Tumgik
putri-maulita · 4 years
Text
Hari Satu Bulan Enam
1 Juni 2020
Hari ini temanku berulang tahun. Kepala dua tambah satu. Kadang-kadang aku masih kaget karena kami sudah bukan anak-anak. Menjadi tua ternyata secepat ini, ya? Aku jadi ingin memberinya sesuatu : sebuah tulisan. Sejujurnya aku tidak biasa menulis tentang dan atau untuk seseorang kecuali diriku sendiri. Karenanya aku merasa sedikit gugup sebab saat ini aku tidak benar-benar yakin apa yang akan aku sampaikan. Tapi di dalam tulisan ini, biarkan aku mensyukuri satu hal : kelahiran Amalia Rachma Annisa.
 Untuk Rachma,
Sudah tiga bulan lewat sejak aku mengantarmu ke stasiun Lempuyangan Februari lalu. Rasanya masih tidak percaya kamu berangkat ke Malaysia. Sering kamu mengeluhkan waktumu yang lebih banyak di Jogja. Ingin rasanya keluar sesekali. Dan hari itu kamu berhasil melakukannya. Pergi ke negeri seberang, ke tanah yang lebih jauh dari yang pernah aku pijak. Aku ingat betul Jogja sedang hujan saat itu. Udara dingin dan jalan basah saat aku pulang usai keretamu berangkat. Aku jadi ingin menangis. Aku merasa haru dan sedih. Entah perasaan mana yang lebih dominan, yang aku ingat hari itu adalah aku kembali ke kamar kos ku kemudian menangis hingga ketiduran.
Hari ini bulan Juni, tepat dua puluh satu tahun kelahiranmu. Aku begitu ingin memberimu ucapan ulang tahun secara langsung. Tapi jarak Jogja-Malaysia yang jauh memang sangat menyebalkan. Aku tahu halaman ini tidak akan pernah muat menulis semuanya sebab ada banyak sekali yang ingin aku ceritakan tentangmu juga tentang tahun-tahun pertemanan kita. Semoga yang sederhana ini dapat sampai padamu dan memberimu alasan berbahagia hari ini.
Aku sering bilang bahwa aku ini pengingat yang baik, kan? Jika diibaratkan film, aku rasa ada banyak gulungan-gulungan film tentangmu yang tersimpan di kepalaku mengingat banyaknya waktu-waktu yang kita lewati bersama. Ditarik jauh ke belakang, ke delapan tahun lalu, aku masih menyimpan gambaran tentang anak perempuan 13 tahun yang sedang bersedih di sudut belakang kelas. Sama seperti banyak lainnya, kamu pun masih asing saat itu. Kita siswa baru, aku tidak terlalu mengenalmu. Meski ragu, akhirnya aku hampiri juga. Kita mulai bicara dan berbagi cerita tentang apa saja. Sejak saat itu, kemana ada kamu, di situ ada aku. Begitu pula sebaliknya. Jika ditanya tentang setiap sudut ruang sekolah kita, aku yakin, aku pasti bisa bercerita tentang kenangan yang aku ingat di tempat itu. Hampir semuanya ada kamu, sebab hampir di semua tempat itu pernah ada kita.
Aku rasa gedung sekolah berubah jadi museum bagiku. Kita pernah menghabiskan sore di musola sekolah sambil foto-foto lewat kamera web. Aku masih menyimpan semua foto kita saat itu. Jika melewati parkiran sepeda samping lobby, aku akan ingat dulu aku sering membonceng sepeda birumu. Sedang gerimis saat kita berangkat pramuka bersama dari rumahmu. Kita takut telat karena waktunya sudah mepet. Kamu ngebut sekali di jalan seolah sedang tidak memboncengi siapa-siapa. Memangnya aku tidak berat, ya? Haha. Saat pengumuman lolos seleksi OSIS kelas tujuh yang lalu, kamu menemani aku ke kamar mandi karena aku ingin menangis. Siapa yang menyangka kalau itu akan jadi pengalaman horor pertamaku di sekolah? Jika sudah masuk waktu pulang sekolah, kita akan tetap tinggal. Banyak yang bisa dilakukan, memanfaatkan wi-fi gratis atau melihat langit, misalnya? Kadang-kadang kalau sedang bosan kita akan pergi ke ruang kesiswaan. Mengobrolkan apa saja bersama salah seorang guru yang sudah kita anggap sebagai teman. Lucu, ya? Padahal dulu aku takut sekali dengan beliau. Dulu juga kita pernah menulis puisi bersama di satu buku. Aku penasaran, apa buku itu masih ada? Jika masih, aku ingin membacanya kembali walaupun mungkin aku akan tertawa geli melihat betapa tulisan kita dulu menye-menye sekali. Ahh, ada banyak yang aku ingat, Ma. Seperti kata Aan Mansyur, kepalaku adalah kantor paling sibuk di dunia. Untuk urusan ingat-mengingat dan kenang-mengenang, aku sangat jago. Kamu tahu itu. Akan jadi panjang sekali jika aku tulis semua kenanganku di sini.
Saat SMA dan aku membenci setiap hariku di sana, kamu adalah salah satu orang yang menjadi alasanku tetap mau berangkat sekolah. Seburuk-buruknya situasi, setidaknya ada kamu dan teman-teman kita. Aku tahu aku tidak sendiri di situ, dalam situasi itu. Ya, walaupun sepulang sekolah aku akan nangis-nangis lagi, hehhe. Semester dua kelas kita dirombak. Aku tidak sekelas denganmu. Kalau boleh jujur, hari itu aku sedih sekali membayangkan nasibku satu semester kedepan. Sebuah perasaan yang sama seperti ketika aku mengantarmu ke stasiun kemarin : Sepi.
