampak sedikit kesusuahan menguasai kemudi. Kapal kayu dengan bunyi mesin sembrebet itu terasa betul dipontang-pantingkan oleh ombak. “Lumayan ombaknya, kira-kira dua meter,” kata Bulan yang sedang mengamati ombak.
Segala sumpah serapah, yang kali ini, saya ucapkan dalam hati, dalam berbagai bahasa. Si Nahkoda masih dengan tenang memutar-mutar kemudi, sesekali tertawa ringan sendiri. Entah apa yang ditertawakan. Mungkin menertawakan para penumpang yang penuh ketakutan seperti saya.
Belum lepas ia dari pandangan saya. Beberapa kali bersusah payah memutar kemudi ke kanan, menghindari suatu ombak yang dirasa tidak bisa dilalui, barangkali. Lalu kemudi diputarnya kembali ke kiri. Ada ombak lain. Amboii! Seperti naik kora-kora di sebuah dunia fantasi. Tapi ini bukan fantasi, Bung! seru saya dalam hati, tak ingin orang lain tahu.
Lepas dari si Nahkoda yang sedang asyik dengan dunianya, dunia memporak-porandakan perasaan, saya memperhatikan derai ombak yang ganas itu. Ya, mereka benar sedang galak. Seperti induk anjing membela anaknya yang sedang diganggu. Ombak yang sedang menggurui saya. Menggurui agar melawan ketakutan. Ombak yang seolah tidak peduli tentang nyawa manusia.
Disemprotnyalah saya sedikit airnya mengenai wajah saya. Sambar geledek!
Saya melirik arloji di lengan, waktu menunjukkan pukul setengahsebelas siang waktu setempat. Sudah sekitar satusetengah jam kapal ini berlayar. Berlayar tanpa layar. Hanya dengan mesin yang suaranya sembrebet seperti opelet, memekakkan telinga. Si Istri bertanya kepada Nahkoda, di mana letak labuhan Pulau Moyo. Si Nahkoda yang masih asyik dengan ombak ganasnya, menunjuk ke suatu arah di depan kami dengan telunjuknya. Saya mengikuti arah yang ditunjuk, mencari gerangan yang sekiranya patut dinamakan labuhan. Memang, saya melihat sebuah pemancar di sudut depan kiri, arah jam sebelas dari posisi kami. Tapi, alamak! Itu masih jauh sekali. Setidaknya itu menurut saya.
***
Limabelas menit berlalu dari derai ombak yang mencederai hati saya itu, akhirnya ia berhasil sedikit tenang, walaupun tidak setenang yang pertama. Menara yang tadi samar, sekarang semakin terlihat. Di sebelah kanan, tampak jelas penginapan mahal yang konon katanya, pernah suatu kali Lady Diana dan Mick Jagger menginap di sana. Saya pandangi sambil lalu penginapan itu. Tak seberapa penting bagi saya, karena tidak akan menginap di sana juga. Pandangan saya malah tertuju ke seorang perempuan yang berjalan menuju geladak depan kapal. Ia berdiri dengan memegang tiang bendera yang berkibar dengan gagah. Kerudung jambonnya ikut terkibar kuat oleh angin laut. Berani sekali perempuan itu. Semua orang di kapal ini berani-berani ya? Tanya saya kepada diri sendiri. Yang takut hanya saya.
Masih saya amati perempuan yang berdiri itu, dengan kerudung jambon yang berkibar menemani bendera. Perempuan itu seperti siap menyambut daratan Pulau Moyo yang semakin nampak. Daratan dengan pasir putih yang tak kalah dasyat.
Sampai akhirnya laju kapal semakin lambat, menamatkan hati yang sedari tadi sambat. Sembrebet mesin sudah dimatikan, lalu semakin mendekat pada dermaga kayu yang menjorok ke lautan, dan semakin dekat. Lalu merapat.
Veni, Vidi, Vici—Datang, Lihat, Menang. Moyo, kami datang.
Tumblr media
0 notes
perempuanbanyu · 7 years
Text
Bergegas Ke Timur, Pulau Sumbawa
Tumblr media
Minggu pagi.
Kartu pos bergambar Rinjani itu sudah tersimpan rapat-rapat di dalam sebuah kotak bernama kenangan. Setiap savana, tiap hutan, pasir, dan batu bersiul menjadi lagu dalam kotak musik, yang tersisa hanya ampas kopi di dasar gelas. Masih pagi yang sama. Pagi dengan Matahari menyembul dari atap rumah Pak Nursaat. Pagi ketika kami harus bergegas menuju timur, Sumbawa.
Pak Cip melajukan mobil dengan kecepatan sedang, mengantar kami ke tujuannya masing-masing. Ade dan Apip ke bandara, saya dan Bulan akan diantar ke pusat kota untuk melanjutkan perjalanan dengan menggunakan travel menuju Sumbawa Besar, sedangkan Drian dan Angga akan diantar ke Rumah Singgah Lombok di Mataram. Oiya, Pak Nursaat, tuan rumah kami, turut serta mengantar ke kota.
Roda-roda menyisir rumah-rumah di sepanjang jalan, bukit yang tak melulu hijau, kadang biru, atau cokelat, terlihat berlari dari balik jendela mobil. Di belakang sana, ada kisah yang menjulang 3726 meter di atas permukaan air laut, berusaha tidak ada lagi di sekeliling. Tarikan napas yang menjadi kabut ketika meninggalkan jejak sepatu dengan sol yang lepas. Tidak boleh ada yang terganggu ketika waktu lewat.
Dan ketika lagu reggae Bob Marley menjadi lagu yang sama, tidak pernah ganti, atau memang hanya ada itu, suka atau tidak suka ya pasti akan suka, mengalun dari alat putar mobil. Tapi yang pasti, diputar dengan volume mentok.
***
Laut tetap biru seperti biasa ketika kami melintas di sisi kirinya yang berkelok. Laut yang masih seperti rahim ibu ketika menjadi samudera. Laut itu yang menunggu ketakutan saya untuk bergabung bersama alun dan gelombangnya.
“Siapa yang mau ke Gili?” tanya Pak Cip di balik kemudi ketika kami sampai di simpang Sengigi. “Tidak ada, Pak.” jawab Bulan cepat. “Sebagian besar GIli sudah tidak bisa dinikmati lagi. Sudah penuh dan sumpek.” Bulan melanjutkan. Saya, yang belum pernah mengunjungi Gili, diam mendengarkan obrolan ringan antara Pak Cip dan Bulan. Ya, tidak baik ketika segela sesuatunya udah berlebihan. Pariwisata memang seperti pisau bermata ganda. Di satu sisi, baik untuk meningkatkan ekonomi masyarakat lokal, tapi di pihak lain ada pertanyaan muncul, bagaimana bisa menikmati keindahan sebuah tempat yang sudah penuh sesak. Sampah adalah hal yang pasti ada.
Dari simpang Segigi, mobil melaju naik masuk ke dalam pegunungan. Jalan meliuk dengan pohon-pohon besar di kanan dan kiri berjajar menutup pandang seperti biasa. Kera-kera berbaris menunggu lemparan makanan atau sampah dari yang lewat. Bah! Sampah lagi. Kenapa masih banyak orang membuang sampah sembarangan? Ini jalan bukan tempat sampah!
Kami sempat makan siang bersama di Warung Cahaya 2 di seberang gerbang bandara. Nasi Balap Buyung. Ooh la la … Kami semua, tanpa kecuali, makan dengan lahap. Entah karena enak atau kami memang lapar. Sepertinya keduanya.
Kami berpisah di depan shuttle tempat saya dan Bulan akan melanjutkan perjalanan ke Sumbawa menggunakan travel bus. Minggu pagi tidak mau menunggu untuk sedikit lagi saja menikmati Rinjani. Hanya angin saja yang mungkin bisa kembali ke sana, tapi kita berpisah.
***
Duduk di dalam mini bus menunggu rantai pembatas masuk ke kapal dibuka, di Pelabuhan Khayangan, seperti menunggu jam yang teus berputar ke kanan. Entah sudah kapal ke berapa yang sudah berangkat, namun kami masih di pelabuhan. Kapal yang akan mengantarkan kami ke salah satu dari 18.306 pulau yang dimiliki negeri ini. Rantai pembatas pada bagian motor roda dua sudah dari tadi dibuka. Lalu kami kapan dapat giliran? Beberapa orang lalu lalang.
