Tumgik
pintarsejarah · 1 year
Text
Tumblr media
Akulturasi kebudayaan adalah suatu proses percampuran antara unsur-unsur kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain, sehingga membentuk kebudayaan baru. Kebudayaan baru yang merupakan hasil percampuran itu masing-masing tidak kehilangan kepribadian atau ciri khasnya. Oleh karena itu, untuk dapat berakulturasi, masing-masing kebudayaan harus seimbang. Begitu juga untuk kebudayaan Hindu-Buddha dari India dengan kebudayaan Indonesia asli. Contoh hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha dengan kebudayaan asli Indonesia sebagai berikut:
Seni Bangunan (Arsitektur)
Catatan sejarah mengatakan bahwa di Indonesia ada banyak kerajaan zaman dulu yang berlatar belakang Hindu dan Buddha. Maka dari itu, ada banyak sekali banguna yang dibangun pada zaman itu bercorak Hindu dan Buddha. Hingga saat ini, beberapa bangunan yang dibangun pada zaman kerajaan Hindu-Buddha masih bisa kita lihat. Bangunan-bangunan yang dibangun pada kerajaan Hindu-Buddha biasanya berbentuk candi Setiap bangunan candi yang memiliki corak Hindu-Buddha mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Ada bangunan candi yang berfungsi untuk tempat ibadah, pemakaman, dan ada yang sebagai tempat pemandian suci.
Candi yang berfungsi sebagai makam merupakan candi dengan corak Hindu. Sedangkan candi yang berfungsi sebagai tempat ibadah merupakan candi dengan corak Buddha. Jika dilihat dari bangunan dengan corak Hindu-Buddha ini, maka bisa dikatakan bahwa kerajaan Hindu dan kerajaan Buddha sangat berjaya pada masanya. Pada dasarnya candi terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu kaki candi, tubuh candi, dan puncak candi. Kaki candi disebut dengan bhurloka yang berarti alam dunia fana. Tubuh candi disebut dengan bhurwaloka yang berarti alam pembersihan jiwa, dan puncak candi disebut dengan swarloka yang berarti alam jiwa suci. Namun, adanya akulturasi budaya membuat bangunan candi disesuaikan dengan kekhasan dari budaya Indonesia.
Candi di Jawa Tengah memiliki ciri:
Pada umumnya candi yang berada di Jawa Tengah memiliki bentuk tambun yang dihiasi dengan kalamakara atau wajah raksasa.
Hiasan kalamakara umumnya terletak pada pintu masuk candi.
Puncak candi yang ada di Jawa Tengah memiliki ciri khas dengan bentuk stupanya dan bahan utamanya berupa batu andesit.
Arah dari candi ini mengarah ke timur.
Candi di Jawa Timur
Candi yang terletak di Jawa Timur biasanya memiliki bentuknya lebih ramping dan ada hiasan yang lebih sederhana dibandingkan dengan kalamakara di pintu masuk.
Jika candi di Jawa Tengah puncak candi berbentuk stupa, maka candi di Jawa Timur berbentuk kubus.
Bahan utama dari pembuatan candi di Jawa Timur adalah batu bata.
Arah dari candi ini lebih mengarah ke barat.
Seni Rupa dan Ukir
Berdasarkan catatan sejarah bahwa masyarakat Indonesia sudah bisa membuat lukisan atau gambar. Kemampuan itu muncul sebelum adanya pengaruh dari budaya Hindu-Buddha. Selain itu, lukisan tertua yang ada di Indonesia terletak di dinding gua di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Bahkan, Dr. Maxime Aubert dari Griffiths Universitas Australia mengatakan bahwa lukisan yang berada di Kabupaten Maros sudah berusia lebih dari 38-40 ribu tahun.
Sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha, masyarakat Indonesia sudah memiliki kebiasaan melukis atau menggambar dengan pola yang sangat sederhana. Setelah masuknya pengaruh Hindu-Buddha dalam seni rupa, maka barulah masyarakat Indonesia mengembangkan gambar atau lukisannya dengan motif yang lebih sulit serta dipengaruhi oleh budaya India.
