Text
Saya sudah lama menyerah diinginkan. Terutama sejak ibu suami ikut tinggal dengan kami. Menyerah berharap bisa liburan bertiga tanpa ibunya. Menyerah bisa meregulasi emosi dengan baik. Menyerah bisa mengendalikan ekspresi dan intonasi. Menyerah menjaga kata-kata. Menyerah bisa pergi tanpa ditanya kapan pulang. Menyerah bisa merasa nyaman di rumah sendiri. Menyerah bisa mengutarakan isi hati. Menyerah bisa berbicara tanpa bertengkar. Menyerah bisa pillow talk.
Saya menyerah.
Menyerah.
0 notes
Text
Intinya, sebagai istri, menantu, dan ibu, saya haruslah sempurna. Harus bisa masak, bersih-bersih, urus anak, urus mertua, urus suami, urus rumah, jaga rumah, tetap cantik, selalu senyum, ramah, tetap waras, bicara yang lemah lembut, bersikap baik dan tulus, pergi kalau ada urusan saja, tidak bergosip, tidak pulang telat, memastikan kebutuhan setiap anggota di rumah terpenuhi, harus peka, perhatian, tidak boleh bad mood, tidak boleh burn out, tidak boleh pasang ekspresi merengut. Tidak ada peran saya sebagai anak dari orang tua saya, karena suami tidak suka pada orang tua saya. Tidak boleh ke rumah orang tua kalau tidak diizinkan, sehingga sampai detik ini saya jarang mengusulkan kami berkunjung ke sana kecuali suami yang berikan ide. Saya tidak cocok dengan ibunya tapi saya tidak boleh protes, tidak boleh mengeluh, harus memaklumi, harus menerima, harus ikhlas, legowo, mengayomi, tidak boleh bete sama ibunya, tidak boleh marah sama ibunya, harus perhatian sama ibunya, harus mengutamakan ibunya. Ibunya, ibunya, ibunya. Itu yang dia pegang teguh, tidak peduli siapa yang salah, ibunya yang harus dibela.
Lalu saya siapa?
0 notes
Text
Ya Allah, emosi dan mentalku sudah lelah. Fisikku masih kuat, tapi tinggal menghitung waktu sampai tak sanggup lagi membuka mata. Hamba lelah salah paham, tapi lelah juga menjelaskan kepada orang yang punya luka sejak lama. Lelah harus pura-pura sepanjang waktu. Lelah menjadi makhluk yang emosional. Andai emosi dan semua rasa ini dapat dihilangkan dariku Ya Rabb, mungkin aku bisa lebih mudah menavigasi diriku di tengah semua ini.
0 notes
Text
Nggak apa-apa. Cuma capek. Kalau capek bakal hilang sendiri, 'kan? Nggak apa-apa. You'll be fine. Peluk diri sendiri, ya? You've done well. Tadi sudah nangis, 'kan? Sudah, ya. Sekarang, napas lagi, tegak lagi, telan lagi semuanya. Nanti kalau sudah penuh sekali, baru kamu buang lagi. Nggak apa-apa. Kamu nggak butuh siapa pun. Kamu bisa sendiri. Sejak dulu kamu hadapi sendiri, jadi semua akan baik-baik saja. It's okay. Telan lagi isakannya. Tahan air matanya. Atur napas biar ga sesak. Tahan semua. Simpan semua. Telan semua. Jangan tunjukkan ke siapa pun. Cukup Allah yang tahu. Kamu kuat. Kamu sanggup. Kamu sabar. Kamu hebat. Kamu tangguh.
Tidak ada yang suka sama dirimu yang asli. Tidak ada yang peduli. Tidak ada yang sungguh mau menerima seseorang apa adanya, cuma omong kosong. Sembunyikanlah. Ciptakan persona lain yang orang sukai. Ikuti mau mereka. Senangkan mereka. Dunia ini cuma panggung sandiwara, jadi berpura-puralah semua baik-baik saja. Berpura-puralah bahagia. Pura-puralah tersenyum. Sampai kamu yakin bahwa itu yang sesungguhnya.
0 notes
Text
In this household, the most important person is 1) his mother; 2) him; 3) our kids.
0 notes
Text
Yang bikin gedeg, bukan kami yang tinggal di rumah mertua, tapi mertua yang numpang di sini. Tapi efeknya sama: saya merasa tidak bebas, peran saya seakan mau digantikan oleh beliau sejak pensiun dan tidak punya kegiatan.
