Bagi saya, menulis perasaan lebih mudah daripada mengatakannya.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
#64 Manusia dalam Kemanusiannya
Beberapa hari sebelum saya berulang tahun, saya membuka galeri foto di gawai saya. Koleksi foto di galeri foto saya rupanya sudah berubah. Jika dulu galeri foto saya direpresentasikan oleh alam dan kucing, sekarang ada banyak foto-foto orang di sana. Dan anehnya, saya tersenyum! Foto-foto tersebut terasa natural dan tulus.
Saya sadar ada sesuatu yang berubah dalam diri saya. Senyum kebahagiaan yang menghiasi berbagai momen nyata adanya. Saat dimana seseorang berusaha mengabadikan penampilan terbaik diri mereka dalam bingkai momen. Dan karena perjalanan saya di Jepang adalah sementara, saya menyadari bahwa foto-foto tersebut adalah sebuah usaha untuk membuat momen sementara menjadi abadi, terlepas baik buruknya kualitas foto.
Ada kalanya sulit mendapatkan foto yang saya mau di tempat yang begitu padat pengunjung. Sekarang, saya bisa melihatnya dengan cara yang berbeda. Setiap orang mencoba menikmati momen-momen dengan cara yang berbeda. Saya tidak lagi merasa terganggu dengan itu. Setiap orang punya caranya sendiri untuk berwisata. Saya melihat manusia dalam kemanusiannya. Dan hal tersebut mendewasakan saya sebagai manusia.
Kashiwara,
13 April 2025
0 notes
Text
#63 Menjelang Hari Pindah
Saat ini saya sedang duduk di taman, menikmati secangkir es kopi susu dari sebuah kedai kopi langganan saya. Saya menikmati sebuah hari yang baik. Anak-anak di hadapan saya sedang bermain bola. Remaja di belakang saya sudah selesai bermain baseball. Dan bunga putih di sisi kanan saya sekarang sudah mekar.
Alangkah lucunya. Di negara empat musim, setiap musim adalah sebuah representasi masa hidup. Musim semi. Musim untuk mengucapkan selamat tinggal dan musim untuk sebuah awal yang baru.
Sungguh ajaib bagaimana hidup membawa kita merasakan berbagai naik turun kehidupan. Saya memulai dengan perasaan sepi. Saya belajar berdamai. Dan dalam damai, berbagai keajaiban datang.
Saya bertemu dengan orang-orang baik. Betapa ajaibnya bahwa dalam 6 bulan, saya bisa membuat berbagai memori. Saya tidak pernah menyangka saya menemukan 'rumah' di sini, dalam rupa guru dan teman. Sejak awal saya tahu bahwa hari-hari saya dihitung mundur, jadi perasaan ini tidak pernah saya antisipasi.
Betapa ajaibnya Tuhan menata sedemikian detilnya kehidupan saya. Bahwa di suatu masa, Dia mempertemukan saya dengan teman-teman dari berbagai belahan dunia. Mereka yang saya jumpai, menorehkan warna dalam perjalanan saya, dan mungkin suatu saat tidak akan saya jumpai lagi ketika waktunya berpisah.
Sedari awal saya melarang diri saya untuk jatuh cinta, karena ketika saya jatuh cinta, saya tahu saya akan tinggal. Tapi saya rasa sudah terlambat. Hati saya sudah jatuh pada kehidupan yang saya jalani di sini. Dan saya tahu pasti, Maret 2026 akan menjadi saat yang berat untuk saya berkata 'Sayonara.'
Momodani Park,
25 Maret 2025
0 notes
Text
#62 Happy New Year!
Entah sudah berapa lama, saya tidak lagi membuat resolusi tahun baru. Tahun baru juga sebenarnya hanya saya rasakan sebagai another day. I am getting old, really!
Namun, tahun 2024 banyak mengubah saya. Menginjak kepala 3 pun sudah banyak mengubah perspektif saya. Perpindahan saya ke Jepang pun menawarkan berbagai emosi yang belum pernah saya alami sebelumnya.
