pursuingdream
pursuingdream
Pursuing My Dream
568 posts
eat to live, but don't live to eat.
Don't wanna be here? Send us removal request.
pursuingdream · 3 years ago
Text
Jangan pernah merasa baik-baik saja jika masih suka maksiat sekalipun rajin ibadah. Barangkali ketika kita tidak sholat tepat waktu karena habis nonton sesuatu yang mengandung maksiat.
Barangkali kelunya lidah untuk membaca Al-Qur'an karena semalam habis ngomongin orang atau ngobrol hal-hal yang ngga berguna. Barangkali sulitnya kita menerima nasehat karena telinga yang teramat sering mendengarkan perkataan kotor.
Barangkali saat tangan terasa berat untuk sedekah tersebab seringnya jari-jemari mengetik sesuatu yang menyakiti hati saudara kita saat membacanya. Dan hal-hal lain yang sebenarnya teguran dari Allah tapi kitanya santai aja.
Merasa baik-baik saja karena maksiat jalan ibadah jalan. Astaghfirullah, yuk mari kita koreksi amal yaumi kita. Jika masih ada kekurangan yuk dimaksimalkan. Sambil terus mohon ampun atas segala dosa kepada Allah. Dan berjuang menghindari maksiat sekecil apapun.
260 notes · View notes
pursuingdream · 3 years ago
Text
Tidak apa pelan-pelan. Jangan merasa tertinggal dalam hal apapun dengan orang lain. Nikmati prosesnya. Allah lihat upayamu. Allah lihat semangatmu. Allah tau langkah demi langkah yang kamu ambil untuk menjadi lebih baik.
Tidak usah merasa tertinggal. Tidak apa bila masih banyak yang belum kamu tau. Allah tau niat yang tersimpan di dalam hatimu. Jangan menjadikan pandangan orang lain sebagai hambatanmu untuk berubah ya.
Bukankah kamu berubah untuk Allah? Maka cukup Allah saja yang menjadi takaranmu dalam segala sesuatu. Yang penting Allah ridha, senang dan bahagia dengan keputusan yang kamu ambil.
Bila nanti kamu temukan banyak orang yang mencibirmu, tidak apa. Yang penting Allah bahagia dengan perubahanmu. Sekali lagi tidak apa-apa pelan-pelan. Tidak apa-apa masih banyak yang harus dipelajari. Yang penting kamu tidak berhenti belajar dan terus berupaya untuk menjadi sebaik-baiknya hamba.
Jangan jadikan mata manusia sebagai takaranmu ya. Cukup hanya Allah :)
@terusberanjak
371 notes · View notes
pursuingdream · 4 years ago
Text
“I want to talk about what happened without mentioning how much it hurt. There has to be a way. To care for the wounds without reopening them. To name the pain without inviting it back into me.”
— Lora Mathis, If There’s A Way Out I’ll Take It
16K notes · View notes
pursuingdream · 4 years ago
Text
Terimakasih
Terimakasih sudah mau menerima kekuranganku. Terimakasih sudah sabar menghadapiku, kecerobohanku, ketidakbecusanku, ketidakpekaanku. Terimakasih sudah mau mencintaiku, meski banyak sekali hal-hal yang masih harus kuperbaiki.
Aku tau, kamu sesekali kesal padaku, tapi hatimu mudah sekali memaafkan. Terimakasih.. kamu selalu berusaha mengerti keadaanku.
Terimakasih sudah menghargai masakanku meski aku tak tau rasanya seperti apa buatmu. Terimakasih untuk selalu mengingatkanku supaya berhati-hati ketika memasak. Terimakasih untuk tidak membentakku ketika beberapa barang tak sengaja kurusakkan. Terimakasih sudah membelikanku mesin cuci, supaya tanganku tidak lecet lagi. Terimakasih untuk selalu ada dan menghibur, ketika aku sakit.
Aku sungguh beruntung memilikimu. Kamu yang selalu rendah hati, tulus dan baik hati. Membuat hatiku yang keras ini—yang bebal, tidak suka diatur dan dibatasi, akhirnya luluh di hadapanmu.
Aku tidak mencari seseorang yang kaya raya juga terpandang di hadapan manusia. Aku mencari seseorang yang bertanggung jawab dan bersungguh-sungguh.
Atau kalau kamu sering merasa minder hanya karena aku lebih berilmu (agama) darimu, bagaimana bisa? Allah memandang dan membedakan derajat manusia saja, berdasarkan takwanya. Lantas, siapa yang tau takwa seseorang di hatinya kalau bukan Allah?
