Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Memang berat, semua pasti sepakat tidak akan ada yang berani bilang “enak ya jadi kamu”, karena siapa sih yang mau kehilangan karir, harta, rumah tangga, suami, buah hati sekaligus dalam waktu yang beruntun juga dalam usia yang muda.
Pasti semua akan bilang tidak mau. Tapi andai kau adalah orang terpilih itu, maka teguhkan hatimu tiap kali goyah menghadapi beratnya beban. Pastikan kau tetap kembali berpegangan erat pada keyakinan bahwa takdirNya yang terbaik, dan kau akan segera baik-baik saja.
Meski belum mengerti kenapa, tapi berusahalah keras untuk tetap berbaik sangka kepada Allaah.
1 note
·
View note
Text
Tidak ! Kau tidak harus mengerti sekarang. Hiduplah dengan nafas prasangka baik. Dengan darah do’a yang terus mengalir. Dengan ketegaran yang terus berdetak. Tegakkan kepercayaan bahwa Allaah melihat segala usahamu. Maha Baiknya DIA tidak akan pernah menyia-nyiakanmu.
16.06.25, ditulis dengan tinta airmata kepasrahan.
1 note
·
View note
Text
Seringnya, ketika kita udah yakin merancang masterplan terbaik untuk kebaikan, kita lupa bahwa ruang takdir lebih luas dari skema akal kita. Kita merasa berhak "dimuluskan" jalan hanya karena tujuannya benar. Padahal, bisa jadi kita sedang menjadikan blueprint dalam kepala sendiri sebagai berhala.
@gizantara
Tulisan itu memenggal salah satu bagian tidak tenangnya diriku. Karena aku pernah punya banyak rencana yang kalah oleh takdir.
Saat hendak menamatkan bangku SMA, aku punya rencana akan melanjutkan pendidikan umum (bukan kesehatan) di luar kota dengan berseragam kemeja dan cita-cita bekerja kantor(an) bergaji UMR. Hidup dalam tekanan pekerjaan tapi masih menerima honor yang cukup. Cukup untuk dinikmati sesekali sekaligus sedikit untuk disimpan.
Aku menjelaskan rencana masa depanku pada Orangtuaku dengan rasa harap-harap cemas. Saat itu aku memang labil dan masih belum bertemu jati diri. Tapi aku jelas punya keinginan belajar dan bekerja. Panjang pertimbangan, aku diberikan kesempatan untuk mendaftar di Kampus Negeri dengan syarat tidak boleh pakai jalur khusus. Kesempatan hanya sekali dan itupun disetujui didetik-detik terakhir masa pendaftaran.
Dengan rasa yang terlalu meledak, aku mendaftarkan diri dengan jurusan yang jujur ku ambil hanya karena peluang bukan karena kemauan ataupun sedikit kemampuan. Aku sangat suka sastra, atau aku juga sedikit punya nilai distudi bahasa inggris. Tapi aku malah mendaftar jurusan Geografi yang basicly aku adalah anak IPA.
Aku berangkat berbekal nekad juga keyakinan bahwa aku adaptif dan fleksibel. Dengan modal sangat pas-pasan yang diberikan Ayahku. Dan sedikit kelebihan yang dikirim Ibuku secara diam-diam.
Belajar instan secara googling yang saat itu masih minim fasilitas, aku dititipkan pada sepupu jauh. Saat ujian, aku diantar pagi-pagi buta oleh Pacar dari kerabat jauh. Itu momen awkward dalam hidupku. Dua jam perjalanan hanya suara angin yang bisa ku dengar.
Selesai ujian, aku pulang dan menunggu hasil dirumah. “Ini kesempatan terakhir” ucapku dalam hati.
Saat membaca hasil pengumuman aku pun menangis. Bukan karena menang tapi karena aku kalah.
Singkat cerita, waktu pun berlalu. Akhirnya aku diberikan pilihan tanpa opsi agar mendaftar disalah satu kampus kebidanan di kotaku. Aku dijanjikan sebuah motor oleh Ibuku. Aku akhirnya mengiyakan karena ku lihat keinginan besar dalam mata kedua orangtuaku.
