radpribadi
radpribadi
Journal de Radpribadi
161 posts
Don't wanna be here? Send us removal request.
radpribadi · 6 years ago
Text
Kisah Sejarah Bapa Boleh dan Mama Boleh
Diceritakan pagi hari minggu tanggal 9/2/2020 Mama Boleh (nama asli Lina) cerita bahwa beliau lahir pada tahun 1964. Bapa Boleh alias Bapa Dortheis Abon lahir pada tahun 1961, setahun lebih tua daripada orangtuaku. Mereka menikah pada tanggal 9 November 1982. Cerita menariknya adalah ketika dulu Mama Boleh sedang sekolah kelas 3 SD, dia punya guru bilang ketika sedang bersih-bersih sekolah "Lina, kau nanti akan menikah dengan Dortheis". Waktu itu Mama Boleh masih kecil, jadi beliau hanya bergidik saja, seperti tidak bisa membayangkan dan tidak mau membayangkan. Eh ternyata, tak lama kemudian, ketika Mama Boleh usia 18 dan Bapa Boleh sudah 20 tahunan, ayahnya Bapak Boleh datang kerumah Mama Boleh dan melamar. Mama Boleh terkejut, kata-kata gurunya waktu dulu seperti jadi nyata! Lalu mereka menikah dan punya anak ada Domingus, Seblum, Deborah, anak perempuan setelah Deborah (lupa namanya), Feri, Levina dan terakhir Novita. Dua anak laki-laki pertama Bapa dan Mama Boleh meninggal di usia muda, ketika menginjak usia 30an. Mereka meninggal karena sakit. Kalau menurut Mama Boleh, mereka meninggal karena ada orang yang iri dengan Bapak Boleh yang kelola uang PNPM Respek Mandiri, jadi kirim ilmu hitam. MENARIK: MIMPI SEBLUM Mama Febi ketika hamil anak laki-laki, tiba-tiba suatu hari mimpi didatangi almarhum Seblum, anak laki-laki Bapa Boleh yang sudah meninggal. Lalu almarhum Seblum dalam mimpi itu bilang "Ada tempat yang saya belum datangi, tolong namai anakmu Seblum jadi dia bisa datang ke tempat itu". Dan benat saja, akhirnya Mama Febi berikan nama anak laki-laki itu Seblum! SUPER MENARIK: BAPA BOLEH HAMPIR JADI KADES, TAPI TIDAK JADI KARENA MAMA BOLEH TIDAK MAU! Rupanya waktu dulu, ketika memasuki masa pergantian Kepala Desa dari pak Timotius Sinabu, Bapak Dorteis dijagokan menjadi kepala desa selanjutnya. Masyarakat luas juga mendukung sekali Bapak Dorteis ini menjadi kepala desa. Akan tetapi Mama Boleh tidak mau Bapak Dorteis jadi Kades. Karena Mama Boleh takut Bapak Boleh jadi terlalu sibuk, padahal saat itu mereka punya banyak anak kecil dan remaja yang perlu mereka urus. Mama Boleh juga bilang bahwa beliau takut nanti akan sibuk memasak dan melayani tamu-tamu datang. Dan, Bapak Boleh menurut. Akhirnya Bapak Boleh tidak jadk maju Kepala Desa, walau warga mendukung dan Bapak Timotius Sinabu sendiri sudah meminta. Alasannya sederhana: istrinya tidak mau dia maju. Sungguh aku kagum sama Bapak Dorteis soal itu. Beliau sangat menghormati istrinya. I mean, dalam masyarakat patriarkis seperti disini??? Wow. Padahal beliau bisa dengan mudah menang pemilihan jadi kepala desa. Kagum banget deh. Bapa Boleh dan Mama Boleh itu sepertinya one of the most respectable couple in Sambrawai. Aku juga kagum sama mereka. PENGABDIAN BAPAK BOLEH: Bapak Boleh juga rupanya sudah bekerja untuk gereja dari tahun 1994!! Wowww. Dedikasinya  bekerja untuk gereja itu tinggi sekali, memang nampaknya tulus mau bekerja membantu jemaat
2 notes · View notes
radpribadi · 6 years ago
Text
Mendata Penduduk Sambrawai bersama Verifikator Cilik
