Tumgik
rasyidalfauzan · 3 years
Text
Tumblr media
309 Hari
Apa yang berubah pada kedua tangan dan kedua kakimu? Adakah tangan itu kian ringan beramal shalih untuk Tuhanmu? Adakah kaki itu kian jauh dari tempat yang tak disukai Tuhanmu? 309 hari. Apa yang berubah pada kedua mata dan kedua telingamu? Adakah mata itu kian menunduk pada apa yang merusak hatimu? Adakah telinga itu kian menutup pada bisik suara yang mengancam imanmu? 309 hari. Apa yang berubah pada lisan dan hatimu? Adakah lisan itu kian basah dengan dzikir pada Tuhanmu? Adakah hati itu kian kuat terpaut pada penciptamu? 309 hari yang lalu. Kau yang selalu bergegas memenuhi seruan-seruan dari masjid di 5 waktu. Kau yang begitu semangat membuka dan membaca mushaf sebanyak yang kau mau. Kau yang selalu meluangkan waktu, menghadirkan diri dalam majelis-majelis ilmu. Kau yang tak ingin melewatkan satu hari tanpa menghidupkan malammu. 309 hari yang lalu. 45 hari, menuju Ramadhan yang akan kembali bertamu. Apakah kau sudah lebih baik daripada saat itu? Harapku, semoga begitu. Semoga Allah pertemukan kita kembali dengan Ramadhan yang ditunggu-tunggu. Bumi Allah, 15 Rajab 1443H © Rasyid Al Fauzan =========== Image Source: Sunbeam Photography
13 notes · View notes
rasyidalfauzan · 3 years
Photo
Tumblr media
[MALAM]
Terima kasih telah datang.
Memadamkan nyala terang yang kadang terasa menyilaukan. Meneduhkan jiwa dan hati yang telah berhamburan. Diantara lelah yang mendera sepanjang perjalanan.
Terima kasih telah datang.
Memberikan jeda bagi raga untuk diistirahatkan. Meski sekedar merebahkan sejenak, dalam tidur yang tak tergantikan. Menyandarkan kepala dengan mata terpejam, agar esok mampu kembali tegak untuk mengangkat beban.
Terima kasih telah datang.
Memberiku kesempatan mendekapmu riang. Satu darimu yang hilang, tak bisa digantikan oleh dua terang. Sebab dibalik yang sepertiga, ada tenang bersemayam. Diantara berlimpahnya rahmat juga keberkahan.
Terima kasih telah datang.
Bersama bintang gemintang dan temaram rembulan. Keindahan yang membuat seorang betah untuk terus berbincang dengan Tuhan. Tentang kehidupan, tentang harap dan tentang doa yang akan dilangitkan. Agar dapat menyambut esok dengan penuh semangat untuk memenangkan setiap pertarungan.
Terima kasih telah datang.
Padamu malam, tempat dimana nikmat dan anugerah besar tersimpan. Bagi sesiapa saja yang beriman. Bumi Allah, 11 Jumadil Akhir 1443H © Rasyid Al Fauzan
=========== Image Source: Unsplash (by Timothee Duran)
29 notes · View notes
rasyidalfauzan · 3 years
Text
Apakah itu aku?
Berpura-pura mengamalkan Islam, sedang kenyataannya tidak begitu. Menyandang nama Islam, tapi tak sedikitpun mendatangkan kebaikan untuk diri sendiri juga orang lain. Apakah itu aku? Menjalankan syari'at hanya sekedar lahirnya, sedang batinnya tidak begitu. Wujud lahir berada di mihrab, tapi wujud batin sedang pamer. Tidak kalah dengan orang-orang munafik itu. Apakah itu aku? Yang tampak permukaan shalih dan penuh pengabdian pada-Nya, sedang kenyataannya tidak begitu. Batin yang seakan bersih dari noda, ternyata masih penuh dengan hal-hal haram pengundang murka-Nya. Apakah itu aku? Yang dihadapan orang awam, selalu melaksanakan segala macam kewajiban, wara', bertakwa juga zuhud. Namun dihadapan ahli ilmu, ternyata adalah orang yang begitu munafik, pengikut dajjal dan penghuni neraka. Apakah itu aku? Semoga tidak begitu. Tidak juga denganmu. Bumi Allah, 3 Jumadil Akhir 1443H © Rasyid Al Fauzan ================== Image Source: Unsplash (by Tom Sodoge)
4 notes · View notes
rasyidalfauzan · 4 years
Text
Yang Kita Lewatkan
Entah sudah berapa banyak kita melewatkan kesempatan untuk berbuat baik kepada sesama. Di kesempatan yang lalu atau mungkin juga yang hadir saat ini di hadapan kita
