Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
JEDA DI UJUNG JEMARI.

Jika aku bisa mencabik takdir dan menjahitnya ulang dengan tanganku sendiri, aku ingin menulis dunia di mana cinta tidak tumbuh dari luka. Tidak ada lagi janji-janji yang diludahkan sembarangan, tidak ada lagi sentuhan yang terasa lebih dingin dari batu nisan. Aku ingin menulis cinta yang tidak terasa seperti perang, tidak menjadi neraka yang harus dijalani berdua sambil berharap salah satu dari kami mati lebih dulu.
Tapi dunia seperti itu hanya ada di atas kertas.
Kenyataannya, cinta selalu datang bersama pisau. Ia membelai dengan lembut sebelum akhirnya menggores dalam-dalam, membuat kita percaya pada kehangatan sebelum mencampakkan kita ke jurang kedinginan. Cinta adalah kontradiksi paling menyebalkan—ia menjanjikan tempat bernaung, tapi juga menjadi badai yang menghancurkan segalanya.
Mungkin, kalau aku punya kuasa untuk menulis ulang takdir, aku tidak akan menciptakan cinta yang lebih baik. Tidak akan mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih lembut. Sebaliknya, aku ingin menciptakan manusia-manusia yang lebih tahan terhadapnya. Manusia yang tidak lunglai hanya karena ditinggalkan, tidak runtuh hanya karena dikhianati. Aku ingin dunia di mana orang bisa mencintai tanpa harus menjadi pecundang yang terjebak dalam nostalgia murahan.
Tapi sialnya, saat memikirkan semua itu, dadaku justru terasa kosong. Seperti lubang di tengah tubuh yang tidak bisa ditambal. Aku bisa saja mengutuk cinta, menertawakannya, merendahkannya seolah aku tidak peduli. Tapi di dalam lubuk yang paling sunyi, aku tahu aku masih menginginkannya. Dengan rakus. Dengan marah. Dengan kepasrahan seorang pecandu yang tahu bahwa sesuatu yang ia butuhkan justru adalah hal yang paling menghancurkannya.
0 notes
Text
Nirkata Teramat Maha.

Jati tidak pernah tahu bagaimana cinta seharusnya berwujud. Sebab sejak kecil, Jati telah diajari bahwa kasih sayang bukanlah sesuatu yang diberikan cuma-cuma, bahwa setiap genggaman memiliki batas waktu, bahwa kehangatan hanyalah jeda sebelum seseorang kembali mencengkeram tengkuknya dan menuntut sesuatu sebagai gantinya.
Jati tidak pernah meminta cinta, karena bagi seseorang yang lahir di dunia sepertinya, cinta hanyalah dongeng usang yang diceritakan untuk menenangkan anak-anak sebelum mereka dilempar ke realitas yang kejam. Tapi jika cinta memang ada, jika cinta bukan sekadar kebohongan yang didaur ulang dari generasi ke generasi, maka ia telah merasakannya.
Jika cinta bisa mengambil bentuk seorang manusia, maka bagi Jati, cinta adalah Noah.
Noah yang tidak pernah menawarkan janji-janji manis, tapi selalu ada setiap kali Jati menengok ke belakang. Noah yang tidak pernah berkata bahwa ia akan tinggal, tapi entah bagaimana, langkahnya selalu seirama. Noah yang tidak menawarkan penyelamatan, tidak meninabobokan Jati dengan janji-janji kosong, hanya diam di sisinya dengan cara yang membuat dunia terasa sedikit lebih mudah untuk ditanggung.
Cinta Noah bukan kata-kata yang manis didengar, bukan rayuan yang bisa diulang-ulang di kepala untuk meyakinkan hati. Cinta Noah adalah sesuatu yang tidak bisa disebutkan namanya, yang hanya bisa dirasakan dalam hal-hal kecil: dalam sigaret yang disulut lebih dulu sebelum ia sempat meraihnya, dalam jaket yang disampirkan ke pundaknya tanpa banyak bicara, dalam tatapan yang tidak pernah menuntutnya untuk menjadi seseorang yang lain.
