Don't wanna be here? Send us removal request.
Text
Apresiasi untuk Makanan-Makanan di Tubuhku
Aku yakin kalo ayah Woo Young Woo (drama Extraordinary Attorney Woo yang lagi on going), sudah memiliki banyak upaya untuk menemukan formula makanan yang tepat untuk anaknya yang autis. Sudah pasti banyak makanan yang dicoba ditawarkan ke Young Woo—mencoba mengenalkan lidah anaknya kepada menu-menu makanan. Sampai akhirnya Young Woo jadi demen banget sama kimbab. Kenapa? Karena ga perlu repot-repot menduga rasa yang mendadak nyempil dan ngagetin lidah, sebab semua bahan terlihat sekaligus.
Sementara menu sarapan waktu SD yang jadi andalan Ibuku waktu aku masih bocil adalah telur ceplok. Selain gorengnya cepet, usaha untuk menyuapi bisa disambi jaga toko karena ga perlu bersusah-susah misahin tulang kaya pas makan ikan (monmaap manja sampe kelas 6 masih disuapin).
Prompt makanan sekilas menjadi spektrum untuk menjelaskan banyak cerita yang kita lalui bersama makanan. Kebiasaan disiapin makan dan cari menu makanan praktis ternyata kebawa sampe dewasa, sampe saat ini juga masih doyan milih makanan yang serba-instan.
Minggu ini aku makan seperti biasa—seperti kebiasaanku sebelumnya—tidak ada pertimbangan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi untuk mendukung aktivitas dan menjaga keseimbangan pola hidup. Menu makanku seperti ada pada belokan labirin alias itu-itu aja: ayam lalapan, baso, seblak, dan go to meal andalanqu: mie gacoan.
Ga pernah kepikiran sama sekali ternyata melalui makanan, hal-hal yang menarik bisa datang terjadi. Melalui makanan juga, sebuah perasaan yang sulit diungkapkan ternyata jadi lebih mudah disampaikan.
Mengamati konten di socials, udah pasti banyak banget yang ngirimin makanan untuk ngungkapin berbagai fluktuasi perasaan; kasih sayang, permohonan maaf, sampai jadi alternatif untuk orang-orang yang ga bisa kontribusi di kelompok kerja praktikum, xixixi.
I’m not good at telling words—tapi biasanya kalo lagi kangen, ide yang pertama kali muncul adalah ‘ayo cari makan’. Jarang muncul di group perkawanan, tapi sekalinya muncul ngajak jajan. Lalu mendadak menyukai konsep ngabuburit dan buka bareng hihi.
Aku juga bisa langsung bangkit dari kasur setelah seharian mager di kamar kosan, tidak lain dan tidak bukan alasannya adalah golek mangan sambil memberdayakan UMKM.
Tapi tapi tapi, semakin beranjak dewasa, semakin sadar bahwa makanan juga jadi salah satu bagian dari responsible adults—kamu udah harus menjaga dan mengatur menu makan yang seharusnya bisa membuat hidupmu sehat. Aku dan bagaimana caraku mencintai micin juga menjadi boomerang pada suatu hari—sakit karena makanan, operasi karena makanan, menyedihkan. Terlalu asik sama makanan enak sampai lupa sama makanan yang bener-bener dibutuhkan sama tubuh. Empati sama diri sendiri menjadi lebih sempit karena ego pengin makan micin tetap ada dan berlipat ganda.
Makanan memang mempersatukan kita. Mengumpulkan beragam cerita. Dari cerita yang hepi hingga cerita yang membawa luka.
Terima kasih kepada seluruh makanan yang selama ini sudah menutrisi—dari aku yang sering ga habis kalo makan :’”(




2 notes
·
View notes
Text
Jurnal Nggedabrus.
Not to be rude, but it’s been a pretty long day. Memulai hari dengan berniat untuk pulang ke rumah—dari Malang—tapi ternyataaa, it is a Monday when it’s tiring just to stand—or talk to someone else. I wanna sharing this roughness to someone else actually, but I need to take my own times just to write this perkacauan thoughts.