Sedang orang-orang diluar sana tidak peduli seberapa hebat, pintar dan kayanya kita. Mereka hanya peduli pada satu hal, apakah keberadaan kita memberi manfaat untuk mereka? Padahal dari merekalah, bisa jadi, pintu-pintu langit sedang diketuk. Kemudian dari doa-doa mereka, atas seizin-Nya, Allah bukakan pintu-pintu itu untuk kita. Bukankah kita menginginkannya? Maka tebarkanlah kebaikan, jangan berhenti berbagi kebahagiaan dengan apa yang kita miliki saat ini, yang Allah titipkan dan amanahkan pada kita. Sebab dengan menebarkan kebaikan, menolong orang lain, sejatinya kita telah menolong diri sendiri. Bukankah kebaikan-kebaikan itu akhirnya akan kembali pada kita yang melakukannya? Dan Allah pun mengukuhkan pada salah satu firman-Nya, 'In ahsantum ahsantum li anfusikum, wa in asa' tum falaha..' Artinya, ‘Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri..’ Jadi, apakah kita sekarang masih ingin menahan-nahan apa yang kita punya untuk menebar banyak kebaikan dengan berbagi? Setinggi itukah kedudukan dunia di hati kita? Lalu bagaimana dengan kedudukan Allah? Bumi Allah, 7 Dzulhijjah 1441 H © Rasyid Al Fauzan
26 notes · View notes
rasyidalfauzan · 4 years
Photo
Tumblr media
Kalau ada ibu-ibu yang curhat pada saya tentang kesulitan mendidik anaknya, saya pasti sering tanya tentang hubungan dengan suaminya. Karena ternyata seringkali akar masalahnya adalah karena hubungan yang kurang baik antara suami dan istri. . Ibu merasa tidak diperhatikan, tidak dicintai, tidak didukung secara emosional, psikologis, dan fisik. Kondisi ini yang seringkali membuat ibu mengalami tekanan mental saat semua soal pengasuhan anak seolah menjadi tanggung jawabnya sendirian, hingga ibu menjadi jauh lebih sensitif dan kesal jika anaknya tak sesuai harapan semua orang. . Saya merasakan sendiri kok buibu, saat saya kesal pada suami, saya merasa jadi jauuh lebih sensitif saat anak menangis atau aktif eksplorasi rumah sana sini. Beda halnya saat saya merasa happy dengan suami, urusan dengan anak apapun itu tetap bisa saya jalani dengan sumringah dan happy juga. Emosi kita, seringkali juga menular pada anak, hingga saat ayah ibunya berkonflik, anak biasanya justru malah jadi lebih rewel bahkan mengalami kesulitan untuk tidur. . . Tapi tahukah Ayah, tekanan mental seberat apapun dari pihak ketiga untuk ibu, tidak akan berpengaruh banyak jika Ayah menjadi tameng terdepan bagi perasaan ibu. Ibu yang seharian bersama anak-anak di rumah, harus baik kondisi hatinya, harus didukung perasaannya, harus dilindungi harga dirinya, oleh orang yang seharusnya paling dekat dengannya: suaminya, ayah dari anak-anaknya. . Maka ayah, cintailah ibu dari anak-anakmu itu, maka ia akan memberikan cinta yang berlipat untuk anak-anakmu. Karena untuk membentuk anak-anak yang bahagia, perlu ibu yang bahagia pula. Bentuk dukungan dan cinta ini tentu bukan hanya terkait nafkah lahir, namun lebih pada dukungan emosional dan psikologis ibu. Kenalilah bahasa cinta ibu, cintai dengan caranya ingin dicintai. Sungguh mengisi penuh tanki cinta ibu adalah modal awal terbaik untuk membesarkan anak yang penuh cinta pula. . © Yulinda Ashari
69 notes · View notes
rasyidalfauzan · 4 years
Photo
Tumblr media
PERBANYAKLAH SEDEKAH DI HARI JUM'AT
Ibnul Qayyim berkata, ”Bersedekah pada hari Jum’at dibandingkan hari-hari lainnya dalam sepekan, seperti bersedekah pada bulan Ramadhan dibandingkan bulan-bulan lainnya.”
Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda:
والصدقة فيه أعظم من الصدقة في سائر الأيام
”Bersedekah di dalamnya lebih besar (pahalanya) daripada bersedekah pada hari lainnya.” (hadits mauquf shahih namun memiliki hukum marfu’).
Sahabat, di hari Jumat yang penuh barokah ini mari perbanyak amalan dan sedekah agar mendapatkan kemuliaan dan pahala.
