pranatrn
pranatrn
a Pran
17 posts
Seorang Pran (tidak butuh apresiasi)
Don't wanna be here? Send us removal request.
pranatrn · 4 years ago
Text
13 Feb 2021
Yang menyedihkan adalah ketika ia mengesampingkan effortku di beberapa case, dan mengultimatum diri ini seakan2 tak pernah sedikitpun berjuang.
1 note · View note
pranatrn · 5 years ago
Text
Membuat dialog saat berkendara, seakan2 ngobrol bareng dia itu mengasyikan. Tapi gua takut hancur sih, karna ekspektasi gua untuk dekat dengan dia terlalu tinggi.
Bodo ah
2 notes · View notes
pranatrn · 5 years ago
Text
Sepertinya aku jatuh cinta, setelah 5 tahun mati rasa, apalagi setelah dapat pesan bahwa aku hadir di dalam mimpinya, sepertinya itu jawaban kerinduanku. Tapi masa iya sehebat itu kontak batin, padahal baru saja kembali mengenal.
Aku takut dianggap kaku, karna tak mahir mendekati wanita. Padahal aku cukup asyik, tak usah pembelaan kau pran. Kalopun naik satu tahap mendekati lewat pesan, hamba takut dikata kegeeran saja, belum tentu dia punya perasaan yg sama. Serba salah
Tak taulah syukuri saja nikmat ini, semoga yang terbaik.
2/9/2020
1 note · View note
pranatrn · 6 years ago
Text
Tumblr media
1 note · View note
pranatrn · 6 years ago
Text
Tumblr media
AGUS SALIM yang sederhana
”…Orang tua yang sangat pandai ini adalah seorang yang jenius. Ia mampu berbicara dan menulis secara sempurna sedikitnya dalam 9 bahasa. Kelemahannya hanya satu: selamanya ia hidup melarat dan miskin.” (Prof. Schermerhon, ketua delegasi Belanda pada perundingan Linggarjati, dalam Het dagboek van
Schermerhon).
Di dalam gang sempit itu, berkelok dari jalan utama, menyelusup gang-gang padat rumah di Jatinegara terdapat sebuah rumah mungil dengan satu ruang besar. Begitu pintu dibuka, akan ada koper-koper berkumpul di sudut rumah dan ada kasur-kasur digulung di sudut lain. Di sanalah tempat tidur H. Agus Salim bersama istri dan ketujuh anaknya.
Dikontrakan yang lain, H. Agus Salim, kira-kira enam bulan sekali mengubah letak meja kursi, lemari sampai tempat tidur rumahnya. Kadang-kadang kamar makan ditukarnya dengan kamar tidur. H. Agus Salim berpendapat bahwa dengan berbuat demikian ia merasa mengubah lingkungan, yang manusia sewaktu-waktu perlukan tanpa pindah rumah atau pergi istirahat di lain kota atau negeri. Begitulah seperti dikisahkan Mr. Roem, murid dari H. Agus Salim yang juga tokoh Masyumi.
Kesederhanaannya yang luar biasa adalah ketika H. Agus Salim rela berjualan minyak tanah, sekadar memenuhi kebutuhan hidupnya. Tanpa rasa malu ia menjualnya dengan cara mengecer, meski pada saat itu dia sudah pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri dan perwakilan tetap Indonesia di PBB. Bahkan saat ada acara di Yogyakarta, Agus Salim terpaksa membawa minyak tanah dan menjualnya disana. Hasil penjualan minyak tanah itu, lanjut Roem, dipergunakan untuk menutupi ongkos perjalanan Jakarta – Yogyakarta.
Anies Baswedan dalam ‘Agus Salim: Kesederhanaan, Keteladanan yang Menggerakan’ menyebutkan bahwa Agus Salim hidup sebagai Menteri dengan pola ‘nomaden’ atau pindah kontrakan ke kontrakan lain. Dari satu gang ke gang lain. Berkali-kali Agus Salim pindah rumah bersama keluarganya.
