“Sebab biru adalah lambang kelapangan dan kedalaman. Seperti langit dan laut." ― Prasetyani Estuning Asri || Author of "The Wisdom of Life", "Blue Box", "ICU", "Kita, yang Digerakkan oleh Waktu", and other books (as soon as possible).
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Beberapa tomat yang baru saja dipetik, ditaruh di sebuah wadah kecil hingga saling berdesak-desakan. Beberapa tomat diperhatikan satu per satu, dipastikan mana yang bagus mana yang sudah busuk. Pun jika kebusukan itu baru setitik saja kelihatannya, baiknya harus tetap dipisahkan, daripada kebusukan itu menyebar ke tomat-tomat lain yang kondisinya masih baik. Lalu apakah tomat busuk itu harus dibuang? Tidak juga, tomat busuk itu hanya perlu dipisahkan, tidak serta merta langsung dibuang. Beberapa mungkin masih ada bagian yang bisa diselamatkan, dipotong saja bagian busuknya. Sedangkan yang sungguhan sudah busuk sepenuhnya pun masih bisa diambil bijinya untuk ditanam dan melahirkan tomat-tomat baru.
Kadang dalam kehidupan yang makin ada-ada saja kejadiannya ini, kita memang harus tegas, kan? Hidup dalam pemakluman yang berlebihan hanya akan menghancurkan diri sendiri. Harus mulai berani berkata 'tidak' untuk hal-hal yang memang kamu sendiri ragukan, dan kamu berhak untuk itu. Kamu pun berhak memilih siapa saja yang boleh berada dalam lingkungan kehidupan pribadimu, kamu berhak memberi jarak pada orang-orang yang kamu anggap toxic. Kamu berhak menciptakan kenyamanan dalam hidupmu sendiri. Sungguh kamu berhak untuk itu.
—Prasetyani Estuning Asri
0 notes
Text
Kalau takdir memang menghendaki luka itu harus terbawa hingga garis terakhir, paling tidak berupayalah sekeras-kerasnya untuk meminimalisir atau bahkan menghilangkan rasa sakitnya.
—Prasetyani Estuning Asri
1 note
·
View note
Text
Pada kenyataannya, angka genap 10 tidak selalu dihasilkan dari angka yang setara seperti 5+5. 10 bisa saja hasil dari 9+1, 8+2, 7+3, 6+4, atau bahkan bisa juga dari 11-1, 12-2, 13-3, 14-4, dll dll.
Yang menggenapkan kadang memang nilainya tidak harus benar-benar sama. Ada kalanya memang perlu ada yang lebih tinggi agar mampu menambah sisi-sisi yang kurang hingga jadi genap, utuh. Tapi ada juga yang harus rela merendah untuk mengurangi yang berlebihan hingga pada akhirnya bisa tergenapi juga, utuh.
Mari saling menggenapkan dengan lebih fleksibel, dengan segala upaya untuk terus bergantian saling mengurangi yang berlebihan atau menambahkan yang kurang, hingga genap dan utuh.
—Prasetyani Estuning Asri
0 notes
Text
Ternyata, akan ada kabar membahagiakan yang datang lengkap dengan kesedihannya juga. Lantas membuat perasaan jadi membingungkan, seperti hujan yang turun saat matahari bersinar terang.
—Prasetyani Estuning Asri
0 notes
Text
Semakin banyak gonjang-ganjing kehidupan yang kamu alami ternyata membuat diri makin tegas menjawab pertanyaan basa-basi untuk memulai pergunjingan yang tidak perlu, seperti, "eh kamu tahu enggak kabar heboh terkini si dia??"
Dengan lantangnya kamu akan menjawab, "enggak! Aku enggak tahu, enggak mau tahu, enggak mau cari tahu, enggak perlu kamu kasih tahu!"
Rasanya jadi makin tidak rela kalau waktu yang kita punya hanya direnggut untuk mengurusi drama kehidupan orang lain yang ceritanya tentu saja sudah dilebih-lebihkan, diberi bumbu-bumbu, didramatisir, dan lebih parahnya lagi sering kali berbanding terbalik dari kejadian sebenarnya.
—Prasetyani Estuning Asri
0 notes
Text
Seperti sedang membaca novel, suka tidak suka kita tidak bisa mengubah alur ceritanya atau watak tokoh-tokohnya.
Begitu pun dengan cerita kehidupan ini, kan? Suka tidak suka, kadang kala kita tidak bisa mengubah alur cerita yang sudah terlanjur terjadi, tidak berkuasa juga mengubah watak peran orang-orang di sekitar kita.