Senja tak mau menunggu pengagumnya untuk menikmati emasnya. Hari sudah petang. Ingin sekali menikmati senjakala itu di atas geladak kapal, melihat bagaimana ia hilang ditelan garis cakrawala. Tapi siapa yang berhak mengatur kehendak?
Senja sudah surut ketika saya dan Bulan duduk di atas geladak, ketika kapal menjauh dari labuhan. Segelas kopi yang terbeli di kantin ikut duduk menikati angin. Angin di sini berbeda dari sebelumnya. Angin tanpa kabut putih dan kadang kelabu. Angin di sini adalah sepoy nyiur yang berjajar di pantai seperti pagar. Selamat tinggal, Lombok.
***
Dalam remang langit hitam malam dan temaram bulan, kami bercakap ringan. Bercakap menutup segala ketakutan akan laut. Takut tenggalam. Atau takut mabuk. Atau takut hanyut. Bah! Di laut tidak bisa hanyut.
“Muka lo stress banget,” ucap Bulan sembari tertawa ringan. Saya, yang ditebak raut ketakutan hanya meringis.
Hening di sini pun berbeda dengan hening di atas sana sebelumnya. Hening yang hanya terdengar baling-baling kapal mengoyak air laut, hening bunyi cerobong kapal mengeluarkan asap hitam ke udara. Tersapu oleh angin menuju entah ke mana. Hening dengan ketakutan akan laut yang dalam.
Cukup banyak orang yang berada di geladak ini. Ada yang berdiri mematung memandang laut yang, kali ini tak tampak birunya. Ada yang berswafoto, ada pula yang tidur. Saya pun ikut tertidur, setelah obat anti mabuk yang sebelumnya saya konsumsi bekerja pada tubuh. Membiarkan Bulan menikmati udara laut sesuka-hatinya.
***
Saya  melirik arloji di lengan, waktu menunjukkan pukul tujuh malam waktu setempat, ketika kami akhirnya bersandar di Labuhan Poto Tano Sumbawa. Perjalanan tinggal seperempat, dari Poto Tano, kami melanjutkan menuju Sumbawa Besar. Sebetulnya badan kami sudah lelah, tapi gong sudah dibunyikan sejak bebarap jam lalu, tanda lakon masih dimainkan untuk tiga jam ke depan, menuju Sumbawa Besar.
Alangkah panjangnya menanti suara gong tanda henti perhelatan. Di luar jendela mobil yang tampak hanya gelap dengan kilas tebing-tebing kars putih yang sudah digali. Jalan pun terasa tak beraturan iramanya. Sedang Dalam Perbaikan, begitu tulisanya pada papan-papan menunjuk di pinggir jalan. Harus bergiliran berjalan.
Tapi kita tidak tahu, huruf-huruf apa yang terbaca ketika terang menyerang pada tempat ini? Indah? Biru? Panas? Atau gersang? Di atas ciptaan Tuhan, saya, kamu, kalian, tak berhak lagi atas kata-kata.
Tiga jam berlalu dan gong tanda henti sudah ditabuh. Bunyinya seperti teriakan goal pada pertandingan bola. Pertandingan yang sedang disaksikan oleh beberapa orang pemuda, dengan layar besar, di halaman depan hotel kami menginap di Sumbawa Besar.
Kami diantar menuju kamar oleh salah satu pemuda yang sedang asyik menonton pertandingan bola tadi, setelah kami melapor ke receptionist. Pemuda yang wajahnya sangat berciri khas raut Indonesia Timur, hitam dengan rambut keriting yang, kali ini dia gimbal.
Seperti menemukan barang berharga ketika kami akhirnya melihat kasur. Sudah lima hari kami tidak bertemu kasur, karena sebelumnya, hari kami ditemani oleh kantong tidur dan matras. Itu pun sudah Puji Tuhan, masih mending dibanding harus tidur di atas tikar. Tidak terbayang seperti apa.
Secara berbarengan saya dan Bulan melompat ke atas kasur yang, sebenarnya, tidak begitu empuk. Tapi tidak apa, yang penting kasur. Meluruskan kaki dan tangan sambil mengolet. Nikmat sekali. Seperti surga. Tapi ini bukan surga. Lagian, saya belum pernah ke surga. Jadi, saya batalkan, ya, ucapan saya ‘seperti surga’ tadi. Saya juga kurang suka jika ada orang menggambarkan sebuah keindahan itu seperti surga. Hanya orang baik yang sudah meninggal, pernah ke surga.
***
Saya berjalan bertelanjang kaki, menuju ke minimarket yang berada di samping hotel. Di dalam, saya mengambil gelas kertas kecil dan menyeduhnya dengan susu cokelat panas, lalu kembali ke kamar. Saya duduk di beranda, menikmati susu cokelat panas tadi dengan udara yang berbeda; udara pesisir.
Di sini tidak ada gunung. Rinjani sudah berada jauh di barat, yang tersisa adalah kartu pos kenangan di dalam kotak musik. Kartu pos dengan gambar savana, gambar hutan dan kabutnya yang kelabu, gambar jalan pasir dengan kemiringan 45°, gambar si keparat batu itu. Semua tersimpan dalam kotak musik.
Bulan temaram di atas langit. Deru suara kendaraan cukup bising terdengar. Motor-motor ngang ngeng seperti sedang beradu cepat. Ada apa dengan orang-orang itu? Kalau mau balapan ya jangan di jalan raya dong. Sana, pergi ke sirkuit, atau ke tong setan sekalian. Tidak bisa ya membiarkan orang melamun? Berisik!
Susu cokelat tinggal setengah. Saya masih diam melamun membayangkan apa saja dan entah apa. Atau kembali ke Rinjani, dengan Segara Anak yang toskanya tidak karuan bagusnya, dengan Barujari yang setia dengan asap tipis ke angkasa, dengan hutan Senaru yang tanpa tanda baca. Dengan batu yang kepar… Ah, sudah lah. Tidak usah dibahas melulu. Susu sudah habis, mending saya segera mandi dan lanjut tidur, karena esok ada laut yang menunggu ketakutan lain untuk mengalun bersama ombaknya.
0 notes
perempuanbanyu · 7 years
Text
Saya Tahu, Saya Mencintaimu Sebelum Bertemu, Rinjani (Selesai)
Tumblr media
Matahari memulas warna-warni dinding kaldera dengan diam-diam. Sinarnya mengembang, menggoyangkan dahan-dahan pohon yang sejak semalam tua. Secara gaib, perlahan warna hijau berubah menjadi kekuningan. Saya berdiri di tepian danau, menyaksikan dengan teliti, bagaimana Matahari mengubah gelap dan menjadikannya indah.
“Pagi, Mbak Widi,” sapa Bang Ana, porter kami, ketika saya, kemudian disusul Bulan, keluar dari tenda. Pagi ini, masih menunjukkan pukul enam waktu setempat. Kabut pekat yang menggelayut kemarin sore sudah tidak tampak durjanya. Berganti dengan bias pagi yang hendak beranjak terang.
“Mau teh, Mbak?” Bang Ana melanjutkan ucapannya. Saya mengangguk dengan senyuman.
Di tempat ini, tenda pendaki semakin banyak. Kira-kira enam buah jumlahnya, termasuk tenda kami. Bang Ana dan Bang Edi, seperti biasa berada di shelter, menyiapkan sarapan untuk kami. Di atas, burung cicitcuit ramai sekali, berusaha membangunkan kami dari tidur yang pulas.
Dari depan shelter, dengan segelas teh panas di tangan, kami berjalan menuju danau. Beberapa riak air terlihat, menandakan ikan-ikan muncul ke permukaan. Ikan-ikan yang berhasil selamat dari serangan kail pancing. Di ujung atas dinding kaldera, hijaunya sedikit menguning oleh sinar Matahari yang mulai berbisik. Gunung Barujari masih setia mengeluarkan asap tipis, mengudara sampai ke langit.