Malam Senin (17 Februari 2020), aku di Bapa Bamuskam. Awalnya aku hanya bantu beliau mencetak foto Mama Sonny yang hendak mengurus E-KTP. Di desa ini, yang punya E-KTP berlaku seumur hidup hanya Bapa Bamuskam seorang! Bapa Bamuskam baik sekali, karena dia mau mengurusi E-KTP Mama Sonny. Tak disangka, fasilitas mencetak dirumah Bapa Bamuskan cukup lengkap, ada kertas foto dan printer dan fasilitas lainnya. Lalu setelah itu, datanglah Pak Paulus, Sekretaris Desa. Beliau datang rupanya karena mau mendata nama-nama masyarakat, penduduk Sambrawai bersama Bapa Bamuskam. Data tersebut harus dicetak dan diberikan ke BPS besok harinya oleh Pak Kepala Desa. Oke lanjut: Akhirnya aku duduk didepan laptop, sambil Pak Bamuskam memegang buku akuntansi panjang yang isinya nama-nama KK di desa yang ditulis dengan pulpen. Aku mengetik, lalu Pak Bamuskam dan Pak Paulus mendiskusikan dulu validitas data keluarga di buku itu, apakah ada anaknya yang sudah pindah, apakah ada anaknya yang sudah menikah, apakah ada yang sudah meninggal, dan sebagainya. Bahkan, sekali Pak Paulus pergi menembus hujan dan kembali membawa secarik kertas nama-nama yang akan dimasukkan ke dalam data KK, nampaknya baru dia verifikasi. TEMUAN-TEMUAN UNIK: Nama-nama di desa juga unik-unik, ada yang namanya Samsudin, seperti nama orang Islam. Lalu sepanjang mengisi nama, aku sering mendengar ungkapan "Ah anak ini sudah diberi ke Bapak yang ini" atau "Ah, sekarang sudah jadi anak". Contohnya, aku baru tahu Salisa yang harusnya jadi cucu Bapa Boleh, rupanya secara administratif dihitung jadi anak Bapa Boleh karena tinggal dengan Bapa Boleh. Sekali lagi, keluarga nuklir hampir tidak ada artinya disini!!! Santai saja disini bilang "anaknya Pak X ini sekarang sudah dikasih ke Pak Y" dan sebagainya. Ikut mengisi data kependudukan menjadi kesempatanku menganalisis struktur masyarakat desa. Fam apa saja, lalu pendatang dari mana saja. Rupanya banyak pendatang dari Randawaya dan Menawi. YANG KOCAK: Ketika mengisi ini, seringkali Pak Bamuskam dan Pak Paulus lupa jika salah satu keluarga itu punya anak atau punya nama-nama lain tidak. Lalu mereka bertanya pada anak-anak kecil Pak Bamuskam (dan Weli yang sudah SMP kelas 3). Lucunya, anak-anak ini seringkali punya memori dan pengetahuan mengenai warga desa yang lebih luas dibanding Pak Bamuskam atau Pak Paulus, sehingga mereka-lah yang akhirnya memverifikasi dan memberikan jawaban kalau Pak Bamuskam dan Pak Paulus bingung. Aku tertawa dan tersenyum kalau mengingat ini, karena verifikator yang berperan dalam mengecek data kependudukan adalah anak-anak Pak Bamuskam! Sementara data ini akan diberikan ke BPS, dan bisa saja menjadi dasar untuk sensus 2020! Jadi beginilah sensus dan pendataan kependudukan di garis depan, rupanya tak lepas dari peranan anak-anak kecil (anak2nya pa Bamuskam) yang ingat nama-nama orang atau anak-anak lain di desa mereka sendiri. Arti lain, mereka adalah verifikator cilik!
2 notes · View notes
radpribadi · 6 years ago
Text
surat buat orang (kayaknya ga bakal dibaca juga sih karena kayaknya doi juga gatau tumblr ini lol)
halo
habis lihat video darimu. 
trus ngecek blog mu.
sehat-sehat terus ya.
2 notes · View notes
radpribadi · 6 years ago
Text
whoa. 
jantung langsung berdegup kencang sekali. 
udah lama gak merasakan ini.
0 notes
radpribadi · 8 years ago
Text
A letter to Prophet Ibrahim
Reason and logic. Those are what you are known for. You defied authorities and the established view, enforced to your people. You solemnly took a step away from the buzz of civilization, and took some time to wonder and think about the universe.