Selain memberikan pengaruh pada seni rupa, Hindu Buddha juga memberikan pengaruh terhadap seni ukir, patung, relief, dan makara. Bentuk dari seni rupa Hindu Buddha selalu berkembang pada zamannya, sehingga sangat banyak sekali motif-motifnya.
Patung
Pada dasarnya masyarakat Indonesia telah mengetahui seni pahatan batu yang sangat besar, seperti menhir dan sarkofagus. Dari pahatan menhir dan sarkofagus, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia sudah memiliki kebiasaan dalam membuat patung dengan bentuk seperti manusia. Biasanya patung yang dibuat oleh masyarakat Indonesia zaman dahulu berfungsi sebagai batu penyembahan.
Seni membuat patung ini semakin berkembang terutama ketika Hindu-Buddha masuk ke Indonesia. Pada masa Hindu, setiap patung yang dibuat diletakkan di candi-candi. Biasanya patung-patung pada zaman ini dibagi menjadi dua bentuk, yaitu trimatra dan setengah trimatra.
Patung dengan bentuk trimatra memberikan makna dewa, manusia, dan binatang. Maka dari itu, bentuk patung trimatra berada di dalam candi. Dibuatnya patung trimatra berfungsi untuk memberikan penghormatan kepada raja-raja yang sudah meninggal. Sedangkan, patung dengan bentuk setengah trimatra pada umumnya berada di relief-relief candi.
Sedangkan patung-patung pada zaman Buddha pada umumnya berbentuk Sang Buddha. Patung Sang Buddha biasanya dibuat dengan posisi tangannya yang sedang mengarah ke arah mata angin tertentu.
Relief
Relief bisa dikatakan sebagai salah satu unsur yang ada di candi-candi di Indonesia. Relief yang biasa kita lihat berupa gambar-gambar yang timbul yang ada di dinding-dinding candi. Namun, relief-relief yang ada di candi Indonesia selalu memiliki makna-makna berupa ajaran-ajaran agama, kehidupan sehari-hari, dan kisah para dewa. Relief yang ada di candi bercorak Hindu umumnya menjelaskan cerita-cerita yang berasal dari kitab suci atau karya sastra. Karya sastra yang digunakan, seperti Mahabharata, Ramayana, Sudamala, Kresnayana, dan Arjunawiwaha. Contoh relief bercorak Hindu yang menceritakan cerita Ramayana bisa kamu lihat di candi Prambanan. Sedangkan relief Buddha, biasanya bercerita tentang tentah kisah dan perjalanan hidup Sang Buddha, Sidharta Gautama.
Makara
Dalam mitologi Hindu-Buddha terdapat makhluk hidup yang bernama Makara. Makara merupakan perwujudan dari seekor binatang laut yang besar dan selalu diidentikkan dengan hiu, buaya, dan lumba-lumba, sehingga sering dijadikan sebagai motif-motif candi. Adanya motif makara ini, maka bisa dilihat bahwa adanya campuran seni ukir India dengan seni ukir Jawa. Tujuan dibuatnya makara untuk mencegah sifat buruk masuk ke dalam candi dan memberikan tanda bahwa candi ini adalah tempat yang sakral.
Seni Pertunjukkan
Masuknya pengaruh Hindu-Buddha bukan hanya dapat dilihat dari corak bangunan saja, tetapi kita bisa melihatnya melalui beberapa seni pertunjukkan. Seni pertunjukkan yang mengalami perkembangan pada zaman Hindu-Buddha, seperti seni wayang, seni tari, dan seni musik.
Seni Wayang
Sebelum zaman Hindu-Buddha pertunjukkan seni wayang berfungsi sebagai salah satu bentuk dari upacara pemujaan kepada arwah nenek moyang yang dikenal dengan sebutan Hyang dan kedatangan wayang merupakan bentuk dari arwah nenek moyang tersebut. Pada zaman Hindu-Buddha, pertunjukkan wayang dikembangkan sesuai dengan zamannya dengan membawakan cerita-cerita dari India, seperti Ramayana dan Mahabharata. Meskipun berasal dari India, tetapi ada beberapa tokoh dari Indonesia yang muncul dipertujukkan wayang.