Sedekah mudah mulai dari Rp 1.000 pakai saldo LinkAja, Gopay, OVO, DANA dan ShopeePay
Atau bisa juga dengan transfer bank, mulai dari Rp 20.000
Caranya mudah banget, nggak sampai 1 menit. Langsung aja klik: bit.ly/sedekahseribu
13 notes · View notes
rasyidalfauzan · 4 years
Photo
Tumblr media
Lombrosso dan Coppenhaur mengenalkan teori pesimisme/nativisme, bahwa perkembangan tingkah laku manusia sepenuhnya ditentukan oleh hereditas, kecil sekali kemungkinan lingkungan akan berpengaruh. . John Locke mengenalkan teori optimisme/empirisme atau lebih dikenal dengan teori tabula rasa, yakni manusia terlahir sebagai kertas putih yang kosong, lingkunganlah yang akan sepenuhnya mempengaruhi perkembangan tingkah lakunya. . William Stern menggagas teori konvergensi, bahwa perkembangan tingkah laku manusia ditentukan oleh faktor hereditas dan faktor lingkungan (kombinasi). . Sedangkan Islam, mengenalkan kita pada konsep fitrah, bahwa setiap manusia terlahir dengan “isi”, yaitu iman, tauhid, dan Islam. . Dalam Al-Mu'jamul Wasith, fitrah diartikan sebagai “tabiat/pembawaan yang selamat tidak dicela karena aib”. Jadi, fitrah itu sudah menjadi tabiat yang bersih, suci, dan tidak mengandung keburukan. . Lalu apa tugas pendidikan kita pada anak? Memelihara, menjaga, menumbuhkan, dan menyuburkan fitrah ini agar tidak rusak, tertutupi, atau terpalingkan. Ya, yang perlu kita lakukan “hanya” menjaganya. . Semoga Allah mampukan kita 🍂
115 notes · View notes
rasyidalfauzan · 5 years
Photo
Tumblr media
Kata suami, mendampingi istri melahirkan itu rasanya seperti pengalaman spiritual tersendiri. Melihat istri tercintanya (uhuy) kesakitan dan terluka berdarah-darah demi memperjuangkan kehidupan darah dagingnya itu bukan main-main campur aduk rasanya. Jadi lebih memahami juga perjuangan ibunya dan istrinya sehingga bisa lebih berempati. Bahkan beliau sempat sangat kecewa karena tidak diperbolehkan mendampingi saya saat proses persalinan berlangsung, alasannya karena saya akan melahirkan sungsang pervaginam dan ada treatment khusus, khawatir beliau tidak akan tega melihat saya (dan emang pasti gak tega kayaknya 😅). . Kata beliau setelah saya melahirkan, “Aku kecewa karena disuruh keluar ruangan, kalau qadarullaah kamu wafat saat melahirkan, itu artinya aku gak ada di samping kamu saat itu, dan momen saat aku keluar ruangan akan jadi momen terakhir aku melihat kamu hidup.” Ih waw, ngeri ngeri so sweet yah 🙃 . Baik cuss ini sedikit tipsnya sesuai pengalaman kami ditambah baca-baca buku: . 1. Persiapkan hal-hal teknis sebelumnya seperti baju bayi, baju ibu, baju ayah, handuk, selimut dll, persyaratan administrasi RS/bidan (KTP, KK, BPJS), uang, snack, kurma, tumbler air minum, alat transportasi dsb. . 2. Belajar dan baca-baca ilmu persalinan ya Ayaah, apa itu kontraksi dan interval, pembukaan, induksi, risiko-risiko persalinan, pijat endorfin & oksitosin, alasan harus operasi caesar dsb. Jangan hanya ibunya saja yang belajar yaa, saat ibunya sangat kesakitan udah ambyar segala macem, Ayah yang take control dan harus ambil keputusan lhoo. Jangan hanya manut-manut saja nanti tanpa ilmu. Hiks :“ . 3. Banyak-banyak ngobrol juga dengan istri tentang harapan persalinannya. Nanti kira-kira maunya gimana, dampingi dengan penuh cinta dan ketulusan #tsaah. Dukung dan percaya bahwa istrimu bisa 💪 . 4. Fokus pada ibu dan bayi yaa, jangan main game, nonton anime, ngurusin kerjaan, atau sibuk hapean, nanti dulu pleaseee~ 5. Saat istri mulai meracau karena kesakitan kontraksi, jangan terlalu banyak bicara, bahkan lebih baik diam saja, cukup genggam erat tangannya dan elus-elus punggungnya, cium keningnya. Karena satu kata saja keluar semisal, "Sabar..”, mungkin akan berbalas, “Sabar! Sabar! Kamu gak ngerasain siiih, ini sakiiiit!”, terus berlanjut, “Jangan sentuh aku!” 🙃 Jadi diem aja yaa, atau istighfar, atau baca Al-Qur'an lirih, atau ajari istri cara bernafas yang benar (hayoo gimana seharusnya nafas saat melahirkan? Belajar ya!). Siap-siap juga jika istri mulai mengeluarkan kata-kata, “Aku gak kuat”, bahkan, “Aku mau meninggal aja”, terus elus-elus sambil istighfar saja. . 6. Stay cool, jangan menampakan kepanikan karena akan sangat berpengaruh pada psikologis ibu. 7. Bantu ibu melakukan hal-hal yang ia mau, misal ingin makan, minum, ubah posisi, dll. Biasanya suaranya jadi lirih sekali seperti berbisik, siap-siap dekatkan telinga~ . 