How does this universe came to be? How could the world be constructed and created into its current shape?
You seeked for an answer, an explanation of the nature of the universe. You are looking forward, ahead, and beyond all the signs and the shows of the world, for one true God.
And it was reason, logic, that finally drove you to the epiphany.
It was perhaps a daily propaganda that you consume, telling you that the official explanation of the creation of the universe, is by the grace of the lunar and solar gods. That sole explanation, accepted and protected by the authorities, was something that tickles your mind. The gods of sun and moon? Could they be the answer, could they finally be the explanation of everything?
And then, in your graceful escape from civilization, you witnessed the universe evidenced the otherwise. The sun, with all its might, its warmth, and the seemingly unlimited brightness, finally sank to the horizon, leaving the shine previously lighting the sky into a disappearing gleams of orange. Dimming down, the sun slowly goes out, everyday, and gives way to the darkness of the night.
And you have seen it. You have seen that the sun is not eternal. The light we have from the sun dies every night, only to rise again in the morning. Yet it will sink again, and as time have shown, it will remain sunken until all revived back in the morning. The solar god, if there is any, have lost its eternity value. The thing you can be certain is that the sun, dying in the night and living only in the day, could not be the creator of the universe, let alone a keeper of the Earth.
Then at nights, you see the moon took over, reigning over the darkness of the night. It may not be as bright or as powerful as the sun, yet it lighten the night. As if trying to gain attention, the moon is the sole brightest light in the night’s sky, dimming every other star’s light in comparison. The moon offers visible warmth and light in the middle of the cold dark nights. Could this be it? Could finally the lunar might be the answer?
And yet, just like the sun, the moon sets. It fades out. And even more dire, the moon will phase out. Its full circle does not last even for three days. It gets thinner. Some days, the moon will even completely vanish from the sky. The lunar god, if there is any, must be very periodical of a divine being, for its strongest form only last for a short amount of time. And that means, the moon cannot embody godly being, and does not deserve the title of a creator.
From all of those observations, you deduced that there should be One God, the ultimate and only Creator. The design of the universe is just too perfect, too impossible for a mere visible object to recreate. This One God must be Unlimited, All-Powerful. The Great Designer, The All-Powerful, you have come in your reasoning and logic, is Allah.
Reason and logic. It is what finally established your strong, unassailable faith. It is what drove you to conviction, ready to be prosecuted or even punished to death for the faith of the One God. It is what have made you a victor, while your faith is attested, and while the people are questioning. Reason and logic, as God would say later in his Book, is the way of how faithful people can come to truth.
And yet, dear Prophet, the world right now have seen reason and logic as the champion of human minds. We have been through an era that we call Renaissance, we have finally constructed academic institutions in almost every corner of the Earth. We have established science as the prime source of explanation. And there it is, dear Prophet, there stood a problem. The world today relies so much on reason and logic, it began to view religion as irrelevant, and at worst, an enemy.
For I have been studying in a university and met people from many nations, I have witnessed this myself. Reason and logic have finally put religion and faith into trial. Science, especially those preached from the West, have seen religion as a nemesis. Religious people are positioned as conservatives, dull, and left behind. Faith is in danger, especially the Faith for God, the imaan, is under attack.
Dear Prophet, if only I could meet you. If only I could show to you the world I am living. If only I could discuss with you, listened to your stories, and perhaps absorb your daunting energy to help energize our struggle.
But if you happen to read this letter, dear Prophet, I want to assure you, that we have not given up fighting. We have not lessen our struggle, nor have we abandoned our faith. For me personally, one of the reason I still hold on to the faith of Islam is reason and logic. Although science and Western secular scientists may claim that everything is explainable by science, I will lay my challenge to the question of the soul and consciousness. It happened that science alone is unable to decipher the mystery of the soul.
Dear Prophet, I wish that one day we can converse. I will joyfully wait for that day. And for now, I will continue your legacy to work with faith and for the truth. With reason and logic, in the path of God, to attain the ultimate peace in the universe.