Semua manusia pada awalnya sama. Ya, sama-sama tidak tau dan tidak berilmu. Itulah mengapa wajib bagi kita untuk terus menuntut ilmu. Tidak akan berhenti sampai ajal kita tiba.
Ada yang lebih mulia dari seseorang yang berilmu, yaitu seseorang yang baik akhlaknya, terutama pada keluarga. Akan lebih baik lagi apabila dihiasi dengan ilmu juga. Tentu aku mencari orang sepertimu, yang selalu ingin berbenah dan punya semangat belajar yang tinggi.
Kalau kamu bertanya lagi mengapa aku memilihmu, maaf aku selalu tertawa dan tak bisa menjawabnya. Sedari dulu, aku selalu berdoa pada Ia supaya ditunjukkan mana yang baik dan tidak baik untuk dunia dan agamaku. Hingga akhirnya, takdir itu membawaku padamu.
Saat ini, saat aku mulai sedikit demi sedikit mengenalmu, sampai aku perlahan mengerti, mengapa aku memilihmu. Iya. Aku membutuhkanmu, begitu pula kamu yang juga membutuhkanku.
Terimakasih.. untuk tidak lelah mengajakku pada kebaikan
Terimakasih.. sudah mau banyak belajar untuk dirimu sendiri, juga agamamu
Terimakasih.. sudah berkenan saling mengingatkan
Terimakasih.. sudah memberi ruang tumbuh untukku
Aku belum tau, ujian seperti apakah yang bertandang di depan nanti? Kini, aku hanya berdoa, semoga Allah selalu menguatkan langkah ini
Jangan lupa ucapkan terimakasih, kepada orang-orang yang kamu cintai saat ini
Buntok, 3 September 2021 | Pena Imaji
278 notes · View notes
pursuingdream · 4 years ago
Text
Jika yang bisa kamu lakukan hanyalah merangkak, maka mulailah merangkak. Jangan merasa lambat, karena kita tidak dipercepat oleh timeline oranglain. Fokus saja pada ritme hidupmu, enjoy the moment, and enjoy every season. Karena setiap musim selalu memiliki makna.
Jam keretamu dengan mereka tidak sama, jadi jangan khawatir tertinggal kereta. Karena sepeda tak mengajarkanmu untuk terburu-buru. Bukahkah Tuhan kita membenci hal itu?
Selamat memeluk Senin dengan tenang, kita berjuang bersama sekali lagi ya. Aku disisimu.
9.8.21, puncak musim panas.
81 notes · View notes
pursuingdream · 4 years ago
Text
Aku percaya setiap orang punya warna nya masing-masing. Aku dengan warna ku, kamu dengan warna mu. Kesemuanya bisa saling melengkapi dan mencipta warna seindah pelangi.
Setiap orang punya hal baik yang bisa diberikan ke orang lain. Besar atau kecil. Luas atau sempit.
Jadi, jangan terus merasa kerdil, ya?
Akan ada banyak kebaikan tertahan, kalau kita terus berpikir kita tak mampu atau merasa tak cukup pantas.
Tak ada yang 'tak cukup pantas' untuk memulai sebuah kebaikan. ;)
Sudut ruang, 11.07.21
Pagi yang hangat.
138 notes · View notes
pursuingdream · 4 years ago
Text
Tumblr media
Diingatkan sama Ummi bahwa pada Iduladha tahun ini, tak "hanya" sapi dan kambing yg perlu kami kurbankan. Ya, rupanya Allah meminta pengorbanan yang lebih besar.
Kami harus merelakan kepulangan seorang anak, kakak, adik, menantu, suami, mertua, ayah enam anak, kakek lima cucu, yang kami panggil Abi, kepada Sang Pemilik, sebesar apa pun keinginan kami untuk tetap bersama.
Tak ada alasan untuk marah jika itu adalah kehendak Allah. Seperti pesan Abi sebelum berpulang, "Jangan menyesali dan menyalahkan keadaan," dengan mengutip ayat ini:
"Qul lay yuṣībanā illā mā kataballāhu lanā, huwa maulānā wa 'alallāhi falyatawakkalil-mu`minụn"
Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.
— Quran Surat At-Taubah Ayat 51
Rasanya ingin ikut ke tempat Abi saat ini, seperti saat saya kecil, ingin ikut Abi ke kantor, masjid, dan pengajian. Namun, saya sadar saya belum selevel dengan Abi.
Enggak ada yang kami khawatirkan tentang Abi karena Abi adalah ahli ibadah, baik ibadah pribadi maupun sosial. Kebaikannya sangat melimpah seperti mata air, baik kepada keluarga, lingkungan RT, rekan kerja, rekan organisasi, dan umat.