Ada berbagai emosi dan perjumpaan-perjumpaan yang saya alami selama 3 bulan saya tinggal di Jepang. Kadang rasanya sulit dipercaya, mulai dari rasa sepi dan perasaan terisolasi, sampai belajar untuk bernegosiasi dengan lingkungan. Belajar beradaptasi! Ah, lebih dari tujuh tahun berlalu sejak saya harus belajar beradaptasi. Itulah sebabnya memulai kembali itu sulit. But I survive!
Orang Jawa bilang untuk tidak ngoyo, tidak memaksakan diri, tidak memaksakan keadaan, dan itu yang secara tidak sadar saya jalani selama satu tahun penuh. Dan itu juga yang membimbing saya untuk bertemu dengan orang-orang baik, mendapatkan kejutan-kejutan manis dalam perjalanan solo traveling saya.
Saya pikir hidup benar-benar indah. Tidak sempurna, tapi indah! Dan saya berharap, perasaan ini terus tinggal dan mengingatkan akan betapa kecilnya saya. Dan betapa ajaibnya hidup!
Osaka,
2 Januari 2025
0 notes
Text
#61 Merasakan Tuhan dalam Keterbatasan
Hampir 3 bulan saya tinggal di Jepang. Di tempat yang jauh dari keluarga dan teman, dalam kesendirian, dan keterbatasan bahasa, saya bisa merasakan betapa tidak berdayanya saya. Hari-hari kadang bercampur dengan kecemasan, dengan ketakutan, dengan perasaan terisolasi. Namun, keterbatasan saya membuat saya merasakan kehadiran Tuhan dalam keseharian saya. Saya merasakan bagaimana doa menguatkan saya dan bagaimana Tuhan melindungi saya. Bagaimana doa sederhana yang saya naikkan sesaat sebelum saya pergi terus menjagai saya sepanjang hari. Hal yang tidak pernah benar-benar saya rasakan sebelumnya.
Hal pertama-tama yang menyentuh hati saya adalah momen saat saya harus pergi ke dokter gigi beberapa minggu yang lalu. Dan bagaimana dengan keterbatasan bahasa, semuanya baik-baik saja. Saya pernah berpikir betapa malangnya saya harus sakit gigi di negara orang, tetapi pertemuan saya dengan dokter, dengan treatment yang saya dapatkan, dengan biaya murah yang saya bayarkan, ini adalah keberuntungan. Betapa Tuhan sudah mengatur sedemikian rupa, bahwa saya kehabisan waktu untuk pergi ke dokter gigi sebelum berangkat ke Jepang, adalah cara Tuhan menunjukkan keramah-tamahan melalui orang-orang di sekitar saya. Dan saya mendapatkan yang terbaik.
Hal kedua adalah kopi. Saya merasa bosan dan memutuskan untuk berjalan-jalan sore kemarin. Saya pergi ke kedai kopi langganan teman saya. Betapa senangnya saya dengan kedai kopi yang begitu otentik, merasakan pengalaman berinteraksi dengan sesama pecinta kopi, beserta tentu saja kopi Laos panas yang nikmat. Saya membawa buku untuk menemani saya, tapi siapa sangka, pengalaman yang saya dapatkan benar-benar utuh yang bahkan melebihi buku. Saya menikmati sisa malam dengan penuh, beserta pengalaman lain makan di kedai ramen yang begitu otentik.
Tuhan punya begitu banyak cara untuk hadir. Dan dalam segala keterbatasan ini saya menyadari Tuhan menjaga saya. Melalui doa-doa sederhana yang saya panjatkan, terlebih melalui doa-doa orang-orang yang mengasihi saya dan tiada berhenti mendoakan keselamatan saya.