Dikasih saran cari kegiatan, cari temen, atau apalah, alasannya segudang. Tapi yang buat emosi, dia selalu bertanya, mengharapkan jawaban, saran, apa pun. Begitu diberikan, boro-boro didengar, balasannya selalu alasan, alasan, dan lebih banyak alasan. Sampai sudah di tahap muak. Muak semuak-muaknya muak. Selalu punya alasan, selalu punya jawaban, tapi ga pernah ada nalarnya.
Capek. Capek sekali. Bahkan sekadar duduk sebelahan saja rasanya bikin capek setengah mati. Macam ketemu Dementor, semua energi positif yang kita punya disedot sama dia, seperti black hole. Pekat, vortex-nya terlalu kuat. Efeknya? Saya selalu uring-uringan di rumah, suami juga lebih emosional kalau ada ibunya.
Tapi selalu salah saya kalau ada masalah, ibunya baper lah, sedih lah, merasa tidak dihormati oleh saya. Akhirnya selalu saya yang dibentak-bentak suami karena dirasa tidak hormat sama keluarganya karena mengira saya menganggap mereka miskin. Jujur, kalau saya memang berpikir begitu, saya ga mungkin menikahi suami saya. Saya bakal cari lelaki kaya raya yang bisa kasih saya segalanya.
Tapi saya milih dia karena cinta. Cuma itu. Soal uang ya bisa kita cari sama-sama. Nggak tahu pandangan dari mana dia merasa seluruh dunia menatap dia dan keluarganya rendah. Mungkin karena background dia juga yang broken home dan dikelilingi orang-orang toxic.
Saya cuma heran, kapan ibunya ini sadar? Atau memang inilah karakter aslinya karena tidak pernah mendapatkan cinta, kasih sayang, perhatian, rasa hormat, kebahagiaan dari mantan suaminya dulu. Jadi yang kena suami saya, and to that extent, saya. Dituntut untuk membahagiakan beliau, memberikan yang dulu tidak dia dapatkan. Apa-apa mau tahu, mau terlibat, mau ikut campur. Lupa kalau anak semata wayangnya sudah menikah, jadi kepala keluarganya sendiri. Tapi tetap saja dia merasa entitled.
Bukan cuma soal suami, tapi juga soal rumah. Harus begini, harus begitu. Padahal bukan rumahnya. Soal membesarkan anak, padahal bukan anaknya. Dia menuntut saya berubah mengikuti budaya keluarganya, tapi dia sendiri tidak mau berubah, kompromi lah paling tidak. Dia punya anxiety dan lain sebagainya, tapi tidak mau mencari bantuan. Dia punya penyakit kambuhan seperti maag, tapi tidak pernah berusaha memahami apa yang harus dilakukan bila kumat, obat apa yang harus diminum, makanan apa yang boleh dan tidak boleh. Padahal semua itu hal dasar bertahan hidup. Tapi dia bebankan semua kepada kami, kami yang harus tahu. Meski dia sendiri masih bisa dan sanggup, tapi memang menolak mengingat. Secara tidak sadar mencacatkan dirinya sendiri yang masih sehat agar diurus orang lain.
Saya lelah. Saya muak. Doa saya yang awalnya mengharapkan beliau menemukan kebahagiaannya sendiri agar tidak merecoki kami, berubah menjadi agar dia dijauhkan sejauh-jauhnya dari kami. Pulangkan saja dia ke rumahnya. Atau panggil dia pulang sekalian kepada-Mu, Ya Allah.
Saya tahu doa saya jahat, tapi saya sudah benar-benar muak dan kesal. Emosi sudah selalu di ubun-ubun. Tidak ada ruang bagi saya untuk melepas emosi. Ditambah saya sedang hamil anak kedua, bukannya meringankan beban malah menambah beban fisik, psikis, dan emosional saya. 3 tahun saya memendam semuanya, menelan semuanya, dimaki-maki, dipersalahkan, ditunjuk-tunjuk, dikata-katai, semua oleh suami saya sendiri yang kerap membela ibunya. Saya lelah. Saya muak. Saya mau ibunya keluar dari rumah kami. Saya mau dia berhenti melibatkan diri dan mau ikut ke mana pun kami pergi. Saya mau dia mengurus dirinya sendiri dan berhenti merepotkan kami. Biarkan kami membina keluarga kami tanpa campur tangan dia.