Kami justru khawatir soal kami sendiri karena kami belum sebaik Abi, ibadah kami belum sesaleh Abi, manfaat kami belum sebesar Abi. Pantaskah kami meminta dipertemukan lagi di surga tanpa memperbaiki diri?
Kepada teman-teman yang kehilangan orang-orang tersayang di masa pandemi ini, semoga matahari esok pagi masih cukup benderang untuk menerangi hari-hari gelap kita. Meski tertatih dan terhuyung, pada akhirnya kaki kita harus terus berjalan. Mudah-mudahan di ujung terowongan panjang ini ada cahaya yang akan memeluk kita.
Selamat Iduladha. Semoga kita semua bisa meneladani kesalehan keluarga Nabi Ibrahim. 🙏
122 notes · View notes
pursuingdream · 4 years ago
Text
Tutorial Jatuh Cinta
Jatuh cintalah pada seseorang yang perasaan cintanya lebih besar darimu. Karena ia akan membuatmu menjadi sangat berharga. Bersedia untuk melakukan hal-hal kecil untukmu, menggendong anakmu saat kelelahan, membiarkanmu tetidur dan ia membereskan rumah, membelamu jika ada orang lain yang menyerangmu, menyediakan makanan-makanan kecil saat kamu malas memasak, dan tidak marah-marah saat kamu menghabiskan uang yang digunakan untuk kebutuhan kalian berdua. Jatuh cintalah pada seseorang yang memiliki cara berpikir yang baik, yang luas, yang terbuka. Karena di dalam pikirannya nanti kamu akan tinggal. Karena cara berpikirnya itulah yang akan kamu hadapi selama kalian bersama. Tentu merepotkan tinggal bersama orang yang ternyata cara berpikirnya mudah menerima hoax, tidak bisa mencerna informasi dengan baik, tidak bisa mengambil keputusan dengan bijak, tidak ada keinginan untuk berkembang, tidak punya pendirian yang kuat. Lelah sekali tinggal di pikiran yang seperti itu, bukan? Jatuh cintalah pada seseorang yang mudah diajak berbicara. Kamu tak perlu merasa takut untuk mengutarakan segala isi hatimu, mengutarakan segala penatmu, mengajaknya berdiskusi untuk keluargamu. Tentu tidak enak jika selama bersama, kalian tidak bisa membicarakan hal-hal penting untuk keluargamu. Bahkan, untuk sekedar mengatakan bahwa kamu lelah dan memintanya untuk mengasuh anak sebentar saja, kamu takut. Tak leluasa untuk berbicara. Padahal, memiliki teman bicara seumur hidup yang nyaman itu benar-benar anugrah yang tak ternilai.
Kalau kamu ingin jatuh cinta, tutup sejenak matamu dari hal-hal yang kamu lihat darinya. Rasakan dari hatimu, berpikirkan sejauh mungkin. Seberapa bisa kamu hidup dengan sosok sepertinya. Karena apa yang kamu lihat dari matamu, seperti kecantikan/ketampanan itu akan usang dimakan usia, harta bisa hilang, jabatan bisa lepas.  Kalau nanti kamu jatuh cinta, kamu tak lagi takut jatuh ditempat yang menyakitkan karena kamu bisa memilih di tempat seperti apa cintamu jatuh. Hati-hatilah memilihnya. Kalaupun harus menempuh jalan yang panjang dan berliku, tidak apa-apa. Kalau harus menempuh waktu yang lama, tidak apa-apa. Tidak apa-apa.
©kurniawangunadi
3K notes · View notes
pursuingdream · 4 years ago
Quote
Nafas dakwah yang dicontohkan Rasul adalah nafas perbaikan. Jika agendamu, bertemakan dakwah, tapi tidak membawa perbaikan justru membawa perpecahan, mari dievaluasi
(via kayyishwr)
169 notes · View notes
pursuingdream · 4 years ago
Quote
Kita tidak pernah menduga kalau akan saling menjadi titik pemberhentian. Aku berhenti dari lamanya mencari, kamu berhenti dari lamanya menunggu, dan kita sama-sama berhenti dari menerka-nerka masa depan yang tentu dulu sering kita risaukan.
Danny Dzul Fikri
Dan kita akan menemukan pemberhentian masing-masing.
(via dannydzulfikri)
644 notes · View notes
pursuingdream · 4 years ago
Text
Melihat kesedihan setiap orang berbeda-beda. Begitupun dengan cara bahagianya.
Ada yang kemudian tidak dibelikan handphone baru saja, murungnya bukan main.
Ada juga yang bisa makan sesuap nasi dihari itu aja senangnya bukan main.