“Aku mencintaimu. Itulah sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselatamanmu.” (Sapardi Djoko Damono)
Osaka,
29 Desember 2024
0 notes
Text
#60 Restart
Sudah 2 tahun berlalu sejak terakhir saya menulis. Dan sudah 349 hari berlalu sebelum tahun 2024 beranjak lalu, menyambut 2025.
Saat ketika Bapak Pendeta menyebut 349 hari, saya merenungkan kembali bulan-bulan yang telah berlalu. Dimulai dari akhir tahun 2023, hidup saya adalah sebuah perjuangan dan penantian.
Tahun 2023 adalah saat saya memutuskan untuk mengambil jeda dan memulai kembali. Pergi ke Singapura adalah momen saya untuk kembali menantang diri saya untuk keluar dari zona nyaman. Untuk memiliki perspektif baru, untuk meyakinkan diri saya bahwa saya baik-baik saja.
Desember 2023 adalah masa persiapan saya untuk ikut seleksi beasiswa, dan Januari 2024 sampai September 2024 adalah masa perjuangan dan penantian saya hingga akhirnya 1 Oktober 2024 saya tiba di Osaka. Saya tiba di JEPANG!
Ada masanya ketika saya berjalan kaki untuk ke sekolah, saya merasa seolah-olah ini adalah mimpi. Siapa yang pernah menyangka saya menghidupi mimpi saya setiap hari? Saya tinggal di Jepang, sebuah negara yang sudah lama saya impi-impikan untuk saya tinggali.
Hari ini saat ibadah dengan keterbatasan, saya mengingat masa panjang penantian. Saya mengingat masa-masa badan terasa lelah karena terbagi antara bekerja dan mempersiapkan berkas-berkas. Mengingat masa-masa saya menanti. Mengingat merapikan kos yang sudah saya tinggali selama 7 tahun.
Wajah-wajah baru pun melintas di pikiran saya. Orang-orang yang tidak pernah terpikirkan akan bersimpangan jalan dengan saya. Orang-orang yang mungkin hanya akan tinggal selama 1,5 tahun, dan tidak akan pernah kembali saya temui. Yang akan menjadi kenangan manis seumur hidup saya. Atau bisa jadi, ada yang tinggal menetap selamanya.
Kita tidak pernah tahu. Saya juga tidak pernah tahu. Kalau ada yang bisa saya bagikan sebagai potongan pengalaman adalah...semakin bertambah usia saya, semakin saya merasakan bahwa hidup tidak pernah bisa ditebak. Dan hal tersebut buat saya menunjukkan betapa kecilnya saya. Tapi, Tuhan baik...dan Dia akan menjaga saya seumur hidup saya.
Osaka,
15 Desember 2024
0 notes
Text
#59 Finding Balance
Dua tahun saya tidak pulang ke Solo. Ketika pulang, rasanya menyenangkan: dekat dengan keluarga dan selalu ada orang yang diajak bicara dari bangun tidur sampai tidur lagi.
Dua hari lalu saya tiba di Jakarta, dan saya menyadari sesuatu. Ada kesunyian yang dirindukan. Mengambil jeda dan hadir untuk diri sendiri.
Saya rasa pernyataan bahwa hidup adalah tentang menemukan keseimbangan adalah benar adanya. Mengambil tidak terlalu banyak dan belajar dengan 'cukup.'
Saat saya sendirian, saya merindukan keluarga dan teman-teman saya. Saya merindukan seseorang untuk diajak ngobrol. Tapi, kesendirian juga adalah hal yang dirindukan. Hadir untuk diri sendiri memberikan kesempatan untuk berefleksi dan berdoa dengan lebih baik.
Never take things for granted adalah benar adanya. Hadir di sini saat ini adalah benar adanya. Waktu begitu cepat berlalu dan momen apapun yang saya hadapi hari ini akan saya rindukan kelak.
"Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap." (Mazmur 90:10)
Jakarta,
5 Januari 2022
0 notes
Text
#58 Mengambil Jeda
Hari ini saya kebingungan mau makan malam apa. Lucu juga. Ketika saya bosan memasak, saya malas membeli makanan; dan ketika saya membeli bahan-bahan makanan, saya malas memasak. Pengalaman inilah yang membuat saya menyadari arti jeda.
Hanya butuh seminggu. Oh, bahkan kurang dari seminggu untuk membuat saya sadar bahwa saya suka menyiapkan makanan saya sendiri. Saya tahu takaran saya dan saya yakin lebih sehat. Hanya butuh seminggu untuk menyadari apa yang benar-benar saya nikmati. Seminggu. Jeda.
Betapa pentingnya jeda. Dan betapa jeda diperlukan, bahkan terhadap orang atau kebiasaan yang sudah begitu melekat. Jeda sepertinya bukan hal yang lazim bagi kebanyakan orang. Jeda dan kelemahan.
Mengambil jeda dari pasangan = merasa bosan = memiliki rahasia.
Mengambil jeda dari keluarga = tidak tahu terimakasih.
Mengambil jeda dari pekerjaan = kurang bersyukur, banyak mengeluh.
Jeda = klise.
Jeda = pecundang.
Anggapan tersebut rasanya mulai dirasa kurang tepat, walaupun saya pernah ada di posisi itu. Saya sadar bahwa hidup punya cara kerjanya sendiri untuk mengembalikan semuanya pada jalurnya masing-masing. Dan terkadang itu berarti mengambil langkah ke belakang untuk melihat dengan lebih jelas. Jeda memberi nafas pada diri sendiri.
Malam hari ini saya memasak mie instan di dapur sambil melihat bulan sabit dan bintang-bintang. Saat itulah saya sadar: flow of life. Langit yang hari-hari ini gelap dengan hujan angin dan petir berubah dengan bulan dan bintang-bintang. Semesta punya caranya sendiri untuk kembali pada jalur, dan kita bagian dari semesta.
Jakarta,
16 April 2021
0 notes
Text
#57 Berefleksi
Terkadang saya terheran-heran melihat orang tidak berhenti membicarakan masalah perkerjaan dan rekan kerja sesudah jam kerja. "Apakah mereka tidak punya hal lain untuk dilakukan?" pikir saya. Lalu saya melihat diri saya sendiri yang pada akhir pekan juga turut memikirkan dan terheran-heran memperhatikan tingkah orang lain. Apa bedanya?
Saya turut membicarakan mereka yang membicarakan orang lain. Di mana perbedaan saya dengan mereka? Saya mengizinkan waktu luang saya diisi hal dan orang yang bahkan tidak mempedulikan saya.
Entahlah, di masa Paskah ini saya sedang mengkaji ulang kehidupan saya. Ada hal-hal yang ingin saya ubah dan ada kehidupan yang ingin saya upayakan. Di hal-hal itulah seharusnya fokus saya berada.
Saya sadar menata hidup adalah menata prioritas. Renungan Jumat Agung yang saya dengar kemarin membukakan perspektif baru tentang cara menjalani hidup: Yesus datang tidak untuk menang-menangan. He simply finished the task he was meant to do. Winning or losing is human's perspective. It's not a competition.
Saya punya jalan hidup saya sendiri. Kepada hal itulah seharusnya saya mengarahkan tenaga saya. Ini bukan menang atau kalah. Ini tentang mengupayakan hidup yang bernilai. Kadang saya hilang arah, tapi saya bersyukur Tuhan punya sejuta cara untuk membawa saya kembali.
Renungan Sabtu Sunyi
Jakarta,
3 April 2021
0 notes
Text
#56 Menghadapi Diri Sendiri
Ada sedikit perasaan yang mengganjal di hati saya di tahun yang baru ini. Perasaan yang membuat saya merasa tidak nyaman dan sepi. Perasaan yang membuat saya ingin lari. Namun, pandemi "memaksa" saya tinggal dan tidak punya pelarian untuk berjalan-jalan.