2 notes · View notes
radpribadi · 8 years ago
Text
the disheartening kind of politics
politics are often noisy. 
perhaps most of it is competition of ideas. competition of who should be this and that. competition of how many seats should me and my friends have and yours. 
funnily enough, policy and administration, managing a state and delivering services, they are not part of political science. we only study policymaking in one class. and the rest? it is about that competing who’s on how’s. 
and to some people, they avoid politics. they avoid it just like they avoid loud train stations or noisy construction site. they avoid it to find peace, serenity. they want to escape the noise, the shouts, the anger, the accusations, and all. 
here i am, a political science student who avoids the noise. at least for this time. 
i wondered why people are satisfied with the noise of politics. well, of course we are in a democracy, but what is the joy in winning the arguments? what is the joy in attacking, rebutting, and all jabs thrown? 
i am just exhausted of them. 
i went to a village in the middle of west java. so near from Bandung, the provincial capital, but so far, the broken road made travel hard. life is so serene there, so peaceful, so pure. i watched the news once, the news about the upcoming elections. it just feels that Bandung is too far away. Jakarta feels like another country. the noise in the news, the shouting, debates, drama, and all, they are just echoes in that village. empty echoes, and it seems no matter who wins, no significant difference would be made. 
can politics be about work? about solutions? solely about policies? 
i wish it can. perhaps one day it will be. for the moment i have decided to avoid the noise as well. 
it is much better to just work and do something, and wave off those noise as distractions.
0 notes
radpribadi · 8 years ago
Text
Jangan gampang cerita. Jangan gampang upload. Yang membedakan orang berpengalaman dengan yang tidak adalah orang berpengalaman tidak mengupload proses di sosial media, karena dia tahu ini belum ada hasilnya. Kalau mau upload itu achievement, jangan proses.
Nasihat seorang ayah sahabat
1 note · View note
radpribadi · 8 years ago
Text
Kisah-Kisah di Komisi I
Dulu sewaktu saya masih kecil, ketika saya sedang naik mobil dan melewati ruas tol dalam kota Jakarta, ada sebuah bangunan besar disebelah kiri jalan yang begitu megah. Saya kemudian mengetahui bahwa gedung tersebut adalah gedung Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau DPR/MPR. Tapi, dulu "DPR/MPR" hanya sekedar nama saja bagi saya. Tentu saja, saya belum mengerti apa DPR/MPR sebenarnya, siapa orang-orang yang bekerja disana, dan banyak hal lain yang saya masih belum tahu. Saya hanya mengetahui bahwa DPR/MPR ini adalah gedung megah berwarna hijau, berdiri ditengah-tengah kota Jakarta. Saya tidak pernah membayangkan pada saat itu, saya akan turut masuk dan bekerja di dalam sistem DPR/MPR.
Ketika saya kemudian menjadi seorang mahasiswa ilmu politik, saya mendapatkan kesempatan untuk magang di DPR. Saya sudah mendengar pengalaman ini dari kakak-kakak kelas saya yang seringkali datang ke kampus sore hari dengan baju rapi dan kemeja mereka. Sehabis pulang dari Senayan, mereka membagi pengalaman mereka bekerja dengan anggota DPR. Saya senang sekali mendengarkan cerita-cerita mereka karena darisana kita bisa mendengar bagaimana situasi politik sebenarnya. Seringkali saya di ruang kelas mendiskusikan teori dan pemikiran-pemikiran, serta fenomena-fenomena politik yang terjadi diluar sana. Akan tetapi lebih banyak fenomena-fenomena tersebut adalah hasil observasi dari sumber-sumber kedua yang kami dapatkan. Antara itu berita-berita atu sumber literatur, sebagian besar fenomena politik yang kami pelajari sebagai sarjana ilmu politik berasal dari sumber kedua. Karena itu, program magang politik adalah suatu kesempatan untuk melihat langsung bagaimana sejatinya politik di Indonesia bekerja.
Saya ingat sekali malam itu ketika saya nekat untuk menghadiri acara syukuran Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di rumah Dr. Hidayat Nur Wahid, anggota Komisi 1 yang juga menjabat sebagai wakil ketua MPR, anggota parlemen yang saya incar. Saya nekat kesana hanya bedasarkan kontak istri beliau, dan tidak kenal siapapun. Malam itu, hadir pula Sandiaga Uno sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta Terpilih, duduk bersama dalam satu lingkaran yang sama dengan Pak Hidayat. Saya melihat bagaimana politik bekerja, bagaimana Sandiaga Uno yang merupakan calon wakil gubernur membutuhkan dukungan partai, dan PKS adalah salah satu partai kuat penyokongnya. Terlihat juga dalam diskusi-diskusi malam itu bagaimana Pak Hidayat memberikan "wejangan" kepada Pak Sandiaga, semacam pesan-pesan politis mengenai pekerjaan apa saja yang perlu ia selesaikan, bentuk "titipan" dari PKS, seperti renovasi beberapa masjid-masjid di Jakarta. Pak Sandiaga yang telah terpilih dan sepertinya menunjukkan bahwa ia berutang budi, mengangguk-angguk mengiyakan. Setelah tamu VIP itu pulang, saya akhirnya berhasil mengkonfirmasi tempat saya sebagai staf magang di kantor Pak Hidayat, bersama dengan teman saya Andi dari Ilmu Politik angkatan 2013.