Jika begitu, kesedihan dan kegembiraan itu serupa fatamorgana.
Kesedihan kita hari ini, bisapula kebahagian besar bagi orang lain.
94 notes · View notes
pursuingdream · 4 years ago
Text
Kalau aku tidak cantik, lalu kenapa? Aku masih bisa memakan tiga porsi es krim berbeda rasa, menikmati semilir angin dengan sepeda, membaca buku dimana saja aku suka.
Kalau aku tidak seperti yang lain, lalu kenapa? Aku masih bisa disukai anak kecil dan bermain bersama mereka, aku masih bisa menulis syair dibawah senja, malam maupun hujan. Menikmati alunan lagu yang begitu kuresapi liriknya, dengan segelas coklat yang sangat kusukai manisnya.
Kalau aku tidak kaya, lalu kenapa? Aku masih punya ayah yang ingat makanan kesukaan putrinya. Ibu yang memeluk setiap saat. Saudara yang diam-diam mendukung dibalik layar. Teman-teman yang kelakuannya ajaib dan menyenangkan.
Kalau segalaku masih itu-itu saja, lalu kenapa? Aku masih bisa menikmati indah coklat bajuku yang selalu aku pakai. Aku masih bisa menikmati kehangatan sekaligus ketenangan disetiap tempat yang setia kukunjungi, meski hanya satu atau dua tempat, namun begitu memberi banyak memori yang bisa kubawa pulang. Aku begitu mensyukurinya.
Sudah ya, jangan terlalu mengurus kurangku, nanti telingamu keriput saat tahu lebihku. Jangan lagi memandang segala lemahku, sebab kau takkan pernah tahu bagaimana hebatnya kuatku hingga dapat menjadi bahagia dan bersyukur.
✨✨✨
Kolaborasi Puan @pilauakara dan @nonaabuabu || 15.07.21
116 notes · View notes
pursuingdream · 4 years ago
Text
"Ego dan Pernikahan"
Setiap orang memiliki ego, namun ego jangan jadi sentris sehingga memberi dampak buruk bagi diri dan juga orang lain. Bawalah dia kepada Allah Ta'ala, agar kita mudah menundukkan hawa nafsu yang buruk, supaya tidak lebay dan lalai.
Ego itu dalam makna tertentu adalah hawa nafs, ia sudah aktif, namun jangan dibiarkan lepas kendali sehingga diintervensi syaitan. Tundukkan kepada Allah, ditundukkan agar selaras dengan 'internal guidance' nya, yaitu fitrah yang mengajak nafs untuk tunduk kepada aturan syariat, serta Ilmu yang benar yang membimbing akal, agar jangan menjadi Nafs Ammarah Bissu (nafsu yang selalu menyuruh kepada kejahatan) ataupun nafs lawwamah (nafsu yang tidak tetap pendirian untuk menjalankan ketaatan dan meninggalkan perbuatan dosa), tetapi nafsu muthma'innah (nafsu yang dapat dikendalikan oleh akal yang sehat. Nafsu yang mendapat rahmat Allah).
Ego yang dibiarkan lepas kendali akan menjadi sangat egosentris atau menjadi sangat pasif dikendalikan.
Begitupun bagi yang akan menikah, selain berilmu terlebih dulu tentangnya.. persiapkan mental yang matang, karena kita akan menyatukan dua keluarga didalamnya, tidak sekedar dua jiwa yang terlahir dari didikan dan karakter yang berbeda.
Bahasan tentang ego merupakan salah satu bahasan penting didalamnya.
Saya kutip tulisan seseorang, saya tidak begitu tahu sumber tulisannya dari siapa, karena banyak yang membagikan tulisan ini. Semoga Allah Ta'ala memberkahi penulisnya:
"Dari kajian pra nikah yang pernah diikuti, ego merupakan satu bahasan penting. Ego, bagian diri kita yang kita harus ‘deal with it’ sebelum melangkah jauh ke pernikahan. Sebab yang akan bersama kita kelak adalah manusia yang tidak sempurna, yang akan terus bertumbuh setiap hari, berubah pemikirannya, berubah fisik dan perilakunya, berubah-ubah sedih dan bahagianya. Maka, alih-alih menetapkan kriteria yang ‘almost perfect’ mari mencoba menyelami diri sendiri “Sebenarnya apa yang kita bisa beri dan kita butuhkan dari sebuah pernikahan?” sambil berdoa kepada Allah agar segera dimampukan." -selesai nukilan-
Menundukkan ego itu memang bukan hal yang mudah. Apalagi bagi yang memiliki mental egosentris. Maka berusahalah untuk mengenal diri sendiri dulu, menyelesaikan apa yang menjadi PR besar kita sendiri terlebih dulu.
