Tumgik
pondanshortcake · 3 years
Text
No. 5
Chanel. Parfum milik Ibu yang Ibu simpan baik-baik dan hanya beliau gunakan di hari spesial. Hari ini Ibu menyempotkan parfum pusaka tersebut pada Siti karena nanti siang akan datang lelaki beserta keluarganya untuk melakukan khitbah. Siti tidak pernah bertemu dengan lelaki ini sebelumnya tapi ia mempercayakan nasibnya hanya pada Tuhan.
Siti mengenakan baju formal terbaik yang ia miliki, begitu juga dengan Ibu dan Ayahnya. Keluarga lelaki ini datang dari kasta kelas atas, hal ini membuat Ibunda Siti kelewat bangga dan berusaha semaksimal mungkin untuk membuat impresi pertama yang baik. Untuk makanan hari ini, Ibu pesan khusus dari tetangga yang menjual jasa catering. Disajikan diatas koleksi piring pusaka yang hanya digunakan setahun sekali, ketika idul Fitri. Ayah terus berkeliling-keliling rumah sambil menyapu untuk memastikan situasi rumah benar-benar bersih.
Hanya Siti yang tetap terlihat tenang. Bagi Siti, semakin cepat ini semua selesai, semakin baik. Siti tidak memeduikan seperti apa calon suaminya nanti. Siti pikir, asalkan calon suaminya datang dari keluarga yang setidaknya konservatif yang menyerupai keluarganya sendiri, paling-paling di usia tua nanti dia bisa menjadi figur autoritatif seperti Ibu. Keluarga pihak laki-laki memberi kabar bahwa mereka terjebak macet dan akan terlambat. Siti kemudian membuka emailnya untuk membuka balasan email dari Linda yang belum sempat ia baca.
Titi, aku to the point ya,
Aku ini 5 taun lebih tua dari kamu, dan aku membayangkan pernikahan itu.. semengerikan itu, Ti... apalagi dengan orang asing.
Tapi aku ga bisa bilang apa-apa juga sih, Ti. Aku ga ngalamin seumur hidup sama Bibi dan Mamang itu gimana. Mungkin kalo aku jadi kamu sih mending kabur aja ga usah balik lagi. Lari ke Bali atau kemana kek.
Tapi kamu tu anaknya gitu sih. Coba jangan mikirin orang lain mulu, sekali-kali 
Stop being such a people pleaser, Ti. Sesekali aja
Ya.. nevertheless, Teteh ga akan kemana-mana Ti kalau kamu butuh support
Kabarin aku ya.
Siti menahan luapan air mata. Begitu irinya ia dengan Linda yang pemberani. Lari ke Bali.. pembawaan dan didikan yang Siti terima seumur hidup membuat opsi “kabur” ini sama sekali tidak terpikir untuknya. Mungkin berbeda situasinya ketika Siti masih anak-anak yang masih suka menginap di rumah Linda. beberapa kali Siti menangis meraung-raung ketika dijemput orangtuanya untuk pulang, dan Siti hanya mau tinggal disana bersama keluarga Linda. Tapi, berbeda dengan sekarang. Sekarang, Siti hanya ingin jadi muslimah taat, patuh pada orang tua, berguna bagi orang tua, dan mungkin sebentar lagi apabila segalanya berjalan dengan lancar, patuh dan berguna bagi suaminya. 
Keluarga Syahid akhirnya tiba, Siti mengintip dari jendela kamarnya. Keluarga Syahid juga berpakaian baik, namun tidak se berlebihan keluarga Siti tentunya. Melihat penampakan Syahid dari balik tirai juga membuat Siti cukup lega. Syahid terlihat seperti orang yang merawat diri dengan baik, terlihat karismatik pula. Menurut isi CV nya, Syahid bekerja di perusahaan tambang ternama, sama-sama anak tunggal, usianya 30 tahun. 
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam! Silahkan masuk, silahkan! Pakai saja sepatunya Pak, Bu”, ayah Siti mempersilakan keluarga Syahid menuju ruang tamu.
Siti tak bisa mendengar percakapan mereka di ruang tamu, sekarang ini ia hanya menunggu dipanggil menuju ruang tamu. Mereka berbincang hampir 45 menitan hingga akhirnya Ibu masuk ke kamar dengan wajah kecewa. Dan ketika pintu kamar Siti dibuka, terdengar seperti keluarga Syahid sedang berpamit-pamitan dengan ayah. Mereka bahkan tak sempat menyantap makanan yang sudah disajikan ibu di ruang makan.
“Kenapa, Bu?”
Ibu duduk di tempat tidur kemudian mengusap matanya.
“Barusan, ketahuan Ti sama mereka, kalau Ayah itu punya diabetes. Artinya kemungkinan besar kamu punya juga. Mereka ga mau nerima.”, jawab Ibu sambil menangis,
“Terus katanya kamu tuh berkacamata, Ti! Sedangkan Syahid sendiri udah pakai kacamata minus besar, takut anak kalian nanti buta kali mereka!”