Sekarang kamu sudah dua puluh satu, aku hampir dua puluh. Makin menua kita, ya? Katanya, semakin dewasa circle akan semakin kecil. Katanya, semua kita akan merasakan kehilangan teman. Urusan orang dewasa memang lebih rumit dibanding urusan anak-anak. Jujur saja aku sempat takut. Aku takut sekali kehilangan apa yang aku punya. Aku pernah merasa kehilangan kita. Dua tahun kuliah di Jogja dengan kampus yang bersebelahan dengan kampusmu ternyata tidak membuat kita mudah bertemu. Rasanya, jika bisa, aku ingin mengganti waktu-waktu bersamamu juga orang-orang terdekatku yang hilang karena aku sok sibuk.
Pertemanan di usia dua puluh membuatku begitu ingin menjaga kalian. Aku tahu, di masa yang akan datang mungkin aku tidak akan bisa lagi menemui orang-orang sepertimu, seperti kalian. Karenanya aku sangat bersyukur. Hidup mengizinkan jalan kita saling bersinggungan sehingga kita dapat bertemu dan menjadi dekat.
Maaf dan terima kasih, Ma. Maaf karena aku belum bisa menjadi teman yang baik untukmu. Maaf karena sering tidak ada saat kamu butuhkan. Aku sadar, jarak yang pernah memisahkan aku dan kamu ada karena aku juga yang menciptakan. Maaf untuk hal-hal tidak menyenangkan itu. Mungkin kamu tidak menyadari, kamu adalah salah satu orang yang kelahirannya sangat aku syukuri. Ada malam-malam saat aku merasa kosong dan sepi. Masalah yang datang silih berganti sering membuat aku kewalahan. Aku ingin sekali punya teman bicara selain dinding kamarku. Tapi aku merasa tidak bisa menghubungi siapa-siapa. Di masa-masa seperti itu, aku hanya bisa mengingat kembali, membayangkan orang-orang terdekatku hadir. Ada skenario yang aku buat di kepala seolah aku sedang berada di suatu tempat dan bercerita. Dari semua orang yang aku bayangkan kehadirannya, ada kamu termasuk di sana. Membayangkan hal-hal seperti itu saja sudah membuatku merasa lebih baik, Ma. Apalagi jika masing-masing kita dapat bertemu dalam bentuk yang paling nyata. Aku tidak bohong saat aku memintamu (dan diriku sendiri) untuk tetap hidup. Sebab kehidupan orang-orang yang aku cintai lah yang juga menghidupkan aku. Terima kasih untuk itu, ya!
Di paragraf ini aku ingin berdoa untukmu. Pasti ada banyak doa baik yang kamu terima hari ini. Aku tahu ini curang, tapi agar aku tidak perlu repot-repot menulis ulang, anggap saja doa-doa baik yang kamu terima hari ini juga adalah doaku. Rasanya aku ingin semua doa-doa baik tertuju padamu. Tapi di halaman ini aku ingin menambahkan satu hal saja. Doaku, semoga kamu tetap hidup. Hidup yang sehat dan bahagia. Semoga kamu tidak pernah mati sebelum saatnya. Dan semoga saat kematian itu masih sangat sangat sangat lama datangnya. Aku ingin melihat kita menua bersama. Karenanya semoga kita dapat selalu menjadi teman hingga tua, hingga mati, dan hingga berlanjut lagi di kehidupan berikutnya. Aamiin.
Bahagia selalu ya, Ma. Kamu tahu aku sayang kamu, kan?
Selamat ulang tahun!
 yang tulus,
yang kangen,
yang nunggu kamu pulang,
Sahabatmu
           -Putri Maulita
Tumblr media
5 notes · View notes
putri-maulita · 4 years
Text
Jogjakarta dan Stasiunnya Waktu Pagi
Aku ingin setiap hari adalah Jogja yang hujan saat pagi. Saat kita terdampar di pelataran stasiun. Memandangi jalan-jalan gemerlapan oleh kilatan air.
Saat itu aku ingin sekali mengajakmu berbincang. Tentang rerumputan alun-alun utara yang mengembun dan basah. Atau sepasang wajah muda mudi yang tenggelam di balik tirai becak, sembunyi dari Malioboro yang gerimis.
Aku ingin berbincang denganmu. Tapi kata-kata luruh jadi bayang-bayang Jogja. Pun keramahan hujan di stasiun pagi itu membuat kita kehilangan bahasa.
Tiba-tiba aku bisa mendengar hujan juga turun di dadaku. Hujan yang hangat dan gembira. Membuat gadis cilik kegirangan bermain kecipak air di taman.
Apa kau mendengarnya juga?
Sebab keheningan tiba lebih dulu sebelum kereta kita. Biarkan tetap diam. Percakapan paling dahsyat adalah yang tanpa suara.
Apa kau mendengarnya juga?
Sebab aku tiba-tiba ingin menghadiahimu sesuatu
Sebuah Jogja yang hujan setiap pagi
setiap hari
selalu dan tetap begitu
-Putt
1 note · View note
putri-maulita · 4 years
Text
Tumblr media
1 note · View note
putri-maulita · 4 years
Text
Tumblr media
1 note · View note
putri-maulita · 4 years
Text
Tumblr media
1 note · View note
putri-maulita · 4 years
Text
Puisi Aan Mansyur dan Isi Kepalaku Jam 2 Pagi
Tumblr media Tumblr media
“Akhirnya kau pergi dan aku akan menemukanmu di mana-mana. Di udara dingin yang menyusup di bawah pintu atau di baris-baris puisi lama yang diterjemahkan dari bahasa-bahasa jauh.” -Aan Mansyur, Akhirnya Kau Hilang
Dibanding tidur nyaman, rasanya beberapa malam terakhir ini lebih banyak habis dengan terjaga dan pikiran yang terbuka kemana-mana. Malam tadi aku duduk di sudut ranjang, membaca puisi Aan Mansyur, dan merasakan kata-katanya berangsur-angsur menyentuh sisi paling dalam hatiku. Aku selalu dibuat heran dan kagum dengan bagaimana ia mampu membuat puisi yang begitu apa adanya, tulus, sekaligus magis.  Dan atas hal-hal yang terjadi beberapa waktu ini, kutipan puisi di awal tadi lah yang rasa-rasanya paling sering mampir di kepala.