Bagian kita hanya melakoni peran sebaik-baiknya untuk cerita kehidupan yang lebih baik di hari-hari berikutnya.
—Prasetyani Estuning Asri
1 note
·
View note
Text
Terkadang lucu juga ya kehidupan ini. Yang gagal hubungannya tapi yang hancur berantakan kehidupannya, misalnya.
—Prasetyani Estuning Asri
0 notes
Text
Kabarnya, di zaman sekarang ini, ada buah-buahan segar yang dulu rasanya dominan asam tapi kini berubah jadi lebih manis. Tentu saja buah-buahan itu jadi lebih diterima, jadi rebutan banyak orang. Harusnya, hal ini jadi kabar baik karena buah-buahan mengandung banyak vitamin yang diperlukan tubuh manusia. Sayangnya, tidak sepenuhnya demikian. Rasa manis yang berlebihan dari buah-buahan itu kabarnya berasal dari pemanis buatan. Rasa manis yang dipaksakan. Dan tentu saja, hal itu justru akan berdampak buruk bagi tubuh.
Pada akhirnya, segala sesuatu yang dipaksakan itu memang tidak baik ya? Seperti halnya ketika diri kita ingin menjadi lebih baik, hal itu memang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas diri. Tapi mengembangkan diri ternyata memang harus ada batasnya, tidak serta merta menghalalkan segala cara untuk terlihat 'wow' di mata orang sekitar. Tumbuh sesuai prosesnya ya, jadi lebih baik tanpa harus buru-buru mencapai target hingga merubah apa-apa yang sejatinya sudah menjadi ketetapan-Nya.
—Prasetyani Estuning Asri
1 note
·
View note
Text
Kalau di halaman akhir cerita bersamamu ia jadi peran yang tidak baik, bukan berarti di masa lampau ia tidak pernah jadi baik dan mungkin saja di masa depan nantinya ia bisa juga jadi baik.
Atau barangkali, di buku cerita hidup seseorang, ia adalah sebaik-baiknya peran. Kita tidak pernah tahu, tidak pernah benar-benar tahu. Pun juga kita tidak perlu sibuk menceritakan keburukannya agar menjadi tokoh yang tidak baik di buku kehidupan orang lain yang bahkan tidak pernah mengenalnya.
Selepas ini, tutup ia sebagai tokoh yang sudah selesai perannya. Tidak perlu diceritakan lagi, tidak perlu mencari tahu cerita baru yang ia perani. Tamat.
—Prasetyani Estuning Asri
1 note
·
View note
Text
Barangkali memang demikian adanya kehidupan harus berjalan, setiap manusia akan hidup dengan jalannya masing-masing, dengan waktunya masing-masing, dengan tujuannya masing-masing, dengan hasil akhirnya masing-masing.
Tidak ada yang tertinggal, tidak ada yang meninggalkan.
—Prasetyani Estuning Asri
2 notes
·
View notes
Text
Jangan sampai terjebak 'perjalanan' dengan seseorang yang punyai laju tidak jelas dan membahayakan. Menghidupkan lampu seinnya kanan eh tapi belok kiri, atau sebaliknya, misalnya. Yang pada akhirnya rawan kecelakan dan kisruh di perjalanan. Maka, pilih yang pasti-pasti saja, ke kanan ya ke kanan, ke kiri ya ke kiri. Kalau beneran suka ya lanjut dan segera seriusin, tapi kalau memang tidak suka ya sudahi saja sejak awal. Jangan digantung tidak jelas. Sederhana tapi sulit dilakukan oleh orang-orang yang plin-plan dan tidak tegas bahkan pada dirinya sendiri. Sekian~
—Prasetyani Estuning Asri
3 notes
·
View notes
Text
Sudah mawas diri sejak dulu kalau memang masuk pada golongan 'beruntung bukan untuk semua orang'. Jadi rasa-rasanya setiap punya impian, sudah siap kalau Allah bakal kasih ospek dulu. Seperti ospeknya maba yang bertahap dan banyak, ospek univ, fakultas, jurusan. Sampai rasanya seperti sudah punya benteng diri, "iya, ini enggak akan mudah, iya ini tidak selesai dengan plan A dan B saja, harus A-Z." Sedih sih, cuma secara tidak sadar malah bikin diri jadi terbiasa ditempa seperti itu, jadi punya banyak rencana, "kalau ini enggak berhasil jadi aku harus lakukan A/ B/ C/ dst." Lama-lama berasa jadi lebih kuat dan tahan banting. Bukan jadi kuat macem Manusia Milenium juga sih, sedihnya mah ada, capeknya mah ada, putus asa dikit-dikit mah juga ada. Cuma rasanya jadi lebih cepat bangkitnya karena masih punya pegangan plan-plan berikutnya kalau jatuh di plan pertama.