Seni Tari
Sama halnya dengan seni pertunjukkan wayang, seni tari juga sudah ada sebelum zaman Hindu Buddha masuk. Seni pertunjukkan tari biasanya digunakan untuk mengucapkan terima kasih kepada Sang Pencipta karena sudah diberikan hasil panen yang cukup. Selain itu, pada proses pengangkatan kepala suku biasanya menggunakan seni pertunjukkan tari juga. Seni pertunjukkan yang disebabkan karena pengaruh dari Hindu-Buddha, sampai saat ini kelestariannya tetapi dijaga dengan baik. Dengan melestarikan seni tari ini menandakan bahwa warisan kebudayaan Indonesia tidak akan mudah hilang. Seni pertunjukkan tari dengan pengaruh Hindu-Buddha bisa dilihat di sendratari Ramayana yang diselenggarakan di candi Prambanan pada saat bulan purnama.
Seni Musik
J.L.A. Brandes mengatakan bahwa gamelan merupakan salah satu seni pertunjukkan asli yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Hal ini bisa disebabkan karena masyarakat Indonesia sudah beranggapan bahwa pertunjukkan musik gamelan adalah seni musik yang paling tua di Indonesia. Perkembangan seni musik gamelan ini semakin pesat terutama ketika masuknya Hindu-Buddha ke Indonesia. Informasi tentang seni musik gamelan ini bisa ditemukan pada relief-relief candi, kitab-kitab, dan karya sastra.
Seni Sastra dan Aksara
Pada zaman Hindu-Buddha sering dikenal sebagai awal mula munculnya aksara di Indonesia. Aksara tertua yang ada di Indonesia ditemukan di Kutai, Kalimantan Timur dan terletak pada batu prasasti Yupa. Prasasti Yupa ditulis dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Pada awal kemunculan aksara Pallawa digunakan untuk menulis suatu hal di batu prasasti dan di karya sastra. Setelah mengalami berbagai macam perkembangan, maka aksara Pallawa mengalami perkembangan menjadi aksara Hacaraka. Aksara Hanacaraka digunakan untuk menulis aksara Jawa dan Bali. Dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta yang sering digunakan, maka membuat masyarakat tergerak untuk mengembangkan sastra-sastra di daerah. Secara garis besar, setiap karya sastra pada zaman Hindu-Buddha sangat terpengaruh dengan karya sastra Ramayana dan Mahabharata dari India. Cerita yang berasal dari India dipadupadankan dengan budaya Indonesia, sehingga mengasilkan cerita yang bermakna dan tentunya menarik untuk dibaca. Karya sastra pada zama Hindu-Buddha biasanya berupa kitab yang disusun oleh Mpu Panuluh dan Mpu Sedah dengan judul Bharatayudha
Seni Sastra
Masuknya pengaruh Hindu-Budha berdampak pula terhadap perkembangan kesusasteraan bercorak Hindu-Budha. Kitab Ramayana dan Mahabarata yang ada di India turut pula berpengaruh terhadap bidang sastra Indonesia. Kemudian di Indonesia muncul berbagai orang yang ahli dalam membuat kitab atau yang terkenal dengan nama Empu (Mpu). Para Mpu atas perintah dari Raja kemudian membuat karya sastra yang berbentuk kakawin yang berisi tentang kejayaan sang raja. Kakawin adalah sebuah bentuk syair dalam bahasa Jawa Kuno dengan metrum (satuan irama) yang berasal dari India.
Karya sastra Hindu-Buddha itu kini banyak yang disimpan di negeri Belanda, karena pada masa penjajahan dulu Belanda berhasil membawa dan menyelamatkan beragam bentuk karya sastra yang ada di berbagai kerajaan. Apabila hendak membaca karya sastra tersebut, kita bisa menggunakan terjemahan yang ada di beberapa perpustakaan ternama. Dari berbagai terjemahan itu, kita bisa menyaksikan bagaimana kuatnya pengaruh India di dalam perkembangan tradisi tulis yang ada di Indonesia.
Kakawin Bharatayudha yang ditulis oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh. Isinya memperingati kemenangan Janggala atas Panjalu semasa raja Jayabaya.
Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna, isinya menceritakan riwayat Kresna. Ia dikenal sebagai seorang anak yang nakal, tetapi sangat dikasihani oleh setiap orang karena ia suka menolong. Selain itu, ia mempunyai kesaktian yang luar biasa. Setelah dewasa ia kawin dengan Dewi Rukmini.
Kitab Sumarasantaka karangan Empu Monaguna, isinya menceritakan bidadari Harini yang kena kutuk kemudian menjelma menjadi seorang putri. Ketika masa kutukannya habis, ia kembali lagi ke kahyangan.
Kitab Hariwangsa dan Gatotkacasraya ditulis oleh Empu Panuluh. Kitab Hriwangsa isinya menceritakan tentang perkawinan antara Kresna dengan Dewi Rukmini.
Kitab Smaradhahana, karya Empu Dharmaja berisi pujian kepada raja sebagai titisan dari Dewa Kama.
Kitab Lubdaka dan Kitab Wrtasancaya, karya Empu Tan Akung. Kitab Lubdaka berisi kisah Lubdaka sebagai pemburu yang mestinya masuk neraka yang akhirnya diangkat ke surge karena pemujaan istimewanya.
Kitab Negara Kertagama, karangan Empu Prapanca. Isinya tentang keadaan kota Majapahit, daerah-daerah jajahan dan perjalanan Hayam Wuruk mengelilingi daerah-daearah kekuasaannya. Selain itu, juga disebutkan adanya upacara Sradda untuk Gayatri, mengenai pemerintahan dan kehidupan keagamaan zaman Majapahait. Kitab ini sebenarnya lebih bernilai sebagai sumber sejarah budaya daripada sumber sejarah politik. Sebab, mengenai raja-raja yang berkuasa hanya disebutkan secara singkat, terutama raja-raja Singasari dan Majapahit lengkap dengan tahun.
Kitab Sotasoma, karangan Empu Tantular. Isinya tentang riwayat Sotasoma, seorang anak raja yang menjadi pendeta Buddha. Ia bersedia mengorbankan dirinya untuk kepentingan semua makhluk yang ada dalam kesulitan. Oleh karena itu, banyak orang yang tertolong olehnya. Di dalam Kitab ini terdapat ungkapan yang berbunyi; “Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrawa”, yang kemudian dipakai sebagai motto Negara kita.
Kitab Arjunawijaya, karangan Empu Tantular. Isinya tentang raksasa yang berhasil dikalahkan oleh Arjuna Sasrabahu.
Kitab Kunjarakarna, tidak diketahui pengarangnya. Isinya menceritakan tentang raksasa Kunjarakarna yang ingin menjadi manusia. Ia meng- hadap Wairocana dan diizinkan melihat neraka. Oleh karena taat kepada agama Buddha, akhirnya apa yang diinginkannya terkabul.
Kitab Parthayajna, juga tidak diketahui pengarangnya. Isinya tentang keadaan Pandawa setelah kalah main dadu, yang akhirnya mereka mengembara di hutan.
Kitab Pararaton, isinya sebagian besar cerita mitos atau dongeng tentang raja-raja Singasari dan Majapahit. Selain itu, juga diceritakan tentang Jayanegara, pemberontakan Ranggalawe dan Sora, serta peristiwa Bubat.
Kitab Sudayana, isinya tentang Peristiwa Bubat, yaitu rencana perkawinan yang kemudian berubah menjadi pertempuran antara Pajajaran dan Majapahit di bawah pimpinan Gajah Mada. Dalam pertempuran itu raja Sunda (Sri Baduga Maharaja) dengan para pembesarnya terbunuh, sedangkan Dyah Pitaloka sendiri kemudian bunuh diri. Kitab ini ditulis dalam bentuk kidung.
Kitab Sorandakan, ditulis dalam bentuk kidung, menceritakan tentang pemberontakan Sora terhadap Raja Jayanegara di Lumajang.
Kitab Ranggalawe, ditulis dalam bentuk kidung dan menceritakan tentang pemberontakan Ranggalawe dari Tuban terhadap Jayanegara.
Kitab Panjiwijayakrama, ditulis dalam bentuk kidung dan isinya riwayat R. Wijaya sampai menjadi raja Majapahit.
