Photo
If you hear a racist statement said by someone in public or by friends or family, call them out and correct them.
Safety pins and hijab solidarity are cool, but actual conversations with Muslim women is more effective. Moreover, spread articles and videos that are written by Muslim women and amplify their voice.
Whether by initiatives or small business, support Muslim women platforms.
These three ways are super simple, but powerful ways white women can be allies to Muslim women. They can be done anywhere and only take a couple of seconds.
What are some other ways people can be allies to Muslim women?
182 notes
·
View notes
Photo
Even the idea that there is a video where an American man rape a kid makes me sick. Ashton Kutcher is doing a great job by using his power and privilege to raise awareness about human trafficking. Every parent dreams of the bright, happy and SAFE future to his/her child. This guy tries to change this country, this world into a better one. This Hollywood celebrity woke up and tried to draw the government’s attention to this very crucial problem of child trafficking.
153K notes
·
View notes
Text

“Priscilla and I got into Birmingham tonight and got to meet Anthony Ray Hinton. He spent 30 years in prison on death row for a crime he didn't commit, and was exonerated and released only a couple years ago. He told us the story of how he was arrested for a murder at a restaurant where the only description of the killer was a black man with lighter skin and a beard. The detective asked if he owned a gun and he said no. The detective asked if any of his family members did and he said yes. They didn't bother to check whether the gun matched the bullets in the crime. The detective told him he was going to get convicted because he was black. The jury convicted him and he was sent to death row. Years later, Bryan Stevenson at the Equal Justice Initiative started researching his case. He hired experts who proved that the bullets in the crime couldn't possibly have come from Anthony's mother's gun. But Bryan had to get the courts to reconsider Anthony's case given the new evidence. They wouldn't do it for 15 more years despite the clear evidence that would exonerate Anthony. Finally Bryan took the case to the Supreme Court, and they ruled that the evidence had to be considered. The state court immediately dropped the case and Anthony was freed, after 30 years. He told us that after unjustly locking him away for 30 years, nobody even apologized for that mistake. When I heard this, I apologized to him -- not because I could have helped in his case, but because it is all of our responsibility to make our society one of justice for all. As a parting thought, he told us: "I believe that when bad things happen, good people need to stand up and make sure it doesn't happen again." We have a long way to go, but thanks to folks like Bryan Stevenson and Anthony Ray Hinton we will keep fighting until we get there”. Mark Zuckerberg
0 notes
Photo
‘My Hijab Has Nothing To Do With Oppression. It’s A Feminist Statement’
Not all Muslim women cover their bodies. Not all Muslim women who do are forced to do so. Like freelance writer Hanna Yusuf, who chooses to wear a hijab in a daily act of feminism. In a new video for The Guardian, Yusuf challenges stereotypes by setting out to reclaim the choice to wear a hijab as “a feminist statement.”
For more on on how the hijab helps women reclaim their bodies watch the full video here.
359K notes
·
View notes
Text
Sugianto: "Masyarakat yang Menolak Diusir ... Disiksa, Disetrum"