Wow. 
“Gapapa Bu, belum jodoh aja, sabar ya Ibu. Nanti kita coba masukan CV nya ke tempat lain ya.”, Siti memeluk Ibunya. 
Setelah ibu berhenti menangis, Ibu menghela nafas panjang. kemudian tanpa mengajak Siti menuju ruang kerja Ayah. Di atas meja kerja Ayah ada satu amplop coklat. Ibu mengambil amplop tersebut dan menyerahkannya pada Siti.
“Ada satu calon lagi Ti, tapi sebenarnya Ibu dan Ayah agak berat untuk yang satu ini”
Siti membuka amplop tersebut, ada lampiran fotokopian KTP di dalamnya. Ahmad Riski. Status : Menikah
“Maksudnya apa ini, Bu?”, tanya Siti.
“Dia ingin kamu jadi istri kedua. Ayah dan Ibu sebenernya cukup berat untuk melepas kamu seperti ini. Tapi kami ingin lihat reaksi kamu dulu seperti apa. Wallahualam, bisa jadi dia jodoh kamu, kalau kamu mau nerima.”, jawab Ayah sambil merangkul Ibu.
“Dia udah siapkan rumah, Ti. Dan nanti akan ada pembagian waktu pastinya, jadi bakal seminggu di kamu, seminggu di istri tua. Begitu seterusnya, Ti”, jelas Ibunya lebih lanjut.
Siti tak tahu harus berkata apa, namun dalam hatinya ia menyadari. Ini bisa jadi pilihan yang tepat. Siti kembali merenungi alasan utama kenapa ia ingin segera menikah, yaitu untuk buru-buru pergi dari rumah ini. Namun, kadang ia ketakutan ketika menikah nanti situasinya ibarat kabur dari kandang singa, masuk kandang macan. Tapi kalau berada dalam rumah tangga ini, mungkin situasinya jadi seperti kabur dari kandang singa, masuk kandang macan, tapi cuma separuh saja waktu yang harus aku habiskan di kandang macan itu. 
Siti tak bisa lagi menahan senyum lebarnya. Ini dia! Ini skenario dimana bahkan karena ada istri pertama, mungkin tanggung jawabku ga akan sebesar itu!
Tapi, ada satu hal lagi yang harus di pertanyakan, dan yg terpenting.
“Istri pertamanya ikhlas?”
0 notes
pondanshortcake · 3 years
Text
No. 4
“Hah???”
Rima kaget, segala pengalaman di seumur hidupnya tak ada yang mengajarkan bagaimana cara menangani momen seperti ini. Tak terpikir pula satu pun kejadian dalam hidupnya yang mengarahkan ia pada momen ini.
“Kenapa?”, tanya Rima
Riski menghela napas.
“Duduk disebelahku sebentar boleh?”, pinta Rifki.
Rima rasanya ingin kabur saja. Tapi mengingat bahwa lelaki ini telah ada di hidupnya lebih dari 6 tahun, walaupun hanya sebatas kenalan jauh, rasanya tidak sopan kalau ia kabur begitu saja, setidaknya Rima lebih penasaran untuk penjelasan Riski. Sementara apa yang Riski akan utarakan adalah naskah yang telah ia tulis, hafal, dan diputar secara berulang-ulang di kepalanya sejak remaja dulu. Rima kemudian duduk di sebelah Riski, masih menjaga jarak halal tentunya.
“Sebetulnya sejak dulu, aku suka kamu. Sejak aku lihat kamu tampil waktu sekolah kita menang pertandingan basket”
“Waktu aku ngeband itu?”, tanya Rima, memori SMA lebih mendominasi untuk Rima.
“Bukan, waktu SMP”
Rima menganga. Selama itu?
“Jadi, maaf sebelumnya kalau bikin kamu ga nyaman. Tapi semenjak itu, kemanapun kamu pergi, aku ikut. Walau aku ga pernah bicara apa-apa sama kamu. Tapi buatku, dengan begitu aku yakin untuk selalu bisa jaga kamu, walau kamu ga nyadar.”, lanjut Riski.
Ingatan Rima kembali pada masa SMP, ia mulai mengingat bahwa hampir di setiap sekolah yang ia ikuti Riski ada didalamnya, dan tiap kelas bimbel yang ia ikuti Riski pasti duduk 2 bangku di belakangnya. Yang Rima ingat hanyalah seorang remaja masjid culun yang tak pernah melepas jaketnya, yang terihat asik dengan dunianya. Namun disini Rima menyadari bahwa ialah dunia Riski. Dan sekarang, Riski telah berubah menjadi pemuda yang tiba-tiba terlihat tampan duduk disebelahnya. Dalam seketika ini, persepsi yang ia miliki terhadap Riski berubah drastis. Sosok Riski berubah menjadi seperti imam yang memegang kendali situasi, seseorang yang berani mengambil resiko, dan tidak menerima ‘tidak’ untuk jawaban. Begitu drastis dengan tipe lelaki yang sering ia pacari dahulu. Pengalaman pacaran dengan lelaki yang hanya ingin hubungan fisik sementara adalah alasan utama Rima untuk hijrah. Itu, dan fakta bahwa beberapa tahun terakhir ini semua temannya mendadak hijrah dan meninggalkan ia sendirian. 