Saya ingat hari-hari pertama saya magang. Waktu itu adalah masa-masa bulan Ramadan, dan orang-orang masih berpuasa. Saya cukup memiliki banyak ekspektasi mengenai pekerjaan di DPR. Saya hadir membawa portofolio sebagai orang yang cukup berpengalaman dalam bidang diskusi dan debat parlementer, setidaknya dalam tingkat simulasi level anak-anak kuliah dalam kegiatan Model United Nations atau simulasi sidang Perserikatan Banga-Bangsa. Pengalaman ini membuat saya berekspektasi pekerjaan DPR akan menjadi lumayan intens, apalagi Pak Hidayat Nur Wahid bekerja di komisi yang membidangi hubungan luar negeri dan membawahi Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan serta Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Rupanya ekspektasi saya tidak tercapai. Pekerjaan di DPR rupanya tidak se-intens yang saya bayangkan. Saya ingat benar, hari-hari pertama saya, saya datang ke kantor pagi-pagi rupanya tidak ada kegiatan yang berarti karena entah hari itu tidak ada rapat, atau rapat yang berlangsung berjalan tertutup. Saya bahkan pernah ketiduran di kantor yang dingin karena memang tidak ada kegiatan. Jujur, pada awalnya saya sempat kebosanan. Apalagi, banyak dari pekerjaan-pekerjaan yang terkait dengan substansi keanggotaan DPR sudah dikerjakan oleh staf ahli dari Pak Hidayat. Saya jadi kebagian "sisa-sisa" tugas administratif, seperti mengantarkan dokumen, atau fotokopi dan laminating.
Tapi saya tidak mau sekedar menjadi pekerja administratif saja di DPR, saya juga ingin mendapatkan pekerjaan yang substantif. Akhirnya saya meminta untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih "berat". Kemudian saya ditugaskan untuk mengawasi rapat kerja bersama dengan Kementerian Luar Negeri. Wah! Saya sangat senang dan kegirangan, karena saya memang suka hal-hal yang berbau kebijakan luar negeri. Akhirnya saya menghadiri rapat tersebut, saya masih ingat betul, di akhir-akhir bulan Juni menjelang Lebaran, saya hadir di satu rapat bersama dengan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno Marsudi!
Setelah Lebaran dan masa-masa reses, saya kembali masuk ke kantor. Kali ini saya mulai meminta pekerjaan-pekerjaan yang lebih menantang. Memang, sesekali saya masih menyusup masuk ke rapat-rapat dan melihat menteri-menteri sedang berhadapan dengan anggota dewan, tapi saya juga akhirnya diberikan tugas yang perlu saya selesaikan di kantor. Salah satu tugas yang saya sering kebagian adalah tugas profiling. Waktu itu DPR perlu menyeleksi banyak kandidat-kandidat, seperti kandidat Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) dan juga para calon-calon duta besar RI. Saya kemudian membuat sebuah matriks yang menggambarkan perjalanan karir mereka. Darisini saya belajar sesuatu yang intangible, bahwa pada umumnya memang karir-karir pejabat atau birokrat publik itu berjalan dari bawah sekali. Banyak pejabat atau birokrat publik memulai karirnya sebagai asisten dan semacamnya, kemudian berakhir menjadi direktur jenderal, bahkan ada yang menjadi gubernur.