Ada pelarian lain yang menyuarakan isi hati: mendengarkan lagu. Lagu bisa menjadi representasi isi hati. Namun, saya berpikir, saya tidak bisa terus-terusan "lari" dari perasaan yang ada yang sebenernya tidak ingin saya rasakan. Saya harus menyelesaikannya sendiri.
Maka, alih-alih mendengarkan lagu, saya memilih berdiam, merasa. Saya tidak memutar lagu saat mandi. Saya tidak memutar lagu saat menulis. Tidak juga saat membaca. Saya menghadapi sepi.
Pernah saya membaca bahwa yang menakutkan dari berdiam diri adalah datangnya perasaan-perasaan yang sebenernya tidak ingin dihadapi. Itulah sebabnya, orang terus menyibukkan diri. Pelarian dari diri sendiri. Itulah sebabnya pilihan untuk hening ini cukup menantang.
Namun, setelah saya jalani, walaupun rasanya tidak mengenakkan tapi berdiam mengajarkan saya untuk mendengarkan diri saya sendiri. Saya mendengarkan perasaan saya sejujur-jujurnya. Saya menghadapi diri saya dan berbicara padanya.
Tentu, berdiam di sini bukanlah meditasi, tapi saya "mematikan" media-media tempat pelarian saya. Dalam hal ini memutar lagu. Alih-alih membiarkan orang lain menyanyikan perasaan saya, saya memilih untuk menghadapinya sendiri.
Menyeramkan? Iya. Namun juga menyembuhkan. Seperti halnya obat pahit, jalan kesembuhan kadang memang pahit, tapi ujungnya manis.
Jakarta,
3 Januari 2021
0 notes
Text
#55 Abadi
Beberapa orang bersikap realistis, bersikap dingin terhadap hal yang dianggap remeh-remeh seperti cinta. Tapi saya dengar, saya lihat, saya merasa, orang-orang berhati dingin ini menyimpan dalam sebuah kerinduan untuk sesuatu yang "abadi" seperti cinta. Cinta yang sering didengung-dengungkan sejak kanak-kanak belum juga fasih membaca.
Ini seperti saya yang ikut bahagia mendengar kabar burung tentang seorang pasangan yang katanya kembali bersama setelah 12 tahun berlalu. Saya tidak kenal mereka. Saya hanya turut bahagia saja. "Ternyata ada juga definisi 'jodoh tak ke mana.' Setelah sekian purnama, kembali bersama."
Nyatanya...itu tidak lebih dari sebuah kabar burung. Mereka masih menjalani hidup mereka sendiri, bahkan yang satu sudah menjalin cinta dengan yang lain.
Saya menjalani hidup dengan realistis (menurut saya). Saya bukan orang yang kaget ketika mendengar kabar perpisahan seseorang yang nampak harmonis, akur, panutan. Bagi saya, yang pernah menjalani hubungan yang "nampak baik-baik saja", kadar kehidupan seseorang tidak pernah bisa dinilai dari luar. Hanya yang menjalani yang merasa.
Tapi, berefleksi dengan kisah sederhana dan perasaan saya, saya menyadari, terlepas dari "kerealistisan" saya, ada hal "abadi" yang saya rindukan. Sesuatu yang saya harap nyata meskipun itu tidak tentang saya.
Kebahagiaan saat melihat seseorang yang kembali setelah 12 tahun mencerminkan adanya perasaan yang tetap ada meskipun raga sempat tak bersama. Mencerminkan mereka yang tetap menjalani hidup dengan baik bersama seseorang yang mereka kubur di hati mereka. Dan.....ada saatnya ketika waktu mempertemukan mereka kembali.
Namun orang-orang menjalani hidup mereka di roda kehidupan yang terus berputar dan akhirnya mereka bertemu dengan orang lain, yang juga akan mereka cintai. Itu lumrah. Itu biasa. HIdup berputar seperti itu dan saya tahu. Tapi kenapa saya masih merasa sedih?