Ketika Rima mulai menginjakkan kaki di kampus, segalanya mulai berubah. Tidak ada lagi kasta sosial yang memberi ia tunjangan kemudahan hidup seperti jaman remaja dulu. Dahulu, Rima merasa  lebih superior dibanding siswa-siswi lainnya berkat label selebriti dan reputasi yang ia miliki. Sangat berbeda dengan situasi di kampus sekarang dimana orang-orang lebih individualis. Rima sangat merindukan hal itu. Kini, sebagian temannya fokus pada kuliah, sebagian pada kegiatan kampus, dan sahabat-sahabat terdekatnya memutuskan untuk hijrah satu persatu. Rima tak pernah mengerti apa alasan mereka untuk berhijrah. Namun, yang Rima tangkap, setelah berhijrah mereka terlihat lebih damai saat menekuni sisi spiritual mereka. 
Saat itu, film drama romansa Twilight sedang naik daun. Rima begitu menyukai film ini, ia mengklaim bahwa kisah Bella dan Edward ini menyentuh jiwanya dengan amat sangat. Mungkin itu benar, atau mungkin saja Rima hanya merasakan kekosongan karena ia merindukan masa kejayaan remajanya, dan juga karena merasa tertinggal oleh teman-temannya. Rima memutuskan untuk membeli novel Twilight Saga dan menenggelamkan diri dalam dunia itu. Namun, lain dengan Rima, sahabat Rima justru memberi masukan pada Rima untuk berhenti menyukai kisah Bella dan Edward yang menurutnya adalah kisah romansa yang tidak realistis dan tidak sehat. Rima menurut dalam ucapan, ia kemudian menyumbangkan koleksi bukunya ke sebuah panti asuhan. Namun, kisah Bella dan Edward tetap tersimpan dalam hatinya.
Tak mau tertinggal, dan menyadari bahwa sisi akademik bukanlah kekuatan Rima, Rima akhirnya mengikuti jejak sahabatnya untuk ikut berhijrah. Ada satu kepuasan yang tak sangka ia dapat ketika ia berhijrah. Berbeda dengan teman-temannya, pengalaman hidup Rima jauh lebih liar. Dan setiap kali Rima hadir dalam sebuah forum mentoring atau kajian, kisah transformasi Rima yang berawal dari seorang kapten cheerleader hingga gitaris band yang hobinya pacaran dan minum-minum hingga menjadi pemudi salehah selalu membuat pendengarnya terkagum. Dan dengan begitu saja, ia kembali merasakan adrenalin yang sama seperti yang dulu ia rasakan di masa kejayaan remajanya.
Edward, kamu seperti Edward.
“Iya Ki, aku mau dinikahi kamu”
0 notes
pondanshortcake · 5 years
Text
No. 3
“Mau kemana Ki?”
Riski mengabaikan pertanyaan Rima sambil mengambil pakaian yang tadi terlempar ke lantai. Sambil mengenakan pakaian, Riski berjalan santai menuju kursi sofa yang ada di kamar hotel mereka. Malam pertama setelah Riski resmi mengucapkan ijab kabul pada ayah Rima tidak seperti yang ia bayangkan.
Seumur hidupnya Riski selalu percaya apabila ia menjadi lelaki yang baik, maka ia akan mendapatkan perempuan yang baik. Dan ia merasa selama hidupnya ia selalu berusaha untuk menjadi lelaki yang baik. Lurus layaknya anak panah, deskripsi yang pernah diutarakan teman-teman Riski semasa kuliah dahulu. Seumur hidupnya, Riski selalu menahan diri untuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Riski menjaga ibadahnya, berusaha untuk menjaga pandangannya walaupun itu sangat sulit. Tapi setidaknya Riski tak pernah menyentuh wanita kecuali ketika sangat terpaksa, seperti halnya ketika ia disalami oleh ibu dosen. 
“Kenapa ga pernah cerita soal ini?”, tanya Riski. Rima memegang keningnya, dan menutup badannya dengan selimut, tak tahu harus berkata apa.
“Jujur aku sendiri gak tahu kenapa, Ki. Sumpah, walaupun aku dulu pacaran, aku ga pernah melakukan yang di luar batas.”
“Udah, stop. Jangan cerita lagi soal itu.”
