Hey, I'm Putika, a full-time mom with a passion for visual design, despite my engineering background. I love strolling, sketching, cooking, and sometimes writing.
Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Living overseas wasn't a reward. It wasn't a result of being the best. It was pure, accidental timing. Like catching a bus you didn't intend to ride. Here, I walked slow. Not because I wanted to, because I didn't understand everything around me. Finnish came in soft waves, some of them too fast to catch. I started to sit in silence more. In cafés. In parks. Watching birds I didn't know the names of.
And then, one evening, I realized something. Once, I wanted to be the best. Then, I wanted to be useful. But here, I just wanted to be okay. I wasn't the best. I was just me. Learning. Trying. Far from home, but maybe closer to myself.
I wrote my name on a notebook page and stared at it. No title. It was the quietest kind of peace.
Maybe being smart wasn't about always knowing. Maybe it was about finally knowing. Maybe it was about finally being allowed to not know.
Because for so long, I was guided by praise, by expectations, by the path
others laid out for me. I was solving problems, not questioning them.
Now that the noise is gone, I'm finally alone with myself, and I'm just beginning to figure out who that really is.
1 note
·
View note
Text
Berpindah tempat
Sejenak membuka Twitter dan menemukan berita bahwa McD di Kayutangan-Malang akan ditutup dan dipindah. Kenangan tentang masa kecilku di sekitar tempat itu bermunculan kembali. Aku yang hafal betul bagaimana senangnya berbalanja di Toko AVIA hanya untuk mendapatkan es krim petit rasa anggur atau permen kapas koala. Ramainya lalu-lalang di depan RSU Saiful Anwar, atau menunggu lampu merah saat akan menyebrang di depan AVIA sepulang dari TK. Maklum karena saat itu aku tinggal bersama nenekku dan keluarga besarnya di sekitar sana sejak usia tiga sampai kurang lebih lima tahun. Asrama polisi yang kami tinggal terletak di depan RSU Saiful Anwar, yang sekarang sudah menjadi kantor Polresta Malang sejak tahun 1999-2000. Tinggal di tengah kota yang tidak pernah sepi, bahkan suara lalu lalang kendaraan yang masih terdengar saat aku tidur. Bagaimana rukunnya orang-orang yang ada di gang-gang rumah. Ramainya anak-anak kecil yang bermain dari sore hingga malam. Kamar mandi, bilik wc, dan tempat mencuci bersama yang selalu ramai tiap pagi dan sore dimana orang mengantri dan bergantian memakainya. Kamar mandi disana tidak ada di setiap rumah, jadi kami harus mengantre untuk mandi, buang air dan mencuci. Tapi dengan kondisiku yang masih kecil saat itu, aku tidak terlalu mempermasalahkannya. Kalau diingat-ingat sekarang, kondisi tersebut sungguh tidak layak dan mempunyai kamar mandi di dalam rumah adalah sebuah hal yang mewah. Orang-orang menyebut daerah tersebut Asrama Polisi Celaket. Tapi ditengah semua kekurangan itu, orang-orang saling membantu, aku bisa belajar naik sepeda roda dua disana. Walaupun meminjam jalanan di depan Sekolah Frateran tiap hari minggu untuk berlatih bersama orang tuaku. Melihat perjuangan orang tuaku membesarkanku dengan kondisi yang sulit sampai di titik sekarang, rasanya kurang pantas jika aku tidak bisa memaafkan mereka atas kesalahan yang meraka lakukan dalam pengasuhan. Mereka tidak tumbuh di lingkungan yang ideal. Ada himpitan masalah sandwich generation dan ekonomi yang membuat mereka terus mementingkan pekerjaan daripada bisa membersamai tumbuh kembang anaknya secara langsung. Tapi aku yakin mereka berusaha, dan berdoa untuk anak-anaknya. Terutama soal pendidikan, dan bagaimana cara orang tuaku membesarkanku untuk masuk sekolah-sekolah favorit yang awalnya kukira hanya untuk memenuhi gengsi mereka. Ternyata setelah lama aku mencoba berdamai dan mencari alasannya, mungkin mereka hanya ingin anak-anaknya mendapatkan lingkungan pendidikan yang terbaik. Aku setuju jika sekolah tidak menjamin kesuksesan karir kita, tapi pendidikan akan membukakan banyak pintu-pintu kebaikan, kematangan berpikir, wawasan yang luas, dan lingkungan yang membangun. Bagaimana mereka berusaha untuk memenuhi biaya sekolah bahkan masih memberi kami uang saku pula ditengah kondisi ekonomi yang pas-pasan. Tidak pernah terpikirkan, barangkali semua usaha mereka mengantarkan anaknya ini ke banyak tempat, bertemu berbagai macam manusia dengan beragam pola pikir. Kadang aku merasa tersesat ketika harus pergi ke tempat-tempat yang jauh. Kehilangan arah dan jati diri ketika berkali-kali tinggal di tempat baru untuk beradaptasi kembali. Masih belum mengetahui hakikat bahwa sejatinya sejauh apapun kita pergi, hakikatnya adalah untuk berpulang. Jika orang tuaku tahu bahwa anak yang dulu mereka besarkan sambil dibawa berbelanja ke Pasar Oro-oro Dowo, berjalan bersama untuk ikut bekerja bersama pagi-siang-sore, nantinya akan pergi jauh sekali ke banyak tempat meninggalkan mereka. Ayah dan ibuku pergi memberi les sepulang mereka mengajar. Kadang aku harus pulang terlambat karena sama-sama ikut les di tempat lain, atau menunggu mereka selesai memberi les dan pulang berjalan bersama ibuku mencari angkot jika ayah tidak bisa menjemput kami karena mengajar. Ternyata perjalanan ke banyak tempat itu hanya untuk mencari hikmah bahwa dimanapun kita pergi, ilmu Allah itu sungguh luas, dan keberagaman dunia membuat kita semakin yakin akan kebenaran ilmu-Nya. Dua atau tiga bulan lagi insyaAllah akan berpindah tempat tinggal lagi, ke benua jauh yang belum pernah kudatangi. Tidak pernah terpikirkan bahwa akan pergi ke negara ini, tapi begitulah takdir Allah yang harus dijalani. Jauh-jauh hari sudah menyiapkan barang-barang yang aka dibawa.Terbiasa berpindah-pindah tempat tinggal membuatku semakin mengerti untuk meninggalkan kemelakatan, dan rasa memiliki terhadap apa-apa yang kita anggap milik kita. Pada akhirnya kita hanya bisa membawa pengetahuan, kesiapan mental dan bekal-bekal seadanya yang bisa bermanfaat untuk diri dan orang-orang disekitar kita. Sekaligus membuatku berpikir bahwa perjalanan dunia saja sudah membuat kita bersiap menyiapkan banyak bekal, bagaimana dengan perjalanan kita menuju alam selanjutnya? Sesungguhnya kita itu cuma berpindah pindah fase dan tempat, entah kapan kita akan berangkat. Tidak melekatkan diri dengan hal-hal di dunia adalah cara terbaik menghindari rasa sakit karena harus meninggalkan dunia ini nantinya. Sudahkah kita menyiapkan bekal terbaik kita untuk berangkat ke tempat yang lebih jauh ?
5 notes
·
View notes
Photo