Ok let me bring you to the first case. Sesungguhnya aku pun merasa sudah terlatih dengan fleksibilitas jam kerja di ahensi. Weekend yang masih ada request, atau meeting tapi ga di jam kerja. Meetingnya udah dari kemarin lusa, tapi kerasa sumpeknya sampai sekarang. Hari ini pun—bareng rekan kerja—mulai cari tahu upah lembur yang sesuai undang-undang itu gimana deh ya? :”) tapi tetep dijalani walau sambil mewek, ya kalau ga dijalani ya lempeng dong aing ga dapet cuan. Hehehe well, my mood was going bad from that, what else could it be, there was a fucking idiot tho.
Selanjutnya…
Tadi pagi banget, ketika sudah cukup dengan scrolling timeline twitter, akhirnya random buka tiktok, dan disambut oleh konten dari MaknaTalks berisi opini dari Marissa Anita, dan siapa menyangka jika video semenit tersebut menjadi pembuka hari Minggu-ku yang ‘luar biasa’ ini. Yah intinya dia bilang kalo everyone have their own life. Ngejalanin hidup karena itu polanya—for example habis lulus kuliah ditanyain kapan kerja, habis dapet kerja ditanyain kapan nikah, setelah nikah ditanyain kapan punya rumah, dan lain sebagainya. In this world, even though we have a different hair, eyes, skin, shape of nose. The bottom line is Marissa Anita said that what brings me to happiness is actually not being most of the most. Ya jalanin aja timeline sesuai orientasi kehidupan yang kamu mau, gitu. Aku tau ini semacam line yang umum ditemukan, apalagi di twitter quotes buat umur 20 tahunan kaya gini banyak banget dan gabisa dihindari karena most of your mutual liked this so the algorithm does.
Oiya, hari ini juga ketemu banyak orang, dengan isi kepala yang berbeda-beda. Pertanyaan dan basa-basi yang juga berbeda. Tapi yang bikin gedeg adalah pertanyaan kapan nikah. Better be mengamini untuk bisa kuliah lagi instead of mengamini semoga segera nikah. Ya bukan berarti ga mau nikah. Hawuh, ribet pejuang quarter life crisis ni. Tapi hahahaha I knew this was sooo classy and I used to think that I wouldn’t be able to took it personally. I spoke in my mind like, “let’s cut the shit talk, asshole”. They gave me a pity look—I mean I enjoyed my own company so why don’t you clear the fuck off and enjoy yours?
Aku juga termasuk orang yang orientasi hidupnya juga ga soal membahagiakan diri doang, sih. Kayanya aku mau mendapuk diriku menjadi orang yang lebih realistis aja deh, terlebih karena kemarin bela-belain ngitung upah lembur yang sesuai undang-undang gitu demi keadilan sosial (ga deng-individu), tapi kalo aku kayanya realistis yang tanggung alias lebih di versi yang ga jelas.
Pernah di suatu obrolan sama Ibu yang baru-baru ini alias anget-anget tai ayam, aku ditanya soal tujuan hidup—karena berangkat dari topik ‘aku mau sekolah lagi ya?’ lalu bengong setelah ditanyain, ‘emang, setelah S2 mau ngapain?’. Oke. I’m toast. Tentunya, waktu itu jawaban yang berani diungkapkan dari aku yang baru setahun lulus kuliah dan masih ada sisa-sisa idealisnya, adalah karena emang mau belajar lagi, mau sekolah lagi. Pada waktu itu yang penting buatku adalah karena ada peluang, ada niat yang baik, ya aku mau mewujudkan hal itu. Menjadilah S2 ini sebagai topik pembicaraan yang ga selesai.