Kasman Singodimedjo (tokoh Muhammadiyah dan Masyumi, Ketua KNIP Pertama), dalam ‘Hidup Itu Berjuang’ mengutip perkataan mentornya yang paling terkenal; pada ceramahnya di hadapan Bung Karno, Bung Syahrir, dan Soeharto, H. Agus Salim mengatakan “Memimpin adalah menderita, bukan menumpuk harta.”
Dalam Buku ‘Seratus Tahun Agus Salim’ Kustiniyati Mochtar menulis, “Tak jarang mereka kekurangan uang belanja.” Lihatlah, bagaimana tak ada sumpah serapah pejabat meminta kenaikan jabatan, tunjangan rumah dinas, tunjangan kendaraan, tunjangan dinas ke luar negeri untuk pelesiran, tunjangan kasur, tunjangan lobster dll.
Kita tentu rindu sosok seperti H. Agus Salim, bukan tentang melaratnya, tapi tentang ruang kesederhanaannya yang mengisi kekosongan nurani rakyat, sebuah keteladanan yang mulai memudar di tengah gemerlap karpet merah Istana dan Senayan
1 note · View note
pranatrn · 6 years ago
Text
Tumblr media
Soe Hok Gie, Aktivis "Cina" yang Mencintai Indonesia
Jika anda menilai baik atau buruknya seseorang hanya dari suku, ras, ataupun agamanya, boleh jadi halaman buku yang anda baca masih belum cukup banyak.
Kenyataannya masih banyak orang-orang dari kalangan minoritas yang kepekaan moralnya jauh lebih baik dari kita sendiri, salah satunya Soe Hok Gie.
Gie lahir di Jakarta, 17 Desember 1942. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan–seorang penulis. Ia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, sosiolog terkemuka.
Sebagai peranakan Tionghoa, ia lebih dekat dengan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) dan Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB). Tapi, di LPKB, Gie juga bersikap kritis. Ujung-ujungnya ia dipecat dengan sejumlah tuduhan miring diarahkan ke dadanya.
Sejak kecil, Soe Hok Gie telah memperlihatkan diri sebagai seorang pemberontak. Nuraninya gampang tersentuh saat melihat ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.
Ketika ia duduk di kelas 2 SMP, guru Ilmu Bumi mengurangi nilai ulangannya tanpa alasan: dari 8 menjadi 5. Gie marah sekali. Ia tulis dalam buku hariannya, 4 Maret 1957: “Hari ini adalah hari ketika dendam mulai membatu…Dendam yang disimpan, lalu turun ke hati, mengeras sebagai batu.”
Beberapa tahun kemudian, sebagai mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Indonesia (UI), Gie menjadi salah seorang pemimpin mahasiswa dalam aksi menumbangkan Orde Lama pada 1966. Ia menjadi tokoh mahasiswa Angkatan 66 bersama nama-nama lain seperti Cosmas Batubara, Soegeng Sarjadi, Mar’ie Muhammad, atau Nono Anwar Makarim.
Protes-protes itu ditujukan kepada pemerintah yang dianggap tak becus mengurus negara, pejabat yang hanya memperkaya diri sendiri, juga terhadap kebijakan “memberi angin” kepada Partai Komunis Indonesia (PKI).
Gie dan teman-temannya jelas juga berhadapan dengan Sang Bapak Bangsa, Sukarno. Ia sendiri menilai Sukarno sebagai manusia yang baik. Namun, ia menulis di catatan harian, “…dikelilingi oleh Menteri-menteri Dorna yang hanya memberikan laporan-laporan yang bagus-bagus saja.”
Ia juga penulis yang produktif. Tulisannya tersebar di Harian KAMI, Kompas, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, danIndonesia Raya. Ia menulis di rumah keluarganya di Jalan Kebon Jeruk IX, dekat Glodok, Jakarta Barat. Di kamar belakang yang temaram, berteman nyamuk, ketika kebanyakan orang telah terlelap dalam mimpi.