Diluar tugas profiling saya, salah satu yang paling berkesan adalah ketika saya menganalisis Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester 1 (IHPS I) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI. Saya melihat sendiri dokumen negara yang mempunyai data-data pengeluaran dan pendapatan dari lembaga-lembaga negara. Dan, BPK tentu saja melaporkan ke DPR yang memiliki fungsi penganggaran. Saya kemudian ditugaskan untuk membuat rangkuman IHPS I untuk lembaga-lembaga negara yang diawasi oleh Komisi I. Saya dapat melihat data-data statistik keuangan lembaga negara, dan melihat betapa mahalnya pengeluaran banyak sekali lembaga negara. Saya jadi teringat cerita teman saya yang pernah bekerja secara honorer di suatu kementerian, banyak pengeluaran pemerintah itu habis untuk hal-hal yang tidak efisien dana, seperti rapat di hotel-hotel dan semacamnya. Saya jadi sebal sendiri ketika membaca milyaran rupiah habis untuk pengeluaran-pengeluaran yang tidak penting.
Saya juga menyempatkan status saya sebagai staf magang di DPR RI untuk masuk dan mengikuti pidato kenegaraan oleh Presiden pada tanggal 16 Agustus 2017. Memang, sehari sebelum hari kemerdekaan, Presiden akan membuat pidato kenegaraan yang akan dibacakan didepan sidang gabungan DPR dan juga DPD. Cerita ini sebenarnya cukup nekat, saya selalu mengira bahwa sebagai staf anggota DPR saya diperbolehkan masuk. Rupanya pada hari-H ketika saya sudah berjuang datang ke gedung DPR menggunakan ojek agar tidak terlambat, saya diberitahu bahwa saya tidak boleh masuk. Karena saya tidak terima, saya kemudian ke kantor dan mengambil beberapa buku-buku dan menyematkan pin PKS ke dada saya, serta menggunakan kopiah. Untung saja saya berpakaian rapi pada hari itu, sehingga saya bisa masuk dan mengelabui Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres). Saya bahkan sempat berdiri hanya terpaut 10 meter saja dari Pak Joko Widodo. Sebuah pengalaman yang menarik!
Hari-hari terakhir saya di DPR sebenarnya cukup seru. Saya menyaksikan sendiri rapat paripurna yang membahas mengenai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) mengenai Organisasi Masyarakat atau Perrpu Ormas yang hendak diadopsi menjadi undang-undang. Rapat paripurna pada saat itu berlangsung dengan cukup panas. Perdebatan berlangsung berapi-api. Jujur, kebanyakan rapat di DPR itu membosankan, karena membahas anggaran dan kinerja. Saya tidak heran banyak anggota DPR yang ketiduran ditengah-tengah rapat yang membosankan didalam ruangan sejuk dan duduk diatas kursi empuk yang nyaman. Akan tetapi, rapat hari itu sangat seru dan saya bisa merasakan semua orang yang berada di dalam ruangan itu membuka mata dan mengikuti perdebatan. Pidato-pidato melancar dengan lantang, dan tokoh-tokoh politik bersuara, memperdebatkan demokrasi dan juga keabsolutan Pancasila.
Saya sangat bersyukur telah mendapat kesempatan magang di DPR RI. Setidaknya saya sudah melihat sendiri bagaimana DPR bekerja, bagaimana politik itu bekerja. Setelah saya melihat sendiri proses politik yang ada di DPR, saya tidak bisa menghindari bahwa ilmu politik itu adalah suatu hal yang lebih mendekati seni daripada sains, karena politik itu abstrak dan tidak akan lepas dari intrik. Logika kita dalam menentukan suatu kebijakan bisa saja berkata A, kita bisa saja merasa A itu adalah keputusan paling rasional, akan tetapi intrik-intrik dan kepentingan-kepentingan dari sana sini malah membuat keputusan yang diambil menjadi B atau bahkan C. Saya jadi paham bahwa politik itu tidak boleh sekedar bermain logika, apabila kita mau terjun ke politik dan mau membuat perubahan yang positif, kita harus belajar seni dari politik itu sendiri.
Akhirnya saya belajar bahwa politik itu tidak kotor, banyak yang bilang begitu karena mereka belum mengerti bagaimana seni politik itu dimainkan. Sama seperti seorang yang belum mempelajari seni lukisan, mungkin kita akan melihat karya-karya seni sebagai coretan-coretan tak bermakna. Akan tetapi, dengan mempelajari seni dan ilmu politik, kita akan melihat bahwa politik bukanlah suatu hal yang kotor, politik adalah seni bagaimana manusia saling mempengaruhi manusia-manusia lain. Politik adalah bagian dari manusia, dan akan selalu ada selama manusia ada. 