8. Ibu jadi sangat sensitif dengan bau, maka pastikan diri ayah bersih, wangi, pakai deodoran dan parfum, dan nafas yang segar karena seringkali harus ngobrol dekat sekali. Bau badan atau bau mulut akan cukup mengganggu si ibu. . 9. Kalau rasanya tidak kuat untuk menangis, panik atau stres, minta izin pada istri untuk keluar ruangan sebentar dan menyegarkan pikiran. . 10. Setelah istri melahirkan, beri makan dan minum (disuapin ajaa hehe) karena sudah mengeluarkan banyak tenaga. Puji bahwa istrimu hebat dan berterima kasihlah dengan tulus karena sudah berjuang melahirkan. . Sejak awal sebelum waktu melahirkan, tanyakan kesiapan suami untuk mendampingi, jika dirasa tidak kuat misalnya, lebih baik minta didampingi yang lain. Karena tidak semua suami mampu buibu, kalau dipaksakan khawatir justru pasiennya jadi nambah juga sama suami 🙃 *serius Saat melahirkan, kita perlu pendamping dengan tipe tenang & motivator, bukan yang panikan, karena akan sangat mempengaruhi kondisi psikologis ibu juga kata bidannyaa… . Jadiii suamii…siapkan ilmu, siapkan mental, siapkan dana, dan tentu saja perbanyak doa dan keridhaan untuk istri ya. Terima kasih sudah mau sama-sama berjuang! . Buibu ada yang mau nambahin lagi? Monggo 🤗
69 notes · View notes
rasyidalfauzan · 5 years
Photo
Tumblr media
AYAH ADA, AYAH TIADA @yulindaashari . Setelah viralnya kasus Reynhard Sinaga, beberapa praktisi psikologi mulai mengaitkannya kembali dengan ketiadaan peran ayah dalam pengasuhan atau biasa disebut fatherless. Meski tentu tak sepenuhnya benar, tapi fatherless ini memang perlu menjadi concern kita karena berdampak cukup banyak pada psikologis anak di kemudian hari. . Dulu saat saya mengobrol dengan anak-anak di bawah umur yang melakukan tindak kriminal (pembegalan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan) di Panti Sosial Anak Berhadapan Hukum, hampir semuanya mengaku tidak dekat dengan ayahnya. Entah itu karena ayahnya telah meninggal, ayahnya bersikap kasar, atau jarang sekali mengobrol dengan ayah di rumah. . Sejak bertahun lalu, fatherless memang menjadi salah satu masalah yang cukup besar di negara ini, dengan atau tanpa disadari. Bahkan, Indonesia digadang-gadang sebagai salah satu fatherless country di dunia. Hal ini banyak terjadi karena anggapan yang sudah cukup mengakar di negara kita, bahwa tugas ayah hanyalah bekerja dan mencari nafkah, sedangkan tugas pengasuhan sepenuhnya dilakukan ibu. Akhirnya, banyak anak menjadi “yatim” sebelum waktunya, ayahnya ada, tapi seolah tak ada dan tak berperan banyak dalam pengasuhan. . Padahal kelak, ayahlah yang akan pertama kali dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah terkait pengasuhan anak. Padahal, percakapan ayah dan anak di dalam Al-Qur'anpun jauh lebih banyak disebutkan dibanding percakapan ibu dan anak. . Jika ayah masih bingung harus melakukan apa, beberapa hal sederhana ini bisa dilakukan. Saat anak masih bayi, terlibatlah dalam hal memandikan bayi, mengganti popok, menyuapi, menggendong dan membantu menenangkan saat menangis, mengajak bermain, bercanda, mengobrol, atau sekadar membaca Al-Qur'an di depan bayi. Saat anak sudah cukup besar, milikilah waktu khusus setiap harinya untuk mengobrol dengan anak-anak, atau bisa jadwalkan setidaknya satu kali sehari untuk makan bersama keluarga, lalu ciptakan suasana yang hidup dan hangat bersama istri dan anak-anak. . Tentu para ayah bisa berteladan pada sebaik-baik teladan, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Beliau yang memiliki agenda dakwah luar biasa padat bahkan harus berperang, adalah sosok yang sangat dekat dan dicintai oleh anak-anak serta cucunya. Lalu jika ada ayah yang mengatakan bahwa ia sangat sibuk bekerja untuk menafkahi anak istri, tapi tidak memiliki waktu untuk bersama mereka, maka ada hal keliru yang harus diluruskan kembali. . Ayah, pulanglah. Anak-anak dan istrimu bukan hanya sekadar butuh harta, mereka juga butuh dirimu untuk bercengkrama dan bercanda ria. Sungguh kehidupan yang sederhana namun hangat penuh canda, jauh lebih berharga bagi jiwa, dibanding memaksakan untuk bermewah-mewah namun jadi menghilangkan peranmu di rumah..