Jam 2 pagi, kepalaku tidak bisa berhenti bergumam, “Akhirnya kau pergi. Akhirnya kau pergi.” Ada senyap yang berjeda cukup lama hingga potongan puisi itu kembali berdengung, “Dan aku bisa menemukanmu di mana-mana. Dan aku bisa menemukanmu di mana-mana. ”
Jika diibaratkan kembang api, kini percikannya sedang meledak-ledak di kepalaku sebagai pikiran-pikiran yang terbuka. Untuk kemudian menyadarkanku, betapa kita menjadi lebih sering menemukan seseorang justru ketika kehilangannya. Kau pergi. Dan aku bisa menemukanmu di mana-mana.
Aku suka sekali berpergian, mungkin hanya melintas kota atau memang sengaja singgah. Jika sedang ingin singgah, biasanya aku akan berhenti di dua tempat bersejarah bagiku. (Aku ingin menulisnya sebagai “tempat bercerita” karena memang banyak cerita tertinggal di sana, tapi rasanya diksi itu kurang tepat.) Aku tidak akan menyebut letaknya. Selain karena aku ingin tempat itu jadi milikku saja, sesungguhnya aku sedang berusaha untuk tidak lagi dinilai masih terhanyut di masa itu.
Perlu sekitar 10 menit mengendarai motorku untuk sampai di sana. Bisa jadi lebih lama karena aku memilih rute terjauh atau memang sengaja berlama-lama di jalan. Mungkin 20 menit?
Setelah memarkirkan motorku, aku akan menyusuri tempat itu dengan berjalan kaki. Sendirian. Setelahnya aku akan duduk di bangku panjang atau –jika sedang ingin- aku akan lebih memilih untuk duduk di lantai, menyandarkan punggung ke dinding, dan merasakan dinginnya menyentuhku secara langsung. Lalu memandang apa saja yang bisa aku pandang.
Dulu saat aku masih sering di sana, tempat itu selalu ramai. Tapi sekarang aku lebih suka datang kembali saat sedang sepi, saat tidak ada seorang pun di sana selain aku. Karenanya aku bisa duduk dengan damai, menemani diriku sendiri, dan menciptakan percakapan-percakapan di kepala dengan siapa saja.
Benda-benda kecil dan besar -baik yang tampak di langit atau yang di bumi- di tempat itu, berubah jadi kepingan-kepingan film yang menampilkan kilas balik. Aku seperti sedang menyaksikan parade di kepala yang terefleksi dengan baik di tempat itu. Dan di antara potongan-potongan kilas balik itu, aku menemukannya.
Aku menemukannya di mana-mana. Di alas lapang yang mulai memudar catnya. Di tangga-tangga berundak. Di lorong-lorong gelap. Di lantai keramik yang dingin. Di bangku-bangku panjang yang kesepian. Di langit. Dan di mana-mana. Aku menemukannya. Di tempat ini, semuanya tampak begitu nyata. Seolah sedang terjadi kembali. Aku ingin sekali bilang padanya bahwa ternyata wajah dan lakonnya bisa berkamuflase jadi apa saja. Tapi aku tidak berani. Aku tidak berani sebab yang paling dekat denganku di masa-masa seperti ini adalah perasaan hilang.
Aku hanya mampu merasakan keberadaannya. Seolah ia ada di sini. Bersamaku. Ia ada di setiap lekuk dan sudut tempat ini. Aku seperti bisa melihatnya, di kepalaku, sejauh dan sedetail yang bisa aku ingat tentangnya. Karenanya kadang-kadang aku merasa lega. Lebih sering sesak. Sebab semua yang mampu aku reka di kepala adalah imajiner. Jika boleh berkeinginan lebih, aku ingin sekali menemuinya dalam bentuk yang paling nyata.
Kalau sudah puas berdiam lama-lama, lantas aku pulang. Meski lebih seringnya aku pulang bukan karena merasa puas. Bagaimana pun, perasaan sepi dan rindu itu tidak pernah tuntas, kan? Aku pulang karena waktu yang memaksa. Sudah sore. Hampir gelap. Aku tidak tahu harus menjawab apa jika ditanyai sedang dari mana. Jadi, aku pulang saja.
Lama-lama ini jadi siklus. Jadi kebiasaan. Terlalu sering dilakukan hingga aku tidak pernah bosan. Bahkan jika sedang di rumah aku sering berandai-andai pergi ke sana. Duduk di tempat favoritku. Memulai kilas balik kembali. Lalu merasakan semuanya tiba-tiba hanyut. Seperti malam ini.
Membaca puisi Aan Mansyur pada jam 2 pagi adalah cara paling nekad untuk menyakiti diri sendiri. Adalah mustahil membacanya tanpa terseret lagi ke tempat itu. Adalah tidak mungkin meresapi puisinya dengan mampu menahan diri dari kilas balik yang tiba-tiba muncul tanpa henti.
Aku kehilanganmu.