Jati tidak tahu apakah Noah mencintainya. Tidak tahu apakah kehadiran Noah adalah sesuatu yang bisa disebut sebagai cinta, atau hanya bentuk dari kesetiaan yang tak punya nama.
Tapi bagi Jati, Noah adalah satu-satunya cinta yang tidak harus diterjemahkan menjadi kata-kata. Cinta yang tidak meminta imbalan, tidak mengikat, tidak menjebak.
Dan bagi Jati, itu sudah lebih dari cukup.
0 notes
Text

Matahari turun perlahan, menyudahi tugasnya untuk hari ini sebab bulan sudah menunggu giliran. Gerimis dan kabut tipis menyelimuti rumah bordil yang berdiri di pinggiran kota dengan keheningan yang tak terdeskripsi.
Suara tawa riang terdengar dari salah satu kamar yang pengap, menggema di antara dinding-dinding yang acap saksikan hal-hal yang tak seharusnya. Di bawah cahaya lampu yang meredup, Jati duduk di atas kursi tua, ia dikelilingi pekerja-pekerja muda yang nampak semangat membawa tangan-tangan cantiknya untuk memoles Jati.
Mereka mendandaninya laiknya boneka tua yang diwariskan turun-temurun; pipinya dipulas samar, bibirnya disereti warna delima, rambutnya yang tak seberapa panjang diikat dan diberi pita seperti anak perempuan yang hendak pergi ke pesta. Gaun lusuh yang kebesaran membungkus tubuh ringkihnya, seolah hendak menelannya bulat-bulat dalam keanggunan yang tak lekang oleh waktu.
"Kamu manis sekali, Jati." salah satunya berujar dengan jemari yang membelai pelan pipi Jati sebelum tergelak, bangga pada karyanya.
Jati diam, telinganya menangkap pujian itu dengan gamang. Ia sudah terbiasa dijadikan hiburan di antara lelah mereka, sekadar selingan sebelum kembali terjebak dalam hidup yang telah memilih mereka tanpa belas kasih. Dan Jati mafhum betul ini bukan penghinaan maupun kebencian. Hanya bentuk lain dari pelarian. Dari hidup yang menggiling mereka tanpa jeda.
Meski begitu, tiap mereka hadiahkan kata cantik untuk Jati, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, ada sesuatu dalam dirinya yang menyusut. 𝘒𝘢𝘵𝘢 𝘪𝘵𝘶 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘥𝘪𝘴𝘢𝘯𝘥𝘢𝘯𝘨 𝘰𝘭𝘦𝘩𝘯𝘺𝘢.
Kemudian, di ambang pintu, seseorang berdiri.
Noah.
Jati tak sadar kapan anak itu datang. Anak yang dua tahun lebih tua darinya, anak yang baru kali ini dapat Jati lihat secara nyata sebab biasanya, Jati hanya tahu Noah dari mulut ke mulut. Anak dari pemilik rumah bordil ini, katanya. Anak yang tumbuh dengan dua dunia di tangannya; satu yang memberinya kuasa untuk keluar kapan saja, satu lagi yang merantai kakinya di kubangan yang sama dengan Jati.
Mata mereka bertemu.
Tidak ada tawa di wajah Noah. Tidak ada ejekan maupun keterkejutan yang diuat-buat. Ia hanya berdiri di sana, memandang Jati dengan kepala sedikit miring, seolah mengamati sesuatu yang belum pernah ia lihat seumur hidupnya.
Kemudian, di tengah kerlip lampu yang nyaris padam, sudut bibir Noah sedikit terangkat. Ia tersenyum kecil. Manis.
"Kamu cantik."
Jati membeku.