Saat Orde Lama tumbang dan Orde Baru tegak, sejumlah pentolan Angkatan 66 masuk parlemen. Gie tetap di luar. Tapi mengirimi pupur dan lipstik –tentu sebagai sindiran– agar mereka terlihat elok di mata penguasa. Sebelum mendaki Semeru, ia mengirim bedak, gincu, dan cermin kepada 13 aktivis mahasiswa yang menjadi anggota DPR setelah Orde Baru berkuasa. Harapannya, agar mereka bisa berdandan dan tambah “cantik” di hadapan penguasa.
Gie kecewa dengan teman-teman mahasiswanya di DPR. Mereka dianggap sudah melupakan rakyat, lebih mementingkan kedudukannya di parlemen. Buat Gie, aktivis mehasiswa sebagainya hanya menjadi kekuatan moral, bukan pelaku politik praktis.
Dalam surat pengantar kiriman, 12 Desember 1969, ia menulis, “Bekerjalah dengan baik, hidup Orde Baru! Nikmati kursi Anda–tidurlah nyenyak.”
Selain membaca dan menulis, hobi Gie adalah mendaki gunung. Ia menjadi salah seorang pendiri organisasi Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) UI.
“Mencintai Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung,” tulis Gie di esaiMenaklukkan Gunung Slamet.
Di gunung pula, Gie menghembuskan nafas terakhir. Ia meninggal di Gunung Semeru, 16 Desember 1969, akibat menghirup asap beracun di sana. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Lubis.
Pada 2005, kisah hidupnya diangkat ke layar lebar oleh sutradara Riri Riza dalam film Gie. Nicholas Saputra didapuk memerankan Gie. Karya itu menyabet 3 Piala Citra dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2005, termasuk gelar Aktor Terbaik untuk Nicholas.
Gie adalah tipikal intelektual sejati. Berani melawan arus jika diperlukan. Tak membeo.
Dalam artikel Di Sekitar Pembunuhan Besar-besaran di Pulau Bali, Gie mengkritik aksi perburuan dan pembunuhan kader serta simpatisan PKI pasca-G30S. Tulisan itu dimuat diMahasiswa Indonesia, Desember 1967.
Ia menulis, “…di pulau yang indah ini telah terjadi suatu malapetaka yang mengerikan, suatu penyembelihan besar-besaran yang mungkin tiada taranya dalam zaman moderen ini, baik dari waktu yang begitu singkat maupun dari jumlah mereka yang disembelih…”
Pada hari-hari itu, tak banyak intelektual Indonesia yang mengecam. Nyaris semua diam, dengan alasan masing-masing.
Akibat kritik-kritik dalam tulisannya, ia pernah menerima surat kaleng. Petikannya, “Cina tak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja.”
Kakaknya, Arief Budiman, berkisah bahwa ibu mereka berkata, “Gie, untuk apa semuanya ini? Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang.”
Ditegur seperti itu, pria berperawakan kecil itu menjawab pendek seraya tersenyum, “Ah, Mama tidak mengerti.”
Gie dimakamkan di lingkungan Museum Taman Prasasti, Tanah Abang, Jakarta. Di nisannya, tertulis, “Nobody can see the trouble I see, nobody knows my sorrow.”
1 note · View note
pranatrn · 6 years ago
Text
Rok(ok)
Sedikit saya menulis ini, seputar tembakau berbentuk silinder yang dibalut dengan sebuah kertas dengan diameter 10mm dan panjang 70 – 120mm ‘rokok’ dan bagaimana sikap kita seharusnya. Saya sadar tulisan saya bukanlah tulisan yang pure benar, demikian dalam buku filsafat ilmu dikatakan bahwa kebenaran itu relatif, artinya pandangan kebenaran bagi setiap insan itu berbeda. Seperti halnya sebuah tesis dihantam dengan anti-tesis – anti-tesis yang lain.
Kawan tentu sering menemukan bungkus rokok entah itu di rumah bekas ayah, paman, kakak yang merokok, di tongkrongan, di depan stasiun, dan berbagai tempat lainnya. Pasti kawan juga sering membaca sebuah tulisan peringatan yang jelas terpampang pada covernya “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin” luar biasa peringatan pemerintah untuk perokok, pun ditambahkan gambar penyakit yang menggelikan untuk dilihat. Data mengatakan pada tahun 2015, kematian akibat konsumsi tembakau sekitar 240.618 jiwa per tahun. Rokok begitu berbahaya namun kenapa pemerintah tidak mampu menarik rokok dari peredaran dan menghentikan distribusi di Indonesia?