Gedung DPR yang saya lihat sedari saya kecil itu akan selalu gaduh dengan perdebatan. Gedung itu akan selalu penuh dengan diskusi, intrik, dan drama. Gedung itu akan terus berdetak dengan nadi aspirasi-aspirasi rakyat. 
Gedung DPR itu tidak akan pernah senyap, sampai seluruh manusia akhirnya lenyap.
0 notes
radpribadi · 8 years ago
Text
Artificial Intelligence and the Lost Dominance of Humans?
As artificial intelligence is growing exponentially fast , we really are standing on the dawn of a new age. This article which I just read fascinatingly explains that soon enough, computers will reach the level of superintelligence. Which means that an AI system would be far smarter than all human brains combined. We might no longer control them, let alone understand them, as their intelligence and computing power would far surpass that of ours. 
And is this the end of humanity?
I can only imagine that we humans will no longer have the dominance on this planet. AI system could be the prime species, and perhaps we could not even beat them, due to them being far more smarter than we are. We would just like be today’s ants in the face of humans. Ants have their own civilization, and perhaps think of themselves as the smartest or the dominant species, but perhaps they just cannot simply understand that it is humans that have far more superior civilization and dominate them. Maybe in the age of superintelligent AIs, we are not exterminated or made extinct, we would perhaps be just like ants, living in our own civilization while under the dominance of one far smarter species. The future is always an uncharted territory, yet we should always imagine, because all too often, it is our imagination that would somehow shape the future and reality. Let us imagine a peaceful future with the superintelligent AIs.  
0 notes
radpribadi · 8 years ago
Photo
Tumblr media
0 notes
radpribadi · 8 years ago
Photo
Tumblr media
THE CREEPIEST MODEL UNITED NATIONS EVER. So this, Oxford-Kyushu MUN Camp in Kyushu, Japan, is the MUN I am chairing with my friend Matthew. Although it is meant to be fun and educating, but the topic is quite serious: North Korean nuclear crisis. The committee is United Nations Security Council. And yes, my delegates are dealing with a crisis situation right now. And when usually, as someone who chaired and participated in multiple crisis committees before, the crises are man-made, the chairs made the scenario. While the delegates are writing their Draft Resolution, I googled the North Korean nuclear crisis and this came up. The news came two hours earlier. This is crazy. And I am in Japan right now. It is really creepy or thrilling to realize what we are doing is so parallel to reality. And even crazier, I am in Japan, and I actually am in the North Korean nuclear weapon range. This is the first time, ever, I feel the chill in my body, the fear of nuclear weaponry. This is the first time, and I have never imagined I will ever have this, I am experiencing atomic bomb threat firsthand. Usually it is always on TV, films, or games, but this time it is real and I am inside the nuclear range. Just 72 years ago, on the exact same month, and in the exact same country I am staying, the people in this country of Japan felt that, and it changed this nation forever. Now what I used to read in history books creeps in into reality. This is the creepiest Model United Nations experience ever. I think the people in United Nations should convene and do the talks here, in Japan or even in South Korea, not in New York. So that they feel this chilling fear. So that they understand the threat this people are having. May the world never experience such catastrophic event anymore. Let us make our short blink of existence in this universe something worth to be remembered and cherished.
0 notes
radpribadi · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Gue tadi sebelum ke bandara buat terbang ke Jepang dibilangin sama nyokap gue jangan pake celana training. "Eh ganti itu nggak sopan!" Hehe gue tapi kepengen pake toh gue backpacking, so dresscode gue nyantai banget. Gue bahkan ngakak karena inget cerita jaman bokap gue remaja dulu orang mau naik pesawat pada pake baju rapi kayak batik karena naik pesawat itu special occasion banget buat mereka. Lagian, gue berangkat sendirian, jadi no one to please, right? Convenience is the priority! Akhirnya tadi gue lenggak lenggok jalan nyantai di bandara sampai tiba-tiba... "Radhiyan!" Temen gue dari psikologi. Oh dia gak sendirian. Dia bareng temen-temennya. Terus dateng temennya 3 orang tambahan. Cewek semua pula...well ya gapapa sih sebenernya wkwkwk Tapi. Yep. Listen to what your mother says, folks. She really has great advices.