Emang bener kata Andrea Hirata, orang yang beruntung itu, orang yang tahu akan menjalani hidupnya untuk apa. Kalau aku sih ibadah kepada Allah. (menulis sambil mengeluh karena punggung pegel banget deh pengen pijet)
3 notes
·
View notes
Text
(things-left-behind) coba nonton series satu ini:
Disclaimer: Bukan review drama korea sih, jadi cuma sekedar tulisan ga penting soal perjalanan menonton sambil berusaha memaknai pesan yang disampaikan di drama Move to Heaven. Jadi gini, ada film atau series yang emang doyan untuk aku rewatch. Tapi, untuk rewatch scene yang maktratap, kayanya cuma Move to Heaven yang bisa membuatqu rela mengulang kondisi dimana kita bener-bener dibuat emosyenel. Sebenarnya tida ada gunanya juga menstimulus emosi secara sengaja dengan rewatch series, lalu rewind di part yang melankolis. Aku nangis terus, tapi aku gapapa (ga ada yang nanya) :(
Aku kasih gambaran dikit soal Move to Heaven. Ini original series oleh platform streaming favorit qta, tida lain dan tida bukan adalah Netflix. Move to Heaven ini diceritain sebagai agensi petugas pembersih TKP dari orang yang baru aja meninggal. Fokus series ini bukan ngurusin TKP dan kenapa orang itu bisa meninggal, tapi memori atau pesan yang berusaha disampaikan dari orang yang sudah meninggal. Nah, Move to Heaven ini ngumpulin benda berharga milik mendiang untuk diberikan kepada orang-orang terdekatnya sekaligus menyampaikan pesan yang mungkin tidak sempat terucapkan oleh mendiang. Jelas banget kalau drama ini akan membuatmu ingat pada kematian, tapi yang lebih bikin nyesek adalah dimana aku sampai pada pemikiran semacam, “kayanya lebih baik meninggalkan ya, daripada ditinggalin”. Y ga sie? Kannn, overthinking maneh. Proses memaknai series ini juga butuh rewatch, jiakhhh *gaya. Mengingatkan diriku sendiri pada beberapa hal yang penting, yang mungkin dalam keseharian kita, hal itu bisa kelewat. Semoga viewpoints yang aku tangkap dari series ini tida menyesatkan orang lain yah, huhu. Terkadang, terlalu girang dan suka bukan main ke bacaan atau series itu membuat kita terlalu sibuk mencari-cari pembenaran dari pesan itu lalu diterapkan ke tiap hal, padahal ga semua bisa berlaku dan begitu pula orang-orang akan bilang setuju.
Yang jelas semua pesan yang ada di series itu ga bisa ditulis satu per-satu, karena malas ngetik banyak, disisi lain (kalau aku boleh membela diri) karena emang terlalu kompleks. Alasan paling jelas ya karena aku mau kalian nonton (kaya ada aja yang baca post ini HAHAHA). Serius, coba nonton, kemudian maknai cerita dan pesan dari 10 episode versi kalian sendiri.
Ngutip dari akun kontennya Netflix yang upload kecayangan aq Lee Je-hoon (karakter dia disini jadi orang yang vandal, ganteng max, tapi baik hati) yang bacain 7 Cara untuk Akhir yang Bahagia: nomor 7. Pada akhirnya, yang tersisa hanyalah kenangan dari orang yang kita cintai, gunakan kesempatan itu sebaik mungkin. Yang nomor 1-6 silakan tonton dewe di https://twitter.com/NetflixID/status/1397039723718262788?s=20 Selamat nonton ya, jiwa-jiwa melankolis.
0 notes
Text
Bersandar pada angin
Mereka bilang keruwetan ini akan berakhir secepatnya, paling tidak ada yang memberi kita prediksi-prediksi yang sudah tertulis secara matematis. Tapi tentu saja kita tidak pernah tahu.
Aku masih berusaha untuk memastikan di tengah pandemi yang semakin gawat dan embuh ini, aku dan kamu bisa tetap bertumbuh walau tidak tahu kapan usaha kita akan selesai. Mengapa? Sebab selama ini mungkin kita telah terbiasa berjuang mati-matian kemudian menyandarkannya pada ketidakpastian. Semacam pandangan sinkretis antara upaya perjalanan individu dan nasib yang--entah disengaja atau tidak--disandarkan kepada kemungkinan-kemungkinan yang belum pasti.
Namanya juga harapan, ya pasti secara sukarela akan dikejar. Hampir tiap malam aku disasak untuk memikirkan hal yang tidak penting, tapi aku segera berdoa agar dapat memejamkan ambisi sebentar saja.