Jakarta,
1 Januari 2021
1 note
·
View note
Text
#54 Yes, I Am Tired
I am allowed to be tired. My students are allowed to be tired. We should have been having our holiday, but due to this outbreak, we can’t. We keep on going. Teachers keep on teaching. Students keep on learning...despite the sudden, strange, new circumstances. We are all forced to adapt to the “new normal.”
We are grateful. Yes we are grateful because we still can support ourselves. But, it doesn’t mean we are not tired. Yes we are tired, but we keep going.
Today I am allowed myself to be tired. I don’t have to stay strong all the time.
It’s okay not to feel okay.
Jakarta, 21 May 2020
0 notes
Text
#53 Kenapa Harus Minta Maaf?
Teman saya bercerita tentang “tekanan” yang dirasakannya karena dia “mendebat” si atasan. Karena tekanan itulah, dia mengirim pesan ke saya: Perlukah saya minta maaf? Respon saya: Kenapa harus minta maaf?
Beberapa orang hidup di lingkungan yang menghindari konflik. Bukan berarti kita salah. Beberapa orang minta maaf semata-mata “demi menjaga kedamaian.” Teman saya ada di golongan itu. Saya pun demikian, atau dulunya? Karena sekarang saya belajar untuk tidak selalu menimpakan kesalahan kepada diri saya sendiri.
Memang tidak enak harus “perang dingin” dengan orang-orang dekat kita. Sebagai seseorang dengan guilty feeling yang besar, saya tahu persis rasanya. Benar-benar tahu. Tapi setelah meninjau ulang perasaan-perasaan itu, saya akan merasa lebih bersalah setelah “membiarkan” diri saya mengkompromikan kebenaran hanya untuk merasa tenang. Hanya untuk tidak melukai ego orang, saya melukai ego saya sendiri.
Ini butuh perjalanan panjang. Ada kalanya saya masih dihantui perasaan bersalah karena tidak minta maaf (saat diperlukan) atau terlalu mudah minta maaf. Tapi akhir-akhir ini saya belajar bahwa some people have to learn it the hard way.
Jakarta, 17 Mei 2020
0 notes
Text
#52 Just Sleep on It
“Sleep on it” adalah sebuah istilah dalam bahasa Inggris yang berarti menunda membuat suatu keputusan sampai hari esok. Sebelumnya, saya hanya sekedar tahu istilah ini. Namun selama WFH saya akhirnya menyadari kebenaran dari istilah tersebut.
WFH mengajarkan saya untuk berdamai dengan keadaan. Ada kalanya mata saya begitu lelah namun idealisme saya meminta saya untuk tetap bertahan. Akhirnya saya belajar, bahwa saya tidak perlu sebegitu kerasnya dengan diri sendiri.
WFH karena covid-19 ini bukan WFH yang ideal. WFH ini adalah emergency situation, not the normal one. Ini bukan orang-orang yang MEMILIH bekerja dari rumah, tapi DIHARUSKAN KARENA KEADAAN.
Mata dan pikiran lelah dan saya harus belajar punya batas sendiri. Istirahat itu baik untuk kondisi tubuh dan mental saya. Saya harus belajar memaklumi keterbatasan saya. Istilah “sleep on it” ini bagi saya lebih dari sekedar membuat keputusan, tapi belajar beristirahat dan meletakkan permasalahan. Saya memprioritaskan kesehatan fisik dan mental saya. Pagi hari mata saya akan lebih segar, pikiran dan jiwa saya lebih baik untuk melanjutkan aktivitas.
Dan jangan lupa mantra dari 3 Idiots: ALL IS WELL.
Jakarta, 16 Mei 2020.
0 notes
Text
#51 Menjadi Dewasa
Ada kalanya kita harus mengesampingkan perasaan untuk tetap menjalani hidup. Ada kalanya merasa terpuruk, tapi tetap bangkit. Ada kalanya takut, tapi mencoba berani walau gemetar. Ada kalanya putus asa, tapi tetap mendambakan harapan. Ada kalanya tak ingin menerima kenyataan, tapi tetap harus menjalani.