Dapat ia rasa panas menjalar ke tiap inci wajahnya dalam sekejap. Dadanya mengerut, malu, kecil, seolah Noah baru saja menyentuh sesuatu yang paling rapuh dalam dirinya. Jati sudah biasa mendengar kata itu, tapi tidak dari seorang laki-laki, tidak dari seorang yang melihatnya bukan sebagai permainan, bukan sebagai hiburan di waktu senggang.
Noah benar-benar melihatnya.
Tangan Jati bergerak refleks, buru-buru menghapus warna di bibirnya dengan punggung tangan, matanya menunduk, ingin menyusut sekecil mungkin di kursinya. Rasanya, ia telanjang di bawah tatapan Noah, terpergok dalam bentuk yang tidak seharusnya ia perlihatkan. Ia tidak ingin dilihat seperti ini. Tidak oleh seseorang seperti Noah.
Tapi sejak malam itu, eksistensi Noah terus mengganggu kesehariannya. Anak itu selalu punya cara untuk menyelinap di serangkaian kegiatan yang Jati lakukan. Noah tidak pernah berhenti.
Di lorong-lorong sepi, di sela perbincangan singkat, di antara nyala rokok yang berpindah tangan, Noah akan meluncurkan kata itu seperti mantra yang tak pernah kehilangan maknanya; seolah ia menikmati bagaimana wajah Jati akan memerah, menikmati bagaimana Jati mengalihkan pandangan dengan canggung.
"Kamu cantik."
Tak pernah ada nada mengejek, pun kebohongan yang dapat tercium.
Pernah suatu malam Jati mengeluarkan isi kepala, "kenapa kamu selalu bilang aku cantik?" suara lihirnya hampir tenggelam oleh suara kipas tua yang berdengung malas.
Noah hanya mengangkat bahu, mengembuskan asap rokoknya, "karena memang cantik."
Jati ingin sekali menyangkal, ingin berkata bahwa ia laki-laki, bahwa kata itu bukan untuknya, bahwa Noah harusnya memilih kata lain. Tapi entah kenapa, di antara kebohongan yang mengisi rumah ini, kata-kata Noah terdengar terlalu jujur. Terlalu nyata. Hanya Noah yang mengatakannya tanpa membuat Jati merasa seperti sedang dihakimi.
Mereka makin dekat. Makin merekat.
Mereka berbagi rokok yang sama, berbagi rahasia yang tak bisa diceritakan pada siapa pun, berbagi luka yang meski berbeda bentuk, sama-sama mengakar di darah mereka.
Jati seorang anak pendosa, seseorang yang dunia pandang dengan jijik bahkan sebelum ia sempat memilih takdirnya sendiri. Sementara Noah, meski hidupnya satu tingkat lebih baik, tetap jadi bagian dari tempat ini; tempat yang akan selalu menempel di namanya, tak peduli seberapa jauh ia mencoba pergi.
Noah dan Jati. Dua anak laki-laki yang hidup di antara dosa, yang tumbuh dalam kubangan yang sama meski garis takdir mereka tak pernah benar-benar setara.
Di antara semua itu, ada satu hal yang tak pernah berubah. Bahkan setelah bertahun-tahun berlalu, bahkan ketika mereka bukan lagi bocah ingusan, bahkan ketika Jati telah menanggalkan semua sisa riasan di wajahnya; di mata Noah, Jati akan selalu terlihat cantik.
0 notes
Text
Tak Terdefinisi

𝘑𝘢𝘥𝘪 𝘴𝘪𝘮𝘱𝘢𝘯𝘢𝘯. Jati tidak sepenuhnya bercanda ketika berkata demikian saat ditanya apa pekerjaan yang paling cepat mengisi kantong.
Pernah, untuk waktu yang cukup lama, ia menjadi sesuatu yang 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘪𝘵𝘶. Mereka bertemu di suatu malam, di tempat di mana Jati biasa menghabiskan tenaganya pada hari Minggu. Semuanya mengalir begitu saja; mereka mengobrol, Jati diajak ke suatu tempat, dan berakhir pada hubungan yang Jati sendiri tak dapat definisikan.