Amerika yang dahulu disebut sebagai Negara Marlboro karena merupakan Negara pendiri Marlboro telah melakukan pengetatan peraturan untuk mengurangi rokok. Salah satu negara di Asia pun demikian, memberikan peraturan dengan iming iming denda, bagi yang didapati merokok di mana pun akan dikenakan denda yang tidak sedikit. Lagi-lagi money oriented menjadi alasan pemerintah untuk berpikir dua kali menghapus rokok di Indonesia. Didapati 4 perusahaan rokok besar menyumbang penerimaan cukai sebesar Rp. 125,55 triliun sepanjang 2015 [sumber : liputan6. com]. Ini adalah nilai yang fantastis.
Rokok sudah identik dengan masyarakat Indonesia. Setiap kegiatan sembari merokok itu mengasyikan, demikian kata perokok. Yang lebih identik lagi oknum perokok yang tidak memberikan kebebasan bernapas bagi yang tidak merokok, tidak peduli yang penting saya merokok mulut ngga asem lagi. Bahkan kita pernah disuguhi cerita konyol yang kurang lebih “gue pengin bakar pabrik rokok, tapi itu ilegal dan gadibolehin, yaudah gue bakar dan gue isep rokok satu per satu biar rokok yang ada di pabrik rokok itu abis” guyonannya kurang lebih gitu.
Namun haruskah kita membenci perokok?
Sangat prematur bagi kalian yang membenci perokok. Beberapa teman nongkrong saya mengatakan kepada saya untuk ingin benar benar lepas dari kebiasaan merokok namun sulit. Nikotin pada setiap batang rokok yang masuk ke dalam tubuh, mampu membuat candu. Kawan, ayolah entah kau perokok aktif maupun pasif sama-sama saling menghargai. Stigma orang yang benci terhadap perokok adalah dampak dari para perokok yang tidak mampu mengondisikan saat merokok.
Wassalam
-Pran
Tumblr media
1 note · View note
pranatrn · 6 years ago
Text
Cinta
Suatu hari, Plato bertanya pada gurunya, “Apa itu cinta? Bagaimana saya menemukannya? Gurunya menjawab, “Ada ladang gandum yang luas didepan sana. Berjalanlah kamu dan tanpa boleh mundur kembali, kemudian ambillah satu saja ranting. Jika kamu menemukan ranting yang kamu anggap paling menakjubkan, artinya kamu telah menemukan cinta”
Plato pun berjalan, dan tidak seberapa lama, dia kembali dengan tangan kosong, tanpa membawa apapun.
Gurunya bertanya, “Mengapa kamu tidak membawa satupun ranting?” Plato menjawab, “Aku hanya boleh membawa satu saja,dan saat berjalan tidak boleh mundur kembali (berbalik)”. Sebenarnya aku telah menemukan yang paling menakjubkan, tapi aku tak tahu apakah ada yang lebih menakjubkan lagi di depan sana, jadi tak kuambil ranting tersebut. Saat kumelanjutkan berjalan lebih jauh lagi, baru kusadari bahwa ranting-ranting yang kutemukan kemudian tak sebagus ranting yang tadi, jadi tak kuambil sebatangpun pada akhirnya”
1 note · View note
pranatrn · 6 years ago
Text
Penghujung yang kembali berawal
Malam yang biasa terasa membutakan mata, sebab cahaya siang telah hilang ditelan hitam. Namun kini berbeda! Hitam tak sanggup lagi menghipnotis semesta dengan sepi dan sunyinya. Hamparan langit seakan menjadi kanvas kali ini. Kilauan cahaya seakan menghias malam, ribuan kembang api bersahutan memcahkan kesunyian dan sepi.
Namun kusesekali terlamun di penghujung warsa ini. Lamunan yang berubah menjadi renungan yang menyadarkan diri. Tentang apa yang telah kuperbuat di warsa yang panjang ini. Kurasa banyak hal yang tak berarti, yang terkadang membuatku semakin tinggi hati. Walau dari sekain prestis yang dapati, tak membuat sang cipta ku hargai.