Ternyata masih banyak tenda-tenda pendaki bermukim di pinggir danau. Mungkin ada empat, bahkan lebih, di sisi kiri. Di seberang bukit, sekitar tiga tenda berdiri, yang juga menghadap danau. Cukup ramai.
Kami mendekatkan diri ke tepian danau. Ada tiga orang sedang mengadu nasib memancing ikan. Barangkali porter yang mencari makanan untuk tamunya, atau dirinya sendiri, atau bahkan hanya iseng.
Tumblr media
Angin di sini merendah hembusannya. Hanya suara kecibung air tanda ikan-ikan muncul ke permukaan dan burung yang cicitcuit ramai. Suara-suara yang sejuk, menyambut surya yang sudah tak malu-malu memijar di antara bulu-bulu mata pohon cemara. Menguning di ujung atas sana. Membayangkan ribuan bahkan jutaan tahun lalu, ketika sang Dewi yang, barangkali, pernah hidup di sini. Berlompat ke sana ke mari, bersama kera-kera lainnya. Saya mengambil gawai di saku celana, mengambil beberapa foto dari citra yang patut dikenang.
Hijau.
Biru.
Kuning.
Lalu kembali ke biru langit.
Tumblr media
***
“Kak, sarapannya sudah siap.” sapa Angga yang berdiri di belakang kami.
Meninggalkan tepian danau, berjalan menuju meja dan kursi yang sejak semalam berada di samping tenda, untuk nyampah. Nyampah dalam bahasa Lombok artinya sarapan. Seperti biasa, nasi, sayur, dan ikan goreng hasil tangkapan sore lalu menjadi lauk pagi ini. Oiya, sambal beberuk yang juga selalu melengkapi menu kami, hadir kembali. Sambal beberuk itu, semacam sambal terasi mentah seperti yang dikenal banyak orang. Orang Lombok menyebutnya sambal beberuk.
Perbincangan serius dan tidak serius menemani nyampah terakhir kami di Rinjani. Perbincangan yang selalu menjadi penghangat dari dingin yang masuk ke pori-pori. Oiya, pagi ini lain dari pagi lainnya. Banyak pendaki peserta trail run, melewati camp untuk menuju Plawangan Sembalun. Ada-ada saja kelakuannya. Ada yang berjalan sambil menggerutu, ada yang santai saja, ada pula yang menggebu bersemangat. Saya tidak habis pikir, gerangan apa yang membuat mereka melakukan lomba trail run di Rinjani. Saya, berjalan santai saja sudah menyiksa tenaga, apalagi berlari dan ikut lomba. Bah! Kami hanya bisa memberi semangat kepada mereka, supaya sampai ke tujuan dengan selamat. Hanya saja, kelakuan lucu mereka itu menjadi hiburan bagi kami.
***
Tumblr media
Matahari semakin mengembang ke atas, memberi kilau kuning di hampir seluruh jajaran bukit mangkuk segara, ketika tiba saatnya kami harus berkemas, meninggalkan Segara Anak yang, kelabu di sore hari dan seperti pelangi pada pagi, naik menuju Plawangan Senaru lalu turun ke Senaru Lawang.
Kali ini kami berenam, dua pendaki-Apip dan Ade- yang dijumpai Drian dan Angga di kapal menuju Bali, tempo hari, masuk dalam rombongan. Senang rasanya ketika kelompok menjadi lebih banyak.
Kami berjalan menyusuri tepian danau. Matahari memulas warna-warni dinding kaldera secara gegap gempita. Sinarnya merekah, menggoyangkan dahan-dahan pohon secara gaib, mengubah warna hijau menjadi kekuningan. Dalam langkah santai namun konstan, saya berdecak kagum pada negeri ini.
Ketika menulis ini, saya membuka kembali laman salah satu media sosial. Membaca salah satu caption foto dan menuliskannya di sini kembali. Indonesia, terdiri dari 18.306 pulau tersebar dari Benggala sampai Merauke, dari Rote sampai Miangas, 1340 suku, dan 147 gunung, tidak akan pernah habis dieksplorasi keindahannya, untuk dirasakan kehangatan penduduknya, untuk diselami adat dan budayanya. Menjadi pejalan, adalah salah satu untuk merasakan itu semua, membuka mata serta pikiran bahwa negeri ini besar bukan karena keseragaman, melainkan keberagaman. Bagi saya, mencintai Indonesia adalah dengan menjelajahinya.
Tumblr media
***
Tumblr media
Tepian danau itu hadir hanya sekejab. Trek bebatuan landai menghilang ketika kami mulai mendaki punggung tebing kaldera Senaru, tebing putih yang terlihat sangat curam dari kejauhan. Berjalan di antara pohon-pohon cemara sebagi pintu gerbang meninggalkan Segara Anak, ketika bebatuan berubah menjadi tanah yang memiliki kemiringan, dan tentu saja bebatuan dengan takaran lembut tapi tak jarang tinggi.
Saya sempat bertanya pada Angga perilah trek menuju Plawangan Senaru, apakah seekstrem Plawangan Sembalun menuju Segara Anak atau tidak? Dia jawab agak ragu, “Sebenarnya tidak.” Dari jawaban itu, setidaknya  saya sedikit berlega hati, memberikan sugesti pada diri sendiri bahwa jalan yang ada di depan mata bisa dilalui dengan baik, atau setidaknya lebih mudah.
Tapi satu hal yang saya tidak tahu, trek yang katanya lebih mudah itu apakah benar-benar mudah atau hanya usahanya menyenangkan saya saja. Karena lagi-lagi, saya tidak tahu apa yang menghadang di depan mata. Terlebih, saya merasa ketika berada di atas gunung, segala sesuatunya dihitung kelipatannya. Ketika mengeluh panas, akan diberi panas berlipat dua, ketika menggerutu hujan, maka hujan itu akan lebih deras dari sebelumnya, ketika mengumpat lelah, tubuhmu akan merasa lelah dan dilipat-gandakan. Maka saya hanya bisa diam dan terus berjalan, bukan karena tidak ada pilihan, tetapi ketika sudah memutuskan untuk berjalan ke depan, saya tidak akan berbalik arah, apalagi mundur. I walk slowly, but I never walk backward, begitu kutipan Abraham Lincoln yang begitu saya suka.
Matahari seperti sudah di atas ubun-ubun ketika kami berjalan di punggung kaldera Senaru. Pohon cemara yang tinggi menjulang tidak berhasil menghalau sengatan panas Matahari. Keringat mengucur di seluruh tubuh. Saya tetap diam. Mengeluh pun bukan jawaban. Terus berjalan ke depan.
Lepas istirahat di Batu Ceper, saya melihat bukit tanpa ujung di depan mata. Menjulang ke atas lalu berbelok ke kiri, dan ke kanan, kemudian entah ke mana. Mengulur langkah di belakang Angga, saya melipat jarak menuju atas bukit yang entah di mana puncaknya itu.
Menderu pada trek dengan kemiringan 45°, atau 60°, atau berapapun tidak peduli, saya raih apa saja untuk berpegangan, menarik tubuh dengan tangan, membantu kaki yang masih gemetaran. Matahari semakin meyengat dan keringat semakin deras. Kali ini saya berharap hujan turun, atau setidaknya kabut, atau embun tipis saja menghembus, tapi tenyata tidak terjadi. Dalam panas Matahari, saya raih apa saja.
Akar.                                                                                                                
Rumput.
Batu.
Tanah landai adalah harapan untuk menyeka napas yang tesengal, mengeringkan peluh yang sedari tadi membasahi tubuh. Tanah landai di ujung kelokan dengan batang pohon cemara sebagai latar depan pemandangan Segara Anak yang, kali ini, terlihat lebih indah dari sebelumnya. Biru tua menjadi muda, menjadi toska, menjadi hijau. Barujari pun tak mau kalah, dia semakin bermegah di tengah danau, dengan asap yang konsisten tipis melambung ke udara. Punggung puncak Rinjani yang hijau menjulur tak jemu, mengantarkan awan putih ke angkasa kemudian berubah menjadi kelabu. Panas dan napas yang menggelayut itu dibayar oleh pemandangan yang, lagi-lagi, biasa dilihat hanya pada layar beradiasi. Dari Senaru, saya dan Bulan sepakat bahwa Segara Anak dan Barujari tampak lebih indah dilihat dibanding di Plawagan Sembalun.