Ini adalah jalan yang berbeda tapi akhirnya harus ku lewati. Seperti kataku, aku cukup adaptif dengan modal keinginan belajar dan bekerja, aku juga tidak ingin mengecewakan. Nilai-nilaiku cukup baik walaupun bukan yang terbaik. Orangtuaku pernah bingung saat menerima Lembar nilai Semesterku dengan terbilang 3,52 saat itu.
Aku ingat wajah lugu mereka antara ingin marah atau juga kecewa karena mungkin menyangka aku sebodoh itu. Walau akhirnya praduga mereka berbuah kebanggaan. Ternyata anak perempuan mereka yang keras kepala ini, tidak sekeras itu.
Waktu berlalu cepat dan aku akhirnya melempar lamaran ke Puskesmas, Klinik, Rumah Sakit yang tersebar di Kota ini. Aku bukan dari keluarga yang punya link untuk memudahkanku bekerja. Akhirnya aku hanya diterima di sebuah klinik tempat aku PKL dulu.
Hampir tiga tahun bekerja aku terlalu bisa menunjukkan hidup yang baik-baik saja didepan Ayah dan Ibuku juga orang lain. Sembari bekerja aku berjualan online, menitip kue/cemilan ringan di kedai. Tanpa sengaja juga aku sering dipanggil ke rumah-rumah untuk melakukan Layanan Home Care, dll. Itu ku lakukan agar aku masih bisa menikmati hidup normal selayaknya orang bekerja pada umumnya. Hidup yang penuh kebohongan sebenarnya dan aku juga capek menjalaninya.
Setiap ditanya punya gaji berapa, aku selalu jawab berkisar Rp 500.000 sampai Rp. 1.000.000. Padahal honorku hanya Rp. 25.000 seminggu. Tapi aku terlalu malu untuk berkata jujur. Dan aku juga belum punya mentallity untuk dibilang pengangguran.
Karena terlalu lelah, aku berhenti dan kembali bertekad menjadi perantau. Dengan modal tabungan (nguli) yang lagi-lagi sangat pas-pasan, mungkin Rp. 1.500.000 waktu itu. Aku diizinkan tapi kalian tahu, aku juga ditangisi setiap harinya.
2 bulan dirantau tinggal berdua dengan adik yang sedang kuliah. Bermodal waze, semacam aplikasi serupa maps aku mengantarkan lamaranku kemana-mana. Tekadku cuma satu. Aku ingin bekerja dengan normal.
Bersambung…
2 notes
·
View notes
Text
Kita harus berani tahu bahwa sebenarnya kita sendiri.
1 note
·
View note
Text
My mentality :
“Sekarang kerja dimana ?”
“Gak ada. Lagi nganggur.”
“Sayang banget jadi pengangguran lho”
“Soalnya aku kasian banget sama perusahaan Ayah ini, gak ada yang meneruskan.”
0 notes
Text
Saat Tuhan Membongkar Grand Design
Di momen qurban ini, hampir banyak bertebaran narasi tentang keluarga Ibrahim. Either "tiap diri kita adalah Ibrahim yang punya Ismail yang harus dikorbankan" or "menyembelih sifat kebinatangan", or kisah heroisme yang merangkum relasi antar anggota keluarga (suami-istri, ayah-ibu-anak).
Tapi aku ingin coba mendalamkannya lebih lanjut, bahwa serangkaian kisah menjelang qurban itu perlu di-zoom out juga. Dalam arti, kita nggak lihat ini sekedar hubungan pengorbanan ayah-anak aja.
Bayangin, narasi ayah-anak itu aja udah luar biasa kan? Gimana kalau di-zoom out dalam peran Ibrahim yang lebih besar daripada sekedar ayah?
Kisah qurban nggak cuma relasi vertikal Ibrahim-Ismail. Kalau dicermati lebih dalam, rangkaian peristiwa ini justru mengungkap proyek besar yakni Ibrahim sebagai arsitek peradaban. Beliau membawa grand design bernama baladan aminan (negeri yang aman sentosa).