Ada dua prinsip dasar yang harus dimiliki ketika memasuki gerbang pernikahan:
Lelaki tidak diciptakan untuk tunduk kepada istrinya. Tetapi ia diciptakan untuk beribadah semata kepada Allah Ta'ala, dan Allah lah yang memerintahkannya untuk berakhlak baik kepada istri dan keluarganya, beserta kewajiban-kewajiban lain yang mengiringinya.
Adapun perempuan, ia tidak diciptakan untuk 'menghamba' kepada suami. Tetapi diciptakan untuk beribadah semata kepada Allah Ta'ala, dan Allah Ta'ala lah yang memerintahkannya untuk taat kepada suami, setelah mentaati-Nya, selama apa yang suaminya perintahkan ataupun inginkan tidak bertentangan dengan perintah dan larangan Allah.
Jika suami dan istri memahami dua prinsip dasar ini, insya Allah keduanya akan memahami hak dan kewajibannya tanpa mengedepankan egonya masing-masing. Sehingga pernikahannya bernilai ibadah.
Maka bagi yang belum menikah, berilmulah terlebih dulu sebelum beramal, persiapkan mental secara matang. Karena pernikahan adalah ibadah terpanjang, dan merupakan perjanjian berat antara kita dengan Allah Ta'ala.
309 notes · View notes
pursuingdream · 4 years ago
Text
Memulai Hidup Baru Sebagai Solusi? Pikir Lagi.
Beberapa waktu lalu saya berbincang dengan seorang teman yang saya rasa tidak bahagia dengan pekerjaan yang ia jalani saat ini. Awalnya dipicu oleh sebuah pernyataannya, "pengen cabut dah, capek gua sama rutinitas."
hmm menarik saya bilang, lalu saya mengajukan pertanyaan, "Di luar permasalahan pelik soal pandemi, kalo semisalkan gua bisa kasih lu satu tiket pergi--pergi doang ya-- ke luar negeri atau ke tempat manapun yang lu pengen sekarang dan mulai hidup baru lu di sana, lu ambil ga?"
"Ya ambil lah, pake nanya, gua pengen ke Jepang, Paris atau Swiss deh." "Yakin? ga mau pikir-pikir lagi?"
Tumblr media
Sebagai orang yang dulu juga seringkali ga bahagia sama pekerjaan, saya rasa perlu menyelamatkan teman dengan membuka caranya berpikir.
Kenapa?
Ketika dihadapkan sama rutinitas, apalagi yang ngebosenin kadang kita lupa caranya bersyukur. Klise, memang. Tapi ketika coba dipikir lagi; bangun tidur, berangkat kerja, kerja, pulang kerja, tidur lagi, gitu aja terus tiap hari. Belum lagi di jalan pulang-pergi macet-macetan dan segala macam kejadian peliknya. Belum lagi masalah di kantor, belum lagi masalah di rumah. Capek.
Satu-satunya hal yang bisa dinikmati, mungkin weekend, itu pun belum tentu weekend-nya sesuai dengan apa yang direncanakan. Tetep ketemu senin lagi, kerja lagi.
Dan lagi-lagi bilang,
Tumblr media
Di sela-sela rutinitas, otak udah ga jernih, udah gak mindfulnes. Ditambah segala kepalsuan di sosial media. Mulai ke-trigger, karena ngeliat pencapaian teman, mulai ngebayangin sesuatu yang dirasa menarik, yang diharap bisa jadi pelarian atau bahkan solusi dari rutinitas. Beli barang baru, atau gadget baru, traveling barangkali. Hal-hal yang sekarang banyak disebut-sebut sebagai Self-Love, Self-Care, Self Reward you name it.
Lagi-lagi dengan keadaan kayak gitu, kita jadi kurang bersyukur. Klise.
Balik ke awal perbincangan saya dan teman soal rutinitas.
Saya inget waktu itu pernah baca artikel di medium tentang ini, https://medium.com/personal-growth/travel-is-no-cure-for-the-mind-e449d3109d71 saya suka penjelasannya, dan sebagian besar yang saya tulis sekarang adalah apa yang saya tangkep dari artikel tersebut.
Rutinitas, anggaplah sebagai The Box of Daily Experience, yang di dalamnya terus muter kegiatan sehari-hari. Di luar box, adalah sesuatu yang diimpikan; barang baru, gadget baru, traveling dan segala macam hal-hal yang dianggap menarik. Termasuk sesuatu yang saya tawarkan kepada teman saya ini.
