Text
I can hear you in the silence, because my mind speaks about you all the time. I can feel you on the way home, to where home actually is, if not you, yourself? I can see you with the lights out, because I found you in my darkest times.
───────────────────────────
day one, for Julius. from You Are in Love by Taylor Swift.
0 notes
Text
Dan bukan sama sekali aku hendak mengadu nasib, mengerti lah bahwa kendatipun tidak diserahkan kamu kepada maut yang bukan datang melainkan diundang, adakah sebab kamu dihanyutkan sebagaimana dalam calak dan untai jemari atau ditinggal begitu saja di semak-semak biar keropos digerogoti rangrang, kita memang tidak untuk diakui.
Seumur jagung saja kamu menanggung keterasingan, seumur hidup aku menanggung keterhinaan. Lihat bagaimana aku belum diizinkan pulang ke tanah dan surga Tuhan, melainkan diminta mengais-ngais kehidupan yang datang dia dari ketidaksengajaan? Dari adam yang imoral dan hawa yang sundal?
Apa yang saban hari kamu makan di atas sana? Semoga kamu menikmati apa yang dalam kitab-kitab diterangkan. Sungai susu dan minuman anggur. Semoga lah tenang, jangankan susu, jika dapat air tanah direjang jadi lauk, maka ibuku pasti menanaknya.
Apa yang saban malam kamu saksikan di atas sana? semoga kamu menyaksikan apa yang dalam kitab-kitab diterangkan. Malaikat dan bintang-bintang. Semoga lah damai, jangankan bintang, saban malam aku menyaksikan ibuku digerayangi tangan-tangan dan seloroh tidak senonoh.
"Tidak ada jalan lain," dan Ibu selalu punya jalan. Misalnya, waktu ada pemasangan kabel, tersesat di kebun binatang, atau sama-sama tidak dapat menjawab pekerjaan rumahku. Mengapa kali ini tidak ada jalan? "Rasa lapar adalah palang buntu," katanya.
Betul adanya memang aku kerap lapar. Betul adanya memang ibu kerap menangis dalam kebuntuan. Dia sudah terjerat begitu jauhnya sehingga pilihannya menempatkan ibu pada jurang: adakah jatuh kita berdua dalam kemelaratan yang semakin menjadi, atau membiarkan tubuhnya diambil paksa semalam dua malam.
Dan bukan sama sekali aku hendak mengadu nasib, memang begini adanya: aku menanggung keterhinaan dari ibu yang digerayangi tangan-tangan, dalam kebuntuan, kami tetap kelaparan. Jika saja Tuhan membiarkan aku pulang...

0 notes
Text
TENTANG TUBUH YANG DIAMBIL PAKSA.
Dan dipikir mereka punya kuasa atas tubuh yang dititipkan oleh Tuhan pada alam. Tubuh yang dari segempal tanah dan segumpal darah itu dirasanya mereka yang punya, yang memiliki. Ialah keangkuhan yang begitu melebih-lebihkan daripada Sang Agung itu sendiri.
Moral mereka yang nol itu, tambah nol saja sebab nolnya dijajarkan pada buku-buku tabungan yang dicuci setiap tahun. Angka-angka yang dihitung rumusnya dengan kecurangan itu harus bertambah dan berputar. Sungguh lah, ini bukan kecurangan yang sekedar minta jawaban dengan kawan. Ini nepoㅡ (sebentar, sepertinya ada tukang bakso di depan rumahku).
Tangan-tangan mereka yang menjalar seperti gurita itu memang betul besar adanya. Bayangkan jika seseorang punya kuasa atas suara-suara orang lain. Merenggut dan mencabut bukan perkara sulit, mengayomi bisa nanti (kalau mau naik jabatan di lima tahun lagi).
Ah, tendensi. Kuasa adalah komoditas dari nafsu. Nafsu berakar dari berahi. Percakapan tentang tubuh yang telah aku gugat di atas adalah tentang bagaimana uang dan kekuatan dapat membeli jiwa sekalipun. Membeli kemolekan para ayu yang dijebak mereka dalam industri yang imoril tetapi subtil.
Lucu mengingat bagaimana mereka yang menjebak, mereka pula juga yang bersembunyi. Sesederhana logika permainan tradisional, bagaimana bakal berjalan adil jikalau yang jaga, ikut mengumpat? Di semak-semak eufemisme, di balai-balai yang tidak berpihak.
Memang bencana adanya, sudah pula mereka dinomorsatukan egonya padahal tidak punya tulang rusuk yang lengkap, ditambah tangan-tangan yang delapan laik gurita, dan nominal uang yang terus dikalikan bukan dengan angka melainkan koneksi keluarga.
Tentu saja dipikirnya mereka punya kuasa atas tubuh dan suara. Pun jika memang benar adanya telah dikorupsi juga aspirasi, jangan melupa kita bahwa sumbu perlawanan adalah pengambilan paksa. Pengambilan atas tubuh, yang sejatinya dari alam dia tumbuh.
───────────────────────────
dan srintil dalam ronggeng dukuh paruk, hanyalah satu dari sekian perempuan yang dijebak dalam industri perdagangan nafsu,