Akhirnya kau pergi dan aku akan menemukanmu di mana-mana.
 -Putt
Mei, 2020
1 note · View note
putri-maulita · 4 years
Text
Mengajak Anak Kecil Bicara
Ada anak kecil, perempuan. Umurnya 13 tahun. Kalau ditanya tinggal di mana, anak kecil itu punya rumah di tiga dunia : di dalam tulisannya, di bawah langit, dan di kehidupannya sehari-hari.
Kalau sedang menulis, ia merasa bisa mengubah apa saja jadi puisi. Ia adalah penyair paling hebat di dalam tulisannya walaupun ia tahu tulisannya ngga bagus-bagus amat. Ia punya buku catatan kecil yang selalu dibawanya kemana-mana. Buku-buku itu adalah rumahnya. Apapun ia tulis di sana, kisahnya, pemikirannya, perasaannya. Semuanya dalam bentuk puisi. Tangannya hanya dua, kakinya pun dua, geraknya sangat terbatas. Tapi kalau bisa, ia ingin menyentuh hati semua orang lewat tulisannya.
Ia suka langit. Ia suka senja. Ia suka memandang ke atas untuk melihat yang semula biru perlahan-perlahan berubah jadi ungu dan merah muda. Langit itu, dunianya yang lain. Kalau pulang sekolah, ia suka sekali datang ke lapangan belakang sekolahnya, duduk berlama-lama di sana. Kadang-kadang bersama teman, kadang-kadang sendirian. Ia tidak mengerti mengapa langit bisa secantik itu. Rasanya ingin memandang lama-lama. Begitu indah. Begitu damai. Suatu hari di bulan Juni, langit menjadi sangat lengkap baginya. Semua orang yang ia inginkan ada di sana. Berkumpul di suatu sore yang sama, berbicara, bercanda, dan berbahagia. Ia selalu senang mengajak teman-teman dekatnya mengunjungi dunia itu. Kalau diizinkan semesta, ia ingin berbagi dunia itu dengan seseorang.
Di kehidupannya sehari-hari, ia hanya anak biasa. Berangkat sekolah jam setengah tujuh, pulang sekolah jam setengah lima (atau jam lima, atau saat maghrib). Ia bahagia karena bertemu orang-orang yang peduli dengannya. Hidupnya ringan, jarang bersedih, hanya bahagia. Ia suka tertawa. Ia suka bercanda. Ia punya orang-orang yang menyayanginya. Banyak yang ia sayang, dan mereka dapat dilihatnya setiap saat. Setiap hari adalah kisah baru, jejak kenangan baru, dan kebahagian baru. Semuanya dekat. Semuanya rekat. Kalau boleh, ia ingin tinggal di dunia itu selamanya.
Tiga dunia yang berbeda, tapi sama-sama membuatnya bahagia. Tahu tidak apa yang paling menyenangkan baginya? Adalah ketika ia berada di dalam tiga dunia itu secara bersamaan, di waktu yang sama, di tempat yang sama. Sederhananya begini, ia akan sangat (SUNGGUH SANGAT) bahagia setiap kali bisa menulis puisi, di bawah langit senja, bersama orang-orang yang menyayangi dan disayanginya. Tiga dunia yang berkumpul jadi satu.
Lalu sekarang, tahu tidak apa yang paling menyedihkan baginya? Ya, sederhana saja, ia akan sangat (SUNGGUH SANGAT) sedih jika ia kehilangan dunia itu. Atau lebih parah, kehilangan tiga dunianya sekaligus.
Anak kecil itu tidak menyangka bahwa yang ia takutkan akan benar-benar terjadi di masa depan. Umurnya tiga belas tahun. Tujuh tahun yang akan datang, ia kehilangan kemampuannya dalam menulis. Tujuh tahun yang akan datang, ia tidak punya banyak waktu memandang langit. Tujuh tahun yang akan datang, orang-orang terdekatnya terasa jauh, menjadi asing, menjadi tidak rekat. Dunianya hilang.
Di masa depan,
anak kecil itu
sering
menangis.
Ia
ingin
mati.
Ia
ingin
dunianya
kembali.
ditulis oleh anak kecil yang tinggal di dalam diriku,
Putri
Senin, 13 April 2020
Wonosari
“Mungkin kamu bisa ajak ngobrol Putri di umur 13 tahun,” kata temanku.
2 notes · View notes
putri-maulita · 4 years
Text
Perihal Blokir
Lucu! Barusan aku menertawakan seseorang. Ia lucu (atau bodoh) sekali. Ceritanya begini :
Kemarin malam ia tidak bisa tidur. Bukan hal yang aneh karena ia memang terbiasa tidur di atas jam 12 belas malam, mungkin jam 2 atau jam 3 pagi. Ia sering berpikir, bahkan untuk hal-hal yang kadang terlampau jauh. Ia orang yang sangat pemikir. Musuhnya adalah kepalanya sendiri. Oh, hatinya juga! Selain pemikir, ia juga perasa. Kadang-kadang ia mengira punya dua kekuatan super di kepala dan hatinya. Menjadi pemikir dan perasa di waktu yang sama itu luar biasa, kan? Ya walaupun kalau tidak kuat kadang-kadang rasanya seperti mau gila.
Kemarin malam ia “gila” lagi. Kalau sudah begitu, ia ingin sekali menghubungi seseorang. Ia ingin ditemani, ingin didengarkan. Tapi ia tahu, harusnya kalau sedang seperti itu ia mesti menjauh dari handphonenya. Ia harus tenang dulu. Tapi bodoh sekali! Ia sedang gila-gilanya malam itu. Tapi, bukannya diam dulu, ia malah langsung menghubungi seseorang. Kann, pikirannya jadi tidak terkendali. Baru tidak dapat balasan sebentar saja ia sudah overthink lagi! Ngomong macam-macam, membahas apa saja, tumpah sudah isi kepalanya. Bego emang! Kan kalau begini yang repot bukan hanya ia saja, tapi orang yang dihubunginya juga ikutan repot.