Pria itu, seorang pria paruh baya, wajahnya lelah tapi dompetnya selalu gemuk. Katanya, pernikahannya hanyalah tuntutan. Katanya, istrinya tak pernah mencintainya. Katanya, Jati mengingatkannya pada sesuatu yang dulu pernah ia miliki— sesuatu yang tak pernah benar-benar ia dapatkan.
Jati tidak pernah bertanya apa maksudnya. Ia hanya duduk di seberang meja, menyaksikan pria itu menyesap anggur merahnya, membiarkan suara malam menelan kekosongan di antara mereka. Terkadang, ada jeda panjang sebelum pria itu kembali berbicara, seakan menimbang apakah Jati benar-benar ada di sana, atau hanya ilusi yang ia sewa untuk mengisi ruang-ruang hampa dalam dirinya.
Tak ada sentuhan, tak ada ciuman, hanya sekadar bincang dalam kelam yang dibersamai botol demi botol; menumpahkan sepi tanpa pernah benar-benar mengusirnya.
Mungkin, Jati hanya kabut tipis yang menyelimuti malam-malam pria itu, sesuatu yang akan menguap begitu fajar merekah. Atau mungkin, pria itu adalah jalan pintas bagi Jati, cara untuk berpura-pura bahwa dirinya diinginkan, walau hanya sampai mabuk menghabisi kesadaran mereka.
Tak ada janji, tak ada kepemilikan, tak ada tuntutan. Hanya waktu-waktu yang mereka jual dan beli; yang penting, dompet Jati menggemuk di pagi hari.
0 notes
Text
Ada Sesuatu di Bandung.

Gusti Prabhajati hadir di Bandung seperti paus terdampar di sebuah pantai yang tak ia kenal. Kota itu bukan rumah, tapi juga bukan asing; Bandung sekadar tempat di mana ia bisa tenggelam tanpa perlu dibredeli pertanyaan.
Kota itu tak memberinya pelukan, tetapi juga tak mengusirnya. Bandung hanyalah tempat yang cukup jauh untuk lari, cukup luas untuk tenggelam tanpa jejak. Ia datang bukan karena panggilan, tapi karena pelarian—upaya sia-sia melarikan diri dari kubangan dosa yang telah membentuknya sejak pertama kali ia menangis di dunia.
Noah adalah nama yang terukir dalam kisah kepergiannya. Pemuda itu memberinya jalan keluar, atau mungkin ilusi sebuah jalan. “Lari yang jauh, Jati,” ucapan Noah masih berdengung di kepalanya sampai hari ini. Noah tak pernah tahu, bahwa dosa-dosa tidak pernah benar-benar ditinggalkan. Mereka melekat, seperti bayang-bayang di bawah matahari, menuntut harga yang hanya waktu dan jiwa yang bisa membayarnya.
Di Bandung, Jati mengenakan topeng. Kepada orang-orang, ia berkata bahwa ia datang untuk berkuliah. Tetapi kenyataan yang ia hadapi jauh dari elegan. Hidupnya adalah deretan pekerjaan serabutan—mencuci piring di sudut warung yang bau amis, mengantar paket dengan motor tua yang sering kali mati tanpa aba-aba, hingga menyapu lantai di tempat yang namanya tak pernah ia ingat. Selain untuk uang, rentetan pekerjaan itu ia lakukan untuk mengisi kekosongan yang terus menggema di dadanya, sebuah ruang hampa yang semakin hari terasa makin besar, makin dalam.
Malam di Bandung adalah lembaran cerita yang lebih tajam dari siangnya. Di kota yang tak pernah tidur, ada masa di mana Jati terjaga sepanjang malam, terjebak dalam pertarungan sunyi melawan pikirannya sendiri. Ia memandang lampu-lampu jalan yang berkedip, berharap menemukan sesuatu di antara sorot kuningnya. Tetapi tak ada yang datang. Tak ada siapa-siapa.