29 notes · View notes
rasyidalfauzan · 5 years
Photo
Tumblr media
Dosen saya pernah bercerita, ada kliennya seorang laki-laki dewasa yang datang dan mengatakan bahwa ia sangat membenci ibunya, padahal ia mengakui bahwa ibunya amat sangat baik. Ia bingung mengapa perasaan benci luar biasa itu ada tanpa sebab. Setelah digali lebih dalam, ternyata dulu ibunya sempat ingin menggugurkan kandungannya. Akhirnya sang ibu meminta maaf pada anaknya ini. . Pernah juga teman saya bercerita, bahwa anak kedua dari saudaranya sangat sulit diatur dan agresif destruktif, berbeda dengan kakaknya yang sangat penurut. Usut punya usut pula, saat dalam kandungan ibunya sedang menghadapi masalah yang cukup berat, hingga cenderung depresi dan tidak peduli pada kehamilannya, lain dengan kehamilan pertama yg sangat dijaga dan disayanginya sepenuh hati. . Dalam sebuah penelitian terhadap ibu hamil yang merokok, ibu diminta untuk berhenti merokok selama satu minggu, saat itu janin terdeteksi sangat tenang di dalam kandungan. Saat sang ibu mulai kembali merokok, janin menunjukkan gerakan seolah gelisah dan tidak menyetujui perilaku merokok ibunya. . Dalam penelitian lain, ibu hamil yang mengalami depresi cenderung melahirkan anak yang mudah depresi pula. Sungguh, kondisi psikologis ibu hamil, akan sangat berdampak pula pada psikologis janin, terbawa sampai ia lahir bahkan hingga dewasa. . Saat kami mengatakan bahwa ibu hamil itu “wajib” bahagia, sungguh itu bukanlah sebuah candaan. Ibu hamil, memang perlu dijaga perasaannya, disenangkan hatinya, dipenuhi kebutuhannya. Bahkan, Bunda Maryam ra. saja, seperti dalam kajian ust. Budi Ashari, “dihibur” langsung oleh Allah agar tidak bersedih dgn kehamilannya: . “Maka makan, minum, dan bersenang hatilah engkau….”(QS. Maryam ayat 26) . . Secara medis, tentu ibu hamil memproduksi hormon-hotmon “negatif” saat ia stres, marah, iri, dengki, dsb. Hormon-hormon ini juga akan mempengaruhi pertumbuhan janin di dalam kandungan. Betapa banyak gangguan psikologis abnormal yang ternyata bermula saat berada di rahim ibunya. . Maka, wahai ibu, bergembiralah, tenanglah, semakin mendekatlah kepada Allah ketika sedang mengandung. Semoga rahim kita menjadi tempat ternyaman utk bertumbuhnya seorang hamba Allah yg kelak akan terlahir sebagai khalifah di dunia.