Ini konsep atau konstruk yang megah, cerdas, dan visioner. Bayangin, sekian ribu tahun sebelum masehi, ada orang yang ingin membuat "surga di dunia" ketika yang lainnya masih dalam pemujaan kepada patung, bintang, dan penguasa.
Konsep "baladah" ini (sayangnya) sering direduksi jadi sekadar "negara" dalam pemahaman modern. Yah, simply keterbatasan definisi operasional aja, bahwa sekarang masih mentok di "negara". Padahal, baladah lebih dari sekadar teritorial. Baladah mencakup tatanan masyarakat berlandaskan "kalimat yang baik" beserta seluruh kelengkapan yang tidak dibatasi oleh teritorial (14 : 24-25)
Oke.. selanjutnya di pikiran seorang Ibrahim, "baladan aminan" itu tatarannya masih konseptual yang abstrak sehingga membutuhkan "operasionalisasi" konkret yang berkelanjutan.
(pembelajaran tentang konstruk, definisi konseptual, dan operasional dari matkulku sangat berguna ternyata)
Tujuan dari baladan aminan sendiri tertera jelas dalam doa Ibrahim (15 : 35-36), "agar anak cucuku tidak menyembah berhala." Intinya keselamatan peradaban. Tuh kan, apa kubilang, beliau ingin bikin "darussalam" alias surga versi di Bumi yang berkelanjutan. Kalian harus ngerti betapa megahnya misi penyelamatan ini. Oh ya, keselamatan di sini bukan cuma fisik ya, melainkan juga pembebasan dari segala bentuk "kecelakaan" akal, moral, mental, spiritual, apapun itu.
Bayangin, kita udah punya ide/konsep/konstruk, udah jelas juga tujuannya mulia. Sekarang siapa yang mengoperasikannya?
Ibrahim berdoa memohon "anak yang saleh" (Ash-Shaffat: 100). Allah mengabulkannya, tapi nggak instan. Ibrahim harus nunggu sekian tahun sampai Ismail lahir. Begitu memiliki putra, harapannya pun mengkristal: Ismail akan menjadi operator utama yang melanjutkan estafet peradaban.
Tapi ujian tak terduga menghantam. Mimpi penyembelihan meruntuhkan seluruh rencana operasional yang mungkin telah Ibrahim susun. Bayangkan: Anak satu-satunya yang diharap menjadi penerus, justru diperintahkan untuk dikorbankan. Secara langsung seperti "memotong mata rantai keselamatan dan cita-cita" kan? Logika manusia mana yang bisa menerimanya? Ekspektasi Ibrahim "berantakan". Ia seolah harus memulai lagi dari nol. (Saat itu belum ada Ishaq juga kan?)
So, pelajarannya adalah..
Bahkan tujuan mulia sekalipun jangan sampai membuat kita terjebak dalam "penyembahan rencana"
Seringnya, ketika kita udah yakin merancang masterplan terbaik untuk kebaikan, kita lupa bahwa ruang takdir lebih luas dari skema akal kita. Kita merasa berhak "dimuluskan" jalan hanya karena tujuannya benar. Padahal, bisa jadi kita sedang menjadikan blueprint dalam kepala sendiri sebagai berhala.
Respon Ismail menggenapkan hikmah ini. Sadarkah Ismail bahwa dialah calon penerus estafet? Tentu! Maka normalnya ia protes, "ayah, jika aku disembelih, siapa yang akan mengeksekusi rancangan ayah?" atau, "ayah, bukankah penyembelihanku akan membuat ayah mengulang rencana itu dari nol? Buat apa ibu dan ayah susah-susah mendidikku hanya untuk menyembelihku?"
Tapi ia memilih kata lain: "Laksanakanlah mimpi itu. Mudah-mudahan kau akan temui aku termasuk orang yang sabar" (Ash-Shaffat: 102)
MERINDING COY!