Riski sendiri tahu benar masa lalu Rima. Sejak SMP hingga kuliah mereka selalu berada di sekolah yang sama, dan itu bukanlah kebetulan. Dari SMP, Riski tak pernah mengagumi wanita lain kecuali Rima, walau selama itu Riski tidak pernah melakukan interaksi apapun pada Rima. Hanya, tiap semester dimulai atau menjelang akhir tahun, Riski selalu berusaha menggali info dari “mata-mata” yang sekelas dengan Rima, soal ‘apakah Rima sudah menentukan mau masuk SMA mana?’, ‘apakah Rima ikut bimbel di SSC, Edulab, atau di GO?’, dan sebagainya. Rima tidak menyadari, baginya, mungkin Riski memang selalu kebetulan saja ada di kelas bimbel yang ia ikuti, tapi itu bukanlah kebetulan. 
Riski adalah remaja masjid di sekolahnya, sementara Rima adalah kapten cheerleader. Pertama kali Riski mengetahui Rima adalah saat acara pentas seni di sekolah. Karena SMP mereka memenangkan turnamen basket, acara pentas seni ditutup oleh penampilan tim cheerleader sebagai bentuk perayaan kemenangan mereka.
Sudah menjadi ritualnya para akhwat remaja masjid untuk hadir dan berdiri berjajar di saf terdepan penonton ketika pertunjukan cheerleader dimulai. Mereka semua melipat tangan dan menonton seluruh pertunjukan dengan raut wajah menghakimi. Sementara itu, Riski dan sebagian ikhwan lainnya menyaksikan dari balkon Masjid ke arah lapangan basket dimana pertunjukan dilakukan. Sebagian dari mereka mungkin memiliki hasrat terpendam, sebagian mungkin memang menikmati koreografi tarian, sebagian besar merasa tak perlu melihat pertunjukan itu, atau mungkin sebagian adalah Riski yang sebetulnya berpartisipasi dengan akhwat di saf depan dan ikut menghakimi dengan pandangannya. Namun, Rima dengan rambut panjangnya terurai yang berkibar ketika ia melompat, pakaian cheerleader yang membungkusnya, dan fisiknya yang terlihat lebih dewasa dibanding siswa kelas 2 lainnya membuat mata Riski terkunci padanya. Itu adalah pertama kalinya Riski tertarik pada lawan jenis.
“Yang paling kiri, itu temen sekelasmu ya Rif?”, Riski menyenggol Arif, salah satu ikhwan yang juga menonton.
“Oh iya, si Rima”, jawab Arif.
Semenjak pertunjukan itu, keseharian Riski berubah. Ketika bel istirahat berbunyi, ia buru-buru menuju kelas 2E yang berada selantai dibawah. Riski pura-pura menunggu Arif didepan pintu, padahal yang ia tunggu adalah Rima. Apabila Rima ke kantin, Riski akan mengikutinya dari jauh. Namun, apabila Rima hanya duduk dan berbincang di kelas, Riski akan meminta Arif untuk tetap diam di kelas dan memaksanya untuk mengobrol. Arif ini lah yang kelak menjadi mata-mata Riski untuk menggali info seputar Rima. Setiap hari rabu dan jum’at, seusai kelas Riski selalu menyempatkan diri untuk membaca mading yang terletak di samping gor sekolah sambil melihat Rima berlatih. 
Menjadi kapten cheerleader tentu saja datang dengan sejuta tunjangan dan kemudahan hidup sebagai remaja di sekolah negeri. Menggencet adik kelas, pacaran dengan kakak kelas, jadi pusat perhatian di kantin, disegani di kelas, dan lain-lainnya. Saat mereka berada di kelas 1 SMA, Rima pernah dipanggil oleh guru konseling karena ada video Rima dan salah satu anggota ekskul tae kwon do melakukan french kiss di kursi belakang mobil. Video berdurasi 3 menit yg diakhiri Rima mengucapkan “Udahan ya, bibir aku panas”. Sebuah tindakan sangat kontroversial pada masanya. Sayangnya hanya Rima yang dipanggil karena siswa misterius itu membelakangi kamera, hanya seragam tae kwon do nya saja yang terlihat. Hal ini tentu membuat Rima semakin bangga dengan dirinya, sebagian siswi semakin terobsesi dengan dia, sementara sebagian siswa membayangkan bagaiman rasa bibir Rima.
Namun segala reputasi Rima sama sekali tidak membuat Riski mundur. Dalam hatinya Riski selalu berpikir, apabila ia ingin hidayah jatuh pada Rima, maka ia harus semakin giat dalam beribadah dan berbuat kebaikan. Wanita baik untuk lelaki baik pikirnya, dan ia selalu yakin suatu saat Rima akan menjadi baik untuknya.
Hidayah itu datang 8 tahun kemudian. Saat itu Riski sedang menjalani kuliahnya sebagai mahasiswa teknik industri. Suatu hari di jam kuliah Arif tiba-tiba mengirimi pesan “si Rima hijrah, suka ikut kajian ba’da Ashar”. Euforia yang Riski rasakan saat itu tidak dapat ia deskripsikan dengan kata-kata. Tidak  Riski sangka, setelah bertahun-tahun terobsesi dengan Rima, dan sabar menunggu, do’anya akhirnya dikabulkan. Seusai kuliah di hari itu juga Riski langsung menuju masjid kampus dan duduk menunggu di dekat gerbang Masjid. Riski merasakan sedikit nostalgia, teringat masa SMP dahulu ketika ia menunggui Rima di depan kelas 2E.