385 notes · View notes
rasyidalfauzan · 5 years
Quote
Dahulu Bisyr bin Harits al-Hafy rahimahullah pernah berdoa: 'Yaa Allah, jika Engkau menjadikan diriku terkenal di dunia ini untuk Engkau bongkar aibku di akhirat nanti, maka cabutlah ketenaran itu dariku'
(Shahih, diriwayatkan oleh al-Baihaqy dalam az-Zuhd al-Kabir, no.147)
33 notes · View notes
rasyidalfauzan · 5 years
Photo
Tumblr media
Kamu pernah ga kecewa sama Allah? Merasa sudah banyak berdoa, tapi tak kunjung terkabul jua. Merasa sudah rajin beribadah, tapi masalah pelik tak kunjung ada solusinya. Merasa sudah sekuat tenaga mendekat, tapi rasanya tetap hampa. . Lalu setan mulai menggoda iman kita, “Buat apa berdoa? Allah ga kabulin tuh.” “Buat apa salat? Allah tetep ga tolong kamu.” “Buat apa susah-susah ngikutin aturan Allah? Kamu tetep disakiti manusia.” “Lihat, Allah begitu pilih kasih. Temenmu yang ibadahnya biasa aja bahkan ga ibadah, hidupnya lancar dan sukses aja. Sedangkan kamu yang susah payah beribadah, ternyata ga disayang Allah.” . Lalu kita mulai mengiyakan dalam hati, meski berkali-kali mencoba menepis. Lalu salat malammu mulai berkurang. Salatmu diulur. Tilawahmu terasa begitu berat. Atau bahkan, jilbabmu mulai kau pendekkan, kaos kaki tak kau pakai, toh cuma ke depan, manset tangan apalagi. . Pernah? . Duhai, sungguh meruginya kita; sudah punya masalah tak berujung, kita malah menjauh dari Allah. Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Kita mulai tergoda oleh bujuk rayu setan, untuk tak berprasangka baik pada Allah. Kita benar-benar sedang membutuhkan Allah, tapi kita justru menjauh. . Padahal, nikmat terbesar dalam hidup, adalah saat kita dekat dengan Allah, punya Allah. Padahal, jika kita sudah punya Allah, memangnya kita butuh apalagi?
22 notes · View notes
rasyidalfauzan · 5 years
Text
Pelajaran Mengupas Salak
Tulisan Bapak Abul Muamar ini, bagi saya bagus bangat. Beneran. Maa syaa Allaah. Betapa dari kemampuan mengupas salak dan rambutan misalnya, dapat memberikan pengajaran parenting yang luar biasa berdampaknya bagi kehidupan si anak. Mulai dari menumbuhkan rasa ingin tahu sampai kemampuan untuk bertahan hidup. Huwaa.
Tulisan di bawah ini, saya salin dari halaman Sahabat Gorga.
Tumblr media
Sudah sejak ribuan tahun yang lalu kita meninggalkan pola dan cara-cara hidup purba. Kita tak lagi nomaden, tidak lagi berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain menuruti cuaca dan ketersediaan makanan. Kita, pendeknya, telah lama tak lagi menjadi manusia pemburu-pengumpul.
Perlahan namun pasti, kita juga tak lagi sibuk mendomestikasikan hewan dan tumbuhan—bahan baku makanan kita—karena semuanya bisa kita dapatkan hanya dengan menyentuh layar telepon pintar dari kamar sambil tidur-tiduran. Pertanian dan peternakan memang tetap ada dan akan terus ada, namun mereka tinggal sebagai komoditas dan bukannya metode bertahan hidup, dan sejak saat itu pulalah politik dagang lahir.
Bagaimana mungkin mempertahankan kepurbaan itu sementara apa-apa yang lebih modern, seperti menulis keterangan di karcis, menenun pakaian, atau mengantarkan surat ke kantor pos, pun sudah kita tinggalkan?
Kita telah melesat jauh meninggalkan pola dan cara-cara kuno itu, untuk kemudian menahbiskan diri sebagai homo sapiens “yang lebih beradab”. Dengan kemampuan berimajinasi yang tak dipunyai makhluk hidup lain, kita menciptakan sistem-sistem, norma-moral, keyakinan-keyakinan, adat-istiadat, teknologi, dan pelbagai alat lainnya dengan maksud memudahkan hidup kita.
Dengan itu semua kita kemudian membangun bermacam-macam institusi, termasuk di antaranya sekolah, dengan model dan perangkat pembelajaran yang diandaikan paling ideal untuk diaplikasikan di atas bumi ini. Berbagai macam ilmu pengetahuan kita pelajari di sana.
Kita bisa tahu tentang jarak bumi ke bulan, tentang penemuan mesin uap, tentang zat kimiawi yang bisa mengubah racun menjadi obat, tentang sosok-sosok heroik di masa lalu, tentang ribuan kosakata dan tata bahasa asing yang dibakukan sebagai bahasa internasional, dan banyak lagi. Ringkasnya, ada banyak hal yang jauh dari jangkauan kita yang bisa kita ketahui berkat sekolah.