In the end, I don't wanna lose myself pic : Panasonic Museum, Kadoma-Osaka
1 note
·
View note
Photo

Foto yang diambil di hari ke-3 setelah pernikahan. Hadiah dari Maya, sangat spesial karena isinya dibuat berdasarkan rangkuman sambatan sahabatnya ini selama dua bulan sebelum pernikahan.
2 notes
·
View notes
Photo


Terima kasih untuk kebersamaan selama dua tahun dan 8 bulan terakhir. お疲れ様でした!
0 notes
Photo

One blissful day, I walked into a green grass fields with the sunlight touch every tip of the leaf. It was sunny day with calm breeze strokes my hair. I have a friend. We walked around the sub-urban city with simple jokes and talks. We wandered around usual places therefore, we also wonder why it always becames so adventurous. We can eat foods that we were dreamed of before, visit many places that we once only saw on the magazines, met new people, enrolled in one prestigious school that many people were dreamed of. This memories make me suffocated like the air around me has been sucked. It was a stupendous day-dream, I woke up and see through the real life. He is not in Japan anymore. We can still be friend though, in distance and I don't know when we will meet again in this complicated adult life. ---- I was about to sent off my dearest friend in Japan to the Kansai Airport. Therefore, due to bad weather (typhoon was comin soon) I only can sent him to Umeda station(only half-waythere). I walked to the bagel store, ordered a cup of tea while watching people with umbrellas passing by before the typhoon come. Finally, I managed my mind which is so hesistated to go home. That night feels so dark and empty. September 2018
0 notes
Photo

This flower sometimes has relation with death and departing lovers aside, the higanbana does undoubtedly represent the shift from summer to autumn. A welcome sight after too many long, desperately hot days. Although it’s not just the promise of cooler weather, but also its incredible beauty.
0 notes