Kalau sedang gila begitu, orang ini memang tidak bisa menunggu lama. Pokoknya harus langsung dibalas. Ia tidak ingin sendirian. Ia tidak ingin merasa diabaikan. Ia ingin dipedulikan. Padahal ia tahu betul semua orang punya kesibukannya masing-maisng. Tapi yaa, bagaimana? Namanya juga gila (dan bodoh sekaligus).
Kemarin malam setelah isi kepalanya tumpah, ia memblokir kontak orang yang dihubunginya. Bukan. Bukan karena ia membenci orang itu. Ia hanya sedang kesal pada dirinya sendiri. Setelah mengalaminya sendiri, ia baru tahu, ternyata memblokir seseorang itu tidak selalu karena merasa benci, tapi justru bisa karena merasa sayang. Ia menyayangi orang yang sedang diblokirnya. Ia ingin melindungi orang itu –dari pikirannya, dari dirinya sendiri.
Gimana? Bingung? Sederhananya begini, kemarin malam ia memblokir seseorang. Alasannya adalah agar ia tidak perlu menunggu balasan. Setiap pesan yang dikirimkannya kepada seseorang itu, ia selalu mengharapkan balasan, mungkin tidak saat itu juga, bisa jadi nanti, besok, atau entah berapa hari yang akan datang. Ia akan menunggunya –balasan itu. Ia tahu orang yang sedang dihubunginya sedang tidak punya banyak waktu. Makanya ia menunggu. Tapi kalau sedang gila, rasanya ia tidak sabar menunggu lama-lama. Menunggu terlalu lama bisa membuatnya overthink. Overthink bisa membuatnya hilang kendali. Hilang kendali bisa membuatnya menyakiti siapa-siapa.
Ia tidak mau. Ia tidak ingin menyakiti orang itu.
Lalu ia memilih untuk memblokirnya. Agar tidak ada balasan masuk, tidak ada yang perlu ditunggu, tidak perlu overthink, tidak perlu hilang kendali, dan tidak perlu menyakiti siapapun.
Meski dengan cara yang salah, orang “gila” itu hanya sedang berusaha melindungi seseorang –yang entah sedang ada di mana, yang ingin ditemuinya sejak beberapa bulan lalu, yang sehari ini ia doakan semoga kondisinya baik-baik saja.
Lucunya di sini. Begini :
Ia masih memblokir, ia masih menutup akses berbicara (walaupun dalam hati ia berharap orang itu akan mencarinya lewat jalan yang lain). Meski demikian, ia ingin tahu kabar orang itu. Lalu secara diam-diam, ia membuka blokirnya untuk melihat waktu terakhir orang itu berada di sana. Jika sudah, ia akan memblokirnya lagi. Ia merasa sedikit lega. Itu adalah cara berkomunikasi paling sederhana yang bisa dilakukannya. Setidaknya ia tahu kabar orang itu -masih hidup (meski entah seperti apa kondisinya). Semoga orang itu hidup dengan baik.
Sudah tahu belum lucunya di mana? Halah. Halah! Begini :
Kenapa sih orang itu suka membuat segala sesuatu jadi rumit? Kalau ingin tahu kabar, ya tanyakan. Kalau ingin tahu sedang apa, ya hubungi. Kalau ingin komunikasi, yang jangan blokir. Lha orang ini malah aneh! Sudah memblokir tapi ingin tahu kabar. Sudah memblokir tapi masih ingin komunikasi. Tidak jelas maunya apa. Kalau bisa sederhana kenapa harus dibuat rumit, sih? Dasar manusia! Ya, bagaimana ya? Mau pergi sejauh apa, semarah apa, segila apa, kalau memang peduli ya akan tetap peduli. Katanya peduli itu tidak selalu kelihatan, kan? Orang yang sedang diblokirnya memang tidak tahu, tapi di sini, orang gila ini, masih tetap dan selalu mempedulikannya.
Eh, tahu tidak? Sampai sekarang nih, ia masih seperti itu. Buka-tutup blokir. Terus begitu, berulang kali. Lucu, kan? Begitu pun aku, masih seperti itu. Menertawakannya. Terus begitu, berulang kali.
ditulis oleh aku yang sedang menertawakan diri sendiri,
Putri
Senin, 13 April 2020
Wonosari
1 note · View note
putri-maulita · 4 years
Text
Jangan Hilang Untuk Dicari
Jangan hilang untuk dicari, katanya. Perasaan tidak sebercanda itu.
Aku ingin dicari. Aku ingin mencari. Aku tidak sedang kehilangan siapa-siapa kecuali diriku sendiri. Aku bercermin hanya untuk mendapati orang asing. Orang asing yang wajahnya serupa denganku, yang matanya sesayu mataku, yang senyumnya segetir senyumku, yang namanya adalah namaku.
Tapi aku tidak mengenalinya.
Di masa-masa ini, aku senang sekali melihat foto-foto lama sambil mengingat-ingat kembali kapan kali terakhir aku sebahagia itu. Sepertinya saat masih ada kamu. Sepertinya saat masih ada kita. Sepertinya saat langit masih biru, masih senja. Dan sepertinya saat kita masih duduk berdua di bawahnya, bercerita.
Aku
ingin sekali
sebahagia
itu lagi.