Waktu pada ponsel Riski menunjukkan pukul 14.56. Sebuah figur yang Riski sangat kenali terlihat jalan dari kejauhan. Wanita itu mengenakan celana kulot, kemeja longgar, dan hijab jersey. Isi pesan Arif benar, Rima mengenakan hijab sekarang, pakaian yang ia kenakan pun tidak kontroversial seperti dahulu. Bersyukurlah Rima ini mantan selebriti sekolah, sehingga walaupun berpakaian syar’i, pilihan fashion Rima masih menjadi inspirasi. Riski mulai berkeringat dingin. Seiring Rima mendekat, Riski sudah membuat skenario macam-macam di kepalanya. Alangkah indahnya kalau mereka menikah saat ini juga, kemudian ia membayangkan skenario yang dimulai ketika ia mengucapkan ijab kabul, hingga ia melepas hijab Rima dan dipertemukan kembali dengan rambut indahnya, sampai akhirnya hingga sedikit darah yang tercecer di sprei putih di malam pertama mereka. Astagfirullah. Dan begitu saja, Riski kembali pada realita, dan tanpa ia sadari Rima tiba-tiba sudah berada didepannya. 
“Riski ya?”, tanya Rima. 
Riski tercengang, terakhir kali ia mendengar suara Rima dengan jelas yaitu pada saat ia berada 2 bangku di belakang bangku Rima, di kelas 2E dulu, ketika SMP. Rima yang sebenernya sudah sangat terbiasa untuk intim dengan lelaki di masa mudanya membuat ia begitu luwes untuk memulai dengan percakapan dengan lelaki. Sementara Riski masih terpaku dan canggung, ini adalah pertama kalinya ia memandang Rima tepat di mata. Setelah 6 tahun lebih Riski menundukkan pandangan, ia masih tak percaya momen ini nyata.
Rima merasa agak canggung, sudah hampir 5 detik lamanya untuk hanya bertatap-tatapan dengan teman asing yang kebetulan selalu ada di dunia akademik hidupnya, mulai dari SMP, bimbel SMP, SMA, bimbel SMA, hingga kampus ini. Sementara Rifki tak dapat berkata apa-apa lagi, terkecuali.
“Rima, aku ingin menikah dengan kamu.”
0 notes
pondanshortcake · 5 years
Text
No. 2
Siti melepas hijabnya. Waktu menunjukan pukul 20.00, malam itu adalah hari terakhir dari ujian akhir semester genap di tahun kedua sebagai mahasiswi Psikologi. 2 tahun yang lalu ketika ia baru saja lulus SMA, Psikologi menjadi bidang yang sangat menarik untuk Siti. Sekarang? tidak lagi.
Ia merebahkan diri di kasur. Seusai ujian hari ini Siti menyadari bahwa dengan hanya memiliki modal kecintaan pada sesuatu tidaklah cukup untuk menguasai bidang tersebut. Ia berusaha semaksimal mungkin, atau setidaknya itu yang ia pikir. Namun, itu saja nampaknya tidak cukup.
Sewaktu kecil ia memiliki impian untuk menjadi wanita karir independen yang berkelas. Tontonan favorit pada masa kecilnya ‘Sex & The City’ ia jadikan bayangan bagaimana ia akan mengabiskan waktu di usia 30an kelak. Tentu saja kedua orang tuanya yang konservatif melarang keras tontonan seperti itu, bahkan tontonan semacam ‘Hannah Montana’ pun dilarang di rumah tangga itu. Tapi itu tidak menghentikan Siti untuk membandel. Tiap akhir minggu ia menghabiskan waktu di rumah sepupunya, sebagian kecil dari keluarga besarnya yang lebih liberal. Di masa itu lah ia diperkenalkan dengan dunia dan keindahan serta kebahagiaan yang ada di dalamnya, yang hadir dalam bentuk marathon ‘Sex & The City’. Tiap kali Siti sampai dirumah pada hari Minggu sore setelah menghabiskan waktu di rumah sepupu itu, Ibu pasti langsung menyuruh Siti untuk mandi junub kemudian dilanjutkan dengan mengkaji Qur’an dan Hadist.
Kenaifan tak berdosa dari anak-anak untuk punya impian macam itu, ia pikir. Pada akhirnya, realita hidup yang ia jalani sebagai anak tunggal dan segala ekspektasi yang harus dia penuhi untuk orang tuanya yg religius dan konservatif membuat ia tertekan hampir seumur hidupnya. Siti mengenakan hijab sejak ia lahir, mulai belajar membaca dan menulis arab sejak usia 3 tahun, puasa penuh di usia 5 tahun. Dan semenjak itu, segala kajian, tuntutan, larangan, apapun, terus ia terima tiap hari dan ia harus penuhi semua itu karena apabila tidak, Ibu akan terus kembali pada komik lawas ‘Siksa Neraka’ yang beliau beli sewaktu Siti masih TK.