Tumblr media
Lalu tiba-tiba jalan tanah dan akar serta rumput itu pun hilang seperti tepian danau. Hilang dengan batu satu yang bersimpulan dengan lainnya, membentuk tebing 60° bahkan lebih. Batu-batu yang seolah dilemparkan acak oleh Tuhan menjadi puzzle mainanNya. Batu-batu, bersama kabut yang tiba-tiba menggurui kami, memaksa tangan untuk terampil mencari celah, menggenggam erat, dengan kaki mencari pijakan dalam kemiringan, lalu mengangkat tubuh, bersimpuh kemudian berdiri. Batu yang membuat saya ingin mengumpat.
Bertemu jalan landai adalah anugerah terbesar yang diberikan oleh Tuhan. Mau berapa kelokan pun, asal landai, itu sudah bagus. Saya menengok ke belakang, berusaha mencari Bulan. Dalam kabut yang sudah remang kelabunya, Bulan dan Drian terlihat dua kelokan di belakang. Saya berteriak memanggil namanya, dan dia menjawab. Lega rasanya mendengar suaranya, setidaknya dia baik-baik saja.
Saya terus berjalan dalam diam, karena mengumpat bukan jawaban, waktu itu. Kembali merayap pada tebing batu yang, ketika menulis ini, saya namai keparat. Baru saja saya melihat video rekaman saya merayap yang sebelumnya dikirim Angga. Bah! Saya seperti atlet panjat tebing. Keparat.
“Sedikit lagi sampai Plawangan Senaru, Kak,” ujar Angga yang saya dengar sambil lalu. Saya terus merayap. “Lihat itu pagar tangga besi yang panjang. Nah, habis itu sudah sampai Plawangan Senaru.” lanjutnya.
Saya diam.
***
Saya berpegang pada tiang besi dan menapak naik anak tangga yang panjang itu. Tangga batu yang dua kali lipat menggurui kami, memaksa tangan dan kaki untuk lebih terampil mencari celah, menggenggam erat, dan berpijak dalam kemiringan, lalu mengangkat tubuh, bersimpuh kemudian berdiri. Bulan, Drian, Apip, dan Ade, sudah tidak menyahut teriakan panggilan kami. “Kayaknya lo harus balik lagi jemput Bulan, Ngga,” ujar saya yang sedikit khawatir. Angga menyetujui.
***
Tumblr media
Tempat ini adalah cerita tentang angin yang terbelah dan menyiulkan suara.
Tumblr media
Duduk di tepi jurang, di atas sana, Matahari tanpa lelah memberikan kehangatan dengan sinarnya. Di sini, kabut cepat sekali menutup sinar Matahari itu, menyusup jantung terus mengambang sehingga kami seolah tidak punya bayang-bayang. Di bawah sana: danau yang sama, semakin membiru lalu menghijau sesukanya, danau yang lebih hidup karena Matahari. Padahal Matahari tidak pernah merasa berbuat sesuatu dalam urusannya memberi kehidupan.
Plawangan Senaru.
Tumblr media
***
Tumblr media
Bahwa ada yang harus selesai. Lepas dari Plawangan Senaru, kami terus berjalan turun, menuruni punggung bukit batu dengan cemara di kanan-kiri, dan ketika cemara itu habis, masuklah kami ke hutan, rute terakhir menuju Senaru Lawang.
Tak dinyana, trek hutan Senaru ini tanpa tanda baca. Hanya huruf kapital di awal kalimat, yang mungkin, saya tidak yakin titik berada di mana. Barangkali hanya koma-koma kecil yang hadir berupa shelter.
Ketika di Pos 3, kami kembali bertemu kera yang mengerubungi kami. Ada pula lutung-lutung hitam yang bergirangan di ranting-ranting pohon, angkuh tidak mau turun. “Masih ada macan juga, Kak,” Angga menimpali obrolan sembari istirahat.
Ketika di Pos 2, kami melihat ada seeokor anjing rebahan di dalam shelter. Kala itu, saya teringat bertemu dengan si betina itu sedang ia berjalan naik bersama pendaki lain, tiba-tiba berhenti di depan saya, tidak lama setelah meninggalkan Plawangan Senaru. “Wid, kita kasih nama dia Chikita ya?” ucap Bulan sambil mengelus-elus lembut anjing yang sangat ramah itu.
Tumblr media
“Kenapa Chikita?” saya bertanya ingin tahu. “Ya, nama itu yang terlintas di pikiran,” jawab Bulan sekenanya. “Karena dia betina juga,” kemudian lanjutnya. Kami bermain sejenak bersama Chikita, melepas lelah. Lupa, bahwa di hadapan kami, hutan masih tanpa tanda baca.
***
Tumblr media
Kami terus menembus jalur hutan Senaru yang terus meliuk dan meliuk. Meliuk tanpa tanda baca. Lalu, sekelebat saya melihat anjing berlari di dalam hutan. Kali ini saya melihat dua ekor, mungkin Chikita bersama temannya. Mereka berlari kencang sekali. Berlari terus turun.
Liukan itu belum memberi ampun sekalipun, bahkan tanah semakin becek oleh titik-titik hujan yang lepas dari tubir daun. Sama keparatnya. Butir-butir hujan yang melintas bersama lumpur, tanpa tanda baca. Seluruh sol sepatu saya lepas dari tempatnya. Hilang entah kemana. Hanya huruf kapital di awal kalimat, dan koma-koma kecil yang telah lewat.
Dan ketika petang, akhirnya bertemu titik pada akhir kalimat perjalanan kami.
Gelap pekat mati lampu ketika kami akhirnya tiba di Senaru Lawang. Saya melirik arloji di tangan, waktu menunjukkan pukul tujuh malam waktu setempat. Teh hangat sudah dipesan.
Saya kaget melihat Chikita, ternyata dia kepunyaan bapak warung. Saya bertanya, siapa nama anjing betina itu. “Rocket,” jawab pak warung. Saya dan Bulan sontak tertawa, lalu berkata kepada si empunya, “Tadi kami namakan dia Chikita, Pak. Tidak apa ya?”
Pak warung ikut tertawa, lalu berkata, “Ada satu lagi yang warnanya cokelat. Namanya Rambo.”
Chikita yang ternyata bernama asli Rocket, setelah tahu kami sampai di Senaru Lawang dengan selamat, rebah di atas tungku yang berada di depan kami duduk. Saya bergumam, ah, sungguh baik sekali hewan ini, perjumpaan sejenak kami di atas sana, lalu bermain di shelter, kemudian dia berlari di dalam hutan, seolah ingin menuntun menuju jalan pulang, dan memastikan kami baik-baik saja.
***
Tumblr media
Pagi hari berikutnya. Saya turun dari kamar atas homestay Pak Nursaat, berjalan dengan kaki telanjang. Lelah pakai sepatu, gumam dalam hati. Merasakan hangat aspal yang hitam, membiarkan kerikil-kerikil tajam menusuk telapak kaki. Saya berjalan menuju rumah utama, bertanya kepada ibu tuan rumah, “Bisa saya minta kopi?”
Duduk di balkon atas, Matahari menyembul dari balik atap rumah. Kopi di kiri, sepatu dengan sol yang lepas di kanan, yang mungkin akan saya tinggalkan di homestay ini. Barangkali akan dibuang juga oleh Pak Nursaat. Untuk apa? Usir tikus barangkali.
Tumblr media
Masih terdengar sampai sini, hari yang penuh keringat dan malam dingin yang terdiam.
Dalam kepulan uap kopi panas, setia menemani apapun yang sempat tiba pada ladang savana, hutan, pasir, dan batu. Beribu saat dalam kenangan itu menjadi bayang-bayang yang mengudara memanjang mengabur bersama aroma kopi yang membuat tersadar, “Saya masih hidup.”
Saya letakkan kenangan dengan hati-hati, menulisnya pada secarik kartu pos dan menyimpan rapat-rapat. Saya telah menuliskan kenangan itu di antara tanda petik, “Rinjani.”