Satu warsa yang lalu ku pernah berjanji. Berjanji menjadi manusia yang lebih baik lagi. Walau tak lama, semua telah hangus dan mati. Sebab segala bentuk ambisi. Memang bagai hama yang merusak tanaman padi sebelum menjadi yang diharap petani.
Hari ini kutak mau berjanji, sebab janji selalu menghantui pikiran dan hati.
"Biarkan semua berjalan seperti ini. Kembali menjadi awal di penghujung warsa ini."
-Pran
1 note · View note
pranatrn · 6 years ago
Text
Tumblr media
Pilihan
Ada satu hal yang berseberangan dengan takdir, yakni memilih pilihan. Banyak pilihan dalam hidup, yang mengajarkan kita akan hal yang baru. Ada yang memilih tetap membuka mata dengan smartphonenya walau waktu sudah dini hari, padahal ada pilihan lain memilih tidur sambil membayangkan wajah wanita dambaan di detik detik sebelum memejamkan mata.
Yang lebih relevan, banyk yang hanya menggunakan sosmed sebagai media unjuk diri atau dalam bahas kasarnya 'pamer', ada juga yang memilih sebagai bentuk tegur sapa, berkomentar setiap kawan menjepret yang dibungkus dalam instastory, atau hanya menjadi penonton setiap jepretan kawan lamanya memposting, padahal dulu masif sekali bercanda ria. Tapi siklus persekawanan harus tetap berputar. Dan ini pun pilihan.
Tidak jarang orang bersantai dengan memilih menikmati kopi dipadukan biskuit renyah yang baru dibeli di warung sambi menikmati fajar, padahal ada pilihan lain yakni menikmati teh hangat dengan celupan biskuit bekas 2 lebaran sebelumnya sambil menikmati senja.
Ketika masif hoax berkeliaran banyak respon kita yang berbeda. Ada yang merespon dengan mempertanyakan data, merespon dengan amarah, atau bahkan ada yang merespon dengan menertawakan orang yang meresepon berita hoax, memang ironi, tapi ini pilihan.
*Ada organisator yang memilih diam akan kemunafikan organisasi ekstra kampus, ada yang memilih waras dan melawan ketika ada bentuk penetrasi pemikiran terhadap organnya, walau terkadang intimidatif adalah ujungnya, ada yang memilih menyerah melawan keganasan mereka karena capek mental akan sikap sikap intimidatif mereka. Memang terkadang menjadi waras yang bersuara bukan pilihan terbaik, tapi tetap menjadi pilihan yang benar.
Bahkan disana, ada orang tua yang bingung, harus memilih membeli beras atau membayarkan spp anaknya besok, mereka harus tetap memilih. Walau ironinya anaknya di luar sering berlaga modis, western, dan hedonis, tak menau apa yang dirasakan orang tuanya.
Bagi mereka sepasang kekasih di sekolah yang hendak UN pun harus memilih, tetap bersama sang pacar, atau memutuskan fokus untuk mengejar nilai UN, walau si wanita punya pilihan sendiri setelah itu, lanjut putus atau tetap putus hehe.
-
Terlepas dari pilihan yang ada, bukan tentang siapa yang memilih pilihan terbaik, tapi siapa yang memilih pilihan yang menurutnya benar yang mungkin untung untung itu adalah pilihan terbaik.
-
Terima kasih sudah membaca tulisan tak terkonsep ini, sebab sedang melamun jadi iseng iseng aja aing.
-
* = bagian pengalaman
-
-Pran
22/12/18
1 note · View note
pranatrn · 6 years ago
Text
Tumblr media
Tuhan dan Aku
Tak pantas rasanya sebagai hamba tanpa meminta restu Tuhannya saat hendak beraktivitas, tak pantas pula saat fajar tiba, saat terbangun dari tidur, bukan kata syukur yang terlisan pertama kali, atau tidak sedikit pun kata syukur yang keluar oleh lidah yang lugu ini. Bahkan ketika aku merasa tak yakin saat memilih, saat itu juga ada Tuhan yang kusepelekan, sebab tak yakin bila tuhan telah menakdirkan kita thd sebuah pilihan yang tepat. .