Tetapi, dalam gegas menuju apa yang kita anggap sebagai kemajuan itu, kita kerap tak menyadari bahwa sesungguhnya kita selamanya akan tetap “purba”: makan, kawin, beranak-pinak, dan saling bersaing untuk bertahan hidup—untuk tidak menyebut saling membunuh. Dalam “kepurbaan” yang inheren itu kita semakin kehilangan modal penting yang semestinya kita miliki–yang dalam kaitannya dengan pendidikan yakni kemampuan dan pengetahuan tentang alam, terutama apa-apa yang berada di sekeliling kita–untuk “bertahan hidup”.
Ya, kata kuncinya adalah bertahan hidup. Dalam kemodernan (beserta segala kecanggihannya) maupun dalam kepurbaan, tujuan kita belajar intinya adalah demi bertahan hidup, demi persaingan, demi prinsip survival of the fittest. Namun justru, dalam konteks bertahan hidup itu saya kira kemodernan dan kepurbaan adalah dua hal yang–semestinya–tak terpisahkan.
Di bawah kondisi tak sadar tadi kita melupakan—nyaris sama sekali—cara berburu dan cara membuat api dengan bantuan sinar matahari, misalnya. Di saat yang sama, sebagian besar kita memandang orang-orang yang masih menjalankan pola-pola hidup purba itu dengan tatapan merendahkan, menganggapnya aneh atau—paling banter—unik dan lucu.
Saya kira sistem pendidikan, setidaknya yang diterapkan di Indonesia, tidak jauh-jauh dari ketaksadaran semacam itu. Dari situ kita bisa paham, mengapa anak-anak kita, bahkan juga teman-teman kita yang kini sudah bergelar sarjana, tidak mengenal tumbuhan dan hewan-hewan yang ada di sekitar lingkungan tempat mereka tinggal. Setiap hari mereka memapasi tumbuhan dan hewan-hewan itu tanpa merasa perlu mengetahuinya, karena semuanya memang tidak pernah dianggap sebagai pelajaran oleh sistem pendidikan yang ada.
Suatu hari, seorang keponakan saya yang duduk di bangku kelas IV SD, meminta pertolongan saya untuk mengupaskan rambutannya. Dari ibunya saya tahu bahwa keponakan saya itu tidak tahu cara mengupas rambutan. Bagi saya itu sungguh celaka. Sama celakanya dengan seorang perempuan bersuami yang tak pandai mengupas salak (benar atau tidaknya dia tak pandai mengupas salak tidak penting. Untuk apa yang hendak saya sampaikan dalam tulisan ini, anggaplah dia memang benar-benar tak bisa mengupas salak.)
Saya membayangkan, seandainya orang macam ini dicampakkan ke hutan bersama beberapa orang lain yang fasih soal tumbuh-tumbuhan, saya pikir dialah yang lebih dulu akan mati (tentu perkiraan ini bisa meleset oleh sebab faktor-faktor lain, dan karenanya pengandaian ini hanya bersifat olok-olok).
Mengaitkan fenomena orang yang tak pandai mengupas salak dengan sistem pendidikan yang tak beres barangkali terdengar tidak nyambung. Namun dalam pikiran saya, keduanya berkelindan sebagai bagian dari hukum sebab-akibat. Karena sekolah tempat orang itu menimba ilmu tak pernah mengajarkannya cara mengupas salak (sebab), maka dia menjadi tak pandai mengupas salak (akibat). Menyalahkan orang tua dan gaya hidup yang bersangkutan? Oh, itu hal lain dan tentu bisa dibahas di tempat lain.
Apakah hal seperti ini ditanggapi secara serius? Sayangnya, tidak. Orang-orang hanya tahu menertawakan, mengejek, atau mengumpat, tanpa merenungkan mengapa hal demikian bisa terjadi. Pembuat kebijakan sekalipun juga tidak.
Tak pandai mengupas salak, tak tahu cara membelah durian, tak tahu kalau ciplukan yang banyak tumbuh di sawah itu enak rasanya, tak tahu kalau buah yang kulitnya bercangkang seperti telur yang merambat di semak-semak itu bernama gambutan dan rasanya manis seperti markisa, atau tak tahu cara membedakan jenis-jenis mangga yang tumbuh di sekitar lingkungan tempat tinggal, pada dasarnya adalah senapas.
Hal-hal “tak penting” ini hendaknya tidak ditanggapi sebagai sekadar soal pengetahuan tentang buah-buahan atau tumbuhan belaka. Jangan. Ini adalah tentang bagaimana kita, utamanya anak-anak kita, belajar mengenal hal-hal yang dekat dengan keseharian kita. Tahu cara mengupas buah hanyalah satu hal, dan itu bisa menjadi “pintu masuk ingin tahu” bagi anak kita untuk memperoleh pengetahuan yang lebih kaya. Lewat “pintu masuk ingin tahu” itu anak kita akan belajar tentang bagaimana menikmati buah-buah tersebut, mengenali ciri-cirinya, mempelajari aromanya, membedakan kualitasnya yang baik dan yang buruk, dan belajar merasakan sensasi memakannya.