Tumblr media Tumblr media
Selesai.
0 notes
perempuanbanyu · 7 years
Text
Saya Tahu, Saya Mencintaimu Sebelum Bertemu, Rinjani (Bagian 4)
Tumblr media
Mengeja satu per satu batu pelan sekali, berjongkok lalu duduk ketika harus turun pada batu dengan jarak yang cukup tinggi. Tidak berani lompat.
Masih tersisa letih setelah mendaki puncak Rinjani tadi pagi. Tetapi kami harus bergegas meninggalkan Plawangan Sembalun, turun menuju Danau Segara Anak. Di sana, ikan-ikan sudah menunggu kami untuk dipancing. Menikmati air danau yang tampak biru seperti lautan dengan Gunung Barujari di tengahnya dari dekat. Dengan langkah pelan namun konstan, kami menyusuri batu-batu.
Meninggalkan Plawangan Sembalun kali ini cukup berat saya rasakan. Meninggalkan kisah yang tak akan terlupakan setelah berhasil menuju puncak Gunung Rinjani. Meninggalkan puncak yang, sebelumnya, hanya bisa dilihat dari layar beradiasi. Meninggalkan bekas jejak sepatu yang akan menjadi cerita menyenangkan untuk diceritakan. Selalu diceritakan.
Ini seperti babak baru dalam perjalanan menyusuri gunung yang mempesona dengan dongeng Dewi Anjani itu. Ketika cerita sebelumnya dihadapkan dengan savana, hutan, dan pasir, menuju Segara Anak kami harus mengeja batu demi batu yang tersusun acak. Menukik tanpa ampun. Curam. Kaki saya sedikit gemetar, sisa letih tadi pagi.
Kali ini saya berjalan di depan dengan Drian. Angga, bersama Bulan, di belakang. Pelan sekali kami berjalan, menjaga tempo agar tetap konstan. Terlebih karena sol sepatu kiri yang lepas membuat batu yang terpijak terasa sekali di telapak kaki.
Angga yang mungkin melihat raut wajah saya menahan sakit, bertanya, “Pelan-pelan saja, Kak. Kakinya sudah gemetar.”
Saya memperlambat langkah. Berpegangan pada dinding batu, menjaga agar tubuh seimbang. Sebetulnya, dalam hal mendaki gunung, berjalan naik lebih ringan dilakukan ketimbang turun. Kalau naik, tangan bisa menolong kaki membantu mengangkat tubuh; beban terbagi. Sedangkan turun, semua beban tertumpu pada kaki, dan itu membuat kaki lebih cepat gemetar.
Trek batu ini cukup panjang. Hanya sedikit terselip jalan tanah dengan rumput, lalu kembali pada batu. Begitu saja. Kadang berpapasan dengan para porter, atau tersalip. Merasa iba kepada mereka, berjalan di jalan yang sempit dengan keranjang pikulan di bahu. Mereka harus berjalan pada rute zig-zag yang, kadang kala, sangat curam.
Kabut yang ketika pagi hari hanya menyelimuti puncak, kali ini sudah turun mengurangi jarak pandang kami. Kadang pula, kabut itu berubah menjadi rintik tipis hujan, kemudian bergegas hilang. Lalu datang lagi sepanjang jalan, dan menghilang. Begitu terus. Tidak mempersilakan Matahari untuk sedikit saja menyinari jalan kami.
Sebetulnya saya, atau mungkin kami, tidak menolak hujan. Malah bersyukur. Hujan yang turun di hampir sepanjang perjalanan kami sejak beberapa hari lalu, tatkala membasahi debu, tatkala tak ada yang merasa diburu panas. Angin yang basah memberikan desik-desik pelan pada helai rumput, terbang di sela-sela pohon. Pada rinai hujan. Fu.
Kadang kala cicitcuit burung terdengar sayu di kejauhan, menemani percakapan ringan kami. Sepintas saya berpikir ingin sekali menjadi burung, bisa terbang langsung menuju danau, setidaknya tidak berjalan pada batu dengan sol sepatu yang lepas.
***
Sudah setengah jalan ketika kami selesai dengan trek batu. Berjalan pada rute zig-zag yang, kadang landai, namun ada kalanya sangat curam. Berjalan dengan kaki yang semakin gemetar. Angga dan Bulan jauh di belakang. Saya melirik arloji di lengan, jam menunjukkan pukul tiga sore waktu setempat. Kali ini, Matahari berhasil masuk menembus kabut, walau sedikit, dan jalan batu berganti dengan tanah dengan dinding ilalang tinggi di kanan dan kiri, melembutkan tapak kaki.
Tapi sialnya, trek tanah itu tidak kalah panjang dengan sebelumnya. Bukit satu menyambung dengan lainnya. Entah berapa kelokan kami lewati. Lagian, siapa yang sudi menghitung keloikan?
Kadang berhenti melewati sungai yang kering, lalu kembali bertemu bukit. Naik sedikit, lalu turun lagi. Kami berjalan dalam diam. Tidak tahu sampai kepan bukit ini berhenti. Sinar Matahari silih berganti dengan kabut yang sama, dan berakhir dengan hujan. Ya, hujan lagi.
Sempat kami berpapasan dengan pendaki yang berjalan berlawana arah. Bertanya, berapa lama lagi sampai di Segar Anak. “Limabelas menit lagi,” jawab mereka.
Limabelas menit di sini seperti setengah jam. Setengah jam seperti satu jam. Waktu berdetak dua kali lipatnya. Kami terus berjalan dalam diam. Hanya terdengar suara tongkat kayu yang dipukulkan ke tanah oleh Drian, sebagi tanda bahwa kami berdekatan walau kami tidak saling terlihat. Hanya terdengar derap langkah dan desik-desik pelan pada helai ilalang yang semakin meninggi. Hanya rinai hujan yang berbisik di sela-sela pohon. Fu. Sunya.
***
“Sudah sampai, Mbak.” ujar Drian memecah keheningan. Sumringah sekali saya dibuatnya. Sumringah yang datang menghangatkan tubuh yang di seperempat perjalanan berhasil dibasahi hujan. Sumringah pemberi harapan pada kaki yang gemetar untuk berhenti berjalan, walau semalam.
Saya berjalan keluar dari bukit terakhir menuju tenda yang tampak sudah berdiri kokoh di samping shelter. Bukit terakhir dengan ilalang yang lebih rendah dari sebelumnya. Saya bergegas masuk ke dalam tenda, berlindung dari hujan yang semakin lebat, menunggu Bulan.
Saya duduk berselonjor kaki di dalam tenda. Melamun menikmati hujan. Menikmati gerimis yang terdengar mengetuk lembut kulit tenda adalah rekreasi tersendiri. Suaranya adalah refleksi alam bagi siapa saja yang menikmatinya. Tiap tetesnya seperti tempo lagu yang saling sahut. Tiap tetesnya membentuk irama yang, barangkali, hanya orang melamun bisa menikmatinya.
Saya diam di dalam tenda, mengamati aliran air yang mulai masuk ke dalam tenda. Tidak melakukan apa-apa. Membiarkan air mengalir semestinya, bertemu kawanannya di danau.
***
Kami bercakap ringan di samping tenda. Duduk berhadapan dua-dua. Bercakap apa saja, penting dan tidak penting.
Di hadapan kami, nasi beserta sayur, lauk, dan buah sudah tersaji. Segelas teh melengkapi menu kami. Kabut tetap mengambang di udara. Pekat. Berbisik di telinga entah bicara apa. Angin yang sedari tadi dingin, semakin dingin. Di depan sana, Danau Segara Anak, yang berwarna biru ketika tampak dari atas, kali ini dia muram; abu-abu oleh kabut tebal. Kabut yang seperti kepulan uap ketika nasi baru saja selesai ditanak dengan kukusan di atas anglo.
Saya sempat berjalan menuju air terjun Aik Kalaq di bukit seberang. Sejenak merendam kaki di kolam air panas. Bulan tidak ikut, hanya saya, Drian, dan Angga. Jaraknya tidak begitu jauh, berjalan santai sekitar limabelas menit. Treknya pun tidak sulit, hanya saja kami tetap harus berhati-hati karena jalanan licin.