Ibu mengetuk pintu kamar,
“Ya Bu”
“Gimana tadi ujiannya? kamu kok keliatannya kusut”
Siti meneteskan air mata. Ujian tadi sore cukup berat, namun bukan itu yang membuat Siti menangis. Seperti momen ini adalah titik puncak dari segala frustasi yang ia rasa. Ia selalu merasa tekanan dari orangtuanya lah yang membuat ia kesulitan dalam kuliahnya, membuat ia merasa Ayah dan Ibu lah yang seharusnya bertanggung jawab atas prestasi akademiknya yang terus menurun.
Siti berprasangka baik, Ibu pasti memiliki niat baik untuk menjadi sekaku dan sekeras itu. Ibu hanya ingin aku dapat yang terbaik, tapi apalah yang menurut Ibu baik.
“Siti mau nikah aja deh, Bu”
Apapun. Apapun deh, yang penting aku bisa keluar dari rumah ini
“Alhamdulillah, ya Allah! MashaAllah Siti, Ibu seneng sekali dengernya!”
Ibu begitu senang dan bersemangat ketika mendengar keinginannya terwujud hingga Ibu tidak terpikir untuk bertanya pada anaknya kenapa ia menangis. Ibu langsung berlari menuju ruang TV dimana Ayah berada dan menyampaikan kabar gembira.
“Yah, Ayah! Alhamdulilah! Keinginan Ibu punya cucu di usia 37 terkabul!”
Ayah turut gembira mendengar berita itu karena Ayah juga sangat menginginkan cucu, terlebih karena usianya sudah hampir 70 tahun.
Ibu sering bercerita pada Siti, atau yg Siti tangkap, mengeluh lebih tepatnya. Soal apa saja yang beliau korbankan ketika beliau menyempurnakan Agama di usia 16 tahun. Dan di akhir cerita-cerita tersebut, Ibu selalu mengimplikasikan bahwa Siti juga harus merasakan hal yang sama. Dan pada malam ini, Ibu merasa lega walau harus menunggu 3 tahun agar anaknya mendapatkan nasib yang sama.
Siti kemudian menyalakan komputer, kemudian menulis surel untuk sepupunya. Berharap untuk bisa bertemu secara langsung, atau setidaknya ia bisa menumpahkan apa yang ada di pikirannya.
Teh Linda, akhirnya Siti bebas.
Maafin Siti ya, jadi ngebalap Teh Linda. Tapi Siti udah ga tahan lagi di rumah ini. Siti tau Teh Linda masih sibuk diklat jadi pasti susah untuk kita ketemu, tapi Siti butuh curhat. Mudah2an lewat sini cukup.
Siti memutuskan mau nikah aja. Kuliah juga udah gabisa fokus. Bayangin aja Teh, gimana Siti mau belajar kalau tiap hari disuruh bedah Hadist terus? Belum lagi ditakut-takutin sama Ibu dan di ancam-ancam sama Ayah.
Tau ga sih, Teh? Ayah Ibu bilang kalau sampai usia 20 tahun aku ga nikah, harus di cadar. Siti gamau pergi kuliah kaya gitu.
Siti udah kebayang sih reaksi Teh Linda bakal kaya gimana kalau denger ini. Tapi gapapa Teh, Siti udah yakin banget dan ikhlas. Yang didapet dari kehidupan rumah tangga sendiri nanti pasti ga akan lebih buruk dari ini. Setidaknya, masih lebih mending bertanggung jawab sama 1 orang suami ketimbang 2 orang tua.
Siti jadi keinget, candaan kita waktu jaman dulu. Inget ga, yang aku pura-pura kasih diagnosa pasien, terus Teh Linda yg bikinin obatnya. Yah, kayanya ga akan kesampean. Tapi gapapa, yang penting Teh Linda masih tetep ngejer mimpi Teteh, aku seneng lihatnya.
Minta doanya aja ya Teh, mudah-mudahan kehidupan Siti membaik setelah ini. siapa tau nanti suami Siti ga seperti Ayah dan membolehkan Siti kemana-mana sendiri, jadi kita bisa main bedua aja gitu tanpa harus dijagain Ayah kaya waktu dulu tiap kita ke Mall.
“Ti, ini liat, Ibu udah siapin ini CV kamu untuk taaruf ya. Coba ini diliat dulu deh, liat. Udah sesuai ya, kamu setuju ya.”, Ibu menyodorkan lembar-lembar dokumen yang mendeskripsikan Siti sebagai muslimah salehah, taat beribadah, patuh pada orangtua, pandai mengurus rumah tangga, jago memasak, berkulit putih, berbadan langsing, berpakaian sesuai syariat Islam, sudah menstruasi sejak 12 tahun, dan lain-lainnya.