Berikutnya mereka akan (mencari) tahu bagaimana cara perkembangbiakannya, pola berbuahnya, hubungan antara satu tumbuhan dengan tumbuhan lain, memeriksa kemiripan dan perbedaannya, sebelum kemudian mempelajari anatomi biologisnya. Prinsip pembelajaran seperti ini, saya ragu bakal diadakan di sekolah-sekolah. Sebab di sekolah, yang lebih penting adalah tahu dan hafal tentang kingdom, filum, kelas, dan nama latin buah-buahan, ketimbang tahu, misalnya, membedakan mangga arum manis dan lokmai yang tumbuh di pekarangan rumah sendiri.
Seorang menteri pendidikan dengan otak bisnis yang gilang-gemilang mungkin tak akan menganggap hal ini sebagai persoalan yang perlu dievaluasi secara serius. Kalaupun kemudian dia merasa harus bertindak, yang dilakukannya barangkali adalah menyediakan layanan jasa berbasis aplikasi dengan nama ‘Go-Kupas Buah’, dan orang-orang akan menyambutnya dengan gegap-gempita dan menjadikannya tolok ukur pencapaian intelektualitas.
361 notes · View notes
rasyidalfauzan · 5 years
Text
Kamu Tahu
Kamu barangkali sering merasa cemas. Tetapi, kamu tahu, setiap orang juga merasakan kecemasan.
Kamu boleh jadi sedang merasa takut. Tetapi, bukankah kamu tahu setiap orang juga punya ketakutan di dalam dirinya?
Berhenti mendramatisasi. Berhenti mengasihani diri sendiri.
Sebab, kamu tahu, kamu bisa lebih baik dari ini. Kamu tahu persis, kamu belum mengeluarkan potensi terbaikmu. Kamu juga sudah tahu kesalahan-kesalahan yang harus kamu perbaiki.
Kamu pun sadar betul, puncak hanya dapat digapai dengan mendaki jalan terjal yang seringkali dipenuhi aneka rintang yang melintang.
Tetapi, kamu juga pasti tahu bahwa hasil tak pernah mengkhianati usaha, kan?
***
jangan dulu patah (2019)
913 notes · View notes
rasyidalfauzan · 5 years
Quote
Doa bukanlah tentang cara kita memberi tahu Allah apa yang kita inginkan, sebab Allah Maha Mengetahui segalanya. Doa adalah bukti cinta. Cinta yang membuat kita semangat dan bersegera menjemput waktu-waktu beribadah kepada-Nya. Cinta yang membuat kita betah berlama-lama bersimpuh, berinteraksi dan mencurahkan segala isi hati pada-Nya. Cinta yang membuat kita tak pernah bosan menyampaikan berulang-ulang kisah yang sama. Cinta yang membuat lisan kita selalu basah akan dzikir kepada-Nya
Bila kita memang cinta, harusnya kita butuh Bila kita memang butuh, harusnya kita banyak beribadah dan berdoa Kalau berdoa saja malas, Apa iya kita cinta? Apa iya kita butuh? Rasyid Al Fauzan
42 notes · View notes
rasyidalfauzan · 5 years
Quote
Kalau sekadar hafal Al-Qur'an mungkin orang munafik pun bisa. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengumpamakannya dengan minyak wangi, harum baunya tapi pahit rasanya. Namun, orang munafiq, sampai kapanpun tidak akan pernah mampu muroja'ah. Karena syarat untuk bisa muroja'ah bukanlah kemampuan menghafal yang hebat, tapi kekuatan iman yang mantap. Disitulah CINTA ALLAH hadir
Ust. Deden Muhammad M., M.A
20 notes · View notes
rasyidalfauzan · 5 years
Quote
Hakikat berdoa adalah ujian kesabaran. Sabar untuk tak berhenti berdoa. Sabar untuk selalu berhusnudzon pada Allah. Sabar untuk menanti hingga waktu terkabulnya doa.
Dalam kitab Ad daa’ wad dawaa, Imam Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa orang yang berdoa seperti menanam biji-bijian yang harus selalu dijaga, dirawat dan disirami. Maka apa yang bisa diharapkan buahnya dari biji-bijian yang tak pernah dijaga, dirawat dan disirami? Akibat ketergesaan masih saja menyelimuti kita sehingga kita lelah dan berputus asa dalam berdoa?
29 notes · View notes