Air terjun itu sangat megah. Bagaimana tidak? Gemuruhnya saja terengar dari Segara Anak. Kami menyusuri sungai dangkal dengan riak-riak kecil, menapaki satu demi satu batu yang berjajar seolah seperti jembatan. Sejuk.
Duduk di tepian kolam air panas, hanya kaki saja yang berada di dalam kolam air panas. Memijat-mijat kaki sembari bermain air. Angga berujar, “Air di sini bisa untuk penyembuhan, Kak.” Dia melanjutkan, “Di sini juga sebagai tempat bersembahyang para penduduk.” Saya mendengarkan sambil terus bermain air. Ya, masyarakat desa di Indonesia biasa menjadikan air sebagai tempat menyerahkan persembahan kepada Tuhan. Menghanyutkannya ke laut dan sungai segala hasil Bumi yang sudah diberikan oleh alam; melarung.
Tumblr media
***
Saya berjalan menuju tepi Danau Segara Anak. Danau yang, kali ini, berada di depan mata itu megeluarkan kepulan uap seperti nasi yang baru saja selesai ditanak dengan kukusan di atas anglo. Danau yang yang berwarna biru ketika terlihat dari atas. Danau yang kali ini muram; abu-abu.
Saya mengambil beberapa foto dari gawai. Mengabadikannya, karena entah kapan lagi saya bisa ke sini lagi. Atau, mungkin saja tidak akan kembali.
Tumblr media
Lalu tiba-tba terdengar suara memanggil. Saya yang sedang tidak memakai kaca mata berjalan mendekati sumber suara itu, yang ternyata adalah Angga. Dia bergabung bersama pendaki lain sedang memancing. Lumayan banyak hasil tangkapanya, sekitar enambelas ekor.
Ya, tempat ini adalah sebuah muara bagi sekawanan ikan yang berenang bebas hanya untuk tiada. Senjakala lewat; saya masuk ke dalam tenda untuk beristirahat, mengembalikan tenaga yang terkuras. Supaya esok hari bisa kembali berjalan, naik menuju Plawangan Senaru, lalu turun menuju desa terakhir tempat kami memulai pendakian.
Sore ini di Segara Anak. Langit semakin tua. Waktu hari hampir lengkap, menunggu senja. Putih, kita pun putih memandang setia. Sampai habis semua senja.*
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
(bersambung)
* Lanskap – Saparadi Djoko Damono
0 notes
perempuanbanyu · 7 years
Text
Saya Tahu, Saya Mencintaimu Sebelum Bertemu, Rinjani (Bagian 3)
Tumblr media
“Mbak Widi, ini makannya,” ucap Bang Edi, porter kami, seraya membuka pintu tenda dan mengulurkan sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauk. “Mau minum apa, Mbak?” lanjutnya. “Susu coklat, Bang Edi. Terima kasih.” jawab saya dengan suara yang masih berat. Pagi yang dingin. Pagi yang gelap dengan angin yang berhembus kencang. Pagi yang dini. 00.00 WITA. 4 Mei 2017. Plawangan Sembalun.
***
Hanya saya dan Angga yang mendaki menuju puncak Rinjani. Bulan memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan dan menunggu saya di Plawangan Sembalun, ditemani Drian.
Mengulur langkah di belakang Angga, saya berjalan memasuki hutan pohon cemara gunung. Tidak begitu lebat, hanya malam pekat. Saya raih apa saja untuk berpegangan, menarik tubuh dengan tangan, membantu kaki yang sejak kemarin bekerja keras. Dalam gelap. Dalam malam. Meraih apa saja.
Akar.
Rumput.
Batu.
Berjalan di hutan dalam remang malam, hanya tampak bintang-bintang di angkasa, yang kali ini, jumlahnya tak terhingga. Sepasang pendaki, lelaki dan perempuan, berjalan mendahului, ketika saya istirahat, mengatur napas. Kuat sekali mereka, ucap saya entah kepada siapa. Tapi biarlah, di sini bukan arena adu cepat dan kekuatan. Dalam derap langkah yang lebih pelan dari kemarin namun tetap konstan, saya hanya berdoa semoga selamat.
Saya menoleh ke belakang; cahaya lampu senter berkerlip-kerlip. Lampu senter pendaki yang juga berjalan menuju puncak, atau tenda-tenda yang berjajar di Plawangan Sembalun, tampak dari kejauhan. Lampu-lampu senter itu yang, kali ini, cahayanya terlihat memanjang seperti kereta malam berjalan dalam gelap. Saya menarik napas dengan dalam. Hutan yang curam.
“Lewat sini, Kak” ucap Angga sambil menunjukkan jalan yang dipilih untuk ditapaki. Melipat sedikit demi sedikit jarak menuju puncak, saya bertanya pada diri sendiri, apakah saya kuat? Apakah saya bisa? Saya menarik napas dalam-dalam. Meraih akar yang menjulur keluar dari tanah, menarik tubuh dengan tangan seraya menjawab pertanyaan diri sendiri, pasti bisa.
Pasti bisa. Ucapan yang keluar berbarengan dengan napas yang dalam, setelah selesai menatap ke langit dengan jutaan bintang dan kembali berjalan. Ucapan untuk menutupi rasa takut yang, kali ini, hadir luar biasa, karena mendaki Gunung Rinjani sebetulnya hal yang berada di luar jangkauan.
“Ayo, Kak” Angga menyemangati, kemudian melanjutkan, “Sebentar lagi Puncak Bayangan, kita istirahat di situ.” sambil menunjuk sebuah bukit setelah jalur berbelok yang tampak dari kejauhan. Saya menarik akar yang menjulur keluar dari tanah, kemudian menancapkan trekking pole ke tanah lalu mengangkat badan. Saya pasti bisa, ujar saya kepada alam.
Lampu senter para pendaki semakin banyak terlihat. Ada beberapa yang berjalan mendahului. Kerlipnya semakin panjang seperti kereta yang berjalan di tengah gelap. Kami berdiri di atas bukit yang sedikit landai. Malam masih dini. Seteguk air mengalir di kerongkongan, menghilangkan sedikit dahaga. Di atas terpampang jalan menukik menuju puncak. Saya bertanya kepada Angga di mana puncaknya? “Di balik bukit yang ini, Kak” Angga menunjuk ke sebuah bukit di ujung atas dengan cahaya senter.
Dalam derap langkah yang pelan namun konstan, kami telah melewati seperempat bagian perjalanan. Kali ini berjalan di trek yang cukup landai, sudah keluar dari hutan. Bintang semakin banyak jumlahnya. Mereka berlomba saling memancarkan sinarnya, membentuk pemandangan sungai langit yang menjulur dari timur ke barat.
Saya menengadah ke atas. Sungai langit itu cantik sekali. Taburan milyaran bintang menari di angkasa. Kata orang, itu Galaksi Bima Sakti. Lihat, ada bintang jatuh, seru saya dalam hati.
Pemandangan yang biasanya hanya dilihat dari foto-foto dengan teknik tinggi, kali ini saya melihat dengan mata sendiri. Tidak terpikirkan oleh saya untuk mengambil gawai lalu mengabadikannya dalam satu sentuhan. Tidak. Saya ingin pemandangan cantik itu hanya masuk sempurna ke kornea mata, lalu terekam dalam memori. Tidak ada yang bisa menggantikannya, bahkan secanggih apapun kamera tidak berhasil mengambil rupa sesempurna mata.
Ada bintang jatuh lagi.
“Ayo, Kak,” ucap Angga memberi semangat. Saya menarik napas dalam sekali, kembali mengayuh kaki dengan berat, melipat jarak menuju puncak. Mengayuh pelan namun dalam tempo konstan. Trek hutan sudah tidak ada lagi, yang tersisa hanyalah medan pasir dengan kemiringan 45°. Lima langkah menapak naik, satunya merosot turun. Begitu saja terus.