0 notes
Text
Tuhan, aku lelah. Apa boleh aku pulang? Doaku usai melahirkan anak ini, aku pulang kepada-Mu. Masalah ini tak kunjunh usai karena aku tak bisa mengatakannya kepada suamiku, karena aku tahu dia tak sudi mendengarkan. Siapalah aku? Hanya orang ketiga di antara dia dan ibunya yang ingin dibahagiakan dan diurus oleh anaknya. Ibunya yang punya masalah, tapi akulah yang kerap dicap bermasalah oleh suamiku, karena aku sudah muak tinggal seatap dengan ibunya yang tak pernah berubah, tapi malah memintaku untuk berubah untuk menyamankan ibunya. Aku yang dituntut untuk legowo, berbesar hati. Hampir 2 tahun tinggal seatap, yang ada hanyalah mudharat, karena sejatinya memang menantu dan mertua tidak tinggal seatap.
Tuhan, aku lelah. Emosi dan mentalku terkuras karena banyak yang kupendam tapi tak bisa kuutarakan. Utamanya karena suamiku denial. Merasa dia dan ibunya tak bersalah, bahwa dunia dan seisinya lah yang bersalah kepada mereka. Bahwa mereka selalu diinjak2. Tuhan, sadarkanlah suamiku bahwa dia pun bisa salah. Bahwa ibunya pun bisa salah. Kenapa hanya aku yang dipersalahkan? Putriku?
Tuhan, kenapa sulit bagiku menyampaikan yang kupendam kepada suamiku? Apa karena aku tahu dia akan memihak siapa? Apa karena aku tahu dia akan selalu ada di pihak ibunya?
0 notes
Text
I canāt shake off just how beautiful the confession scene was. Sun Jae, in the literal face of impending doom, learns not only when heās going to die but why and although we see that he struggles to grasp the concept of dying, he finds a modicum of solace on Sol, and instead chooses to focus on her. Sun Jae understands that he died saving her/protecting her, and that this whole time sheās been there for him. Sheās already seen him die and chose to literally travel in time to save him, what more proof of her love for him could he possibly ask for?
With this, he just says ādonāt run away from me. Please just like meā because truly thatās all he wants, Sol is all heās ever wanted for himself and since now he knows that his feelings are reciprocated and that heāll eventually die⦠why not just give in to their feelings while they can?





Sun Jae writing Sudden Shower for Sol and fulfilling his unspoken promises to her over and over again in every timeline is extremely beautiful and gutwrenching to see. Their dating college era may be ephemeral but Iām sure itāll only make Sun Jae want to wait for Sol even more. All Iām hoping for is a good ending for these two who have gone through a lot for each other
343 notes
Ā·
View notes
Text
I'm in my "Lovely Runner" era
46 notes
Ā·
View notes
Photo




The Tortured Poets Department. An anthology of new works that reflect events, opinions and sentiments from a fleeting and fatalistic moment in time - one that was both sensational and sorrowful in equal measure. This period of the authorās life is now over, the chapter closed and boarded up. There is nothing to avenge, no scores to settle once wounds have healed. And upon further reflection, a good number of them turned out to be self-inflicted. This writer is of the firm belief that our tears become holy in the form of ink on a page. Once we have spoken our saddest story, we can be free of it.
And then all thatās left behind is the tortured poetry.
THE TORTURED POETS DEPARTMENT is out now.
https://taylor.lnk.to/thetorturedpoetsdepartment
17K notes
Ā·
View notes
Text
Gals! ā” vol. 1 - 10 cover art
#gals#manga#mihona fujii#gals!#shoujo#shoujo manga#manga cover#kotobuki ran#yamazaki miyu#hoshino aya#kotobuki sayo#honda mami#kogal
729 notes
Ā·
View notes
Photo


Allās fair in love and poetry⦠New album THE TORTURED POETS DEPARTMENT. Out April 19 š¤
store.taylorswift.com
š·: Beth Garrabrant
39K notes
Ā·
View notes
Text
"My wish is to have you back." My Demon (2023 - 2024), dir. Kim Jang Han
455 notes
Ā·
View notes
Text
"Does she think this is a diary? She thinks she can do whatever she wants." My Demon (2023 - 2024), dir. Kim Jang Han
476 notes
Ā·
View notes
Text
"You're my everything." My Demon (2023 - 2024), dir. Kim Jang Han
577 notes
Ā·
View notes
Text
Humans life are fleeting for an immortal.
In Goblin we've learned that humans could reincarnate 4 times.
I do not know what is the rule in My Demon world, but if it was similar, then Guwon stays as a demon would have made him meets every Dohee's reincarnation in the future. I truly hope Dohee is her 2nd incarnation after Wolshim, so they've got 2 more lives ahead together.
And somehow I have this feeling that in Dohee's final reincarnation, Guwon would be turned into human and dies along with her because of old age.
And somehow, that is beautiful. Because he could keep his promise to always make their endings happy.
12 notes
Ā·
View notes