Kata kitab, Tuhan lebih dekat dari urat leher kita. Namun kusering was was akan sebuah hasil ujian terkhusus mata kuliah yang kuterlantarkan sebab aktivitas lain. Bukankah aku telah tak percaya kepada hasil yang akan diberikan tuhan?
Memaki kawan dungu yang terlihat agamis dan bersuara lantang dengan kalimat kalimat aneh, yang merepresentasikan bahwa dia umat habib yang kerap kali menebar kebencian. Sering kumaki kawanku ini atas perbuatannya bahkan tak jarang ku berdebat dengan suara keras. Namun aku sering lupa bahwa Tuhan punya solusi berupa tabayun saat hendak menghadapi orang seperti ini. .
Bukan bermaksud sok religius, namun ini sebuah keyakinan yang tanpa sadar sering kulalaikan.
Bukankah sesantai dan semudah itu hidup?
-Pran
1 note · View note
pranatrn · 7 years ago
Text
Refleksi
Sebut saja Tarmuji, seorang pemuda yg sedang belajar di tanah politik berkedok perguruan tinggi, label-label "membangun pemimpin masa depan", "pergerakan intelektual" menjadi khasnya, hmm keren yah. #bulshit
.
Tarmuji belakangan ini dirundung keresahan, toh jelas sampai saat ini tarmuji bingung mau kemana, jadi aktivis? Loh Tarmuji aja muak sama oknum yang katanya aktivis yg dimana merupakan teman-temannya sendiri. "Intense kajian bicarakeun rakyat, tapi tetangga rumah sebelah kelaparan ndak bisa makan 2 hari dia acuh, bahkan cenderung apatis, introvert di masyarakat", katanya sambil tolak pinggang.
.
Wong akeh aktivis hilang idealisme'e saat urusan perut dan materi sudah clear dan terpenuhi. Tarmuji juga bingung mau jadi organisator yang baik tapi banyak wong wong sing menyalahke organ dan njelek'i organ dee, tapi ngga ono solusine. Iki rek. Mau jadi atlet pun fisik'e de'e pas pasan. Lari dikit aja lemes, pun berdiri 1 menit aja Ndak kuat. Mboh dengkul dee mungkin wis kopong dadine lemes.
.
Dadi seniman. Tarmuji paling malas menggambar, yang de'e inget yah cuma gambare waktu SD matahari yang dihapit dua gunung. Tarmuji memang hebat dalam hal ini. Orientasi sexnya sudah ada sejak SD divisualisasi dalam bentuk gambar. Huft. Bersastra, Tarmuji cukup bisa berekspresi dalam berpuisi, tp klo urusan bikin puisi males'e blas. Mboh Tarmuji mau dadi apa nanti, apa orientasinya ke depan. Ada saran untuk Tarmuji di tahun 2018?
-Pran
2 notes · View notes
pranatrn · 8 years ago
Text
CFD itu .....
P = Prana (saya) O = oknum pengguna jalur CFD Dari SD sampai sekarang percuma ku belajar bahasa Inggris sebab Minggu lalu sepedaan di jalur cfd. Saat ku mengayuh sepeda, sengaja ku pilih gigi satu agar Kayuhan cepat, namun jalan sepeda tetap lambat. Tiba tiba aku mendengar seorang anak manusia bergumam dengan kawannya. O : "cfd kan artinya lari, ngapain naik sepeda" P : 😶 Kemudian kuubah sepedaku ke gigi lima, dan ku kayuh sekencang-kencangnya agar ku meninggalkan jauh anak manusia itu Sepanjang jalan seperti ada yang membisiki "cfd itu artinya lari, cfd itu artinya lari, ngapain sepedaan........" .