Angin dingin yang berhembus semakin kencang hanya terasa di wajah. Kali ini, lapisan pakaian yang saya kenakan sedikit berbeda dari sebelumnya; kaos pada bagian dalam, jas hujan plastik, lalu jaket tebal di bagian luar. Iya, jas hujan plastik. Jas hujan plastik itulah yang menghalangi angin masuk ke tubuh.
***
Pendaki semakin banyak, berjalan mendahului. Kami duduk di atas batu di sisi barat dari jalan menuju puncak, istirahat sebentar. Segelas air hangat diulurkan oleh Angga. Saya membuka panganan kecil yang dibawa untuk bekal. Belakang kami, Danau Segara Anak yang belum terlihat. Di depan ada satu bintang yang sangat terang nyalanya. Mungkin Mars. Atau Venus. Ah, bintang jatuh melintas lagi.
Sesaat setelah istirahat, kami lanjutkan perjalanan. Trek pasir dengan kemiringan 45° belum waktunya habis. Malah semakin berat. Tiga langkah naik, satunya merosot turun. Dua langkah naik, satu merosot. Lalu berhenti. Begitu saja terus. Batu yang dikira keras ternyata hanya kumpulan pasir yang berkumpul mengendap. Ketika diinjak, mereka pecah. Lalu merosot lagi.
Bintang jatuh lagi. Kali ini melaju panjang dengan ekor oranye.
Ada seorang pendaki perempuan, yang katanya telah berhasil mencapai puncak Everest, berhenti, menangis, ingin kembali ke bawah. Menyerah. Lagi-lagi saya bertanya pada diri sendiri, apakah kuat? Apakah bisa? Saya terus berjalan mendahului perempuan itu sambil bergeming, pasti bisa. Lalu di langit tampak lagi ada bintang yang melintas.
Langkah semakin berat dan lama. Trek yang tak kunjung usai. Entah pukul berapa saat itu. Mungkin empat. Atau lima. Atau bahkan masih tiga. Saya menunduk sambil memejam mata. Manahan rasa tangis yang sudah naik sampai batas tenggorokan, atau kerongkongan, atau hidung. Terserah.
Isak yang hampir keluar itu menghilang ketika saya melihat ke langit. Bintang yang, saat ini, mungkin saja sudah trilyunan, seolah memberi semangat untuk saya terus berjalan. Bintang yang, salah satunya, kembali saya lihat melintas putih di angkasa. Tidak jadi menangis. Tidak jadi menyerah.
“Ayo, Kak,” Angga terus memberi semangat. Semangat yang akhirnya membuat saya menghabiskan medan pasir yang sudah tidak terjal lagi, menggiring sampai kelokan dengan dua batu besar di kanan-kiri, membawa saya menuju 3726 meter di atas permukaan air laut. Ya, Rinjani.
***
Tumblr media
Saya duduk di tepi jurang Dewi Anjani, menunggu Matahari terbit. Angga mengulurkan air hangat lagi. Kali ini, air hangat itu saya campurkan sedikit kopi tanpa gula. Segelas kecil kopi pahit yang kami bagi dengan dua pendaki lainnya. Menunggu Matahari terbit.
Lima menit berselang, langit yang semula hanya biru kemudian berubah menjadi semburat kuning dengan kilau keemasan. Di timur, mentari sedang beranjak. Pendaki yang sedari tadi menunggu, berdiri berjajar di tepian, berlomba mengabadikan dengan gawainya, seraya berdecak kagum akan keindahanannya.
Tumblr media
Begitu pun dengan saya. Menyaksikan kebesaran ciptaan Tuhan di atas gunung tertinggi ketiga di negeri ini, bukan hal yang mudah. Ada langkah yang pelan, ada napas yang menderu dengan hebatnya, ada jantung yang berdegub cepat, ada tangis yang hampir tumpah.
Segelas kopi panas masih tergenggam oleh kedua tangan. Saya masih melihat sinar kuning yang terus beranjak semakin kuning dan semakin emas. Semakin tinggi. Di ujung timur, tampak Pulau Sumbawa dari kejauhan. Dalam hati bergeming, saya berada di di sini bukan untuk dianggap hebat, melainkan untuk meyakinkan diri sendiri bahwa saya pasti bisa.
Tumblr media
Dari jurang Dewi Anjani, saya beranjak ke tepian tebing kawah Segara Anak. Biru air danau bagai lautan itu tidak kalah mempesona. Danau dengan anak Rinjani, Gunung Barujari yang sedang mengeluarkan asap tipis ke angkasa. Cantik. Saya bergeming dalam hati, saya tahu, saya mencintaimu sebelum bertemu.
Tumblr media
***
Tumblr media
Angin yang semakin bertiup kencang dan kabut yang mulai naik akhirnya mengharuskan kami untuk segera turun. Menyusuri kembali jalan berpasir dengan kemiringan 45° itu. Kali ini, bunga edelweiss tak tak tertutup malam, tampak di hamparan jurang sisi timur.
Tumblr media
Sepanjang jalan kembali menuju camp terakhir, saya tak habis berucap syukur atas apa yang baru saja dialami. Bersyukur akhirnya saya bisa sampai puncak. Langkah yang pelan, napas yang menderu, degub cepat jantung, tangis yang hampir tumpah, terbayarkan dengan pemandangan Rinjani yang cantik sekali, salah satu karya Tuhan yang diciptakan di Nusantara.
Di tengah jalan, kami sempat bertemu dengan sepasang suami istri yang baru akan mendaki puncak. Usianya tidak dikatakan muda lagi. Si Bapak berumur 59 tahun, dan si Ibu 54 tahun. Tetapi semangatnya tidak terkalahkan oleh siapa pun, mereka kuat sekali. Saya sempat berfoto bersama, memberi tanda bahwa, kami pernah bertemu dan berkenalan di Gunung Rinjani.
Tumblr media
***
“Widiiiii!” terdengar teriakan Bulan dari kejauhan. Saya mencari sumber suara itu. Bulan, berdiri di depan tenda kami, melambai-lambaikan tangan.
Dan ketika hutan yang pertama tadi sudah tidak lebat lagi, ketika deretan tenda yang, sebelumnya, hanya terlihat lampu berkelip, akhirnya tampak warna-warninya. Saya sampai di Plawagan Sembalun dengan selamat dan hidup.
Tumblr media
(bersambung)
1 note · View note
perempuanbanyu · 7 years
Text
Saya Tahu, Saya Mencintaimu Sebelum Bertemu, Rinjani (Bagian 2)
Tumblr media
Mentari sudah memancarkan kekuatannya. Tersisa di meja kopi panas dan obroloan ringan setelah sarapan. Suara burung terdengar cicitcuit bersautan, seolah mengerti dan menanggapi obrolan kami. Kelompok kecil kera tampak keluar dari hutan, berjalan di dinding jurang tebing sebelah, yang mungkin juga ingin menyapa. Masih di Pos 3. Hari kedua.
Tumblr media
***
Bebatuan menukik tajam tertanam di sela tanah dan rumput. Keringat terasa mengucur di seluruh tubuh. Mengulur jarak di belakang Angga, saya melihat thermometer di gawai, masih 36°C. Berselang beberapa meter di belakang, Bulan dan Drian mengikuti berjalan dengan tempo yang lebih lama.
Ketika selesai dengan trek batu yang tajam menukik ke atas, kami masih dihadapkan oleh savana yang tak terbatas. Batasnya hanya langit biru dengan kabut putih tipis menutupi puncak. Angin sepoy-sepoy terus berbisik entrah kepada siapa?
Pada titik ini, sudah tidak ada sapi. Sapi yang, oleh si penggembala, hanya dibawa sampai dengan Pos 2. Hanya kera yang kadang tampak di bukit seberang. Kera yang menjadi habitat primadona dari segala binatang yang ada di Gunung Rinjani.
Tumblr media
***
Kata orang, Tujuh Bukit Peyesalan adalah trek terberat sebelum sampai ke Plawangan Sembalun. Jalur zig-zag yang tak putus-putus itu seolah menghadirkan penyesalan para pendaki Rinjani. “Itu Tujuh Bukit Penyesalan, Kak” kata Angga sambil menunjuk jalur zig-zag yang tak berujung itu. Saya menoleh yang dimaksud. Angga melanjutkan, “Tapi sudah tidak dipakai lagi. Sekarang pendaki lewat sini, Bukit Penyiksaan”. Bah, apa bedanya? geming saya dalam hati. Jalur yang katanya lebih ringan ini pun sama-sama menyiksa dan menghadirkan penyesalan, walaupun tidak sampai tujuh tingkat. But, there’s no reason to way back. Ketika kamu sudah memutuskan untuk melangkah, teruslah berjalan walaupun pelan.