Kenapa ya, seringkali aku merasa bahwa harus ada jawaban di setiap perenungan? Padahal banyak jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak bisa kita gapai dengan ilmu yang cekak dan kemampuan nalar yang dangkal.
On a more serious note: akan lebih baik jika kita bisa bersiap kecewa sejak semula.
0 notes
Text

A note to myself: from today, you are not good at hiding how bad you feel in certain circumstances, you don't have to pretending like everything is going well.
(source pic from Twitter).
0 notes
Text

I've just watched 'a silent voice' and now i've slowly come to realize that what i feel today is the same as what this movie talk about. You will understand that forgetting is a harder than forgiving. So i got to feel a bit what Ishida felt like. I'm not being Ishida anyway, but his attempt for some type of redemption made me slapped that everything can handled by loving and trusting each other no matter how endure that unimaginable pains cut you deep. Looking back throughout this year i spent many hours to write out lama lama aku sadar ini blog isinya galau mulu.
0 notes
Text

Kamu adalah ketidakmampuanku menyelesaikan persoalan. Suatu malam aku digerus ingatan yang membentangkan tempat dimana pernah ada namamu. Aku melihat sepasang lengan yang memelukku dari kalut yang sulit larut. Aku berjalan dan mengenal pertemuan dan keraguan. Dua persimpangan yang mengokohkan pertemuanku dengan orang-orang asing yang satu persatu menemuiku hingga aku sering berpura-pura rela.
Kemudian aku menemukanmu di tubuh orang lain. Lamat-lamat kuamati ternyata ada yang hilang dari dirimu. Aku berlari ketakutan. Lalu berhenti dan sadar, bahwa yang hilang adalah aku, dan kesadaranku. Aku tidak takut lagi jika suatu saat kembali tersesat diantara belantara rupa, tapi bisakah aku menemukanmu sekali lagi?
0 notes
Text
Sarapan sebelum tidur #randomthought
Teruntuk semua yang entah ada yang baca atau engga hehe aku mau nulis random thoughts yang tidak penting-penting amat ini. Bikaus ini curhatan yg gajelas tapi jadi sarapanku sebelum tidur. It's always been easier when it comes to writing about your feelings kan?
Saking kekeuhnya aku serta kerunyaman di pikiran, ditambah lagi kemauan dan jangkauan yang terlalu panjang, aku sampai lupa, dengan apa-apa yang sudah aku dapat.
Aku sampai merepotkan banyak orang untuk sekadar mendengarkan keluh kesahku yang ga penting itu, sampai lupa kalau yang aku keluhkan itu ga ada apa-apanya dibandingkan orang-orang yang sudah terbentur, terbentur, sampai terbentuk. Ini sungguh menyentil diriku sendiri yang ga tahu malu karena naif. Dan ego.
Maaf ya, xob.
Ini juga seperti aku merasa terengah-engah karena kelelahan berlari padahal cuma sekilo,
tapi
aku tetep boleh
mengeluh kan?
Tapi,
Kadang,
Aku merasa bahwa kegalauan dan pikiran yang meracau membuatku jadi berpikir. Maksudnya berpikir yang pelan-pelan, lalu menemukan jawaban.
Jadi, pikiran-pikiran semacam:
Tepat ga ya?
Apakah persiapanku sudah tepat?
Berubah menjadi:
Oke, kita coba lagi.
Bagaimana jika perkiraan itu tidak selalu benar perhitungannya?
Dah ya sarapannya.
Bobo dulu dah mentok gatau mau nulis apa lagi.
Tambahan: pas nulis ini, spotify cukup tsadis karena tiba-tiba shuffle lagu ke River Flows in You. Serius makin nambah sendu ini sampai aku nekat membayangkan akhir tahun atau awal tahun bisa mengunjungi Jogja. YaAllah, kapan ya?
Oiya, sekalian, kalau boleh serakah,
dia,
yang
cuma
satu itu,
untuk aku saja, ya, YaAllah.
bolehkah?