Bandung hanya diam, menjadi saksi dari kehancuran seorang anak yang mencoba menebus sesuatu yang bahkan ia tak mengerti.
Di tengah kekosongan ini, Jati sering bertanya: apa sebenarnya yang ia cari? Apakah kedamaian? Pengampunan? Atau sekadar jeda dari rasa lelah yang terus menghantamnya seperti gelombang yang tak pernah reda? Ia tak tahu jawabannya, seperti ia tak tahu apakah pelariannya ini akan berakhir, atau justru menjadi lingkaran tanpa akhir yang akan terus ia putar sampai hari penghakiman tiba.
0 notes
Text
#intinyadeh
Jati asli Surabaya, sekarang mahasiswa semester 5 di UNPAD. Nggak punya keluarga. Kerjanya serabutan, apa aja asal bisa jadi cuan dia bakal kerjain. Tapi, khusus di malam Minggu, Jati punya pekerjaan lain yang nggak banyak orang tahu.
Disclaimer, Jati sudah akrab sama dunia malam dan kemaksiatan sejak kecil, jadi jangan ragu buat ajak maksiat, ya.
Jadi, DICARI:
Teman Seperjuangan.
Yaa ... pokoknya teman, deh? Boleh teman sekosan, sekampus, sejurusan, pokoknya teman supaya Jati nggak ngenes-ngenes amat.
Si Paling Tahu.
Yang satu ini sifatnya lumayan krusial, salah satu orang yang tahu kerjaan Jati di hari Minggu. Orang yang bisa dijadiin tameng kalau-kalau ada yang nanya si Jati kemana di hari Minggu. Pokoknya ... yang tahu hampir cerita hidup Jati sampai ke borok-boroknya.
Romansa (opsional).
Yaa siapa tahu ada yang minat? Bisa kita diskusikan selebihnya nanti.
Dan lain-lain.
Apa aja, deh. FWB? Teman ngaso sambil ngobrolin alien? Teman COD biawak? Bebas. Soalnya bingung mau cari relasi apa lagi, jadi kalau ada tawaran, boleh ditawarkan!
0 notes
Text
SESINGKAT-SINGKATNYA.

Jati lahir di ujung malam, di tengah kamar gelap yang pengap oleh bau rokok dan keringat. Ibunya, seorang wanita yang menjual tubuh seperti dagangan lusuh, seorang lanji; dan Jati ialah bagian dari harga yang harus dibayar untuk hidup. Tak lebih, tak kurang.
Jati tumbuh di tempat di mana dosa ialah mata uang, dan cinta hanyalah cerita yang diceritakan ibu-ibu di pasar ketika sedang bosan. Tiap langkahnya diiringi bisikan tajam yang menguliti harga dirinya. Namun, sampai hari ini ia masih kokoh berdiri, bukan karena keinginan hidup yang tinggi, tetapi karena mati pun tak pernah menawarkan tempat. Liang lahat nampaknya tak akan sudi menerima ia yang teraliri darah pendosa.
Jati pergi ke sekolah dengan tubuh bersih, beruntung, berkat tangan-tangan tak dikenal yang membantu; barangkali karena rasa kasihan atau untuk menebus dosa. Meski ia tahu betul, di balik seragamnya yang rapi, ia tetap anak lanji; label yang menempel seperti lekatnya noda di kulit.
Ia menelan ilmu seperti orang lapar, menggenggam harapan meski tangannya kotor oleh kehidupan. Laki-laki menarik perhatiannya, Jati tidak mengerti. Mungkin, karena mereka adalah lawan dari kebencian yang ia rasakan pada perempuan yang melahirkannya.
Jati mencintai dan membenci hidupnya dengan intensitas yang sama. Ia membenci ibunya, namun tubuhnya tetap menggigil saat mendengar ibunya batuk di malam hari. Ia benci dunia yang mencemooh kehadirannya, tapi, ia juga tetap miliki harap meski hanya sebesar ibu jari.
0 notes