Dalam derap langkah yang pelan namun konstan, beberapa jam berselang, kabut yang semula hanya berdiam di puncak gunung, oleh angin terbawa turun sampai di tempat kami, dan dengan cepat mengubah molekulnya menjadi hujan. Kali ini, hujan turun lebih lebat dibanding hari kemarin.
Berjalan dengan menggunakan jas hujan memperlambat langkah kami. Tapi anehnya, di tengah guyur hujan saya bersyukur, karena tanah menjadi basah dan tidak berdebu. Ya, di dalam perjalanan berat sekalipun, masih tersisa kebaikkan bisa didapat.
Hujan masih mengguyur tanah sampai kami tiba di Pos 4, bahkan lebih deras dari sebelumnya. Keadaan shelter ramai sekali, kami hanya bisa berteduh, berdiri di sisi luar shelter. Saya mengambil coklat yang ada di dalam tas. Berbincang dengan pendaki lain, menunggu hujan reda seraya menikmati sebatang coklat untuk menambah tenaga.
Lalu ketika ada sekelompok pendaki yang beranjak dari shelter, kami yang semula hanya berdiri di tepi, bisa masuk dan duduk di dalam. Coklat masih ada di genggaman, kadang saya melamun, memperhatikan tetes air yang jatuh dari tepi atap. Tiap tetesnya seperti tempo lagu yang saling sahut. Tiap tetesnya membentuk irama yang, barangkali, hanya orang melamun bisa menikmatinya.
***
Di dalam hutan ini, semua berjalan dalam diam. Berjalan menunduk dan hanya sesekali melihat ke arah depan, untuk melihat keadaan trek. Hutan ini luar biasa menurut saya. Menukik tajam tanpa ampun. Antar anak tangga berjarak lumayan tinggi, memaksa kami berjalan dengan menggapai apa saja yang ada di depan untuk bisa dipegang. Akar dan rumput.
Batu.
Apapun, supaya bisa membantu mengangakat tubuh.
Masih mengulur jarak di belakang Angga, lagi-lagi saya membayangkan jika saja keadaan tidak hujan. “Gila ya, Ngga, beruntung lho kita kena hujan” ucap saya pada Angga. “Iya, Kak. Ngga debuan” jawabnya menyetujui ucapan saya.
Saya mengatur napas yang bersahut dengan degub kencang detak jantung. Teringat perkataan Angga, “Kalau detak jantungnya cepat, istirahat, Kak”. Berdiri dan bersandar di sebuah pohon besar, mengambil air mineral yang terselip di kantong tas bagian samping, saya berusaha mencari sosok Bulan yang berjalan di belakang. Pemandangan hutan yang dipenuhi kabut yang cukup tebal mempersulit untuk melihat tas berwarna oranye milik Bulan. Sedikit rasa kuatir terhadap Bulan terlintas dalam benak. Tapi saya yakin, Drian tidak akan meninggalkan Bulan satu kedipan mata Anoman sekalipun.
Dan kemudian saya kembali berjalan.  
***
Hujan berhenti ketika kami sampai di sebuah tanah yang sedikit luas di dalam hutan Bukit Penyiksaan, beberapa jam berjarak di utara Pos 4. Kabut masih tipis menghembus di sela-sela ruang kosong di antara pohon.
Cemara yang tinggi.
Kami bertemu dengan pendaki asal Jakarta. Tanpa aba-aba, berbagi kehangatan adalah aktivitas tanpa sadar yang dilakukan pendaki jika saling bertemu. Rokok, makanan, minuman, tawa canda yang, mungkin saja, sulit ditemukan di perkotaan. Karena bertemu dengan orang baru adalah satu hal yang bisa membuka mata dan pikiran, walaupun hanya sesaat. Sesaat yang, kali ini, seolah membuat sirna rasa dingin kabut menusuk di tulang.
***
“Di atas bukit itu sudah Plawangan Sembalun, Kak. Sebentar lagi”, ujar Angga seraya menunjuk atas bukit di sisi kiri. Saya mengarahkan mata ke tempat yang dimaksud. Dalam langkah dengan tempo yang sama dari sebelumnya, saya berbicara entah dengan siapa, “Ayo, Widi”.
Berjalan di setepak yang, lebarnya tidak lebih dari satu meter, dengan jurang di sisi kiri, membuat saya gemetar ketika berusaha menoleh ke belakang untuk kembali melihat Bulan. Kami berjarak mungkin dua lekukkan. Bulan, yang tampak dari sela-sela kabut, berjalan menunduk, berada tiga langkah di depan Drian. Saya meyakinkan diri sendiri, mereka baik-baik saja.
Jurang di sisi kiri ternyata menghadirkan pemandangan jejeran bukit seberang yang hijau nan elok. Punggung saling menimpa dengan warna gradasi hijau muda sampai tua. Kabut tipis tersela di tengah-tengah, yang entah menutupi apa. Di ujung sana, desa yang, mungkin Sembalun, tampak seperti mainan. Tapi ini bukan mainan.
Tumblr media
***
Tiba-tiba saja Angga memperlambat langkahnya, dan mempersilakan saya berjalan lebih dulu. ketika saya berjalan mendahuluinya, dia berujar, “Selamat datang di Plawangan Sembalun”.
Saya berjalan masih dengan tempo yang konstan. Berjalan menatap ke arah depan, melihat pemandangan yang terpajang di hadapan.
Plawangan Sembalun.
Bibir kawah dengan Danau Segara Anak di tengah-tengah. Danau yang, kala itu, walaupun tertutup kabut, masih menyisakan biru kecantikan di sisi pinggirnya. Saya menarik napas dalam-dalam.
Tak lama Bulan akhirnya sampai di tempat saya berdiri. Saya berteriak, “We did it!” sambil berpelukkan.
Tumblr media
2639 meter di atas permukaan laut, bukan hal yang mudah bisa sampai di tempat ini. Ada langkah dengan tempo yang lama namun konstan. Ada napas dengan degub jantung yang saling memburu dengan hebatnya. Ada dingin yang masuk melalui sela pori-pori. Ada angin yang berhembus kencang.
Ada wajah yang pucat.
***
“Kita ngecamp di mana, Ngga?” tanya saya kepada Angga ketika kami selesai istirahat sejenak di tempat tiba pertama. “Di sebelah atas sana, Kak.” jawabnya seraya mengajak untuk kami menuju tenda yang sudah didirikan oleh porter.
Kami berjalan santai menuju tenda. Dan benar, dua tenda sudah berdiri di dekat shelter paling ujung Plawangan Sembalun. Kera-kera berkeliaran mencari kaisan sisa makanan pendaki. Kera-kera yang tak terhitung jumlahnya. Bah, siapa pula yang mau menghitung kera?
***
Segelas susu coklat panas tergenggam di tangan. Kami duduk di pinggir tebing Danau Segara Anak. Danau dengan air berwarna biru, hijau, dan toska berlomba siapa yang paling unggul. Sepiring pisang goreng baru saja dihantarkan oleh Bang Edi. Saya memandang ke sisi timur, tampak Gunung Barujari, anak Rinjani yang menyembulkan asap tipis menari ke angkasa. Angkasa yang kali ini masih menyisakan kuning keemasan.
Selesai di sisi timur, saya beralih ke barat, gumpalan awan berdansa menutupi desa yang, barangkali Sembalun, atau entah apa. Di sisi selatan, ada Bang Ana di dalam shelter, berusaha mengusir seekor kera yang berusaha masuk ke dalam tenda.
Saya menyeruput sisa susu coklat yang mulai hangat. Berjalan menuju hammock yang sudah tergantung di dua pohon.
Plawangan Sembalun, 4 Mei 2017, 4.20 sore.
 (bersambung)
Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media Tumblr media
0 notes