—Prasetyani Estuning Asri
4 notes
·
View notes
Text
Ternyata, definisi sebenarnya-benarnya dari buang-buang waktu adalah ketika kita menjalani hubungan bertahun-tahun dengan seseorang yang selalu berpatokan pada kalimat, "jalani saja dulu.."
Benar-benar jalan saja, tanpa arah tujuan yang pasti, tidak ada kejelasan, tidak ada kepastian, tidak ada target waktunya. Sampai diri sendiri berada di titik capek paling capek dan bertanya-tanya, memang mau sampai kapan jalanin saja dulunya? Dan, ternyata, jalanin saja dulunya berhenti sampai dia mendapatkan seseorang yang beneran pas menurutnya. Sayangnya, seseorang itu ternyata bukan kita.
—Prasetyani Estuning Asri
4 notes
·
View notes
Text
Zaman sekarang memang sangat perlu memilih pasangan dengan lebih detil melihat bibit, bebet, bobot. Perlu juga check BI checking, aplikasi dating, circle tongkrongan, tempat nongkrongnya. Jangan mudah terpukau kalimat-kalimat manisnya. Apalagi janji-janji yang terkesan tidak realistis, janji untuk tidak selingkuh lagi padahal semua orang juga tahu hobinya selingkuh sana-sini. Realistis ya, mentang-mentang menerima dia apa adanya bukan berarti menerima segala hal yang jelas-jelas sudah menjadi tabiatnya yang tentu saja tidak akan semuda itu berubah!
Mari mencintai dengan waras!
—Prasetyani Estuning Asri
1 note
·
View note
Text
Kaca jendela yang sudah pecah berkeping-keping tentu tidak bisa disatukan lagi, kalau pun dipaksakan pasti akan melukai. Dan jalan keluarnya hanya bisa dengan mengganti kaca yang baru.
Memang tidak semua hal yang sudah hancur bisa diperbaiki, jangan paksaan ego diri sendiri yang pada akhirnya hanya akan saling melukai. Lepaskan hubungan yang makin hari makin tidak jelas arahnya. Tidak perduli sudah berapa lama hubungan itu dirajut tapi jika memang sudah tidak layak untuk dipertahankan maka lepaskanlah. Sekali lagi, lepaskanlah.
—Prasetyani Estuning Asri
0 notes
Text
Kadang, ketika kita makan makanan yang pedasnya paling maksimal memang mulutnya kuat tapi ternyata perutnya yang porak-poranda. Entah berujung diare parah atau asam lambung naik yang mencekik hingga ke ulu hati. Jika efeknya sudah sedemikian parahnya, mestinya di lain hari tidak akan mengulangi makan pedas dengan level yang paling tinggi lagi. Orang akan terbentuk jadi pribadi yang lebih hati-hati, tidak berlebihan, tidak ingin mengulangi sakit yang sama lagi. Ia tentu akan lebih memilih dan memilah makanan yang akan dikonsumsi.
Seperti perasaan, seseorang yang pernah berekpektasi terlalu tinggi pada sebuah hubungan tapi justru berakhir kandas dan menyakitkan, tentu lukanya tidak main-main. Di lain hari, ia pasti akan jadi manusia yang lebih hati-hati, dengan banyak pertimbangan yang jauh lebih realistis. Bagi sebagian orang ia jadi nampak seseorang yang pemilih sampai tak kunjung dapat pendamping. Padahal, ia hanya sedang berusaha mengulur egonya, mengatur ekspektasinya, menjadi lebih realistis, tidak mau mengulangi luka yang sama lagi.
—Prasetyani Estuning Asri
0 notes
Text
Seperti timun dan kerupuk di pinggir sepiring nasi goreng. Sebagian orang mungkin menganggapnya tidak penting atau bahkan mengganggu, lalu disingkirkan, diabaikan, bahkan dibuang. Tapi bagi sebagian orang lainnya, timun dan kerupuk adalah hal yang sangat penting untuk menyempurnakan sepiring nasi gorengnya, menganggapnya sebagai satu kesatuan yang utuh.
Memang demikian, tidak semua orang akan suka pada kita. Tapi, percayalah, di sisi lain, akan selalu ada orang yang memang menganggap kita penting di hidupnya.
—Prasetyani Estuning Asri
1 note
·
View note