Aku sedang kehilangan diriku sendiri. Saat ini kita menjadi asing. Apa kau pun sedang kehilangan dirimu? Aku sedang tersesat. Apa kau pun sedang tersesat? Aku merasa kosong. Apa kau pun merasa kosong? Aku hilang arah. Apa kau pun hilang arah?
Katanya, jangan hilang untuk dicari. Padahal kita semua memang ingin dicari. Kita ingin merasa dibutuhkan, merasa diinginkan, merasa dirindukan, merasa diharapkan, merasa dipedulikan. Kita ingin. Kita ingin.
Ada banyak jalan di bumi. Entah bagaimana caranya, semoga besok jalan kita bersilangan. Aku ingin bertemu, menemukan sesuatu, berhenti mencari, dan memulai semuanya kembali.
Sampai jumpa!
ditulis oleh yang sedang hilang,
Putri
Senin, 13 April 2020
Wonosari
1 note · View note
putri-maulita · 4 years
Text
Perihal Maaf
Aku memaafkanmu untuk tidak membalas pesan-pesan yang aku kirim. Aku memaafkanmu untuk tidak mengangkat telfonku. Aku memaafkanmu untuk tidak menanyakan kabarku saat aku begitu tidak baik-baik saja hingga harus menelfonmu di tengah malam. Aku memaafkan janji-janji pertemuan yang belum atau mungkin tidak terlaksana. Aku memaafkan balasan-balasan singkatmu atas pesanku yang panjang, yang baru kau balas sekian hari kemudian, juga pesanku yang belum kau balas hingga saat ini.
Aku minta maaf. Aku minta maaf untuk ucapanku yang terkesan menekanmu, yang membuatmu takut, yang mungkin menjadi alasanmu menghindari aku. Aku minta maaf untuk selalu ingin bertemu. Aku minta maaf untuk pesan dan telfon yang datang bertubi-tubi di waktu yang sama, yang mengganggumu, yang membuatmu kehilangan telfon penting. Aku minta maaf untuk pesan dan telfonku yang membuatmu tidak bisa tidur, yang membuatmu terbangun, yang membuatmu harus membuang handphonemu sendiri. Aku minta maaf untuk pikiran-pikiran yang tidak bisa aku kendalikan, yang sering jadi pemicu pertengkaran. Aku minta maaf untuk keputusan-keputusan yang pernah aku ambil, yang justru menyakiti kau dan aku. Aku minta maaf untuk anak kecil yang tinggal dalam diriku, yang sering berubah manja, tidak pengertian, dan cengeng terhadapmu. Aku minta maaf.
Aku memaafkan diriku untuk pikiran-pikiran berat yang membuat aku baru bisa tidur setelah jam 2 atau 3 pagi. Aku memaafkan diriku untuk menjadi tidak terkendali sesekali waktu. Aku memaafkan diriku untuk sering menangis, sering hanyut dalam kepala yang tidak bisa berhenti berpikir. Aku memaafkan semua kelemahanku. Memaafkan semua harapan dan tujuan yang gagal terwujud. Pada akhirnya kita hanya manusia. Semoga hati ini selalu kuat untuk meminta maaf dan memaafkan. Memaafkanmu, memaafkan aku, memaafkan kita, memaafkan diri sendiri, dan memaafkan semua yang tidak berjalan baik.
Semoga kamu selalu baik dan selalu dilindungi. Jangan marah,ya. Jangan takut. Bagiku, kamu adalah hadiah. Apa bagimu, aku juga hadiah?
ditulis oleh hati yang ingin memaafkan dan dimaafkan,
Putri
Senin, 13 April 2020
Wonosari
0 notes
putri-maulita · 4 years
Text
Duniaku dan Sastra : Sebuah Alasan Berhenti Menulis
Hai. Aku Putri. Umurku (hampir) 20 tahun. Aku suka puisi.
Pertemuanku dengan puisi dimulai tujuh tahun lalu. Saat itu aku masih 13 tahun, masih SMP kelas 1. Bisa dibilang, pertemuan ini tidak disengaja. Bahkan terkesan sedikit dipaksakan pada awalnya. Aku ingat sekali dulu aku sangat ingin ikut lomba. Lomba apa saja asalkan tingkat nasional, asalkan bisa naik pesawat gratis, bisa terbang, dan bisa lihat langit dari dekat. Semua kesempatan lomba aku coba. Bukan karena jago, tapi karena tidak tahu aku punya bakat apa. Aku tidak lolos seleksi OSN tingkat sekolah saat itu. Akhirnya aku mengikuti seleksi yang selanjutnya, seleksi FLSSN, lomba seni. Aku bingung sekali saat melihat daftar cabang lombanya. Tidak ada yang aku bisa. Semuanya butuh bakat dan aku tidak merasa punya bakat apapun. Menyanyi? Hmm, aku sadar diri suaraku seperti apa. Melukis? Tugas melukis pemandangan saja aku hanya menggambar gunung. Menari? Apalagi! Tidak luwes sama sekali. Jadilah aku memilih cabang lomba yang sekiranya paling mungkin aku pelajari. Ya, bukan cabang lomba yang aku mampu, tapi yang paling mungkin dipelajari. Aku memilih puisi.
Dulu sih aku mikirnya puisi itu mudah. Ya, hanya menulis saja, kan? Sungguh sebuah pemikiran yang salah kaprah karena setelah aku coba, menulis itu ternyata (sangat) tidak sederhana. Aku memulai ini dari nol. Masuk ke dunia yang sangat baru, yang tidak aku pahami sebelumnya, dunia sastra. Singkatnya, setelah melalui proses yang panjang (dan ajaib), aku lolos mewakili Jogja ke FLSSN Cipta Puisi di Bogor, sebuah kejuaran nasional pertamaku. Mungkin nanti aku akan menceritakan lebih detail tentang ini di bagian yang lain.