Kitab Usana Jawa, tentang penaklukan Bali oleh Gajah Mada dan Aryadamar. Tantu Panggelaran, tentang pemindahan gunung Mahameru ke Pulau Jawa oleh Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa. Runtuhan gunung Mahameru sepanjang pulau Jawa menjadi gunung-gunung di Jawa.
Kitab Calon Arang, isinya tentang seorang tukang tenung yang bernama Calon Arang yang hidup pada masa pemerintahan Airlangga. Ia mempunyai anak yang sangat cantik, tetapi tidak ada yang berani meminangnya. Calon Arang dengan sendirinya merasa terhina dan menyebarkan penyakit di seluruh negeri. Atas perintah Airlangga ia dapat dibunuh oleh Empu Bharada
0 notes
pintarsejarah · 1 year
Text
Tumblr media
Masuknya budaya dari India baik yang bercorak Hindu maupun Budha tidak terlepas dari terjadi perubahan jalur lalu lintas pelayaran dagang antara India dengan Cina. Pada awalnya para pedagang baik dari India ke Cina maupun sebaliknya menggunakan jalan darat atau yang dikenal dengan jalan sutera (The Silk Road). Namun, pada sekitar abad ke satu mereka mengalihkan rute perjalanan menjadi melalu jalur laut. Beberapa faktor yang mengakibatkan para pedagang memindahkan jalur perdagangnya adalah faktor keamanan yang tidak menjamin keselamatan para pedagang dari perampok-perampok yang menghadang mereka ditengah perjalanan, faktor waktu tempuh yang lama akibat kontur jalan darat yang mendorong mereka untuk menuruni lembah, mendaki bukit dan memasuki hutan, dan faktor biaya akibat mereka harus menempuh perjalanan yang lama mengakibatkan biaya yang harus mereka keluarkan juga lebih besar. Dengan menggunakan jalan laut maka, jalan terdekat bagi pedagang India yang akan ke Cina maupun sebaliknya adalah dengan melewati perairan Indonesia yaitu dengan menyusuri tepian pantai teluk Benggala, melewati Kepulauan Andaman kemudian masuk perairan selat Malaka, sampailah mereka di Indonesia untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan keluar dari Selat Malaka dan masuk ke Laut Cina Selatan maka sampailah mereka di Cina, demikian pula sebaliknya.
Sehingga hal tersebut menunjukan bahwa besar kemungkinan budaya dari India baik yang bercorak Hindu maupun Budha itu sudah ada di Indonesia sejak awal abad 1 Masehi, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya Patung Budha di Bukit Siguntang, di Sempaga maupun di di Jember. Penemuan patung Budha tersebut tentu mengandung arti bahwa pernah ada sekelompok orang pada abad 2 yang membawa arca Budha ke Indonesia. Sekelompok orang tersebut telah berbudaya Budha. Pada saat itu budaya Budha telah masuk ke Indonesia, namun belum berkembang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia membawa perubahan signifikan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Namun, perlu kalian ketahui bahwa tidak semua unsur budaya dari India yang masuk ke Indonesia itu diterima begitu saja oleh bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia menyeleksinya terlebih dahulu disesuaikan dengan adat istiadat dan kepandaian yang sudah dimiliki. Masuknya para pedagang India tersebut tentu dengan membawa seluruh akal budaya dan kepandaian mereka. Hal tersebut membuat terjadilah proses interaksi mereka dengan masyarakat di Nusantara. Interaksi yang terjadi bersifat akulturasi yaitu bertemunya dua unsur kebudayaan yang dapat hidup saling berdampingan serta saling mengisi tanpa menghilangkan unsur unsur asli dari kedua kebudayaan tersebut.
Terjadinya akulturasi antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan India adalah karena kebudayaan Hindu Budha yang masuk ke Indonesia tidak diterima begitu saja oleh bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan:
Masyarakat Indonesia telah memiliki dasar dasar kebudayaan yang cukup tinggi, sehingga masuknya kebudayaan asing menambah perbendaharaan kebudayaan Indonesia.
Masyarakat Indonesia memiliki kecakapan istimewa yang disebut local genius, yaitu kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur unsur tersebut sesuai kepribadiannya
1 note · View note