Semuanya nggak masuk akal. Tapi sabar adalah trusting Allah when nothing makes sense. Maka Ismail berharap termasuk ke dalamnya. Apalagi Ismail adalah hasil didikan seorang ibu yang lebih dulu diuji "kemampuan percaya pada hal yang nggak masuk akal"-nya.
Aku pribadi, nggak bisa bayangin posisi Ibrahim. Like.. orang secerdas itu, se-masterplanner itu, harus mengulang rencana dari nol, di saat si "operator" sedang matang-matangnya! Nggak ada miss sedikitpun dari rencananya. Tujuan udah bener, konsep udah ajeg. Tinggal eksekusi ajaaa!! Semua rencana harus hancur justru di waktu yang tepat untuk dieksekusi. Kayak disuruh berhenti berjuang saat lagi semangat-semangatnya 🤯
Tapi Ibrahim berhasil. Ismail berhasil. Maka salam sejahtera untuk keduanya yang telah melewati ujian yang besar.
Bahkan Ibrahim dikasih satu lagi kabar gembira yang nggak beliau duga. Kelahiran Ishaq. Ibrahim tadinya nggak apa-apa kalau cuma Ismail aja, toh Ismail adalah anak yang sabar. Artinya, Ismail punya kemampuan "memulai dari nol" bersama ibunya untuk membangun formula peradaban di lembah Bakkah (sekarang Mekkah) sementara ayahnya hijrah ke mana-mana. Yang kemudian karakteristik tantangan Ismail juga kemungkinan besar nggak mirip dengan bapaknya dan saudaranya (Ishaq).

Tapi kelahiran Ishaq menyempurnakan grand design itu. Allah kasih "anak yang pandai" yang artinya bisa cepat memahami konteks dari peradaban yang udah dibangun Ibrahim sebelumnya. Dia tau harus ngapain dari apa yang udah dikerjakan bapaknya. Ibaratnya: Ismail itu buka lahan baru bersama ibunya (Hajar), dan Ishaq itu melanjutkan garapan Ibrahim bersama ibunya (Sarah).

Doa penutupnya indah sekali.


Sampai di sini penceritaanku, untuk hal lainnya tentang Ibrahim bisa cek ke tulisanku sebelumnya:
Ibrahim Penyempurna Janji
Trusting Allah When Nothing Makes Sense
Kepekaan Iman
— Giza, selalu ada pembelajaran baru setiap tahun tentang keluarga ini
91 notes
·
View notes
Text
Kisah keluarga Ibrahim ‘alaihissalam dan pesan cinta Ayah di 2022.
Bila Idul Fitri selalu menjadi momentum kasih sayang yang tak terulang bersama suami rahimahullah, lain cerita dengan Idul Adha.
Idul Adha adalah momentum berharga dari ujian berat yang pernah kami lewati di 2022 silam. Saat keikhlasan diuji, saat rasa kepemilikan dikoyak takdir.
Pada momen itu, Ayah datang menghibur bukan dengan sekedar membawa kata sabar. Tapi ia datang membawa sepenggal hikmah kisah Ibrahim yang 80 tahun menanti kehadiran Ismail. Kemudian Allaah perintahkan menyembelihnya.
Setelah ia dan keluarganya lulus dari ujian Allaah. Allaah menghadiahkan Ismail kembali dalam dekapannya dan menambah Ishaq untuk menyempurnakan balasan dari keikhlasannya.
Dan ternyata, setiap momen Idul Adha tiba atau tiap mengulang kisah Ibrahim, Hajar dan Ismail, aku masih menitikkan air mata. Allahumma baarik ya Allaah.
2 notes
·
View notes
Text
Di rumah sakit uang dan pekerjaan tidak ada nilainya
Sabtu dini hari aku termenung di sebuah rumah sakit, berusaha menangkan diri sambil mengolah napas berharap rasionalitas dan perasaan dapat saling memahami.
Putraku mengalami kejang, badan kaku, tanpa merespon dengan tengisan sekalipun hingga membuatku panik dan jauh membayangkan hal buruk sedang kuhadapi.