Itu adalah kisah pertemuan pertama kami, aku dan puisi. Sejak saat itu aku senang sekali membaca dan menulis. Kata temanku, aku ini gila buku. Sampai sekarang masih gila, sih. Aku bisa menulis kapan saja, di mana saja, dan tentang apa saja. Aku bahkan pernah menulis di toilet Balai Bahasa Yogya! Menyenangkan. Aku dapat menjadi manusia paling utuh dan paling jujur setiap kali menulis. Tulus. Dalam. Rasanya aku ingin menyentuh hati semua manusia lewat tulisanku. Ya, aku mencintai dunia ini, sastra dengan segala puisinya yang magis.
Kalau boleh jujur, sejak perlombaan nasional pertamaku itu, aku sudah mendeklarasikan bahwa kelak aku ingin kuliah sastra. Sastra Indonesia adalah mimpiku sejak 13 tahun. Tapi, mimpi itu sempat hilang seiring berjalannya waktu. Aku sempat tidak memikirkannya lagi. Aku memilih mengejar mimpi yang lain hingga sebuah perjalanan hidup yang ajaib (sungguhan ajaib!) membawaku sampai di sini, di mimpiku yang lalu. Perkenalkan, aku mahasiswa semester 4, program studi Bahasa dan Sastra Indonesia. Mungkin kelak aku akan bercerita lebih detail tentang keajaiban ini. Tunggu, ya!
Aku sempat berhenti lama dalam menulis. Masa SMA-ku lewat dengan sangat tidak produktif. Itu masa yang sulit, bagiku. Rasanya menulis di masa sulit itu susah sekali. Tadinya aku kira setelah lulus dan masuk kuliah sastra aku dapat kembali produktif. Tapi ternyata menjadi mahasiswa sastra justru membuatku sangat takut untuk menulis lagi. Menulis itu kerja disiplin. Setelah sekian lama berhenti, aku sadar tulisanku kini kaku sekali. Jelek. Tidak indah. Aku tidak percaya diri tulisanku dibaca banyak orang.
Sesungguhnya kuliah sastra itu menyenangkan. Aku bertemu teman-teman yang juga menyukai puisi dan gila terhadap buku sepertiku. Aku bisa bebas membaca buku tanpa pusing memikirkan tugas kimia. Seru, ya? Tapi rasanya ada yang aneh.
Teman-temanku sangat “gila” dalam sastra. Mereka sangat menyukai perbincangan sastra, berburu buku dan tanda tangan penulisnya, juga hampir tidak pernah absen mendatangi diskusi sastra yang sering diadakan di kota Jogja ini. Sedangkan aku? Aku tidak tertarik dengan hal itu. Bahkan, meskipun aku sangat menyukai buku, rasanya aku tidak betah berlama-lama berburu buku di toko buku yang ramai dan penuh sesak. Aku lebih menyukai kesunyian, sebuah perasaan yang lengang dan damai. Hanya ada aku.
Awalnya aku bingung sekali. Bagaimana mungkin aku bisa sangat berbeda dengan teman-temanku? Apakah aku benar-benar menyukai sastra? Aneh, ya? Padahal kalau ditanya tentang puisi, aku akan dengan sangat jujur mengatakan bahwa aku menyukainya. Sampai kemudian aku menyadari bahwa aku mempunyai duniaku sendiri di dalam sastra. Aku punya caraku sendiri untuk masuk dan tinggal dalam dunia itu, sebuah cara yang mungkin tidak sama dengan teman-temanku. Kalau boleh jujur, aku bahkan tidak paham teori sastra. Aku tidak tahu bagaimana cara menulis puisi. Aku hanya menulis saja, menulis apa yang ingin aku tulis, langsung dari hati. Tidak perlu teori. Tidak perlu referensi. Tidak perlu memperhatikan estetikanya. Menulis saja.
Duniaku di dalam sastra mungkin sepi dan sendiri. Tidak banyak orang yang singgah di sana. Aku ingin kelak dapat berbagi dunia ini dengan seseorang. Sebuah dunia yang menyenangkan, yang (sayangnya) pernah membuatku berhenti menulis cukup lama.
Sebagai mahasiswa sastra, rasanya-rasanya setiap hari aku disodorkan dengan berbagai teori, tolak ukur, dan standar mengenai sastra yang baik dan berkualitas. Dosenku, temanku, dan orang-orang yang aku temui setiap hari adalah mereka yang paham betul tentang itu. Mereka hebat. Tulisan mereka bagus. Betul-betul sastra. Aku paham teorinya, tapi aku tidak tahu cara menuliskannya dengan standar yang setinggi itu. Aku jadi minder. Aku tidak percaya diri dengan tulisanku. Aku berhenti menulis dan sekalipun aku menulis, aku tidak berani membukanya di depan umum. Rasanya, sebelum tulisanku dibaca banyak orang, aku sudah tahu lebih dulu apa komentar mereka. Tulisanku tidak cukup baik untuk dibilang nyastra. Ya, memang betul. Aku memang menulis sesukaku tanpa memperhatikan teori dan ukuran estetikanya.
Aku berhenti menulis cukup lama. Sekian tahun. Kemudian aku merasa kemampuan menulisku hilang. Sedih sekali! Aku merasa kehilangan diriku sendiri dalam hal ini.
Jadi, ya, begitulah ceritanya.