0 notes
radpribadi · 8 years ago
Photo
Tumblr media
muka bengong
0 notes
radpribadi · 8 years ago
Text
To Be Remembered
“A couple of years ago, one of my MBA students at INSEAD (where I am an Entrepreneur-in-Residence) asked me how she could conquer her fear of failure. She couldn't decide what job to take. She was scared to fail. She was scared to make the wrong decision. She was scared to take a risk. It's ironic because she was a few months away from graduating from INSEAD, one of the world's top business schools. And yet, she was afraid of life itself. 
 The first thing I told her was that there are no guarantees in life, and that everyone fails. I also told her that we are not here on this Earth to succumb to our fears, doubts, and insecurities. We are here to unleash our greatness. Every day, we can choose to let our fears, doubts, and insecurities imprison us, or we can choose to let our dreams, inner voices, and truths set us free.
 I told her to ignore what society wants for her, to ignore what her parents want for her, to ignore what her friends want for her. Life is not about paper qualifications, test scores, GPAs, and fancy CVs. True success is the courage to live a life that ignites your soul. The world does not need more zombies. It needs more people who are alive because they love what they do and because they make the world a better place.”
-Chatri Sityodtong
0 notes
radpribadi · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Jakarta, Mencari Apa?
0 notes
radpribadi · 8 years ago
Text
The (Third) World May Not Need Poetry (Yet)
I used to think of myself as an artist. As someone who prefered paintings over countings, pictures over linear graphs, and the artistic over the statistics. As a kid, I drew unstoppably, drawing pictures at any given moment possible, realizing the imaginations that have long eager to get outside the boundaries of my minds. And as I grew older, I aspire myself to live in the line of arts, the abstracts, the beautiful symphony of colors rather the monotone order of things. I caught the imagery that bedeviled the modern working world, the continuous routine that seemed to take away the spirit and the lives of a person. I sang the songs written by the free-souls, those who claimed that they are free of the bondage of monotonous routine, of capitalism, of the evil companies or employers that root their lives out of the spirit. I thought to myself that this is the way, the prose and poetry is the path, not the systemic murmur of rules and order. And then came the time when I see and experience poverty. Problems in society. Trashes, garbages that drained the living spirits of the cities. Corruption, injustice. And everything ill about the world that one experiences when coming-of-age tale is becoming on them. At first, I resorted to the prose and poetry. I believe that poets are powerful, art and literature is the way to change the world. I braved myself and reassured me that I will be able to survive and equally contribute, even if I stood on the path of the poets. That I can at least write some poetry or draw some paintings about the ills that sicken this society. And maybe people will be aware about that. Yet as I did try that, I began to feel the strike of fears. Fears that what I do with the prose and poetry and paintings will not be enough. I might win some praise from those who can enjoy my poetry, those with well-cared belly, those with the interest of finesse arts and crafts, perhaps discuss some authors or philosophers or two, and rest well into the nights. But what about those who are actually starving and begging for help? What can a poetry do to them any service? I see that so much, if not most, work of art is a critic to the ills of the world and society. They put irony to the inequality and the downgrading life's quality. Yet those also became cliches already. I start to think and imagine myself I were to be like that. Is that it? Would my life be attributed to writing poetry that sarcastically elbowing politicians? Would my life be spent to paint a picture about how messy the capital city is? Would my life be spent to stating the obvious in a more colorful or abstract way? Would I only be a critic, despite criticizing beautifully? Is art no more than a beautified way to complain, but it is a complain nevertheless? I want to be the part of the solution. And to me now, poetry is not yet the best solution. There is no escaping, if we want to clean the mess, we have to jump to the dirt. We cannot just stay outside the dirt and write a song about how dirty it is, or write a rhyming poetry about how that dirt is causing people sick. We have to jump in there and clean it. I will perhaps be loving arts and literature until the day I die. But I am not sure whether I will feel satisfied of life if that is the only of what I am doing until the day I die. I think we in the third world are not ready to afford some poetry for daily consumption yet. Maybe we have to ensure daily grilled poultry before we can offer daily poetry. And save the best rhymes and words for the day we celebrate. That day, we make sure everybody ate. Then we can sit back, and perhaps we also debate. On how best we can make the prose and poetry operate.
0 notes
radpribadi · 8 years ago
Photo
Tumblr media
Jakarta, Mencari Apa?
0 notes