1 note · View note
pranatrn · 8 years ago
Quote
sejatinya dalam ketidakyakinan seseorang adalah keyakinan yang hakiki. karna ia sedang yakin tidak yakin
anon
1 note · View note
pranatrn · 8 years ago
Text
Kembali ditayangkan masal film “konspirasi” G30S
 Hari ini, acara nonton bareng film karya Arifin C. Noer tersebut digelar di berbagai kampung. Masyarakat menggebu gebu datang ke lokasi. Bahkan ada yang memanggil tetangganya untuk menghadiri acara tersebut. Membawa tikar dari rumah, bahkan snack kalengan dari rumah disajikan di tempat nonton bareng. Masyarakat sangat hikmat menyimak setiap scene yang disajikan dalam film itu. Konon beberapa tempat diawasi oleh tentara. Namun, masyarakat terlihat sangat antusias dengan kepolosan mereka masing-masing.
Hal ini telah dianjurkan oleh panglima TNI bahkan kepala Negara mempersilakan beberapa pekan lalu. Pertanyaannya adalah apa urgensi mereka? Nyatanya kultur ini telah dihentikan pada tahun 2002 atau masa reformasi karna dinilai film itu tidak layak ditayangkan masal. Kewajiban menonton bareng film ini hanya ada pada masa orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Sekali lagi apa urgensi pemerintah mempersilakan nobar film “konspirasi” ini. Yaa beberapa kali saya menyebut film ini adalah film konspirasi dan saya rasa kurang layak untuk ditonton oleh beberapa kalangan. Kita bahas dengan jiwa yang tenang.
Kita lihat, film ini sangat TNI sentris. Wajar saja film ini besutan rezim orde baru. Banyak pihak yang meragukan kebenaran sejarah dalam film tersebut, terlihat dalam film seakan akan selalu TNI yang merasa diinjak injak. Dibuktikan adanya adegan adegan yang diperlihatkan seperti pencongkelan mata, penyayatan tubuh para perwira TNI AD. Ada dua hal yang saya kritisi dalam hal ini. Pantaskah mempersilakan berbagai kalangan untuk menonton sesuatu yang sangat mengerikan tersebut? Apakah dampak psikologi terhadap anak yang menonton? Atau pertanyaan yang lebih jauh, apakah berdampak pada orang tua yang mungkin tidak membabaskan anaknya untuk bergaul? Saya rasa hal – hal mendasar seperti ini terlewat dari pertimbangan pemerintah kita. Selain itu, padahal berdasarkan hasil visum tidak ada pencungkilan mata, pemotongan alat kelamin, atau penyayatan tubuh para perwira TNI AD. Yang kemudian nantinya menimbulkan polemik di kalangan sejarawan.
           Banyak sekali buku-buku yang menceritakan peristiwa G30S yang ditulis dari kalangan sejarawan dan sangat jelas tulisannya berdasarkan fakta sejarah bukan atas intervensi rezim orde baru. Seharusnya pemerintah bisa membagikan buku yang sesuai fakta ini kepada masyarakat jika tujuannya adalah memperkenalkan sejarah peristiwa G30S.
           Selain itu, melencengnya film berdasarkan fakta yang ada ini masih menjadi unsur utama yang menjadikan kalangan akademisi khawatir akan anjuran nobar film ini. Contohnya dari Dr. Asvi Warman Adam yang melihat adanya kemelencengan secara historis. Asvi menunju, peta Indonesia yang berada di ruang Kostrad sudah memuat Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia. Faktanya, tahun 1965/1966 Timor Timur belum berintegrasi. Tokoh tokoh yang terlibat terlibat dalam penumpasan, sering kali diulang-ulang padahal instansi terkait tidak membenarkan hal itu. Mengulang-ngulang adegan keterlibatan AURI membuat TNI AU keberatan. Kemudian selain itu, hal kecil yang jelas bertujuan untuk menjatuhkan salah satu pihak dilakukan dengan melencengkan fakta. Terutama saat scene Aidit yang sedang merokok. Padahal beberapa kerabat dan keluarganya mengakui bahwa Aidit bukan perokok.
           Sebenarnya apa tujuan pembuatan film sejarah? Bukankah untuk pendidikan? Atau sebuah renungan? Namun bagaimana jika film sejarah kita yang “tidak layak tersebut” hanya berisi ujaran kebencian tanpa memperlihatkan pesan moral sedikit pun?