Reporter:
Mawa Kresna
27 Februari, 2017
dibaca normal 3:30 menit
"Presiden Jokowi harus membuktikan janjinya kalau memang berpihak kepada rakyat kecil."
291 Shares
Sugianto, pendeta dari Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan, dipidanakan oleh polisi Tulang Bawang karena membela para petani yang menuntut lahan dikembalikan.
tirto.id- Seratusan warga berkerumun di depan Pengadilan Negeri Menggala, Tulang Bawang, Kamis siang, 23 Februari. Mereka menghadiri sidang lima petani dan aktivis yang dikriminalisasi dalam sengketa lahan seluas 10.000 hektare dengan PT Bangun Nusa Indah Lampung (BNIL), anak perusahan Bumi Waras, salah satu perusahaan indutri perkebunan tertua di Lampung. Sengketa ini sudah berlangsung sejak 1986. Warga yang merupakan transmigran di sana diusir lantaran lahan tersebut diserahkan kepada PT BNIL oleh pemerintah daerah Lampung.
Sejak itu petani yang kehilangan tanah terus berupaya merebut kembali tanah mereka. Sampai akhirnya pada 1 Oktober 2016 aksi warga berujung bentrok dengan Pam Swakarsa PT BNIL. Warga dituding pemicu dan pelaku kekerasan. Beberapa di antara warga dan aktivis dikriminalisasi dan ditangkap polisi dengan tuduhan "provokator."
Salah satunya Sugianto, pendeta Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan, yang mendampingi warga. Sugianto ditangkap karena dituduh sebagai "otak kerusuhan."
“Saat kejadian itu, saya datang ke sana untuk menenangkan warga. Mereka sudah bawa senjata tajam semua. Saya bilang, 'Taruh semua senjata tajam!' Kalau tidak saya cegah, bisa ngeri,” kata Sugianto membantah tudingan itu.
Sugianto mengatakan warga sudah melakukan bermacam upaya untuk mendapatkan tanahnya kembali. Mereka sudah bertemu dengan Bupati Tulang Bawang hingga mengadu ke DPR RI. Namun belum juga membuahkan hasil. Sebaliknya, warga justru dikriminalisasi.
Bagaimana mulanya sengketa warga tujuh desa di Tulang Bawang dengan PT BNIL? Berikut wawancara reporter Tirto dengan Sugianto melalui telepon sebelum sidang pledoi di Pengadilan Negeri Menggala, Kamis, 23 Februari 2017.
Bagaimana mulanya sengketa lahan antara warga dan PT BNIL?
Ada dua tahap kasus tanah itu. Dimulai tahun 1986 dan 1988 ketika masyarakat yang bermukim di areal 10 ribu hektare, itu ada 9 desa, ada 2 desa tua Indraloka dan Bujuk Agung, mau diusir. Tahun itu Gubernur Lampung menetapkan 10 ribu hektare areal cadangan untuk tiga anak perusahaan Bumi Waras atau Sungai Budi Group. Lalu pada 1991, penduduk yang ada di kawasan itu diusir oleh PT BNIL menggunakan aparat tentara.
Awalnya tanah itu tanah adat tapi oleh negara diakui tanah negara. Ada cerita, pimpinan adat di Marga Tegamoan pernah menyerahkan tanah kepada Depaetemen Transmigrasi, sebagai kawasan transmigrasi, lalu jadilah unit 1, 2, dan seterusnya. Kemudian masih ada sisa tanah. Sisa itu kemudian digunakan untuk pemekaran desa. Lalu mereka mengundang masyarakat dari luar untuk datang dalam rangka pemekaran desa.
Tanah itu yang kemudian diserahkan ke tiga perusahaan. Karena pemerintah sudah menyerahkan kepada tiga perusahaan, kemudian warga diusir. Tapi pengusiran tidak berhasil. Waktu itu dilakukan pemindahan dikooridinasi oleh departemen transmigrasi. Karena gagal, kemudian dipaksa keluar dengan cara melepaskan gajah liar dan menjadikan kawasan itu sebagai tempat latihan perang.
Gajah liar masuk perkampungan. Ada satu warga namanya Pak Kliwon kemudian meninggal karena diinjak-injak gajah. Masyarakat tetap ngotot tidak mau diusir, mereka akhirnya disiksa, disetrum. Warga ada yang dinaikkan truk, rencananya dipindah ke dua desa tua, Bujuk Agung dan Indraloka. Karena desa itu tidak cukup lagi, akhirnya cuma diturunkan di sembarang tempat. Ada yang kebagian dan ada yang tidak kebagian tempat pemindahan.
Saat itu masyarakat terus bergolak. Ada Pak Kirman di Bujuk Agung yang dulu aktif. Warga akhirnya berkoordinasi kementerian dalam negeri dan pemerintah daerah. Disepakati bahwa masyarakat yang dulu tinggal di 10.000 hektare itu diselesaikan dengan cara ikut program transmigrasi swakarsa.
Masing-masing warga diberi lahan 2 hektare dengan rincian ¼ pekarangan, ¾ untuk tanaman pangan, dan 1 hektar harus disertakan sebagai lahan plasma milik BNIL. Kemudian, berdasarkan keputusan Mendagri, Gubernur Lampung membuat ketetapan bahwa PT BNIL diberi lahan inti seluas 5.100 hektare dan lahan plasma 1.500 hektar.
Beberapa bulan setelah itu, masyarakat yang mendapat lahan 2 hektare itu dipaksa untuk menandatangani blangko kosong. Yang tidak mau dipukuli, termasuk Pak Muhadik. Setelah 1998, baru diketahui blangko itu ternyata surat penyerahan ganti rugi tanah seluas 1 hektare. Mereka cuma dapat ganti rugi Rp100 ribu. Ini tahap kedua kehilangan tanahnya.
Kalau sekarang kasus sengketanya seperti apa?
Tahun 2015, PT BNIL mau alih fungsi lahan. Bupati Tulang Bawang minta PT BNIL menjalankan AMDAL yang sudah ada, tapi ternyata tidak juga dilakukan. Akhirnya bupati membekukan izin alih fungsi lahan itu. Kemudian PT BNIL tidak bisa beroperasi.
Melihat itu, warga melihat ini adalah peluang untuk kembali mengambil hak mereka yang dirampas secara paksa oleh PT BNIL. Maka sejak 2015 warga mulai menggalang kekuatan untuk melakukan aksi. Tahun 2016 kemarin puncak perjuangan kami.
Sekarang berujung pada kriminalisasi maksudnya?
Iya. Saya ditangkap di Jakarta bulan Oktober kemarin. Kami sudah menduga bakal ada kriminalisasi seperti ini. Kami, saya dan warga, dua kali ke Jakarta untuk mengadukan kasus ini ke Komnas HAM dan DPR RI. Kami sudah bertemu dengan Komisi II DPR RI, waktu itu yang menemui Budiman Sudjatmiko dari PDI Perjuangan dan Ammy Amalia Fatma Surya dari PAN. Kami sudah cerita semua masalahnya.
Kedua kali kami ke Jakarta untuk mengadukan kasus ini ke ICW karena kami menduga ada praktik korupsi dalam penetapan lahan milik PT BNIL itu. Kami serahkan berkas ke ICW untuk dipelajari. Setelah itu kami ke KPRI. Di sana saya dijemput 15 orang polisi dari Lampung.
Anda dikriminalisasi dengan cara seperti apa?
1 Oktober 2016 ada aksi besar-besaran di sini. Warga, sekitar 2.000-an orang lebih, menduduki lahan. Tadinya dijaga polisi, tapi kemudian mendadak polisi menghilang. Lalu ada provokasi dari Pam Swakarsa. Warga terpancing lalu terjadi bentrok. Ada belasan warga yang ditangkap, beberapa sudah dibebaskan. Sekarang yang diproses ini saya dan beberapa teman.
Saat kejadian itu, saya datang ke sana untuk menenangkan warga. Mereka sudah bawa senjata tajam semua. Saya bilang, "Taruh semua senjata tajam!” Kalau tidak saya cegah, bisa ngeri. Tapi memang tidak bisa dikendalikan semuanya karena diprovokasi Pam Swakarsa.
Lalu apa yang dituduhkan kepada Anda dengan pasal 160 KUHP tentang penghasutan?
Ini aneh. Saya disebut membuat brosur mengajak warga untuk melakukan aksi anarkis. Benar saya membuat brosur, tapi tidak disebarkan. Isinya pun bukan ajakan untuk aksi anarkis, tapi isinya tentang organisasi. Polisi saja menemukan brosur itu di dalam kardus di sekretariat. Tidak disebarkan.
Saya dituntut 3 tahun, empat teman lainnya juga sama. Semuanya 3 tahun tuntutannya. Tapi tuduhannya beda-beda. Ini juga aneh. Dalam persidangan tidak ada saksi yang melihat langsung, jaksa sepertinya cuma berpegang pada BAP polisi. Sidang hari ini kuasa hukum sudah menyiapkan pledoi. Bahwa semua tuntutan JPU itu tidak ada fakta dalam persidangan.
Selama ini siapa saja yang terlibat melakukan advokasi?
Banyak yang terlibat. Ada dari Gereja, dari PGI (Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia), ada KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria), KPRI (Konfederasi Perjuangan Rakyat Indonesia), dari GKSBS (Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan), ada LBH Lampung dan beberapa kawan-kawan aktivis juga turut mengadvokasi.
Apa harapan Anda terkait penyelesaian kasus ini?
Harapan saya pemerintah pusat segera bertindak terkait kasus sengketa lahan itu. Sudah jelas tanah itu milik warga. Konflik agraria seperti ini tidak hanya terjadi di sini, pemerintah seharusnya punya fokus yang lebih terhadap kasus agraria yang melibatkan petani. Presiden Jokowi harus membuktikan janjinya kalau memang berpihak kepada rakyat kecil. (tirto.id - krs/fhr)
0 notes
Photo
Mahershala Ali speaks out against persecution in crucial SAG Awards acceptance speech
follow @the-movemnt
3K notes
·
View notes
Link