0 notes
Text

Pernah ga sih kamu hendak menuju sesuatu yang punya resiko besar tapi kamu nekat memulai? Seolah kamu itu berani atau bahkan sudah siap menghadapi bencana raksasa di kejauhan, yang mungkin siap menghantammu kapanpun ia mau, atau membiarkan segala harap-harapmu luruh. Keriuhan yang ramai di pikiran, kesia-siaan yang kamu khawatirkan, atau mengalami ketakutan dan gejolak kecemasan yang mungkin dapat memperlakukan matamu dengan tidak baik, misalkan. Sayangnya, paradoks yang bernama ketakutan itu tidak sebaik jalanan yang sanggup mengucap 'selamat jalan'--atau karena sungguh-sungguh ingin menyerangmu tiada henti sebelum pagi.
0 notes
Text
Perkonseran duniawi
Beberapa hari yang lalu, beberapa temanku serentak aktif nge-post instastory di akun mereka masing-masing soal virtual concertnya BTS. Mau swipe kanan-kiri juga konteksnya hampir sama semua karena bukan main banyaknya mutual di Instagram yang tidak lain dan tida bukan adalah gelombang armies. Salah satu instastories yang tiba-tiba bikin throwback dengan momen per-konser-an duniawi yang asik pol itu adalah dari akun idolaku, Teh Izi. Soalnya, ga cuma momen dia fangirling-an doang yang dipost, tapi juga soal momen konser pertamanya dia. Ketika aku menangkap instastories tersebut, aku juga tiba-tiba kebius karena pengen sharing momen ngonser. YaAllah, rindu banget!
Kalau ditanya konser pertamaku apa, sepertinya bakal sulit kujawab karena aku sendiri lupa. Entah karena terlampau sering nonton konser atau gimana, tapi sepertinya aku harus memutuskan dari sekarang supaya bisa jadi cerita. Oke, aku akan menentukan Coffee Tep 3.0 sebagai konser pertama aku, yang pas waktu itu turut mengundang Silam Pukau. And i didn't really having a blast yet at the time, i think. Karena sama sekali ga tau grup musik yang genre folk dan grup-grup indie pada waktu itu, sekaligus karena itu acara prodi yang wajib didatengin pula, jadinya mau ga mau, dapet vibe yang dimau atau engga yang penting dateng beramai-ramai sama sekumpulan anak maba yang dalam tanda kutip, yah mau mau aja. At least, i got the vibe of concert story even i didn’t know who the guests are. However, knewing Puan Kelana as one well known song i only get from Silam Pukau was enough than know nothing. Menurut eike.
Karena dari situ juga akhirnya kan jadi paham kalau ngasal berangkat ngonser tanpa tahu lagunya adalah zonk, buang-buang duit juga karena sense dari memaknai konser bakalan ilang dan kaya sayang banget kalau ga tau lagunya. Huhu :”)
Sampai akhirnya mulai tuh aktif cari informasi soal event perkonseran di Malang. Dari genre folk, pop, sampai campursari wkwk. Dari beli tiket ngantri sebejibun, atau dapet cuma-cuma dari temen, sampai tiket gratis dari temen yang kebetulan ikutan jadi vendor bareng promotor. Dari konser di tempat parkir, hall, sampai lapangan yang bikin sulit napas, boi.
Nonton konser yang sama tentu pernah sekalipun grup tersebut belum ngeluarin album baru. Kaya pas nonton Fourtwnty, empat kali. Sekalipun yang dinyanyiin ya itu-itu aja karena belum ngeluarin album baru pas waktu sampai di keempat kalinya bersama Ari Lesmana dkk, tapi tetep seneng! Yang penting budget sesuai kan, hehe.
Yang sama sekali kepikiran sampai sekarang adalah pengen banget nonton konser Bung Glenn tapi belum pernah kesampean. Sampai akhirnya dapet info kalau Glenn mau ke Malang. Senang bukan buatan, langsung cari temen buat caw, beli tiket. Sampai akhirnya acara itu jadi postponed karena pandemi. apalagi pas tahu kabar terakhir mendiang. Asli, nyesek banget, karena belum punya kesempatan untuk nyanyi bareng :”). Pikiran ini udah ngawang kemana-mana, udah bayangin suara saxophone di lagu Kasih Putih, intro di lagu Kisah Romantis, sampai (bisa-bisanya) membayangkan akan menikmati dan khidmat kalau-kalau Glenn berkenan membawakan Sekali Ini Saja dan Malaikat Juga Tahu.