Ketika saya tawarkan teman untuk memulai hidup baru, bukankah menarik? Sudah pasti. Tapi cuma di awal, jangan ketipu.
Memulai hidup baru sama aja dengan mengganti rutinitas baru, yang pada akhirnya jadi rutinitas yang mumet lagi. Kita cuma mengganti isi dari The Box of Daily Experience dengan isi-isi yang baru yang tetep aja pada akhirnya berujung muter-muter di dalam lagi.
Awalnya excited, memang. Tapi lama-kelamaan tetep jadi sesuatu yang biasa lagi.
Pernah kan beli barang baru atau gadget baru? Berapa lama periode excited dengan barang baru itu? Paling juga sebulan, atau seminggu aja ga nyampe kadang.
Terus apa?
Benang merahnya kan cuma satu, He's not happy or We're not happy--kalo ada juga yang lagi ga puas sama hidupnya sekarang.
Saya jadi inget perkataan David Steindl-Rast yang beberapa waktu lalu saya nonton videonya di kanal You Tube Tedtalk.
Kurang lebih dia bilang, "What is the connection between happiness and gratefulness? Is that happiness makes us grateful, or gratefulness makes us happy? If you say happiness makes us grateful, think again."
Kalo kita bilang bahagia bikin kita bersyukur, pikir lagi.
Islam udah lebih jauh dan lebih banyak bahas tentang ini, salah satunya di QS Ibrahim Ayat 7; Jika bersyukur, akan ditambah nikmatnya.
Kalo saya bilang nikmat adalah bahagia, ga salah kan?
Jadi jelas sampe sini, kita ga perlu ganti apapun yang ada di dalam Box of daily experience. Ga perlu pindah dan memulai hidup baru di tempat baru. Percuma.
Yang perlu diganti adalah the way we think. Yang perlu diganti adalah cara kita memandang dan menyerap sesuatu.
Dan paling penting, cara kita bersyukur.
Kalo udah bersyukur, setidaknya kita menerima apa yang udah kita dapet sekarang, dan saya pikir mengurangi kadar stress yang bikin kita ga puas sama hidup saat ini.
Bahkan bisa lebih aware sama hal-hal kecil yang terjadi dan itu bikin bahagia. Ga perlu lah Self-Care atau Self-Love yang nantinya malah bikin Self-Destruct karena merelakan kepentingan jangka panjang untuk kebahagiaan sesaat.
Saya bukan orang yang udah bener-bener bersyukur apa yang udah saya dapet, at least dengan ini bisa jadi pengingat kalo sewaktu-waktu saya mulai ke luar jalur dan ga bersyukur lagi.
Lalu saya tanya lagi temen saya ini, "Yakin? Ga mau pikir-pikir lagi?"
Dia jawab, "Ya kalo gua udah lebih bersyukur boleh lah ya lu kasih beneran. Haha."
Ya Kalo gini sih saya yang harus pikir-pikir lagi.
:D
129 notes · View notes
pursuingdream · 4 years ago
Text
#HYTDL #23: Pikiran-Pikiran yang Membunuhku Perlahan
Di beberapa tulisan yang lalu, teman-teman mungkin masih ingat bahwa menurut Jim Rendon (2016) dalam bukunya yang berjudul Upside, The New Science of Post-Traumatic Growth pemaknaan atau persepsi seseorang terhadap kejadian traumatis atau pengalaman terluka jauh lebih penting daripada kejadian traumatis atau pengalaman terlukanya itu sendiri. Dengan kata lain, apa-apa yang dimaknakan atau dipersepsikan seseorang secara kognitif terhadap kejadian yang dialaminya akan dapat menentukan bagaimana dampak dari suatu kejadian traumatis atau pengalaman terluka bagi dirinya.
Dahsyat sekali dampak kekuatan pikiran terhadap hidup kita! Hal inilah salah satunya yang kemudian dapat memberikan gambaran kepada kita tentang mengapa bencana alam seperti misalnya tsunami, gunung meletus, atau bencana lainnya, seolah-olah menghasilkan dua kelompok manusia. Kelompok yang pertama adalah mereka yang menjadikan pengalaman bencana sebagai titik pijak utama untuk menumbuhkan dirinya sehingga menjadi lebih tangguh dan kuat, sedangkan kelompok yang kedua adalah mereka yang dengan disadari maupun tidak memilih untuk meratapi pengalaman tersebut sehingga yang terus menerus diingatnya adalah luka, rasa sakit, kehilangan demi kehilangan, atau bahkan apa yang mereka katakan sebagai ketidakberuntungan di dalam hidup.