0 notes
Text
AKU MENULIS BERITA TENTANG SEORANG CENAYANG.
Adakah kamu seorang cenayang? Adakah barangkali, mantra-mantra yang kamu bacakan, sehinggapun demikian saktinya kamu, aku rasa?
Badai telah menghantam peratapanku sehinggapun aku berteduh tidak pada kehangatan, melainkan petir dan hujan. Saban hari aku rapat-rapat mengunci pintu agar tidak ada yang menerobos masuk, kendati demikian, tak pergi juga cemasku lekas-lekas.
Adakah kamu seorang cenayang? Adakah barangkali, sesuatu dalam rengkuh dan sentuh yang kamu tawarkan, sehinggapun demikian nyaman aku, kamu rasa?
Malang punya malang, sebab aku adalah prajurit yang kalah sebelum berperang. Bukan musuh yang aku eksekusi, justru dibunuh aku oleh isi kepala yang begitu keji. Dan bagaimana jika aku berhenti bergerilya, dan menyatu saja dengan apa yang aku pijak, tanah ini?
Adakah kamu seorang cenayang? Adakah barangkali, sesuatu dalam jiwamu yang begitu karib dan baik, sehinggapun demikian hidup aku, kamu buat?
Sebab, kekalahanku menjadi tidak berarti suatu apapun. Mereka episodik, lewat, dan sejatinya cuma perlu dilupa. Sebgaimanapun dihantam guntur persembunyianku, sekilat apapun cemas mendobrak pintuku, aku tetap gerilyawan yang aku tahu kamu banggakan.
Adakah kamu seorang cenayang?
Sebab, berkatalah kamu bahwa aku akan baik-baik saja. Maka, baik-baik saja aku memang jadinya. Sakti betul, bukan?
──────────────────────────
watch me winning this war for you,

0 notes
Text
MURDER, TENDER HEART.
Anger consume me and clouds are in the sky no more. It fogs my sanity with memories I refure to reminisce, my heart is beating rapidly, shall explode in no time. I carry revenge and I am on fire, even the very slightest push me to slaughter. This wicked mind will murder me, I am sure of it, once they are not capable of thinking of you.
───────────────────────────
madness, for Khailil.

0 notes
Text
SWORDS, YOUR WORTH.
All the wars defeated you and your swords red from your own blood. You were betrayed and signed your own death. You were out of breathe and were drowning. You lose everything, but never me. Win me once and forever, the trophy of your rising, of your battling.
───────────────────────────
tears, for Khailil.

0 notes
Text
AKU TIDAK SEDANG MENGULAS BUKU.
Aku sedang mengajakmu melompat ke luar jendela. Bakal kukenalkan kamu pada dunia yang begitu membuat terheran-heran: sebuah dunia yang, bagaimana mungkin bisa ada, bagaimana mungkin bisa nyata?
Aku memahami keraguan yang kamu gamblang perihal Srintil dan Rasus. Mereka belum juga kencur, tetapi di pekuburan mereka sudah hampir memagut dan melindur (kita kalah).
Sungguhlah, masih ada yang lebih gila. (Sugesti awalku justru, bagaimana jika kita melakukan hal yang sama? Tetapi, demi Tuhan takut aku dengan takhayul. Bagaimana kalau jadinya kerasukan?).
Jabat tanganku dan mari melompat ke luar jendela, biar aku kenalkan pada Dewi Ayu dan tiga putrinya (secara teknis ada empat, tetapi, ini diskursus yang lain). Mereka begitu cantik dan eloknya, dari penjuru negeri datang kagumnya.
Kendati demikian, lekat-lekatlah kamu lihat bagaimana yang sejatinya berkah justru membawa sengsara. Jadi begitu sedihnya mereka, begitu hidupnya menjelma neraka (sebab cantik itu luka).
(Gerangan, aku menyisipkan satu doa: sepenuh hati, semoga kamu tidak perlu merasakan yang sebegini sanksi. Kendati kamu tidak kalah menawan, kendati terpikat siapapun kamu buat).
Mari melompat ke luar jendela dan bicaralah kita perihal hati dan belahan jiwa. Maka, kiblatku ialah Amba dan Bhisma. Ya, ya, ini Amba dan Bhisma yang lain daripada babat Ramayana, tetapi persis tragis.
Mereka menyulut api dan membakar diri mereka sendiri di dalamnya. Begitu mencintanya sampai sisa abu kembali mereka kumpulkan, dijadikan dupa pengharapan. Bara apinya terus membara, nyala yang kata mereka abadi.
Di tengah malam, mereka bercumbu dengan mesra yang meletup-letup, menjelang pagi mereka bercerita sambil terkantuk-kantuk. Aku merasakan hal yang sama, sebab di pukul dua pagi lah biasanya kamu mengajak berkontemplasi.
(Yang berbeda, sekali lagi, kita bukan Rasus dan Srintil di pekuburan, apalagi Amba dan Bhisma di tengah malam. Aku hanya kedapatan kantuk dan percakapan).
Mari melompat ke luar jendela dan kukenalkan padamu sebuah dunia yang membuat terheran-heran: di sana ada aku, mendoakan agar elok paras tidak membawakanmu nahas, dan semoga tengah malam nanti kita kerasukan dalam nyala api yang kita sulut sendiri.
───────────────────────────
now associated with all the thing i find sanity and comfort within, for alighieri.

0 notes