Serius, nonton konser tuh asique yang hqq banget. Ga ada yang bakal negur karena suaramu yang sengau, men. Walau memang kadang ada aja yang resek tiba-tiba ndusel dan nyeret badan sampai sakit. Tapi itu semua ga akan masuk dendam atau gelo list karena asiknya punya momen nyanyi tapi gada yang ngatur volume suara kita itu menyenangkan! Akupun termasuk orang yang hiperbolis sekali pas guest mulai masuk ke stage, karena itu udah bikin aku gemetar—like i was ready to scream my lungs out with these songs!
Pernah dapat momen cheesy waktu nonton Pamungkas di Politeknik Negeri Malang. Desek-desekan di Lapangan Rampal waktu nonton Didi Kempot di acara Kickfest tidak lebih menyebalkan dari ini. Jadi, waktu itu, posisi aku di belakang mas-mas yang postur tubuhnya tinggi. Tapi bukan itu yang bikin cheesy, tapi karena masnya gondrong dan ga mau dikuncir :”). Halo, mas. Apakah tidak bisa sedikit saja menyisakan rasa tahu diri agar senantiasa eling kalau yang nonton konser ga cuma dia, kan. Aku sampai ga sengaja kemakan rambutnya karena dia ga berenti gerak and it was utterly annoying! Padahal udah teriak sama temen waktu itu bilang, “mas, rambutnya tolong huhu”.
Konser terakhir yang aku tunaikan adalah konsernya anak FEB kampus. Waktu itu ngundang Efek Rumah Kaca sama Kunto Aji. Whew, gila. Jadi kaya semacam habis diberi doping kesadaran di lagu-lagunya Cholil dkk, langsung disuruh nyanyi sambil healing di lagu-lagunya MzKun. Tapi itu konser terakhir sejauh ini sekaligus foto terbaik yang pernah aku dapat, huhu, aku terharu. Karena kebetulan dapet tempat depan sendiri hihi sebuah pencapaian baru.


Et tapi, sebetulnya tiap orang punya preferensi berbeda-beda soal menikmati sebuah konser. Dari pendapat yang punya hukum wajib untuk menikmati secara penuh atau sering-sering menangkap momen konser tersebut dari sebuah kamera untuk menunaikan kebutuhan konten. Akupun masih sering bimbang sendiri pas masuk gate, kaya sering ngomong sama diri sendiri, pokoknya nanti aku mau khidmat!
Jatuhnya ya tetep ngambil momen untuk sekedar merekam lagu yang paling disukai. Sering? Banget! Haha.
Yang lebih baik ya tetap tidak repot ngomentarin cara orang menikmati momen. Karena sebetulnya bagiku untuk khidmat pada sebuah konser secara paripurna itu luar biasa susah godaannya kalau udah pegang smartphone. Kaya, yah, semacam beda esensinya kalau momen tersebut ditangkap oleh tangan kita sendiri—alias ga minta dikirimin teman ngonser. Dan untuk mengabadikan momen tersebut itu menjadi semacam triumph di tengah ramenya suasana di pikiran, karena kamu bakal bisa melihat dan memutar kembali—kalau suatu hari kangen. Atau sekadar nge-snap satu gambar doang dengan niatan ngasih penghormatan dan apresiasi kepada musisi karena sudah membersamai kita untuk—secara serentak—merasakan rasa dari sebuah lirik lagu, dan berkenan menjadi medium dari sebuah lagu yang bisa mengolah perasaan penonton dengan pas.
Semoga segera bertemu dengan momen konser, secepatnya. Hihi.
2 notes
·
View notes
Text
...bisa bangkit lagi, ga?