           Layakkah jika film dengan kekerasan yang diperlihatkan setiap scene itu ditonton oleh berbagai kalangan?
Sekali lagi, apa urgensi pemerintah mempersilakan penayangan film konspirasi tersebut? Sedikit solusi, jika hanya ingin mengetahui gambaran sebenarnya persitiwa tersebut, marilah kit abaca buku buku yang ditulis sejarawan dan teruji fakta sejarahnya.
sekian
2 notes · View notes
pranatrn · 8 years ago
Text
Absurditas Sosial dan Apatisme
Baru-baru ini kita dihebohkan tentang adanya kondisi masyarakat dengan sosial medianya yang dengan berlebihan menanggapi suatu kasus. Yakni salah satu kasus dalam sebuah aksi mahasiswa. Keadaan masyarakat yang seperti itu justru menimbulkan efek domino bagi masyarakat. Mengompori sebuah kasus dengan kawannya sehingga kawannya terpancing, dan sebagainya.
Dikemas dalam tulisan dari seorang kawan bernama Ahmad Firdaus berjudul “Teknologi dan absurditas”. Pantas memang jika dikatakan seperti itu.
Namun di sisi lain perilaku absurditas justru kita rasakan saat ini dan sangat mencolok. Dimana kawan lama kita acuh tak acuh akan selintingan sapaan di sebuah grup sosial media. Apakah kita dilahirkan sebagai orang yang acuh tak acuh? Apakah memang itu adalah watak dasar manusia?
Menarik jika kita tarik sikap apatis tergolong perilaku absurditas, entah dari segi apa. Apatis yang didefinisikan dengan hilangnya rasa simpati terhadap lingkungan. Cukup sinkron bukan bila sikap apatis menjadi perilaku absurditas? Aneh bukan (jujur saja), faktanya waktu kita lebih banyak pada layar smartphone. Sulitkah kawan kawan merespon sebuah cuitan yang notabene tidak memakan waktu lebih dari 15 detik hehehe.
Hal tersebut sama saja sebuah representasi dari komunikasi satu arah. Kita pasti sepakat bahwa komunikasi dalam segi apapun itu penting. Entah antara kerabat kerja, kawan, keluarga, pembimbing akademik dengan mahasiswa, dan sebagainya. Tidak asing jika kita sebagai makhluk sosial bicara tentang komunikasi. Semua manusia perlu melakukan komunikasi dengan orang lain agar kita bisa diterima masyarakat. Terlibat dalam komunikasi merupakan sebuah sikap bahwa kita bukan manusia sombong.
Ini merupakan gejala yang menonjol dalam kehidupan kita, ayo baper (bawa perubahan).
Wassalam
-Prana Triana, Sejarah 2016
2 notes · View notes
pranatrn · 8 years ago
Text
Pol(menggel)itik
Politik itu untuk kekuasaan demi kepentingan, yang jadi pertanyaan adalah kepentingan untuk siapa? Elite atau rakyat? Nah kalo rakyat, rakyat yang mana? Politik itu perlu dipelajari, seorang penyair Jerman pernah menulis "Bahwa buta terburuk adalah buta politik". Mereka hanya makan, tidur tak mau memikirkan keadaan negaranya. Seakan membusungkan dada sembari berkata "ngapain ngurusin politik" padahal setiap orang berkata seperti itu, milyaran rupiah uang negara dirauk oleh politisi Tokohnya pun membuat citra yang baik di depan media. Seakan dia hebat, padahal busuknya jauh lebih banyak. Napoleon Bonaparte pun pernah berkata, "aku lebih takut pena seorang jurnalis daripada seribu bedil serdadu musuh". Makanya yang kita lihat banyak politisi yang terlihat baik, namun kebusukannya ditutupi (tanpa menyinggung siapapun). Terlepas dari itu semua, sebaik-baiknya politik adalah yang mencari kekuasaan untuk menjadi teladan rakyat sehingga membuat keadaan negara(segi apapun) menjadi lebih baik.
2 notes · View notes