“The idea that men with guns forced someone to strip on a beach in any other context would b considered sexual assault - not in France where racism towards Muslims warps all notions of basic personal rights -to ones body, religious expression, freedom of movement (being at a fucking beach) and so on. Absolutely vile. These are the same cops that punish protesters and strikes against the state of emerge and laws. Standing up to islamaphobia concerns all of us, political clarity, confidently taking the side of the oppressed is more urgent than ever today.” - Yasemin Shamsili (CARF Activist)
80 notes
·
View notes
Photo

Job applicants with Asian-sounding names are more likely to get rejected, new study says
Job applicants with Asian-sounding names — e.g. Khan, Chiang and Suzuki — are 28% less likely to get called in for an interview than their Anglo counterparts, according to a new study conducted by researchers at the University of Toronto and Ryerson University.
NPR reports that university researchers based their results on data used in a 2011 American Economic Association study where 12,910 fake resumes were sent to over 3,225 job listings.
The study found that applicants with westernized first names and Asian last names didn’t do significantly better than those with Asian first and last names. Read more (2/23/17 1:59 PM)
follow @the-movemnt
2K notes
·
View notes
Photo

She is a daughter, a mother, a sister, a friend. She is not a terrorist. Say no to Trump’s muslim ban.
23K notes
·
View notes