I’m back! Haha, gaya. Setelah sekian lama engga nulis, akhirnya mau nulis lagi disini. Aku jadi membayangkan tulisan ini akan seabsurd apa jadinya, hehe. Karena udah lama banget ga nulis di blog pribadi, huhu. Setelah sekian lama perang dengan banyak hal di pikiran, akhirnya jatuh juga jadi tulisan—sekaligus buat arsip kalau nanti aku mau baca ini lagi, sambil mengingat-ngingat kejadian dan hal-hal apa yang sudah aku lewati saat menulis ini.
Jadi begini. Kalau dipikir-pikir, pemeran-pemeran yang hadir di kehidupanku sudah berkenan untuk mau berbagi, mau merangkum kesedihan bersama-sama, mau mengorbankan waktu sampai tidak lagi ada jarak yang bisa dihitung. Saking asiknya tertawa, sampai aku lupa kalau terlampau senang itu juga bikin kita ga siap dan ga kuat menerima perkara yang nyesek. Sampai aku tersadar akan satu hal yang krusial—yang seharusnya sudah aku siapkan matang-matang sebelum terjadi: belajar melepaskan.
Bulan ini aku belajar melepaskan beberapa rencana-rencana yang sudah ada di pikiran. Aku mau melakukan hal ini, aku mau makan ini, atau aku mau melewati dan menghabiskan waktu dengan orang ini. Wau, tapi realisasinya ga semudah itu, karena belum di surga. Aku merasa situasi yang kurang menyenangkan ini satu-persatu lahir—dan berkembang. Aku merasa tersudut, tau.
Aku jadi sering cemas dan memikirkan bagaimana aku akan berkembang nanti. Walaupun sesungguhnya aku tidak merasa sendirian, tapi untuk belajar melepas, aku tidak sekuat itu untuk melewatinya sendiri. Aku pusing sekali karena setiap hari aku harus belajar ikhlas. Sampai pilu.
Aku juga terlalu percaya diri ketika bilang kepada diri sendiri bahwa akan ada ganti yang memang itu diciptakan buatku. Terlebih setelah melepaskan, aku jadi tidak mudah percaya karena aku sendiripun keras kepala. Jadi, gimana sih caranya memenjarakan waktu? Maksudnya biar aku bisa dapat ganti itu cepat-cepat, gitu.
Sedalam-dalamnya apresiasi untuk orang-orang yang membersamai.
Hehehehe.
0 notes
Text
(untitled)
Jadikan sekuat-kuatnya ia, akan waktu dan lara, untuk bait-bait cerita, dan upaya-upaya. Bolehkah kita, menjadi tidak lupa, dan tidak merasa sia-sia, atau kurang berharga. Bolehkah kita, menelan bising rapat-rapat, dan menggenggam erat hal-hal yang telah kita dapat, agar semakin pandai kita merawat. Bolehkah kita, bersama menghafal cara-cara perihal menerima, dan mengolah rasa, untuk merasa cukup, menjadi bahagia saja.
0 notes
Text
Prologue

Sebetulnya, satu-satunya alasan yang membidani lahirnya blog ke-berapaku ini (aku sampai bingung sendiri karena aku benar-benar memiliki tiga blog dengan portal yang berbeda!) adalah karena begitu ingin memiliki halaman digital yang mau merangkum ceritaku--atau bahkan masalah-masalahku yang tidak penting. Aku sedikit berusaha menjustifikasi bahwa nantinya blog ini tidak akan berakhir sama dengan blog yang sebelumnya–post yang berisi shit post, berhenti menulis atau karena emang bener-bener enggan menulis karena takut kebaca (HAHA!).
Sebenarnya, untuk menciptakan sebuah cerita itu mudah. Aku sendiri merasa cerita yang sehari-hari hidup dan kutangkap adalah berasal dari orang-orang di sekitar. Setiap hari, orang-orang di sekitar kita menggantung mimpi dan menebar spektrum warna yang beragam untuk dapat
kita dengar,
atau hargai,
dan pelajari.
Maka, menjadi kuatlah kemauanku untuk mungkin dan berkenan berbagi.
1 note
·
View note