Tak berhenti mulutku berdoa, merapal apa saja dan berharap ini satu-satunya jalan keluar yang bisa Allah dengar.
Terbayang ada ratusan orang di rumah sakit ini, yang mungkin juga sedang berdoa hal yang sama, memohon kesembuhan untuk dirinya. Memohon kesembuhan untuk keluarganya.
Barangkali mungkin juga sama sepertiku, rela meninggalkan pekerjaan yang sedang dikejar deadline. Rela dimarahi karena tidak sesuai jadwal yang disepakati.
Rela meninggalkan apa saja yang sebelumnya tengah diusahakan dengan hanya berharap satu hal; memohon kesembuhan.
Tidak terbayang bagaimana dengan orang-orang di luar sana dengan vonis sakitnya. Bisa jadi mereka rela menukar harta kekayaannya sekalipun dengan kesembuhan.
Di rumah sakit, rasanya uang dan pekerjaan menjadi tidak ada nilainya.
Bersyukur putraku tertangi, "alhamdulillah" berkali-kali terus ku ucapkan rasa syukur ini. Rasa syukur yang sudah jarang sekali aku ucapkan sebelumnya.
Padahal setiap hari Allah sudah menitipkan nikmat sehat, tapi lupa membuatku bersyukur. Hanya bekerja dan bekerja berharap uang dapat membeli kebahagiaan.
Astagfirullahaladzim, Allah meneguruku dengan lembut melalui caranya.
Peristiwa ini membuatku berpikir ulang tentang banyak hal. Menjaga kesehatan memang semestinya menjadi prioritas utama, dari pekerjaan dan yang lainnya.
Tapi di atas menjaga kesehatan, ada satu hal lagi yang jauh lebih penting; yaitu menjaga kedekatan kita dengan Sang Maha menjaga.
Bagaimana hati kita bisa selalu terkoneksi untuk memenuhi setiap panggilannya.
—ibnufir
59 notes
·
View notes
Text
Saking aku ingin tidak lagi terluka, aku berniat ingin melupakanmu. Nyatanya, kamu tidak akan mungkin aku lupakan.
0 notes
Text
Jangan tiap hari, cukup sesekali. Tapi jangan hanya sekali, nanti jadi kehilangan arti.
Retarika
0 notes
Text
Banyak dari kita tidak memahami bahwa tidak memiliki sesuatu yang kita inginkan pun termasuk bentuk rejeki; Sebab Allah hendak menjaga kita dari bahaya yang kita tidak ketahui.
"...boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui". (QS. Al-Baqarah 216)
©Fajar Sidiq Bahari (@fajarsbahh)
190 notes
·
View notes
Text
Si paling keras tapi si paling runtuh. Dasar ! Ia dikemas dalam amarah, padahal ia hanya ingin melarikan diri tapi tak bisa.
0 notes
Text
Banyak luka yang sedang aku obati, banyak amarah yang sedang aku redam, banyak harapan yang sedang aku usahakan, banyak do’a yang sedang aku terbangkan, banyak khawatir yang sedang aku tenangkan, tapi lebih banyak lagi takdir yang sedang aku cintai.
0 notes
Text
Jadi ingat dua hal,
dulu pernah punya sahabat di Asrama yang selalu ngomong ke orang-orang, “Si Tari lagi PMS, tolong jangan ganggu”, dan tiap lagi PMS, dia selalu sembunyiin makanan dari dapur buat dibekalin untukku. MasyaAllaah aku udah gak tau sih, dia dimana sekarang. Tapi semoga Allaah selalu melimpahkan kebaikan dunia akhirat untuknya.
Yang kedua, pernah punya teman hidup yang bawa pulang coklat tiap aku PMS sampai akhirnya dia ganti dengan kopi karena aku gak suka coklat, terus dipijitin tiap malam, dia tau ini jadwal marah-marah gak karuanku, lalu dia siap aja menerima nasibnya. Orang ini juga udah gak bisa lagi aku temuin, tapi semoga Allaah selalu melimpahkan kebaikan untuknya dimanapun dia berada.
0 notes