Berkaca pada hal tersebut, kita pun bisa mengamati bagaimana kondisi diri kita hari ini selepas mengalami pengalaman-pengalaman yang membuat kita terluka. Apakah kita seperti kelompok pertama tadi yang kemudian bangkit dan menjadi lebih kuat? Atau, apakah kita justru seperti kelompok kedua yang terus meratapi nasib, menyalahkan keadaan, dan mempercayai apapun yang muncul di pikiran kita tentang ketidakberuntungan hidup yang seolah hadir akibat adanya luka-luka tersebut?
Suatu hari, di semester kedua perkuliahan Magister Profesi Psikologi, saya bertemu dengan mata kuliah yang sangat menarik dan mengundang daya berpikir kritis saya untuk terus muncul, yaitu Cognitive Behavioral Therapy atau CBT. Di salah satu sesinya, saya mempelajari tentang pola-pola berpikir manusia yang tidak logis atau illogical thinking. Ketika mempelajarinya, saya banyak tertawa diam-diam. Bukan menertawakan orang lain, tapi justru menertawakan diri sendiri karena saya dibuat jadi menyadari tentang kesalahan-kesalahan berpikir yang ternyata, alih-alih membantu saya dalam menyelesaikan permasalahan, nyatanya malah tidak membantu saya sama sekali.
Tumblr media
Saat menulis dengan tema Tumbuh dari Luka ini, saya kemudian melakukan banyak eksplorasi lebih lanjut mengenai pola-pola kesalahan berpikir, khususnya yang kemudian membuat kita sebagai manusia tidak bisa beranjak dari luka yang kita rasakan akibat suatu pengalaman tertentu. Apa sajakah itu? Tentu ada banyak, namun, salah satu yang menarik adalah tentang victim blaming atau diri yang bermental korban.
Tentang mental korban, tentu hal ini bukanlah sesuatu yang asing bagi teman-teman. Kalian pasti pernah membaca atau mengetahuinya, baik itu dari obrolan antarteman maupun dari informasi yang kalian dapatkan dari sosial media. Singkat cerita, orang-orang yang bermental korban selalu berpikir bahwa ia adalah korban dari suatu kejadian atau pengalaman yang tidak menyenangkan, sehingga lama-lama semakin terinternalisasilah di dalam dirinya bahwa ia adalah korban yang tidak berdaya dan paling tersakiti atas kejadian tersebut. Sounds familiar? Apakah kamu pernah mengalami atau berpikir dengan cara demikian?
Jika kita mencoba berpikir dengan lebih objektif, sebenarnya kita akan memahami bahwa berpikir dengan cara mental korban seperti itu seolah-olah meniadakan sebuah fakta lain bahwa sebenarnya kita bisa melakukan sesuatu dan bertanggungjawab kepada diri kita sendiri atas kejadian atau pengalaman tidak menyenangkan yang pernah kita terima.
Contoh, bayangkan ada orang yang mengalami sebuah kejadian tidak terduga, dimana ia ditinggal menikah oleh orang yang ia anggap akan dapat membersamainya di sepanjang hidupnya. Jika ia bermental korban, ia akan terus menerus menyalahkan dirinya dan menganggap bahwa ia adalah korban yang paling menderita atas kejadian tersebut, seperti misalnya dengan terus menerus mengatakan,
“Semua ini memang salahku. Aku kurang cantik, kurang pintar, kurang baik, pokoknya semuanya kurang deh. Makannya aku emang jadinya enggak layak buat dicintai dan diperjuangkan. Orang lain pun pasti enggak akan ada yang mau sama orang seperti aku.”
Waw, seram sekali, ya! Ia jadi menilai dirinya sendiri dengan penilaian yang buruk. Padahal, sebelumnya ia tentu punya penilaian lain yang lebih baik tentang dirinya sendiri. Lalu, bagaimana jika ia bermental yang sebaliknya dari bermental korban, yaitu bertanggungjawab? Tentu ia akan lebih positif dalam menanggapi kejadian yang ia terima, seperti misalnya dengan mengatakan,
“Oke, ini memang tidak mudah untuk aku terima. Harus aku akui, aku memang sakit hati dan merasa sangat terluka, terlebih karena aku tidak pernah menyangka bahwa hal ini akan benar-benar aku alami. Tidak apa-apa, perlahan aku akan bangkit dan kembali seperti semula. Aku yakin, ini adalah cara Allah menyelamatkanku dari seseorang yang tidak baik untukku. Aku juga yakin, Allah akan mempertemukanku dengan orang lain yang lebih baik. Aku pun kini menyadari, ada beberapa hal yang perlu aku perbaiki, salah satunya adalah tentang mengelola ekspektasi. Semoga ini menjadi pembelajaran terbaik bagiku.”