Siti hanya meghela nafas ketika ia menyadari ini adalah rapot dari sekolah kehidupan di keluarga itu, dan poin-poin apa saja yang ternyata patut untuk dinilai dari dirinya.
“Aku sedang kuliah ga ditulis, Bu?”, atau mungkin, fakta bahwa waktu pas SMP atau SMA dulu aku berhasil masuk ke sekolah negeri terbaik, setidaknya aku bangga dengan diriku akan hal itu.
“Buat apa Ti, kan ga lulus juga, malu Ibu”
Siti hanya mengangguk mendengar jawaban Ibu, artinya mulai titik ini selamat tinggal kuliah. Tapi, lagi-lagi, Siti berpikir.
Ga akan lebih buruk dibanding ini.
0 notes
pondanshortcake · 6 years
Text
No. 1
Prolog
Rifki dan Risa, ke dua anak Rima ini sedang sibuk dengan wahana playground yang ada di dusun bambu, sementara ibunya kerap pura-pura sibuk fokus pada ponselnya sambil sesekali mencuri pandangan ke arah suaminya yang saat itu sedang berinteraksi dengan Siti sang istri muda dan bayi baru mereka yang berusia 4 bulan, Sita. Suci, kakak perempuan Sita yang sebenarnya berada di usia sepantaran dengan Rifki dan Risa mengaku masih enggan untuk bermain bersama Rifki dan Risa walau sudah diperintah oleh Abi dan Bundanya. Suci masih merasa semua ini membingungkan, ‘Umi dan Bunda bukanlah kakak beradik, namun aku, Rifki dan Risa adalah saudara?’, pikir Suci. Suci di hari ulang tahunnya yang ke 9 pernah memberanikan diri untuk bertanya pada Bundanya.
“Tenanglah Nak, nanti juga kalau kamu udah dewasa semuanya tidak akan lagi membingungkan buat kamu Insha’Allah”, jawab Bunda Siti. Suci mengerenyit, kemudian ia mengingat ucapan Abinya ketika Abinya menceritakan kisah Aisha dan Rasul. Ketika berusia 9 tahunlah Aisha mulai mengerjakan kewajibannya kepada Rasul. Seusia denganku, Suci pikir. Aku sudah dewasa, Bunda, gumam Suci dalam hati.
Rima sudah kehabisan instagram feeds, namun ia kerap menggeser-geser layar menu, ia merasa harus tetap butuh menyibukkan diri atau godaan setan cemburu akan menggerogoti dia. Rima mengerti, namanya juga baru punya bayi, wajarlah Siti dapat perhatian ekstra. Namun tetap saja, setelah 12 taun pernikahan dengan Riski, dan 10 taun berbagi rumah tangga dengan Siti, ini malah semakin susah.
Waktu menunjukkan pukul 11.30, sebentar lagi adzan dzuhur. Rima memanggil anak-anaknya Rifki dan Risa, mulai mempersiapkan mereka untuk berangkat ke mushola terdekat.
“Abi, aku solat duluan ya sama anak-anak”, Rima meminta izin pada Riski. Riski masih menimang bayi Sita, sementara Siti sedang melipat-lipat jaket bayi. Rima berpikir, ‘hah, pura-pura sibuk ya ngeliat aku nyamper kesini’ walau sebenarnya Rima juga mungkin akan melakukan hal yang sama.
“Jangan deh Mih, lebih baik Abi dulu sama Rifki. Abi perlu mengajarkan ke Rifki bahwa seorang ikhwan harus mau berlomba-lomba ke masjid”, ujar Riski walau ia tau di dusun bambu hanya ada mushola.
“Yaudah, kalau gitu bisa barengan aja kan kita semua? Sekalian jamaah juga.”, Rima yang sudah merasa tak nyaman tak lagi memikirkan ucapannya. Seketika Siti melirik Rima dengan pandangan sedikit ketus seolah bertelepati ‘aing kan kudu jaga orok!’. Sementara Riski yang bermotto “sebisa mungkin harus adil” berpikir apabila ia solat berjamaah dengan Rima dan anak-anak, itu tidak akan adil bagi Siti. Namun apabila ia membiarkan Rima solat sendirian, itu tidak adil bagi Rima. Akhirnya Riski sampai pada satu kesimpulan
“Rifki, lebih baik kita solat duluan aja. Umi, Bunda, Risa, dan Suci solat dirumah aja ya.”, Riski menarik tangan Rifki. Riski begitu yakin karena ia tau wanita memang sebaiknya solat dirumah. “Kalau nanti pas kita pulang macet dijalan gimana, Abi? Kalau keburu adzan ashar gimana?”, tanya Suci yang hafal betul bagaimana situasi jalan pulang dari Lembang ke kota di hari libur panjang ini.
“Gak apa, bisa di jamak nanti sesampai rumah ya. Yuk, Rifki”, jawab Riski sambil menjauh.