Inilah menjadi dewasa bagi saya. Berusaha jujur, sambil tegar menjalani kehidupan. Dunia akan terus berputar terlepas dari setiap rasa sakit. Dunia terus berputar sampai kita menghilang.
Jakarta, 12 Mei 2020 (di pagi hari sambil menemukan kekuatan menjalani hari)
0 notes
Text
#50 Jujur dengan Perasaan
Saya pikir saya sudah mengenal hidup. Ternyata salah. Hari ini saya menyadari bahwa nampaknya selama raga ada di Bumi, saya tidak akan pernah mengenal lika-liku hidup. Selalu ada hal yang dipelajari setiap hari.
Hari ini saya belajar untuk jujur dengan perasaan. Mau dikata apa. Harga diri kadang menghalangi diri sendiri untuk mengakui hal-hal yang nampak cengeng dan lemah. Tapi menjadi jujur dengan perasaan ternyata membutuhkan keberanian yang besar.
Mengaku sedih, kecewa, kesepian, takut, marah, terluka, dan rentetan perasaan cengeng lainnya ternyata benar-benar membutuhkan sebuah kekuatan besar. Jujur dengan perasaan sendiri. Jujur dengan kebutuhan sendiri. Jujur menyampaikan isi hati kepada orang lain dengan segala resikonya.
Butuh 27 tahun saya belajar hal ini. Tidak serta merta kata-kata yang tidak disampaikan itu bijak. Jujur dengan perasaan sendiri membuat diri sendiri waras. Kata-kata pedas kadang dibutuhkan orang lain untuk menampar kehidupan mereka.
Marah? Bertengkar? Mengumpat? Itu hanya proses. Yang bertahan akan tetap bertahan. Yang pergi memang tidak pernah ditakdirkan bersama.
Jakarta, 11 Mei 2020
0 notes
Text
#49 To Be Human
Sometimes I forget to be human. I’ve been living an independent life for about 8 years until I forget I am also human. For a person living by myself like me, I always learn to not depend myself on others. It means, unconsciously, to cover up my weakness. I must be strong.
This self-quarantine reveals many things. Things I usually avoid when doing my busy activity. It forces me to slow down. To reflect. To face the biggest enemy human ever has: his/her own self.
Listening to my inner self turns out to be challenging. But the activity I revolve around these days have been teaching me something valuable.
I learn to be ordinary. Tears and loneliness have been my enemy. But now I realize that to make mistake and to feel are what make me human.
During this self-quarantine, I try to love myself. I make friends with tears and loneliness. I forgive myself for not being perfect. I admit that I am not in control of anything.
And after I embrace all the weaknesses I have, I surprisingly find out the new me. I am happier. Life becomes more tolerable. I become more grateful. And the most important thing is I befriend with life itself.
I am human. And just like the saying says, to err is human. For everyone reading this, I just want you to know: We are all humans after all.
Jakarta,
9 May 2020
0 notes
Text
#48 Ordinary
They project the ordinary, with a little or a bunch of sentiments on top. They are edible, even a child understands. They promote almost no ideology. One shall not dig them deeper. What they promote is what we see. Isn’t it?
They project the ordinary. They represent the common. Yes, with a little or a bunch of dramas on top. The ones that rarely happen in reality. Thus, a person like me tend to underestimate, then overlook them.
They do promote ideology. They do promote humanity. Yes, the dramas might not suit life. But the value exists.
They spark happiness. They spark hope. They spark sadness.
They spark life complexity: grudge, forgiveness, family, struggle, love, happiness, sadness, despair, hope.
Yes, they are too imaginary. But the imagination is inspired by the reality. They turn the hard reality upside down.
Yes, they teach you something...only if you humble yourself to learn.
Jakarta,
9 May 2020
0 notes