See? Ada atmosfer yang berbeda pada kalimat-kalimat tersebut, bukan? Ia tidak menyalahkan dirinya sendiri atau menilai dirinya buruk atas luka yang ia terima. Sebaliknya, ia mengakui apa yang ia rasakan, berpikiran positif terhadap segala ketetapan, dan yang terpenting adalah ia bertanggungjawab untuk dapat memperbaiki sesuatu pada dirinya sendiri. Nah, sekarang yuk kita tanya diri kita sendiri: ketika kita dihadapkan dengan kejadian yang menyakitkan, apakah kita lebih sering menjadi orang yang bermental korban sehingga semakin terluka ataukah orang yang bertanggungjawab sehingga mampu tumbuh dari luka?
Kita memang sering mengira bahwa kejadian-kejadian yang ada di luar diri kitalah yang melukai kita. Namun, pada akhirnya, seringkali pikiran-pikiran kitalah yang perlahan-lahan melukai kita, dengan pola-polanya yang tidak sebagaimana mestinya. Kemudian, pikiran-pikiran kita jugalah yang ternyata bisa membuat luka terasa lebih sakit dan terlihat lebih besar dari yang sesungguhnya. Maka, semoga Allah memampukan kita untuk dapat mengelola dan mengontrol pikiran kita serta semoga kita pun terus berlindung kepada-Nya dari pikiran-pikiran kita sendiri, yang pada akhirnya menyisakan luka.
“Positive thinking isn’t ignoring life’s problems, it’s understanding that Allah can make a way out for you if you sincerely try.” — Omar Suleiman
___
Picture: Pinterest
124 notes · View notes
pursuingdream · 5 years ago
Text
Sederhana Namun Bermakna
“Simple can be harder than complex. You have to work hard to get your thinking clean to make it simple” (Steve Jobs)
-
Mewah itu memesona, tapi terlihat sederhana juga punya pesonanya tersendiri.
Terlebih, ketika kesederhanaan dipilih sebagai prinsip secara sadar untuk menjalani hidup dan lebih dekat dengan pemaknaannya. Biar begitu, bersikap sederhana enggak se-sederhana itu.
Apalagi ketika seseorang memilih jadi sederhana - bukan terpaksa sederhana.
Sebabnya, kita harus bergulat lebih sengit dengan nafsu di dalam diri. Alih-alih menyuapi kehendaknya terus, kita cermat menentukan mana hal yang esensial mana yang impulsif.
Mungkin tantangan itu jadi alasan kuat di balik ketakjuban kita pada manusia-manusia yang bermakna dengan kesederhanaannya. Daya tarik mereka, enggak lekang oleh waktu. Hadir kecermatan & keteguhan lewat sikap mereka.
Lalu dengan cara apa kita bisa belajar bersikap bijak lewat kesederhanaan?
Pertama - Sederhanakan Pola Pikir
Kalau bisa berpikir dengan lebih simpel namun tujuan tetap tercapai, kenapa harus menyulitkan & merumitkan diri? Awali pikiran dari hal yang sederhana, kawal cara kita berpikir sampai akhir.
Kadang kita terjebak dalam pola pikir sendiri dengan anggapan, lebih rumit itu lebih keren. Padahal? YGTD.
Kedua - Sederhanakan Perilaku
Kita bisa bersikap sederhana dengan memahami batas kewajaran atas suatu tindakan di sekitar. Untuk itu, penting bagi kita untuk latihan bersikap peka terhadap situasi dengan tetap berprinsip.
Tanya ke diri sendiri. Pantas enggak gue bersikap begini? Sesuai aturan enggak ya? Cukup atau berlebihan ya?
Ketiga - Sederhanakan Kesan
Kadang, nampak rumit di mata orang lain itu keren. Tapi, kita sadar kalau sesuatu jadi lebih keren ketika apa yang rumit bisa terlihat lebih sederhana dengan penyesuaian lewat sikap & perbuatan.
Makin kita terkesan rumit, makin lebar jarak yang bisa tercipta dengan sesama. Seberapa rumitkah kita?
-
Dari mereka yang bersikap sederhana, kita memetik hikmah untuk diterapkan.
Bahwa perkara yang betulan esensial dalam hidup, jumlahnya enggak banyak. Kita yang seringkali menyulitkan diri dengan merasa kurang dan terus menambah-nambahi :)
-
“With wisdom comes the desire for simplicity” (Brendon Burchard)
429 notes · View notes
pursuingdream · 5 years ago
Text
Tumblr media
🌿🐈🌱
4K notes · View notes