Rima dan Siti kaget kemudian terpaku diam kebingungan, terutama Siti. Siti adalah yang paling sering menyadari keputusan yang dibuat Rifki untuk menjaga segalanya tetap ‘adil’ kadang tidak masuk akal. Sama seperti hal nya pagi ini, atau bahkan setiap kali mereka mau tamasya bersama. Rifki pasti menyuruh Rima dan Siti untuk berangkat sendiri-sendiri menggunakan taksi online. Supaya adil, katanya.
Namun apa yang bisa dikata, apabila imam sudah berkehendak, apabila kita para istri ingin mendapatkan rahmat suami agar bisa memasuki surga, sebaiknya menurut saja. Rima merasa seertinya akan aneh apabila ia kembali menjauh dari Siti, jadi ia akhirnya memberanikan diri untuk duduk disebelah Siti, tidak sebegitu dekat tentunya.
Rima mencium aroma bayi Sita. Biasanya Rima menyukai aroma bayi, apalagi kalau wangi itu datang dari anaknya sendiri. Namun kali ini yang bisa ia bayangkan hanya ‘inilah aroma yg lahir ketika kelamin kalian beradu, kemudian dari cairannya jadilah anak ini, ini bau kelamin kalian’. Rima menyumpal hidungnya dengan tissue sambil pura-pura menarik lendir.
“Teh Rima sedang flu?”, tanya Siti dengan ramah.
“Ah iya, makanya tadi sebenernya saya teh takut deket-deket sama orok”, nice save, pikir Rima.
Ah sial Siti udah ngajak ngobrol duluan, berarti sekarang aku yang harus ajak ngobrol.
“Eh ai Siti kemarin teh lahirannya normal?”
“Iya betul”, Siti merasa tak nyaman dengan pertanyaan ini. Ingatan Siti kembali pada saat ia memutuskan untuk melakukan waterbirth dengan memanggil bidan untuk datang ke rumahnya. Siti pikir dengan demikian ia tak perlu khawatir Rima datang untuk menemaninya. Rifki memiliki aturan dimana ia kerap melarang Siti datang ke rumah Rima, atau sebaliknya.
“Wah, hebat. Pantes ya cepet kurusnya”,
Ups, bloon, aduuh kenapa jadi bahas fisik sih. Pikir Rima
Figur Siti memang tidak tertandingi di mata Rima. Fisik Siti lah yang menjadi setan pembuat cemburu terbesar bagi Rima. Sudah berkali-kali Rima berdoa ketika tahajud agar Siti jadi gemuk, namun nampaknya doa Rima tidak ijabah.
“Eh iya Teh. Ah engga ah, aku mah cuma sering jalan pagi aja sama yoga, liat yutub itu juga.” Siti salah tingkah.
“Lagian mendingan juga kaya Teh Rima atuh, jarang jalan-jalan jadi kulitnya meni putih”, lanjut Siti. Akibat tadi ia sudah dipuji, Siti merasa harus mengembalikan kebaikan Rima bagaimana pun caranya. 
Namun, untuk urusan wajah Rima, Siti tidak salah. Rima keturunan sunda cianjur memiliki kulit putih langsat yang mulus. Selain bawaannya sudah cantik, Rima tidak main-main dalam urusan skincare dan ia juga pintar merias diri.
beberapa topik kemudian, baik Rima dan Siti nampaknya sama-sama menemukan titik dimana mereka bisa berbincang tanpa harus menyangkut pada urusan Riski, anak-anak, atau hal lainnya. 
Walaupun percakapan mereka mulai dengan atribut fisik masing-masing. Mereka akhirnya berhasil membelokan topik tersebut pada produk skincare, make-up, bahkan influencer internet layaknya topik yang kerap dibahas wanita normal pada umumnya.
“Ya Teh, jadi kalau aku sih gitu tiap pagi ritualnya. bikin infused water gitu, caranya gampang kok, nih aku kasih liat ya”, Siti membuka aplikasi cookpad di ponselnya. Rima mendekat supaya dapat melihat layar lebih jelas.
UmmiSuciTa <3, nama akun cookpad Siti. Sial, setan cemburu tiba-tiba datang lagi ketika ia melihat akun Siti yang penuh dengan kreasi revolusioner. Pantas saja Rifki lebih banyak menghabiskan waktu dirumah Siti. Rima sendiri bukannya tidak jago masak, namun lidah dan tangan Rima lebih toleran dengan menu lokal ketimbang menu kebarat-baratan, jepang-jepangan, atau bahkan fusion dari keduanya seperti yang kebanyakan ada di halaman UmmiSuciTa <3 itu.
“Ya ampun, hotdog-sushi, kepikiran aja deh Siti, kreatif banget ya kamu”, puji Rima. Siti bisa mendengar ketidaktulusan dari pujian itu, ia hanya tersenyum kecil kemudian buru-buru menutup ponselnya. Situasi kembali menjadi canggung. Siti melirik ke arah mushola sambil berdoa dalam hati agar suami dan anak dari istri pertamanya itu cepat kembali.
0 notes