Aku ingin kembali menulis. Aku tahu tulisanku masih belum bagus, apalagi jika dibandingkan dengan tulisan teman-temanku. Tapi tidak masalah. Sekarang aku tidak terlalu memusingkan itu. Aku hanya ingin menemukan duniaku kembali. Aku ingin masuk dan merasa damai di sana. Aku ingin menulis apa saja tanpa peduli indah atau tidak. Aku ingin menjadi diriku yang jujur dan utuh.
Aku ingin menjadi diriku sendiri.
Semoga semesta cukup baik untuk menerima tulisanku kembali. Tulisan-tulisan yang sedang ingin tumbuh, yang sedang aku tanam dan aku siram. Semoga kelak puisiku sampai ke langit. Sebuah langit biru (atau senja) yang sama indahnya seperti langit di atas rumahku saat aku mengetik tulisan ini.
Aamiin.
-Putt
Sabtu, 11 April 2019
Wonosari
0 notes
putri-maulita · 5 years
Text
Kataku, "Aku cuma kangen."
Tapi perkara kangen itu tidak pernah cuma.
1 note · View note
putri-maulita · 5 years
Text
Pesawat
Tadi sore, di jendela kamarku, ada pesawat melintas dari jauh. Kecil, seperti capung. Tapi derunya terbawa sampai pintu. Ia terbang di antara awan. Lalu hilang oleh satu sisi jendela yang lain. Aku tertegun memandangnya. Sampai lenyap. Sampai di langit hanya ada kosong
Aku tertegun sebab tiba-tiba cuaca kamarku berbeda. Keheningan datang entah dari mana.
Lalu terasa, ada kangen yang mencengkeram
Melihat pesawat adalah mengingat bandara. Mengingat bandara berarti mengenangmu. Aku ingat dua tahun lalu kita pernah ke sana. Memandang pesawat terbang satu demi satu. Aku tahu. Meski duduk bersebelahan, kepala kita berkelana ke arah yang entah. Di kepalaku waktu itu tidak ada pesawat. Hanya ada rencana dan pertanyaan, tentang bagaimana aku harus menyapa dan menyerahkan hadiah yang ku bawa. Sebuah buket bunga, jika kau masih menyimpannya. Hanya itu. Bagaimana denganmu? Aku tak tahu. Kepalamu adalah yang paling tidak bisa aku tebak
Tadi sore, di jendela kamarku, ada pesawat melintas dari jauh. Kecil, seperti capung. Tapi derunya terbawa sampai pintu. Lalu aku bertanya-tanya, apa derunya juga sampai padamu?
Jika iya, mari kita berbincang
Kau tahu? Pesawat itu turut serta membawa pikiranku. Aku ingat dulu aku pernah berbagi cita-cita denganmu. Sebuah mimpi sederhana yang kekanakan. 
Aku ingin terbang. Meski aku tahu tidak mungkin
Ya. Tidak mungkin, memang. Kecuali sampai hari ini
Aku merasa kita sudah terbang. Dari hari yang satu ke hari yang lain. Bulan yang satu ke bulan yang lain. Tahun yang satu ke tahun yang lain. Kita terbang dan meninggalkan banyak hal di belakang. Sesuatu yang kini terlalu jauh untuk kita jangkau dengan ingatan
Meski kita menua dalam pesawat itu dan meski jarak semakin jauh di dalam waktu, aku ingin tetap mengenangnya. Semoga kau juga.
Aku ingin. Karena kata orang, satu-satunya yang bisa diselamatkan dari masa lalu adalah kenangan. Maka aku ingin menjadi yang selamat dalam kenanganmu.
Sebab kau pun adalah 
yang selalu aku selamatkan 
dalam kenanganku
Tadi sore, di jendela kamarku, ada pesawat melintas dari jauh. Kecil, seperti capung. Tapi derunya terbawa sampai pintu. Terbang lah. Jangan berhenti atau kedinginan dalam pesawatmu. Sebab lenganku melebur jadi kata-kata. Semoga dalam puisi ini kau merasa kupeluk
oleh doa-doa yang hangat
dan dekat
 
-Putt
Jogja, 11 November 2019
Note : Puisi ini dibuat untuk memperingati kelahiran seseorang -yang sering kesulitan memahami puisi, tetapi selalu ingin aku menulis. Selamat lahir!
7 notes · View notes
putri-maulita · 7 years
Text
Tentang Menulis
Menulis adalah cara mengingat.
Kata-kata seperti mesin waktu yang bisa membawaku ke masa lalu.
Aku bisa menulis apa saja tentangmu. Kutulis kamu dan kamu jadi cerita. Kutulis kamu dan kamu jadi sajak. Kutulis kamu dan kamu jadi puisi.
Kutulis kamu
kemudian kuingat kamu.
-Putt
29 Desember 2017
14 notes · View notes
putri-maulita · 7 years
Text
khayal
Membayangkan tinggal di dunia yang ada kamu
jendela dan pintu menghadap jalan
menunggumu pulang
seperti suara sepi yang bisu tapi terdengar lantang di beranda rumahku
memanggilmu
Membayangkan tinggal di dunia yang ada kamu,
sepertinya aku rindu?
---Putt
18 Mei 2017
3 notes · View notes
putri-maulita · 8 years
Text
Kepalaku andromeda Sedang kau adalah semesta
Sungguh pikirankupun tak mampu menampungnya
Begitu penuh dan sesak
Malam ini, kau luber menjadi air mata
—Putt 19 Desember 2016
3 notes · View notes
putri-maulita · 8 years
Photo
Tumblr media
Banyak yang tiba-tiba muncul di dalam kepala. Semesta lupa memutar waktu. Dimensi berhenti di satu titik potret yang kembali tayang berulang-ulang. Rasanya rindu sekali. Rasanya rindu sekali.
-Putt 7 Desember 2016
1 note · View note